BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Air - Hubungan Diare dengan Pencemaran Air Bersih oleh Parasit dan Tingkat Pengetahuan Penggunaan Air Bersih oleh Penduduk di Kampung Susuk, Kecamatan Medan Selayang

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Air
Air adalah zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara, ¾ bagian
tubuh kita terdiri dari air dan tidak seorang pun dapat bertahan hidup lebih dari 4-5
hari tanpa minum air (Chandra, 2007). Air terdapat dalam berbagai bentuk misalnya,
uap air, es, cairan, dan salju (Effendi, 2003).

2.2. Sumber Air
Air yang berada di permukaan bumi ini dapat berasal dari berbagai sumber.
Berdasarkan letak sumbernya, air dapat dibagi menjadi air angkasa (hujan), air
permukaan, dan air tanah (Chandra, 2007).

2.2.1. Air Angkasa (Hujan)
Air angkasa atau air hujan merupakan sumber utama air di bumi. Walaupun pada
saat presipitasi merupakan air yang paling bersih, air tersebut cenderung mengalami
pencemaran ketika berada di atmosfer. Pencemaran yang berlangsung di atmosfer itu
dapat disebabkan oleh partikel debu, mikroorganisme, dan gas, misalnya karbon
dioksida, nitrogen, dan ammonia (Chandra, 2007).
a) Gas CO2 + air hujan = asam karbonat

b) Gas S2O3 + air hujan = asam sulfat
c) Gas N2O3 + air hujan = asam nitrit
Dengan demikian air hujan yang sampai di permukaan bumi sudah tidak murni
dan reaksi di atas dapat mengakibatkan keasamaan pada air hujan sehingga akan
terbentuk (acid rain) hujan asam (Chandra, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.2.2. Air Permukaan
Air permukaan merupakan salah satu sumber penting bahan baku air bersih.
Faktor –faktor yang harus diperhatikan, antara lain (Chandra, 2007):
a) Mutu atau kualitas baku
b) Jumlah atau kuantitasnya
c) Kontinuitasnya
Dibandingkan dengan sumber air lain, air permukaan merupakan sumber air yang
paling tercemar akibat kegiatan manusia, fauna, flora, dan zat-zat lain (Chandra,
2007).
Sumber-sumber air permukaan, antara lain, sungai, selokan, rawa, parit,
bendungan, danau, laut dan air terjun. Air terjun dapat dipakai untuk sumber air di
kota-kota besar kerana air tersebut sebelumnya sudah dibendung oleh alam dan jatuh

secara gravitasi. Air ini tidak tercemar sehingga tidak membutuhkan purifikasi
bakterial (Chandra, 2007) .
Sumber air permukaan yang berasal dari sungai, selokan dan parit mempunyai
persamaan, yaitu airnya mengalir dan dapat menghanyutkan bahan yang tercemar.
Sumber air yang permukaan yang berasal dari rawa, bendungan, dan danau memiliki
air yang tidak mengalir, tersimpan dalam waktu yang lama, dan mengandung sisa-sisa
pembusukan alam, misalnya, pembusukan tumbuh-tumbuhan, ganggang, fungi dan
lain-lain. Air permukaan yang berasal dari air laut mengandung kadar garam yang
tinggi sehingga, jika akan digunakan untuk air minum, air tersebut harus menjalani
ion-exchange (Chandra, 2007).

2.2.3. Air Tanah
Air tanah (ground water) merupakan sebagian air hujan yang mencapai
permukaaan bumi dan menyerap ke dalam lapisan tanah dan menjadi air tanah.
Sebelum mencapai lapisan tempat air tanah, air hujan menembus beberapa lapisan
tanah dan

menyebabkan terjadinya kesadahan pada air (hardness of water).

Universitas Sumatera Utara


Kesadahan pada air ini menyebabkan air mengandung zat-zat mineral dalam
konsentrasi. Zat-zat mineral tersebut antara lain kalsium, magnesium, dan logam berat
seperti Fe dan Mn (Chandra, 2007).
Air tanah digolongkan menjadi tiga yaitu air tanah dangkal, air tanah dalam, dan
mata air. Golongan tersebut berkaitan dengan kualitas, kuantitas, dan mineral yang
terkandung di air tanah (Alamsyah, 2007).
a) Air Tanah Dangkal
Air tanah dangkal terdapat pada kedalaman kurang lebih 15 meter di bawah
permukaan tanah. Jumlah air yang terkandung pada kedalaman ini cukup terbatas.
Pengunaan air tanah dangkal berupa sumur berdinding semen maupun sumur bor
(Alamsyah, 2007).
b) Air Tanah Dalam
Air tanah dalam terdapat kedalaman 100-300 meter dibawah permukaan tanah.
Kuantitas air tanah dalam cukup besar dan tidak terlalu dipengaruhi oleh musim,
sehingga air tanah dalam dapt digunakan untuk kepentingan industri dan dapat
digunakan dalam jangka waktu yang cukup lama (Alamsyah, 2007).
c) Mata Air
Mata air adalah air tanah yang keluar langsung dari permukaan tanah. Mata air
biasanya terdapat pada lereng gunung, dapat berupa rembesan (mata air rembesan) dan

ada juga yang keluar di daerah dataran rendah (mata air ‘umbul’). Kuantitas air yang
dihasilkan oleh mata air cukup banyak dan tidak dipengaruhi oleh musim sehingga
dapat digunakan untuk kepentingan umum dalam jangka waktu yang lama (Alamsyah,
2007).

Universitas Sumatera Utara

2.2.4. Air Sumur
Secara teknis sumur dapat dibagi menjadi dua jenis (Chandra, 2007):
a) Sumur dangkal (Shallow Well)
Sumur semacam ini memiliki sumber air yang berasal dari resapan air hujan di
atas permukaan bumi terutama di daerah dataran rendah. Jenis sumur ini banyak
terdapat di Indonesia dan mudah sekali terkontaminasi air kotor yang berasal dari
kegiatan mandi-cuci-kakus (MCK) sehingga persyaratan sanitasi yang ada perlu sekali
diperhatikan (Chandra, 2007).
b) Sumur dalam (Deep Well)
Sumur ini memiliki sumber air yang berasal dari proses purifikasi alami air hujan
oleh lapisan kulit bumi yang menjadi air tanah. Sumber airnya tidak terkontaminasi
dan memenuhi persyaratan sanitasi (Chandra, 2007).


2.3. Golongan Air Berdasarkan Peruntukannya
Menurut Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun (1990) tentang pengendalian
pencemaran air Pasal 7 ayat 1 berdasarkan peruntukannya air dibagi ke dalam empat
golongan yaitu :
a) Golongan A
Air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa pengolahan
terlebih dahulu.
b) Golongan B
Air yang dapat digunakan sebagai air baku air minum.
c) Golongan C
Air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan.
d) Golongan D
Air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian dan dapat dimanfaatkan
untuk usaha perkotaan, industri, pembangkit listrik tenaga air.

Universitas Sumatera Utara

2.4. Standar Kualitas Air
Standar kualitas air yang digunakan masyarakat harus memenuhi syarat kesehatan
agar terhindar dari gangguan kesehatan. Syarat kesehatannya meliputi persyaratan

Mikrobiologi, Fisika, Kimia, dan Radioaktif. Pengawasan kualitas air bertujuan untuk
mencegah penurunan kualitas dan penggunaan air yang dapat mengganggu dan
membahayakan kesehatan, serta meningkatkan kualitas air (Peraturan Menteri
Kesehatan No. 416 Tahun 1990).
2.4.1. Parameter Air Bersih
Parameter air bersih yang ada di dalam Permenkes No. 416/Menkes/Per/IX/1990
tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air dapat dilihat pada tabel berikut :

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. Daftar Persyaratan Kualitas Air Bersih

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

2.5. Peranan Air Sebagai Penyebab Penyakit
Penyakit yang menyerang manusia dapat ditularkan dan menyebar secara
langsung maupun tidak langsung melalui air. Penyakit yang ditularkan melalui air
disebut sebagai waterborne disease atau water-related disease. Terjadinya suatu

penyakit tertentu memerlukan adanya agen dan terkadang vektor. (Chandra, 2007).
Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan air dapat dibagi dalam kelompokkelompok berdasarkan cara penularannya. Mekanisme penularan penyakit sendiri
terbagi menjadi empat, yaitu (Chandra, 2007):
a. Waterborne mechanism
b. Waterwashed mechanism
c. Water-based mechanism
d. Water –related insect vector mechanism

2.6. Parasit Penyebab Pencemaran Air
2.6.1 Giardia intestinalis
a) Morfologi dan Daur Hidup
Giardia intestinalis pertama kali dilihat oleh Van Leeuwenhoek pada tahun 1681.
Flagelata ini pertama kali dikenal dan dibahas oleh Lambl (1859), yang memberikan
nama “intestinalis”. Kemudian Stiles (1915) memberikan nama baru, Giardia lamblia.
Parasit ini mempunyai 2 stadium yaitu (Sutanto, 2008):

i) Stadium trofozoit: Ukuran 12-15 mikron, berbentuk simetris bilateral seperti
buah jambu monyet yang bagian anteriornya membulat dan bagian posteriornya
meruncing. Permukaan dorsal cembung (konveks) dan pipih di sebelah ventral dan
terdapat batil isap berbentuk seperti cakram yang cekung dan menempati setengah

bagian anterior badan parasit. Ia mempunyai sepasang inti yang letaknya di bagian
anterior, bentuknya oval dengan kariosom di tengah atau butir-butir kromatin tersebar
di plasma inti. Trofozoit ini mempunyai 4 pasang flagel yang berasal dari 4 pasang

Universitas Sumatera Utara

blefaroplas. Terdapat 2 pasang yang lengkung dianggap sebagai benda parabasal,
letaknya melintang di posterior dari batil isap.
ii) Stadium kista: Berbentuk oval berukuran 8-12 mikron, mempunyai dinding
yang tipis dan kuat. Sitoplasmanya berbutir halus dan letaknya jelas terpisah dari
dinding kista. Kista yang baru terbentuk mempunyai 2 inti, yang matang mempunyai 4
inti, letaknya pada satu kutub.

G.lamblia hidup di rongga usus kecil, yaitu duodenum dan bagian proksimal
yeyenum dan kadang-kadang di saluran dan kandung empedu. Bila kista matang
tertelan oleh hospes, maka akan terjadi ekskistasi di duodenum, kemudian sitoplasma
membelah dan flagel tumbuh dari aksonema sehingga terbentuk 2 trofozoit. Dengan
pergerakan flagel yang cepat trofozoit yang berada di antara villi usus bergerak dari
satu tempat ke tempat lain. Bila berada pada villi, trofozoit dengan batil isap akan
melekatkan diri pada epitel usus.

Trofozoit kemudian berkembang biak dengan cara belah pasang longitudinal. Bila
jumlahnya banyak sekali maka trofozoit yang melekat pada mukosa dapat menutupi
permukaan mukosa usus. Trofozoit yang tidak melekat pada mukosa usus, akan
mengikuti pergerakan peristaltik menuju ke usus bagian distal yaitu usus besar.
Ekskistasi terjadi dalam perjalanan ke kolon, bila tinja mulai menjadi padat, sehingga
stadium kista dapat ditemukan dalam tinja yang padat. Cara infeksi dengan menelan
kista matang yang dapat terjadi secara tidak langsung melalui air dan makanan yang
terkontaminasi, atau secara langsung melalui fecal-oral (Sutanto, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1. : Daur Hidup Giardia intestinalis

b) Gejala Klinis dan Diagnosis
Gejala klinis yang disebabkan oleh giardiasis sangat bervariasi dan dapat berbeda
di antara penderitanya. Hal ini tergantung berbagai faktor seperti jumlah kista yang
tertelan, lamanya infeksi, faktor hospes dan parasitnya sendiri.
Gejala akut dimulai dengan rasa tidak enak di perut diikuti dengan mual dan tidak
napsu makan. Dapat juga disertai dengan demam ringan. Kemudia akan diikuti dengan
diare cair yang berbau busuk, perut terasa kembung karena ada gas di dalamnya dan


Universitas Sumatera Utara

dapat juga terjadi kram perut. Pada tinja biasanya jarang ditemukan lendir dan darah.
Gejala akut biasanya berlangsung selama 3-4 hari dan dapat sembuh secara spontan.
Sebaliknya dapat juga menjadi fase subakut dan kronik yang berupa diare yang hilang
timbul selama 2 tahun atau lebih. Pada fase kronis penderita merasa lemah, sakit
kepala dan sakit otot yang disertai dengan penurunan berat badan dan malabsorpsi.
Pemeriksaan tinja merupakan pemeriksaan pendahuluan sebelum pemeriksaan
lain dilakukan. Pada infeksi ringan dapat dilakukan pemeriksaan cairan yang berasal
dari duodeno-jejunal junction untuk mencari trofozoit. Bila G.lamblia tidak dapat
ditemukan dengan kedua cara tersebut, maka dapat dilakukan biopsi usus halus di
daerah

duodeno-jejunal junction. Parasit biasanya ditemukan pada perbatasan

mikrovilli, terutama didalam crypty. Deteksi antigen G.lamblia dalam tinja dapat
dilakukan baik pada tinja segar maupun tinja dengan pengawet formalin (Sutanto,
2008).
c) Pencegahan

Pencegahan infeksi parasit ini terutama dengan memperhatikan hygiene
perorangan, keluarga, dan kelompok dengan menghindari air minum yang
terkontaminasi. Sanitasi air minum untuk mencegah terjadinya epidemi giardiasis
dilakukan dengan metode coagulation-sedimentation-filtration. Klorinasi air minum
untuk mengeliminasi kista memerlukan konsentrasi yang lebih tinggi dan kontak yang
lebih lama pada biasanya. Proteksi individu dapat dilakukan dengan merebus air
sampai mendidih minimal 1 menit. Bila air tidak dapat direbus, dapat diberikan 2-4
tetes kaporit untuk setiap liter air dan tunggu selama 60 menit sebelum diminum. Bila
airnya dingin dibutuhkan waktu semalam untuk membunuh kista G.intestinalis.
Memanaskan makanan atau makanan yang matang dapat mencegah infeksi kista
G.intestinalis ( Sutanto, 2008).

Universitas Sumatera Utara

2.6.2. Entamoeba histolytica
a) Morfologi dan Daur Hidup
Amebiasis sebagai penyakit disentri yang dapat menyebabkan kematian dikenal
sejak 450 tahun sebelum masehi oleh Hippocrates. Parasitnya, yaitu Entamoeba
histolytica pertama kali ditemukan oleh Losh (1875) dari tinja disentri seorang
penderita di Leningrad, Rusia (Sutanto, 2008).
Dalam daur hidupnya, E.histolytica mempunyai 2 stadium, yaitu: trofozoit dan
kista. Bila kista matang tertelan, kista tersebut tiba di lambung masih dalam keadaan
utuh karena dinding kista tahan terhadap asam lambung. Di rongga terminal usus
halus, dinding kista dicernakan, terjadi enskistasi dan keluarlah stadium trofozoit yang
masuk ke rongga usus besar. Dari sebuah kista mengandung 4 buah inti, akan
terbentuk 8 buah trofozoit.
Stadium trofozoit berukuran 10-60 mikron, mempunyai inti entamoeba yang
terdapat di endoplasma. Ektoplasma bening homogen terdapat di bagian tepi sel, dapat
dilihat dengan nyata. Pseudopodium yang dibentuk dari ektoplasma, besar dan lebar
seperti daun, dibentuk dengan mendadak, pergerakannya cepat dan menuju suatu arah
(linier).Endoplasma berbutir halus, biasanya mengandung bakteri atau sisa makanan.
Stadium trofozoit dapat bersifat patogen dan menginvasi jaringan usus besar. Dengan
aliran darah, menyebar ke jaringan hati, paru, otak, kulit, dan vagina. Stadium
trofozoit berkembang biak secara belah pasang. Stadium kista dibentuk dari stadium
trofozoit yang berada di rongga usus besar. Di dalam rongga usus besar, stadium
trofozoit dapat berubah menjadi stadium precyst yang berinti satu (enkistasi),
kemudian membelah menjadi berinti dua, dan akhirnya berinti 4 yang dikeluarkan
bersama tinja. Ukuran kista 10-20 mikron, berbentuk bulat atau lonjong, mempunyai
dinding kista dan terdapat inti entamoeba. Di endoplasma terdapat benda kromatoid
yang besar, menyerupai lisong dan terdapat vakuol glikogen. Benda kromatoid dan
vakuol glikogen dianggap sebagai makanan cadangan, karena itu terdapat pada kista
muda. Pada kista matang, benda kromatoid dan vakuol glikogen biasanya tidak ada

Universitas Sumatera Utara

lagi. Stadum kista tidak patogen, tetapi merupakan stadium yang infektif. Dengan
adanya dinding kista, stadium kista dapat bertahan terhadap pengaruh buruk di luar
badan manusia. Infeksi terjadi dengan menelan kista matang (Sutanto, 2008).

Gambar 2.2. : Daur Hidup Entamoeba histolytica
b) Gejala Klinis dan Diagnosis
Bentuk klinis yang dikenal adalah amebiasis intestinal dan amebiasis ekstraintestinal. Amebiasis intestinal terbagi menjadi dua yaitu amebiasis kolon akut dan
amebiasis kolon menahun. Gejala klinis yang biasa ditemukan pada amebiasis kolon
akut adalah nyeri perut dan diare yang berupa tinja cair, tinja berlendir, atau tinja
berdarah. Frekuensi diare dapat mencapai 10 x perhari. Demam dapat ditemukan pada
sepertiga penderita. Pasien terkadang tidak napsu makan sehingga berat badanya

Universitas Sumatera Utara

menurun. Pada amebiasis kolon menahun gejala tidak begitu jelas. Biasanya terdapat
gejala usus yang ringan, antara lain rasa tidak enak di perut, diare yang diselingi
obstipasi(sembelit). Amebiasis ekstra-intestinal terdiri dari gejala abses hati yang
paling sering ditemukan. Sebahagian besar penderita memperlihatkan gejala dalam
waktu yang relatif singkat (2-4 minggu). Penderita juga memperlihatkan demam,
batuk dan nyeri perut kuadran kanan atas. Bila permukaan diafragma hati terinfeksi,
maka pada penderita dapat terjadi nyeri pleura kanan atau nyeri yang menular sampai
bahu kanan. Pada 10% - 35% penderita dapat ditemukan gangguan gastrointestinal
berupa mual, muntah, kejang otot perut, perut kembung, diare dan konstipasi.
Pemeriksaan mikroskopis tidak dapat membedakan E.histolytica dengan E.dispar.
Pemeriksaan mikroskopis sebaiknya dilakukan paling sedikit 3 kali dalam waktu 1
minggu. Pemeriksaan antibodi akan sangat membantu menegakkan diagnosis pada
kelompok yang tidak tinggal di daerah endemis. Biasanya yang merupakan uji standar
adalah IHA, sedangkan ELISA merupakan alternatif karena lebih cepat, sederhana dan
juga lebih sensitif. Deteksi antigen juga dapat dilakukan. Antigen ameba yaitu
Gal/Gal-Naclectin dapat dideteksi dalam tinja, serum, cairan abses dan air liur
penderita. Hal ini dapat dilakukan terutama mengunakkan teknik ELISA, sedangkan
dengan teknik CIEP ternyata sensitivitasnya lebih rendah. Metode PCR mempunyai
sensitivitas dan spesifitas yang sebanding dengan deteksi antigen pada yinja penderita
amebiasis intestinal. Untuk penelitian polimorfisme E.histolytica teknik PCR
merupakan metode ungulan. Sampai saat ini diagnosis amebiasis yang invasif
biasanya ditetapkan dengan kombinasi pemeriksaan mikroskopis tinja dan uji
serologis. Bila ada indikasi, dapat dilakukan kolonoskopi

dan biopsi pada lesi

intestinal atau pada cairan abses. Parasit biasanya ditemukan pada dasar dinding abses
(Sutanto, 2008).

Universitas Sumatera Utara

c) Pencegahan
Pencegahan ameobiasis terutama ditujukan pada kebersihan perorangan dan
kebersihan lingkungan. Kebersihan perorangan antara lain mencuci tangan dengan
bersih sesudah buang air besar dan sebelum makan. Kebersihan lingkungan meliputi:
masak air minum sampai mendidih sebelum diminum, mencuci sayuran sampai bersih
atau memasaknya sebelum dimakan, buang air besar di jamban, tidak menggunakan
tinja manusia untuk pupuk, menutup dengan baik makanan yang dihidangkan untuk
menghindari kontaminasi oleh lalat dan lipas, membuang sampah di tempat sampah
yang tertutup untuk menghindari lalat ( Sutanto, 2008).

2.6.3. Cryptosporidium parvum
a) Morfologi dan Daur Hidup
Cryptosporidium adalah prozoa usus yang meyebabkan diare. Kasus pertama
kristosporidiosis pada manusia dilaporkan pada tahun 1976. Terdapat kriptosporidiosis
terutama ditemukan pada penderita imunokompromais (AIDS) dan menyebabkan
diare berat (Sutanto, 2008).
Cryptosporidium parvum adalah spesies yang menyebabkan infeksi pada manusia.
Infeksi terjadi bila tertelan ookista matang yang dikeluarkan bersama tinja hospes
terinfeksi. Ekskistasi terjadi di traktus gastrointestinal atas, sporozoit keluar dari
ookista dan masuk ke sel epitel usus pada bagian apeks di dalam membran sel hospes,
tetapi tidak di dalam sitoplasma, disebut meront. Parasit berkembang biak secara
aseksual (merogoni) dan menghasilkan merozoit yang memasuki sel lain. Merozoit
kemudian membentuk mikro dan makrogametosit yang berkembang menjadi mikro
dan makrogamet. Setelah pembuahan terbentuk ookista yang mengandung 4 sporozoit.
Ada dua macam ookista; yang berdinding tipis mengeluarkan sporozoit di dalam
usus (ekskistasi) dan menyebabkan autoinfeksi, sedangkan yang berdinding tebal
dikeluarkan dengan tinja. Ekskistasi terjadi jika terpapar dengan kombinasi kondisi
lingkungan, yaitu pH, garam empedu, karbon dioksida, suhu (Fayer & Leek, 1984).

Universitas Sumatera Utara

Meront dan ookista berukuran 4-5 mikron. Masa prepatan, yaitu waktu antara infeksi
dan pengeluaran ookista berkisar 5-21 hari. Lama pengeluaran ookista sebulan atau
lebih pada orang yang imunokompeten, sedangkan pada yang imunokompromais jauh
lebih lama (Sutanto, 2008).

Gambar 2.3. : Daur Hidup Cryptosporidium parvum
b) Gejala Klinis dan Diagnosis
Kriptosporidiosis pada manusia biasanya disertai diare, tanpa adanya darah,
kehilangan cairan dalam jumlah besar (3-17L)dapat dijumpai pada pasien
immunokompromais, yang mungkin disebabkan toksin yang mirip toksin kolera.
Diare pada pasien immunokompeten dapat berlnagsung sampai 1 bulan, sedangkan
pada pasien immunokompromais diare mungkin 4 bulan atau lebih, pernah dilaporkan

Universitas Sumatera Utara

sampai 3 tahun. Gejala klinis lainnya adalah nyeri ulu hati, mual, muntah, anoreksia,
dan demam ringan.
Diagnosis kriptosporidiosis ditetapkan dengan menemukan ookista dalam tinja
segar atau yang diawetkan dengan formalin 10% atau dengan polvinil alkohol dengan
pemeriksaan langsung. Cara yang lebih baik untuk identifikasi ookista adalah
pemeriksaan sediaan tinja yang dipulas dengan modifikasi Ziehl-Neelsen. Deteksi
antigen dengan ELISA atau IFA telah dilaporkan pada infeksi akut. Biopsi jaringan
dari mukosa gastrointestinal dilakukan dengan pewarnaan hematoxylin-eosin (Sutanto,
2008).

c) Pencegahan
Ookista dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 65°C selama 30 menit atau
memasak air sampai mendidih selam 1 menit, dengan 5% sodium hipoklorit atau 5%10% amonia (Sutanto, 2008).

2.6.4. Cacing Parasit (Helminth Parasites)
Cacing parasit tidak biasa diteliti oleh para ahli mikrobiologi, namun demikian
keberadaanya dalam air buangan bersama viral pathogen dan protozoan parasites,
menjadi perhatian hal pengaruhnya terhadap kesehatan manusia. Bentuk telurnya
merupakan tahap infeksi dari parasit helminth. Telurnya keluar bersama dengan
kotoran dan menyebar melalui air buangan, tanah, atau makanan. Telur ini sangat
tahan terhadap tekanan lingkungan dan khlorinasi dalam pengolahan air buangan(Said,
2005). Parasit yang masuk melalui telur matang/mengandung embrio adalah Ascaris
lumbricoides dan Trichuris trichiura(Natadisastra, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.5. : Daur Hidup Ascaris Lumbricoides

Gambar 2.6. : Daur Hidup Trichuris trichiura

Universitas Sumatera Utara

2.7. Diare
2.7.1. Definisi
Diare adalah kondisi dimana frekuensi defekasi tidak biasa (lebih dari 3 kali
sehari) dan ada perubahan dalam jumlah dan konsistensi tinja (feses cair) (Baughman,
2000).
2.7.2. Etiologi
Etiologi diare dapat dibagi dalam beberapa faktor yaitu:
1 .Faktor infeksi
a)

Infeksi internal yaitu infeksi saluran pencernaan yang

merupakan penyebab utama diare.
b)

Infeksi bakteri

c)

Infeksi Virus

d)

Infeksi parasit.

e)

Infeksi parenteral yaitu infeksi dibagian tubuh lain di

luar alat pencernaan seperti peradangan pada tonsil, kerongkongan
dan paru-paru.
2. Faktor Malabsorbsi
Faktor malabsorbsi ini meliput i:
a)

Malabsorbsi karbohidrat

b)

Malabsorbsi lemak

c)

Malabsorbsi protein

3.Faktor makanan :basi, beracun, alergi terhadap makanan tertentu.
4.Faktor psikologis :rasa takut dan cemas (Handayani, 2004).

2.7.3. Jenis
a)

Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari.

b)

Diare

kronik,yaitu

diare

yang

sifatnya

berulang

yang

disebabkan oleh agen non-infeksius.

Universitas Sumatera Utara

c)

Disentri,yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya.

d)

Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari

secara terus menerus yang disebabkan oleh agen infeksius (Patwari, 2006).

2.7.4. Akibat Diare
a)

Kehilangan air(dehidrasi)

b)

Gangguan keseimbangan asam basa (Baughman, 2000).

2.7.5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medik primer diarahkan pada pengontrolan dan penyembuhan
penyakit yang mendasari
a)

Diare ringan, tingkatkan masukan cairan per oral

b)

Diare sedang, obat obat non-spesifik untuk menurunkan

motilitas dari sumber non-infeksius.
c)

Diresepkan antimikrobial jika teridentifikasi perparat infeksius

atau diare memburuk.
d)

Terapi intravena untuk hidrasi cepat (Baughman, 2000).

Universitas Sumatera Utara

2.8. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 (enam)
tingkatan (Effendi, 2009) :
2.8.1.Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk ke dalam tingkat ini adalah mengingat kembali sesuatu yang spesifik dari
seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu
ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur
bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain meyebutkan, menguraikan,
mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya (Effendi, 2009).
2.8.2. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara
benar. Orang yang paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek
yang dipelajari (Effendi, 2009).
2.8.3.Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan
sebagai penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam
konteks atau situasi yang lain (Effendi, 2009).
2.8.4.Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi, dan masih ada
kaitannya

satu

sama

lain.

Misalnya

mampu

membedakan,

memisahkan,

mengelompokkan dan sebagainya (Effendi, 2009).
2.8.5.Sintesis (synthesis)

Universitas Sumatera Utara

Sintesis

menunjuk

kepada

suatu

kemampuan

untuk

meletakkan

atau

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan
kata lain sistesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi

yang

ada.

Misalnya

dapat

menyusun,

merencanakan,

meringkaskan, menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusanrumusan yang telah ada (Effendi, 2009).
2.8.6.Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap
suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang
ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya, dapat
membedakan antara anak yang gizi baik dengan gizi kurang (Effendi, 2009).

Universitas Sumatera Utara