Informasi dan Komunikasi Harus Menjadi B

Mengapa ? Informasi dan Komunikasi Harus
Menjadi Bidang Tugas Alat Kelengkapan DPD RI1
Hingga usia yang ke delapan tahun, sesungguhnya ada pertanyaan
yang hingga kini menyeregap, yang hingga kini belum terjawab oleh DPD
RI. Pertanyaannya sangat mendasar sekali. Terlepas dari lemahnya fungsi
dan kewenangan DPD RI --- jika DPD RI merupakan partner DPR RI dalam
proses legislasi yang secara de jure diwujudkan dalam pemberian
pertimbangan, pandangan dan pendapat atas RUU, tetapi mengapa
keterlibatan DPD RI tersebut hanya ada bidang-bidang tertentu saja ?
tidak

semua

RUU

yang

sedang

dibahas


di

DPR

RI

dimintakan

pertimbangan, pandangan dan pendapatnya kepada DPD RI. Begitu pula –
jika salah satu tugas dan kewenangan DPD RI adalah melakukan
pengawasan

atas

pelaksanaan

sebuah

undang-undang,


mengapa

pengawasan tersebut tidak dilakukan terhadap semua undang-undang
yang telah diundangkan ?
Komite

sebagai

salah

satu

alat

kelengkapan

DPD

RI


dapat

disejajarkan kedudukannya dengan Komisi sebagai alat kelengkapan DPR
RI. Seluruh bidang tugas yang menjadi tanggung jawab ke sebelas Komisi
DPR RI dibagi ke dalam empat Komite yang ada di DPD RI. Komite I
membidangi otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah serta antardaerah;

pembentukan,

pemekaran,

dan

penggabungan

daerah;

pemukiman dan kependudukan; pertanahan dan tata ruang; serta politik,
hukum, dan hak asasi manusia (HAM). Komite II membidangi pertanian
dan perkebunan; perhubungan; kelautan dan perikanan; energi dan

sumber daya mineral; kehutanan dan lingkungan hidup; pemberdayaan
ekonomi

kerakyatan

dan

daerah

tertinggal;

perindustrian

dan

perdagangan; penanaman modal; dan pekerjaan umum. Komite III
1Dyah Aryani P., SH., MH. Tulisan ini menjadi bagian dari tulisan dalam buku Komite III
DPD RI Tahun 2011-2012. Judul asli Informasi dan Komunikasi Harus Menjadi Bidang
Tugas Alat Kelengkapan DPD RI. Tulisan dan buku tersebut setidaknya telah menjadi
bahan dasar bagi diskursus “mengapa Komunikasi dan Informasi tidak menjadi bidang

tugas DPD RI”. Kini, DPD RI telah menetapkan Komunikasi dan Informasi menjadi bidang
tugas Komite I DPD RI.

1

membidangi pendidikan; agama; kebudayaan; kesehatan; pariwisata;
pemuda dan olahraga; kesejahteraan sosial; pemberdayaan perempuan
dan ketenagakerjaan. Dan Komite IV membidangi anggaran pendapatan
dan belanja negara (APBN); pajak; perimbangan keuangan pusat dan
daerah; lembaga keuangan; dan koperasi, usaha mikro, kecil, dan
menengah.
Membaca dan memperhatikan seluruh bidang yang menjadi lingkup
kerja Komite di DPD RI, maka “informasi dan komunikasi” adalah salah
satu dari bidang yang tidak menjadi lingkup tugas DPD RI. Tentu hal ini
sangat

mengherankan.

Ditengah


keterbukaan

arus

informasi

dan

komunikasi serta teknologi informasi dan komunikasi yang demikian
canggih, DPD RI tidak menaruh perhatian atas informasi dan komunikasi.
Bukankah sejatinya kehadiran DPD RI adalah hasil dukungan dari
masyarakat dan daerah atas amandemen UUD 1945 ?

serta bukankah

kelahiran DPD RI adalah buah dari arus informasi dan komunikasi yang
deras mengalir kepada publik ? yang tersebar melalui berbagai saluran
informasi dan komunikasi yang tersedia ?
B.1.


Berkomunikasi dan mengakses informasi melalui segala

saluran yang
tersedia adalah hak asasi setiap orang
Para pendiri bangsa ini telah lama menyadari pentingnya hak asasi
manusia dan memiliki komitmen atas penegakannya. Itulah sebabnya isu
tentang hak asasi manusia

dirumuskan ke dalam konstitusi UUD 1945.

Pembukaan UUD 1945 menyebutkan dengan jelas dan tegas ”bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab
itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Pembukaan UUD 1945

tersebut juga sebagai penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum
yang mengakui, menghormati dan menjunjung tinggi


penegakan hak

asasi manusia.
Meskipun

konstitusi

UUD

1945

menegaskan

bahwa

negara

mengakui, menghormati dan menjunjung tinggi penegakan hak asasi
2


manusia, namun pemerintahan Presiden Soeharto selama kurang lebih
tiga puluh dua tahun membawa cerita duka dan

catatan kelam bagi

penegakan

Berbagai

hak

asasi

manusia

di

Indonesia.

tindakan


pelanggaran hak asasi manusia telah dilakukan oleh negara secara
sistematis dan struktural pada masa itu; salah satunya peristiwa Gerakan
30 September 1965.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan, terdapat
cukup bukti permulaan untuk menduga telah terjadi sembilan kejahatan
kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa
1965-1966. Sembilan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut
adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau
pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau
kebebasan fisik, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, dan penghilangan
orang secara paksa.2

Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 merupakan titik balik
penegakan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Belajar dari
peristiwa suram di masa lampau, publik mendesak dan menghendaki
adanya muatan yang terinci, kuat dan luas dalam Konstitusi terkait
dengan hak asasi manusia. Ini artinya amandeman atas UUD 1945 harus
dilakukan.
Maka terjadilah amandeman UUD 1945 yang secara bertahap

dilakukan hingga empat kali, dimulai pada Sidang Umum MPR tahun 1999
dan berakhir pada Sidang Umum MPR tahun 2002.3
Upaya untuk melakukan amandemen UUD 1945 pun dipenuhi pro dan
kontra. Kelompok pro mengeluarkan argumen bahwa tuntutan perubahan
UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di
tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang pada kenyataannya
bukan di tangan rakyat, kekuasaan yang sangat besar pada Presiden,
adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" sehingga dapat menimbulkan
2http://nasional.kompas.com/read/2012/07/24/09000971/Komnas.HAM.Kopkamtib.Bertan
ggung.Jawab.dalam.Peristiwa.19651966
3 Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen)
yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
 Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD
1945
 Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD
1945
 Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD
1945
 Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat
UUD 1945

3

multitafsir, serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat
penyelenggara negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Adapun kelompok kontra menyatakan bahwa melakukan amandemen atas
UUD 1945 berarti mengingkari sejarah dan menghilangkan nilai-nilai
kesakralan UUD 1945. Perubahan cukup ditampung melalui Undangundang bukan terhadap UUD 1945.

Harus diakui amandemen UUD 1945 membawa perubahan yang
signifikan tidak hanya pada sisi tata pemerintahan tetapi juga pada sisi
perlindungan hak asasi manusia. Terdapat sebanyak dua puluh tujuh
materi dalam UUD 1945 yang mengandung perlindungan hak asasi
manusia. Kedua puluh tujuh materi tersebut dikelompokan sehingga
rumusan hak asasi manusia dalam UUD 1945 mencakup empat kelompok
materi yaitu kelompok hak sipil dan politik; hak ekonomi, sosial, dan
budaya; hak atas pembangunan dan hak khusus lain; serta tanggung
jawab negara dan kewajiban asasi manusia. Selain itu, terdapat hak yang
dikategorikan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun (non-derogable rights) yang meliputi hak untuk hak untuk hidup,
hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut.
Pada sisi lain, amandeman UUD 1945 juga membawa konsekuensi
juridis konstitusional. Pertama, bahwa pengakuan atas lingkup hak asasi
manusia di perluas dan dipertegas. Kedua, bahwa sejalan dengan
perluasan lingkup hak asasi manusia yang diakui negara, maka negara
memegang amanat untuk menjamin, melindungi dan mempromosikan
perlindungan hak asasi tersebut bagi warga negaranya.
Salah satu hak asasi manusia yang berada pada rumpun hak politik
adalah

hak

untuk

menyampaikan

pendapat,

berkomunikasi

dan

memperoleh informasi, yang termaktub pada Pasal 28F UUD 1945. 4
setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan

4Pasal 28F merupakan hasil amandemen kedua atas UUD 1945

4

menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia.5

Pemaknaan secara luas atas ketentuan Pasal 28F UUD 1945
menggambarkan bahwa melalui pengakuan atas

hak menyampaikan

pendapat, berkomunikasi dan memperoleh informasi, diharapkan setiap
orang

dapat

pendapat,

mendapatkan

untuk

informasi

mengekspresikan

untuk

diolah

pendapat

itu,

menjadi

suatu

serta

untuk

mempertahankan pendapat itu. Pada ranah ini, informasi yang diperoleh
tentulah berasal dari sumber manapun.

Demikian pula setiap orang

memiliki kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi
dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan pembatasan secara
lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau media lain
sesuai dengan pilihannya.6
Kehadiran Pasal 28F UUD 1945 pada realitasnya berdampak positif
dan signifikan bagi proses reformasi ketatanegaraan NKRI yang antara lain
juga dilakukan melalui proses amandemen UUD 1945. Salah satu hasil
reformasi ketatanegaraan NKRI tersebut adalah lahirnya lembaga negara
baru yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD) melalui amandemen ketiga
UUD 1945. Ide dan usulan tentang

pentingnya keberadaan perwakilan

daerah di parlemen sesungguhnya telah ada saat penyusunan UUD 1945
yang

dilakukan

oleh

Badan

Penyelidik

Kemerdekaan Indonesia BPUPKI. Ide tersebut

Usaha-usaha

Persiapan

terakomodasi dengan

keberadaan Fraksi Utusan Golongan (FUG) di MPR. Namun dalam
prakteknya, keberadaan FUG tidak sebenar-benar mewakili kepentingan
masyarakat dan daerah bukan saja karena eksistensinya yang lahir bukan
dari sebuah proses pemilihan oleh rakyat tetapinya juga karena perannya
yang sangat terbatas hanya menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN) setiap lima tahun sekali. Dalam suasana inilah, seiring dengan
semangat reformasi lahir gagasan untuk melembagakan utusan daerah
yang lebih mencerminkan representasi wilayah dan bekerja secara efektif,
5 Pasal 28F UUD 1945
6 Nunung Prajarto, “Keterbukaan Informasi Publik dan Peluang Demokrasi”, Makalah
disampaikan pada Seminar Keterbukaan Informasi Publik dan Peran Televisi Komunitas
Dalam Meng-advokasi Isu Tersebut, Yogjakarta 27 Januari 2009.

5

yang eksistensinya lahir dari pemilihan oleh rakyat dan melaksanakan
kewenangannya tidak hanya sekali dalam lima tahun.
Tanpa adanya kebebasan dan jaminan hak untuk berpendapat,
berkomunikasi dan mencari informasi melalui segala saluran yang
tersedia,

maka lalu lintas informasi dan publikasi atas seluruh kajian-

kajian dan penelitian ilmiah tentang pentingnya DPD RI terutama yang
dimiliki oleh lembaga pemerintah serta proses amandemen ketiga UUD
1945 yang melahirkan lembaga DPD RI tidak akan diketahui oleh publik
secara luas. Seluruh aktivitas tersebut telah menjadi informasi publik yang
wajib diketahui dan menjadi hak publik untuk mengetahuinya. Pada saat
yang bersamaan, juga tidak bisa dipungkiri, bebasnya lalu lintas informasi
pada media7 dan mudahnya akses publik pada media berdampak pada
dukungan publik atas kelahiran DPD RI.
B.2.

Informasi publik dan tata pemerintahan daerah yang baik
Meskipun konstitusi UUD 1945 telah menjamin hak warga negara

untuk berpendapat, berkomunikasi dan mencari informasi, namun pada
kenyataannya akses masyarakat atas berbagai informasi terutama
informasi yang dimiliki oleh badan-badan atau lembaga-lembaga negara
dan pemerintah tidak semudah yang dibayangan. Masih saja ada oknum
pejabat yang menghalang-halangi, merintangi, mempersulit dengan
berbagai cara bahkan melarang

publik

mengakses informasi tersebut.

Dengan alasan merupakan dokumen negara dan sifatnya rahasia, serta
7Sebelum amandemen kedua UUD 1945 yang melahirkan Pasal 28F, upaya untuk
memberikan kebebasan berpendapat, berkomunikasi dan mengakses informasi telah
dilakukan. 5 Juni 1998 Menteri Penerangan (Menpen) Kabinet Reformasi, Muhammad
Yunus Yosfiah mengumumkan kebebasan pers , dengan pencabutan Peraturan Menteri
Penerangan (Permenpen) Republik Indonesia, al tentang :
 pembatalan surat izin perusahaan penerbitan pers (SIUPP)
 Pengakuan terhadap Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai wadah tunggal
 Dan Pengurangan waktu relay siaran berita nasional dari 14 kali menjadi tiga kali
sehari.
 Permen Nomor 01/Per/ Menpen/1984 Tentang Pencabutan SIUPP yang semula
dilakukan Deppen, akhirnya diganti dengan Permen Nomor 01/ Per/Menpen /1998,
di mana Deppen tidak akan membatalkan SIUPP serta Pengurusan SIUPP yang
menggunakan 16 persyaratan menjadi tiga persyaratan saja.
Pada tanggal 23 September 1999 setelah melalui proses pembahasan yang sangat
cepat (hanya 9 hari) DPR RI berhasil mengesahkan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers
(UU Pers), yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU No. 21 Tahun 1982 tentang
Perubahan atas UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.

6

mengancam keamanan dan pertahanan negara, permohonan publik untuk
mengakses informasi pada badan-badan publik atau lembaga negara
ditolak.
Ketiadaan regulasi setingkat undang-undang yang merupakan
aturan lebih lanjut dari aturan dasar/pokok negara 8 yang terdapat dalam
UUD 1945 khususnya Pasal 28F ditengarai menjadi alasan kuat terjadinya
fenomena sebagaimana dipaparkan sebelumnya. Pasal-pasal dalam UUD
1945 sebagai aturan dasar/pokok negara harus dijabarkan lebih lanjut
dalam regulasi formal berbentuk undang-undang. 9 Disamping itu hanya
dalam regulasi formal

itulah sebuah sanksi dan hukuman sebagai

pemaksa bagi penegakan hukum dapat dilekatkan.
Sejalan dengan hal tersebut pula maka untuk memberikan jaminan
terhadap semua orang dalam memperoleh Informasi, perlu dibentuk
undang-undang yang mengatur tentang keterbukaan informasi publik.
Fungsi maksimal ini diperlukan, mengingat hak untuk memperoleh
Informasi merupakan hak asasi manusia sebagai salah satu wujud dari
kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis. 10 Terjadinya
ketertutupan birokrat secara sistematis tehadap informasi publik yang
terjadi selama orde baru menjadi

awal terjadinya korupsi, kolusi dan

nepotisme dan telah berdampak pada tidak maksimalnya pelayanan yang
diberikan kepada publik. Selain itu, dalam sistem politik yang tertutup,
partisipasi masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang remeh dan tak
terlalu penting buat pemerintah. Pemerintah menganggap dirinya sebagai
satu-satunya

aktor

yang

tahu

tentang

apa

yang

dibutuhkan

masyarakatnya. Atas nama pembangunan dan kesejahteraan yang

8Hans Nawinsky mengembangkan teori tersebut dan membuat Tata Susunan Norma
Hukum Negara (die Stufenordnung der Rechtsnormen) dalam empat tingkatan:
 Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) atau Grundnorm (menurut
teori Kelsen)
 Staatsgrundgezets (Aturan Dasar/Pokok Negara)
 Formell Gezets (UU Formal)
 Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana dan Aturan Otonomi).
9 Pasal 10 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan menyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang
berisi pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945.
10Penjelasan Umum UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

7

ditafsirkan sepihak oleh pemerintah, kebijakan publik acapkali membawa
petaka dan keruwetan bagi masyarakat.
Salah satu elemen penting dalam mewujudkan penyelenggaraan
negara yang terbuka adalah hak publik untuk memperoleh informasi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hak atas informasi
menjadi sangat penting karena makin terbuka penyelenggaraan negara
untuk diawasi publik, penyelenggaraan negara tersebut makin dapat
dipertanggungjawabkan. Hak setiap orang untuk memperoleh informasi
juga relevan untuk meningkatkan kualitas pelibatan masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan publik. Partisipasi atau penglibatan
masyarakat tidak banyak berarti tanpa jaminan keterbukaan informasi
publik. Keberadaan Undang-undang tentang Keterbukaan Informasi Publik
sangat penting sebagai landasan hukum yang berkaitan dengan (1) hak
setiap orang untuk memperoleh informasi; (2) kewajiban badan publik
menyediakan dan melayani permintaan informasi secara cepat, tepat
waktu, biaya ringan/proporsional, dan cara sederhana; (3) pengecualian
bersifat ketat dan terbatas; (4) kewajiban badan publik untuk membenahi
sistem dokumentasi dan pelayanan informasi.11
Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperioleh Informasi Publik
(RUU KMIP) pada awalnya merupakan usulan kalangan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang kemudian diadopsi menjadi RUU inisiatif DPR. RUU
KMIP telah dibahas oleh DPR dan diajukan ke pada pemerintahan presiden
Megawati tetapi belum dilakukan proses pembahasan dengan pemerintah.
Pada Tahun 2006 RUU KMIP diajukan kembali oleh DPR kepada pemerintah
yang ditindak lanjuti dengan penerbitan Amanat Presiden (Ampres) yang
menunjuk Menteri Komunikasi dan Informatika dan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia sebagai wakil Pemerintah dalam pembahasan dengan
DPR. Setelah melalui proses yang panjang, pada 30 April 2008, RUU KMIP
disahkan oleh DPR RI menjadi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Berdasarkan hal tersebut, maka sangat tepat jika keterbukaan
informasi publik diperlukan dalam penyelenggaraan negara. Informasi
publik adalah pintu masuk bagi transparansi dan partisipasi – yang
merupakan salah satu indikator penentu tata pemerintahan yang baik
(good corporate governance).12
11Ibid
12UNDP menentukan karakteristik/prinsip Good Governance sebagai berikut: 1.
Participation : Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan 2.
Rule of law : Kerangka hukum harus adil terutama hukum HAM 3. Tranparency :

8

Bahwa sejatinya pula, prinsip tata pemerintahan yang baik tidak
hanya berlaku bagi penyelenggaraan pemerintahan di tingkat pusat tetapi
juga penyelenggaraan pemerintahan di tingkat lokal (daerah). Dengan
penerapan prinsip-prinsip transparansi maka masyarakat daerah akan
memiliki akses and keakuratan informasi terhadap aktivitas pemerintahan
lokal. Mereka akan tahu persoalan yang dihadapi daerahnya, agenda
pemerintah untuk menanggulanginya, aktivitas pemerintahan untuk
melaksanakan agenda itu, serta mekanisme untuk memastikan aktivitas
tersebut sesuai dengan kehendak rakyat. Adanya akses dan keakuratan
informasi

akan

menyebabkan

timbulnya

kepercayaan

terhadap

pemerintah daerah dan menurunnya apatisme masyarakat terhadap
berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.
Transparansi juga memudahkan pelaksanaan audit dan pembelaan
diri apabila pemerintah terlibat dalam proses litigasi. Dalam beberapa
kasus, adanya transparansi juga mencegah friksi antar bagian-bagian
pemerintahan ataupun antara pemerintah dengan masyarakat. Adanya
transparansi juga dapat mengurangi distorsi informasi yang dapat
menjadi sumber konflik antar elemen masyarakat dan antar masyarakat
dan pemerintah.
Last but not least, pentingnya transparansi dan keterbukaan
informasi juga disebut dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik. Pasal 23 ayat (3) dan (4) UU Pelayanan Publik menegaskan bahwa
penyelenggara pelayanan publik berkewajiban mengelola sistem informasi
yang terdiri atas sistem informasi elektronik atau nonelektronik, sekurangkurangnya meliputi (a). profil penyelenggara; (b). profil pelaksana; (c).
standar

pelayanan;

(d).

maklumat

pelayanan;

(e).

pengelolaan

Transparansi / keterbukaan dibangun atas dasar kebebasan arus informasi 4.
Responsiveness : Lembaga dan proses harus mencoba untuk melayani setiap pihak yang
berkepentingan (stakeholders) 5. Consensus orientation : Good governance menjadi
perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan yang terbaik bagi
kepentingan yang lebih luas. 6. Effectiveness and efficiency : Proses dan lembaga
menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan sumber yang tersedia
dengan baik 7. Accountability : Pembuat keputusan, sektor swasta dan masyarakat
bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders 8. Strategic vision : Para
pemimpin dan publik harus mempunyai perpektif good governance dan pengembangan
manusia yang luas serta jauh ke depan.

9

pengaduan; dan (f). penilaian kinerja serta berkewajiban menyediakan
informasi tersebut kepada masyarakat secara terbuka dan mudah diakses.
B.3.

Informasi dan komunikasi merupakan urusan wajib

pemerintah daerah
UUD 1945 mengamanatkan pemerintah daerah berwenang untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan.13 Pemberian otonomi luas kepada daerah
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui

peningkatan

pelayanan,

pemberdayaan

dan

peran

serta

masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan
mampu

meningkatkan

daya

saing

dengan

memperhatikan

prinsip

demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta
potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan
pemerintahan antara Pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian
urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu
terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi
kewenangan Pemerintah yang menyangkut terjaminnya kelangsungan
hidup bangsa dan negara secara keseluruhan, yang meliputi bidang politik
luar negeri, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama.14
Adapun urusan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan
wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan
pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah
yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat,
seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan,
kependudukan dan sebagainya. Urusan pemerintahan yang bersifat
pilihan

adalah

urusan

pemerintahan

yang

diprioritaskan

oleh

pemerintahan daerah untuk diselenggarakan karena terkait dengan upaya

13Pasal 18 ayat (2) UUD 1945
14Pasal 10 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

10

mengembangkan potensi unggulan (core competence) yang menjadi
kekhasan daerah.15
Disamping urusan pemerintahan yang wajib dan urusan pilihan yang
diselenggarakan
oleh
pemerintahan
daerah,
terdapat
urusan
pemerintahan lainnya yang sepanjang menjadi kewenangan daerah yang
bersangkutan tetap harus diselenggarakan oleh pemerintahan daerah
yang bersangkutan. Namun mengingat terbatasnya sumber daya dan
sumber dana yang dimiliki oleh daerah, maka prioritas penyelenggaraan
urusan pemerintahan difokuskan pada urusan wajib dan urusan pilihan
yang benar-benar mengarah pada penciptaan kesejahteraan masyarakat
disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan kekhasan daerah yang
bersangkutan.16

Peraturan Pemerintahh No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan, Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (PP 38/2007) menyebutkan ada 26
(dua puluh enam) bidang yang menjadi urusan wajib pemerintah daerah.
Salah satunya adalah bidang komunikasi dan informatika.
Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: (1)
pendidikan; (2) kesehatan; (3) lingkungan hidup; (4) pekerjaan umum; (5)
penataan ruang; (6) perencanaan pembangunan; (7) perumahan; (8)
kepemudaan dan olahraga; (9) penanaman modal; (10) koperasi dan
usaha kecil dan menengah; (11) kependudukan dan catatan sipil; (12)
ketenagakerjaan;(13) ketahanan pangan; (14) pemberdayaan perempuan
dan perlindungan anak; (15) keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
(16) perhubungan; (17) komunikasi dan informatika; (18) pertanahan; (19)
kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; (20) otonomi daerah,
pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah,
kepegawaian, dan persandian; (21) pemberdayaan masyarakat dan desa;
(22) sosial; (23) kebudayaan; (24) statistik; (25) kearsipan; dan (26)
perpustakaan.17

Masuknya bidang komunikasi dan informatika dalam kelompok
urusan wajib pemerintah daerah menunjukan bahwa komunikasi dan
informatika merupakan kebutuhan dasar masyarakat yang wajib dipenuhi
oleh pemerintah daerah. Sebagai kebutuhan dasar, posisi dan kedudukan
komunikasi dan informatika tidak tergantikan dan tidak menggantikan.
15Penjelasan Umum PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan,
Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota.
16Ibid.
17Pasal 7 ayat (1) PP 38/2007

11

Jika melihat dan membaca lampiran PP 38/2007 bidang komunikasi
dan informasi dibagi ke dalam 2 (dua) sub bidang yakni pos dan
telekomunikasi dan sarana informasi dan deseminasi informasi. Sub
bidang

sarana informasi dan deseminasi informasi inilah yang jelas

nampak berkaitan langsung dengan hak atas informasi dan komunikasi
publik. Hal ini terlihat dari masuknya

penyiaran dan kemitraan media

sebagai salah satu dari 4 (empat) sub bidang sarana informasi dan
deseminasi informasi.18
Pada

sub bidang penyiaran, kewenangan pemerintah daerah

provinsi adalah melakukan evaluasi persyaratan administrasi dan data
teknis

terhadap

permohonan

izin

penyelenggaraan

penyiaran

dan

memberikan rekomendasi persyaratan administrasi dan kelayakan data
teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan televisi. Adapun
kewenangan

pemerintah

daerah

kabupaten/kota

adalah

Pemberian

rekomendasi persyaratan administrasi dan kelayakan data teknis terhadap
permohonan izin penyelenggaraan radio dan Pemberian izin lokasi
pembangunan studio dan stasiun pemancar radio dan/atau televisi.
Fakta tentang komunikasi dan informatika menjadi kewenangan
pemerintah daerah (terutama sub

bidang penyiaran) semakin tidak

terbantahkan jika melihat muatan materi UU No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran (UU Penyiaran). Konsiderans menimbang huruf c UU No. 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) memperlihatkan relasi
antara penyiaran dengan kewenangan pemerintahan daerah sebagai latar
belakang sosiologis dan juridis disusunnya UU Penyiaran,

dengan

menyebutkan bahwa untuk menjaga integrasi nasional, kemajemukan
masyarakat Indonesia dan terlaksananya otonomi daerah maka perlu
dibentuk sistem penyiaran nasional yang menjamin terciptanya tatanan
informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang guna mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu UU Penyiaran juga
menempatkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada
konsiderans mengingat.
18Lampiran PP 38/2007 butir Y Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Komunikasi dan
Informatika. Merujuk pula pada Pasal 28F UUD 1945 maka “segala saluran yang tersedia”
dimaknai sebagai pers, penyiaran, perfilman dan media lainnya

12

Tidak hanya itu, kehadiran televisi swasta lokal di beberapa provinsi
di Indonesia sebagai amanat UU Penyiaran telah semakin memperkuat
argumentasi penempatan bidang komunikasi dan informatika sebagai
kewenangan

wajib

pemerintah

daerah.

Seyogianyalah

prinsip

desentralisasi juga berlaku bagi media penyiaran televisi. Spirit otonomi
daerah yang bermartabat membutuhkan media penyiaran televisi lokal.
Media penyiaran televisi lokal adalah cermin bagi penyelenggaraan
pemerintahan di daerah. Media Penyiaran televisi lokal adalah pentas
hidup dan permanen bagi tumbuh dan berkembangnya budaya lokal
sebagai asset nasional. Menilik jumlah dan data atas televisi lokal yang
menunjukan peningkatan, memperkuat justifikasi

jika komunikasi dan

informatika menjadi urusan wajib pemerintahan daerah.
Berdasarkan data dari Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), hingga
saat ini hampir mencapai 50 televisi swasta lokal tersebar diseluruh
provinsi Indonesia. Televisi lokal tersebut adalah Bukittinggi TV
(Bukittinggi-Sumatera Barat), Dewata TV (Denpasar-Bali),
Siger TV
(Bandar Lampung -Lampung), STV Bandung (Bandung-Jawa Barat), KTV
(Tangerang-Banten), Khatulistiwa TV (Pontianak-Kalimantan Barat), Malang
TV (Malang-Jawa Timur), Arek TV (Surabaya-Jawa Timur), PJTV (BandungJawa Barat), Pacific TV (Manado-Sulawwsi Utara), Sriwijaya TV (PalembangSumatera Selatan), TV Tiga (Tangerang-Banten), Carlita TV (PandeglangBanten), BC TV (Surabaya-Jawa Timur), Aceh TV (Aceh Besar-NAD),
Molucca TV (Ambon-Maluku), Ambon TV (Ambon-Maluku), Ratih TV
(Kebumen-Jawa Tengah), MQTV (Bandung-Jawa Barat), Tarakan TV
(Tarakan-Kalimantan Timur), Kendari TV (Kendari-Sulawesi Tenggara), Pal
TV (Palembang-Sumatera Selatan), Cakra Buana Chanel (Depok-Jawa
Barat), Cakra TV (Semarang-Jawa Tengah), Megaswara TV (Bogor-Jawa
Barat), Space Toon TV (Tangerang-Banten), Cahaya TV (TangerangBanten), Jak TV (Jakarta-DKI Jakarta), O Channel (Jakarta-DKI Jakarta),
Bandung TV (Bandung-Jawa Barat), TA TV (Surakarta-Jawa Tengah), Yogya
TV (Yogyakarta-DI Yogyakarta), Publik Khatulistiwa TV (BontangKalimantan Timur), Batam TV (Batam-Kepri), Bali TV (Denpasar-Bali),
Srijunjungan TV (Bengkalis-Riau), Riau TV (Pekanbaru-Riau), TV Borobudur
(Semarang-Jawa Tengah), Gorontalo TV (Gorontalo), JTV (Surabaya-Jawa
Timur), Makassar TV (Makassar-Sulawesi Selatan), Lombok TV (LombokNTB).19

Dari seluruh uraian yang telah disampaikan maka seharusnya
bidang informasi dan komunikasi menjadi lingkup bidang tugas DPD RI.
Melepaskan bidang informasi dan komunikasi dari lingkup bidang tugas
DPD RI berarti pengingkaran kewajiban hukum yang telah diamanatkan
19http://www.atvli.com/index.php/home/anggota

13

oleh undang-undang berupa kewajiban untuk melakukan pengurusan atas
urusan wajib pemerintahan.
Jika pertanyannya adalah alat Komite mana yang berwenang dan
bertanggung jawab untuk mengurusi bidang informasi dan komunikasi,
maka

terdapat

2

(dua)

alternative

sebagai

pertimbangan

untuk

menentukan pilihan. Pertama, dilihat dari substansi materi (content)
penyiaran, maka Komite III dapat diberi kewenangan untuk mengurusi
bidang informasi dan komunikasi. 20 Namun jika dilihat ketersediaan dan
alokasi spectrum frekuensi radio sebagai sumber daya alam terbatas yang
menjadi syarat penyelenggaraan penyiaran, maka Komite II dapat
diberikan kewenangan untuk mengurusi bidang informasi dan komunikasi
khususnya yang terkait dengan pengelolaan spectrum frekuensi radio oleh
pemerintah daerah.

20Pasal 36 UU Penyiaran pada pokoknya menyebutkan tentang isi siaran yang harus
ditayangkan oleh lembaga penyiaran. Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan,
hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan,
kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai
agama dan budaya Indonesia. Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan
pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja. Isi siaran juga
dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai
agama, martabat manusia Indonesia

14

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2