BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan - Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Guru-Guru SD di Kecamatan Medan Selayang Terhadap Penatalaksanaan Gigi Avulsi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan

  Pengetahuan adalah sikap tahu seseorang yang terjadi setelah melakukan pengindraan berupa indera penglihatan, pendengaran, penciuman rasa dan raba terhadap suatu objek tertentu. Menurut Notoatmodjo, pengetahuan merupakan pedoman dalam membentuk tindakan seseorang. Menurut ensiklopedia bebas berbahasa, secara sederhana pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui

  11 oleh manusia tentang benda, sifat, keadaan dan harapan-harapan.

  Pada tahun 1956, Benyamin S. Bloom, dkk mengembangkan tujuan pendidikan ke dalam tiga ranah, yaitu: kognitif (berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual seperti pengetahuan, pengertian dan keterampilan berpikir), afektif (berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi seperti minat, sikap, apresiasi dan cara penyesuaian diri) dan psikomotor (berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan

  12,13

  tangan, mengetik, berenang dan mengoperasikan mesin). Ketiga hal ini dipublikasikan dengan judul “Taxonomy of Educational Objectives: The

  Classification of educational Goals

  ”, yang biasa dikenal dengan nama Taksonomi Bloom. Taksonomi ini menunjukkan bahwa terdapat 6 buah tingkatan knowledge,

  13 comprehension, application, analysis, synthesis, dan evaluation .

  Dalam psikologi belajar ada komponen penting yang perlu mendapat perhatian juga disamping aspek kognitif, khususnya proses kognitif. Aspek tersebut adalah komponen pengetahuan. Masing-masing pengetahuan memiliki ciri-ciri penting yang perlu diperhatikan ketika mempelajarinya karena mungkin saja terdapat ciri-ciri yang sama dalam dua ilmu yang berbeda. Maka dari itu terdapat revisi taksonomi Bloom (taksonomi tujuan pendidikan) menjadi taksonomi belajar, mengajar dan asesmen yang diperkenalkan oleh Anderson dan Krathwhol. Taksonomi tersebut direpresentasikan dalam dua dimensi yaitu dimensi proses

  13 kognitif dan dimensi pengetahuan.

  a.

  Dimensi proses kognitif

  13,14

  Pada dimensi ini terdapat 6 buah tingkatan, yaitu: 1.

  Mengingat (Remember) Proses mengingat melibatkan pengembalian kembali pengetahuan yang dapat dihubungkan dari ingatan jangka panjang (long-term memory). Proses kognitif yang termasuk di dalam kategori ini adalah recognizing atau identifying dan recalling atau

  

retrieving . Contoh bentuk penilaian yang sering digunakan untuk proses kognitif ini

adalah “benar-salah”, pilihan ganda, menjodohkan dan mengisi titik-titik.

2. Mengerti (Understand)

  Seseorang dapat dikatakan mengerti jika mereka mampu membentuk suatu makna yang berasal dari pesan-pesan yang disampaikan ketika proses pengajaran yang dilakukan secara lisan, tertulis maupun grafik. Selain itu, seseorang dapat dikatakan sudah paham jika mereka mampu menghubungkan pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang selama ini dimilikinya. Proses kognitif yang termasuk di dalam kategori ini adalah menginterpretasi (interpreting), mengilustrasikan (exemplifying), mengklasifikasi (classifying), summarizing , membandingkan (comparing) dan menjelaskan (explaining).

3. Mengaplikasikan (Apply)

  Kategori ini melibatkan penggunaan prosedur untuk melakukan latihan atau memecahkan masalah, sehingga pengaplikasian berhubungan erat dengan pengetahuan prosedural (procedural knowledge). Kategori ini terdiri atas dua buah proses kognitif yaitu menjalankan (executing) dan mengimplementasikan (implementing).

  Dalam proses executing, seseorang menerapkan prosedur yang telah ia hafal ke dalam tugas yang sudah dikenalinya. Contohnya adalah latihan. Seseorang diberikan sebuah rumus dan ia harus mampu menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan rumus tersebut, sedangkan dalam proses implementing, terjadi proses penyeleksian prosedur yang telah dimiliki. Oleh karena itu, seseorang harus memahami persoalan yang sedang dihadapinya dan memahami sampai sejauh mana prosedur yang sudah dimiliki mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.

  4. Menganalisis (Analyze) Kategori ini melibatkan pemecahan materi ke dalam bagian-bagian penyusunnya dan menentukan bagaimana bagian-bagian tersebut saling berhubungan

  13

  satu sama lain. Proses menganalisis mencakup proses kognitif membedakan (differentiating), mengorganisasikan (organizing) dan menguraikan (attributing).

  5. Mengevaluasi (Evaluate) Mengevaluasi adalah sebuah aktifitas yang memberikan penilaian berdasarkan kriteria atau standar. Kriteria yang biasanya digunakan adalah kualitas, keefektifan, efisiensi dan konsistensi. Kategori ini mencakup proses kognitif checking (penilaian tentang konsistensi internal) dan critiquing (penilaian berdasarkan kriteria eksternal).

6. Menciptakan (Create)

  Proses menciptakan melibatkan aktivitas yaitu meletakkan unsur-unsur yang secara serempak memberikan suatu fungsi atau membentuk suatu koherensi. Proses- proses yang terkait dengan menciptakan dikoordinasikan dengan pengalaman awal yang dimiliki oleh siswa. Meskipun kategori menciptakan membutuhkan berpikir kreatif, tetapi seseorang tidak sepenuhnya dapat bebas dalam mengekspresikan kreatifitasnya.

  Proses yang terjadi pada kategori mengerti, mengaplikasikan dan menganalisis juga melibatkan aktivitas mendeteksi hubungan antara unsur yang satu dengan yang lainnya, tetapi berbeda dengan kategori menciptakan karena di dalam proses tersebut melibatkan hasil produk yang orisinil. Dalam kategori menciptakan, seseorang harus mengambil unsur-unsur dari berbagai sumber kemudian meletakkannya secara bersama-sama sehingga membentuk pola baru bergantung pada pengetahuan awal mereka.

  Proses kreatif ini dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu pemaparan masalah (problem representation), merencanakan pemecahan masalah (solution planning) dan mengeksekusi pemecahan masalah. Oleh karena itu, kategori menciptakan dapat diasosiasikan dengan tiga proses kognitif, yaitu mengembangkan (generating), merencanakan (planning) dan membuat (producing).

  b.

  Dimensi Pengetahuan Proses kognitif yang sudah dijelaskan merupakan kata kerja (verb) yang membutuhkan kata benda (noun), yaitu sesuatu yang hendak dikenai kata kerja tersebut. Kata benda tersebut adalah dimensi-dimensi pengetahuan yang terdiri atas 4

  13,14

  buah tingkatan, yaitu: 1.

  Pengetahuan faktual Pengetahuan faktual adalah pengetahuan tentang elemen dasar yang harus diketahui seseorang untuk mengenal suatu disiplin ilmu atau untuk menyelesaikan masalah yang ada didalamnya. Pengetahuan berbentuk fakta seperti nama, nomor, tahun, jumlah, alamat dan sebagainya. Contohnya adalah tahun lahirnya Ki Hajar Dewantara dan nama presiden Indonesia pertama. Pengetahuan ini terdiri atas dua bagian, yaitu knowledge of terminology (pengetahuan tentang istilah) dan knowledge

  of specific details and elements (pengetahuan tentang rincian dan unsur-unsur).

2. Pengetahuan konseptual

  Pengetahuan konseptual adalah pengetahuan tentang hubungan timbal balik antara elemen-elemen dasar dalam suatu struktur yang memungkinkan elemen- elemen tersebut berfungsi secara bersama-sama. Pengetahuan berbentuk konsep, hukum dan prinsip. Contohnya adalah hukum archimedes, prinsip kerja AC dan sebagainya. Pengetahuan konseptual mencakup tentang skema, model mental atau teori teori yang menunjukkan pengetahuan seseorang tentang bagaimana sebuah disiplin ilmu tertentu ditata, bagaimana bagian-bagian yang berbeda dari informasi dikaitkan dengan cara yang lebih sistemis dan bagaimana bagian-bagian tersebut berfungsi secara bersama-sama.

  3. Pengetahuan prosedural Pengetahuan prosedural adalah pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu, metode dan kriteria untuk menggunakan suatu ketrampilan, algoritma, teknik dan suatu metode. Sesuatu tersebut dimulai dari permasalahan yang sering dihadapi sampai dengan permasalahan yang benar-benar baru. Contohnya adalah prosedur menerbangkan pesawat terbang, langkah-langkah menyusun modul dan sebagainya.

4. Pengetahuan metakognisi

  Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan secara umum seperti kesadaran dan pengetahuan tentang kognisinya itu sendiri. Pengetahuan ini sering disebut

  a process of thinking about thinking atau pengetahuan mengenai proses kognisi dan

  strategi terkait dengan penerapan pengetahuan tersebut untuk meningkatkan hasil belajar. Contohnya adalah seseorang menyadari bahwa gaya belajar yang ia miliki adalah visual, maka ia akan memilih video sebagai strategi untuk meningkatkan hasil belajarnya.

2.2 Trauma Dental

  Trauma dental merupakan masalah yang sering terjadi pada anak-anak di seluruh dunia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa yang paling sering mengalami trauma dental adalah anak-anak usia sekolah baik di rumah maupun di sekolah. Penyabab terjadinya trauma dental adalah banyaknya anak yang belajar

  5,9

  berjalan dan berlari. Selain itu, trauma dental juga lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 2:1. Trauma dental juga paling sering terjadi pada gigi anterior maksila dan diperparah dengan keadaan

  15

  overjet. Klasifikasi trauma dental dapat memberikan efek komunikasi yang lebih baik dan penyebaran informasi yang lebih merata. Sistem yang digunakan didasarkan pada modifikasi yang dibuat oleh Andreasen terhadap klasifikasi yang dibuat oleh WHO (World Health Organization). Klasifikasi ini lebih baik dibandingkan dengan klasifikasi lain karena sistem ini sudah diterima secara internasional dan sudah memiliki format yang deskriptif yang didasari oleh pertimbangan klinik dan

  5

  anatomik. Klasifikasi tersebut yaitu: a.

  Fraktur enamel: trauma pada gigi dimana fraktur hanya mengenai email saja dan tidak berbahaya untuk pulpa. Meskipun cedera hanya menimbulkan fraktur pada gigi, bisa juga menyebabkan perubahan letak gigi atau luksasi dan merusak pembuluh darah ke pulpa. b.

  Fraktur mahkota dengan pulpa masih belum terbuka: tipe fraktur ini belum sampai ke pulpa, hanya sebatas enamel dan dentin. Biasanya, cedera seperti ini tidak menimbulkan nyeri yang parah.

  c.

  Fraktur mahkota dengan pulpa terbuka: fraktur ini sudah sampai ke pulpa sehingga frakturnya menjadi “complicated”, dimana istilah tersebut sering digunakan untuk jenis fraktur ini.

  d.

  Fraktur mahkota-akar: farktur ini terlihat seperti fraktur mahkota, hanya saja lebih luas dan lebih serius karena sudah mengenai daerah akar. Fraktur mahkota-akar lebih sering mengenai gigi premolar dan molar.

  e.

  Fraktur akar: fraktur akar juga disebut dengan fraktur akar intraalveolus, fraktur akar horizontal, dan fraktur akar transversal. Fraktur tipe ini jarang terjadi dan sukar untuk dideteksi.

  f. Cedera luksasi: cedera tipe ini akan menimbulkan trauma pada jaringan penyangga gigi dan sering memengaruhi pasokan darah dan saraf ke pulpa. Biasanya, penyebab luksasi adalah hantaman secara tiba-tiba seperti terbentur objek yang keras saat terjatuh. Berdasarkan pemeriksaan klinis terdapat gambaran yang khas dari tipe

  5

  cedera luksasi, yaitu: 1.

  Konkusi: ketika di perkusi, gigi hanya terasa sensitif dan letak gigi tidak berubah

  2. Subluksasi: cedera ini menyebabkan gigi sensitif ketika di perkusi. Gigi mobiliti disertai perdarahan sulkus dan gigi tidak berubah letak.

  3. Luksasi ekstrusi: pada cedera ini mobilitas gigi meningkat 4.

  Luksasi lateral: letak gigi berubah ke arah lingual, bukal, mesial atau ke distal yang disebabkan oleh trauma. Artinya, posisi gigi sudah di luar dari posisi normal.

  5. Luksasi intrusi: gigi terdorong masuk ke dalam soketnya. Kadang-kadang gigi tidak terlihat.

  g.

  Avulsi: keadaan dimana gigi sudah keluar seluruhnya dari soketnya. Jika gigi yang keluar dari soketnya adalah gigi desidui, maka tidak perlu dilakukan replantasi, tetapi jika gigi yang keluar dari soketnya adalah gigi permanen, maka perawatan selanjutnya adalah dengan melakukan replantasi pada gigi.

  h.

  Fraktur prosesus alveolaris: frakturnya soket alveolus atau prosesus alveolaris. Fraktur alveolus sering dikaitkan dengan pulpa nekrosis yang selanjutnya dapat diasosiasikan dengan cedera wajah lainnya.

2.3 Gigi Avulsi

  2.3.1 Definisi

  Gigi avulsi adalah gigi yang sudah keluar seluruhnya dari soket alveolar akibat adanya cedera pada gigi. Perawatannya adalah dengan mereplantasikan gigi tersebut segera setelah terjadinya cedera. Proses replantasi gigi yang avulsi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lamanya gigi keluar dari soket dan media penyimpanan yang digunakan. Faktor tersebut sangat penting dalam proses replantasi

  1,5 gigi.

  2.3.2 Etiologi

  Avulsi merupakan kasus trauma dental yang paling sering terjadi dibandingkan dengan kasus trauma dental lainnya, yaitu sekitar 16%. Penyebab gigi avulsi yang paling sering terjadi pada anak-anak adalah ketika mereka melakukan aktifitas di sekolah. Selain itu, penyebab gigi avulsi yang sering terjadi adalah ketika mereka melakukan olahraga seperti bermain sepak bola dan bola basket, berkelahi

  8 dan kecelakaan mobil.

  2.3.3 Gambaran Klinis

  Gambaran klinis yang dapat dilihat dari gigi avulsi adalah dapat ditemukan

  16

  bekuan darah di dalam soketnya. Avulsi paling sering terjadi pada gigi insisivus sentral pada rahang atas. Fraktur pada prosesus alveolaris dan laserasi pada bibir

  17 kemungkinan terlihat bersamaan dengan gigi avulsi.

  A B

  Gambar.1 A.Gambaran klinis soket gigi yang avulsi

  B. Gambaran radiografi keadaan gigi yang

  16

  avulsi

2.3.4 Penatalaksanaan

  Gigi avulsi adalah salah satu kasus trauma dental yang memerlukan perawatan darurat. Penanganan yang tepat akan mempengaruhi prognosisnya. Ketika

  16,18

  terjadi avulsi pada gigi, kita dapat melakukan hal berikut ini: 1.

  Tenangkan anak yang bersangkutan.

  2. Carilah gigi yang lepas dan peganglah pada bagian mahkotanya. Jangan menyentuh bagian akar.

  3. Jika gigi kotor, cucilah dibawah air mengalir dan jangan digosok dengan tujuan agar tetap lembab dalam waktu maksimal 10 detik dan letakkan kembali gigi ke soketnya. Ketika gigi sudah diposisinya semula, gigitlah saputangan untuk menjaga agar gigi tetap ditempatnya.

  4. Jika tidak memungkinkan untuk mereposisi giginya, letakkan gigi yang avulsi tersebut ke dalam segelas susu atau tempat penyimpanan lain dan bawa anak ke klinik gawat darurat. Gigi juga bisa diletakkan di dalam mulut antara pipi dan gusi jika anak dalam keadaan sadar. Jika pasien terlalu muda, gigi tersebut bisa ditelannya. Oleh karena itu, sebaiknya beri instruksi kepada anak untuk meludah disuatu wadah kemudian letakkan gigi di wadah tersebut. Hindari pemakaian air sebagai tempat penyimpanannya.

  5. Jika ada tempat penyimpanan khusus seperti Hanks Balanced Storage Medium (HBSS atau saline), media tersebut lebih baik digunakan.

  6. Carilah perawatan dental secepatnya. Jika bisa bertemu dokter gigi dalam waktu 30 menit, maka prognosisnya baik. Jika lebih dari waktu tersebut, maka prognosis pada giginya akan berkurang 60-80%. Golden periode untuk melakukan reposisi gigi adalah 2 jam. Jika perawatan replantasi dilakukan lebih dari 2 jam, maka gigi menjadi non vital dan dilakukan perawatan selanjutnya yaitu endodonti setelah gigi difiksasi.

2.3.4.1 Media Penyimpanan

  Media penyimpanan adalah media yang digunakan untuk menyimpan gigi yang avulsi jika gigi tersebut tidak dilakukan replantasi dengan segera. Tujuan diletakkannya gigi yang avulsi di media penyimpanan adalah untuk memelihara ligamen periodontal dalam waktu yang terbatas sebelum dilakukan perawatan gigi

  1,4,15

  tersebut. Oleh karena itu, medium yang dapat digunakan adalah: a.

  Hank’s Balanced Salt Solution (HBSS)

  Hank’s Balanced Salt Solution (HBSS) adalah larutan salin standar. Biasanya,

  larutan ini digunakan dalam penelitian biomedis yang bertujuan untuk mendukung pertumbuhan dari berbagai sel. Larutan ini bersifat biocompatible dengan sel-sel ligamen periodontal karena larutan ini memiliki osmolalitas yang ideal yaitu 270 sampai dengan 320 mOsm. HBSS mengandung berbagai nutrien penting yang diperlukan untuk mempertahankan metabolisme sel yang normal dalam waktu yang lama seperti kalsium, fosfat, kalium dan glukosa.

  b.

  Susu Susu memiliki kemampuan untuk mendukung kapasitas klonogenik sel-sel periodontal pada suhu ruangan sampai dengan 60 menit. Pada temperatur yang lebih rendah, susu dapat mengurangi pembengkakan sel, meningkatkan viabilitas sel dan perbaikan penyembuhan sel. Selain itu, susu bertemperatur rendah memiliki kemampuan untuk mendukung klogenik sel ligamen periodontal pada gigi avulsi lebih lama 45 menit dibandingkan dengan media penyimpanan susu pada temperatur ruang yang melindungi viabilitas sel selama 60 menit. c.

  Saline fisiologis Salin fisiologis adalah larutan yang mengandung 0,9% NaCl yang dapat digunakan sebagai media penyimpanan gigi avulsi. Penyimpanan pada media ini tidak menyebabkan pembengkakan pada struktur sel, tetapi kebutuhan metabolit dan glukosa untuk mempertahankan metabolisme sel yang normal tidak bisa dipenuhi oleh saline. Media penyimpanan ini tidak direkomendasikan jika gigi harus disimpan selama satu atau dua jam. Hal ini disebabkan karena kebutuhan sel untuk mempertahankan metabolisme tidak terpenuhi.

  d.

  Saliva Saliva dapat digunakan sebagai media penyimpanan karena mempunyai suhu yang sama dengan suhu kamar. Beberapa penelitian mengatakan bahwa mendukung penggunaan saliva sebagai media penyimpanan sampai 30 menit pertama dari waktu cedera terjadi. Jika disimpan lebih dari 30 menit, maka dapat menimbulkan masalah karena saliva secara alamiah memiliki mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi berat pada akar gigi sehingga menimbulkan kematian pada sel-sel ligamen periodontal.

  Beberapa penelitian menganjurkan bahwa menyimpan gigi di dalam mulut pasien (saliva) adalah baik untuk kelangsungan hidup ligamen periodontal. Gigi tersebut dapat ditahan di vestibulum bukal atau di bawah lidah. Namun, cara tersebut dapat menimbulkan masalah bagi anak, seperti tertelannya gigi atau kemungkinan anak mengunyah giginya. Untuk menghindari masalah tersebut, saliva dapat dikumpulkan di dalam wadah kecil sehingga gigi dapat dimasukkan ke dalamnya.

  e.

  Air kelapa (Cocos nucifera) Pada umumnya, air kelapa dikenal sebagai Tree of Life, yaitu minuman alami yang dihasilkan secara biologis dan dikemas kedap udara di dalam buah kelapa.

  Komposisi elektrolit dari air kelapa menyerupai cairan intraseluler yang lebih erat dari plasma ekstraseluler. Air kelapa memiliki osmolaritas tinggi karena adanya kandungan gula didalamnya, terutama glukosa dan fruktosa, juga kaya akan banyak asam amino esensial antara lain lisin, sistin, fenilalanin, histidin dan tryptophan. Air kelapa unggul dalam melakukan pemeliharaan untuk kelanggsungan hidup sel-sel ligamen periodontal karena adanya berbagai nutrisi di dalamnya seperti protein, asam amino, vitamin dan mineral. Air kelapa memiliki efektifitas yang menyerupai HBBS dalam menjaga viabilitas sel. Selain memiliki osmolaritas yang lebih unggul dibandingkan HBBS, air kelapa juga lebih murah dan mudah tersedia, sehingga air kelapa layak dianjurkan sebagai media penyimpanan gigi avulsi.

  Sebagai media penyimpanan, tidak dianjurkan untuk memakai air karena air bersifat hipotonik dan konsentrasi larutannya tidak memiliki kecocokan untuk menyelamatkan sel yang ada di permukaan akar. Meletakkan gigi avulsi di saliva (dikeluarkan di dalam gelas) atau di dalam vestibulum lebih baik daripada gigi tersebut diletakkan di dalam air karena saliva menjaga sel periodontal dalam waktu kurang dari 30 menit.

2.3.5 Perawatan

  Perawatan untuk avulsi gigi adalah dengan melakukan replantasi. Sebelum melakukan replantasi, sebaiknya soket dicuci dengan larutan saline supaya tetap

  4,19

  bersih. Keberhasilan replantasi tergantung pada tenggang waktu antara terjadinya avulsi dengan replantasi, luas kerusakan ligamen periodontium, derajat kerusakan alveolar, dan efektivitas stabilisasi. Faktor waktu sangat menentukan keberhasilan replantasi. Keberhasilan itu dapat dicapai apabila pengembalian gigi pada tempatnya dilakukan tidak lebih dari 30 menit sesudah terjadi cedera. Jika lebih dari 2 jam, maka

  20

  resorbsi akar hampir tidak terhindarkan lagi. Bila avulsi pada gigi terjadi dalam waktu kurang dari 30 menit, perawatan jangka pendek yang dapat dilakukan adalah dengan pengembalian gigi yang avulsi serta mengembalikan stabilisasi gigi tersebut namun bila lebih dari 30 menit maka perawatan saluran akar dan splinting harus

  21 dilakukan.

  Dalam keadaan darurat replantasi sering dilakukan oleh orang nonprofesional, misalnya memasukkan gigi kembali yang dilakukan oleh orang tua atau teman pasien. Secara biologis kondisi ligamen periodontium dan sementum sangat rawan jika dikaitkan dengan perlekatan kembali. Apabila ligamen periodontium mengalami cedera atau ada sementum yang terbuka, kemungkinan besar akan terjadi ankilosis

  (fusi antara tulang dan sementum). Perbaikan suplai vaskular pulpa tidak dimungkinkan lagi, tetapi masih ada kesempatan jika apeks dalam keadaan terbuka. Selain itu, pemeriksaan klinis dan radiografis dapat dilakukan untuk mendeteksi nekrosis pulpa pada gigi yang ditanam kembali karena dapat menyebabkan terjadinya radang dan mengganggu perlekatan kembali atau dapat menimbulkan lesi periodontal

  20 atau periapikal.

  Kondisi yang cocok untuk replantasi lebih sering ditemukan pada anak -anak, tetapi untuk gigi sulung sebaiknya tidak dilakukan replantasi. Kehilangan gigi sulung prematur biasanya bukan hal yang serius. Selain itu, jika dilakukan replantasi gigi

  5,20 bisa menyebabkan resiko merusak gigi permanen penggantinya.

  Terdapat tiga kemungkinan yang dilakukan ketika terjadi avulsi pada gigi,

  5

  yaitu: 1.

  Meminta nasihat mengenai avulsi pertelepon, sehingga ada peluang untuk melakukan replantasi imediat (dalam beberapa menit)

  2. Pasien dibawa ke tempat praktik dengan gigi sudah berada di luar soket kurang dari satu jam atau ditempatkan dalam media yang benar

  3. Gigi sudah berada di luar soket lebih dari satu jam dan tidak disimpan di dalam media yang baik

  2.3.5.1 Replantasi Segera

  Jika dilakukan replantasi segera setelah avulsi, maka prognosisnya semakin baik. Ketika pasien avulsi datang ke praktik dokter gigi dengan kondisi giginya sudah dimasukkan kembali di tempat cedera, hendaknya dokter gigi memeriksa baik secara klinik maupun radiologik untuk memeriksa hasil replantasi yang dilakukannya. Selain itu, periksa juga cedera lain yang mungkin terjadi pada gigi tetangga atau

  5 antagonisnya dan stabilitas serta letak gigi yang direplantasikan tersebut.

  2.3.5.2 Replantasi dalam Waktu Satu Jam Setelah Avulsi

  Jika replantasi imediat tidak bisa dilakukan, maka pasien dapat dibawa ke klinik. Media transport terbaik yang digunakan adalah salin fisiologis. Jika salin fisiologis tidak tersedia, maka pasien dapat menggunakan susu sebagai alternatif yang sangat baik. Selain itu, pasien juga dapat menggunakan saliva sebagai media transportasi sementara air tidak bisa digunakan karena air tidak bisa mempertahankan

  5 kevitalan sel permukaan akar.

5 Ketika pasien tiba di klinik: 1.

  Gigi diletakkan pada cawan yang berisi salin fisiologis 2. Segera lakukan rontgen pada daerah yang terkena cedera untuk melihat apakah ada fraktur alveolus atau tidak

  3. Lokasi avulsi diperiksa dengan saksama untuk mengetahui ada-tidaknya serpihan tulang yang harus dibuang. Jika alveolusnya telah runtuh maka soket dikuakkan dengan instrumen.

  4. Soket diirigasi dengan menggunakan salin untuk membuang koagulum yang terkontaminasi. Lakukan dengan hati-hati.

  5. Pada cawan salin, mahkota gigi diangkat dengan menggunakan tang ekstraksi agar akarnya tidak terkena

  6. Periksa gigi apakah masih mengandung debris, jika masih ada bersihkan dengan menggunakan kasa yang dibasahi salin

  7. Masukkan kembali gigi ke dalam soketnya. Setelah sebagian sudah masuk, teruskan dengan menekannya perlahan-lahan dengan jari atau pasien disuruh menggigit kasa sampai giginya kembali ke posisi semula.

  8. Ketepatan letak gigi dalam lengkung diperiksa dan koreksi jika ada yang mengganjal. Luka-luka di jaringan lunak dijahit, terutama di bagian servikal.

  9. Gigi distabilkan selama 1 sampai 2 minggu dengan splin 10.

  Dianjurkan untuk memberikan antibiotik kepada pasien dengan dosis yang sama seperti untuk infeksi mulut yang ringan sampai moderat. Injeksi tetanus penguatan juga dianjurkan jika pemberian tetanus terakhir dilakuakn lebih dari 5 tahun yang lalu.

  11. Pasien diberikan perawatan penunjang. Diet lunak dan analgesik diberikan sesuai dengan keperluan.

2.3.5.3 Replantasi Lebih dari Satu Jam Setelah Avulsi

  Jika gigi telah berada di luar soket lebih dari satu jam dan tidak terjaga kebasahannya dalam medium yang sesuai, maka sel dan serabut ligamen periodontium tidak akan bertahan hidup. Oleh karena itu, dapat dilakukan perawatan sebelum replantasi meliputi pemberian fluor pada permukaan akar untuk mengurangi

  5 (melambatkan) proses resorpsinya.

5 Ketika pasien tiba di klinik: 1.

  Periksalah daerah avulsi dan periksa juga gambaran radiografinya untuk melihat ada-tidaknya fraktur alveolus.

  2. Bersihkan debris yang melekat pada permukaan gigi.

  3. Celupkan gigi ke dalam larutan NaF 2,4% (diasamkan sampai pH 5,5) selama 5-20 menit.

  4. Ekstirpasi pulpa dan saluran akarnya dibersihkan, dibentuk dan diobturasi seraya giginya dipegang memakai kasa yang dibasahi fluor.

  5. Bersihkan soket alveolus dari bekuan darah dengan menyedotnya secara hati-hati. Kemudian soketnya diirigasi dengan salin. Mungkin perlu untuk dianestesi terlebih dahulu.

  6. Replantasikan gigi dengan hati-hati ke dalam soketnya, letakkan dengan tepat di lengkungnya dan kontaknya.

  7. Pasang splin pada gigi untuk 3 sampai 6 minggu.

2.3.6 Replantasi Avulsi Gigi

  Penyebab utama dari kegagalan replantasi avulsi gigi adalah resorpsi akar, yang sering diikuti oleh ankilosis. Menurut Andreasen dan Hjorting-Hansen, terdapat

  5,22

  3 jenis resorpsi yaitu:

  a. Resorpsi permukaan: pemeriksaan mikroskopik pada gigi yang telah direplantasi mengungkapkan bahwa adanya lakuna resorpsi di dalam sementum. Hal ini biasanya tidak terlihat dalam radiograf. Resorpsi ini direparasi dengan deposisi sementum yang mencerminkan adanya penyembuhan. b.

  Resorpsi inflamasi: resorpsi ini terjadi sebagai suatu respon terhadap keberadaan pulpa nekrosis yang terinfeksi bersama-sama dengan cedera pada ligamen periodontium. Resorpsi ini terjadi pada gigi yang direplantasi serta pada cedera luksasi yang lain. Resorpsi biasanya mereda setelah pulpa nekrosisnya dibuang, sehingga prognosisnya menjadi baik.

  c.

  Resorpsi penggantian: yang terjadi pada resorpsi ini adalah struktur gigi diresorpsi dan digantikan oleh tulang. Proses tersebut adalah ankilosis, dimana terjadinya penyatuan tulang secara langsung pada permukaan gigi. Karakter ankilosis adalah tidak mempunyai mobilitas fisiologis, tidak bisa bererupsi seperti gigi tetangganya dan adanya bunyi logam yang solid ketika gigi diperkusi.

2.4 Kerangka Teori

  Trauma Dental Cedera

  Fraktur Fraktur Fraktur Fraktur Fraktur

  Avulsi Fraktur Enamel luksasi akar mahkota mahkota mahkota prosesus

  • akar (Pulpa (Pulpa

  alveolaris Tertutup) Terbuka)

   Definisi  Etiologi  Gambaran Klinis Tingkat Pengetahuan dan  Penatalaksanaan Penatalaksanaan Bagaimana hubungan antara tingkat pengetahuan dan penatalaksanaan guru- guru SD di Kecamatan Medan Selayang terhadap gigi avulsi?

  Universitas Sumatera Utara

2.5 Kerangka Konsep

  Pengetahuan Guru-guru Sekolah Penatalaksanaan Dasar di Kecamatan Medan

  Gigi Avulsi Selayang

   Definisi  Etiologi  Gambaran Klinis  Penatalaksanaan