Diversi Terhadap Anak yang Berkonflik Dengan Hukum di Tingkat Penyidikan (Studi di Polresta Medan)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak
dalam kandungan sampai dilahirkan mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta
mendapat perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Hak atas hidup dan hak merdeka sebagai hak dasar untuk anak-anak tidak dapat
dihilangkan dan harus dilindungi. Karena hak asasi anak merupakan bagian dari hak
asasi manusia yang mendapat jaminan perlindungan hukum baik dari hukum nasional
maupun hukum internasional. 1
Persinggungan anak dengan sistem peradilan pidana menjadi permulaan anak
berhadapan dengan hukum. Sistem peradilan pidana (criminal justice system)
menurut Mardjono Reksodiputro, yakni sistem dalam suatu masyakat untuk
menanggulangi

masalah

kejahatan.

Menanggulangi


adalah

usaha

untuk

mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi dengan
menyelesaikan sebagian laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban
kejahatan dengan mengajukan pelaku kejahatan ke sidang pengadilan untuk diputus
bersalah serta mendapat pidana, disamping itu ada hal lain yang tidak kalah penting
yakni mencegah terjadinya korban kejahatan serta mencegah pelaku untuk

1

H. R. Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak (Jakarta: PTIK, 2012), hal. 1.

Universitas Sumatera Utara

mengulangi kejahatannya. 2 Proses peradilan pidana adalah suatu sistem dengan
kepolisian, kejaksaan, pengadilan serta pemasyarakatan sebagai sub sistem. Pelanggar

hukum berasal dari masyarakat akan kembali pula ke masyarakat, baik sebagai warga
yang taat pada hukum (non residivis) maupun mereka yang kemudian akan
mengulangi kembali perbuatannya (residivis). 3 Terdapat penyelesaian khusus dengan
cara non penal yang dapat diterapkan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum
sebagai perlindungan terhadap anak seperti pelaksanaan diversi.
Menurut C. Cunncen dan R. White, sejarah perkembangan hukum pidana kata
diversi (diversion) pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan
pelaksanaan peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana (President’s
Crime Commission) Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960. Sebelum
dikemukakannya istilah diversi, praktek pelaksanaan yang berbentuk seperti diversi
telah ada sebelum tahun 1960 yang ditandai dengan berdirinya peradilan anak
(children’s courts) sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan formal dan
formalisasi polisi untuk melakukan peringatan. Prakteknya telah berjalan di negara
bagian Queensland pada tahun 1963. Saat itu ketentuan diversi dimaksudkan untuk
mengurangi jumlah anak yang masuk ke peradilan formal. 4
United Nations Standard Minimum Rules for the Administrator of Juvenile
(The Beijing Rules) memberikan pedoman sebagai upaya menghindari efek negatif
2

Mahmud Mulyadi, Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana (Medan: USU Press, 2009),


hal. 39.
3

Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana (Jakarta: Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007), hal. 98-99.
4
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana. Medan:
USU Press, 2010. hal. 10 (selanjutnya disebut Marlina, Pengantar Konsep Diversi...)

Universitas Sumatera Utara

proses peradilan pidana anak, yaitu dengan memberikan kewenangan kepada aparat
penegak

hukum

mengambil

tindakan


kebijakan

dalam

mengambil

atau

menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan formal, antara
lain menghentikan atau tidak meneruskan atau melepaskan dari proses pengadilan
atau mengembalikan atau menyerahkan kepada masyarakat dan bentuk-bentuk
kegiaitan pelayanan sosial laiannya. Beberapa tindakan ini disebut diversi (diversion).
Dengan adanya tindakan diversi ini, diharapkan akan mengurangi dampak negatif
akibat keterlibatan anak dalam proses pengadilan tersebut. 5
Pengalihan (diversi) dibentuk untuk menghindarkan anak dari tindakan
hukum selanjutnya serta mencegah pengaruh negatif dari tindakan hukum selanjutnya
yang dapat menimbulkan sitgamtisasi (labelisasi). Pengalihan dapat dilakukan atas
dasar kewenangan diskresi dari penyidik, penuntut umum atau hakim sesuai dengan
pemeriksaan melalui suatu penetapan. 6

Diversi merupakan wewenang dari penegak hukum yang menangani kasus
tindak pidana yang dilakukan oleh anak untuk mengambil tindakan meneruskan
perkara atau menghentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan
kebijakan yang dimilikinya, berdasarkan hal tersebut terdapat suatu kebijakan apakah
kasus tersebut diteruskan atau dihentikan. 7 Apabila perkara itu diteruskan, maka akan
dihadapkan dengan sistem peradilan pidana dan terdapat sanksi pidana yang harus
5

R. Wiyono, Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Ngunut: Sinar Grafika, 2015), hal.

6

Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak (Bandung: Refika Aditama, 2013), hal.

45-46.
135.
7

Mohammad Kemal Dermawan dan Mohammad Irvan Oli’i, Sosiologi Peradilan Pidana
(Jakarta: Yayasan Obor, 2015), hal. 99.


Universitas Sumatera Utara

dijalankan. Namun apabila perkara tersebut tidak diteruskan, maka dari awal tingkat
penyidikan perkara akan dihentikan guna kepentingan bagi kedua belah pihak yang
prinsipnya memulihkan hubungan yang terjadi karena tindak pidana untuk
kepentingan masa depan bagi kedua belah pihak. 8
Prinsip-prinsip diversi menurut The Beijing Rules butir 11, antara lain sebagai
berikut:
1. Diversi dilakukan setelah melihat pertimbangan yang layak, yaitu penegak
hukum (polisi, jaksa, hakim dan lembaga lainnya) diberi kewenangan untuk
mengangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan
pengadilan formal.
2. Kewenangan untuk menentukan diversi diberikan kepada aparat penegak
hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan lembaga lain yang menangani kasus
terhadap anak disesuaikan dengan kriteria kebijakan masing-masing negara
serta prinsip-prinsip yang terdapat dalam The Beijing Rules.
3. Pelaksanakan diversi harus dengan persetujuan anak atau orang tua (wali).
Namun demikian, keputusan untuk pelaksanaan diversi setelah ada kajian oleh
pejabat yang berwenang atas permohonan diversi tersebut.

4. Dalam pelaksanaan diversi diperlukan kerja sama dan peran masyarakat
sehubungan dengan adanya beberapa program dalam diversi seperti:
pengawasan, bimbingan sementara, pemulihan dan ganti rugi kepada korban. 9
Tokyo Rules mengatur tentang diversi pada tahap pre-trial, pada Pasal 6
bagian 1 diatur bahwa penahanan merupakan alternatif terakhir dalam proses
peradilan pidana dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan korban.
Sedangkan pasal 6 bagian 2 dinyatakan bahwa non penahanan sedapat mungkin
diterapkan di setiap tahap. Dalam Pasal 9 dinyatakan bahwa untuk menghindari
penjatuhan pidana penjara sebagai upaya untuk memudahkan pelaku kembali ke

8

Ibid.
Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, Sistem Peradilan Pidana Anak (Yogyakarta:
Pustaka Yustisia, 2015), Hal. 67.
9

Universitas Sumatera Utara

tengah masyarakat, maka diperlukan alternatif sanksi seperti: kerja sosial atau

pendidikan dan permohonan maaf pada korban yang pelaksanaannya dapat dilakukan
pada setiap tahap dalam sistem peradilan. 10
Menurut Lode Walgrave, konsep diversi dimulai dengan pendirian peradilan
anak pada abad ke-19 yang bertujuan unntuk mengeluarkan anak dari proses
peradilan orang dewasa agar anak tidak lagi diperlakukan sama dengan orang dewasa.
Tujuannya menegakkan hukum tanpa melakukan tindakan kekerasan dan
menyakitkan dengan memberi kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki
kesalahannya tanpa melalui hukuman pidana oleh negara yang mempunyai otoritas
penuh. 11
Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk taat dan menegakkan
hukum negara, pelaksanaannya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai
prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk menempuh
jalur non pidana seperti ganti rugi, kerja sosial atau pengawasan orang tuanya.
Diversi tidak bertujuan mengabaikan hukum dan keadilan sama sekali, akan tetapi
berusaha memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk membuat orang
mentaati hukum. 12

10

Nurini Aprilianda, “Implikasi Yuridis Dari Kentuan Diversi Dalam Instrumen Internasional

Anak Dalam Hukum Anak Di Indonesia” Arena Hukum Volume 6, Nomor 1 Halaman 1-74, (April
2012)http://download.portalgaruda.org/article.php?article=311381&val=7385&title=IMPLIKASI%20
YURIDIS%20DARI%20KENTENTUAN%20DIVERSI%20DALAM%20INSTRUMEN%20INTER
NASIONAL%20ANAK%20DALAM%20HUKUM%20ANAK%20DI%20INDONESIA.Diakses
pada 2 Mei 2016.
11
Mohammad Kemal Dermawan dan Mohammad Irvan Oli’i, Op. Cit, hal. 99-100.
12
Ibid, hal. 100.

Universitas Sumatera Utara

Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan kesempatan kepada
pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal
dengan melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi berupaya memberikan keadilan
kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada
aparat penegak hukum. 13
Pelaksanaan diversi dilakukan dengan pendekatan keadilan restoratif
(restorative justice) yang merupakan proses penyelesaian yang dilakukan di luar
sistem peradilan pidana (criminal justice system) dengan melibatkan korban, pelaku,

keluarga korban dan pelaku, masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan
dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk menapai kesepakatan dan
penyelesaian. 14 Menurut pandangan restorative justice, penanganan kejahatan yang
terjadi tidak hanya menjadi tanggung jawab negara akan tetapi juga merupakan
tanggung jawab masyarakat. 15
Konsep restorative justice mempunyai suatu kerangka berpikir dalam upaya
mencari alternatif penyelesaian terhadap kasus tindak pidana yang dilakukan oleh
anak tanpa hukuman pidana. Alternatif penyelesaian yang dilakukan sebagai upaya
menciptakan keadilan yang berperikemanusiaan. 16 Penyelesaian dilakukan dengan

13

Ibid.
Allison Morris dan C. Brielle Maxwell, Restorative Justice for Juveniles: Conferencing
Mediation and Circles (Oregon: Oxford-Portland, 2001), hal. 3. Dikutip dari Marlina, Peradilan
Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice. (Medan: Refika
Aditama, 2009), hal. 23. (Selanjutnya akan disebut Marlina, Peradilan Pidana Anak...)
15
Ibid.
16

Howard Zehr, Chancing Lenses: A New Focus for Crime and Justice (Pensylvania: Herald
Press, 1990), hal. 181. Dikutip dari Ibid, hal 23-24.
14

Universitas Sumatera Utara

tetap memberikan hak masing-masing pelaku dan korban dalam mediasi sebagai
sentral dalam pelaksanaan restorative justice. 17
Tujuan diversi menurut Heather Strang, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Untuk menghindari penahanan.
Untuk menghindari stigma atau label sebagai penjahat.
Untuk meningkatkan keterampilan hidup bagi pelaku.
Agar pelaku bertanggungjawab atas perbuatannya.
Untuk mencegah pengulangan tindak pidana.
Untuk memajukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan
pelaku tanpa harus melalui proses formal.
7. Program diversi juga akan menghindari anak mengikuti proses peradilan.
8. Program ini akan menjauhkan anak-anak dari pengaruh dan implikasi
negatif dari proses peradilan tersebut. 18
Di Indonesia ide diversi telah menjadi salah satu rekomendasi dalam Seminar
Nasional Peradilan Anak yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas
Padjajaran bandung tanggal 5 Oktober 1996. Dalam perumusan hasil seminar tersebut
terdapat hal-hal yang disepakati dalam rekomendasi, yakni ide diversi untuk
memberikan kewenangan bagi hakim, yaitu kemungkinan hakim menghentikan atau
mengalihkan/tidak meneruskan pemeriksaan perkara dan pemeriksaan terhadap anak
selama proses pemeriksaan di muka sidang. 19
Tujuan diversi dalam pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
tahun 2012 (yang selanjutnya disebut UU No. 11 Tahun 2012) adalah sebagai berikut:
1. Mencapai perdamaian antara korban dan anak.
2. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan.
3. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan.
17

Ibid.
Ibid, hal. 101.
19
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia (Purwokerto: Genta Publishing, 2011), hal. 5.
18

Universitas Sumatera Utara

4. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi.
5. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Selain berpedoman pada UU No. 11 Tahun 2012 terdapat beberapa peraturan
maupun instruksi internal yang menjadi pedoman untuk melaksanakan diversi bagi
anak yang berhadapan dengan hukum di Indonesia, antara lain sebagai berikut:
1.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2015 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12
(Dua Belas) Tahun.

2.

Surat Telegram Rahasia Kabareskrim POLRI TR/1124/XI/2006 16 November
2006 dan TR/395/ DIT,VI/2008 9 Juni 2008, tentang pelaksaan diversi dan
restorative justice dalam penanganan kasus anak pelaku dan pemenuhan
kepentingan terbaik anak dalam kasus anak baik sebagai pelaku, korban atau
saksi.

3.

Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-005/A/J.A/O4/2015
tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntutan.

4.

Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
Diversi dilaksanakan oleh petugas dengan melakukan wewenang yang disebut

diskresi yang merupakan wewenang petugas kepolisian untuk mengambil tindakan
meneruskan atau menghentikan perkara sesuai dengan kebijakan yang dimilikinya.
Telegram Rahasia Kabareskrim Polri No. Pol. TR/1124/XI/2006 dan No. Pol.
TR/359/DIT,I/VI/2008 yang memberi petunjuk dan aturan tentang teknik diversi

Universitas Sumatera Utara

yang dapat dilakukan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum merupakan
diskresi bagi pihak kepolisian dalam pelaksanaan diversi pada tingkat penyidikan.
Wewenang penyidikan yang dimiliki oleh Kepolisian adalah proses awal
dalam suatu proses peradilan anak. Hal ini disebabkan, dapat tidaknya anak yang
berkonflik dengan hukum diproses dalam peradilan anak adalah sangat bergantung
dari hasil penyidikan yang dilakukan Kepolisian dengan terlebih dahulu meminta
pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan. Dalam hal terhadap anak
yang berkonflik dengan hukum, pihak Kepolisian dalam pelaksanaan diskresi dapat
melakukan pengalihan perkaranya sehingga anak tidak perlu berhadapan dengan
penyelesaian pengadilan secara formal. 20
Telegram Rahasia Kabareskrim Polri No. Pol. TR/1124/XI/2006 dan No. Pol.
TR/359/DIT,I/VI/2008 menjadi pedoman dalam penyidikan terhadap anak oleh
kepolisian, termasuk didalamnya pihak penyidik anak untuk mengimplementasikan
diversi dalam penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. 21
Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai sinkronisasi Telegram Rahasia
Kabareskrim mengenai divesi tersebut dengan UU No. 11 tahun 2012 dan PP No. 65
Tahun 2015 serta implementasinya di Kepolisian Resort Kota (Polresta) Medan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini berjudul “Diversi Terhadap
Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Tingkat Penyidikan (Studi di Polresta
Medan)”.
20

Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2015), hal. 121.
21
Setya Wahyudi, Op. Cit. hal. 201.

Universitas Sumatera Utara

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi perumusan masalah
dalam penelitian ini, adalah:
1. Apa pengaruh diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum?
2. Bagaimana sinkronisasi peraturan tentang diversi terhadap anak yang
berkonflik dengan hukum di Indonesia pada tingkat penyidikan?
3. Bagaimana pelaksanaan diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum
di Polresta Medan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan
maka yang menjadi tujuan penelitian ini, adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh diversi terhadap anak yang
berkonflik dengan hukum.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis sinkronisasi peraturan tentang diversi
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia pada tingkat
penyidikan.
3. Untuk mengetahui pelaksanaan diversi terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum di Polresta Medan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini mempunyai manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua manfaat
tersebut adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

a. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan ilmu hukum pada akademisi dan bagi masyarakat umum, khususnya
mengenai diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di tingkat penyidikan.
b. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang ingin
mengetahui lebih lanjut mengenai diversi terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum di tingkat penyidikan, khususnya akademisi serta pihak-pihak yang menjadi
komponen sistem peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Hakim, Lembaga
Pemasyarakatan serta Advokat).
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan beberapa judul dari tesis yang ada di kepustakaan
Universitas Sumatera Utara khususnya pada Program Studi Magister Ilmu Hukum,
penelitian tentang “Diversi Terhadap Anak yang Berkonflik Dengan Hukum di
Tingkat Penyidikan (Studi di Polresta Medan)”. Namun, terdapat beberapa tesis
dengan judul yang mendekati penelitian ini, antara lain sebagai berikut:
a. Tesis atas nama Bob Sadiwijaya (NIM: 097005043) dengan judul “Penerapan
Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Tindak Pidana Yang Dilakukan
Oleh Anak (Studi di Kota Medan)”.
b. Tesis atas nama Renhard Harve (NIM: 147005068) dengan judul “Analisis Yuridis
Penerapan Diversi Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Ditinjau
Menurut UU Nomor 11 Tahun 2012 (Studi Kasus Putusan Penetapan Diversi

Universitas Sumatera Utara

Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan di Sibuhuan No. 01/Pid.Sus.Anak/2015/PN.
PSP)”.
c. Tesis atas nama Noprianto Sihombing (NIM: 127005118) dengan judul
“Penerapan Diversi dalam Kasus Tindak Pidana Penganiayaan yang Dilakukan
oleh Anak Dikaitkan dengan UU No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak”.
Dengan demikian, penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan bukan
merupakan hasil plagiat sehingga dapat dipertanggungjawabkan dari segi ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep
a. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat dan teori
mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan
pertimbangan dan pegangan teoritis. 22 Kerangka teori merupakan landasan berpikir
yang digunakan untuk mencari pemecahan suatu masalah. Setiap penelitian
membutuhkan titik tolak atau landasan untuk memecahkan atau membahas
masalahnya, maka perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran
yang menggambarkan dari mana masalah tersebut diamati. 23 Menurut Soerjono
Soekanto kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi,

22
23

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80.
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: UGM Press, 2003), hal. 39-

40.

Universitas Sumatera Utara

aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori. 24 Kerangka teori
yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Teori Non Penal
Jalur

“non

penal”

merupakan

jalur

penanggulangan

dengan

cara

meningkatkan niai keagamaan, penyuluhan melalui pemuka masyarakat dan kegiatan
lainnya. Persoalan kejahatan tidak hanya diarahkan pada penyelesaian melalui proses
peradilan, tetapi bisa melalui non peradilan. 25
Upaya penanggulangan kejahatan dengan pendekatan non penal merupakan
bentuk upaya penanggulangan berupa pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana
dengan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan
melalui media masa. Konsep diversi merupakan bentuk alternatif penyelesaian tindak
pidana yang diarahkan kepada penyelesaian secara informal dengan melibatkan
semua pihak yang terkait dalam tindak pidana yang terjadi. 26
Menurut G. P. Hoefnagels jalur pidana (penal) bukan merupakan satu-satunya
upaya penanggulangan kejahatan. Non penal dapat dilakukan dalam upaya
penanggulangan kejahatan. konsep diversi merupakan konsep penyelesaian tindak
pidana yang memberikan perlindungan bagi anak. Kedua konsep tersebut dalam
penyelesaiannya melibatkan persetujuan korban, pelaku dan masyarakat. 27

24

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 6.
Marlina, Peradilan Pidana Anak .....,Op.Cit, hal. 16.
26
Ibid. Hal. 17
27
Ibid.
25

Universitas Sumatera Utara

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan
pidana ke proses di luar peradilan pidana. Pendekatan menggunakan keadilan
restoratif (restorative justice) dalam proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat
dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta
menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik
dengan melibatkan korban, anak dan masyarakat dalam mencari solusi untuk
memperbaiki, rekonsiliasi dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan
pembalasan 28
Diversi merupakan pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum
untuk

mengambil

tindakan-tindakan

kebijaksanaan

dalam

menangani

atau

menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan formal antara
lain menghentikan atau tidak meneruskan/melepaskan dari proses peradilan pidana
atau mengembalikan/menyerahkan kepada masyarakat dan bentuk-bentuk kegiatan
sosial lainnya. Diversi dapat diterapkan disemua tingkat pemeriksaan untuk
mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses peradilan tersebut. 29
Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau
pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk
memperbaiki kesalahan. Petugas dalam melaksanakan diversi menunjukkan
pentingnya ketaatan kepada hukum dan aturan. Petugas melakukan diversi dengan
cara pendekatan persuasif dan menghindari penangkapan yang menggunakan
28

M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum: Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan
Pidana Anak (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hal. 6.
29
Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, Op. Cit, hal. 68.

Universitas Sumatera Utara

tindakan kekerasan dan pemaksaan tindakan kekerasan saat penangkapan membawa
sifat keterpaksaan sebagai hasil dari penegakan hukum. 30
Dengan menggunakan sarana non penal, maka musyawarah diversi yang
menggunakan pendekatan restorative justice yang melibatkan orang tua, tokoh
masyarakat bahkan pihak lain yang berada di lingkungan kehidupan anak akan
mempunyai peran dalam penyelesaian kejahatan oleh anak di luar jalur formal sistem
peradilan pidana. Dalam hal ini, akan dilihat proses tersebut dalam pelaksanaan
diversi di Kepolisian Resort Kota (Polresta) Medan.
b. Teori Diskresi
Diskresi (discretionary power) menurut Loraine Gelsthorpe dan Nicola
Padfield yakni wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak
pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara atau menghentikan perkara,
mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimilikinya. 31 Tindakan
diskresi merupakan tindakan keseharian yang dilakukan oleh petugas polisi, jaksa,
penasihat hukum, hakim, psikiater, lembaga pemasyarakatan, petugas imigrasi dan
komponen lainnya untuk mendorong seseorang kedalam atau ke luar sistem peradilan
pidana dan mengarahkannya kepada lembaga pengawasan lain yang paling tepat. 32
Diskresi dalam Black’s law Dictionary yakni:
“a public official’s power or right to act in certain circumtances according to
personal judgement and conscience.”

30

Mohammad Kemal Dermawan dan Mohammad Irvan Oli’i, Op. Cit. hal. 99-100.
Marlina, Pengantar Konsep Diversi..., Op. Cit. hal. 2.
32
Marlina, Peradilan Pidana Anak... Hal. 19.

31

Universitas Sumatera Utara

“diskresi merupakan keputusan pejabat publik untuk bertindak berdasarkan
kewenangan yang dimilikinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dan hati nurani.” 33
Diskresi memberikan kesempatan bagi penegak hukum sebuah kebebasan
dalam membuat keputusan sesuai dengan rasa keadilan oleh pribadi seseorang yang
mempunyai wewenang kekuasaan. Diskresi menunjukkan kebebasan kekuasaan
untuk membuat keputusan dengan petimbangan pribadi yang memperhatikan
kebaikan dan keadilan bagi semua pihak, guna mencari alternatif lain yang bukan
pidana (non penal). 34
Pelaksanaan diskresi menurut Lode Walgrave oleh penegak hukum yakni
memberikan kesempatan bagi penegak hukum dalam membuat keputusan sesuai
dengan rasa keadilan atas pertimbangan subyektif petugas penegak hukum itu sendiri.
Dengan kata lain, diskresi dianggap sebaagai kebebasan kekuasaan untuk membuat
suatu keputusan atas dasar kewenangan yang dimilikinya dengan pertimbangan
pribadi dengan memperhatikan kebaikan semua pihak, guna mencari alternatif lain
yang bukan pidana (non penal). Diskresi tersebut dilakukan sesuai kebijakan yang
dimiliknya. 35
Menurut Heather Strang, ada 3 landasan pelaksanaan diskresi yang benar,
yaitu:
1. Pembuat diskresi harus mempunyai wewenang menurut hukum. Tanpa
wewenang, suatu diskresi adalah tindakan sewenang-wenang.
33

Syamsul Fatoni, Pembaharuan Sistem Pemidanaan: Perspektif Teoritis dan Pragmatis
untuk Keadilan (Mojokerto: Setara Press, 2015), hal 127.
34
Ibid.
35
Mohammad Kemal Dermawan dan Mohammad Irvan Oli’i, Op. Cit. hal. 101-102.

Universitas Sumatera Utara

2. Tujuan diskresi tidak boleh bertentangan dengan hukum.
3. Kebebasan dalam diskresi adalah kebebasan memilih (freedom of choice)
berdasarkan masalah yang dihadapi yang berada dalam lingkungan landasan
pertama dan kedua. 36
Diskresi yang berhubungan dengan kepolisian dalam lingkup pelaksanaan
tugas kepolisian, selalu dikaitkan dengan pengambilan keputusan, kekuasaan atau
kewenangan yang dilakukan oleh seorang terhadap persoalan yang dihadapi.37
Perkataan diskresi merupakan perkataan umum yang dapat diwujudkan dalam bentuk
yang berbeda pada tempat yang berbeda, pada sebuah sistem tingkatan tertentu hal ini
dinyatakan sebagai diversi. 38 Pelaksanaan diversi dilatar belakangi keinginan
menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya
dengan sistem peradilan pidana Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum ini
disebut dengan diskresi. 39
Menurut Sadjijono, penilaian yang diyakini oleh anggota Kepolisian untuk
bertindak (diskresi) sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang konkrit
mengharuskan bertindak dimana setiap individu berbeda tergantung dari pengalaman,
pengetahuan, kecerdasan dan moralitas. 40 Wayne La Farve melihat diskresi
menyangkut pengambilan keputusan yang sangat tidak terikat oleh hukum, dimana
penilaian pribadi juga memegang peranan. 41

36

Ibid. Hal. 103.
Djoko Prakoso, Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum (Jakarta: Bina Aksara,
1987), hal. 182.
38
Marlina, Pengantar Konsep Diversi... hal. 6.
39
Ibid, hal. 2.
40
Syamsul Fatoni, Op. Cit, hal. 130.
41
Rocky Marbun, Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Suatu Pengantar (Malang: Setara
Press, 2015), hal. 89-90.
37

Universitas Sumatera Utara

Telegram Rahasia (TR) Kabareskrim Polri yang berpedoman pada Pasal 18
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang membahas masalah Diskresi Kepolisian. Hal ini memberi pedoman dan
wewenang bagi penyidik Polri untuk mengambil tindakan lain yang bertujuan untuk
kepentingan terbaik bagi anak dalam menangani anak yang berhadapan dengan
hukum. Hal ini tercantum dalam Telegram Rahasia Kabareskrim Polri No. Pol.
TR/1124/XI/2006 pada butir DDD Nomor 1 yang menyatakan kewenangan diskresi
kepolisian sesuai dengan pasal 18 ayat 1 UU No. 2 Tahun 2002.
b. Kerangka Konsep
Suatu kerangka konsep, merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan
antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti. Suatu konsep merupakan
gejala yang akan diteliti dan merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu
dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubunganhubungan dalam fakta tersebut. 42 Kerangka konsep yang menjadi definisi operasional
dalam penelitian ini, adalah:
1. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana
ke proses di luar peradilan pidana. 43
2. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak
yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 44

42
43

Soerjono Soekanto, Op. Cit, 132.
Pasal 1 angka 7 UU No. 11 Tahun 2012.

Universitas Sumatera Utara

3. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara
Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan
tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. 45
4. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya. 46
G. Metode Penelitian
Metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu
pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, cara kerja yang bersistem
untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang
ditentukan. 47 Mengadakan suatu metode ilmiah harus menggunakan metode, karena
ciri khas ilmu adalah dengan menggunakan metode. Metode berarti penyelidikan
yang berlangsung menurut suatu rencana terrtentu. Menempuh suatu jalan tertentu
untuk mencapai suatu tujuan, artinya peneliti tidak bekerja acak-acakan. Langkahlangkah yang diambil harus jelas serta ada pembatasan-pembatasan tertentu untuk
menghindari jalan yang menyesatkan dan tidak terkendalikan. Oleh karena itu,

44

Pasal 1 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012.
Pasal 1 angka 1 UU No. 11 Tahun 2012.
46
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
47
Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/metode diakses pada 11 Maret 2016.
45

Universitas Sumatera Utara

metode ilimah timbul dengan membatasi secara tegas bahasa yang dipakai oleh ilmu
tertentu. 48
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif dan
empiris. Penelitian normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab
permasalahan

yang dihadapi. Penelitian hukum normatif dilakukan untuk

menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi. 49
Adapun sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis yaitu menggambarkan
atau mendeskripsikan fakta-fakta dengan analitis dan sistematis. Deskriptif analisis
adalah suatu cara yang digunakan yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau
memberikan jawaban terhadap suatu objek penelitian yang akan diteliti melalui data
yang telah terkumpul dan membuat suatu kesimpulan terhadap suatu objek
penelitian. 50
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan PerundangUndangan (statute approach) yang dilakukan dengan mengkaji beberapa Peraturan
yang berkaitan dengan diversi. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach)
akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari sikronisasi antara UU

48

Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif (Surabaya: Bayumedia,
2010), hal. 294.
49
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 35.
50
Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), hal, 30.

Universitas Sumatera Utara

No. 11 Tahun 2012 dengan Telegram Rahasia Kabareskrim POLRI TR/1124/XI/2006
16 Nov 2006, TR/395/VI/2008 9 Juni 2008, PP No 65 Tahun 2015. Pendekatan
Perundang-undangan ini dilakukan dengan pendekatan lapangan (field research)
untuk mengetahui pelaksanaannya di lapangan.
2. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu norma atau kaedah dasar, bahan hukum yang
mengikat seperti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
maupun peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan kebijakan hukum
pidana dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia seperti UU No. 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, PP No. 65 Tahun 2015
Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum
Berumur 12 (Dua Belas) Tahun, Telegram Rahasia Kabareskrim POLRI
TR/1124/XI/2006 dan TR/395/ DIT,VI/2008 tentang pelaksaan diversi dan
restorative justice dalam penanganan kasus anak pelaku dan pemenuhan
kepentingan terbaik anak dalam kasus anak baik sebagai pelaku, korban atau
saksi.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan ulasanulasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari: beberapa buku hukum,
makalah hukum, jurnal ilmiah hukum atau pendapat dari para pakar hukum
yang relevan dengan objek penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara

c.

Bahan hukum tersier, yakni bahan yanng memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti hasil
wawancara dengan Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (Kanit
PPA) Polresta medan, hasil wawancara dengan pihak dari Pusat Kajian dan
Perlindungan Anak (PKPA), Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kamus
bahasa Inggris-Indonesia, majalah, surat kabar, internet dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, akan dilakukan beberapa teknik pengumpulan bahan
hukum, yakni:
a. Studi dokumen atau studi pustaka (library reseacrh) yaitu studi terhadap diversi
dan sistem Peradilan Pidana, serta segala aturan hukum yang menyangkut tentang
diversi, beberapa buku, jurnal dan segala sumber bahan hukum yang berkaitan
dengan permasalahan yang dibahas dengan maksud untuk mendapatkan teori-teori,
asas-asas, konsep dan pemikiran para ahli dan peneliti terdahulu yang berkaitan
dengan diversi.
b. Penelitian lapangan (field reseacrh) yaitu pengumpulan data secara langsung ke
lapangan dengan teknik pengumpuan data. Tujuannya untuk menjawab rumusan
permasalahan didalam penelitian ini, teknik pengumpuan data penelitian ini
dengan wawancara dengan pihak Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA)
Polresta Medan yang terkait dengan proses diversi untuk mengetahui
pelaksanaannya di lapangan serta wawancara dengan pihak Pusat Kajian

Universitas Sumatera Utara

Perlindungan Anak (PKPA) Medan sebagai pihak pendamping dalam proses
diversi di Polresta Medan.
4. Analisis Data
Penelitian ini dimulai dengan dilakukannya pemeriksaan terhadap bahan
hukum yang terkumpul yaitu bahan hukum primer (undang-undang) dan sekunder
(buku-buku dan tulisan), diperoleh untuk dianalisis dengan metode kualitatif sehingga
dapat ditarik kesimpulan secara deduktif dan dapat menjawab permasalahan dalam
penelitian ini. Proses analisis bahan hukum dimulai dengan menelaah seluruh bahan
hukum yang tersedia dari berbagai sumber, setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah
maka langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan
jalan membuat abstrak. 51 Dalam penelitian ini, data wawancara digunakan sebagai
data pendukung penelitian tesis.
Analisis data dihubungkan dengan kerangka teori yang digunakan dengan cara
menghubungkan kerangka teori tersebut dengan permasalahan yang diteliti melalui
analisis yang tajam dan mendalam. Bahan hukum yang dianalisis diungkapkan secara
deduktif (penalaran logika dari umum ke khusus) dalam bentuk uraian secara
sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis bahan hukum
sehingga permasalahan dapat dijawab.

51

Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit, 143.

Universitas Sumatera Utara