Perkembangan Fakultas Theologi Menjadi Sekolah Tinggi Theologi HKBP 1954-1978

BAB II
PENDIDIKAN THEOLOGI SEBELUM TAHUN 1954
2.1 ZENDING DAN KRISTENISASI
Badan penyebaran Agama Kristen yang pertama sekali memasuki wilayah
Sumatera dilakukan oleh Zending-zending ke Tanah Batak (Tapanuli) yaitu dimulai
dari usaha zending yang dilakukan oleh BMS (Baptist Missionary Society) dari
Inggris pada tahun 1824, dengan mengutus misionaris yang bernama Ricahrd Burton
dan Nathaniel Ward ke daerah Silindung. Kehadiran kedua missionaris ini disambut
baik oleh sebagian penduduk Silindung. Burton dan Ward menyebarkan agama
Kristen dimulai dengan cerita tentang Kesepuluh Dasa Titah 15. Penduduk Silindung
memahami bahwa isi Dasa Titah itu tidak jauh berbeda dengan tuntutan falsafah
hidup Batak dalam patik dan uhum 16. Namun kedua missionaris itu tidak didukung
oleh sarana dan tenaga yang cukup sehingga kristenisasi di Silindung tidak
berkelanjutan.
Setelah mundurnya Burton dan Ward misionaris yang datang dari Inggris,
pada tahun 1834 Zending American Board Commision for Foreign Ministry
(ABCFM) dari Amerika mengutus misionaris yang bernama Henry Lyman dan
Samuel Munson. Lyman dan Munson tiba pada 17 Juni 1834 di Pulo Pamarenta 17,
pusat pemerintahan Inggris yang jaraknya tidak jauh dari Sibolga. Selama satu
15


Hukum Taurat, berisi 10 perintah Tuhan Allah.
Patik dan uhum (janji dan hukum)
17
PuloPamarenta, sebutan popular dari Pulau Pocan Kete, Pusat Pemerintahan Inggris.
16

Universitas Sumatera Utara

minggu Lyman dan Munson mempersiapkan perjalanan memasuki pedalaman Tanah
Batak untuk menyebarkan agama Kristen. Perjalanan mereka cukup panjang untuk
bisa memasuki Tanah Batak namun belum sampai di tempat tujuan mereka yaitu
daerah Silindung kedua missionaris ini tewas terbunuh di Lobupining 18.
Berikutnya adalah Zending Ermelo dari Belanda. Zending ini mengutus
seorang missionarisnya yaitu Gerrit van Asselt. Dia diutus Ds. Wetteven dari kota
Ermello, Belanda, tiba di Sumatera Mei 1856 dan berpos di Sipirok, tahun 1857.
Dalam menyebarkan agama Kristen, Van Asselt berhasil membaptis dua orang Batak
pada 31 Maret 1861 yaitu Pagar Siregar dengan nama baptis Simon Petrus dan Main
Tampubolon yang diberi nama baptis Jakobus Simon Petrus. Simon Petrus adalah
putra raja Pamusuk (Kampung) Raja Sutan Doli, dari Bungabondar. Jakobus adalah
anak rantau asal Barus. Namun perkembangannya sangat lambat karena kekurangan

biaya dan tenaga misionaris, maka zending Ermelo ini kemudian mengirimkan
kembali misionarisnya.
Badan penyebaran agama Kristen yang paling berpengaruh di Sumatera,
terkhusus di wilayah Toba adalah badan perkabaran injil Jerman yang bernama
Rheinische Mission Gesselschaft (RMG). RMG menjadi perintis munculnya gereja
dengan jemaat yang terbanyak di Asia Tenggara yakni Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP) 19, yang bemula dari komunitas-komunitas penyebaran agama Kristen yang

18

J.R Hutauruk, op.cit., hlm 31
Pdt. Bonar Napitupulu, ketika menjadi Ephorus (pemimpin tertinggi) HKBP menyebutkan
bahwa terdapat 4,1 juta anggota HKBP (2011). Statistik keanggotaan LWF (Lhuteran World
Federation) menyatakan jumlah anggota jemaat HKBP adalah 3,7 juta jiwa (2010). Jubil Raplan
19

Universitas Sumatera Utara

dibentuk RMG di tanah Batak pada masa penjajahanBelanda. RMG pula yang
memperkenalkan agama Kristen kepada penduduk Simalungun, Dairi, Nias dan

berbagai wilayah di sekitarnya.
RMG mulai didirikan pada tahun 1828. RMG berpusat di Barmen, Jerman.
Daerah misi RMG terutama berada di wilayah Afrika (mulai 1829), Cina (mulai
1846), Kalimantan (1836-1859) dan Sumatera (mulai 1861). RMG dipimpin oleh
seorang presiden (Prases) yang bertugas menjalin hubungan dengan perusahaanperusahaan penyumbang dana bagi operasional RMG, dan seorang direktur
(Inspektor) yang berlatar theologi dan bertanggung jawab atas misi kristenisasi. Para
misionarisdipimpin secara komando oleh direktur.20 Pada masa pengutusan
misionaris ke Toba, yang menjabat sebagai direktur RMG pada saat itu adalah
Friederich Fabri (masa jabatan dari 1857- 1884).
Sebelum memasuki Toba, misionaris RMG sudah terlebih dahulu melakukan
kristenisasi di Kalimantan. Pada masa itu, terjadi Perang Banjar, perang antara pihak
kolonial Belanda dengan kerajaan setempat. Pada 1859, ketika perang di Kalimantan
meletus, 9 orang misionaris RMG terbunuh. Beberapa misionaris yang masih selamat
diamankan ke pulau Jawa. Akibat peristiwa tersebut, Fabri selaku direktur RMG
memutuskan untuk pergi ke Amsterdam, Belanda. Fabri hendak mencari
kemungkinan adanya daerah misi yang baru bagi para misionarisnya.

Hutauruk, ibid., hlm. 24.
20
Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,

2010, hlm. 55.

Universitas Sumatera Utara

RMG kemudian menghubungi pastor Witteven, seorang tokoh dari Zending
Ermelo. Zending Ermelo adalah badan penginjilan yang sudah terlebih dahulu
memasuki tanah Batak, yaitu di daerah Angkola dan Sipirok mulai 1857. Kristenisasi
di tanah Batak, tepatnya di Tapanuli Selatan tersebut, dipimpin oleh Van Asselt,
beserta misionaris lainnya yaitu Dammerboer yang menetap di Hutarimbau
(Angkola), Van Dalen di Pargarutan (Angkola) dan Betz di Bungabondar (Sipirok).21
Ermello adalah nama sebuah wilayah pertanian di Belanda, tempat badan
penginjilanZending Ermello berasal. Kristenisasi di Tapanuli Selatan tidak begitu
memuaskan bagi misionaris, hal ini disebabkan oleh sebagian besar orang Batak di
Tapanuli ini sudah beragama Islam.
Setelah beberapa kali perundingan, diputuskanlah bahwa misionaris Zending
Ermello yang sedang berada di Sumatera akan dipekerjakan untuk RMG. Mereka
akan dibantu oleh misionaris RMG yang sebelumnya berada di Kalimantan, yaitu
Karl Klammer, Carl Wilhelm Heine dan Ernst Ludwig Denninger. 22 Perundingan di
Belanda tersebut menjadi pintu masuk bagi RMG ke Sumatera.
Pada 7 Oktober 1861, empat dari misionaris-misionaris yang telah disatukan

yakni Van Asselt, Betz, Heine dan Klammer (Deningger masih berada di Padang,
sedangkan Dammerboer dan Dalen sudah mengundurkan diri 23), mengadakan rapat
pertama

mereka.

Pertemuan

keempat

misionaris

ini

diberi

nama

21


Paul Bodholt Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1975. hlm. 52
22
Uli Kozok, op.cit., hlm. 32.
23
Kedua misionaris Belanda ini tidak mau bekerja dibawah pimpinan orang Jerman. Mereka
memilih bekerja sebagai guru dibawah pemerintahan Belanda. Paul Bodholt Pedersen, op.cit., hal. 53.

Universitas Sumatera Utara

Batakmission. 24Bergerak di bawah komando direktur RMG, untuk kristenisasi tanah
Batak. Keempat misionaris ini menentukan tempat pelayanan masing-masing sebagai
berikut: Klammer yang disertai istrinya melayani di Sipirok, Betz di Bungabondar,
sedangkan Van Asselt beserta Heine bertekad untuk merintis dan membuka misi baru
di wilayahutara, yakni di Toba. 25
Dalam kristenisasi di Tapanuli Selatan, tercatat hampir 700 orang sudah
dikristenkan sampai tahun 1871. Jumlah yang tergolong pesat. Namun setelah itu, tak
ada lagi kemajuan jumlah yang signifikan. Sebab, sebagian besar penduduk Tapanuli
Selatan sudah memeluk agama Islam. 26
Di bagian utara, di tanah Toba, Van Asselt dan Heine mulai mendirikan setasi

atau jemaat sending 27 di Aek Sarulla, Pangaloan dan Sigompulon (1863). Mereka
juga menjajaki daerah Silindung. Di sana Van Asselt dan Heine disambut baik oleh
Raja Pontas Lumbantobing 28. Tetapi, Van Asselt dan Heine belum berani membuka
pos penginjilan di Silindung karena dianggap belum kondusif. Asselt dan Heine
mendapat kesan bahwa raja-raja desa di wilayah itu masih suka melakukan perang
antar desa. 29
Keadaan di tanah Toba berubah secara signifikan semenjak kedatangan
misionaris RMG bernama Ludwig Ingwer Nommensen. Dewasa ini, Nomensen
24

Gereja HKBP memperingati 7 Oktober 1861, hari terbentuknya Batakmission, sebagai hari
kelahiran25HKBP.
Jubil Raplan Hutauruk, op.cit., hlm. 42.
26
Uli Kozok, loc.cit.
27
Kelompok orang-orang yang dikristenkan.
28
Kemudian Raja Pontas Lumbantobing dibaptis dengan nama baptis Obaja.
29

Jubil Raplan Hutauruk, op.cit., hlm. 53.

Universitas Sumatera Utara

dikenal di kalangan HKBP sebagai orang yang sangat berjasa bagi kemajuan orang
Batak Toba. 30 Nommensen lahir pada 6 Februari 1834 di Nordstrand, perbatasan
Jerman. Ia diterima di seminari RMG di Barmen pada 1857-1861. Setelah tamat, pada
Oktober 1861, ia pergi ke Belanda dan belajar bahasa Batak pada Van Der Tuuk. 31 Ia
kemudian melanjutkan perjalanannya ke Sumatera pada Desember 1861. Pada 14 Mei
1862, Nommensen tiba di kota Padang.
Nommensen melakukan perjalanan pertamanya ke Toba pada 25 Oktober
1862 lewat Padang, Sumatera Barat. Nommensen memulai misinya menyebarkan
agama Kristen lewat pelabuhan Sibolga dan Barus hingga ke daerah Tapanuli bagian
Utara (Toba). Disana Nommensen disambut baik oleh keresidenan Sibolga,
Nommensen diberikan tempat tinggal sementara sebelum melanjutkan perjalanannya
ke Tapanuli bagian Utara. Namun, pemerintah Belanda (keresidenan Sibolga)
melarangnya untuk menetap di Toba. Daerah tersebut di luar batas daerah hukum
Belanda, sebab belum dianeksasi (ditaklukkan). 32

30


Raplan Hutauruk (pemimpin tertinggi/Ephorus HKBP periode 1998-2004) mengakui hal ini
dengan menuliskan “… bukan Nommensen yang sesungguhnya yang ditampilkan tetapi Nommensen
seperti yang terukir dalam pikiran dan kemauan sang sutradara.” J.R Hutauruk, op.cit., hlm. 43.
Namun upaya menetralkan kembali (demistifikasi) pandangan terhadap Nommensen sudah dilakukan
Uli Kozok dalam bukunya Utusan Damai di Kemelut Perang. Uli Kozok menggunakan surat-surat asli
Nommensen dengan RMG sebagai sumbernya.
31
Orang Toba memanggil Van Der Tuuk dengan julukan “Pandortuk” yang artinya “Si
Hidung Besar”. Van Der Tuuk diketahui sebagai orang Eropa pertama yang memandang keindahan
Danau Toba. Lihat Paul Bodholt Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1975, hal. 61-62. Van Der Tuuk sendiri adalah seorang ateis, yang dipekerjakan oleh NBG
karena kecakapannya sebagai ahli bahasa. Lihat Uli Kozok, op.cit., hal. 28.
32
Andri Tarigan, “Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen” Skripsi S-1 belum diterbitkan ,
Medan: Departemen Sejarah FIB USU, 2014.

Universitas Sumatera Utara

Pada Mei 1864, Nommensen resmi tinggal di Silindung, 33 dengan bantuan

Raja Pontas Lumbantobing. Nommensen mendirikan sebuah Huta bernama Huta
Dame (Kampung Perdamaian). Di huta tersebut Nommensen dan masyarakat yang
bersimpati padanya mendirikan rumah-rumah, sekolah, gereja dan rumah sakit. Huta
Dame dihuni oleh orang-orang

yang

berhasil dikristenkan,

yang

karena

kekristenannya dikucilkan dari kampungnya sendiri. Nommensen, menurut aturan
adat, menjadi raja kampung.
Nommensen menjadi dikenal di berbagai huta di seantero Toba karena
pelayanan sosialnya, seperti: pengobatan-pengobatan (khususnya cacar yang
mewabah), pemerdekaan anak para budak, penebusan budak, peminjaman uang
bunga rendah, dsb. 34 Seiring dengan itu, kristenisasi terus berkembang. Kepopuleran
Nommensen, Huta Dame dan kristenisasinya menjadi ancaman bagi kekuasaan

politik-spiritual dinasti Sisingamangaraja. Sebab, ajaran Kristen bertentangan dengan
ketentuan politik dan religi Sisingamangaraja.
Pada awal 1878, Nommensen berulang kali meminta agar pemerintah kolonial
Belanda melakukan aneksasi terhadap tanah Toba. Pemerintah kolonial Belanda
mengabulkannya, sehingga meletuslah perang Toba. 35 Dalam perang ini, penginjil
dan kolonial bekerjasama untuk memastikan bahwa orang Batak ”terbuka pada
33

Ada ketakutan di kalangan RMG bahwa agama Islam akan lebih berkembang apabila
menunggu aneksasi Belanda terhadap Toba. Sebab, pribumi yang menjadi pegawai administrasi
Belanda biasanya orang Melayu berpendidikan, yang beragama Islam. Karenanya, kristenisasi harus
dilakukan sebelum Belanda melakukan aneksasi.
34
Ibid., hlm. 61.
35
Penginjil berani meminta Toba dianeksasi oleh pemerintah kolonial Belanda setelah basis
umat Kristen di Toba sudah mulai kokoh.

Universitas Sumatera Utara

pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa. 36
Dalam kerjasamanya, pemerintah kolonial mengandalkan senjata, sedangkan
para penginjil mengandalkan pengetahuan adat-istiadat dan bahasa. Para penginjil
berperan sebagai penunjuk arah dan negosiator. Selama aneksasi, ada kampung yang
dihancurkan, ada pula yang mencapai kesepakatan damai karena bernegosiasi dengan
para penginjil. Aneksasi berakhir dengan tewasnya Sisingamangaraja XII dalam
pertempuran di wilayah Dairi pada 1907.
Pada 1881, Nommensen diberi gelar Ephorus (overseer, pengawas) oleh
RMG. Sebuah gelar tertinggi dalam manajemen RMG di daerah koloni. Selama
aneksasi, Toba mengalami transformasi. Dari kekuasaan politik - spiritual dinasti
Sisingamangaraja, menjadi kekuasaan politik-spiritual Belanda-Kristen. Politik dan
spiritual menjadi satu paket dalam diri masyarakat Toba pada masa itu, mengingat
Toba sudah begitu lama menganut teokrasi Sisingamangaraja, sehingga sulit bagi
masyarakat Toba untuk memisahkan keeratan hubungan dunia politik dengan dunia
spiritual.
Ketika Nommensen meninggal pada 23 Mei 1918, sudah terdapat lebih dari
180.000 orang yang dibaptis, 510 buah sekolah dengan 32.700 murid, 788 guru injil
dan 2.200 penatua. Gereja-gereja yang dibangun, dipimpin oleh pendeta Batak yang
telah ditahbiskan. 37 Dengan perubahan yang begitu signifikan ini, Nommensen telah

36

Uli Kozok, op.cit., hlm. 92.
Paul Bodholt Pedersen, op.cit., hlm. 64.

37

Universitas Sumatera Utara

menjadi transformator bagi peradaban manusia di Toba. Orang-orang Toba tumbuh
menjadi orang-orang yang beragama dan terdidik.

2.2 Hambatan yang Dihadapi Zending
Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa kristenisasi berhasil di Tanah
Batak yaitu dengan mulai bertambahnya masyarakat yang mulai mengikut ajaran
agama Kristen. Namun kristenisasi yang dilakukan oleh misionaris tidak selalu
berjalan mulus, tetap saja ada hambatan yang dihadapi para misionaris. Hambatan
yang dihadapi para misionaris yaitu:
Pertama, awal masuknya misionaris ke Tanah Batak, misionaris ini
mengalami hambatan dari Gubernur Belanda untuk wilayah Sumatera yang
menentang usaha para misionaris untuk menyebarkan agama Kristen. Sikap Gubernur
Belanda P. Arriens yang melakukan berbagai usaha seperti, mengatakan bahwa
kegiatan penginjilan dapat menimbulkan masalah bagi kepentingan kolonial Belanda,
selain itu P. Arriens berdalih terhadap misionaris bahwa kawasan Tanah Batak penuh
bahaya karena belum dianeksasi atau dikuasai secara administratif oleh Belanda. 38
Kedua, Orang Batak pada masa itu masih menganut kepercayaan animisme.
Mereka tidak mau meninggalkan kepercayaan yang sudah mereka anut sejak lama.

38

Jubil Raplan Hutauruk, op.cit., hlm. 36.

Universitas Sumatera Utara

Salah satu misionaris.Warneck ketika berdiaolog dengan orang Batak, Warneck kerap
mendengar respon:
“Apa yang kalian ucapkan itu boleh saja baik, karena itulah agama kalian,
yang baik untuk kalian. Namun yang baik untuk kami adalah agama kami. Tetapi jika
anda mau membawa kami kepada kekayaan dan kejayaan, kami siap menerima anda
dan mendengarkan anda” 39
Kalimat itu, bagi Warneck, mencerminkan bentuk penolakan halus orang Batak
terhadap agama Kristen.
Ketiga, rasa curiga orang Batak terhadap misionaris yang menyebarkan agama
Kristen. Orang Batak menganggap kalau misionaris yang datang ke Tanah Batak
merupakan mata-mata dari pihak Belanda.
2.3 Pendidikan Theologi Sebagai Sarana Penyebaran Agama Kristen
Dalam kurun waktu yang tidak lama setelah batakmission oleh keempat
missonaris dari zending RMG dan zending Ermello di Tanah Batak (1861), semakin
dirasakan meluasnya pekerjaan penyebaran agama Kristen sedangkan jumlah para
penginjil masih tergolong sedikit. Keadaan ini disebabkan karena masyarakat di
Tanah Batak semakin terbuka menerima agama Kristen dan kurangnya tenaga
missonaris dari kalangan zending Eropa, maka mereka memutuskan untuk
mendirikan seminari 40 untuk mendidik tenaga-tenaga yang kelak akan menjadi

39
40

Paul Bodholt Pedersen, op.cit., hlm. 46.
Sebutan untuk sekolah teologi.

Universitas Sumatera Utara

missionaris dari kalangan pribumi yang mampu membantu misionaris dari zending
Eropa.41
Tujuan didirikan seminari di Tanah Batak oleh misonaris yaitu; pertama,
melayani orang Batak yang belum menganut agama Kristen agar menjadi Kristen,
tujuan pertama ini mula-mula dicapai melalui strategi pendekatan dan pertobatan
perorangan; kedua, mengajar orang Batak membaca dan menulis, karena membina
secara kerohanian saja tidak mungkin membentuk manusia yang seutuhnya jika
manusia itu buta aksara; ketiga, mengajar dalam bidang pengetahuan umum.
Missionaris umumnya membuka seminari sejak awal kegiatan mereka karena sarana
pendidikan dipandang sangat efektif untuk menyebarkan agama Kristen.
Dibawah ini akan dijelaskan seminari-seminari yang didirikan oleh
misionaris.
2.3.1 Seminari Parausorat (1868 – 1876)
Seminari Parausorat ini dikenal sebagai “perguruan theologia” yang pertama
dalam sejarah pendidikan teologi HKBP berdiri pada April 1868. Lama belajar dalam
seminari ini ditetapkan selama 2 tahun dan diasuh oleh August Schreiber. Angkatan
pertama dari seminari Parausorat berjumlah 5 orang siswa. 42
Tentang pendidikan di seminari ini, Schreiber menulis demikian:
41

Jubil Raplan Hutauruk, Menjadi Manusia Mandiri : Johannes Warneck di Pansurnapitu dan
Sipoholon, 1896 – 1906, Medan: LAPiK, 2013, hlm. 15.
42
Kelima siswa adalah Ephraim, Thomas, Paulus, Johannes dan Markus.

Universitas Sumatera Utara

“Yang menjadi mata pelajaran pokok dalam pendidikan ini adalah
pengetahuan Alkitab dan Katekismus. Sebagai tambahan, kepada mereka
diberi pejaran tantang ilmu bumi, sejarah, berhitung, ilmu alam dan
bernyanyi. Buku-buku untuk pelajaran itu sama sekali tidak ada, sebab itu
saya bersama siswa-siswa menerjemahkan buku sejarah Alkitab yang ditulis
Zhan, tokoh pendidikan yang terkenal di Moers. Kerajinan dan kesungguhan
para siswa sangat menggembirakan hati saya. Kalau mereka sudah mengikuti
pendidikan sealama dua tahun, mereka dapat diangkat sebagai pembantu
dalam pekerjaan zending.” 43
Selain Schreiber pada tahun 1871, dia memiliki seorang rekan kerja misionaris
Leipoldt. Angkatan kedua dari seminari ini berjumlah 12 orang. Angkatan ketiga dari
seminari ini berjumlah 10 orang. Dengan jumlah 27 siswa selama tiga angkatan,
penilaian Schreiber dan Leipoldt sangat positif terhadap siswa-siswanya dan menaruh
harapan besar bahwa kelak siswa lulusan seminari ini menjadi pendeta dari kalangan
pribumi yang membantu misionaris dalam mengajarkan Agama Kristen. Namun tidak
semua lulusan seminari ini menjadi pendeta, ada 2 orang yang meninggalkan tugas
mereka dan mencari pekerjaan lain.
Tujuan seminari ini adalah dwi-fungsi, yaitu mendidik para siswa menjadi
pendeta dalam gereja, yang membantu misionaris dan untuk menjadi guru di sekolahsekolah yang sudah berdiri. Sesuai dengan tujuan itu maka kurikulum yang
dijalankan di seminari itu, selain pengetahuan teologia, juga meliputi pengetahuan
umum. Pengetahuan teologia yang diajarkan, meliputi: (1) Pengetahuan, Tafsiran dan
Sejarah Alkitab, (2) Katekismus, (3) Sejarah Gereja.
Pengetahuan Umum, meliputi pelajaran:
43

Andar Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1992, hlm. 127.

Universitas Sumatera Utara

1. Berhitung.
2. Ilmu Bumi (Sumatera, Hindia Belanda dan Dunia).
3. Ilmu Pengetahuan Alam.
4. Sejarah Dunia, yang mencakup Sejarah Kuno bangsa-bangsa dan Sejarah
Modern yang menggambarkan “perkembangan posisi bangsa-bangsa
Eropa yang menguasai dunia”.
5. Bernyanyi.
6. Bahasa, yakni Bahasa Melayu dan Bahasa Jerman.
7. Tulisan Batak (Aksara). 44
Proses belajar-mengajar di seminari Parausorat berbahasa Angkola. Siswa
yang bukan dari latar belakang bahasa (budaya) Angkola, tetap menggunakan bahasa
Batak Angkola. SeminariParausorat ini mengalami kesulitan dalam hal buku
pelajaran. Kurangnya buku pendukung untuk seminari ini mengharuskan Schreiber
dan Leipoldt bekerja keras menerjemahkan isi buku terbitan Eropa dan
melengkapinya dengan pengetahuan yang sesuai dengan kebutuhan siswa di seminari
ini. 45
Sebelum memasuki angkatan ketiga penerimaan siswa di seminari ini,
Schreiber harus kembali ke Eropa pada tahun 1873 karena alasan kesehatannya.
Setelah kembali ke Eropa, Schreiber tidak pernah lagi kembali ke seminari

44

Panitia Expo, Bangkitlah Hai Bangsaku I – Diperlengkapi untuk Melayani, Pematang
Siantar : Panitia Expo STT-HKBP, 1995, hlm. 21.
45
Jubil Raplan Hutauruk, 2013,op.cit., hlm. 181.

Universitas Sumatera Utara

Parausorat. Selama masa pendidikan angkatan ketiga, seluruh proses pendidikan
ditangani oleh Leipoldt. Namun diakhir masa pengajaran angkatan ketiga, Leipoldt
juga harus kembali ke Eropa karena kondisi kesehatannya sangat menurun dan tak
mengijinkan lagi untuk tinggal lebih lama di Parausorat.
Daerah
mengakibatkan

Tapanuli
kurang

Selatan

yang

berminatnya

telah

masyarakat

lebih

dulu

dimasuki

Islam,

menerima pendidikan dari

misionaris. Masyarakat lebih memilih memasukkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah
milik pemerintah kolonial Belanda. Sekolah ini tidak mengajarkan ajaran agama
secara khusus, diluar jam sekolah anak-anak mereka tetap dapat memperoleh
pendidikan agama Islam. Tidak seperti di seminari yang isi pelajarannya sebagian
besar tentang agama Kristen dan setiap siswa diwajibkan untuk mengikuti ajaran
agama Kristen. Alasan lain ditutupnya seminari ini karena tidak ada tenaga pengajar
yang menggantikan mereka, serta kristenisasi di daerah Sipirok, Tapanuli Selatan
yang lambat perkembangannya maka seminari ini ditutup.46
2.3.2 Seminari Pansurnapitu
Setelah Seminari Parausorat ditutup akibat tidak adalagi tenaga pengajar serta
dikarenakan di daerah Tanah Batak bagian Selatan telah memeluk agama Islam maka
para misionaris di Silindung merasakan perlunya dibuka kembali seminari. Pada
Januari 1874, diadakanlah sekolah secara bergerak, yang disebut “Sikola

46

Andar Lumbantobing, op. cit., hlm. 129.

Universitas Sumatera Utara

Mardalan” 47 maksud dari sekolah bergerak ini para murid harus berpindah-pindah
belajar menemui para guru mereka untuk menerima pelajaran. Selama satu atau dua
hari menerima pelajaran dari I.L Nommensen di Pearaja, kemudian ke Sipoholon
untuk menemui A.Mohri lalu ke Pansurnapitu untuk menerima pelajaran dari P.H
Johannsen. Demikan seterusnya yang dilakukan para murid menjalani proses belajar.
Mata pelajaran yang diajarkan ketiga misionaris terdiri dari pengetahuan theologi dan
pengetahuan umum. Pembagian mata pelajarannya yang diajarkan masing-masing
misionaris yaitu sebagai berikut:
1. Disposisi Alkitab, Mengarang dan Dikte, Homiletik, Ilmu Agama, Ilmu
Hayati/ Kesehatan dan Bahasa Jerman, diberikan setiap hari Senin oleh I.L
Nommensen di Pearaja.
2. Pengetahuan Alkitab, Ilmu Bumi, Sejarah Dunia, Sejarah Gereja, Berhitung
dan Katekismus, diberikan setiap hari Rabu oleh P.H Johansen di
Pansurnapitu.
3. Musik/Harmonium, Al-Quran/ Agama Islam, Dogma dan Bahasa Melayu
diberikan setiap hari Jumat oleh A.Mohri di Sipoholon.
Hari Selasa dan Kamis digunakan siswa untuk mengulangi pelajaran dan kesempatan
untuk menemui dari guru satu ke guru lain. Sabtu dan Minggu sebagai hari istirahat
dan kembali ke kampung masing-masing. Sikola Mardalan ini hanya berjalan selama
empat tahun saja karena sistem sekolah yang kurang efektif dengan kondisi belajar

47

Harfiah: Sekolah berjalan-jalan.

Universitas Sumatera Utara

seperti itu membuat para siswa terlalu lelah dan pengajar juga kurang merasa puas
dalam memberikan pelajaran, termasuk juga transportasi yang menghubungkan antar
daerah di Tanah Batak masih sangat minim.
Pada Juni 1877 atas persetujuan dari RMG secara resmi didirikanlah Seminari
Pansurnapitu sebagai tempat pendidikan teologi. 48 Proses belajar-mengajar di
seminari ini dibawah bimbingan P.H Johansen dan J.H Meerwaldt. Ini bukan pertama
sekalinya zending mendirikan seminari di Tanah Batak. Sebelumnya telah didirikan
Seminari Parausorat di Tapanuli Selatan. Seminari Pansurnapitu dibuka dengan 15
orang angkatan pertama. Kurikulum yang diajarkan di seminari ini juga tidak berbeda
dengan yang diajarkan di Sikola Mardalan. Demi peningkatan mutu dari seminari ini
maka pendidikan diperbaharui oleh P.H Johansen. Tidak berbeda dengan Schreiber,
Johannsen juga menyisihkan waktu dan tenanganya untuk menterjemahkan bukubuku pelajaran terbitan Eropa ke dalam bahasa Batak.
Pada awal dibukanya pelajaran di seminari berlangsung di rumah P.H
Johansen karenabelum ada gedung sekolah dan asrama untuk siswa. Lama belajar di
seminari ini awalnya hanya dua tahun saja, Johansen merasa dua tahun masa belajar
terlalu singkat sehingga dinaikkan menjadi empat tahun. Kurikulum baru yang
disusun oleh Johansen di seminari Pansurnapitu ini didasarkan atas ketentuan dalam
Tata Gereja 1881. Kurikulum dan tahun ajaran di seminari yang berlangsung selama
4 tahun, disahkan pada Konferensi Sinodal 1882; tetapi baru dijalankan sepenuhnya
sejak penerimaan siswa baru tahun 1885.
48

J.R Hutauruk, op. cit., hlm. 206.

Universitas Sumatera Utara

Isi kurikulum baru 4 tahun di Seminari Pansurnapitu adalah sebagai berikut: 49
Tahun I

Katekismus

: 3 jam

Sejarah Alkitab/Perjanjian Baru

: 3 jam

Membaca dan Latihan Mengajar Membaca

: 6 jam

Ilmu Bumi dan Sejarah

: 4 jam

Berhitung

: 4 jam

Ilmu Alam dan Ilmu Hewan

: 2 jam

Menulis Indah (Aksara Latin dan Batak)

: 4 jam

Bernyanyi

: 2 jam
Jumlah : 28 jam/minggu

Tahun II

49

Sejarah Alkitab/Perjanjian Lama

: 3 jam

Pengetahuan Alkitab

: 3 jam

Injil Sinoptik

: 2 jam

Latihan Mengajar Membaca

: 2 jam

Menulis Indah

: 2 jam

Ilmu Bumi

: 2 jam

Sejarah Umum

: 4 jam

Berhitung

: 4 jam

Ilmu Alam

: 2 jam

Bernyanyi

: 2 jam

Panitia Expo, op.cit., hlm. 23-24.

Universitas Sumatera Utara

Jumlah : 26 jam/minggu

Tahun III

Pengetahuan Alkitab/Perjanjian Baru

: 3 jam

Pengantar Perjanjian Baru

: 3 jam

Injil Yohanes

: 2 jam

Teologi Praktika

: 2 jam

Ilmu Bumi Umum

: 2 jam

Sejarah Umum dan Sejarah Tanah Air

: 4 jam

Berhitung

: 4 jam

Bahasa Melayu

: 4 jam

Medisin

: 1 jam

Ilmu Pendidikan

: 1 jam

Pengetahuan Alam

: 2 jam

Bernyanyi dan bermain Biola

: 2 jam
Jumlah : 30 jam/minggu

Tahun IV

Teologi Biblika

: 3 jam

Surat-surat Perjanjian Baru

: 3 jam

Apologetik/Polemik

: 1 jam

Teologi Praktika

: 1 jam

Sejarah Gereja dan Dunia

: 4 jam

Ilmu Alam

: 2 jam

Matematika

: 4 jam

Bahasa Melayu

: 4 jam

Ilmu Pengobatan (Medisin)

: 2 jam

Universitas Sumatera Utara

Sejarah Alam Semesta

: 2 jam

Bernyanyi dan bermain Biola

: 2 jam
Jumlah : 28 jam/minggu

Selain pelajaran kurikuler, siswa juga diberikan tambahan ekstra kurikuler
antara lain: berkebun, beternak, bertukang, paduan suara dan musik. Dengan adanya
kegiatan ekstra kurikuler ini diharapkan setiap siswa yang nantinya akan menjadi
pendeta dapat menjadi motivator dalam memanfaatkan pekarangan-pekarangan
rumah dan terampil dalam membina kelompok-kelompok paduan suara pada jemaat
yang dilayani. Masyarakat Tapanuli Utara berlomba-lomba untuk memperoleh
pendidikan dan menjadi pendeta yang dianggap sebagai jalan untuk memperoleh
hasangapon ( kehormatan atau kemuliaan) yang begitu didambakan oleh orang-orang
Batak.
Penerapan disiplin yang ketat tidak

mengurangi minat

masyarakat

menyekolahkan anak-anak mereka, orang tua tetap antusias menyekolahkan anaknya
ke seminari yang semakin hari semakin bertambah hingga memenuhi seluruh ruangan
yang dipersiapkan. Alasan masyarakat begitu antusias menyekolahkan anaknya ke
seminari yaitu :
Pertama, minat dan penghargaan masyarakat akan pendidikan meningkat pesat.
Mereka tidak puas kalau anak-anak mereka hanya tamat sekolah dasar, sedangkan
satu-satunya sekolah lanjutan pada masa itu hanya seminari ini.

Universitas Sumatera Utara

Kedua, masyarakat melihat bahwa pendidikan di seminari ini membuka kesempatan
bagi anak-anak mereka untuk menjadi guru ataupun pegawai pemerintah, kedudukan
yang menurut mereka jauh lebih terhormat dari sekedar pekerja kasar.
Ketiga, masyarakat senang bila anak-anak mereka dididik sepenuhnya oleh zending,
karena kepercayaan mereka – terutama yang sudah Kristen – terhadap misionaris
sangat besar. 50
Mengingat minimnya fasilitas, seminari ini tidak sanggup lagi menampung
masyarakat yang berminat. Sementara daya tampung seminari ini hanya 46 orang,
tetapi jumlah siswa mencapai 70 orang. Mengatasi masalah ini, missionaris
mengusahakan membangun seminari yang lebih besar. Mereka mencari lokasi yang
lebih luas. Setelah ditelusuri ke daerah-daerah yang telah dikenal oleh misionaris,
akhirnya mereka menemukan lokasi yang paling cocok, yaitu di Sipoholon. Dengan
persetujuan yang dicapai oleh raja-raja huta dengan misionaris, Seminari Sipoholon
dibangun dan diresmikan pada tahun 1901. Segala kegiatan di Seminari Pansurnapitu
dipindahkan ke Sipoholon dan bangungan ini dijadikan sebagai tempat sekolah
minggu bagi anak-anak Kristen. Di Seminari Sipoholon penerimaan murid baru
dimulai sejak tahun 1902. Siswa Seminari Pansurnapitu yang belum tamat juga ikut
dipindahkan ke seminari yang baru ini. 51

50

Jan S Aritonang, op.cit., hlm 185-186
Seminari Sipoholon diarsiteki oleh misionaris Culemmann dan diresmikan pada tanggal 17
Desember 1901. Jan S Aritonang, ibid., hlm. 237.
51

Universitas Sumatera Utara

2.3.3 Seminari Sipoholon
Dibukanya Seminari Sipoholon telah membantu masyarakat di Sipoholon dan
sekitarnya memperoleh pengetahuan baru. Sebagai lembaga pendidikan, seminari
memiliki fasilitas-fasilitas yang mendukung sehingga menarik perhatian masyarakat
untuk menuntut ilmu di sini. Seminari yang dipersiapkan untuk menyebarkan ajaran
agama Kristen ini tetap mengutamakan pelajaran dengan nuansa religius. Tujuannya
untuk menguatkan keyakinan siswa terhadap ajaran agama Kristen.
Seminari Sipoholon dibuka untuk menampung minat masyarakat Batak yang
ingin memperoleh pendidikan dari misionaris. Seluruh kegiatan yang berlangsung di
seminari

ini merupakan tanggung jawab RMG dan para misionaris utusannya.

Setelah Seminari Sipoholon dibuka, para misionaris yang bekerja di Tanah Batak
secara keseluruhan dipusatkan ke Sipoholon untuk memberikan pendidikan sesuai
dengan keahliannya masing-masing.
Sejak semula berdirinya seminari para misionaris harus menyediakan sendiri
buku pelajaran bagi bagi siswa-siswanya. Di dalamnya digabungkan pengetahuan
yang dari Barat dengan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh orang Batak
sebelumnya. Pembanguan Seminari Sipoholon ini diarsiteki oleh seorang misionaris,
yaitu Culemmann. Fasilitas yang ada di seminari ini lebih lengkap dari yang

Universitas Sumatera Utara

sebelumnya. Fasilitas yang ada di seminari ini antara lain yaitu, asrama, ruang kelas,
ruang musik, lapangan olahraga, perpustakaan, capel dan aula. 52
Seminari ini benar-benar dipersiapkan untuk mendidik masyarakat Batak guna
mendalami, memahami, dan menerima injil. Para siswa sekaligus akan dipersiapkan
sebagai pendeta dan guru sekolah, maka kurikulum seminari ini juga diperkaya,
terutama dalam bidang pengetahuan umum, karena mutu guru tamatan dari seminari
ini diharapkan mendapat pengakuan yang baik dari pemerintah Belanda.
Kurukulum Seminari Sipoholon 1902 adalah sebagai berikut: 53
Kelas Terendah (Tahun I dan II)
Perjanjian Lama

: 2 jam

Perjanjian Baru

: 4 jam

Sejarah Gereja

: 3 jam

Sejarah Umum

: 1 jam

Latihan Khotbah

: 2 jam

Berhitung

: 2 jam

: - Tertulis
-

Luar Kepala

: 2 jam
: 2 jam

Ilmu Ukur
Membaca

: -

Latin

: 2 jam

Menulis

: -

Batak
Melayu
Menulis Indah

: 1 jam
: 2 jam
: 2 jam

52
53

Panitia Expo, op.cit., hlm. 30.
Ibid. hlm. 28.

Universitas Sumatera Utara

: - Imla (Dikte)

: 2 jam

Mengarang

: 1 jam

Menggambar

: 1 jam

Bernyanyi

: 2 jam

Ilmu Bumi

: 2 jam

Ilmu Alam

: 2 jam

Musik (Harmonium, Teromper, Biola)

: 4 jam

Senam

: 1 jam
Jumlah : 39 jam/minggu

Kelas Tertinggi (Tahun III dan IV)
Perjanjian Lama

: 2 jam

Perjanjian Baru

: 4 jam

Sejarah Gereja

: 3 jam

Sejarah Umum

: 1 jam

Katehetika

: 2 jam

Latihan dan Persiapan Khotbah

: 3 jam

Pedagogik

: 2 jam

Berhitung

: - Tertulis
-

Ilmu Ukur

: 1 jam
: 2 jam

Ilmu Bumi

: 2 jam

Ilmu Alam

: 1 jam

Membaca

: -

Luar Kepala

: 3 jam

Latin

: 1 jam

Batak
Melayu

: 2 jam
: 1 jam

Universitas Sumatera Utara

Menulis

: -

Menulis Indah

: 1 jam

Imla (Dikte)

Bernyanyi

: 1 jam
: 2 jam

Menggambar

: 1 jam

Musik

: 4 jam

Senam

: 1 jam

-

Jumlah

: 40 jam/minggu

Seminari Sipoholon merupakan sarana pendalaman kekristenan. Jadi
pendidikan yang diutamakan adalah pengetahuan dan penghayatan religius. Siswa di
seminari ini juuga dibina untuk mandiri, agar pada gilirannya menjadi guru, ia dapat
menanamkan kemandirian dalam murid-muridnya. Lebih khususnya lagi didirikan
dengan tujuan untuk memperoleh tenaga bantu yang melayani jemaat-jemaat gereja. 54
Dampak usaha Batakmission, terutama melalui bidang pendidikan, atas
beberapa aspek kehidupan sosial – ekonomi masyarakat Batak, terutama yang sudah
beragama Kristen. 55
1. Peningkatan status sosial
Walaupun pada hakekatnya masyarakat Batak tidak mengenal stratifikasi sosial yang
mapan dan melembaga, karena adatnya menandaskan bahwa setiap orang Batak
adalah “keturunan raja”, namun terdapat juga tiga golongan dalam masyarakat, yaitu
raja-raja (pemuka masyarakat), rakyat biasa dan hatoban (budak). Di sinilah para
misionaris membuka peluang yang sama bagi setiap golongan untuk memasuki
54
55

Jan S Aritonang, op.cit., hlm. 183.
Jan S. Aritonang, ibid., hlm. 383-400.

Universitas Sumatera Utara

sekolah-sekolah yang ada sehingga pendidikan telah memberi status sosial yang baru,
dan mereka disebut sebagai kelas menengah. Orang-orang berpendidikan ini pun
telah disejajarkan dengan kelompok raja-raja atau “aristokrat tradisional” yang
terdapat dalam lembaga-lembaga sosial maupun dalam gereja. Kalau selama ini
kelompok aristokrat dipandang memiliki sahala (pengetahuan) yang utama, kini
sahala itu juga dimiliki oleh kelompok berpendidikan itu. Jadi misi pendidikan telah
menyiapkan jalan bagi banyak orang Batak Kristen untuk meraih status sosial yang
tinggi melalui jalur pendidikan, sebab mereka yang melanjutkan sekolah di luar
Tanah Batak pada umumnya adalah produk pendidikan yang dijalankan para
misionaris.
2. Peningkatan kesejahteraan ekonomi
Sekolah-sekolah yang dikelola oleh badan misionaris di Tanah Batak telah membuat
masyarakat Batak menjadi salah satu suku bangsa yang paling melek huruf (literate)
di seluruh Hindia Belanda (Indonesia) dan pada gilirannya membuka peluang bagi
mereka untuk memperoleh pekerjaan di luar bidang-bidang pekerjaan tradisional.
Jenis pekerjaan baru ternyata memberi penghasilan yang lebih memadai dan
kemudian dapat menduduki posisi penting karena telah bermodalkan pengetahuan
dan keterampilan yang mereka peroleh. Berkat pendidikan inilah yang membuat
masyarakat secara berangsur-angsur bergeser dari masyarakat agraris ke masyarakat
birokratis, pedagang dan pengrajin. Dengan demikian misi pendidikan di Tanah
Batak telah berhasil membangkitkan kesadaran masyarakat Batak akan pentingnya
pendidikan sebagai sarana peningkatan kesejahteraan ekonomi dan juga telah

Universitas Sumatera Utara