Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Suntik 3 (tiga) Bulanan terhadap Perubahan Berat Badan pada Akseptor Keluarga Berencana di Puskesmas Terjun, Medan Marelan

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hypothalamus-Pituitary Axis
Komponen utama dalam regulasi sistem endokrin adalah otak, terutama
hipotalamus. Hipotalamus bertanggung jawab terhadap integrasi informasi neural
dan humoral dan pelepasan neurohormon yang memainkan peran sangat penting
dalam menjaga lingkungan internal organisme. Sebagai regulator dari fungsi
kelenjar hipofisis anterior, hipotalamus menyekresi ke dalam sirkulasi portal
hipofisis releasing factor atau inhibiting factor yang menstimulasi atau
menghambat sekresi atau sintesis hormon. Mekanisme sistem ini terus
berlangsung melalui sistem internal feedback loop yang berpengaruh secara
negatif atau positif terhadap fungsi sistem saraf pusat atau kelenjar hipofisis,
sehingga mengatur sekresi releasing hormone, inhibiting hormone, tropic
hormone, dan target gland hormone (Prawirohardjo, 2011).
Pada neuroendokrin untuk fungsi reproduksi terdapat sistem yang bertingkat
dimana Central Nervous System (CNS) yang lebih tinggi dipengaruhi oleh stimuli
internal dan eksternal yang berefek positif atau negatif terhadap sekresi
gonadotropin-releasing hormone (GnRH) dari hipotalamus menuju ke sirkulasi

portal hipofisis. Sekresi hormon ini akan menstimulasi kelenjar hipofisis anterior
untuk menyekresi Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone
(LH), yang pada akhirnya berpengaruh pada tingkat ovarium atau testis untuk
memacu

perkembangan

folikular

dan

ovulasi

pada

perempuan

dan

spermatogenesis pada laki-laki. Selain itu, kedua hormon hipofisis anterior ini

bereaksi pada ovarium dan testis sebagai kelenjar target dan menstimulasinya
untuk mengeluarkan berbagai hormon steroid dan non steroid. Ekuilibrium
dinamis dipertahankan melalui umpan balik hormon kelenjar target pada tingkat
CNS atau kelenjar hipofisis anterior (Prawirohardjo, 2011).

6

Gambar 2.1. Schematic representation of the hypothalamic–pituitary–gonadal
(HPG) axes.
Sumber: Kong, Lu et al, 2014.
2.2. Biosintesis dan Mekanisme Kerja Hormon Steroid
Hormon steroid dihasilkan adrenal, ovarium, testis, plasenta, dan pada
tingkat tertentu di jaringan perifer (Fritz & Speroff, 2011). Bahan dasar yang
digunakan untuk biosintesis steroid oleh ovarium adalah kolesterol. Kolesterol
yang digunakan dalam steroidogenesis diturunkan dari sirkulasi Low-Density
Lipoprotein (LDL). Awalnya LDL berikatan dengan reseptor membran khusus
yang terletak pada sel steroideogenik. Lipoprotein yang terikat pada reseptor
diinternalisasikan dalam bentuk vesikel indositosik. Vesikel ini nantinya menyatu
dengan lisosom, dimana protease dan seterasenya mendegradasi lipoprotein. Pada
ovarium, kolesterol dan asam amino yang tidak teresterfisi dilepaskan untuk

digunakan. Kolesterol ditransportasikan ke mitokondria dan diubah menjadi
pregnenolon, yang kemudian dipakai dalam jalur biosintetik untuk sintesis
androgen, estrogen, dan progesteron. (Prawirohardjo, 2011).

7

.

Gambar 2.2. Lintasan Sintesis dan Kelas-Kelas Utama Hormon Steroid
Sumber: Fritz, M.A & Speroff, L., 2011.
Dalam ovarium, sel-sel granulosa tidak mempunyai sitokrom P450c11,
P450c17, dan P450c21 dan karena itu sebagian besar menghasilkan progesteron.
Progesteron ini kemudian diambil oleh sel-sel teka yang berdekatan, yang
mengubahnya menjadi androstenedion, yang kemudian kembali ke sel granulosa,
di mana ia diubah menjadi estron oleh kerja dari aromatase. Enzim ini juga
mengubah testosteron menjadi estradiol; konsentrasi dari aromatase dalam sel
granulosa sedemikian rupa sehingga hampir semua testosteron diubah menjadi
estradiol dan dilepaskan sedikit testosteron. Estron dan estradiol dapat juga
dihasilkan dari DHEA dan androstenedion dalam jaringan perifer seperti jaringan
adiposa karena adanya aromatase (Fritz & Speroff, 2011).

Sel granulosa di dalam kultur mampu mensintesis estrogen dari kolesterol,
dan apabila sel granulosa dan sel teka tersebut dikultur secara bersamaan, terdapat
peningkatan yang sangat berarti pada laju biosintesis. Saat ini sudah dapat

8

disepakati bahwa di bawah pengaruh LH sel teka interna mensintesis dan
menyekresi steroid androgenik C19 (androstenedion dan testosteron) dan
kemudian berdifusi dengan membranabasalis dan masuk dalam sel granulosa
dimana dengan pengaruh FSH dan induksi enzim aromatse akan mengaromatisasi
ring A steroid. Proses tersebut akan mengkonversi androstenedion menjadi
senyawa estrogenik (estron dan estradion). Sistem aromatase penting untuk
mempertahankan kadar estrogen intrafolikuler yang tinggi, untuk meneruskan
memelihara perkembangan folikel dan oosit. Produksi androgen dapat merubah
output estrogenik dari sel granulosa atau dapat menurunkan sensitivitas sel
granulosa terhadap FSH dan estrogen dengan menurunkan reseptor respektifnya
(Prawirohardjo, 2011).

Gambar 2.3. Two-Cell Theory
Sumber: Fritz, M.A & Speroff, L., 2011.


9

Perkembangan morfologis awal sel granulosa dari folikel primer dipengaruhi
oleh FSH. Dengan perkembangan folikel primer menjadi folikel sekunder atau
tersier awal, sel granulosa dan sel teka mensintesis reseptor untuk berbagai
hormon lainnya. Selain aktivitas induksi mitosis pada sel granulosa, FSH juga
menginduksi sistem enzim aromatase yang mendorong konversi androgen
menjadi estrogen. Akhirnya, hormon ini menginduksi terbentuknya reseptor LH.
Hormon LH penting dalam diferensiasi sel granulosa menjadi korpus luteum
setelah terjadinya ovulasi. Fungsi luteal penting untuk meneruskan dukungan
progesteron terhadap endometrium saat persiapan dan memelihara kehamilan
(Prawirohardjo, 2011).

2.3 Siklus Menstruasi
Keteraturan dari siklus menstruasi diatur oleh adanya interaksi kompleks
antara hypothalamic-pituitary axis, ovarium, dan saluran genital. Siklus
menstruasi terdiri dari fase folikular dan luteal.
Siklus menstruasi ini membutuhkan komunikasi antara kelenjar-kelenjar yang
berpartisipasi yang diatur oleh suatu perubahan kompleks konsentrasi dari 5

hormon, yaitu:
1. Gonadotropin releasing Hormone (GnRH)
2. Follicle Stimulating Hormone (FSH)
3. Luteinzing Hormone (LH)
4. Estradiol (E2)
5. Progesteron (P4)
Perubahan siklus histologi endometrium diulang setiap siklus ovarium
ovulatorik. Perubahan-perubahan yang dipicu oleh hormon steroid seks ini dapat
diringkas sebagai berikut:
1. Fase Pra-Ovulasi (Folikuler) : Merupakan Fase di mana Telur belum
dilepaskan
2. Fase Ovulasi : Pelepasan Sel Telur
3. Fase Luteal: Fase setelah sel telur dilepaskan (Cunningham,2014).

10

Fase folikuler dimulai pada hari pertama menstruasi. Pada awal fase ini,
endometrium dalam keadaan tebal dan kaya akan cairan dan nutrisi yang
diperlukan bagi embrio. Jika tidak ada telur yang dibuahi, maka tingkat estrogen
dan progesteron akan menurun, sehingga endometrium luruh dan terjadilah

perdarahan menstruasi. Pada saat yang sama, kelenjar hipofisis meningkatkan
produksi FSH. Hormon ini kemudian menstimulasi pertumbuhan banyak folikel.
Akhir fase, biasanya hanya satu folikel yang berkembang, yang disebut folikel de
Graaf. Folikel ini kemudian segera memproduksi estrogen, kemudian estrogen
akan menekan produksi FSH sehingga lobus anterior hipofisis mengeluarkan
hormon gonadotropin yang kedua, yakni LH. Folikel de Graaf yang matang akan
melepaskan banyak estrogen dan menyebabkan endometrium berproliferasi. Fase
folikular sampai proliferasi berlangsung selama 13-14 hari dan merupakan fase
terlama (Rosenblatt, 2007).
Fase ovulasi dimulai ketika folikel de Graaf menjadi lebih matang,
mendekati ovarium dibawah pengaruh LH. Setelah itu folikel berkembang dan sel
telur (ovum) dilepaskan dari ovarium (ovulasi) saat kadar LH mencapai puncak.
Pada fase ini endometrium terus berproliferasi membentuk lekukan-lekukan
(Prawirohardjo, 2011). Fase yang terakhir adalah fase luteal, yang berlangsung
sekitar 7-14 hari setelah masa ovulasi dan berakhir sesaat sebelum menstruasi
terjadi. Terbentuklah korpus luteum yang menghasilkan peningkatan produksi
progesteron. Progesteron menyebabkan penebalan endometrium dan mengisinya
dengan cairan dan nutrisi untuk fetus. Begitu juga pada serviks, mukus menebal
agar sperma atau bakteri tidak masuk ke uterus. Selain itu peningkatan suhu tubuh
terjadi selama fase ini dan bertahan sampai periode menstruasi dimulai. Kadar

estrogen pada fase ini meningkat untuk menstimulasi endometrium agar menebal.
Peningkatan kadar kedua hormon tersebut mendilatasikan duktus-duktus kelenjar
susu. Sehingga payudara menjadi bengkak dan terjadi nyeri tekan (Rosenblatt,
2007).

11

Gambar 2.4. Siklus ovarium-endometrium
Sumber: Cunningham, F.G., et.al, 2014.

12

Tabel 2.1. Patokan-patokan penting dalam korelasi antara siklus ovarium dengan siklus endometrium
Fase
Menstruasi

Folikular Dini

(hari1-5)


(hari 6-8)

Ovarium
Pembentukan korpus
albikans. Rekrutmen folikel

Estrogen
Rendah, terutama berasal
dari estron yang dihasilkan
diluar kelenjar

Pematangan dan perkembangan folikel yang dominan

(hari 14)

Ovulasi dan luteinisasi sel
granulosa di folikel yang
ruptur

Luteal Dini (hari 1519)


Vakularisasi sel lutein dan
granulosa dan
pembentukan korpus lutem

Sekresi estradiol-17β meningkat secara mencolok

Progesteron
Sekresi rendah

Ovulasi

Folikular Lanjut (hari
9-13)

Korpus luteum
menjadi matang dan
atresia folikel
berlanjut


Pramenstruasi (hari
26-28)

Involusi korpus luteum dan
inisiasi rekrutmen folikel
untuk siklus berikutnya

Bersamaan ovulasi, terjadi

Peningkatan secara

Kecepatan

Sekresi estradiol-17β

penurunan mendadak

bertahap oleh korpus

maksimum sekresi

menurun cepat, estrogen

estradiol-17β

luteum

pascaovulasi

utama estron

Terus meningkat, akibat
Selama fase folikular tetap rendah

Luteal Lanjut
(hari 20-25)

tersedianya LDL dan kerja

Sekresi progesteron tetap tinggi sampai akhir fase
luteal lanjut

LH

Sekresi turun secara cepat

Endometrium
Deskuamasi menstruasi dan
reorganisasi awal epitel

Proliferasi epitel kelenjar
disertai banyak mitosis

Pseudostratifikasi inti sel,
perubahan stroma awal

kelenjar endometrium

Munculnya vakuol

Migrasi vakuol ke

Vakuol disekresi dan

Gangguan disentegrasi

subnukleus yang kaya

permukaan lumen, mitosis

proses desidualisasi

stroma. Infiltrasi leukosit

glikogen

berhenti.

dimulai

dan perdarahan interstitial

FSH
Peningkatan kadar FSH

Penurunan kadar FSH,
bersamaan dengan

Sekresi FSH selalu bersifat pulsatil

Lonjakan sekresi FSH

Kadar FSH turun setara dengan fase praovulasi

seiring dengan

penurunan kadar steroid di

berkurangnya sekresi

korpus luteum

steroid

LH
Kadar LH rendah relatif

Bersamaan dengan

konstan samapai sesaat

peningkatan estradiol-17β,

sebelum ovulasi

terjadi lonjakan LH

Sumber: Cunningham, F.G., et.al, 2007.

Kadar LH rendah dan relatif konstan sampai sesaat
sebelum ovulasi

13

2.4. Kontrasepsi
2.4.1. Definisi
Kontrasepsi merupakan upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan, upaya
ini dapat bersifat sementara dan dapat pula bersifat permanen. Selain daripada itu
kontrasepsi adalah cara untuk menghindari atau mencegah terjadinya kehamilan
sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sperma tersebut.
Pembuahan dapat terjadi bila beberapa syarat berikut terpenuhi yaitu adanya sel
telur dan sel sperma yang subur, kemudian cairan sperma harus ada di dalam
vagina, sehingga sel sperma yang ada di dalam vagina dapat berenang menuju ke
serviks kemudian ke rahim lalu ke saluran oviduk untuk membuahi sel telur. Sel
telur yang telah dibuahi harus mampu bergerak dan turun ke rahim yang akan
melakukan nidasi, endometrium atau dinding rahim harus dalam keadaan siap
untuk menerima nidasi (Prawirohardjo, 2011).

2.4.2. Kontrasepsi Non-hormonal
2.4.2.1. Sanggama terputus
Cara ini mungkin merupakan cara kontrasepsi yang tertua yang dikenal oleh
manusia, dan mungkin masih merupakan cara yang banyak dilakukan sampai
sekarang. Sanggama terputus ialah penarikan penis dari vagina sebelum terjadinya
ejakulasi. Hal ini berdasarkan kenyataan, bahwa akan terjadinya ejakulasi disadari
sebelumnya oleh bagian terbesar pria, dan setelah itu masih ada waktu kira – kira
1 detik sebelum ejakulasi terjadi. Waktu yang singkat ini dapat digunakan untuk
menarik penis keluar dari vagina (Prawirohardjo, 2011).

2.4.2.2. Pantang berkala
Prinsip metode pantang berkala ini adalah tidak melakukan sanggama pada
masa subur yaitu pertengahan siklus haid atau ditandai dengan keluarnya lendir
encer dari liang vagina. Untuk menghitung masa subur digunakan rumus siklus
terpanjang dikurangi 11 hari dan siklus terpendek dikurangi 18 hari. Dua angka
yang diperoleh merupakan range masa subur. Dalam jangka waktu subur tersebut
harus pantang sanggama, dan diluarnya merupakan massa aman. Sebagai contoh

14

jika seorang wanita mempunyai siklus haid dari hari ke 28 sampai ke 36, maka
perhitungannya adalah 28-18 = 10, dan 36- 11 = 25. Maka konsepsi dapat terjadi
hari ke 10 hingga hari ke 25 daur haid (Samra-Latif, 2011).

2.4.2.3. Kondom
Kondom pria merupakan selubung atau sarung karet yang terbuat dari
berbagai bahan diantaranya lateks (polyuerethane dan silicone), atau bahan alami
(produk hewani) yang dipasang pada penis saat berhubungan seksual. Kondom
menghalangi masuknya sperma ke dalam vagina sehingga pembuahan dapat
dicegah (Prawirohardjo, 2011).
Selain sperma, transmisi virus Human Papilloma Virus (HPV), Acquired
Immune Deficiency Syndrome (AIDS), dan penyakit menular seksual lainnya
dapat dicegah. Tersedia juga kondom yang mengandung spermisida, namun dapat
menyebabkan infeksi saluran kemih pada wanita, karena dapat mengubah flora
normal pada vagina (Fritz & Speroff, 2011).
Untuk kondom wanita, pada tiap ujungnya dari kondom terdapat
cincin/lingkaran lentur, ujung yang tertutup dimasukkan kedalam vagina,
sedangkan yang terbuka berada diluar vulva. Kondom wanita tidak mengandung
spermisida, penggunaannya sebaiknya tidak bersamaan dengan penggunaan
kondom pria, karena dapat bergesek dan menyebabkan kondom rusak.

2.4.2.4. Spermisida
Spermisida adalah bahan kimia yang di gunakan untuk menonaktifkan
atau membunuh sperma. Spermisida menyebabkan sel membran sperma terpecah,
memperlambat pergerakan sperma dan menurunkan kemampuan penetrasi.
Spermisida dikemas dalam bentuk aerosol (busa), suppositoria, tablet vaginal atau
krim. Bahan aktif yang biasa digunakan adalah nonoxynol-9, benzalkonium
chloride, menfegol, dan octoxynol (Fritz & Speroff, 2011).
Metode ini tidak mengganggu produksi ASI, mudah digunakan dan tidak
memerlukan pemeriksaan kesehatan khusus. Perlu ditekankan bahwa pemakaian
spermisida sebagai tindakan kontraseptif tunggal tidak dianjurkan dan peran

15

utama zat ini adalah meningkatkan efek kontraseptif dari metode barier yang lain.
(Prawirohardjo, 2011).

2.4.2.5. Kontrasepsi Mantap (Sterilisasi)
Sterilisasi adalah tindakan yang dilakukan pada kedua tuba falopii perempuan
atau kedua vas deferens laki-laki, yang mengakibatkan yang bersangkutan tidak
dapat hamil atau tidak menyebabkan kehamilan lagi (Prawirohardjo, 2011).
Keuntungan sterilisasi ialah :
1. Motivasi hanya dilakukan satu kali saja, sehingga tidak diperlukan
motivasi yang berulang-ulang.
2. Efektivitas hampir 100%
3. Tidak mempengaruhi libido seksualis
4. Tidak adanya kegagalan dari pihak pasien

2.4.3. Kontrasepsi Hormonal
2.4.3.1. Pil
2.4.3.1.1. Pil kombinasi
Pil kombinasi merupakan pil kontrasepsi yang sampai saat ini dianggap
paling efektif. Selain mencegah terjadinya ovulasi, pil juga mempunyai efek lain
terhadap traktus genitalis, seperti menimbulkan perubahan–perubahan pada lendir
serviks, sehingga menjadi kurang banyak dan kental, yang mengakibatkan sperma
tidak dapat memasuki kavum uteri, dan juga terjadi perubahan-perubahan pada
motilitas tuba fallopi dan uterus. Dewasa ini terdapat banyak macam pil
kombinasi, tergantung dari jenis dan dosis estrogen serta jenis progesteron yang
dipakai (Prawirohardjo, 2011).
Pil kombinasi ada yang berisi 21 atau 22 pil dan ada yang berisi 28 pil
dalam satu bungkus. Pil kombinasi yang berisi 21 atau 22 pil dalam satu bungkus,
diminum mulai hari kelima haid satu pil setiap hari sampai habis. Pil dalam
bungkus kedua diminum 7 hari setelah pil dalam bungkus pertama habis. Pil
kombinasi yang berisi 28 pil diminum setiap malam secara terus–menerus. Tidak
semua wanita dapat menggunakan pil kombinasi (Prawirohardjo, 2011). .

16

Efek samping yang masih dapat dianggap ringan ialah sebagai berikut:
1) Efek karena kelebihan estrogen
Efek – efek yang sering terdapat ialah rasa mual, retensi cairan,
sakit kepala, nyeri pada mamma, flour albus. Rasa mual kadang – kadang
disertai muntah, diare, dan rasa perut kembung.
2) Efek karena kelebihan progesteron
Progesteron dalam dosis yang berlebihan dapat menyebabkan
perdarahan tidak teratur, bertambahnya nafsu makan disertai bertambah
berat badan, jerawat, alopesia, kadang – kadang mamma mengecil, fluor
albus, hipomenore.
3) Efek sampingan yang berat
Bahaya yang dikuatirkan dengan pil ialah trombo-emboli, termasuk
tromboflebitis, emboli paru – paru, dan trombosis otak. (Prawirohardjo,
2011).

2.4.3.1.2. Mini pill
Mini pill tidak mengandung estrogen dan hanya mengandung progestin
saja, sehingga mini pill ini lebih aman bagi wanita yang tidak cocok menggunakan
pil kombinasi. Mini pill ini bagi ibu yang sedang menyusui karena tidak
mengandung zat yang menyebabkan pengurangan produksi ASI, dan digunakan
mulai hari ini pertama sampai hari kelima masa haid (Prawirohardjo, 2011).
Dewasa ini, mini pill dibuat dalam jenis yang mengandung gestagen
turunan nortestosteron, seperti norestisteron 0,35 mg, linestrenol 0,50 mg, dan
levonorgestrel 0,03 mg. Di beberapa negara terdapat jenis mini pill yang
mengandung 0,35 mg etinodrol diasetat, atau yang mengandung 0,3 mg
kuingestanol.
Banyak keuntungan yang dapat diperoleh

mini pill, seperti dapat

diberikan pada wanita usia lebih dari 35 tahun, wanita perokok, wanita menyusui
yang belum mendapat haid, wanita yang memiliki risiko tromboemboli, wanita
dengan tekanan darah tinggi, wanita dengan nyeri kepala hebat. Mini pill tidak
mengganggu hubungan seksual, tidak mempengaruhi produksi ASI, nyaman dan

17

mudah digunakan, mengurangi nyeri haid, dan kesuburan cepat kembali.
Sedangkan kekurangannya adalah mengalami gangguan haid, peningkatan atau
penurunan berat badan, resiko kehamilan ektopik cukup tinggi dan apabila lupa
satu pil saja, kegagalan menjadi lebih besar (Baziad, 2008).

2.4.3.2. Suntikan
2.4.3.2.1. Progestin-only Injectable Contraceptives (PICs)
Depo-medroxyprogesterone acetate dirumuskan sebagai mikrokristal, yang
dilarutkan dalam pelarut. Dosis untuk tujuan kontrasepsi adalah 150 mg
intramuskuler (gluteal atau deltoid) setiap 3 bulan. Tingkat kontrasepsi
dipertahankan setidaknya 14 minggu, merupakan salah satu alat kontrasepsi yang
paling efektif yang tersedia, sekitar 1 kehamilan per 100 wanita setelah 5 tahun
penggunaan. Formulasi yang lebih baru memungkinkan administrasi diri melalui
paha atau perut secara subkutan dengan dosis 104 mg setiap 3 bulan.
Jenis ini tidak mengeluarkan hormon secara bekelanjutan, hal itu bergantung
pada tinggi puncak progestin untuk menghambat ovulasi dan mengentalkan lendir
serviks. Perbedaan kadar serum progestin dalam sistem continous-release seperti
Implanon dengan sistem depot seperti Depo-medroxyprogesterone acetate
diilustrasikan dalam diagram.

Gambar 2.5. Perbedaan Kadar Serum Progestin pada Penggunaan Depo-Provera
dan Implant.
Sumber: Fritz, M.A & Speroff, L., 2011.
Jenis suntik lainnya adalah enanthate norethindrone, 200 mg setiap 2 bulan,
dan yang injeksi bulanan, Lunelle (25 mg medroksiprogesteron asetat dan 5 mg

18

estradiol cypionate) dan Mesigyna (50 mg norethindrone enanthate dan 5 mg
estradiol valerate).
DMPA merupakan mikrokristal yang membentuk depo pada tempat
penyuntikan intramuskuler (IM). Suntikan ini mengentalkan lendir serviks dan
menurunkan kemampuan penetrasi sperma, menjadikan selaput lendir rahim tipis
dan atrofi sehingga menghambat transportasi gamet oleh tuba. Penyuntikan harus
dilakukan secara teratur sesuai jadwal yang telah ditentukan (Prawirohardjo,
2011).
Kadar serum DMPA tidak begitu berfluktuasi, bila dibandingkan dengan
kadar serum norestisteron enantat, karena norestisteron enantat memiliki sifat
lipofit yang tinggi, dan pada penyuntikan akan terbentuk depo sekunder. Setelah
injeksi norestisteron enantat, kadarnya yang terdapat dalam serum tidak begitu
kuat menekan ovulasi.
Oleh karena itu, terdapat perbedaan khasiat kontrasepsi antara kedua jenis
kontrasepsi injeksi tersebut, seperti: DMPA terutama bekerja sebagai penghambat
ovulasi, sedangkan norestisteron enantat hanya dalam waktu terbatas saja sebagai
penghambatan ovulasi, tetapi sesudah itu cara kerjanya mirip cara kerja mini pill.
Namun secara prinsip kedua jenis injeksi tersebut tetap banyak digunakan karena
tidak perlu setiap hari, seperti penggunaan pil kontrasepsi (Baziad,2008).
Cara kerja kedua jenis depo gestagen tersebut serta efek samping yang
ditimbulkannya ternyata sangat berbeda. Perbedaan terletak pada farmakokinetik
dari kedua jenis depo tersebut. Setelah penyuntikan DMPA, dalam waktu 24 jam
kadarnya dalam serum mencapai 2-5 ug/ml, dan kadarnya bertahan cukup lama,
dan turun perlahan-lahan. Setelah penyuntikan norestisteron enantat, kadarnya
meningkat tajam dan dalam minggu-minggu berikutnya akan turun secara tajam.
Depo MPA menekan sekresi LH preovulatorik sehingga ovulasi paling sedikit
akan tertekan untuk 3 bulan pertama. Ovulasi pada penyuntikan norestisteron
enantat akan terjadi setelah 6-8 minggu injeksi diberikan karena pada masa
tersebut kadar hormon telah turun.
Kedua depo gestagen tersebut menyebabkan viskositas lendir serviks
meningkat sehingga penetrasi sperma terganggu. DMPA menyebabkan perubahan

19

trasnformasi abortif sekretorik pada endometrium, yang lambat laun akan menjadi
atrofi. Selain itu, kedua depo gestagen tersebut menghambat transportasi gamet
oleh tuba serta mempengaruhi kapasitasi sperma (Baziad, 2008).
Wanita yang lebih dari 4 minggu terlambat untuk injeksi ulang harus diuji
untuk kehamilan, diinjeksikan kembali jika tes negatif, dan disarankan untuk
menggunakan kontrasepsi cadangan selama 7 hari (Fritz & Speroff, 2011).
Di Indonesia tersedia tiga jenis sediaan depo gestagen, yaitu:


Depo medroksiprogesteron asetat (DMPA)



Depo norestisteron enantat (depo Noristerat)



Depo nestrogen-progesteron (MPA/E2C) (Baziad, 2008)

Indikasi:


Injeksi berjarak sedikitnya 1 tahun dari rencana kehamilan



Wanita dengan kontraindikasi kontrasepsi estrogen



Wanita menyusui



Sickle cell disease



Penyakit kejang (Fritz & Speroff, 2011)

Suntikan ini sangat efektif dalam mencegah kehamilan dalam jangka panjang,
tidak mengganggu hubungan seksual, tidak mengandung estrogen sehingga tidak
berdampak serius terhadap penyakit jantung dan ganggguan pembekuan darah
(Prawirohardjo, 2011).
Wanita yang tidak boleh menggunakan suntikan ini adalah mereka yang
hamil, mengalami perdarahan pervaginaan, menderita kanker payudara atau
riwayat kanker payudara dan yang menderita diabetes mellitus disertai komplikasi
(Prawirohardjo, 2011).
World Health Organization (WHO) menganjurkan untuk tidak menggunakan
kontrasepsi suntik pada:


Kehamilan



Karsinoma payudara



Karsinoma traktur genitalia



Perdarahan abnormal uterus

20

Disamping itu WHO juga menganjurkan untuk:


Mempertimbangkan kontraindikasi yang berlaku untuk Pil Oral
Kombinasi (POK).



Pada wanita dengan diabetes atau riwayat diabetes selama kehamilan,
harus dilakukan follow-up dengan teliti, karena dari beberapa
percobaan ditemukan bahwa DMPA mempengaruhi metabolisme
karbohidrat (Hartanto, 2010).

Kontraindikasi absolut penggunaan PICs:


Hamil



Perdarahan pervaginam



Gangguan koagulasi berat



Riwayat sex steroid-induced liver adenoma (Fritz & Speroff, 2011)

Kontraindikasi relatif penggunaan PICs:


Penyakit liver



Penyakit kardiovaskular berat



Keinginan untuk fertil secepatnya



Depresi berat (Fritz &Speroff, 2011)

Kelebihannya adalah sebagai berikut:


Tidak perlu takut lupa



Tidak memiliki efek samping yang disebabkan oleh estrogen



Tidak perlu diingat, kecuali waktu kembali untuk mendapatkan
suntikan berikutnya.



Dapat digunakan oleh wanita lebih dari 35 tahun, kecuali
MPA/E2C.



Tidak mempengaruhi pemberian ASI, kecuali MPA/E2C.



Peserta tidak perlu menyimpan obat suntik. (Baziad, 2008)

Efek samping penggunaan PICs:


Siklus menstruasi yang tidak teratur



Perubahan berat badan



Breast tenderness

21



Depression lead to fatigue, decreased libido, and hypertension



Headaches



Dizziness



Abdominal pain



Anxiety (Fritz & Speroff, 2011)

Pada penggunaan jangka panjang dapat menurunkan kepadatan tulang
(densitas), kekeringan pada vagina, menurunkan libido dan sakit kepala
(Prawirohardjo, 2011).
Penggunaan DMPA bertahun-tahun tidak terbukti meningkatkan insidensi
tumor payudara. Sebuah penelitian case-control yang dilakukan WHO selama 9
tahun di negara berkembang, terjadi risiko kanker payudara yang sangat kecil
pada 4 tahun pertama pemakaian DMPA, namun tidak ada bukti yang
menyebutkan adanya peningkatan faktor risiko berdasarkan lamanya penggunaan.
Kemungkinan penjelasan temuan ini adalah tumor sudah berkembang sebelum
pemakaian, sama seperti studi yang ditemukan pada penggunaan kontrasepsi oral
dan terapi hormon pada wanita post-menopause.
Studi ini tidak menemukan bukti peningkatan risiko secara keseluruhan
kanker payudara, dan risiko tidak meningkat dengan durasi penggunaan. Namun,
dokter harus mempertimbangkan

untuk

menginformasikan pasien yang

menggunakan DMPA mungkin mempercepat pertumbuhan kanker yang sudah
ada (Fritz & Speroff, 2011).
2.4.3.2.2. Combination Injectable Contraceptives (CICs)
Suntikan bulanan mengandung 2 macam hormon progestin dan estrogen
seperti hormon alami pada tubuh perempuan (Prawirohardjo, 2011). Merupakan
kontrasepsi suntikan satu bulanan yang mengandung 25 mg MPA dan 5 mg
estradiol dipionat (ES) atau norethisterone enanthate (NET-EN)/estradiol valerat.
Berbagai macam nama telah beredar antara lain cyclofem, cycloprovera, mesygna,
dan norigynon.
Setiap kemasan mengandung 0,5 ml yang disuntikkan secara intramuskuler
pada bagian paha depan, otot deltoid, atau gluteus maksimus dengan kedalaman
lebih kurang 1,5 inchi.

22

Untuk mendapatkan efektivitas yang tinggi yang terpenting adalah sejauh
mana kemampuan kontrasepsi tersebut dapat menekan sekresi gonadotropin dan
mempengaruhi fungsi alat genitalia. Pada sediaan kombinasi, estrogen dan
progesteron sejak awal menekan sekresi gonadotropin. Penenkanan ini terjadi
tidak hanya terhadap sekresi basal FSH dan LH, melainkan juga terhadap
penekanan LH preovulasi. Akibat adanya pengaruh progesteron sejak awal, proses
implantasi terganggu, pembentukan lendir serviks tidak fisiologis, dan motilitas
tuba terganggu, sehingga tranportasi telur dengan sendirinya akan terganggu pula
(Baziad, 2008).
Mekanisme kerjanya adalah mencegah keluarnya ovum dari ovarium
(ovulasi). Efektivitasnya tergantung saat kembalinya untuk mendapatkan
suntikan.

Bila

perempuan

mendapatkan

suntikan

tepat

waktu,

angka

kehamilannya kurang dari 1 per 100 perempuan yang menggunakan kontrasepsi
bulanan dalam satu tahun pertama (Prawirohardjo, 2011).
2.4.3.3. Implant / Susuk
Implant merupakan salah satu alat kontrasepsi yang dipasang dibawah kulit di
lengan kiri penggunanya. Metode ini dapat dipakai oleh semua wanita dalam usia
reproduksi dan aman dipakai pada masa menyusui. Pemasangan dan pencabutan
kembali metode ini hanya dapat dilakukan oleh petugas kesehatan yang terlatih.
Metode ini membuat lendir serviks menjadi kental, mengganggu proses
pembentukan endometrium, mengurangi transportasi sperma sehingga menekan
ovulasi.
Sesuai dengan perkembangannya, implant terdiri atas tiga jenis yaitu:
a) Norplant, terdiri dari 6 batang silastik lembut berongga dengan panjang 3,4
cm, diameter 2,4 mm, dan diisi dengan 36 mg levonogestrel. Jenis norplant
ini efektif untuk penggunaan selama 5 tahun.
b) Implanon, terdiri dari satu batang putih lentur dengan panjang kira – kira
40 mm, diameter 2 mm yang diisi dengan 68 mg 3-keto-desogestel dan lama
kerjanya 3 tahun.
c)Jadena dan indoplant, terdiri dari 2 batang yang diisi dengan 75 mg
Levonorgestrel dengan lama kerja 3 tahun.

23

Implant efektif dalam menunda kehamilan jangka panjang (5 tahun), bebas
dari pengaruh estrogen, tidak mengganggu hubungan seksual, tidak mengganggu
produksi ASI dan dapat dicabut setiap saat sesuai dengan kebutuhan. Waktu yang
paling baik untuk pemasangan implant adalah sewaktu haid berlangsung atau
masa pra-ovulasi dari masa haid. Efek samping yang ditimbulkannya adalah nyeri
kepala, peningkatan atau penurunan berat badan, nyeri payudara, mual, pening,
mengalami gangguan haid (terjadinya spotting).
Wanita yang tidak boleh menggunakan implant adalah wanita hamil atau
disangka hamil, penderita panyakit hati, kanker payudara, diabetes mellitus,
kelainan kardiovaskular dan wanita yang mempunyai riwayat kehamilan ektopik
(Prawirohardjo, 2011).
2.4.3.4. AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim )
AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim) adalah cara pencegahan kehamilan
yang sangat efektif, aman, dan reversibel bagi wanita tertentu, terutama yang tidak
terjangkit PMS dan sudah pernah melahirkan. Setelah dirahim, AKDR akan
mencegah sperma pria bertemu dengan sel telur wanita. Pemakaian AKDR dapat
sampai 10 tahun (tergantung kepada jenisnya) dan dapat dipakai oleh semua
wanita umur reproduksi (Prawirohardjo, 2011).
AKDR terdiri dari bahan nonabsorbable. Tiga AKDR saat ini disetujui
untuk digunakan di Amerika Serikat secara kimiawi aktif dan memiliki elusi terus
menerus tembaga atau progestin. Terdapat dua perangkat yang bersifat
levonorgestrel-releasing intrauterin, yaitu Mirena dan Skyla. Pengeluaran
progestin dalam rahim pada tingkat yang relatif konstan, mengurangi efek
sistemik. Mirena saat ini disetujui untuk 5 tahun penggunaan berikut penyisipan,
Namun, menurut Thonneau (2008), dalam Cunningham (2014) beberapa bukti
mendukung kemanjurannya selama 7 tahun. Skyla disetujui untuk 3 tahun
penggunaan. Perangkat ketiga adalah T 380A IUD, bernama ParaGard. Ini
memiliki polietilen dan barium sulfat T-berbentuk bingkai luka dengan tembaga,
dan dua string memperpanjang dari pangkal batang (Cunningham, 2014)
Pemasangan AKDR sebaiknya dilakukan pada masa haid, untuk
mengurangi rasa sakit dan memudahkan insersi melalui kanalis servikalis. Segera

24

setelah pemasangan AKDR, rasa nyeri atau kejang di perut dapat terjadi. Biasanya
rasa nyeri ini dapat berangsur – angsur hilang dengan sendirinya. Rasa nyeri dapat
dikurangi atau dihilangkan dengan pemberian analgetika. Jika keluhan
berlangsung terus, sebaiknya AKDR dikeluarkan dan diganti dengan AKDR yang
mempunyai ukuran yang lebih kecil (Prawirohardjo, 2011).
Sebagai alat kontrasepsi AKDR mempunyai efektivitas yang tinggi dan
merupakan metode jangka panjang, tidak mengganggu hubungan seksual, tidak
mempengaruhi produksi ASI, dapat dipasang segera setelah melahirkan atau
sesudah abortus (apabila tidak terjadi infeksi), dapat digunakan setelah
menopause, tidak ada interaksi dengan obat – obat dan membantu mencegah
kehamilan ektopik. Efek samping yang ditimbulkannya adalah perubahan siklus
haid, haid menjadi lebih banyak dan lama, adanya perdarahan berat saat haid
sehingga memungkinkan menyebabkan anemia (Prawirohardjo, 2011).
Kerugian pemakaian AKDR
1. Pola perdarahan menstruasi
2. Infeksi
3. Ekspulsi
4. Perforasi (Prawirohardjo, 2011)
2.5 Hubungan Kontrasepsi Suntik dengan Perubahan Berat Badan
Umumnya, pertambahan berat badan tidak terlalu besar, bervariasi antara
kurang dari 1 kg-5 kg dalam tahun pertama. mungkin dikarenakan bertambahnya
lemak dalam tubuh. DMPA merangsang pusat pengendali nafsu makan di
hipotalamus, yang menyebabkan akseptor makan lebih banyak dari biasanya
(Hartanto, 2010).
Beberapa mekanisme dimana kontrasepsi hormonal dapat menyebabkan
perubahan berat badan telah dihipotesiskan. Secara umum, kenaikan berat badan
ini disebabkan oleh peningkatan satu faktor atau lebih dari retensi cairan, masa
otot, dan penumpukan lemak.
Semua progestin berikatan dengan Progesterone Receptor, tetapi juga dengan
reseptor lain steroid: Estrogen Receptor, Androgen Receptor, Glucocorticoid

25

Receptor dan Mineralocorticoid Receptor. Semua progestin memiliki efek yang
sama pada efek endometrium tetapi berbeda dalam jaringan lain yang berkaitan
dengan agonis atau antagonis efek pada berbagai reseptor (Davtyan, 2012).
Hormon seks diketahui mengganggu Renin-Angiotensin–Alodsterone System
(RAAS) dengan dua cara. Pertama, estrogen dengan kuat menstimulasi produksi
substrat renin (angiotensinogen), yang menyebabkan peningkatan kadar
angiotensin dan aldosteron, serta retensi natrium. Kedua, progesteron merupakan
antagonis aldosteron kuat, yang bekerja pada reseptor mineralokortikoid untuk
mencegah retensi natrium (Oelkers, 2002). Retensi cairan dapat disebabkan oleh
mineralokortikoid yang teraktivasi saat ethinyl estradiol masuk ke RAAS.
Progesteron juga merangsang hormon nafsu makan yang ada di hipotalamus.
Dengan adanya nafsu makan yang lebih banyak dari biasanya tubuh akan
kelebihan zat-zat gizi oleh hormon progesteron diuban menjadi lemak dan
disimpan di bawah kulit. Perubahan berat badan in iakibat adanya penumpukan
lemak yang berlebih hasil sintesa dari karbohidrat menjadi lemak (Mansjoer,
2003)
Menurut Clark, et al (2005) Mekanisme kontrasepsi DMPA dapat
meningkatkan berat badan dan lapisan lemak belum diketahui secara jelas. Namun
efek dari DMPA atau progesterone pada manusia dan binatang percobaan terbukti
meningkatkan beberapa mekanisme. DMPA menginduksi hypoestrogenemia yang
berhubungan dengan visceral fat accumulation dan peningkatan berat badan.
Menurut Clark, et al (2005) dan Bakri dan Abdullah (2008) DMPA
mengaktivasi hormon glukokortikoid reseptor dan dalam dosis yang tinggi dapat
mengubah metabolisme lemak yang berdampak pada penumpukan lapisan lemak
pada manusia yang secara otomatis meningkatkan berat badan. Mekanisme yang
lain dapat disebabkan DMPA dapat mempengaruhi neurohumeral regulasi dari
nafsu makan dan energi di hypothalamus. Efek yang terjadi adalah nafsu makan
menjadi meningkat. Dalam penelitian Le, et al (2009) dilaporkan bahwa
peningkatan nafsu makan terjadi setelah penggunaan DMPA lebih dari 6 bulan.
Meskipun sulit untuk memisahkan efek hormon dari dampak gaya hidup dan
penuaan, namun suntikan DMPA berhubungan dengan peningkatan kecil dalam

26

lemak tubuh dan berat badan, tetapi tidak dalam semua, mungkin tidak di
sebagian besar perempuan.
Beberapa penelitian yang dilakukan dalam menghubungkan perubahan berat
badan dengan DMPA memiliki hasil yang beragam, beberapa menemukan tidak
ada peningkatan dan lain-lain peningkatan kecil (misalnya, sekitar 4 kg lebih dari
5 tahun dalam satu studi dan 11 kg lebih dari 10 tahun di lain). Dalam sebuah
penelitian kohort, pengguna 3 tahun DMPA mengalami peningkatan berat badan
sebesar 5,1 kg, lemak tubuh 4,1 kg, persen lemak tubuh 3,4% dan peningkatan
central-to-peripheral fat ratio, di 18 bulan pertama dengan kelompok pembanding
pengguna kontrasepsi oral tidak ditemukan adanya kenaikan berat badan.
Dengan metode subkutan, terjadi kenaikan berat badan rata-rata 1,5 kg diamati
setelah 1 tahun dan 4,5 kg setelah 3 tahun, perubahan yang sebanding dengan rute
administrasi intramuskular. Dalam sebuah studi perbandingan kelompok remaja,
gadis gemuk mengalami kenaikan berat badan (9,4 kg setelah 18 bulan) setelah
penggunaan DMPA dibandingkan dengan kontrasepsi oral atau metode hormonal
lainnya. Sebuah studi lanjutan 4-5 tahun longitudinal remaja di Afrika Selatan
didokumentasikan tentang kenaikan berat badan 4 kg lebih besar dengan
kontrasepsi suntik (baik depot medroxyprogesterone acetate dan norethindrone
enanthate) dibandingkan dengan bukan pengguna atau pengguna kontrasepsi oral.
Individu tertentu dan kelompok etnis tertentu mungkin lebih rentan terhadap
kenaikan berat badan; misalnya, kenaikan berat badan yang signifikan dilaporkan
pada wanita Navajo yang menggunakan depotmedroxyprogesterone acetate.
Dalam sebuah penelitian kohort prospektif, wanita yang mengalami kenaikan
berat badan yang signifikan dalam waktu 6 bulan naik rata-rata sekitar 7 kg lebih
lebih dari 3 tahun, sehingga mengidentifikasi kelompok rentan wanita, sekitar
25% dari DMPA (Fritz & Speroff, 2011)

Dokumen yang terkait

PENGARUH PENGGUNAAN KONTRASEPSI SUNTIK TERHADAP PENINGKATAN BERAT BADAN DAN KENAIKAN TEKANAN Pengaruh Penggunaan Kontrasepsi Suntik Terhadap Peningkatan Berat Badan Dan Kenaikan Tekanan Darah Pada Akseptor Keluarga Berencana Di Puskesmas Kecamatan Sukod

1 2 12

PENDAHULUAN Pengaruh Penggunaan Kontrasepsi Suntik Terhadap Peningkatan Berat Badan Dan Kenaikan Tekanan Darah Pada Akseptor Keluarga Berencana Di Puskesmas Kecamatan Sukodono Kabupaten Sragen.

0 1 11

PENGARUH PENGGUNAAN KONTRASEPSI SUNTIK TERHADAP PENINGKATAN BERAT BADAN DAN KENAIKAN TEKANAN Pengaruh Penggunaan Kontrasepsi Suntik Terhadap Peningkatan Berat Badan Dan Kenaikan Tekanan Darah Pada Akseptor Keluarga Berencana Di Puskesmas Kecamatan Sukod

0 1 15

PENGARUH PENGGUNAAN KONTRASEPSI HORMONAL TERHADAP PENINGKATAN BERAT BADAN PADA PENGARUH PENGGUNAAN KONTRASEPSI HORMONAL TERHADAP PENINGKATAN BERAT BADAN PADA WANITA AKSEPTOR KELUARGA BERENCANA DI PUSKESMAS KECAMATAN WONOGIRI KABUPATEN WONOGIRI.

0 0 14

PENGARUH PENGGUNAAN KONTRASEPSI SUNTIK TERHADAP BERAT BADAN AKSEPTOR KB DI PUSKESMAS PENGARUH PENGGUNAAN KONTRASEPSI SUNTIK TERHADAP BERAT BADAN AKSEPTOR KB DI PUSKESMAS BANYUDONO I KECAMATAN BANYUDONO KABUPATEN BOYOLALI.

0 1 16

Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Suntik 3 (tiga) Bulanan terhadap Perubahan Berat Badan pada Akseptor Keluarga Berencana di Puskesmas Terjun, Medan Marelan

0 0 13

Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Suntik 3 (tiga) Bulanan terhadap Perubahan Berat Badan pada Akseptor Keluarga Berencana di Puskesmas Terjun, Medan Marelan

0 0 2

Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Suntik 3 (tiga) Bulanan terhadap Perubahan Berat Badan pada Akseptor Keluarga Berencana di Puskesmas Terjun, Medan Marelan

1 3 4

Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Suntik 3 (tiga) Bulanan terhadap Perubahan Berat Badan pada Akseptor Keluarga Berencana di Puskesmas Terjun, Medan Marelan

0 0 3

Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Suntik 3 (tiga) Bulanan terhadap Perubahan Berat Badan pada Akseptor Keluarga Berencana di Puskesmas Terjun, Medan Marelan

3 4 25