Gambaran Angiografi Koroner Pasien Angina Pektoris Tidak stabil Berjenis Kelamin Wanita di RSUP H. Malik Medan

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Jantung Koroner

2.1.1 Definisi
Penyakit jantung koroner adalah penyakit pada pembuluh darah arteri
koroner yang terdapat di jantung, yaitu terjadinya penyempitan dan penyumbatan
pada pembuluh darah tersebut. Hal itu terjadi karena adanya atheroma atau
atherosclerosis (pengerasan pembuluh darah), sehingga suplai darah ke otot
jantung menjadi berkurang (Maulana, 2008).

2.1.2 Sirkulasi Koroner

Efisiensi jantung sebagai pompa tergantung dari nutrisi dan oksigenasi
otot jantung. Sirkulasi koroner meliputi seluruh permukaan jantung, membawa
oksigen dan nutrisi ke miokardium melalui cabang-cabang intramiokardial yang
kecil-kecil (Carletton F.P, 1994).
Arteri Koronaria

Arteri koronaria adalah cabang pertama dari sirkulasi sistemik. Muara arteri
koronaria ini terdapat didalam sinus valsava dalam aorta, tepat di atas katup
aorta. Sirkulasi koroner terdiri dari: arteri koronaria kanan dan kiri. Arteri
koronaria kiri mempunyai dua cabang besar yaitu, arteria descendens anterior
kiri dan arteria sirkumfleksa kiri (gambar 2.1).

6

Gambar 2.1. Anatomi arteri koronaria (Netter, 2006)

Setiap pembuluh utama mencabangkan pembuluh epikardial dan
intramiokardial yang khas. Arteri descendens anterior kiri membentuk
percabangan septum yang memasok dua pertiga bagian anterior septum, dan
cabang-cabang diagonal yang berjalan diatas permukaan anterolateral dari
ventrikel kiri, permukaan posterolateral dari ventrikel kiri diperdarahi oleh
cabang-cabang marginal dari arteria sirkumfleksa (Carletton F.P, 1994).

Jalur anatomis ini menghasilkan suatu korelasi antara arteri koronaria dan
penyediaan nutrisi otot jantung. Pada dasarnya arteri koronaria dekstra
memberikan darah ke atrium kanan, ventrikel kanan dan dinding inferior ventrikel

kiri. Arteria sirkumfleksa sinistra memberikan darah pada atrium kiri dan dinding
posterolateral ventrikel kiri. Arteria descendens anterior kiri memberikan darah ke
dinding depan ventrikel kiri yang masif (Carletton F.P, 1994).

7

2.1.3 Patogenesis

Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteri
koronaria paling sering ditemukan. Aterosklerosis menyebabkan penimbunan
lipid dan jaringan fibrosa dalam arteri koronaria, sehingga mempersempit lumen
pembuluh darah. Bila lumen menyempit maka resistensi terhadap aliran darah
akan meningkat dan membahayakan aliran darah miokardium. Bila penyakit ini
semakin lanjut, maka penyempitan lumen akan diikuti perubahan pembuluh darah
yang mengurangi kemampuannya untuk melebar dan kebutuhan oksigen menjadi
tidak stabil sehingga akan membahayakan miokardium yang terletak di sebelah
distal dari daerah lesi (Brown C.T, 2003).

Ketidakseimbangan


antara

penyediaan

dan

kebutuhan

oksigen

menyebabkan PJK atau infark miokardium. Terdapat suatu keseimbangan kritis
antara penyediaan dan kebutuhan oksigen miokardium. Berkurangnya penyediaan
oksigen atau meningkatnya

kebutuhan oksigen ini

dapat mengganggu

keseimbangan ini dan membahayakan fungsi miokardium. Bila kebutuhan
oksigen meningkat maka penyediaan oksigen juga meningkat. Sehingga aliran

pembuluh koroner harus ditingkatkan, karena ekstraksi oksigen miokardium dari
darah arteri hampir maksimal pada keadaan istirahat. Rangsangan yang paling
kuat untuk mendilatasi arteri koronaria dan meningkatkan aliran pembuluh darah
koroner adalah hipoksia jaringan lokal. Pembuluh koroner normal dapat melebar
dan meningkatkan aliran darah sekitar lima sampai enam kali di atas tingkat
istirahat. Namun, pembuluh darah yang mengalami stenosis atau gangguan tidak
dapat melebar, sehingga terjadi kekurangan oksigen apabila kebutuhan oksigen
meningkat melebihi kapasitas pembuluh untuk meningkatkan aliran. Iskemia
adalah kekurangan oksigen yang bersifat sementara dan reversible. Iskemia yang
lama akan menyebabkan kematian otot atau nekrosis. Secara klinis, nekrosis
miokardium dikenal dengan nama infark miokardium (gambar 2.2) (Brown C.T,
2003).

8

Gambar 2.2 Patogenesis Penyakit Jantung Koroner
Gambar A: adalah gambaran dari arteri koroner jantung dan menunjukkan kerusakan
(otot jantung yang mati) disebabkan oleh serangan jantung. Gambar B: adalah penampang
dari arteri koroner dengan penumpukan plak dan bekuan darah.


9

2.2. Angina Pektoris Tidak Stabil
2.2.1. Definisi
Menurut American Heart Association (AHA, 2000) Angina Pektoris Tidak
Stabil (APTS) adalah suatu spektrum dari sindroma iskemik miokard akut yang
berada di antara angina pektoris stabil dan infark miokard akut. Terminologi
APTS harus tercakup dalam kriteria penampilan klinis sebagai berikut:
1. Angina Pertama Kali
Angina timbul pada saat aktivitas fisik. Baru pertama kali dialami oleh
penderita dalam 1 bulan terakhir.
2. Angina progresif
Angina timbul saat aktifitas fisik yang berubah polanya dalam 1 bulan
terakhir, yaitu menjadi lebih sering, lebih berat, lebih lama, timbul dengan
pencetus yang lebih ringan dari biasanya dan tidak hilang dengan cara yang
biasa dilakukan. Penderita sebelumnya menderita angina pektoris stabil
3. Angina waktu istirahat
Angina timbul tanpa didahului aktifitas fisik atau pun hal-hal yang dapat
menimbulkan peningkatan kebutuhan O2 miokard. Lama angina sedikitnya
15 menit.

4. Angina sesudah IMA
Angina yang timbul dalam periode dini (1 bulan) setelah IMA

Kriteria penampilan

klinis tersebut dapat terjadi sendiri-sendiri atau

bersama-bersama tanpa ada gejala IMA. Nekrosis miokard yang terjadi pada IMA
harus disingkirkan misalnya dengan pemeriksaan enzim serial dan pencatatan
EKG (Braunwald et al, 2000).

10

2.2.2. Patofisiologi
Menurut American Heart Association (AHA) Gejala angina pektoris pada
dasarnya

timbul

karena


iskemik

akut

yang

tidak

menetap

akibat

ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai O2 miokard. Beberapa keadaan
yang dapat merupakan penyebab baik tersendiri maupun bersama-sama yaitu:
1. Faktor di luar jantung
Pada penderita stenosis arteri koroner berat dengan cadangan aliran
koroner

yang


terbatas

maka

hipertensi

sistemik,

takiaritmia,

tirotoksikosis dan pemakaian obat-obatan simpatomimetik dapat
meningkatkan

kebutuhan

O2

miokrad


sehingga

mengganggu

keseimbangan antara kebutuhan dan suplai O2. Penyakit paru menahun
dan penyakit sistemik seperti anemi dapat menyebabkan takikardi dan
menurunnya suplai O2 ke miokard (Braunwald et al, 2000).

2. Sklerotik koroner
Sebagian besar penderita APTS mempunyai gangguan cadangan aliran
koroner yang menetap yang disebabkan oleh plak sklerotik yang lama
dengan atau tanpa disertai trombosis baru yang dapat memperberat
penyempitan pembuluh darah koroner. Sedangkan sebagian lagi disertai
dengan gangguan cadangan aliran darah koroner ringan atau normal
yang disebabkan oleh gangguan aliran koroner sementara akibat
sumbatan maupun spasme pembuluh darah (Braunwald et al, 2000).

3. Agregasi trombosit
Stenosis arteri koroner akan menimbulkan turbulensi dan stasis aliran
darah sehingga menyebabkan peningkatan agregasi trombosit yang

akhirnya membentuk trombus dan keadaan ini akan mempermudah
terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah (Braunwald et al, 2000).

11

4. Trombosis arteri koroner
Trombus akan mudah terbentuk pada pembuluh darah yang sklerotik
sehingga penyempitan bertambah dan kadang-kadang terlepas menjadi
mikroemboli dan menyumbat pembuluh darah yang lebih distal.
Trombosis akut ini diduga berperan dalam terjadinya APTS (Braunwald
et al, 2000).

5. Perdarahan plak ateroma
Robeknya plak ateroma kedalam lumen pembuluh darah kemungkinan
mendahului

dan

menyebabkan


terbentuknya

trombus

yang

menyebabkan penyempitan arteri koroner (Braunwald et al, 2000).

6. Spasme arteri koroner
Peningkatan kebutuhan O2 miokard dan berkurang aliran darah koroner
karena spasme pembuluh darah disebutkan sebagai penyebab APTS.
Spasme dapat terjadi pada arteri koroner normal ataupun pada stenosis
pembuluh darah koroner. Spasme yang berulang dapat menyebabkan
kerusakan artikel, pendarahan plak ateroma, agregasi trombosit dan
trombus pembuluh darah (Braunwald et al, 2000).

12

2.2.3 Gambaran Angiografi Koroner Angina Pektoris Tidak Stabil pada
Wanita

Diagnosis klinis angina pada wanita untuk pemeriksaan angiografi sangat
sedikit yang mengalami obstruksi dibanding laki-laki. Pada studi Women’s
Ischemia Study Evaluation (WISE ) hanya 39% dari wanita yang mengidap PJK,

yaitu mempunyai 50% stenosis pada 1 pembuluh. Wanita juga menampilkan
perbedaan keluhan dibanding laki-laki. Studi terbaru Coronary Artery Surgery
Study (CASS) menunjukkan yang namanya keluhan khas angina (sakit substernal,

dipicu oleh faktor emosi atau aktifitas fisik, hilang dalam waktu 10 menit setelah
istirahat atau pemberian nitrat) sangat prediktif untuk PJK pada wanita maupun
pria (Danny et al, 2009).

Namun prevalensi PJK non obstruktif lebih tinggi pada wanita
dibandingkan pria, Sehingga pemeriksaan diagnostik ini kurang sensitif.
Investigasi WISE menemukan suatu klasifikasi Angina Klasik gagal ditampilkan
mencapai angka 65% padahal wanita tersebut jelas menderita PJK. Keluhan
angina yang timbul pada wanita tanpa PJK barangkali disebabkan oleh karena
iskemia mikrovaskular atau iskemia yang berhubungan dengan faktor konstriksi
arteri koroner. Keluhan angina yang timbul ternyata berdampak luas, karena nilai
yang sangat besar, baik dalam bentuk mortalitas, morbiditas dan biaya perawatan
(Danny et al, 2009).

Sebagai gambaran dari hasil registri yang dilakukan di Amerika Serikat
diperkirakan 8.000.000 pemeriksaan diagnostik arteri koroner, dimana 40%
penderita wanita, ternyata pada 48% wanita tidak ditemukan adanya penyempitan
dari pembuluh darah koroner. Pemeriksaan arteri koroner normal menghabiskan
biaya yang tidak sedikit (Danny et al, 2009).

13

Di Amerika diperkirakan 280 juta dollar dihabiskan untuk pemeriksaan
yang sebenarnya tidak diperlukan. Ini diluar dari biaya yang mencakup 65% dari
wanita yang memang pembuluh darahnya normal tetapi masih mengeluh sakit
dada setelah dilakukan arteriografi koroner (Danny et al, 2009).

Dalam kasus Angina ini memang wanita tidak bisa diduga sebagaimana
pria, banyak faktor yang masih harus diteliti. Dari studi WISE ini, kita harus
bijaksana dalam menentukan ada tidaknya PJK pada wanita. Keluhan khas
Angina tidak selalu dapat dideteksi dengan pemeriksaan arteriografi koroner.
Dalam keluhan Angina jelas wanita mengalahkan pria (Danny et al, 2009).

Menurut penelitian yang dilakukan (Danny, et al,2009) Selama tahun 2007
terdapat 2046 pasien dengan SKA yang masuk ke Unit Gawat Darurat Pusat
Jantung Nasional Harapan Kita (PJNHK). Dari jumlah itu 459 (22,4%) di
antaranya wanita; 196 pasien di antaranya datang dengan IMA, sedangkan sisanya
didiagnosis sebagai APTS.Pada sejumlah 45,7% subjek dilakukan angiografi
koroner, baik sebelum IMA, selama perawatan maupun dalam periode follow-up.
Subjek dengan stenosis koroner pada 1-2 pembuluh (CAD 1-2 VD) sebesar 21,9%
sedangkan dengan 3 pembuluh ataupun lesi pada pembuluh utama kiri (CAD
3VD/LMD) juga dijumpai pada 21,9%. Pada 1,9% subjek (3 pasien) tidak
didapatkan adanya lesi koroner yang bermakna saat angiografi. Selama masa
follow-up, hanya 36 subjek (22,5%) yang tercatat menjalani tindakan

revaskularisasi baik berupa Percutaneous Coronary Intervention (PCI) maupun
Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) (Tabel 2.1) (Danny et al, 2009).

14

Tabel 2.1. Data Angiografi Koroner
Data Angiografi Koroner

Jumlah N
(%)

1-2 Vessel Disease

35(21,9)

3 Vessel/Left Main Disease

35(21,9)

Normal Koroner
Tidak Dilakukan Angiografi Koroner
Tindakan revaskularisasi selama masa pengamatan

3(1,9)
87(54,3)
JumlahN(%)

Ya

36(22,5)

Tidak

124(77,5)

Sumber: Departement of Cardiology and Vascular Medicine, Faculty of Medicine,
University of Indonesia National Cardiovascular Center “Harapan Kita”, Jakarta,
Indonesia.

2.3. Skor Pembuluh darah koroner
Penyakit arteri koroner yang signifikan didefinisikan sebagai penyempitan
lumen proksimal > 70% baik di arteri desendens anterior kiri, arteri sirkumfleksa,
atau arteri koroner kanan atau cabang utama kiri. Pasien kemudian
diklasifikasikan sebagai memiliki single, double, or triple vessel disease
(Mannering D et al, 1987).

Single vessel disease yaitu luas penyempitan pada 1 pembuluh epikardial

utama ≥50% atau pada tiap cabang pembuluh ≥70%, double vessel disease yaitu
luas penyempitan pada 2 pembuluh epikardial utama ≥50% atau tiap cabang
pembuluh ≥70%, sedangkan triple vessel disease luas penyempitan pada 3
pembuluh epikardial utama ≥50% atau tiap cabang pembuluh ≥70% (Mannering
D et al, 1987).