DIVERSI PADA TINGKAT PENYIDIKAN SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA (Studi Pada Polresta Bandar Lampung)

(1)

(2)

ABSTRAK

DIVERSI PADA TINGKAT PENYIDIKAN SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA (Studi Pada Polresta Bandar Lampung)

Oleh: Ardinata Munthe

Penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak di Indonesia bertumpu pada ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dari beberapa penelitian tentang pelaksanaan peradilan pidana anak terdapat fakta bahwa proses pengadilan pidana bagi anak menimbulkan dampak negatif pada anak. Untuk menghindari efek negatif proses peradilan pidana terhadap anak ini, United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice, mencanangkan salah satu program yang disebut diversi. Sehubungan dengan adanya konsep diversi, apakah konsep diversi relevan untuk diimplementasikan dalam pembaruan sistem peradilan pidana anak di Indonesia. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan diversi pada proses penyidikan dalam upaya perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana dan apakah hambatan-hambatan dalam pelaksanaan diversi pada proses penyidikan dalam upaya perlindungan anak.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan didukung denga pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Sedangkan pengolahan data melalui tahap pemeriksaan data, penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa pelaksanaan diversi pada tingkat penyidikan dalam upaya perlindungan anak sebagai tersangka yang melakukan tindak pidana antara lain dengan memberikan peringatan informal terhadap tersangkan anak yang melakukan tindak pidana, memberikan peringatan formal dihadapan orangtuanya, pemberian sanksi ringan dari perbuatan jahatnya, dan meminta anak tersebut untuk melakukan pelayanan masyarakat yang berkaitan dengan pidana yang dilakukan. Tujuan dari pelaksanaan diversi adalah bahwa anak berhadapan dengan hukum dapat memiliki kesempatan lebih baik untuk mendapatkan pemulihan secara psikologis dan pembauran lagi didalam


(3)

masyarakat lebih mudah dilakukan dibandingkan apabila anak berhadapan dengan hukum telah dipidana penjara, hal ini terkait dengan ‘pe-label-an’ oleh masyarakat yang secara implisit dimungkinkan terjadi. Faktor pendukung dalam pelaksanaan diversi pada tingkat penyidikan dalam upaya proses perlindungan anak sebagai tersangka yang melakukan tindak pidana, adalah Indonesia telah melakukan upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum antara lain dengan meratifikasi beberapa ketentuan yang berhubungan dengan peradilan anak, dan dari aparat penegak hukum telah melakukan tindakan diversi dalam penanganan kasus anak pelaku tindak pidana berdasarkan kebijakan individu. Sedangkan faktor penghambatnya antara lain faktor hukumnya sendiri, faktor apratur penegak hukum, faktor sarana dan prasarana, dan faktor masyrakat. Undang-Undang tentang Pengadilan Anak saat ini tidak memberikan ruang yang cukup bagi implementasi ide diversi. Dari segi Bantuan hukum, anak yang termasuk dalam keberadaan orang tua yang tidak mencukupi, sering kesulitan untuk mendapat bantuan hukum. Dari aspek sarana, diketahui bahwa tahanan anak digabung dengan orang dewasa, hal ini sangat berbahaya dan tidak mencerminkan perlindungan anak. Sedangkan dari faktor masyarakat, diversi masih terhalang adana pandangan masyarakat yang cenderung dendam dan ingin melakukan pembalasan terhadap pelaku kejahatan, termasuk pada pelaku anak.

Dibutuhkan suatu penyuluhan kepada masyarakat tentang ide diversi sehingga masyarakat akan pentingnya diversi dalam penyelenggaraan system peradilan pidana anak. Mendidik anak merupakan hal yang penting untuk mempersiapkan generasi muda Indonesia yang akan datang. Mengenalkan hukum dan mengajarkan anak untuk taat hukum sejak dini juga perlu dilakukan oleh orang tua dan pendidik di sekolah.


(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ……… 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ………. 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………. 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ………. 7

E. Sistematika Penulisan ………. 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Diversi ………. 15

B. Tinjauan Tentang Penyidikan ……….……… 19

C. Perlindungan Hukum Terhadap Anak ……..………..…..…………. 22

D. Tinjauan Umum Tentang Anak ……….………. 26

E. Pengertian Tindak Pidana ……….. 28

III.METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ……….…………..……….. 31

B. Sumber dan Jenis Data ……….…………..……….. 31

C. Penentuan Narasumber ... 33

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ….…..…….……….. 33


(7)

A. Karakteristik Narasumber ………... 35 B. Gambaran Umum Perkara ... 36 C. Pelaksanaan Diversi Dalam Penyidikan Dalam Upaya Perlindungan

Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana …………..…...….. 41 D. Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat Dalam Pelaksanaan

Diversi Dalam Penyidikan Dalam Upaya Perlindungan Anak ... 55

V. PENUTUP

A. Simpulan ………..………. 61

B. Saran ……….……… 62


(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda anak berperan sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan suatu bangsa. Selain itu, anak merupakan harapan orang tua, harapan bangsa dan negara yang akan melanjutkan tongkat estafet pembangunan serta memiliki peran strategis, mempunyai ciri atau sifat khusus yang akan menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Oleh karena itu, setiap anak harus mendapatkan pembinaan sejak dini, anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Terlebih lagi bahwa masa kanak-kanak merupakan periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter diri seorang manusia, agar kehidupan mereka memiliki kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan.

Persoalan tentang anak di dunia ini dirasakan sebagai persoalan yang tak pernah kunjung selesai. Bahkan ada beberapa negara di belahan dunia ini, kondisi anak-anaknya justru sangat memprihatinkan. Banyak anak-anak yang menjadi korban kekerasan di keluarganya atau mengalami penderitaan akibat peperangan ataupun ikut mengangkat senjata dalam peperangan demi membela bangsa dan negaranya.


(9)

Masyarakat seolah-olah lupa bahwa anak-anak sebenarnya merupakan karunia yang tidak ternilai yang dititipkan oleh Yang Maha Kuasa untuk disayang, dikasihi, diasuh, dibina, dirawat ataupun dididik oleh kedua orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara.

Bertitik tolak dari kompleksnya permasalahan berkaitan dengan perlindungan yang harus diberikan kepada seorang anak yang berkonflik dengan hukum tentu harus ada upaya dari berbagai pihak untuk menyelamatkan anak bangsa. Polisi sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum memiliki tanggung-jawab yang cukup besar untuk mensinergikan tugas dan wewenang Polri sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum, polisi senantiasa harus memperhatikan kondisi anak yang berbeda dari orang dewasa. Sifat dasar anak sebagai pribadi yang masih labil, masa depan anak sebagai aset bangsa, dan kedudukan anak di masyarakat yang masih membutuhkan perlindungan dapat dijadikan dasar untuk mencari suatu solusi alternatif bagaimana menghindarkan anak dari suatu sistem peradilan pidana formal, penempatan anak dalam penjara, dan stigmatisasi terhadap kedudukan anak sebagai narapidana.1

Salah satu solusi yang dapat ditempuh dalam penanganan perkara tindak pidana anak adalah pendekatan keadilan restoratif, yang dilaksanakan dengan cara diversi. Keadilan restoratif merupakan proses penyelesaian yang dilakukan di luar sistem peradilan pidana dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan

1

Santi Kusumaningrum, Penggunaan Diversi untuk Anak yang Berhadapan dengan Hukum. http://www.idlo.int/bandaacehawareness.htm. diakses 1 November 2012


(10)

pelaku, masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian. Keadilan restoratif dianggap cara berfikir/paradigma baru dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang dilakukan oleh seorang.

Keadilan restoratif merupakan suatu proses diversi dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan Anak Korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menentramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Namun pada dasarnya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini mengatur mengenai keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.2

Melalui otoritas diskresi Polisi dapat menentukan bentuk diversi terhadap suatu perkara anak. Diskresi adalah kewenangan yang dimiliki polisi untuk menghentikan penyidikan perkara dengan membebaskan tersangka anak, ataupun melakukan diversi dengan tujuan agar anak terhindar dari proses hukum lebih lanjut. Diversi dapat dikatakan sebagai pengalihan tanpa syarat kasus-kasus anak (yang diduga melakukan tindak pidana) dari proses formal.3 Program diversi merupakan upaya terbaik bagi anak, terutama untuk tindak pidana yang kurang serius. Hal ini tentu melibatkan aparat penegak hukum untuk mengatakan kepada

2

Santi Kusumaningrum, Penggunaan Diversi untuk Anak yang Berhadapan dengan Hukum. http://www.idlo.int/bandaacehawareness.htm. diakses 1 November 2012


(11)

anak, bahwa apa yang diperbuatnya salah dan mengingatkannya untuk tidak mengulangi lagi.4

Substansi yang diatur dalam Pasal 646 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang bentuk perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan kasus hukum dan anak korban tindak pidana, dan yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai diversi, yaitu dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali kedalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Pada akhirnya proses ini harus bertujuan pada terciptanya keadilan restorative baik bagi Anak maupun bagi Anak sebagai Korban.

Pada pelaksanaannya sistem peradilan pidana anak di Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan. Persoalan yang ada diantaranya dilakukannya penahanan terhadap anak yang tidak sesuai prosedur, proses peradilan yang panjang mulai dari penyidikan, penuntutan, pengadilan, yang pada akhirnya menempatkan terpidana anak berada dalam lembaga pemasyarakatan ataupun yang dikembalikan ke masyarakat dengan putusan bebas tetap akan meninggalkan trauma dan implikasi negatif terhadap anak.

Kritik-kritik terhadap penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak masih saja terus mengalir, setelah kasus Mohammad Azwar alias Raju, anak berusia 8 tahun yang menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, karena

4


(12)

berkelahi dengan seorang anak lain pada tahun 2009, kemudian kasus persidangan anak kembali mendapat sorotan, Pengadilan Negeri Tangerang, Banten menyidangkan 10 orang anak yang masih di bawah umur dengan dugaan melakukan permainan koin dengan taruhan uang senilai Rp1000,00. Masalah penanganan anak nakal dan anak yang bermasalah dengan hukum kembali mencuat ketika Aal anak berusia 15 tahun yang divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Palu atas dakwaan mencuri sandal milik seorang anggota Polri, kasus ini telah menimbulkan berbagai tanggapan dari para pemerhati anak di negeri ini, bahkan Ketua Komnas Perlindungan Anak dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta meminta kasus-kasus ini dijadikan pintu masuk untuk mengamandemen Undang-undang Pengadilan Anak.5 Banyak kalangan menyatakan penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak dalam implementasinya masih jauh dari keinginan untuk dapat mendukung mewujudkan tujuan kesejahteraan anak dan kepentingan terbaik bagi anak.

Anak yang melakukan tindak pidana atau dalam praktek sehari-hari di pengadilan disebut sebagai anak yang sedang berhadapan dengan hukum, diperlakukan secara manusiawi, didampingi, disediakan sarana dan prasarana khusus, sanksi yang diberikan kepada anak sesuai dengan prinsip kepentingan terbaik anak, hubungan keluarga tetap dipertahankan artinya anak yang berhadapan dengan hukum kalau bisa tidak ditahan/dipenjarakan kalaupun dipenjarakan/ditahan, ia dimasukkan dalam ruang tahanan khusus anak dan tidak bersama orang dewasa. Selain itu, diberikan pula jaminan perlindungan terhadap anak-anak yang berhadapan dengan

5

M.Musa, Peradilan Restoratif suatu Pemikiran Alternatif System Peradilan Anak Indonesia, Jurnal Mahkamah, Vol.19 No.2, Oktober 2010, Pekan Baru, hlm 169.


(13)

hukum ditetapkan sebagai kelompok anak yang membutuhkan perlindungan khusus.

Berlandaskan uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji tentang pelaksanaan diversi dalam upaya perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana dan menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul : “Diversi Pada Tingkat Penyidikan Sebagai Upaya Perlindungan Anak Yang Melakukan Tindak Pidana (Studi Pada Polresta Bandar Lampung)”

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : a. Bagaimanakah pelaksanaan diversi dalam penyidikan dalam upaya

perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana?

b. Apakah faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan diversi dalam penyidikan dalam upaya perlindungan anak?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun lingkup pembahasan dalam penelitian ini adalah bagian dari kajian Hukum Pidana. Sedangkan lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya terbatas pengaturan mengenai pelaksanaan diversi dalam penyidikan dalam upaya perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana di Polresta Bandar Lampung dan faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan diversi dalam penyidikan dalam upaya perlindungan anak.


(14)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Setiap kegiatan penelitian pastilah mempunyai tujuan, dimana tujuan-tujuan yang hendak dipakai penulis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui :

a. Pelaksanaan diversi dalam penyidikan dalam upaya perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana.

b. Faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan diversi dalam penyidikan dalam upaya perlindungan anak.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu: a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana mengenai Pelaksanaan diversi dalam penyidikan dalam upaya perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Praktisi Hukum dan masyarakat khususnya mengenai hambatan yang timbul dalam pelaksanaan diversi dalam penyidikan dalam upaya perlindungan anak.


(15)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Pentingnya kerangka konsepsional dan kerangka teoritis dalam penelitian hukum, merupakan unsur yang sangat penting karena fungsi teori dalam penelitian adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati, dan dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif.6

Secara yuridis normatif, jika anak melakukan suatu tindak pidana maka perlindungan yang dapat diberikan khususnya dalam penanganannya hingga penjatuhan hukuman terhadap anak yang bersangkutan telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang diantaranya mengatur bahwa guna pemeriksaan pada tingkat penyidikan, penuntutan sampai dengan proses persidangan yang sekiranya diperlukan menahan anak yang bersangkutan di dalam Rumah Tahanan Negara maka lamanya masa penahanan yang mesti dijalani oleh anak tersebut waktunya lebih pendek daripada orang dewasa.

Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsure sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan

6


(16)

atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman.

Muladi yang menyatakan bahwa criminal justice system memiliki tujuan untuk : (i) resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana; (ii) pemberantasan kejahatan; (iii) dan untuk mencapai kesejahteraan sosial. Berangkat dari pemikiran ini, maka tujuan sistem peradilan pidana anak terpadu lebih ditekankan kepada upaya pertama (resosialiasi dan rehabilitasi) dan ketiga (kesejahteraan sosial). Namun upaya lain diluar mekanisme pidana atau peradilan dapat dilakukan dengan beberapa metode diantaranya metode Diversi dan Restorative Justice. Diversi adalah pengalihan penanganan kasus kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan diversi dapat diterapkan bagi penyelesaian kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum.7

Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : a. untuk menghindari anak dari penahanan;

b. untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat;

c. untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh anak; d. agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya;

e. untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal;

f. menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan;

7

http://anjarnawanyep.wordpress.com/konsep-diversi-dan-restorative-justice diakses 1 Desember 2012


(17)

g. menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradila.

Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 Pasal 2 ayat (3) dan (4) bahwa anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah di lahirkan. Anak juga berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar. Kedua ayat tersebut mendorong perlunya perlindungan anak dalam rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan adil terhadap anak.8

Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi yang melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Menurut Arif Gosita, bahwa perlindungan anak adalah suatu hasil interaksi karena adanya interrelasi antara fenomena yang ada dan Saling mempengaruhi.9 Oleh karena itu untuk mengetahui adanya, terjadinya perlindungan anak yang baik atau buruk, tepat atau tidak tepat, maka harus diperhatikan fenomena yang relevan, yang mempuyai peran penting dalam terjadinya kegiatan perlindungan anak.

Pada dasarnya usaha perlindungan anak terdapat dalam berbagai bidang kehidupan untuk kepentingan anak dan mempunyai dampak positif pada orang tua. Harus diperjuangkan agar asas- asas perlindungan anak diperjuangkan dan dipertahankan sebagai landasan semua kegiatan yang menyangkut pelayanan anak secara langsung atau tidak langsung demi perlakuan adil kesejahteraan anak. Namun hal terpenting dari usaha perlindungan anak adalah bagaimana

8

Shanty Dellyana, Wanita dan anak dimata hukum cet ke-1. Liberty, Yogyakarta, 2008, hlm. 18.

9

Arif Gosita, Masalah perlindungan anak ed. ke-1, Akademika Pressindo, Jakarta, 2005, hlm. 12


(18)

membangun kapasitas anak untuk menyuarakan kehendak, cita- cita dan harapan mereka terhadap masyarakat dan perubahan social menurut perspektif mereka.10 Penegakan hukum adalah proses pemberlakukan hukum diatur dalam suatu undang-undang baik undang-undang formal maupun undang-undang materil. Penegakan hukum dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

a. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja. b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.11

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas

10

Mansour Fakih, Anak-anak Membangun Kesadaran Kritis / Pengantar, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2002, hlm 2.

11

Soerjono Soekanto. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. : 25


(19)

lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti.12 Adapun Konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat.13

b. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.14

c. Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.15

d. Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi yang melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.16

e. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan.17

12

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2010, hlm. 132

13

Santi Kusumaningrum, Penggunaan Diversi untuk Anak yang Berhadapan dengan Hukum. http://www.idlo.int/bandaacehawareness.htm. diakses 1 November 2012.

14

Pasal 1 butir 2 KUHAP

15

Pasal 1 ayat ( 2 ) UU Kesejahteraan Anak

16

Arif Gosita, Op, Cit., hlm 12

17

Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Armico, Bandung, 2008, hlm. 25


(20)

E. Sistematika Penulisan Hukum

Adapun sistematika penulisan hukum terbagi dalam 5 (lima) bab yang saling berkaitan dan berhubungan. Sistematika dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini, penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori meliputi tinjauan umum tentang hukum acara pidana dan tinjauan umum tentang pokok bahasan.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan masalah, yaitu mengenai pengaturan mengenai pelaksanaan diversi dalam penyidikan dalam upaya perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana di Polresta Bandar Lampung dan hambatan yang timbul dalam pelaksanaan diversi dalam penyidikan dalam upaya perlindungan.


(21)

V. PENUTUP

Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian ini yang berisi simpulan yang diambil berdasarkan hasil penelitian dan saran-saran sebagai tindak lanjut dari simpulan tersebut.


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Diversi

Sebagaimana kita ketahui bahwa diversi merupakan wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara atau mengehentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimiliknya.17 Berdasarkan hal tersebut terdapat suatu kebijakan apakah pekara tersebut diteruskan atau dihentikan. Apabila perkara tersebut diteruskan, maka kita akan berhadapan dengan sistem pidana dan akan terdapat sanski pidana yang harus dijalankan. Namun apabila perkara tersebut tidak diteruskan, maka dari awal tingkat penyidikan perkara akan dihentikan guna kepentingan bagi kedua belah pihak dimana prinsipnya memulihkan hubungan yang terjadi karena tindak pidana untuk kepentingan masa depan bagi kedua belah pihak. Hal ini yang menjadi prinsip mengapa dilakukan diversi khusunya bagi tindak pidana anak, dimana untuk mewujudkan kesehjatraan bagi anak itu sendiri. Melalui diversi dapat memberikan kesempatan bagi anak untuk menjadi sosok baru yang bersih dari catatan kejahatan dan tidak menjadi resedivis.

17

Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, Medan, USU Press, 2010, hlm. 1.


(23)

Tujuan dari diversi adalah untuk mendapatkan cara menangani pelanggaran hukum di luar pengadilan atau sistem peradilan yang formal. Ada kesamaan antara tujuan diskresi dan diversi. Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut discretion atau „diskresi‟.18

Menurut konsep diversi dalam penanganan kasus anak di Kepolisan yang berhadapan dengan hukum, karena sifat avonturir anak, pemberian hukuman terhadap anak bukan semata-mata untuk menghukum tetapi mendidik kembali dan memperbaki kembali. Menghindarkan anak dari eksplolasi dan kekerasan, akan lebih baik apabila diversi dan apabila dihukum maka tidak efektif. Konsep diversi juga didasarkan pada kenyataan proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya, sehingga lebih baik menghindarkannya keluar sistem peradilan pidana.

Selain itu, diversi juga dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan

18


(24)

tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum.

Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya disebut penjara, bukan saja dihuni oleh pencuri, perampok, penipu, pembunuh, atau pemerkosa, tetapi juga ditempati oleh pemakai, kurir, pengedar dan bandar narkoba, serta penjudi dan bandar judi. Selain itu dengan intesifnya penegakkan hukum pemberantasan KKN dan “white collar crime” lainnya, penghuni Lembaga Pemasyarakatan pun makin beragam antara lain mantan pejabat negara, direksi bank, intelektual, profesional, bankir, pengusaha, yang mempunyai profesionalisme dan kompetensi yang tinggi. Penghuni Lembaga Pemasyarakatan pun menjadi sangat bervariatif, baik dari sisi usia, maupun panjangnya hukuman dari hanya 3 bulan, sampai hukuman seumur hidup dan hukuman mati.

Diversi sebagai usaha mengajak masyarkat untuk taat dan menegakan hukum negar, pelaksanaanya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk menempuh jalur non pidana seperti ganti rugi, kerja sosial atau pengawasan orang tuanya. Diversi tidak bertujuan mengabadikan hukum dan keadailan sama sekali, akan tetapi berusaha memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk membuat orang mentaati hukum.

Prinsip keadilan tetap dijunjung tinggi dalam penegakan hukum tidak terkecuali saat penerapan prinsip-prinsip diversi dilaksanakan. Keadilan menempatkan kejujuran dan perlakuan yang sama terhadap semua orang. Petugas dituntut tidak membeda-bedakan orang dengan prinsip tindakan yang berubah dan berbeda.


(25)

Pelaksanaan diversi bertujan mewujudkan keadilan dan penegakan hukum secara benar dengan meminimalkan pemaksaan pidana.

Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum. Kedua keadilan tersebut dipaparkan melalui sebuah penelitian terhadap keadaan dan situasi untuk memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat (appropriate treatment) tiga jenis pelaksanaan program diversi dilaksanakan yaitu :

1. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orintation) yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat 2. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation),

yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan 3. Menuju proses restroative justice atau perundingan (balanced or restroative

justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat,


(26)

pelaksanaanya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.19

Proses diversi dilakukan dalam upaya melakukan kesempatan untuk mengeluarkan atau mengalihkan suatu kasus tergantung landasan hukum atau kriteria yang ada dalam prakteknya. Di lingkungan juga terlihat ada suatu model informal yang tidak meletakan kasus satu persatu secara formal (seperti polisi memutuskan untuk tidak melanjutkan penyidikan, berpikir untuk bedamai) keadaan ini merupakan satu tindakan untuk melakukan perubahan, pengembalian, penyembuhan pada korban dan pertanggungjawaban pelaku. Secara konteks variabel sepeti pengorganisasian, kedudukan dan faktor situasi juga relevan dalam pelaksanaan diversi. Isu kunci kemampuan sebuah organisasi dapat mengontrol perilaku anggotannya dengan mengawasi jalanya aturan dan praktek pelaksanaanya agar tidak dipengaruhi oleh keinginan pribadi atau sebagain dari masyarakat dengan prioritas atau standar kemampuan.

B. Tinjauan Tentang Penyidikan

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang- Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Pengertian penyidikan adalah suatu tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan dengan adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa setelah pengumpulan bukti

19


(27)

permulaan yang cukup guna membuat terang suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana.20

Pengertian penyidikan dalam bahasa Belanda disejajarkan dengan pengertian opsporing. Menurut De Pinto, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apa pun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum.21

Berdasarkan pengertian diatas diketahui bahwa penyidikan merupakan suatu tahapan yang sangat penting untuk menentukan tahap pemeriksaan yang lebih lanjut dalam proses administrasi peradilan pidana karena apabila dalam proses penyidikan tersangka tidak cukup bukti dalam terjadinya suatu tindak pidana yang disangkakan maka belum dapat dilaksanakan kegiatan penuntutan dan pemeriksaan didalam persidangan. Penyidikan sebagai bagian terpenting dalam hukum acara pidana yang pada pelaksanaannya kerap kali harus menyinggung martabat individu yang dalam persangkaan kadang-kadang wajib untuk dilakukan. Suatu semboyan penting dalam hukum acara pidana yaitu hakikat penyidikan perkara pidana adalah untuk menjernihkan persoalan sekaligus menghindarkan orang yang tidak bersalah dari tindakan yang seharusnya dibebankan kepadanya. Oleh karena tersebut sering kali proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik

20

M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta. 2002, hlm. 99-100

21


(28)

membutuhkan waktu yang cenderung lama, melelahkan dan mungkin pula dapat menimbulkan beban psikis diusahakan dari penghentian penyidikan.22

Penyidikan mulai dapat dilaksanakan sejak dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam instansi penyidik, dimana penyidik tersebut telah menerima laporan mengenai terjadinya suatu peristiwa tindak pidana. Maka berdasar surat perintah tersebut penyidik dapat melakukan tugas dan wewenangnya dengan menggunakan taktik dan teknik penyidikan berdasarkan KUHAP agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar serta dapat terkumpulnya bukti-bukti yang diperlukan dan bila telah dimulai proses penyidikan tersebut maka penyidik harus sesegera mungkin memberitahukan telah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum.

Setelah diselesaikannya proses penyidikan maka penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum, dimana penuntut umum nantinya akan memeriksa kelengkapan berkas tersebut apakah sudah lengkap atau belum, bila belum maka berkas perkara tersebut akan dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi dan dilakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk penuntut umum dan bila telah lengkap yang dilihat dalam empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas pemeriksaan atau penuntut umum telah memberitahu bahwa berkas tersebut lengkap sebelum waktu empat belas hari maka dapat dilanjutkan prosesnya ke persidangan.

22

H.M.A. Kuffal. Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, UMM Press, Malang, 2008, hlm. 47.


(29)

C. Perlindungan Hukum Terhadap Anak

Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumberdaya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumberdaya manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara kesaruan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa depan.

Pada media massa dan elektronika sering memberitakan tentang kejahatan yang dilakukan anak yang dapat merugikan orang lain, bahkan mengganggu ketertiban umum. Adapun perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak ini tentu saja harus ditangani lebih serius, terutama proses penyidikan anak dan peradilannya berdasar peraturan perundangan yakni Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Kenakalan anak yang menjurus pada tindak pidana itu bukan saja dilatarbelakangi oleh lingkungan keluarga, namun juga disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain disebabkan adanya dampak dari keadaan inren keluarga, lingkungan social dan pengaruh pergaulan serta kondisi internal, aspek biologis dan psikologis anak. selain itu faktor ektern bisa saja menjadi faktor pendorong kejahatan anak, yakni kurangnya perhatian orang tua, lingkungan pergaulan yang mempengaruhinya serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimanfaatkannya dan atau yang tidak mampu diadopsi dalam pribadinya secara tepat oleh si anak.


(30)

Perubahan kondisi keluarga cukup dominan mempengaruhi perkembangan jiwa dan sikap anak, antara lain anak kurang kasih sayang, asuhan dan bimbingan dalam perkembangan sikapnya, perilaku, kemampuan menyesuaikan diri serta pengawasan yang lebih konduksif terhadap perkembangan lahir batin anak sehingga dapat merugikan perkembangan pribadi anak tersebut. Pada saat ini pergeseran norma-norma yang ada dalam masyarakat berkembang secara dinamis dan tidak dapat dihindarkan lagi. Anak yang mampu mengadaptasi dan merespon dinamika perkembangan masyarakat akan menjadi anakyang baik, pandai dan memiliki dedikasi. Anakyang tidak mampu merspon kondisi dinamik dalam masyartakat karena kemajuan dan pembangunan, akan menjadi anak yang frustasi, tidak memiliki kemampuan dan tindakannya merugikan diri sendiri, keluarga dan masyarakat.

Untuk menjamin dan menjaga kelangsungan keseimbangan individu dalam hubungan antara anggota masyarakat diperlukan aturanaturan hukum yang dijunjung tinggi oleh semua anggota masyarakat, di mana aturan hukum itu ditaati dan dijalankan dengan tujuan untuk melindungi kepetingan masyarakat. Penerapan sanksi hukum terhadap warga masyarakat termasuk anak yang melanggar hukum, diharapkan dapat berpengaruh positif bagi perkembangan kepribadian anak, sepanjang hukuman itu bersifat mendidik bukan semata-mata bentuk sanksi atau ganjaran pidana kepada anak yang melakukan kejahatan tadi.

Mengenai hak anak selaku tersangka/terdakwa, pemerintah memberikan perlindungan sejak dari penyidikan, pemeriksaan sampai persidangan. Adapun hak-hak anak tersebut diantaranya adalah :


(31)

a. Setiap anak nakal sejak ditangkap atau ditahan berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan.

b. Setiap anak nakal sejak ditangkap atau ditahan berhak berhubungan langsung dengan penasihat hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang.

c. Selama anak di tahan, kebutuhan jasmani, rohani dan sosial anak harus tetap dipenuhi.

d. Tersangka anak berhak segera diadili oleh pengadilan.

e. Anak berhak mendapatkan perlindungan dan bantuan hukum.

f. Anak mendapatkan kebebasan dalam meberikan keterangan selama persidangan berlangsung.

g. Anak berhak mendapatkan perlakukan yang layak, dibedakan dan dipisahkan dengan tahanan dewasa.

Perbedaan perlakuan dan ancaman yang telah diatur dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 ini di maksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak tersebut agar dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang. Selain itu, perbedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.23

23


(32)

Seorang anak yang menjadi tersangka dan berada dalam tahanan sesuai Pasal 45 UU No. 3 Tahun 1997 harus mempertimbangkan kepentingan anak atau masyarakat dan harus dinyatakan secara tegas dalam surat penahanan. Tidak diindahkannya keharusan ini, akan membuat penahanan yang dilakukan terhadap anak yang menjadi tersangka menjadi tidak sah menurut hukum, dan dapat menyebabkan tersangka atau ahli waris/orang tua anak itu mengajukan tuntutan ganti rugi melalui praperadilan yang berwewenang mengadili perkara terdakwa. Untuk menangani perkara pidana anak, undang-undang pengadilan anak menghendaki petugas hukum khusus. Dalam bidang kesehatan sudah tidak asing lagi ada petugas yang sebutannya dokter anak sebagai tenaga medis yang ahli dalam bidang anak dan ditunjuk untuk menangani kesehatan anak selama dalam penanganan perkara anak. Berkenaan dengan bidang pengadilan anak, dikenal adanya penyidik anak, penuntut umum anak dan hakim anak yang diberi wewenang undang-undang untuk menangani perkara pidana anak sesuai dengan tingkat pemeriksaan masing-masing, sesuai kewenangan serta untuk menyelesaikan perkara anak dengan memperhatikan kepentingan anak yang didalam KUHAP tidak dikenal adanya petugas pemeriksa yang khusus untuk perkara anak.

Seperti yang tercantum dalam Undang–Undang Nomor 4 tahun 1979 pasal 2 ayat (3) dan (4) bahwa anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah di lahirkan. Anak juga berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar. Kedua ayat tersebut


(33)

mendorong perlunya perlindungan anak dalam rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan adil terhadap anak.24

Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi yang melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Menurut Arif Gosita, bahwa perlindungan anak adalah suatu hasil interaksi karena adanya interrelasi antara fenomena yang ada dan Saling mempengaruhi.25 Oleh karena itu untuk mengetahui adanya, terjadinya perlindungan anak yang baik atau buruk, tepat atau tidak tepat, maka harus diperhatikan fenomena yang relevan, yang mempuyai peran penting dalam terjadinya kegiatan perlindungan anak. Pada dasarnya usaha perlindungan anak terdapat dalam berbagai bidang kehidupan untuk kepentingan anak dan mempunyai dampak positif pada orang tua. Harus diperjuangkan agar asas- asas perlindungan anak diperjuangkan dan dipertahankan sebagai landasan semua kegiatan yang menyangkut pelayanan anak secara langsung atau tidak langsung demi perlakuan adil kesejahteraan anak. Namun hal terpenting dari usaha perlindungan anak adalah bagaimana membangun kapasitas anak untuk menyuarakan kehendak, cita- cita dan harapan mereka terhadap masyarakat dan perubahan social menurut perspektif mereka.26

D. Tinjauan Umum Tentang Anak

Anak adalah makhluk sosial sama halnya dengan orang dewasa anak juga membutuhkan seseorang untuk mengembangkan kemampuannya karena pada dasarnya anak lahir sebagai sosok yang lemah sehingga tanpa bantuan dari orang

24

Shanty Dellyana, Op. Cit., hlm 180

25

Arif Gosita, Op. Cit., hlm 12

26


(34)

lain anak tidak mungkin mencapai taraf kehidupan yang normal. John Locke mengemukakan bahwa anak merupakan pribadi yang masih bersih dan peka terhadap ransangan-ransangan dari lingkungan

Pengertian anak masih merupakan masalah dan sering menimbulkan kesimpangsiuran, ini dikarenakan belum adanya pengertian yang jelas dan seragam baik dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia maupun pendapat sarjana mengenai hal ini.Akan tetapi, berdasarkan Pasal 330, dapat kita lihat kriteria orang yang belum dewasa.

Pasal 330 KUHPerdata menyatakan:

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin”.

Apabila peraturan undang-undang memakai istilah “belum dewasa”, maka sekadar mengenai bangsa Indonesia, dengan istilah itu yang dimaksudkan: segala orang yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mulai umur dua puluh dua tahun, maka tidaklah mereka kembali dalam istilah “belum dewasa”.

Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 330 KUHPerdata dan bunyi, maka batasan umur sehingga seseorang dikategorikan anak yaitu yang belum mencapai umur dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu kawin. Pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan dalam ketentuan KUHP tidak


(35)

memberikan pengertian mengenai anak, tetapi hanya memberikan batasan umur.Menurut ketentuan Pasal 45 KUHP maka batasan anak adalah orang yang berumur di bawah 16 (enam belas tahun). Sedangkan apabila ditinjau batasan anak dalam KUHP sebagai korban kejahatan sebagaimana Bab XIV ketentuan Pasal 290, 292 dan 294 KUHP adalah berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun. Pasal 1 ayat ( 2 ) Undang-Undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahtraan Anak menyebutkan bahwa :

“Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

Untuk menentukan batasan usia anak secara pasti tergolong agak sulit karena perkembangan seseorang baik fisik maupun psikis sangat variatif satu dan yang lainnya, walaupun seseorang itu sudah dewasa namun tingkah lakunya masih memperlihatkan tanda tanda belum dewasa dan demikian pula sebaliknya.

Bertitik tolak dari uraian diatas maka untuk pendefinisian anak yang dapat dijadikan acuan oleh penulis yaitu merujuk pada pengertian anak menurut Undang-Undang no 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana yang dimaksud dengan anak adalah “Seseorang yang belum berusia 18 (Delapan belas tahun), termasuk anak yang didalam kandungan”.

E. Pengertian Tindak Pidana

Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman


(36)

(sanksi) yang berupa pidana tertentu, barangsiapa melanggar larangan tersebut.27 Adapun beberapa tokoh yang memiliki perbedaan pendapat tentang peristilahan “strafbaarfeit” atau tindak pidana, antara lain :

1) Simons, tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.28

2) Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana merupakan pelanggaran norma-norma dalam 3 (tiga) bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukum pidana.29

3) Pompe, tindak pidana adalah suatu pelanggaran terhadap norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.30

4) R Tresna, peristiwa pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.31

27

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2002, hlm. 71.

28

PAF Lamintang, Delik-delik khusus, Sinar Baru , Bandung,1984, hlm 185.

29

Wiryono Prodjodikoro, Op, Cit, hlm. 01

30

PAF Lamintang, Op, Cit, hlm. 182.

31


(37)

Beberapa peristilahan dan definisi diatas, menurut pendapat penulis yang dirasa paling tepat digunakan adalah “Tindak Pidana dan Perbuatan Pidana”, dengan alasan selain mengandung pengertian yang tepat dan jelas, sebagai istilah hukum juga sangat praktis diucapkan dan sudah dikenal oleh masyarakat pada umumnya. Menurut Moeljatno, Perbuatan Pidana didefinisikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Menurut Moeljatno, yang dikutib oleh Adam Chazawi perbuatan pidana lebih tepat digunakan dengan alasan sebagai berikut :32

1) Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sementara itu, ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.

2) Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya), ada hubungan yang erat. Oleh karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.

3) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkret yaitu pertama, adanya kejadian tertentu (perbuatan), dan kedua, adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.

32


(38)

Sudradjat Bassar menyimpulkan pengertian perbuatan pidana yang didefinisikan oleh Moeljatno bahwa suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana apabila perbuatan tersebut :

1) melawan hukum, 2) merugikan masyarakat, 3) dilarang oleh aturan pidana,

4) pelakunya diancam dengan pidana. 33

Butir 1) dan 2) menunjukkan sifat perbuatan, sedangkan butir 3) dan 4) merupakan pemastian dalam suatu tindak pidana. Menurut Roeslan Saleh, perbuatan pidana didefinisikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum. Beliau membedakan istilah perbuatan pidana dengan strafbaarfeit. Ini dikarenakan perbuatan pidana hanya menunjuk pada sifat perbuatan yang terlarang oleh peraturan perundang-undangan. Soedarto memakai istiah tindak pidana sebagai pengganti dari pada strafbaarfeit, adapaun alasan beliau karena tindak pidana sudah dapat diterima oleh masyarakat.

Terdapat kelompok sarjana yang berpandangan monistis dan dualistis dalam kaitannya dengan tindak pidana. Pandangan monistis berpendapat bahwa semua unsur dari suatu tindak pidana yaitu unsure perbuatan, unsur memenuhi ketentuan undang-undang, unsur sifat melawan hukum, unsur kesalahan dan unsur bertanggungjawab digunakan sebagai satu kesatuan yang utuh, sehingga memungkinkan untuk dijatuhkan pidana kepada pelakunya. Mereka yang

33

Sudradjat Bassar, Tindak-tindak pidana tertentu, Remadja Karya, Bandung, 1986, hlm.2.


(39)

berpandangan dualistis, memisahkan perbuatan dengan pertanggungajawaban pidana dalam pengertian jika perbuatan tersebut telah memenuhi unsur yang terdapat dalam rumusan undang-undang, maka perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana. Mengenai pelaku tersebut, dalam hal pertanggungjawaban pidana, masih harus ditinjau secara tersendiri, apakah pelaku tersebut mempunyai kualifikasi tertentu sehingga ia dapat dijatuhi pidana. Sebagai contoh apabila pelaku mengalami gangguan jiwa maka ia tidak dapat dipidana.

Indonesia menganut Paham Dualistis, terbukti dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 KUHP yang mengatur tentang tidak dipidananya seseorang walaupun telah melakukan suatu tindak pidana karena alasan-alasan tertentu, yaitu : Cacat jiwa, Daya paksa, Pembelaan terpaksa, Melaksanakan ketentuan undang-undang, dan Perintah jabatan.


(40)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Proses pengumpulan dan penyajian sehubungan dengan penelitian ini maka digunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan Yuridis Normatif adalah suatu pendekatan yang dilakukan dimana pengumpulan dan penyajian data dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan pokok bahasan penulisan skripsi ini. Sedangkan pendekatan yuridis empiris yaitu dengan melakukan pengkajian dan pengolahan terhadap data primer sebagai data utama yaitu fakta-fakta dan perilaku empiris di lapangan.37

B. Sumber dan Jenis data

Sumber dan jenis data dalam penelitian ini hanya menggunakan data sekunder saja, yaitu data yang diperoleh dari bahan literatur kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip yang bersifat teoritis, konsep-konsep, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok cara membaca, mengutip dan menelaah

37


(41)

peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan di bahas,38 yang terdiri antara lain:

1. Bahan Hukum Primer, antara lain:

a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

c) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak d) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak e) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

f) Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensii Hak-Hak Anak

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dalam hal ini teori-teori yang dukemukakan para ahli dan peraturan-peraturan pelaksana dari Undang-Undang yang mengatur tentang anak.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari Literatur, Kamus, Internet, surat kabar dan lain-lain.

38


(42)

C. Penetuan Narasumber

Penentuan narasumber dalam penelitian ini diambil dari beberapa orang populasi secara “purposive sampling” atau penarikan sample yang bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subjek berdasarkan pada permasalahan yang dibahas dalam penenlitian ini. Adapun narasumber dalam penelitian ini sebanyak 3 (tiga) orang, yaitu 2 orang dari Unit Penyidik dan 1 orang dari Unit Perlindungan Polresta Bandar Lampung.

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Proses dalam melakukan pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder dipergunakan alat-alat pengumpulan data sebagai berikut : a. Studi Pustaka

Terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan buku-buku dan literatur yang erat hubungannya dengan permasalahan yang sedang dibahas sehingga dapat mengumpulkan data sekunder dengan membaca, mencatat, merangkum, untuk dianalisa lebih lanjut.

b. Studi Dokumen

Mempelajari berkas-berkas dokumen yang berkaitan dengan pokok bahasan dengan cara membaca, mencatat, merangkum untuk dianalisa lebih lanjut. c. Studi lapangan

Studi lapangan dilakukan melalui wawancara dengan responden yang telah direncanakan sebelumnya. Metode yang dipakai adalah pengamatan langsung


(43)

dilapangan serta mengajukan pertanyaan yang disusun secara teratur dan mengarah pada terjawabnya permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

2. Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a. Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul dan permasalahan.

b. Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.

c. Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterprestasikan data.

E. Analisis Data

Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu analisis yang dilakukan secara deskriftif yakni penggambaran argumentasi dari data yang diperoleh di dalam penelitian. Dari hasil analisis tersebutdilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada realitas yang bersifat umum yang kemudian disimpulkan yang bersifat umum.


(44)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan diversi pada tingkat penyidikan dalam upaya perlindungan anak sebagai tersangka yang melakukan tindak pidana antara lain dengan memberikan peringatan informal terhadap tersangkan anak yang melakukan tindak pidana, memberikan peringatan formal dihadapan orangtuanya, pemberian sanksi ringan dari perbuatan jahatnya, dan meminta anak tersebut untuk melakukan pelayanan masyarakat yang berkaitan dengan pidana yang dilakukan. Tujuan dari pelaksanaan diversi adalah bahwa anak berhadapan dengan hukum dapat memiliki kesempatan lebih baik untuk mendapatkan pemulihan secara psikologis dan pembauran lagi didalam masyarakat lebih mudah dilakukan dibandingkan apabila anak berhadapan dengan hukum telah dipidana penjara, hal ini terkait dengan pelabelan oleh masyarakat yang secara implisit dimungkinkan terjadi.

2. Faktor pendukung dalam pelaksanaan diversi pada tingkat penyidikan dalam upaya proses perlindungan anak sebagai tersangka yang melakukan tindak pidana, adalah Indonesia telah melakukan upaya memberikan perlindungan


(45)

terhadap anak yang berkonflik dengan hukum antara lain dengan meratifikasi beberapa ketentuan yang berhubungan dengan peradilan anak, dan dari aparat penegak hukum telah melakukan tindakan diversi dalam penanganan kasus anak pelaku tindak pidana berdasarkan kebijakan individu. Sedangkan faktor penghambatnya antara lain faktor hukumnya sendiri, faktor apratur penegak hukum, faktor sarana dan prasarana, dan faktor masyrakat. Undang-Undang tentang Pengadilan Anak saat ini tidak memberikan ruang yang cukup bagi implementasi ide diversi. Dari segi Bantuan hukum, anak yang termasuk dalam keberadaan orang tua yang tidak mencukupi, sering kesulitan untuk mendapat bantuan hukum. Dari aspek sarana, diketahui bahwa tahanan anak digabung dengan orang dewasa, hal ini sangat berbahaya dan tidak mencerminkan perlindungan anak. Sedangkan dari faktor masyarakat, diversi masih terhalang adana pandangan masyarakat yang cenderung dendam dan ingin melakukan pembalasan terhadap pelaku kejahatan, termasuk pada pelaku anak.

B. Saran

1. Dibutuhkan suatu penyuluhan kepada masyarakat tentang ide diversi sehingga masyarakat akan pentingnya diversi dalam penyelenggaraan system peradilan pidana anak. Mendidik anak merupakan hal yang penting untuk mempersiapkan generasi muda Indonesia yang akan datang. Mengenalkan hukum dan mengajarkan anak untuk taat hukum sejak dini juga perlu dilakukan oleh orang tua dan pendidik di sekolah. Hukum juga harus


(46)

memberikan ruang bagi anak untuk terus berkembang dan terlindungi sesuai kapasitas pertumbuhannya..

2. Pelaksanaan diversi pada tingkat penyidikan diupayakan terwujudnya perlindungan bagi anak, kalau sebagai tersangka diupayakan semaksimal mungkin sehingga dapat meminimalkan sanksi hukuman yang akan diterima oleh anak atau malah dibebaskan. Pelaksanaan perlindungan hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana dapat dilakukan melalui perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak, penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini.


(47)

DAFTAR PUSTAKA

Ashshofa, Burhan, 1996, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.

Atmasasmita, Romli, 2008, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Armico, Bandung.

Bassar, Sudradjat, 1986, Tindak-tindak pidana tertentu, Remadja Karya, Bandung.

Chazawi, Adam, 2002, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Dellyana, Shanty, 2008, Wanita dan anak dimata hukum cet ke-1. Liberty, Yogyakarta.

Fakih, Mansour, 2002, Anak-anak Membangun Kesadaran Kritis / Pengantar, Pustaka Pelajar, Jakarta.

Hamzah, Andi, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta. Harahap, M.Yahya, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP,

Sinar Grafika, Jakarta.

Gosita, Arif, Masalah perlindungan anak ed. ke-1, Akademika Pressindo, Jakarta, 2005.

Kuffal. H.M.A., 2008, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, UMM Press, Malang,

Lamintang, PAF, 1984, Delik-delik khusus, Sinar Baru , Bandung.

Marlina, 2010, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, USU Press, Medan.

Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta.


(48)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensii Hak-Hak Anak.


(1)

34

dilapangan serta mengajukan pertanyaan yang disusun secara teratur dan mengarah pada terjawabnya permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

2. Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a. Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul dan permasalahan.

b. Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.

c. Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterprestasikan data.

E. Analisis Data

Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu analisis yang dilakukan secara deskriftif yakni penggambaran argumentasi dari data yang diperoleh di dalam penelitian. Dari hasil analisis tersebutdilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada realitas yang bersifat umum yang kemudian disimpulkan yang bersifat umum.


(2)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan diversi pada tingkat penyidikan dalam upaya perlindungan anak sebagai tersangka yang melakukan tindak pidana antara lain dengan memberikan peringatan informal terhadap tersangkan anak yang melakukan tindak pidana, memberikan peringatan formal dihadapan orangtuanya, pemberian sanksi ringan dari perbuatan jahatnya, dan meminta anak tersebut untuk melakukan pelayanan masyarakat yang berkaitan dengan pidana yang dilakukan. Tujuan dari pelaksanaan diversi adalah bahwa anak berhadapan dengan hukum dapat memiliki kesempatan lebih baik untuk mendapatkan pemulihan secara psikologis dan pembauran lagi didalam masyarakat lebih mudah dilakukan dibandingkan apabila anak berhadapan dengan hukum telah dipidana penjara, hal ini terkait dengan pelabelan oleh masyarakat yang secara implisit dimungkinkan terjadi.

2. Faktor pendukung dalam pelaksanaan diversi pada tingkat penyidikan dalam upaya proses perlindungan anak sebagai tersangka yang melakukan tindak pidana, adalah Indonesia telah melakukan upaya memberikan perlindungan


(3)

63

terhadap anak yang berkonflik dengan hukum antara lain dengan meratifikasi beberapa ketentuan yang berhubungan dengan peradilan anak, dan dari aparat penegak hukum telah melakukan tindakan diversi dalam penanganan kasus anak pelaku tindak pidana berdasarkan kebijakan individu. Sedangkan faktor penghambatnya antara lain faktor hukumnya sendiri, faktor apratur penegak hukum, faktor sarana dan prasarana, dan faktor masyrakat. Undang-Undang tentang Pengadilan Anak saat ini tidak memberikan ruang yang cukup bagi implementasi ide diversi. Dari segi Bantuan hukum, anak yang termasuk dalam keberadaan orang tua yang tidak mencukupi, sering kesulitan untuk mendapat bantuan hukum. Dari aspek sarana, diketahui bahwa tahanan anak digabung dengan orang dewasa, hal ini sangat berbahaya dan tidak mencerminkan perlindungan anak. Sedangkan dari faktor masyarakat, diversi masih terhalang adana pandangan masyarakat yang cenderung dendam dan ingin melakukan pembalasan terhadap pelaku kejahatan, termasuk pada pelaku anak.

B. Saran

1. Dibutuhkan suatu penyuluhan kepada masyarakat tentang ide diversi sehingga masyarakat akan pentingnya diversi dalam penyelenggaraan system peradilan pidana anak. Mendidik anak merupakan hal yang penting untuk mempersiapkan generasi muda Indonesia yang akan datang. Mengenalkan hukum dan mengajarkan anak untuk taat hukum sejak dini juga perlu dilakukan oleh orang tua dan pendidik di sekolah. Hukum juga harus


(4)

64

memberikan ruang bagi anak untuk terus berkembang dan terlindungi sesuai kapasitas pertumbuhannya..

2. Pelaksanaan diversi pada tingkat penyidikan diupayakan terwujudnya perlindungan bagi anak, kalau sebagai tersangka diupayakan semaksimal mungkin sehingga dapat meminimalkan sanksi hukuman yang akan diterima oleh anak atau malah dibebaskan. Pelaksanaan perlindungan hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana dapat dilakukan melalui perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak, penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ashshofa, Burhan, 1996, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.

Atmasasmita, Romli, 2008, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Armico, Bandung.

Bassar, Sudradjat, 1986, Tindak-tindak pidana tertentu, Remadja Karya, Bandung.

Chazawi, Adam, 2002, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Dellyana, Shanty, 2008, Wanita dan anak dimata hukum cet ke-1. Liberty, Yogyakarta.

Fakih, Mansour, 2002, Anak-anak Membangun Kesadaran Kritis / Pengantar, Pustaka Pelajar, Jakarta.

Hamzah, Andi, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta. Harahap, M.Yahya, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP,

Sinar Grafika, Jakarta.

Gosita, Arif, Masalah perlindungan anak ed. ke-1, Akademika Pressindo, Jakarta, 2005.

Kuffal. H.M.A., 2008, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, UMM Press, Malang,

Lamintang, PAF, 1984, Delik-delik khusus, Sinar Baru , Bandung.

Marlina, 2010, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, USU Press, Medan.

Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta.


(6)

________________, 2005, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensii Hak-Hak Anak.