BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang yang Dengan Sengaja Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana Menguasai Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 409/Pid.B/2014/PN.Mdn.)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah penyalahgunaan narkoba saat ini menjadi perhatian banyak orang

  dan terus menerus dibicarakan dan dipublikasikan.Bahkan, masalah penyalahgunaan narkoba menjadi perhatian berbagai kalangan di Indonesia, mulai dari pemerintah, LSM, Ormas bahkan masyarakat juga turut serta membicarakan

  

1

tentang bahaya penyalahgunaan narkoba.

  Perkembangan terakhir, peredaran narkotika semakin meningkat dan bersifat trans nasional serta dilakukan dengan menggunakan modus operandi dan teknologi yang canggih, termasuk pengamanan hasil-hasil kejahatan narkotika, sehingga dapat dikatakan bahwa kejahatan narkotika sudah menjadi ancaman

  2 yang sangat serius bagi kehidupan manusia.

  Data pada United Nation International Drug Control Program (UNDP), saat ini lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia telah menyalahgunakan narkoba.

  Yang mencengangkan, dari jumblah itu 3,4 Juta di antaranya adalah orang Indonesia. Lebih mencengangkan lagi karena lebih dari 80%-nya adalah remaja, dan bahkan telah merambah pula pada usia yang masih tergolong anak-anak.

  Survey nasional yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional terhadap 13.710 orang penyalahguna narkoba, belum lama ini , ditemukan fakta semakin dininya penyalahguna narkoba. Pada usia tujuh tahun telah mengonsumsi narkoba jenis

  inhalan , pada usia delapan tahun meningkat ke ganja, sedangkan usia 10 tahun, 1 Abdul Rozak dan Wahdi Sayuti, Remaja dan Bahaya Narkoba, Prada, Jakarta, 2006.hal 14. 2

  jenisnya semakin bervariasi, seperti pil penenang, ganja dan morphin. Dalam survey tersebut juga ditemukan fakta bahwa tindak penyalahgunaan narkoba bukan hanya dilakukan oleh orang-orang yang secara ekonomi memiliki kemampuan relative cukup, melainkan telah meluas ke semua strata ekonomi. Ini berarti, resiko penyalahguna narkoba dapat terjadi disemua usia dan tingkat kemampuan ekonomi.

  Secara nasional rata-rata penyalahguna narkoba di tiap-tiap ibukota propinsi mencapai 3,9%. Tetapi terdapat 10 ibukota propinsi yang berada diatas rata-rata nasional, yakni : Medan (6,4%), Surabaya (6,3%), Maluku Utara (5,9%), Padang (5,5%), Bandung (5,1%), Kendari (5%), Banjarmasin (4,3%), Palu (4,1%),

  

3

Pontianak (4,1%), dan Yogyakarta (4,1%).

  Sampai saat sekarang ini secara aktual, penyebaran narkotika dan obat- obatan terlarang mencapai tingkat yang sangat memprihatinkan. Hampir seluruh penduduk dunia dapat dengan mudah mendapat narkotika dan obat-obatan terlarang, misalnya dari Bandar/pengedar yang menjual di daerah sekolah, diskotik, dan tempat pelacuran. Tidak terhitung banyaknya upaya pemberantasan narkoba yang sudah di lakukan oleh pemerintah, namun masih susah untuk menghindarkan narkotika dan dan obat-obatan terlarang dari kalangan remaja

  4 maupun dewasa.

  Penyalahgunaan Narkotika adalah merupakan suatu tindak kejahatan dan pelanggaran yang mengancam keselamatan, baik fisik maupun jiwa si pemakai 3 Tina Afianti, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Dengan Program AJI, Gadjah Mada Unifersity Press ,Yogyakarta, 2008, hal 1. 4 dan juga terhadap masyarakat di sekirat secara social. Bahaya dan akibat dari penyalahgunaan narkotika tersebut dapat bersifat bahaya pribadi bagi si pemakai dan dapat pula berupa bahaya sosial terhadap masyarakat atau lingkungan.Yang bersifat pribadi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) sifat, yaitu secara khusus dan umum.Bahaya dan akibat secara Khusus terhadap si pemakai, yakni yang menyangkut langsung terhadap penyalahguna narkotika itu sendiri, secara umum dapat menimbulkan pengaruh dan efek-efek terhadap tubuh si pemakai dengan

  5 gejala-gejala sebagai berikut.

  1. Euphoria; suatu rangsangan kegembiraan yang tidak sesuai dengan kenyataan dan kondisi si pemakai (biasanya efek ini masih dalam penggunaan narkotika dalam dosis yang tidak begitu banyak).

  2. Sellirium; suatu keadaan di mana pemakai narkotika mengalami menurunnya kesadaran dan timbulnya kegelisahan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap gerakan anggota tubuh si pemakai (biasanya pemakaian dosis lebih banyak daripada keadaan euphoria).

3. Halusinasi; adalah suatu keadaan si mana pemakai narkotika mengalami

  “khayalan”, misalnya melihat-mendengar yang tidak ada pada kenyataannya.

  4. Weakness; kelemahan yang dialami fisik atau psychis/kedua-duanya.

  5. Drownsiness; kesadaran merosot seperti orang mabok, kacau ingatan, mengantuk.

  6. Coma; keadaan sipemakai narkotika sampai pada puncak kemerosotan yang akhirnya dapat membawa kamatian. Bahaya dan akibat social terhadap masyarakat antara lain: 1. Kemerosotan moral; 2. Meningkatnya kecelakaan; 3. Meningkatnya kriminalitas;

  6 4.

  Pertumbuhan dan perkembangan generasi terhenti;

  5 Narkoba yang dikonsumsi dengan cara ditelan akan masuk ke dalam lambung dan kemudian masuk ke pembuluh darah. Sedangkan jika di hisap, maka akan masuk ke dalam pembuluh darah melalui hidung dan paru-paru. Jika di suntikkan maka zat yang dikategorikan sebagai narkotika maupun psikotropika dan obat-obatan terlarang/berbahaya lainnya masuk kedalam aliran darah dan darah akan membawanya menuju otak. Zat yang terkandung dalam narkoba akan mengubah perasaan dan cara pikir user seperti mendapatkan suasana hati yang tenang, gembira dan rasa bebas. Stress menjadi hilang dan khayalan seorang user narkoba akan meningkat. Zat yang terkandung dalam narkoba bisa menghasilkan perasaan yang serba bisa/ego dengan mengubah suasana biokimiawi molekul sel otak pada system Limbus (bagian otak yang bertanggung jawab atas kehidupan perasaan, di mana dalam limbus ini terdapat Hipotamalus, yaitu pusat kenikmatan pada otak) yang disebut neuro-trasmiter. Jika merasa cocok dan nikmat maka otak akan mengeluarkan neuro-transmitter yang menyampaikan pesan bahwa zat ini berguna bagi mekanisme pertahanan tubuh, sehingga pemakainya harus diteruskan kembali atau diulangi. Inilah yang bernama kecanduan (addicted/addiction).

  7 Adapun akibat yang ditimbulkan dari kecanduan antara lain: a.

  Rusaknya susunan-susunan syaraf pusat.

  b.

  Rusaknya organ tubuh, seperti hati dan ginjal.

  c.

  Timbulnya penyakit kulit, seperti bintik-bintik merah pada kulit, kudis dan sebagainya.

  d.

  Lemahnya fisik, moral dan daya pikir.

  e.

  Timbul kecenderungan melakukan penyimpangan social dalam masyarakat, seperti berbohong, berkelahi, free seks, dan lain sebagainya. f.

  Timbulnya kegiatan atau aktivitas dis-sosial seperti mencuri, menodong, merampok dan sebagainya untuk mendapatkan uang guna membeli narkotika yang jumblah dosisnya tinggi. Pengaruh langsung dari narkotika, selain merusak moral dan fisik bahkan penyakit yang mematikan pun, HIV atau AIDS sebagian menyebar dari pengguna narkotika. Menurut Dirjen Pemasyarakatan (Lapas) Depkeh HAM, Adi Sujanto sebanyak 19,89 persen penyebaran virus mematikan tersebut berasal dari jarum

  8

  suntik narkotika. Tindak Kejahatan ini bila tidak ditanggulangi secara bersama- sama (pemerintah dan masyarakat), maka semakin banyak korban berjatuhan,

  9 terutama generasi muda.

  Meningkatnya tindak pidana narkotika ini pada umumnya disebabkan dua hal, yaitu :pertama, bagi para pengedar menjanjikan keuntungan yang besar, sedangkan bagi para pemakai menjanjikan ketentraman dan ketenangan hidup, sehingga beban psikis yang dialami dapat dihilangkan. Kedua, janji yang diberikan narkotika itu menyebabkan rasa takut terhadap risiko tertangkap menjadi berkurang, bahkan sebaliknya akan menimbulkan rasa keberanian.

  Keadaan semacam itulah yang menyebabkan terciptanya kemudahan bagi terbentuknya mata rantai peredaran narkotika. Dan hal ini terus berkembang seiring berkembangannya ilmu pengetahuan dan teknologi., bahkan tidak menutup kemungkinan dikota-kota besar di indonesia terdapat mata rantai perdagangan narkotika internasional. Kecuali itu, luas wilayah Republik Indonesia merupakan sarana potensial guna menanam sejenis ganja yang merupakan salah satu bahan

  8 dasar untuk membuat narkotika, sehingga menyebabkan sumber narkotika, baik

  10 yang bersifat alami maupun sintetis tetap tersedia.

  Mengingat bahaya yang dapat memorak-porandakan sendi-sendi kehidupan, seperti moral, agama, sosial, hukum dan lain sebagainya maka ancaman narkoba ini harus menjadi kewaspadaan, kesadaran dan tanggungjawab semua lapisan masyarakat. Sebagai ancaman bersama, maka keberadaan penyalahgunaan

  11 narkoba harus dihadapi, diberantas serta diperangi secara bersama-sama.

  Adapun peran pemerintah adalah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan narkotika. Pembinaan

  12

  dilakukan melalui upaya: a.

  Memenuhi ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; b.

  Mencegah penyalahgunaan narkotika; c. Mencegah generasi muda dan anak usia sekolah dalam penyalahgunaan narkotika, termasuk dengan memasukkan pendidikan yang berkaitan dengan narkotika dalam kurikulum sekolah dasar sampai lanjutan atas; d. Mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan;

  e. Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis bagi pecandu narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap segala kegiatan yang berkaitan dengan narkotika. Pengawasan dimaksud, meliputi: narkotika dan precursor narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; alat-alat potensial yang dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika dan precursor narkotika; evaluasi keamanan, 10 11 Ibid . hal 6. 12 Abdul Rozak dan Wahdi Suyati, Op.Cit., hal 28. khasiat dan mutu produk sebelum diedarkan, produksi, import dan eksport, peredaran, pelabelan, informasi, dan penelitian dan pengembangan ilmu

  13 pengetahuan dan teknologi.

  Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika juga mengatur tentang fungsi pengawasan oleh masyarakat yang diatur dalam bab tersendiri dalam bab IX tentang Peran serta Mayarakat. Dalam relasi sosial dan kultural dalam masyarakat kita tidak lah seperti yang terjadi di negara-negara maju yang mayarakatnya sudah rasional dan tertib hukum. Perbedaan sistem sosial dan kultural antara Negara maju dan Negara berkembang menjadi alasan utama dimana kesadaran sosial dalam control sesama masyarakat yang masih rendah menjadi pertimbangan.

  Inilah dasar dan awal munculnya kriminalisasi terhadap seluruh masyarakat yang tidak melaporkan adanya penggunaan narkotika yang tidak pada proporsinya sebagaimana telah diatur dalam pasal 131 dan pasal 134 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, dimana pasal 131 merupakan sebuah tool of social

  engineering dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat agar melakukan

  kontrol sosial terhadap penggunaan narkotika yang akhirnya di harapkan, masyarakat Indonesia dapat secara aktif melakukan kegiatan pemberantasan

  14 narkotika sesuai dengan apa yang mampu dilakukan.

  Kebijakan tentang peran serta masyarakat, dimana dalam undang-undang Narkotika, masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan 13 Ibid .,hal 258. penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, yakni memiliki kewajiban untuk melaporkan apabila mengetahui adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, serta pemerintah wajib memberikan jaminan keamanan dan perlindungan kepada pelapor.Disamping itu, pemerintah memberikan penghargaan kapada anggota masyarakat atau badan yang telah berjasa dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan panyalahgunaan dan peredaran

  15 gelap narkotika dan/atau pengungkapan tindak pidana narkotika.

  Tetapi sungguh ironisnya mengetahui bahwa sampai saat ini keberadaan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut ternyata masih belum dapat memberantas sindikat penyalahgunaan narkotika. Padahal dengan keberadaan suatu perundang-undangan yang jelas dapat membantu aparat penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana narkotika.

  Dari uraian diatas, penulis hendak meninjau permasalahan ini dari sudut pengimplementasian ketentuan hukum pidana terhadap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana menguasai narkotika. Karena pada saat ini peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana Narkotika sangat besar, sehingga penulis tertarik untuk membahasnya dengan judul:

  “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG DENGAN SENGAJA TIDAK MELAPORKAN ADANYA TINDAK PIDANA MENGUASAI NARKOTIKA” untuk di kaji sesuai Putusan No.

  409/Pid.B/2014/PN.Mdn mengenai pertanggungjawaban orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana menguasai narkotika.

  B. Permasalahan

  Adapun pertanyaan yang dijadikan rumusan masalah yaitu : 1. Bagaimana pengaturan tentang tindak pidana dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana menguasai narkotika dalam Undang-

  Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika? 2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana menguasai narkotika (Studi Putusan

  Pengadilan Negeri Medan No. 409/Pid.B/2014/PN.Mdn)?

  C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1) Tujuan Penulisan

  Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: a.

  Untuk mengetahui tentang Tindak Pidana Narkotika dan bagaimana menanggulanginya.

  b. Untuk mengetahui kewajiban setiap orang dalam menanggulangi tindak pidana dibidang narkotika.

  c.

  Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana oleh orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana pemilikan narkotika.

  2) Manfaat Penulisan

  Disamping tujuan yang akan dicapai sebagaimana dikemukakan diatas, maka penulisan skripsi ini juga bermanfaat untuk: a.

  Manfaat Teoritis

  Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, khususnya mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana menguasai narkotika.Selain itu juga memberikan wawasan dan pengetahuan mengenai sanksi yang diberikan kepada setiap orang yang dimaksudkan dalam pasal 131 UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika tersebut.

  b.

  Manfaat Praktis (1)

  Bagi Penulis : penelitian ini dapat memperluas pengetahuan tentang penerapan ilmu yang didapat selama perkuliahan dilapangan, serta menambah wacana ilmu hukum pidana tentang pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana menguasai narkotika. (2)

  Bagi masyarakat : penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan masyarakat tentang kewajiban mereka dalam membantu aparat penegak hukum dalam menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dengan cara melaporkannya kepada pihak yang berwajib. (3)

  Bagi Aparat Penegak Hukum : Penelitian ini diharapkan dapat membantu para aparat penegak hukum dalam mengkampanyekan bahaya penyalahgunaan narkotika kepada masyarakat.

  D. Keaslian Penulisan

  Setelah di telusuri daftar skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Pidana belum ditemukan adanya kesamaan judul ataupun permasalahan dengan judul dan permasalahan yang aka n diangkat yaitu tentang “Pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana menguasai narkotika”. Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, pemikiran, gagasan dan usaha penulis sendiritanpa adanya penjiplakan dari hasil karya orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu, namun apabila terdapat kesamaan maka penulis siap bertanggungjawab atas keaslian penulisan skripsi ini.

  E. Tinjauan Kepustakaan

  1. Pengertian Tindak Pidana

  Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari

  “strafbaar feit”, di dalam

  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang di maksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Biasanya tindak pidana ini disinonimkan dengan Delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata

  Delictum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tercantum sebagai berikut: “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana.

  ’ Berdasarkan rumusan yang ada maka delik (strafbaar feit) memuat beberapa unsur yakni:

  1. Suatu perbuatan manusia;

2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang; 3.

  Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.

  Keragaman pendapat diantara para sarjana hukum mengenai defenisi strafbaar

  feit telah melahirkan beberapa rumusan atau terjemahan mengenai strafbaar feit

  itu sendiri, yaitu: a.

  Perbuatan pidana Mulyatno menejermahkan istilah strafbaar feit dengan perbuatan Pidana.

  Menurut pendapat beliau istilah

  “perbuatan pidana” menunjuk kepada makna

  adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum dimana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana.Dapat diartikan demik ian karena kata “perbuatan” tidak mungkin berupa kelakuan alam, karena yang dapat berbuat dan hasilnya disebut perbuatan itu adalah

  16 hanya manusia.

  Beliau mendefenisikan Perbuatan Pidana sebagai

  “perbuatan yang dilarang

oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang

berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”

  17 .istilah perbuatan pidana lebih tepat dengan alasan sebagai berikut.

  b.

  Peristiwa Pidana Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Prof. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam perundang- undangan formal Indonesia, istilah “peristiwa pidana” pernah digunakan secara resmi dalam UUD Sementara 1950, yaitu dalam 16 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hal 47. 17

  Pasal 14 ayat (1). Secara substansif, pengertian dari istilah “peristiwa pidana’ lebih menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat di timbulkan baik oleh perbuatan manusia maupun oleh gejala alam.Oleh karena itu, dalam percakapan sehari-hari sering didengar suatu ungkapan bahwakejadian itu merupakan peristiwa alam.

  c.

  Tindak Pidana Istilah Tindak Pidana sebagai terjemahan strafbaar feit adalah diperkenalkan oleh pihak pemerintah cq Departemen Kehakiman. Istilah ini banyak dipergunakan dalam undang-undang tindak pidana Khusus, misalnya Undang- undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Narkotika, dan Undang- undang mengenai Pornografi yang mengatur secara Khusus Tindak Pidana Pornografi.

  Istilah Tindak Pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan gerak gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana. Mengenai kewajiban untuk berbuat tetapi dia tidak berbuat, yang di dalam undang-undang menentukan pada Pasal 164 KUHP, ketentuan dalam pasal ini mengharuskan seseorang untuk melapor kan kepada pihak yang berwajib apabila akan timbul kejahatan, ternyata dia tidak melaporkan,

  18 maka dia dapat dikenai sanksi. d.

  Delik Berasal dari bahasa latindelictum, istilah ini juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dari beberapa literatur, misalnya E. Utrecht, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam bukunya Hukum Pidana I). A. Zainal Abidin dalam buku beliau Hukum Pidana I. Muljatno pernah menggunakan istilah ini, seperti pada judul buku beliau Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan walaupunmenurut beliau lebih tepat dengan perbuatan pidana.

  e. Pelanggaran Pidana Istilah ini dapat dijumpai dalam buku Pokok-pokok Hukum Pidana yang ditulis oleh Mr. M.H. Tirtaamidjaja.

  f.

  Perbuatan yang boleh dihukum Istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam buku beliau Ringkasan tentang

  

Hukum Pidana. Begitu juga Schravendijkdalam bukunya Buku Pelajaran

Tentang Hukum Pidana Indonesia.

  g.

  Perbuatan yang dapat dihukum Istilah ini digunakan oleh pembentuk Undang-undang dalam Undang-undang

  19 No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.

  Setelah melihat berbagai defenisi diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang berifat aktif (melakukan suatu perbuatan yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak

  20 berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).

  Setelah mengetahui defenisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak pidana itu sendiri, maka di dalam tindak pidana tersebut terdapat unsur- unsur tindak pidana, yaitu: 1.

  Unsur Obyektif, yaitu unsur yang terdapat di luar pelaku (dader) yang dapat berupa : a.

  Perbuatan, baik dalam arti berbuat maupun dalam arti tidak berbuat. contoh unsur obyektif yang berupa “perbuatan” yaitu perbuatan-perbuatan yang dilarang dan di ancam oleh peraturan perundang-undangan.

  Perbuatan-perbuatan tersebut dapat disebut antara lain perbuatan- perbuatan yang dirumuskan didalam pasal 242, 263, 362 KUHP. Didalam ketentuan pasal 362 KUHP misalnya, unsur obyektif yang berupa

  “perbuatan” dan sekaligus merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang adalah perbuatan mengambil.

  b.

  Akibat, yang menjadi syarat mutlak dalam tindak pidana materiil. Contoh unsur obyektif yang berupa suatu

  “akibat” adalah akibat-akibat yang

  dilarang dan diancam oleh undang-undang dan sekaligus merupakan syarat mutlak dalam tindak pidana antara lain akibat-akibat sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 351, 338 KUHP. Dalam ketentuan

  pasal 338 KUHP misalnya, unsur obyektif yangberupa

  “akibat” yang dilarang dan diancam dengan undang-undang adalah akibat yang berupa matinya orang.

  c.

  Keadaan atau masalah-masalah tertentu yang dilarang dan diancam oleh undang-undang.

  Contoh unsur obyektif yang berupa

  “keadaan” yang dilarang dan diancam

  oleh undang-undang adalah keadaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 160, 281 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 282 KUHP misalnya, unsur obyektif yang berupa “keadaan” adalah di tempat umum.

  2. Unsur Subyektif, yaitu unsur yang terdapat dalam diri sipelaku (dader) yang berupa: a.

  Hal yang dapat di pertanggungjawabkannya seseorang terhadap perbuatan yang telah dilakukan (kemampuan bertanggung jawab ).

  b.

  Kesalahan atau schuld. Berkaitan dengan masalah kemampuan bertanggung jawab di atas, persoalannya adalah kapan seseorang dapat dikatakan mampu bertanggung jawab? Seseorang dapat dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dalam diri orang itu memenuhi tiga syarat, yaitu : 1.

  Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat mengerti akan nilai perbuatannya dank arena juga mengerti akan nilai dari akibat perbuatannya itu.

  2. keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan kehendak terhadap perbuatan yang ia lakukan.

3. Orang itu harus sadar perbuatan mana yang dilarang dan perbuatan

  21 mana yang tidak dilarang oleh undang-undang.

2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

  Asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sir

  rea ).Asas ini tidak tersebut dalam hukum tertulis tapi hukum yang tidak tertulis

  yang juga di Indonesia berlaku.Pertanggujawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar, dinamakan leer van het materiele feit (feit materielle).

  Dahulu dijalankan atas pelanggaran tapi sejak adanya arrest susu dari H. R. 1961

22 Nederland, hal itu ditiadakan.

  Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, suatu syarat yang diperlukan adalah si pembuat harus mampu bertanggungjawab, dengan lain perkataan harus ada kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat. Mengenai apa yang dimaksud dengan kemampuan bertanggungjawab (teorekeningsvatbaarheid) ini

  23 KUHP tidak merumuskannya. Hanya saja Pasal 44 (1) KUHP merumuskan

  tentang keadaan mengenai kapan seseorang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak dipidana,artinya merumuskan perihal kebalikan (secara negatif) dari

  24 kemampuan bertanggung jawab.

21 Tongat, Hukum Pidana Materiil, Universitas Muhammadiyah, Malang Press, Malang, 2003, hal 4.

  22 23 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal 153. 24 I Made Wadnyana, Asas-asas Hukum Pidana, Fikahati Aneska, Jakarta, 2010, hal 58. Ketentuan pasal ini sebenarnya tidak memuat apa yang di maksud dengan “tidak mampu bertanggungjawab”, tetapi hanya memuat suatu alasan yang terdapat pada diri si pembuat, sehingga perbuatan yang dilakukannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Alasan itu berupa keadaan pribadi si pembuat yang bersifat biologis, yaitu “jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena penyakit”. Dalam keadaan yang demikian itu, si pembuat tidak punya kebebasan kehendak dan tidak dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya. Jadi, keadaan tersebut dapat menjadi alasan tidak dipertanggungjawabkannya si pembuat atas perbuatannya. Dapat dikatakan, pasal ini memuat syarat-syarat kemampuan bertanggungjawab seseorang secara

  25 negatif.

  Untuk memberikan gambaran tentang apa yang dimaksud dengan pertanggungjawaban (kesalahan dalam ari yang seluas-luasnya), berikut ini di sampaikan pengertian tentang “kasalahan” dari berbagai pandangan/doktrin dalam

  26

  hukum pidana: a.

  Pompe Pompe, mengatakan kesalahan mempunyai ciri sebagai hal yang dapat dicela, dan pada hakikatnya tidak mencegah kelakuan yang melawan hukum.Kemudian dijelaskan oleh Pompe, bahwa hakikatnya tidak mencegah kelakuan yang melawan hukum di dalam perumusan hukum positif, disitulah berarti mempunyai kesengajaan dan kealpaan, yang mengerah kepada sifat melawan hukum dalam kemampuan bertanggung jawab.

  25 26 I Made Wadnyana, Op. Cit. hal 59.

  b.

  Van Hamel Van Hamel,

  27

  mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah suatu keadaan normal dan kematangan psikis yang membawa tiga macam kemampuan untuk:

1. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri, 2.

  3. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatannya itu.

  c.

  Simons Simons

  28

  mengatakan, kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psikis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orang.

  Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan,

  Satochid Kartanegara Satochid Kartanegara

  29

  menyatakan bahwa taerekeningsvatbaarheid atau dapat dipertanggungjawabkan adalah mengenai keadaan jiwa seseorang, sedangkan toerekenbaarheid (pertanggungjawaban) adalah mengenai perbuatan yang dihubungkan dengan si pelaku atau pembuat. Selanjutnya Satochid Kartanegara, mengatakan seseorang dapat dipertanggungjawabkan, jika :

  1. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat mengerti atau tahu akan nilai dari perbuatannya itu, juga akan mengerti akan akibatnya.

  2. Keadaan Jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan kehendaknya atas perbuatan yang dilakukan.

  3. Orang itu harus sadar, insyaf, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang terlarang atau tidak dibenarkan dari sudut hukum, masyarakat maupun tata susila.

  e.

  Vos Vos menyatakan bahwa isi kesalahan ialah : 1.

  Kemampuan bertanggung jawab orang yang melakukan perbuatan, 2. Hubungan batin tertentu orang itu dengan perbuatan yang dilakukan yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan. 27 I Made Wadnyana, Op. Cit. hal 58. 28 I Made Wadnyana, Ibid.

  d.

3. Tidak adanya alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban terhadap perbuatan pada pembuat.

  f.

E. Mezger

  E. Mezger menentukan tiga macam dalam pengertian kesalahan, yakni: 1.

  Kemampuan bertanggungjawab.

  2. Bentuk kesalahan berwujud kesengajaan dan kealpaan.

  3. Alasan-alasan penghapusan kesalahan.

  g.

  Roeslan saleh Roeslan saleh mengatakan bahwa untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, pada terdakwa haruslah :

  1. Melakukan perbuatan pidana 2.

  Mampu bertanggung jawab.

  3. Dengan sengaja atau alpa.

  4. Tidak ada alasan pemaaf.

  Selanjutnya Roeslan Saleh mengatakan bahwa dalam hal kemampuan bertanggung jawab ada dua faktor, yaitu : akal dan kehendak. Dengan akal atau daya pikir, orang dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan.Dan dengan kehendak atau dengan kemauan, atau keinginan orang dapat menyesuaikan tingkah laku mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan.

  30 Untuk menjelaskan hal kapankah terdapatnya kemampuan bertanggung

  31

  jawab pidana, dapat dengan dua cara, yaitu sebagai berikut: 1)

  Dengan berdasarkan dan atau mengikuti dari rumusan pasal 44 (1) tadi. Dari

  pasal 44 (1) KUHP itu sendiri, yang sifatnya berlaku umum, artinya berlaku terhadap semua bentuk dan wujud perbuatan. Pasal 44 (1) menentukan dua keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggungjawab. Dengan berpikir sebaliknya, orang yang mampu bertanggungjawab atas perbuatannya (berwujud tindak pidana) apabila tidak terdapat dua keadaan jiwa sebagaimana yang dinyatakan oleh pasal 44 (1), artinya bila jiwanya tidak cacat dalam pertumbuhanya, atau jiwanya tidak terganggu karena penyakit, demikian itulah orang mampu bertanggung jawab.

  2) Dengan tidak menghubungkan dengan norma Pasal 44 (1), dengan mengikuti pendapat Satochid Kartanegara, orang yang mampu bertanggungjawab itu ada tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu : a. keadaan jiwa seseorang yang sedemikian rupa (norma) sehingga ia bebas atau mempunyai kemampuan dalam menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia (akan) lakukan; b. keadaan jiwa orang itu yang sedemikian rupa, sehingga ia mempunyai kemampuan untuk dapat mengerti terhadap nilai perbuatannya beserta akibatnya; c. keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia mampu untuk menyadari, menginsyafi bahwa perbuatan yang (akan) dilakukannya itu adalah suatu kelakuan yang tercela, kelakuan yang tidak dibenarkan oleh hokum, atau oleh masyarakat maupun tata susila.

3. Pengertian Narkotika

  Secara Umum, yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya, yaitu dengan cara memasukan ke dalam tubuh.

  Istilah narkotika yang digunakan disini bukanlah “narcotics” pada

  farmacologie (farmasi), melainkan sama artinya dengan “drug” yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu: a.

  Mempengaruhi kesadaran; b. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia; c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa: 1.

  Penenang; 2. Perangsang (bukan ransangan sex); 3. Menimbulkan halusinasi (pemakai tidak mampu membedakan antara

  32 khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat).

  Sesuai dengan pengertian pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Narkotika yang di maksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

  33 menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkanketergantungan.

  Pada mulanya zat narkotika ditemukan orang yang penggunanya ditujukan untuk kepentingan umat manusia, khususnya di bidang pengobatan.Dengan berkembang pesat industry obat-obatan dewasa ini, maka kategori jenis zat-zat narkotika semakin meluas pula seperti halnya yang tertera dalam lampiran Undang-undang Narkotika No. 35 Tahun 2009. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, maka obat-obatan semacam narkotika berkembang pula cara pengelolaannya. Namun belakangan di ketahui bahwa zat- 32 Taufik Makarao, Dkk, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hal 16. 33 zat narkotika tersebut memiliki daya kecanduan yang bisa menimbulkan si pemakai bergantung hidupnya terus menerus pada obat-obat narkotika itu.Dengan demikian, maka untuk jangka waktu yang mungkin agak panjang si pemakai memerlukan pengobatan, pengawasan, dan pengendalian guna bisa di sembuhkan.

  Smith Kline dan Frech Clinical Staff mengemukakan defenisi tentang narkotika yaitu:

  Narcotic are drugs which produch insensibility or stuporduce to their depressant offer on the central nerveous system, included in this definition are opium-opium derivativis (morphine, codein, methadone).

  Artinya lebih kurang ialah, Narkotika adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral.Dalam defenisi narkotika ini sudah termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine, cocein, methadone).

  Sedangkan menurut Verdoovende Middelen Ordonantie Staatblad 1927 No. 287 jo. No. 536 yang telah diubah, yang dikenal sebagai undang-undang obat bius, narkotika adalah “bahan-bahan yang terutama mempunyai efek kerja pembiusan, atau yang dapat menurunkan kesadaran. Di samping menurunkan kesadaran juga manimbulkan gejala-gejala fisik dan mental lainnya apabila dipakai secara terus-menerus dan liar dengan akibat antara lain terjadi ketergantungan pada bahan- bahan tersebut”.

  Dalam undang-undang bius tersebut, yang dikategorikan sebagai narkotika tidak hanya obat bius saja melainkan disebut juga candu, ganja, kokain, morphin, heroin, dan zat-zat lainnya yang membawa pengaruh atau akibat pada tubuh.Zat- zat tersebut berpengaruh karena bergerak pada hampir seluruh system tubuh, terutama pada syaraf otak dan sumsum tulang belakang. Selain itu karena mengkonsumsi narkotika akan menyebabkan lemahnya daya tahan serta hilangnya kesadaran.

  Zat-zat narkotika yang semula ditujukan untuk kepantingan pengobatan, namun dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya perkembangan teknologi obat-obatan maka Janis-janis narkotika dapat diolah sedemikian banyak seperti yang terdapat pada saat ini, serta dapat pula disalahgunakan fungsinya yang bukan lagi untuk kepantingan dibidang pengobatan, bahkan sudah mengancam kelangsungan eksistensi generasi suatu

  34 bangsa.

  Adapun penggolongan narkotika adalah sebagai berikut : a. Narkotika Golongan I

  Yang dimaksud dengan narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

  b.

  Narkotika Golongan II Yang dimaksud dengan narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan yang digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. c.

  Narkotika Golongan III Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan

  35 ketergantungan.

F. Metode Penelitian

  Penelitian marupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa

  36 dan kostruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten.

  1. Jenis Penelitian Berdasarkan pada perumusan masalah dan tujuan dari penelitian ini, maka penelitian lebih cenderung merupakan penelitian yuridis normatif.Yaitu pendekatan dilakukan dengan mempergunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.Dimana penelitian hukum Normatif yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, sejarah

  37 hukum dan perbandingan hukum.

  Penelitian Yuridis Normatif merupakan hanya penilitian bahan pustaka atau data sekunder.Pada penelitian yuridis normative, tidak diperlukan penyusunan

  38 atau perumusan hipotesa.

  35 36 Gatot Supramono, Op. Cit., hal 160-167. 37 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal 42.

  2. Sumber Data dan Bahan Hukum Data yang digunakan di dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder.

  Data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau terhadap berbagai literature atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah penelitian yang sering disebut dengan bahan hukum sekunder, bahan hukum sekunder dapat dikelompokan kedalam beberapa bagian yaitu: a.

  Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari norma, peraturan dasar peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan traktat.

  b. Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan perundang-undangan, hasil-hasil penelitian, dan hasil karya dari kalangan hukum.

  c.

  Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah

  39 kamus, ensiklopedi, dan indeks kumulatif.

  3. Teknik Pengumpulan Data atau Bahan Hukum Dalam Penelitian Yuridis Normatif atau kepustakaan, Teknik pengumpulan data dalam penelitian yuridis normative dilakukan dengan studi pustaka terhadap buhan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier ayau bahan non-hukum.Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun sekarang banyak dilakukan penelusuran hukum tersebut dengan melalui media internet.

  4. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif, yang artinya penelitian ini dilakukan dengan menggunakan nalar si peneliti, dimana di dalam menganalisis masalah hukum , analisis kualitatif lebih focus kepada analisis hukumnya.

  Analisis data dilakukan dengan cara mengkaji atau menelaah hasil yang diperoleh dari pengolahan data, yang dilakukan dengan memberikan kritikan, dukungan, penolakan, ataupun komentar terhadap data atau bahan hukum yang telah disusun secara sistematis.

G. Sistematika Penulisan

  Agar pembahasan ini dapat tersaji secara teratur dan tersusun secara sistematis, pembahasan ini akan di sajikan dalam empat bab, yaitu sebagai berikut:

  Bab I :Berisi pendahuluan, yang di dalamnya menguraikan tentang latar belakang masalah dan pokok masalah yang menjadi kajian dalam skripsi ini, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritik yang di pakai sebagai acuan dasar ketika melakukan analisis terhadap data-data yang dikumpulkan, dan metode penelitian yang berfungsi sebagai kendali untuk meluruskan alur penelitian sampai pada titik akhir pembahasan.

  Bab II : Menguraikan tentang Aturan Tentang Narkotika dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narrkotika, meliputi Pengertian Narkotika, Jenis dan Penggolongan Narkotika dan Tindak Pidana Narkotika. Bab III : Membahas tentang Pertanggungjawaban pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana pemilikan narkotika dilihat dari perspektif hukum pidana positif. Dalam bab ini dijelaskan tentang pemberian sanksi terhadap orang yang terbukti tidak melaporkan adanya tindak pidana pemilikan narkotika.

  Bab IV :Bab terakhir ini berisi kesimpulan dari hal-hal yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya. Kemudian dilanjutkan dengan saran-saran.

Dokumen yang terkait

II. TINJAUAN PUSTAKA - Pemberian Terabuster Dan Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Pembibitan Jabon (Anthocephalus Cadamba)

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker Ovarium - Perbedaan Dan Hubungan Ekspresi VEGF Antara Tumor Ovarium Ganas Dan Jinak

0 0 30

BAB II Pengaturan Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan A. Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana - Analisis Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Yang Dilakukan Oleh Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam Perspektif

0 1 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Yang Dilakukan Oleh Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Kasus Putusan No.21/Pid.Sus-Anak/2014/PN.MDN)

0 0 29

Analisis Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Yang Dilakukan Oleh Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Kasus Putusan No.21/Pid.Sus-Anak/2014/PN.MDN)

0 3 9

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK PERLINDUNGAN KONSUMEN PENGGUNA JASA PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN - Perlindungan Hak Konsumen atas Pengguna Jasa Pene

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN - Perlindungan Hak Konsumen atas Pengguna Jasa Penerbangan Dalam Hal Kenaikan Harga Tiket yang Tinggi Ketika Musim Libur dan Keselamatan Penerbangan (Studi Pada PT. Garuda Indonesia Kantor Cabang Medan)

0 0 11

BAB II PENGATURAN PERSAINGAN USAHA A. Pengertian Persaingan Usaha - Persaingan Sesama Merek (Intrabrand) dikaitkan Dengan Pembatasan Perdagangan Secara Vertikal

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Persaingan Sesama Merek (Intrabrand) dikaitkan Dengan Pembatasan Perdagangan Secara Vertikal

0 0 17

BAB II PENGATURAN TENTANG PERBUATAN ORANG YANG DENGAN SENGAJA TIDAK MELAPORKAN ADANYA TINDAK PIDANA MENGUASAI NARKOTIKA DALAM UNDANG-UNDANG NARKOTIKA A. Narkotika - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang yang Dengan Sengaja Tidak Melaporkan Adanya Tinda

0 0 25