Hadits2 Ahkam Yang Terkait Dengan Wasiat (1)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Wasiat merupakan sesuatu hal yang harus dikeluarkan dan ditunaikan
jika seseorang sebelum meninggal dunia memberikan suatu wasiat terhadap
orang lain untuk dimanfaatkan oleh orang sipenerima wasiat tersebut. Dalam
wasiat ini, si penerima baru bisa memanfaatkan harta yang telah diwasiatkan
oleh sipemberi wasiat itu ketika sipemberi wasiat telah meninggal dunia.
Allah Swt. Memberikan keluasan bagi setiap orang yang belum
menemui ajalnya untuk mewujudkan keinginan yang tidak tercapai saat
masih hidup. Salah satunya adalah melalui wasiat. Sesuai aturannya wasiat
haruslah milik orang yang memberi wasiat dan secara kuantitas jumlah harta
yang diwasiatkan tidak melebihi ketentuan syariat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu wasiat dan dalil hadits yang terkait dengan itu?
2. Bagaimana hukum wasiat itu?
3. Apa sarat-sarat berwasiat?
4. Apa saja penyebab batalnya wasiat?
5. Bagaimana hikmah wasiat tersebut?
C. Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk menambah wawasan bagi

pembaca dan juga bagi pemakalah sendiri. Dalam pembahasan ini,
pemakalah akan membicarakan materi yang terkait dengan wasiat, yang
dimana wasiat ini suatu pemberian suka rela seseorang kepada orang yang
yang diberi wasiat oleh si pemberi wasiat tersebut. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi bagi pembaca dan bagi pemakalah sendiri.

1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wasiat
Kata wasiat (washiyah) itu diambil dari kata washshaitu asy-syaia,
uushiihi, artinya aushaltuhu (aku menyampaikan sesuatu). Maka muushii (orang
yang berwasiat) adalah orang yang menyampaikan pesan diwaktu ia masih hidup
untuk dilaksanakan sesudah ia mati.
Dalam istilah syara’, wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada
orang lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh
orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati.
Sebahagian fuqaha mendefenisikan bahwa wasiat itu adalah pemberian
hak milik ssecara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberianya mati. Dari

sini, jelas perbedaan antara wasiat dan hibah. Pemilikan yang diperoleh dari
hibah itu terjadi pada saat itu juga; sedangkan pemilikan yang diperoleh dari
wasiat itu terjadi setelah orang yang berwasiat mati.
Allah Swt. Memberikan keluasan bagi setiap orang yang belum menemui
ajalnya untuk mewujudkan keinginan yang tidak tercapai saat masih hidup.
Salah satunya adalah melalui wasiat. Sesuai aturannya wasiat haruslah milik
orang yang memberi wasiat dan secara kuantitas jumlah harta yang diwasiatkan
tidak melebihi ketentuan syariat.1
Hadits ke-satu:

‫ص‬
‫سوُ ص‬
َّ‫صللى‬
‫ه ص‬
‫ن س‬
‫ص‬
‫ل الل ل ه‬
‫ أ ل‬- َ‫ما‬
‫ صر ه‬- ‫مصر‬
‫ن صر س‬

‫عن ن س‬
‫ع ن‬
‫ه ص‬
‫ي الل ل س‬
‫ع ص‬
‫ ص‬-‫ه‬
‫ض ص‬
‫ن اب ن ه‬
‫ص‬
‫ل‬
‫ص‬
‫ل‬
‫ ص‬-‫م‬
‫ه ص‬
‫قاَ ص‬
‫ه ص‬
‫علي ن ه‬
‫ريِدس‬
‫ماَ ص‬
‫م ن‬

‫ر م‬
‫و ص‬
‫سل هم م ل س‬
‫ئ س‬
‫قا ن‬
‫ح ق‬
‫َ » ص‬:‫ل‬
‫سل ص‬
‫الل س‬
‫ه ص‬
‫ش ن‬
‫يءء يِ س ه‬
‫م ه‬
‫ص‬
‫ه يِ صهبي س ص ص‬
‫مت ل ص‬
‫ق‬
‫مك نستوُب ص ء‬
‫ة ه‬
‫ي ه‬

‫و ه‬
‫في ه‬
‫ن سيِوُ ه‬
‫أ ن‬
‫ف ء‬
‫ه«ُ س‬
‫عن ندص س‬
‫ه ص‬
‫صي لت س س‬
‫و ص‬
‫ن إلل ص‬
‫ص ص‬
‫ت لي نلت صي ن ه‬
‫ه‬
‫ص‬
‫عل صي ن ه‬
Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda, "Tidak sepatutnya bagi seorang muslim yang miliki sesuatu yang
ingin ia wasiatkan, lalu ia menginap dua malam, kecuali wasiat itu telah tertulis
di sisinya." (Muttafaq Alaih)

1Sayyid Sabiq., Fiqih Sunnah 14 (Bandung: PT. Alma’arif, 1987), hlm. 230

2

Tafsir Hadits
Asy-Syafi'i Rahimahullah berkata, "Hendaknya seorang muslim selalu
waspada, apabila ia memiliki sesuatu yang dapat diwasiatkan, maka sepatutnya
untuk segera menulis wasiatnya, karena dia tidak tahu kapan ajal akan
menjemputnya, bila hal itu tidak dilakukan, maka dia tidak bisa menyampaikan
keinginannya."
Ada yang berpendapat, kata 'Al-Haqq' secara bahasa bermakna sesuatu yang
tetap, sedangkan menurut syari'at adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan
syari'at Islam, dan hukum Islam itu bisa wajib, sunnah, atau mubah.
Sabda Nabi, "sesuatu yang ia wasiatkan" menunjukkan bahwa wasiat
hukumnya tidak wajib, tetapi hanyalah sesuai dengan keinginan pemberi wasiat.
Para ulama bersepakat agar kaum muslimin menuliskan wasiat, hanya saja
mereka berbeda pendapat apakah anjuran itu hukumnya menjadi wajib atau
tidak?
Jumhur ulama berpendapat bahwa menulis wasiat hukumnya sunnah,
sedangkah Dawud dan Ahli Zhahir berpendapat bahwa menulis wasiat itu

hukumnya wajib. Diriwayatkan dari Asy-Syafi'i dalam Al-Qadim (pendapatpendapat terdahulu) dan Ibnu Abdil Bar mengatakan, sudah menjadi ijma' ulama
bahwa menulis wasiat hukumnya tidak wajib berdasarkan pada pemahaman
makna hadits; sebab jika dia tidak berwasiat tentu hartanya dibagikan kepada
semua ahli warisnya berdasarkan ijma ulama. Kalau sekiranya wasiat hukumnya
wajib, tentu akan dikeluarkan dari sebagian hartanya sebagai ganti dari wasiat.
Pendapat yang paling tepat untuk menggabungkan antara dua pendapat
yang berbeda di atas adalah, wasiat itu hukumnya wajib seperti pendapat AlHadawiyah dan Abu Tsaur kalau seorang tersebut mempunyai tanggungan yang
ditetapkan berdasarkan syari'at bila tidak diwasiatkan khawatir akan
menghilangkan hak-hak lainnya seperti menyimpan barang titipan, mempunyai
hutang, baik kepada sesama maupun kepada Allah, artinya diwajibkan bila ada
hak-hak lainnya yang ada padanya dan ia tidak bisa menunaikan semua itu,
kecuali hanya dengan menuliskan wasiat. Bila hal-hal yang tersebut di atas tidak
ada; maka wasiat itu tidak wajib hukumnya.

3

Sabda Nabi, "dua malam" hanyalah sebagai perkiraan saja bukan untuk
menentukan batasan waktu, sebab ada riwayat yang menyatakan "tiga malam."
Ath-Thabari berkata, "Penentuan tiga dan dua malam sebagai bentuk toleransi
batas minimal bagi yang ingin menuliskan wasiat maksudnya jartgan menundanunda menulis wasiat, dan hendaknya batasan minimal itu tidak dilampaui,"

Diriwayatkan Muslim dari hadits Ibnu Umar, perawinya sendiri berkata,
"Saya tidak pernah tidur di waktu malam kecuali wasiatku sudah tertulis."
[shahih, Muslim (1627)]
Sedangkan apa yang diriwayatkan Ibnu Mundzir dengan sanad shahih dari Nafi',
bahwasanya Ibnu Umar ditanya ketika sedang sakit yang membawanya kepada
kematian, "Apakah kamu tidak berwasiat? Maka Umar menjawab, "Apa yang
berkenaan dengan hartaku, Allah Maha Mengetahui apa yang telah aku perbuat."
Hadits ini menunjukkan bahwa Umar tidak menulis surat wasiat menjelang
kematian. Maka untuk menggabungkan antara hadits yang pertama dengan yang
kedua ini, bahwa Umar selalu menulis wasiat, memeriksa dan melaksanakan apa
yang ditulis dalam wasiatnya sehingga ketika sedang sakit, Umar tidak
mempunyai wasiat yang harus ditulis. Maka dalam perkataannya, "Apa yang
berkenaan dengan hartaku, Allah Maha Mengetahui apa yang telah aku perbuat",
menjadi bukti atas penggabungan pemahaman kedua hadits yang berbeda
tersebut.
Sabda Nabi, "wasiat itu telah tertuiis di sisinya" adalah dalil yang
membolehkan menulis wasiat walaupun tidak persaksikan dengan yang lainnya.
Sebagian para pemuka madzhab Asy-Syafi'i berpendapat, "Hal itu hanya khusus
pada masalah wasiat saja, yang membolehkan untuk menuliskan wasiat tanpa
harus dipersaksikan berdasarkan ketetapan hadits; karena ketika syari'at

menyuruh berwasiat, menuliskan kewajiban dan hal-hal yang harus ditunaikan
yang tidak pernah terhapus, tetapi selalu diperbaharui setiap waktu, maka untuk
menghadirkan saksi pada setiap penulisan wasiat sebagai syarat menunaikan
kewajiban, sangat sulit bahkan tidak bisa diwujudkan dalam setiap waktu;
karena ajal bisa datang kapan saja, maka syari'at tidak mewajibkan penulisan
wasiat dengan menghadirkan saksi; karena tidak ada faedahnya, sebagaimana
yang telah ditetapkan dalam hadits terdahulu, dan itu menjadi dalil diterimanya

4

penulisan wasiat yang tidak menghadirkan saksi." Sedangkan jumhur ulama
berpendapat, "Yang dimaksud dengan tertulis adalah terpenuhi syarat-syaratnya,
yakni saksi." Mereka berdalil pada firman Allah Ta'ala,

‫ذا ح ص ص‬
‫} ص‬
ُ{‫ت‬
‫ضصر أ ص‬
‫م إه ص ص‬
‫وُ س‬

‫ش ص‬
‫م ال ن ص‬
‫حدصك س س‬
‫هاَدصةس ب صي نن هك س ن‬
‫م ن‬
"Apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia
akan berwasiat, maka hendalkah (wasiat) disaksikan oleh dua orang
yang adil di antara kamu." (QS. Al-Maidah: 106) bahwa ayat ini
menunjukkan keharusan menghadirkan saksi dalam berwasiat.
Pendapat tersebut dibantah, bahwa tidak selamanya penyebutan saksi
dalam suatu ayat menunjukkan ketidaksahan wasiat kecuali harus dengan saksi.
Dan yang paling tepat menjadi standar dalam penulisan wasiat, bahwa wasiat itu
benar-benar ditulis sendiri oleh pemberi wasiat, bila memang terbukti benar
maka dilaksanakan, seperti tulisan seorang hakim, sebagaimana yang dilakukan
manusia pada masa lalu maupun sekarang. Bukankah Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam menjadikan pengiriman suratnya kepada para raja untuk mengajak
mereka menyembah kepada Allah sebagai bukti (hujjah) bahwa beliau sudah
menunaikan tugas risalah yang diembannya? Begitu juga halnya dengan tradisi
umat manusia yang saling berkirim surat kepada yang lainnya, menulis tentang
hal-hal penting yang berkenaan dengan urusan agama maupun dunia, lalu

mereka mengamalkannya. Semua amal itu dilaksanakan tanpa dengan adanya
saksi.
Hadits ini merupakan dalil untuk berwasiat terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan hak-hak (baik yang berhubungan dengan Allah maupun
sesama) sesuai dengan sabda Nabi, "yang miliki sesuatu yang ingin ia
wasiatkan." Sedangkan keharusan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dan
hal-hal lain yang berlaku pada adat dan tradisi manusia; tidak ada hadits marfu'
yang menyatakan hal seperti itu, melainkan Abdurrazaq meriwayatkan hadits
dari Anas secara mauquf, ia berkata, "Biasanya para sahabat mengawali
wasiatnya dengan tulisan, "Bismillahirrahmanirrahim." Inilah yang diwasiatkan
oleh Fulan bin Fulan bahwa dia bersaksi tiada Rabb yang berhak disembah
melainkan Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah

5

hamba dan utusan-Nya, bahwa hari kiamat pasti datang dan tidak ada keraguan
atas hal itu, Allah akan membangkitkan semua yang dikubur, lalu dia
mewasiatkan kepada semua keluarganya untuk selalu bertakwa kepada Allah
dan memperbaiki hubungar. kekerabatan di antara mereka, menaati semua yang
diperintahkan Allah dan Rasul-Nya jika mereka benar-benar beriman, dan juga
mewasiatkan seperti yang diwasiatkan Nabi Ibrahim dan Ya'qub kepada anakanaknya, sebagaimana terdapat dalam firman Allah Ta'ala,

‫فلَ ت صموُت سن إل ص‬
‫ن ص‬
‫صطص ص‬
ُ{‫ن‬
‫موُ ص‬
‫}إ ه ل‬
‫م ال د‬
‫م ن‬
‫ديِ ص‬
‫سل ه س‬
‫م س‬
‫وأن نت س ن‬
‫س‬
‫فىَّ ل صك س س‬
‫ن الل ل ص‬
‫ها ن‬
‫ص‬
‫ل ه‬
"Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka
janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam." (QS. AlBaqarah: 132)
Para ulama berbeda pendapat apakah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam berwasiat atau tidak; karena adanya perbedaan riwayat tentang hal itu.
Dalam hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibnu Abi Aufa diterangkan
bahwa Nabi tidak berwasiat. Mereka beralasan, karena Nabi tidak meninggalkan
harta. Tanah yang dimiliki diinfakkan di jalan Allah, sedangkan senjata dan
keledai diwariskan sebagaimana yang disebutkan An-Nawawi. Dalam kitab AlMaghazi karya Ibnu Ishaq diterangkan, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam tidak berwasiat ketika akan meninggal dunia, kecuali dengan tiga hal:
 Masing-masing

daerah

Ad-Darin,

Ar-Rahhawin

dan

Al-Asy'arin

mendapatkan 100 wasaq dari daerah Khaibar.
 Tidak ada agama di jazirah Arab, kecuali Islam.
 Melanjutkan ekspedisi pasukan yang dipimpin Usamah.
Muslim meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berwasiat dengan tiga hal, "Lanjutkan
pengiriman pasukan sebagaimana yang telah direncanakan." [shahih, Muslim
(1637)]
Dalam riwayat Ibnu Abi Aufa, diterangkan bahwa Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam berwasiat untuk berpegang teguh dengan kitab Allah. Dalam
hadits Anas yang diriwayatkan An-Nasa'i, Ahmad dan Ibnu Sa'ad, bahwa wasiat
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelang wafatnya, "Untuk selalu
mendirikan shalat dan berbuat baik terhadap para budak.” [Ahmad (3/117)]

6

Wasiat ini ditetapkan oleh orang-orang Anshar dan keluarganya, namun
bukan pada saat sakit menjelang kematiannya, sebagaimana diterangkan dalam
riwayat lainnya.
Saya katakan: Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ingin menulis wasiat untuk
umatnya ketika sakit menjelang wafatnya, namun tidak bisa dilakukan
sebagaimana yang diriwayatkan Al-Bukhari.
Hadits ke-dua:

‫ص‬
‫و ل‬
‫ه‬
‫و ص‬
‫ صر ه‬- ‫ص‬
‫ع ه‬
‫س ن‬
‫ن» ص‬
‫ع ن‬
‫ي الل لنن س‬
‫ن أهبي ص‬
‫ص‬
‫ض ص‬
‫قاَ م‬
‫د بن ه‬
‫َ س‬:‫ل‬
‫ص‬
‫سوُ ص‬
‫قاَ ص‬
‫ٍ أ صن صنناَ س‬،‫ه‬
ٍ،‫ل‬
‫ل الل لنن ه‬
‫قنلت صيِاَ صر س‬
‫ذو ص‬
‫منناَ م‬
‫ٍ أ ص ص ص‬،‫ة‬
‫َ صل س‬:‫ل‬
‫ماَهلي؟ ص‬
‫قنناَ ص‬
َ:‫قل نننت‬
‫حدص ء‬
‫اب نن ص ء‬
‫وا ه‬
‫ي ص‬
‫فأت ص ص‬
‫ة هلي ص‬
‫صدلقس ب هث سل سث ص ن‬
‫َ أ ص ص ص‬:‫قل نننت‬
‫أص ص ص‬
‫َ صل س‬:‫ل‬
‫ه؟ ص‬
‫قنناَ ص‬
‫صنندلقس ب ه ص‬
‫ه؟‬
‫صنندلقس ب هث سل سث هنن ه‬
‫ر ه‬
‫فأت ص ص‬
‫فأت ص ص‬
‫شننطن ه‬
‫وصرث صت صننكَ أ ص ن‬
‫ص‬
‫قاَ ص‬
‫والث قل س س‬
‫َ الث قل س س‬:‫ل‬
‫غن هي صنناَءص‬
‫ٍ إن لننكَ إ ن‬،‫ث ك صهثيءر‬
‫ن ت صننذصنر ص‬
‫ٍ ص‬،‫ث‬
‫ص‬
‫مت ل ص‬
‫ف س‬
‫ة يِ صت صك ص ل‬
‫ه‬
‫ص‬
‫ق ص‬
‫م ص‬
‫عاَل ص ة‬
‫ن ت صذصصر س‬
‫عل صي ن ه‬
‫فوُ ص‬
‫نأ ن‬
‫خي نءر ه‬
‫م ن‬
‫ف ء‬
‫س«ُ س‬
‫ه ن‬
‫ن اللناَ ص‬

-‫ه‬
‫عنناَصلىَّ ص‬
‫تص ص‬
‫عن ننن س‬
‫رث سن هنني إلل‬
‫ص‬
‫وصل يِ ص ه‬

“Sa’d bin Abu Waqqash r.a berkata, “Aku berkata, wahai
Rasulullah, aku mempunyai harta dan tidak ada yang mewarisiku
kecuali anak perempuanku satu-satunya. Bolehkah aku bersedekah
dengan dua pertiga hartaku?’ Beliau menjaawab, ‘tidak boleh.’ Aku
bertanya, ‘apakah aku boleh menyedekahkan setengahnya?’ Beliau
menjawab, ‘tidak boleh.’ Aku bertanya lagi,’Apakah aku boleh
menyedekahkan sepertiganya?' Beliau menjawab, ‘Ya, sepertiga dan
sepertiga itu banyak. Sesungguhnya engkau meninggalakn ahli warismu
kaya lebih baik dari pada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan
fakir meminta-minta kepada orang lain.” (Muttafaq ‘Alaih).
Dari hadis ini dapat ditarik kesimpulannya bahawa, larangan
memberikan wasiat melebihi sepertiga harta peninggalan jika ia memiliki ahli
waris. Ini adalah ijma’ ulama,,,. Ada nya kelebihan harta dari orang yang kaya
memiliki keutamaan untuk memberi sedekah kepada orang yang tidak mampu.
Namun, sebagai orang yang tidak berada juga tidak boleh hanya mengandalkan
pemberian orang lain. Mereka berwajibkan untuk berusaha sebagai bentk

7

beribadah kepadanya. Setiap harta yang kita miliki ada kewajiban yang harus
dikeluarkan. Salah satunya berinfak dijalan Allah Swt.2
Tafsir Hadits
Ulama berbeda pendapat kapan peristiwa itu terjadi? Ada yang
mengatakan, ketika haji wada' di Mekah, Sa'd jatuh sakit, lalu Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam menjenguknya dan ia bertanya kepada beliau, sebagaimana
dalam hadits yang diriwayatkan Az-Zuhri. Ada juga yang mengatakan, ketika
Fathu Makkah seperti yang diriwayatkan At-Tirmidzi dari riwayat Ibnu Uyainah,
namun hal itu dibantah para ahli hadits dengan mengatakan bahwa pendapat itu
adalah sebuah kekeliruan. Pendapat yang paling tepat adalah yang pertama,
namun ada juga yang mengatakan bahwa peristiwa Sa'd bertanya kepada Nabi
itu terjadi dua kali.
Dipahami dari sabda Nabi "banyak", bahwa tidak perlu berwasiat kalau
hartanya sedikit. Berdasarkan riwayat dari Ali, Ibnu Abbas dan Aisyah, sabda
Nabi, "Tidak ada yang mewarisiku kecuali anak perempuanku", maksudnya
tidak ada yang mewarisiku dari anak-anakku yang laki-laki; karena bila tidak,
tentu yang akan mewarisi harta Sa'd adalah bani Zuhrah karena mereka adalah
ashabahnya. Peristiwa ini terjadi sebelum Sa'd mempunyai anak laki-laki. Dan
menurut Al-Waqidi, setelah itu Sa'd mempunyai 4 anak laki-laki, bahkan ada
yang

mengatakan

anak

laki-lakinya

lebih

dari

10,

sedangkan

anak

perempuannya ada 12 orang.
Ucapan, "Bolehkah aku bersedekah" menunjukkan, mungkin Sa'd minta
izin kepada Nabi untuk melaksanakan niatnya pada saat itu juga, atau
dilaksanakan setelah dia wafat sebagaimana riwayat dalam hadits yang
menggunakan kata "mewasiatkan", maka pendapat yang pertama digabungkan
dengan pendapat yang kedua, artinya dilaksanakan wasiatnya sesegera mungkin
setelah Sa'd wafat.
Ucapan, "setengahnya (hartaku)", dan juga, "sepertiganya itu banyak."
Matan hadits ini diriwayatkan dengan kata 'Ats-Tsuluts' dan juga dengan kata
'Al-Mutsallats', karena perawinya ragu, kadang menggunakan yang pertama atau
kedua, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan An-Nasa'i.
2 Imam Al-Hafis ibnu Hajar Al-asqalany., Bulughul Maram Five in One (Jakarta selatan: Naura
Books, 2008), hlm. 578-579

8

Namun kebanyakan riwayat menggunakan kata 'Al-Mutsallats'. Adapun
menggunakan kata 'Ats-Tsuluts' untuk menunjukkan lebih banyak daripada
ukuran yang lebih sedikit. Penggunaan kata 'Ats-Tsuluts' ini mungkin
disebabkan karena dua hal:
Pertama;

dibolehkan

berwasiat

untuk

menyedekahkan

harta

dengan

sepertiganya, namun yang lebih utama hendaknya kurang dari sepertiga,
kalaupun ingin lebih banyak tidak boleh lebih darinya. Inilah yang mudah
dipahami sebagaimana pendapat Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma yang
berkata, "Saya berharap ketika manusia berwasiat hendaknya mengurangi [kadar
sedekah] hartanya dari sepertiga menjadi seperempat.
Kedua; penjelasan bahwa sedekah dengan sepertiga [dari harta] itulah yang
paling utama, maksudnya lebih banyak pahalanya. Tentunya, ukuran ini
disesuaikan dengan harta yang dimiliki.
Hadits ini melarang wasiat lebih dari sepertiga harta bagi orang yang
memiliki ahli waris. Dalam hal ini, ulama bersepakat, hanya saja mereka
berbeda pendapat apakah disunnahkan berwasiat sepertiga dari harta ataukah
lebih sedikit lagi.
Ibnu Abbas, Asy-Syafi'i dan kelompok ulama lainnya berpendapat,
bahwa yang disunnahkan adalah kurang dari sepertiga berdasarkan sabda Nabi,
"sepertiga itu banyak." Qatadah berkata, "Abu Bakar mewasiatkan seperlima
dari hartanya, Umar mewasiatkan seperempat hartanya, sedang aku lebih suka
seperlima."
Dan yang lainnya berpendapat, bahwa yang disunnahkan adalah
sepertiga berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya
Allah memerintahkan berwasiat dengan sepertiga harta kalian sebagai
tambahan atas amal kebaikan kalian", namun dalam penjelasan yang akan
datang hadits ini dha'if.
Hadits ini berkaitan dengan orang yang mempunyai ahli waris, dan jika
tidak mempunyai ahli waris, maka Imam Malik berpendapat bahwa tidak
disunnahkan baginya berwasiat lebih dari sepertiga. Al-Hadawiyah dan pengikut
Abu Hanifah membolehkan baginya berwasiat menyedekahkan seluruh hartanya
dan inilah pendapat Ibnu Mas'ud. Seandainya ahli waris membolehkan wasiat

9

lebih dari sepertiga, maka hal itu ditunaikan karena mereka menggugurkan
sendiri hak mereka, ini sejalan dengan pendapat jumhur ulama. Azh-Zhahiriyyah
dan Al-Muzani berbeda pendapat dengan jumhur yang akan diterangkan dalam
hadits riwayat Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma "kecuali bila ahli warisnya
menginginkannya", bahwa hadits ini hasan dan diamalkan.
Lalu, bagaimana seandainya ahli waris menarik kembali kesepakatan
mereka? Jumhur ulama berpendapat, bahwa mereka tidak boleh menarik
kembali kesepakatan tersebut, baik sewaktu si pemberi wasiat masih hidup
ataupun sudah mati. Ada juga yang berpendapat, bila mereka menarik kembali
kesepakatan tersebut sewaktu si pemberi wasiat masih hidup, maka hal itu
diperbolehkan, karena kesepakatan bersama antara mereka bisa diperbaharui.
Perbedaan ini terjadi karena perbedaan mereka dalam memahami makna
hadits, "Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya
lebih baik dari pada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan fakir
meminta-minta kepada orang." Apakah larangan Nabi untuk mewasiatkan lebih
dari sepertiga untuk menjaga hak ahli waris, dan bila tidak ada ahli waris boleh
berwasiat lebih dari sepertiga? Ataukah alasan itu tidak mempengaruhi ketetapan
hukum tidak lebih dari sepertiga? Ataukah kaum muslimin dijadikan sebagai ahli
waris, seperti pendapat suatu kaum dan juga salah satu dari pendapat AsySyafi'i? Dan yang paling tepat, bahwa alasan yang terdapat dalam hadits itu
sangat mempengaruhi penetapan hukum, dan juga hukum larangan wasiat lebih
dari sepertiga tidak berlaku bagi siapa yang tidak memiliki ahli waris yang telah
ditentukan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.3
Hadits ke-tiga:

‫ص‬
‫ش ص ص‬
‫عاَئ ه ص‬
‫ه‬
‫ه ص‬
‫ن ص‬
‫و ص‬
‫عل صي ننن ه‬
‫ة »أ ل‬
‫ن صر س‬
‫ع ن‬
‫صننللىَّ الل لنن س‬
‫ ص‬-‫ي‬
‫ص‬
‫جةلَ أصتىَّ الن لب هنن ل‬
‫س‬
‫منني ا س ن‬
‫ف ص‬
‫ٍ ص‬،- ‫م‬
‫سننوُ ص‬
‫قنناَ ص‬
‫ت‬
‫ٍ إ ل‬،‫ه‬
‫ل الل لنن ه‬
‫فت سل هت صنن ن‬
‫َ يِ صنناَ صر س‬:‫ل‬
‫و ص‬
‫نأ د‬
‫سننل ل ص‬
‫ص‬

‫ٍ ص‬،‫فسهاَ ول صم ستوُص‬
‫ٍ أ ص ص‬،‫ت‬
‫صنندل ص‬
َ‫هننا‬
‫ق ن‬
‫م ن‬
‫فل ص ص‬
‫وأظسن ق ص‬
‫وُ ت صك صل ل ص‬
‫نص ن س ص ص ن‬
‫ت تص ص‬
‫هاَ ل ص ن‬
‫ه ص‬
‫ص‬
‫مت ل ص‬
‫هنناَ؟ ص‬
‫صنندل ن‬
‫قنناَ ص‬
ٍ،‫ه‬
‫ق ص‬
‫قت ص‬
‫عل صنينن ه‬
‫جننءر إ ن‬
‫َ ن ص ص‬:‫ل‬
‫أ ن‬
‫عن ن ص‬
‫فنن ء‬
‫م«ُ س‬
‫عنن ن‬
‫ن تص ص‬
‫ف س‬
‫والل ل ن‬
‫م ن‬
‫ظ له س‬
‫ص‬
‫سل هم م‬
3 Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani., Subulussalam Syarah Bulugul Maram., Kitab
Zakat-Kitab Nikah Takhrij Hadits Berdasarkan Takhrij dari Kitab-Kitab Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani Jilid-2 (Jakarta: Darus Sunnah, 2012), hlm. 588-590

10

“Dari Aisyah, bahwa ada seorang laki-laki menghadap Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, ibuku
telah mati secara mendadak dan ia belum berwasiat. Aku kira, bila ia
sempat berbicara ia akan bersedekah. Apakah ia mendapatkan pahala
jika aku bersedekah untuknya? Beliau menjawab, "Ya." (Muttafaq Alaih
dan lafazhnya menurut Muslim)
Tafsir Hadits
Hadits ini menunjukkan bahwa sedekah dari anak pahalanya akan sampai
kepada si mayit, hal ini tidak bertentangan dengan firman Allah Ta'ala,

‫} ص‬
ُ{َّ‫عى‬
‫وأ ن‬
‫س ص‬
‫ماَ ص‬
‫س ل هل هن ن ص‬
‫ن هإل ص‬
‫ن ل صي ن ص‬
‫ساَ ه‬
‫ص‬
"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya." (QS. An-Najm: 39)
Di samping itu, juga didukung oleh hadits-hadits berikut,

‫ص‬
ُ«‫م‬
‫م ه‬
‫»إ ل‬
‫ن كص ن‬
‫م ن‬
‫سب هك س ن‬
‫وصلدصك س ن‬
‫نأ ن‬
"Sesungguhnya anak-anak kalian adalah hasil usaha kalian." [Shahih:
Abi Dawud (3530)]

‫ص‬
ُ«‫ه‬
‫ح يِ صدن س‬
‫ول ص م‬
‫عوُ ل ص س‬
‫د ص‬
‫و ص‬
‫»أ ن‬
‫صاَل ه م‬
"Atau anak saleh yang mendoakan orang tuanya.” [shahih, Muslim
(1631)]
Hadits ke-empat:

‫س‬
‫ص‬
-‫ه‬
‫عنناَصلىَّ ص‬
‫و ص‬
‫منن ص‬
‫ صر ه‬- ‫ي‬
‫ة ال نب صنناَ ه‬
‫ه تص ص‬
‫ع ن‬
‫عن ننن س‬
‫ي الل لنن س‬
‫ماَ ص‬
‫ن أهبي أ ص‬
‫ص‬
‫ضنن ص‬
‫هل ه د‬
‫ص‬
‫سوُ ص‬
‫قاَ ص‬
-‫م‬
‫ه ص‬
‫عل صي ننن ه‬
‫ل الل ل ه‬
‫س ه‬
‫م ن‬
‫و ص‬
‫عت صر س‬
‫َ ص‬:‫ل‬
‫سننل ل ص‬
‫صننللىَّ الل لنن س‬
‫ ص‬-‫ه‬
‫ه ص‬

‫ٍ ص‬،‫ه‬
‫ح ل‬
‫ه ص‬
‫يِ ص س‬
‫عطصننىَّ ك سنن ل‬
‫قننوُ س‬
َ‫فصل‬
‫قنندن أ ص ن‬
‫َ »إ ل‬:‫ل‬
‫ق ص‬
‫ل هذيِ ص‬
‫قنن س‬
‫حنن ق‬
‫ن الل لنن ص‬
‫ص‬
ٍ،‫ي‬
‫عنن س‬
‫صنني ل ص‬
‫ر م‬
‫و ه‬
‫وانل صنرب ص ص‬
‫واهس أ ن‬
‫ة إلل الن ل ص‬
‫ح ص‬
‫منندس ص‬
‫ث«ُ صر ص‬
‫ة هلنن ص‬
‫ص‬
‫سنناَئ ه ي‬
‫وُا ه‬
‫وحسن ص ص‬
‫و ص‬
‫ن‬
‫ن س‬
‫منن ص‬
‫منن ه‬
‫والت دنر ه‬
‫م س‬
‫هأ ن‬
‫واب ننن س‬
‫وُاهس اب ننن س‬
‫خصزيِ ن ص‬
‫ذ ق‬
‫ح ص‬
‫ص ص ل س‬
‫ٍ ص‬،‫ة‬
‫قنن ل‬
‫ٍ ص‬،ِ‫ي‬
‫ٍ ص‬،‫د‬
‫داصر س‬
-‫س‬
‫ن ص‬
‫ديِ ه‬
‫حنن ه‬
‫ي ه‬
‫ن ص‬
‫واهس ال ل‬
‫ال ن ص‬
‫م ن‬
‫وصر ص‬
‫ ص‬- ‫جاَسروهد‬
‫قطنن ه ق‬
‫علبناَ م‬
‫ث انبن ه‬
11

‫ص‬
‫ن يِ ص ص‬
‫ه ص‬
‫شنناَءص‬
‫فنني آ ه‬
‫وصزادص ه‬
‫ه »إلل أ ن‬
‫ر ه‬
‫صر ه‬
‫عن ن س‬
‫ه ص‬
‫ي الل لنن س‬
‫ٍ ص‬،- َ‫مننا‬
‫ضنن ص‬
‫خنن ه‬
‫ن‬
‫وُصرث ص س‬
‫سصناَدسهس ص‬
‫ح ص‬
‫وإ ه ن‬
‫س ء‬
‫ٍ ص‬، ُ«‫ة‬
‫ال ن ص‬
“Abu Umamah Al-Bahili Radhiyallahu Anhu berkata, "Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Sesungguhnya
Allah telah memberikan hak kepada setiap yang berhak dan tidak ada
wasiat untuk ahli waris." (HR. Ahmad dan Al-Arba'ah kecuali AnNasa'i. Hadits Hasan menurut Ahmad dan At-Tirmidzi, dikuatkan Ibnu
Khuzaimah dan Ibnu Al-Jarud. HR. Ad-Daraquthni dari riwayat Ibnu
Abbas Radhiyallahu Anhuma dengan tambahan di akhir hadits,
"kecuali jika ahli waris menginginkannya" dan sanadnya hasan)
Tafsir Hadits
Dalam bab ini, ada riwayat dari Amr bin Kharijah yang diriwayatkan AtTirmidzi dan An-Nasa'i dari Anas menurut riwayat Ibnu Majah dari Amr bin
Syu'aib dari ayahnya, kakeknya menurut riwayat Ad-Daraquthni dan juga dari
Jabir, ia berkata, "Yang paling benar, bahwa hadits ini mursal, dan dari Ali
menurut riwayat Ibnu Abi Syaibah bahwa setiap sanad dari keduanya masih
dipertanyakan keshahihannya, akan tetapi karena banyaknya riwayat yang
menerangkan tentang hal itu; menguatkan pemahaman hadits tersebut untuk
diamalkan, bahkan Imam Syafi'i menegaskan dalam kitab Al-Umm, bahwa
matan hadits ini mutawatir dan ia berkomentar bahwa hadits ini berasal dari rawi
yang banyak dan disampaikan juga oleh rawi yang banyak pula, sehingga lebih
kuat dari Khabar Ahad (disampaikan satu orang saja).
Berdasarkan hadits ini, jumhur ulama melarang berwasiat kepada ahli
waris. Sementara Al-Hadi dan sebagian ulama lainnya membolehkan berwasiat
berdasarkan pada firman Allah Ta'ala,

‫ذا ح ص ص‬
ُ{‫ت‬
‫ب ص‬
‫ضصر أ ص‬
‫م إه ص ص‬
‫}ك ست ه ص‬
‫وُ س‬
‫م ال ن ص‬
‫حدصك س س‬
‫عل صي نك س ن‬
‫م ن‬
"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tandatanda) maut." (QS. Al-Baqarah: 180)
Sabda Nabi, "kecuali bila ahli warisnya menginginkannya"merupakan
dalil yang membolehkan wasiat, jika ahli waris membolehkan, maka harus
dilaksanakan. Dalam pembahasan terdahulu dibolehkan berwasiat lebih dari
sepertiga harta, namun apakah harus dilaksanakan atau tidak? Pengikut Madzhab
12

Azh-Zhahiriyyah berpendapat wasiatnya dilaksanakan sebagaimana makna
zhahir haditsnya; karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika
melarang berwasiat kepada ahli warisnya dikecualikan dengan sabdanya "bila
ahli warisnya menginginkan (mau)."
Dan menurut pendapat pemakalah, larangan Nabi berwasiat lebih dari
sepertiga bersifat umum tidak ada pengecualian, dan yang berpendapat ada
pengecualian diambil dari sabda Nabi, "Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli
warismu" maksudnya larangan berwasiat lebih dari sepertiga untuk menjaga
hak-hak ahli waris, jika mereka mengizinkan; maka mereka tidak mendapatkan
hak harta waris yang semestinya, mengizinkan berwasiat dalam hal seperti ini
mempunyai kekuatan hukum.
Para ulama berbeda pendapat jika yang mewariskan mengakui bahwa
pada hartanya ada hak untuk ahli warisnya. Al-Auza'i dan ulama lainnya
membolehkannya secara mutlak. Sedang menurut Imam Ahmad tidak boleh
ditetapkan apa yang diakui orang sedang sakit yang menyatakan ada sebagian
hak ahli waris pada hartanya, karena dikhawatirkan setelah dilarang berwasiat
kepada ahli warisnya dia akan menetapkan keputusan. Kelompok yang
berpendapat menetapkan membantah hujjah yang mereka berikan dan berkata,
"Harus dijauhkan berbagai tuduhan (pikiran negatif) terhadap orang yang sekarat
atas apa yang diakui, dan sudah ada kesepakatan bila dia menetapkan baik yang
berkenaan dengan harta atau lainnya; maka pengakuannya dibenarkan, bukankah
Islam hanya menghukumi pada hal-hal yang tampak saja? Maka jangan
diabaikan pengakuannya dikarenakan berbagai perkiraan dan kemungkinan yang
belum pasti; sebab hukum-hukum yang berkaitan dengan hal semacam itu
diserahkan kepada Allah.4
B. Hukumnya
Adapun hukumnya dilihat dari segi harus dilaksanakan atau harus
ditinggalka wasiat itu, maka para Ulama berbeda pendapat. Pendapat-pendapat
itu kami ringkas sebagai berikut:
4Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani., Subulussalam Syarah Bulugul Maram., Kitab
Zakat-Kitab Nikah Takhrij Hadits Berdasarkan Takhrij dari Kitab-Kitab Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani Jilid-2 (Jakarta: Darus Sunnah, 2012), hlm. 592-594

13

1. Pendapat pertama:
Pendapat ini memandang bahwa wasiat itu wajib bagi setiap orang
yang meninggalkan harta, baik harta itu banyak atau sedikit. Pendapat ini
dikatakan oleh Az-Zuhri dan Abu Mijlas.
Inilh pula pendapat Ibnu Hazam. Dia meriwayatkan wajib wasiat itu
dari Ibnu ‘Umar, Thalhah, Az-Zubair, ‘Abdullah bin Abu Aufa, Thalhah bin
Mutharrif, Ath-Thawus, dan Asy-Sya’bi. Katanya: inilah pendapat Abu
Sulaiman dan sahabat-sahabat kami. Mereka berdalil dengan firman Allah
Ta’ala: dalam Surat Al-Abqarah Ayat 18 yang artinya: “Diwajibkan atas
kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.
2. Pendapat kedua:
Pendapat ini memandang bahwa wasiat kepada kedua orang tua dan
karib kerabat yang tidak mewarisi dari si mayit itu wajib hukumnya.
Dan inilah mashab masruq, Iyas, Qatadah, Ibnu Jarir dan Az-Zuhri.
3. Pendapat ketiga:
Yaitu pendapat empat orang imam dari dan aliran Zaidiyah yang
menyatakan bahwa wasiat itu bukanlah kewajiban atas setiap orang yang
meninggalkan harta (pendapt pertama), dan bukan pula kewajuban terhadap
kedua orang tua dan karib kerabat yang tidak mewarisi (pendapat kedua);
akan tetapi wasiat itu berbeda-beda hukumnya menurut keadaan.Maka
wasiat itu terkadang wajib, terkadang sunat, terkadang haram, terkadang
makruh dan terkadang jais (boleh).
a. Wajibnya wasiat
Wasiat itu wajib dalam keadaan bila manusia mempunyai
kewajiban syara’ yang dikawatirkan akan disia-siakan bila dia tidak
berwasiat, seperti adanya titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada
manusia.
b. Sunatnya wasait

14

Wasiat itu disunatkan apabila ia diperuntukkan bagi kebijakan,
kaarib kerabat, orang-orang fakir dan orang-orang saleh.
c. Haramnya wasiat
Wasiat haram apabila ia merugikan ahli waris. Wasiat yang
maksudnya merugikan ahli waris seperti ini adalah batil, sekalipun
wasiat itu tidak mncapai sepertiga harta. Diharamkan pula mewasiatkan
khamar, membangun gereja, atau tempat hiburan.
d. Makruhnya wasiat
Wasiat itu makruh, bila orang yang berwasiat sedikit hartanya,
sedang dia mempuyai seorang atau banyak ahli waris yang
membutuhkan hartanya. Demikian pula dimakruhkan wasiat kepada
orang-orang yang fasik jika diketahui atau diduga dengan keras bahwa
mereka akan menggunakan harta itu didalam kefasikan dan kerusakan.
Akan tetapi apabila orang yang berwasiat tahu atau menduga keras
bahwa orang yang diberi wasiat akan menggunakan harta itu untuk
ketaatan, maka wasiat yang demikian ini menjadi sunat.
e. Jaiznya wasiat
Wasiat itu diperbilehkan bila ia ditujukan kepada orang yang
kaya, baik orang yang diwasiati kerabat atupun orang yang jauh(bukan
kerabat).
C. Syarat-Syaratnya
Wasiat menghendaki orang yang memberi wasiat, orang yang diberi
wasiat dan yang diwasiatkan. Masing-masing ketiganya ini mempunyai syaratsyarat yang akan kami sebutkan berikut ini:
1. Kapan wasiat menjadi hak bagi orang yang diberinya
Wasiat itu tidak menjadi hak dari orang yang diberinya, kecuali
setelah orang pemberinya mati dan hutang-hutangnya dibereskan. Apabila
hutang-hutangnya menghabisi semua peninggalan, maka orang yang diberi
wasiat itu tidak mendapatkan sesuatu. Yang demikian ini disebabkan firman
Allah:

‫من بعد وصية يِوُصی بهاَ أوديِن‬

15

“... sesudah dipenuhi wasiat yang dia buat atau sesudah dibayar
hutangnya...”
2. Sarat-sarat orang yang diberi wasiat
Diasaratkan bagi orang yang diberi wasiat, syarat-syarat berikut:
a. Dia bukan ahli waris dari orang yang memberi wasiat.
Diriwayatkan oleh para penakluk, bahwa Rasulullah Saw. Telah
baerkata pada waktu penaklukan kota mekah: “tidak ada wasiat bagi ahli
waris”.

(HR.

Ahmad.

Abu

Daud

dan

At-Tirmidzi

dan

dia

menghasankanya pula)
Asy-Syafi’i

berkata:

sesungguhnya

Allah

Ta’ala

telah

menurunkan ayat wasiat dan menurunkan pula ayat warisan, maka
mungkin ayat warisan itu tetap ada bersama dengan ayat warisan. Dan
mungkin pula warisan itu menghapuskan wasiat. Para ulama telah
mencari apa yang bisa memperkuat salah satu dari dua kemungkinan itu:
dan mereka mendapatinya didalam sunnah Rasulullah lah. Telah
diriwayatkan oleh para penakluk bahwa Rasulullah Saw. Telah berkata
pada waktu penaklukan kota mekah: “tidak ada wasiat bagi ahli waris.”
b. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang diberi wasiat itu bila
telah tertentu, maka disyaratkan untuk sahnya wasiat agar orang itu ada
diwaktu wasiat dilaksanakan, baik ada secara benar-benar ataupun ada
secara perkiraan. Apabila seorang pemberi wasiat berkata: “aku
wasiatkan rumahku kepada anak-anak si Polan”, tanpa menentukan siapa
anak-anak itu, kemudia dia mati dan tidak mencabut wasiatnya; maka
rumah itu dimiliki oleh anak-anak yang ada waktu pemberi wasiat mati,
baik yang ada benar-benar ataupun ada yang diperkirakan, seperti
kandungan, sekalipun anak-anak itu tidak ada waktu wasiat dibuat.
Adanya kandungan diwaktu wasiat dibuat atau wasiat sesudah pemberi
wasiat mati itu dibuktikan dengan kelahiran anak dalam waktu kurang
dari enam bulan sejak wasiat dibuat atau ssejak pemberi wasiat mati.
c. Disyaratkan agar orang yang diberi wasiat idak membunuh orang yang
memberinya, dengan pembunuhan yang diharamkan secara langsung.
Apabila orang yang diberi wasiat membunuh orang yang memberinya

16

dengan pembunuhan yang diharamkan secara langsung, maka wasiat itu
batal baginya; sebab orang yang menyegerakan sesuatu sebelum
waktunya dihukum dengan tidak mendapatkan sesuatu itu. Inilah mazhab
Abu Yusuf. Sedangkan Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa
wasiat itu tidak batal, dan yang demikian ini diserahkan kepada
persetujuan ahli waris.
3. Syarat bagi yang diwasiatkan
Disyaratkan agar yang diwasiatkan itu bisa dimiliki dengan salah satu
cara pemilikan setelah pemberi wasiat mati. Dengan demikian, maka sahlah
wasiat mengenai semua harta yang bernilai, baik berupa barang ataupun
manfaat. Dan sah pula wasiat tentang buah dari tanaman dan apa yang ada di
dalam perut sapi betina, sebab yang demikian dapat dimiliki melalui warisan.
Maka selama yang diwasiatkan itu ada wujudnya diwaktu yang mewasiatkan
mati, orang yang diberi wasiat berhak atasnya. Ini jelas berbeda dengan
wasiat mengenai barang yang tidak ada.
Dan tidak sah mewasiatkan yang bukan harta , seperti bangkai dan
yang tidak bernilai bagi orang yang mengadakan akad wasiat, seperti khamar
bagi kaum muslimin.
D. Batalnya Wasiat
Wasiat itu batal dengan hilangnya salah satu syarat dari syarat-syarat
yang telah disebutkan, misalnya sebagai berikut:
1. Bila orang yang berwasiat itu menderita penyakit gila yang parah yang
menyampaikannya kepada kematian.
2. Bila orang yang diberi wasiat mati sebelum orang yang memberinya.
3. Bila yang diwasiatkan itu barang tertentu yang rusak sebelum diterima oleh
orang yang diberi wasiat.5
E. Hikmah Wasiat
1. Bahwa wasiat adalah salah satu cara yang digunakan manusia untuk
mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pada akhir hidupnya agar kebaikanya
bertambah atau memperoleh apa yang terlewat olehnya.
2. Dalam wasiat terdapat kebaikan dan pertolongan bagi manusia.
5Sayyid Sabiq., Fiqih Sunnah 14 (Bandung: PT. Alma’arif, 1987), hlm. 236-251

17

3. Hikmah larangan pemberian wasiat dalam kuantitas terlalu besar dikwatirkan
akan menelantarkan ahli waris sepeninggalnya sehingga mereka akan
menghadapi kehidupan dengan mengharapkan kebaikan orang lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwa wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik
berupa barang, piutang, ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang
diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati atau dapat juga
didefenisikan bahwa wasiat itu adalah pemberian sukarela yang dilaksakan
setelah pemberinya mati.
Besar wasiat yang diberikan yang telah tercantum dalam nas bahwa
yang diberikan itu hanyalah sepertiga dari harta kita. Dan wasiat ini memiliki
hukum yang beragam, ada yang diwajibkan seseorang itu harus berwasiat
terhadap harta yang dimilikinya, ada juga wasiat itu sunnah, haram makruh
dan jaiz, itu disesuaikan kondisi sseseorang yang memiliki harta benda yang
dapat dimanfaatkan.
Dalam wasiat ini bahwa seseorang tdak dapat berwasiat kepada ahli
waris yang akan menerima warisan terhadap pemberi warisan, ini sesuai
dengan hadis nabi yang mengatakan bahwa “tidak ada wasiat untuk ahli
waris” dan juga Asy-Syafi’i berkata demikian.
Wasiat ini baru dapat diperoleh oleh sipenerima wasiat apabila
sipemberi wasiat sudah meninggal dunia. Jika si pemberi wasiat belum mati
walaupun

wasiatnya

sudah

ditetapkan

kepada

orang

yang

akan

menerimanya, si penerima wasiat belum bisa menguasai terhadap wasiat itu.
Dan baru dapat dikuasai harta wasiat itu ketika si pemberi wasiat sudah mati.
B. Saran
Dalam penulisaan makalah ini kami mengucapkan terimakasih
kepada bapak dosen yang telah memberikan bimbingan dan harapan. Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu

18

kami mengharapkan kritikan dan masukan dari semua pihak untuk
menyempurnakan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Sayyid Sabiq,. 1998. Fikih Sunnah 14. PT Alma’arif. Bandung.
Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani,. 2012. Subulussalam Jili-2 Sarah
Bulughul Maram. Darus Sunnah. Jakarta.
Drs. Taufik Rahman,. 2000. Hadis-Hadis Hukum. CV PUSTAKA SETIA.
Bandung.
Imam Al-Hafis ibnu Hajar Al-asqalany., 2008. Bulughul Maram Five in One.
Naura Books(PT Mizan Publika). Jakarta selatan.

19

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (Studi Empiris Pada Perusahaan Property dan Real Estate Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

47 440 21

Efek Pemberian Ekstrak Daun Pepaya Muda (Carica papaya) Terhadap Jumlah Sel Makrofag Pada Gingiva Tikus Wistar Yang Diinduksi Porphyromonas gingivalis

10 64 5

Hubungan Antara Kompetensi Pendidik Dengan Kecerdasan Jamak Anak Usia Dini di PAUD As Shobier Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember

4 116 4

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Analisis Pengaruh Faktor Yang Melekat Pada Tax Payer (Wajib Pajak) Terhadap Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan

10 58 124

Analisis Prioritas Program Pengembangan Kawasan "Pulau Penawar Rindu" (Kecamatan Belakang Padang) Sebagai Kecamatan Terdepan di Kota Batam Dengan Menggunakan Metode AHP

10 65 6

Perancangan Sistem Informasi Akuntansi Laporan Keuangan Arus Kas Pada PT. Tiki Jalur Nugraha Ekakurir Cabang Bandung Dengan Menggunakan Software Microsoft Visual Basic 6.0 Dan SQL Server 2000 Berbasis Client Server

32 174 203

Penerapan Data Mining Untuk Memprediksi Fluktuasi Harga Saham Menggunakan Metode Classification Dengan Teknik Decision Tree

20 110 145

Pembangunan Sistem Informasi di PT Fijayatex Bersaudara Dengan Menggunakan Pendekatan Supply Chain Management

5 51 1

Prosedur Pelaporan Surat Pemberitahuan Pajak Pengahsilan (SPT PPn) Dengan Menggunakan Elektronik Surat Pemberitahuan (E-SPT PPn 1111) Pada PT. INTI (Persero) Bandung

7 57 61