Artikel Tentang Otonomi Daerah l Tentang Obligasi

Artikel Tentang Otonomi Daerah
Otonomi daerah sejatinya adalah desentralisasi. Desentralisasi/penyerahan urusan yang disertai
dengan pendanaan, personil, serta sarana dan prasarana

Mengapa Perlu Penguatan Provinsi?
Posted on Februari 20, 2013 by Ade Suerani
Robert Endi Jaweng
Direktur Eksekutif KPPOD dan Pegiat Pokja Otda
Momentum bagi upaya penguatan provinsi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah mulai
terasa kuat akhir-akhir ini.
Saat membuka rapat kerja pemerintah, akhir Januari lalu, Presiden Yudhoyono meminta para
kepala daerah—khususnya Gubernur—tak ragu bertindak mengatasi segala gangguan keamanan
di daerahnya. Pelaksanaan atas seruan itu pun mendapat dukungan basis legal berupa Inpres
Nomor 2 Tahun 2013, bahkan sebelumnya diatur melalui UU Penanganan Konflik Sosial yang
menempatkan gubernur dalam posisi sentral.
Dari Senayan, DPR yang sedang membahas RUU Pemda juga menyuarakan semangat serupa.
Perihal penguatan aspek fiskal, misalnya, Wakil Ketua Komisi II Ganjar Pranowo mengusulkan
agar belanja pegawai dialihkan ke level provinsi (Kompas, 31/1/2013).
Semua momentum di atas mestinya jadi alasan untuk membuka kembali perdebatan ihwal arah
revisi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Draf usulan pemerintah memang
menunjukkan ikhtiar penguatan provinsi, tetapi mengambil sisi pendekatan yang problematik.

Pasalnya, pemerintah justru hendak menguatkan status provinsi sebagai daerah otonom dan
kedudukan gubernur sebagai kepala daerah. Tak heran bila sejumlah urusan (perikanan,
pertambangan, dan lain-lain) yang kini dikelola kabupaten/kota akan ditarik sebagai kewenangan
provinsi. Agar kabupaten/ kota tak terlalu protes, maka diberikan ”gula-gula” berupa bagi hasil
atas urusan tersebut. Hemat saya, pendekatan demikian jelas bertendensi mikrosentralisasi, atau
resentralisasi parsial, dan belum tentu mencapai misi penguatan provinsi itu sendiri.
Disfungsi Gubernur
Harus diakui, sejak memulai otonomi 12 tahun lalu, efektivitas kebijakan desentralisasi terus
dihantui lemahnya peran gubernur dalam mata rantai pemerintahan yang ada. Dalam statusnya
sebagai daerah otonom, kewenangan provinsi serba tanggung karena urusan otonominya tidak
jelas. Provinsi hanya berwenang atas urusan lintas wilayah atau urusan ”sundulan” dari
kabupaten/kota karena merasa tak sanggup (sesuatu yang tabu bagi kabupaten/kota), tetapi di sisi

lain level pemerintahan ini justru mengelola anggaran yang jauh melampaui urusan yang
dimilikinya.
Lebih payah lagi, status provinsi sebagai wilayah administrasi dan kedudukan gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat dalam kerangka dekonsentrasi lebih bersifat sloganistik. Model
integrated field administration yang menyatukan wilayah kerja aneka instansi vertikal dengan
provinsi, ataupun integrated perfectoral system yang menempatkan kabupaten/kota sebagai
bagian provinsi, hanya tinggal sebagai model konseptual.

Bupati/Walikota sama sekali tak melihat wilayah kerjanya sebagai bagian dimaksud. Apalagi,
menempatkan posisi mereka secara inferior di depan gubernur. Mereka berhubungan langsung
dengan pusat, sebagaimana pula pejabat kementerian lebih sering melompati provinsi untuk
mengurus kabupaten/kota.
Maka, ketimbang para perumus revisi UU No 32/2004 membuat blunder resentralisasi dengan
menarik sebagian urusan kabupaten/kota ke level provinsi, pendekatan penguatan provinsi
mestinya difokuskan kepada penataan aspek wilayah administrasi dan kedudukan gubernur
sebagai wakil pusat.
Saya tentu tidak merekomendasikan penghapusan provinsi sebagai daerah otonom yang
implikasinya kepada penghilangan DPRD, bahkan peniadaan APBD provinsi. Selain tak sejalan
dengan konstitusi (Pasal 18 UUD 1945 Perubahan), juga tak realistis secara politik lantaran akan
ditentang para politisi di Senayan. Sebab opsi tersebut berarti menghilangkan akses distribusi
para kader partai ke jabatan politik lokal. Namun, preferensi pemerintah kepada model otonomi
provinsi atau penambahan urusan otonom ke provinsi jelas tidak tepat. Baik pertimbangan
efisiensi pelayanan, rentang kendali pemerintahan, maupun demokrasi berbasis lokal yang justru
lebih terjamin oleh otonomi kabupaten/kota.
Pertanyaannya kemudian: bagaimana menata wilayah administrasi dan memperkuat kedudukan
gubernur? Jika bertolak dari sebab pokok disfungsi provinsi selama ini, penguatan itu setidaknya
menyentuh sisi desain administrasi dan politik sekaligus. Pada aras pertama, langkah serius
menempatkan gubernur sebagai wakil pusat harus melampaui konstruksi dekonsentrasi tak

bergigi saat ini. Urusan provinsi bukan hanya menyangkut tugas pemerintahan umum:
pembinaan, pengawasan dan koordinasi. Semua jenis tugas tersebut justru hal yang paling
gampang diabaikan di negeri ini, apalagi jika sanksi tidak disertakan secara jelas dan terukur.
Hemat saya, kedudukan sebagai wakil pemerintah pusat mestinya berarti kewenangan kebijakan
yang kini dimiliki pusat dilimpahkan ke gubernur. Selama ini, kabupaten/kota merasa percuma
berkonsultasi dengan provinsi lantaran penyelesaian masalah (konflik lintas wilayah, misalnya)
tidak bisa diselesaikan di level provinsi. Sebagai kepanjangan pusat di daerah, gubernur mesti
diberikan kewenangan otoritatif mengatur dan memutuskan; biasanya berupa surat keputusan.

Tanpa otoritas ”kata putus”, keberadaan provinsi hanya menjadi mata rantai tak perlu
(birokratisasi) lantaran segalanya masih ditentukan di Jakarta.
Pada aras politik, pelimpahan otoritas pusat tadi sudah mulai dijamin efektivitasnya sejak proses
pengisian jabatan gubernur. Sejatinya, dari logika sistem, gubernur sebagai kepanjangan tangan
pusat mestinya ditunjuk presiden. Serupa menteri sebagai pejabat lini fungsional/sektoral,
gubernur adalah pejabat pusat di lini kewilayahan, mestinya proses perekrutan diwadahi dalam
tata cara sama.
Namun, konstitusi dan realitas politik tak memungkinkan ini terjadi dan gubernur tetap dipilih
(langsung atau melalui perwakilan). Maka, agar tak mencederai sistem pemilihan, perlu
dipikirkan mekanisme keterlibatan pusat di suatu tahapan proses tertentu, seperti persetujuan atas
calon yang diusulkan partai untuk kemudian diserahkan kepada rakyat/DPRD untuk dipilih.

Sejak perekrutan, ”Jakarta Flavour” dalam diri gubernur ini mesti menjamin hadirnya pusat
lewat sosok gubernur terpilih. Sesuatu yang di belakang hari memengaruhi derajat identifikasi
diri sebagai wakil pusat, menjamin ketaatan daerah, bahkan ”kesetaraan” dengan para menteri
ketika bersinggungan dengan urusan kewilayahan.
Catatan Akhir
Dalam situasi disfungsi gubernur saat ini, instruksi presiden tadi—sebagaimana halnya berbagai
tugas koordinasi serupa selama ini—terasa sulit mewujud. Tanpa otoritas yang melekat dalam
struktur pemerintahan, instruksi itu tetap dianggap parsial, situasional, bahkan akan
menimbulkan kebingungan. Hingga saat ini gubernur belum memiliki perangkat pendukung
(satuan kerja dekonsentrasi) untuk menjalankan tugas pemerintahan umum, serta anggaran
khusus bagi pelaksanaan peran sebagai wakil pemerintah pusat.
Mumpung pembahasan revisi UU No 32/2004 belum final di DPR, penataan fundamental bagi
penguatan provinsi dan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat mesti diwadahi
sejak pengaturannya di UU.
Jakarta; Kompas, 18 Februari 2013

Artikl Tentang Otonomi Daerah
Otonomi daerah sejatinya adalah desentralisasi. Desentralisasi/penyerahan urusan yang disertai
dengan pendanaan, personil, serta sarana dan prasarana


Otonomi Daerah Menggerogoti Ekonomi Nasional
Posted on Januari 30, 2013 by Ade Suerani
REPUBLIKA.CO.ID
oleh:Rudy Siregar (Wakil Komite Tetap Advokasi Hukum Kadin)
Pelaksanaan otonomi daerah di era reformasi ini seperti pedang bermata dua. Di satu
sisi,otonomi daerah diterapkan dengan harapan bahwa pemerintah daerah di seluruh indonesia
memiliki kewenangan atau otonomi untuk mengembangkan ekonomi dan potensi daerahnya
masing – masing yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakatnya, tetapi di sisi
lain, pemberian otonomi daerah ternyata berkembang menjadi pundi-pundi uang bagi koruptor.
Kekuasaan atau otonomi yang diberikan kepada para kepala daerah merangsang para pengusaha,
birokrasi dan politisi untuk berlomba-lomba meraih posisi strategis ini, Akibatnya,terdapat
fenomena banyaknya kepala daerah yang dipenuhi oleh orang-orang yang tidak kompeten dan
tidak memiliki rasa tanggung jawab kepada publik.
Permasalahan tersebut sesuai dengan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri
yang dipublikasikan pada bulan Mei 2012, terdapat sekitar 173 kepala daerah yang tersangkut
kasus korupsi. Dan pada bulan November 2012,data dari Mahkamah konstitusi menyebutkan
bahwa ada sekitar 240 kepala daerah yang memiliki permasalahan hukum.
Meningkatkatnya jumlah kepala daerah yang tersangkut kasus hukum perlu dijadikan warning
bagi pemerintah dan para penegak hukum bahwa praktik korupsi di tanah air sudah mencapai
eskalasi yang mengkuatirkan. Perkembangan pelaksanaan otonomi daerah membuat pola korupsi

baru,yakni desentralisasi korupsi yang diwarnai dengan maraknya fenomena raja-raja kecil di
daerah yaitu kepala daerah yang kekuasaanya sering tidak bisa dikontrol oleh pemerintah pusat.
Fenomena ini tidak boleh disepelekan, karena memberikan dampak negatif bagi perkembangan
ekonomi di daerah.
Lemahnya sistem check & Balance
Salah satu penyebab kurang berhasilnya pelaksanaan otonomi daerah saat ini karena lemahnya
sistem check and balance sehingga para kepala daerah yang mendapat julukan negatif raja-raja
kecil ini kurang respek dan patuh kepada kewibawaan pemerintah pusat dan aturan hukum .
Tanpa sungkan sungkan dan tidak takut kepada hukum banyak dari pejabat daerah yang
memperkaya diri dengan menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya dengan cara
memanfaatkan celah hukum dan birokrasi modusnya yaitu korupsi APBD, melakukan mark up
anggaran, dan melakukan pungli kepada pengusaha dan masyarakat.

Fenomena pungli perlu mendapatkan perhatian khusus karena karena secara langsung akan
berdampak negative kepada iklim investasi. Praktik pungli memberikan dilema tersendiri bagi
para pengusaha, pelaku bisnis serta investor karena akibat hal tersebut akan menimbulkan
potensi kriminalisasi kepada pengusaha. Penegak hukum dapat mengartikan bahwa pemberian
uang kepada pejabat, ataupun pegawai negeri sipil dapat dianggap sebagai penyuapan yang bisa
dikenakan hukuman pidana korupsi .
Selama tahun 2012, tidak sedikit kepala daerah yang tersangkut masalah korupsi menjadi

headline dalam pemberitaan di media yang menjadi sorotan publik. Salah satu contoh kasus yang
menarik perhatian masyarakat adalah kasus penyuapan Bupati Buol Amran Batalipu dengan
pengusaha Siti Hartati Murdaya.
Fenomena Kasus Buol
Kasus Buol ini menjadi bukti lemahnya kontrol dari pemerintah pusat yang terlihat pada dua
kerusuhan anarkis yang terjadi pada september 2010 dan Mei 2012. Dalam kerusuhan tersebut,
pihak kepolisian yang memiliki tugas dan tanggungjawab dalam menjaga keamanan, melindungi
masyarakat dan menjaga ketertiban umum tidak mampu menangani situasi, sehingga pengusaha
harus membayar sejumlah fee kepada oknum pejabat setempat agar kondisi kembali menjadi
aman.
Kasus buol memperlihatkan bahwa otonomi daerah berpotensi mengkerdilkan peran pemerintah
pusat. Dalam beberapa kasus, kepala daerah justru memiliki kekuatan dan pengaruh lebih besar
dan dapat menyepelakan pemerintah pusat. Dalam kerusuhan Buol misalnya, kepala daerah
dapat melakukan tekanan (coercion) melalui pengaruh informalnya di daerah. Akibatnya, hak
mendasar yang dilindungi oleh hukum dan UUD seperti jaminan keamanan kepada para investor
atau pelaku bisnis dalam melakukan kegiatan bisnis menjadi komoditi untuk mencari keuntungan
pribadi bagi oknum pejabat daerah.
Perkembangan kasus Buol harus disikapi dengan bijaksana oleh para pemerintah pusat
khususnya para penegak hukum. Karena jika pihak pengusaha dianggap sebagai pihak yang
bersalah dalam kasus ini maka dampaknya akan memperburuk tingkat kepastian berinvestasi di

Indonesia. World Competitive Index yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF)
mencatat adanya penurunan ranking Indonesia pada periode 2012. Indonesia tercatat berada di
peringkat 46 pada tahun 2011 dan 44 pada tahun 2010. Hal ini memprihatinkan, karena indonesia
mengalami penurunan peringkat dalam tiga tahun berturut-turut. WCI juga mencatatkan bahwa
hambatan birokrasi masih merupakan salah satu permasalahan terbesar dalam berinvestasi di
Indonesia.
Pemerintah harus bergerak cepat sebelum otonomi daerah menjadi kanker baru bagi suksesnya
program pengentasan korupsi di Indonesia. Pemerintah perlu meningkatkan peran institusi
penegakan hukum seperti KPK , kejaksaan di daerah-daerah. Revisi undang-undang KPK akan
lebih baik jika dapat meningkatkan kemampuan KPK untuk lebih berdayaguna dalam
pemberantasan korupsi di daerah daerah. Dan UU No. 32/2004 tentang otonomi daerah juga
perlu direvisi secepatnya agar dapat memberikan kewenangan kepada gubernur, sehingga dapat
menyederhanakan birokrasi dan dapat memberikan check and balance di daerah khususnya bagi
pemerintahan kabupaten. UU no. 32/2004 tersebut juga perlu direvisi karena tidak mendorong

iklim investasi dan berusaha yang kondusif bagi para investor karena terbukti justru mendorong
para kepala daerah melakukan pidana korupsi.
Yang tidak kalah pentingnya adalah pemekaran daerah sebaiknya dihentikan sampai terdapat
revisi terbaru UU otonomi daerah. Pemekaran daerah yang merajarela akan membuat praktek
korupsi di daerah akan menjadi tak terkontrol. Desentralisasi korupsi harus dicegah sebelum

menggerogoti perekonomian nasional.(*)

artikel contoh usaha usaha bela negara
Garuda Indonesia Tercatat Sebagai Maskapai Paling Tepat Waktu
Sepanjang 2012

Garuda Indonesia Tercatat Sebagai Maskapai Paling Tepat Waktu Sepanjang 2012 Garuda
Indonesia Tercatat Sebagai Maskapai Paling Tepat Waktu Sepanjang 2012 Garuda Indonesia
tercatat sebagai maskapai paling tepat waktu sepanjang 2012 Garuda Indonesia tercatat sebagai
maskapai paling tepat waktu sepanjang 2012. On time performance maskapai BUMN ini
tertinggi dibandingkan dengan enam maskapai lainnya, yakni 84,96% sepanjang 2012.
Kementerian Perhubungan mencatat dari enam maskapai penerbangan berjadwal dengan
market share (pangsa pasar) domestik di atas 3%, Garuda Indonesia meraih angka on time
performance (OTP) atau ketepatan waktu tertinggi. “Sepanjang tahun lalu Garuda mencatat OTP
84,96%, dengan posisi tertinggi pada Januari yang mencapai 90,57%,” kata Direktur Angkutan
Udara Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Djoko Murjatmodjo, Rabu

(6/2/2013). Dia menjelaskan setelah Garuda, OTP tertinggi kedua diraih Wings Air (anak usaha
Lion Air), Sriwijaya Air, Lion Air, Batavia Air (setop operasi karena dipailitkan sejak 31 Januari
2013), dan Merpati Nusantara.

Garuda Indonesia mampu mempertahankan OTP nya di level tertinggi meski rute yang
diterbanginya terus bertambah. Pangsa pasarnya juga tercatat tertinggi kedua di Tanah Air, yakni
22,76%. Kompetitior utamanya dari sisi pangsa pasar yakni Lion Air, yakni sebesar 41,48%,
hanya mampu menempati urutan keempat dari sisi tingkat ketepatan waktu terbang. Djoko
mengatakan anak usaha Lion Air, yakn Wings Air, baru masuk dalam kategori pangsa pasar
dalam negeri di atas 3% pada tahun lalu, dan langsung mencatat OTP tertinggi kedua setelah
Garuda, mengalahkan induk usahanya. Pangsa pasar Wings Air tercatat 3,32% sepanjang 2012.
Djoko menyebutkan sebagian besar keterlambatan penerbangan, sehingga angka OTP rendah,
disebabkan oleh faktor lain-lain yakni 39%. Faktor tertinggi kedua yakni faktor non teknis
operasional sebesar 32,44% misalnya keterlambatan awak kabin karena transportasi, over
booking, connecting flight crew, menunggu pembuatan dokumen penerbangan. Penyebab
keterlambatan ketiga yakni faktr teknis operasional sebesar 22,82% diantaranya antrian pesawat
lepas landas (take off), mendarat, atau alokasi waktu keberangkatan di bandara.
Sekjen Indonesia National Air Carrier Association (INACA) Tengku Burhanuddin
mengatakan maskapai Garuda Indonesia memang menunjukkan performa yang terus membaik
setiap tahunnya sehingga tetap bisa menjaga ketepatan waktu terbangnya. “Kalau Garuda
Indonesia itu, di dalam tiket tercantum himbauan batas check in tiket ½ jam sebelum
keberangkatan. Lewat dari itu, pemegang tiket tak bisa diterbangkan, dan ternyata himbauan itu
tampaknya efektif untuk menjaga ketepatan waktu terbangnya agar tidak terlambat,” kata
Tengku. Menurutnya, tidak bisa dikatakan semakin banyak rute yang diterbangi satu maskapai

akan mengurangi tingkat OTP.
Sebelum maskapai itu menerbangi rute dan frekuensi satu destinasi, maskapai harus
mengajukan ke regulator, yakni Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub. “Jadi, tidak bisa
disalahkan sepenuhnya kalau OTP rendah karena rutenya kebanyakan. Sebelum mereka terbang,
kan sudah diberi persetujuan dari regulator, artinya maskapai itu mampu menerbangi rute dan
frekuensi yang banyak, berarti alat produksinya mencukupi,” kata Tengku. Maskapai Lion Air
sebelumnya pernah mendapat peringatan dari Kemenhub karena OTP di bawah 70% yakni
masuk kategori merah. Untuk memperbaikinya, maskapai ini diminta untuk mengurangi
produksi agar terjadi keseimbangan antara rute dan frekuensi yang dilayani dengan jumlah
pesawat dan kru.