Analisis Ketimpangan Distribusi Pendapatan dan Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten Pakpak Bharat

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi diartikan sebagai serangkaian usaha dalam suatu

perekonomian

untuk

mengembangkan

kegiatan

ekonominya

sehingga

infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan semakin banyak dan semakin

berkembang, taraf pendidikan semakin tinggi dan teknologi semakin meningkat.
Sebagai implikasi dari perkembagan ini diharapkan kesempatan kerja akan
bertambah, tingkat pendapatan meningkat, dan kemakmuran masyarakat menjadi
sangat tinggi (Sadono Sukirno). Pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat
maka diperlukan pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan distribusi
pendapatan yang lebih merata.Pertumbuhan ekonomi sering kali diikuti dengan
perubahan struktur pendapatan.
Williamson (1965) meyatakan bahwa tahap awal pembangunan, disparitas
regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi didaerah-daerah
tertentu. Dan pada tahap yanglebih maju, dilihat dari pertumbuhan ekonomi,
tampak bahwa keseimbangan antar daerah berkurang dengan signifikan.
2.1.1

Ketimpangan Pembangunan
Beberapa ahli ekonomi mengatakan bahwa ketimpangan pembangunan

antar daerah timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan
faktor produksi. Daerah yang memiliki sumber daya dan faktor produksi, terutama


6
Universitas Sumatera Utara

yang memiliki barang modal (capital stock) akan memperoleh pendapatan yang
lebih banyak dibandingkan dengan daerah yang memiliki sedikit sumber daya.
Ketimpangan memiliki dampak positif maupun dampak negatif. Dampak
positif dari adanya ketimpangan adalah dapat mendorong wilayah lain yang
kurang maju untuk dapat bersaing dan meningkatkan pertumbuhannya guna
meningkatkan kesejahteraannya. Sedangkan dampak negatif dari ketimpangan
yang ekstrim antara lain inefisiensi ekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan
solidaritas, serta ketimpangan yang tinggi pada umumnya dipandang tidak adil
(Todaro,2003).
Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi
dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan
oleh adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi
demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini,
kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan juga menjadi
berbeda. Karena itu, tidaklah mengherankan bilamana pada setiap daerah biasanya
terdapat wilayah maju dan wilayah terbelakang. Terjadinya ketimpangan ini
membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah.

Karena itu, aspek ketimpangan pembagunan antar wilayah ini juga mempunyai
implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang
dilakukan oleh pemerintah daerah (Sjafrizal,2008).
2.1.2

Penyebab Ketimpangan Pembangunan
Ketimpangan ini pada awalnya disebabkan oleh adanya perbedaan

kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat

7
Universitas Sumatera Utara

pada masing – masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu
daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses
pembangunan juga menjadi berbeda.
Terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah ini selanjutnya
membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat pada wilayah
bersangkutan. Biasanya implikasi ini ditimbulkan adalah dalam bentuk
kecemburuan dan ketidakpuasan masyarakat yang dapat pula berlanjut dengan

implikasi politik dan ketentraman masyarakat. Karena itu, aspek ketimpangan
pembangunan ekonomi antar wilayah ini perlu ditanggulangi melalui formulasi
kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Menurut Irma Adelma dan Cynthia Taft Morris dalam Arsyad (2010) ada
8 hal yang menyebabkan ketimpangan atau ketidakmerataan distribusi pendapatan
di negara sedang berkembang :
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi mengakibatkan menurunnya pendapatan
perkapita.
2. Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara
proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang.
3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah.
4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal (Capital
Insentive), sehingga persentase pendapatan modal dari kerja tambahan besar
dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga
pengangguran bertambah.
5. Rendahnya mobilitas sosial.

8
Universitas Sumatera Utara


6. Pelaksanaan kebijakan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan
harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan
kapitalis.
7. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara sedang berkembang
dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidakelastisan
permintaan negara-negara maju terhadap barang-barang ekspor negara sedang
berkembang.
8. Hancurnya industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga,
dan lain-lain.
Beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya ketimpangan antar
wilayah menurut Sjafrizal (2012) yaitu :
1.

Perbedaan kandungan sumber daya alam
Perbedaan kandungan sumber daya alam akan mempengaruhi kegiatan
produksi pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumber daya
alam cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan
biaya relatif murah dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai
kandungan sumber daya alam lebih rendah. Kondisi ini mendorong
pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat. Sedangkan

daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih kecil hanya
akan dapat memproduksi barang-barang dengan biaya produksi lebih tinggi
sehingga daya saingnya menjadi lemah. Kondisi tersebut menyebabkan
daerah bersangkutan cenderung mempunyai pertumbuhan ekonomi yang
lebih lambat.

9
Universitas Sumatera Utara

2.

Perbedaan kondisi demografis
Perbedaan kondisi demografis meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan
struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan,
perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan
kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan.
Kondisi

demografis


akan

berpengaruh

terhadap

produktivitas

kerja

masyarakat setempat. Daerah dengan kondisi demografis yang baik akan
cenderung mempunyai produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini
akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan
penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.
3.

Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa
Mobilitas barang dan jasa meliputi kegiatan perdagangan antar daerah dan
migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan.
Alasannya adalah apabila mobilitas kurang lancar maka kelebihan produksi

suatu daerah tidak dapat di jual ke daerah lain yang membutuhkan. Akibatnya
adalah ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi,
sehingga daerah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya.

4.

Perbedaan konsentrasi kegiatan ekonomi daerah
Pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih cepat pada suatu daerah dimana
konsentrasi kegiatan ekonominya cukup besar. Kondisi inilah yang
selanjutnya

akan

mendorong

proses

pembangunan

daerah


melalui

peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat.

10
Universitas Sumatera Utara

5.

Alokasi dana pembangunan antar daerah
Alokasi dana ini bisa berasal dari pemerintah maupun swasta. Pada sistem
pemerintahan otonomi maka dana pemerintah akan lebih banyak dialokasikan
ke daerah sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung
lebih rendah. Untuk investasi swasta lebih banyak ditentukan oleh kekuatan
pasar. Dimana keuntungan lokasi yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan
kekuatan yang berperan banyak dalam menark investasi swasta. Keuntungan
lokasi ditentukan oleh biaya transpor baik bahan baku dan hasil produksi
yang harus dikeluarkan pengusaha, perbedaan upah buruh, konsentrasi pasar,
tingkat persaingan usaha dan sewa tanah. Oleh karena itu investai akan

cenderung lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah
pedesaan.

2.1.3

Dampak Ketimpangan Pembangunan
Ketimpangan pembangunan memberikan dampak terhadap daerah dan

masyarakat. Berikut adalah dampak dari ketimpangan pembangunan terhadap
masyarakat dan daerah (Bappenas) :
1.

Banyak wilayah-wilayah yang masih tertinggal dalam pembangunan
Masyarakat yang berada di wilayah tertinggal pada umumnya masih belum
banyak tersentuh oleh program program pembangunan sehingga akses
terhadap pelayan sosial, ekonomi dan politik masih sangat terbatas serta
terisolir dari wilayah sekitar.

11
Universitas Sumatera Utara


Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah tertinggal,
termasuk yang masih dihuni oleh komunitas adat terpencil antara lain :
a. Terbatasnya akses transportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal
dengan wilayah yang relatif maju
b. Kepadatan penduduk relative rendah dan tersebar
c. Kebanyakan wilayah-wilayah ini miskin sumber daya, khususnya sumber
daya alam dan manusia.
d. Belum diprioritaskannya pembangunan di wilayah tertinggal oleh
pemerintah daerah karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan daerah
secara langsung.
e. Belum kuatnya dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayah
wilayah ini
2. Belum berkembangnya wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh
Banyak wilayah yang memiliki produk unggulan dan lokasi strategis belum
dikembangkan secara optimal. Sebenarnya, wilayah strategis dan cepat
tumbuh ini dapat dikembangkan secara lebih cepat, karena memiliki produk
unggulan yang berdaya saing. Jika sudah berkembang, wilayah-wilayah
tersebut diharapkan dapat berperan sebagai penggerak bagi pertumbuhan
ekonomi di wilayah-wilayah sekitarnya yang miskin sumber daya dan masih
terbelakang.
3.

Wilayah pebatasan dan terpencil kondisinya masih terbelakang

12
Universitas Sumatera Utara

Wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar memiliki potensi
sumber daya alam yang cukup besar, serta merupakan wilayah yang sangat
strategis bagi pertahanan dan keamanan negara. Namun demikian,
pembangunan di beberapa wiayah perbatasan masih sangat jauh tertinggal
dibandingkan dengan pembangunan di wilayah negara tetangga. Kondisi
sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah ini umumnya jauh lebih
rendah dibandingkan dengan kondisi sosial ekonomi warga negara tetangga.
Hal ini mengakibatkan timbulnya berbagai kegiatan ilegal di daerah
perbatasan yang dikhawatirkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan
kerawanan sosial. Akibatnya, wilayah-wilayah perbatasan dianggap bukan
merupakan wilayah prioritas pembangunan oleh pemerintah. Sementara itu
daerah-daerah pedalaman yang ada juga sulit berkembang terutama karena
lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau.
4.

Kesenjangan pembangunan antar kota dan desa
Ketimpangan pembangunan mengakibatkan adanya kesenjangan antara
daerah perkotaan dengan pedesaan, yang diakibatkan oleh : (a) investasi
ekonomi cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan; (b) kegiatan ekonomi
di wilayah perkotaan masih banyak yang tidak sinergis dengan kegiatan
ekonomi di pedesaan; (c) peran kota yang diharapakan dapat mendorong
perkembangan pedesaan, justru memberikan dampak yang merugikan
pertumbuhan pedesaan.

5.

Pengangguran, kemiskinan dan rendahnya kualitas sumber daya manusia

13
Universitas Sumatera Utara

Dampak ini merupakan dampak turunan dari kurangnya lapangan kerja di
suatu daerah bersangkutan, yang disebabkan kurangnya investasi baik dari
pemerintah maupun swasta, dan mengakibatkan terjadinya pengangguran.
Jika pengangguran terjadi maka biasanya disusul terjadinya kemiskinan.
Kemiskinan mengakibatkan kualitas sumber daya manusia (generasi
berikutnya) cenderung rendah, karena terbatasnya kemampuan untuk
menikmati pendidikan akibat rendahnya pendapatan masyarakat bahkan
cenderung tidak ada sama sekali, sehingga masyarakat lebih fokus untuk
memenuhi kebutuhan yang paling krusial yaitu makanan dan minuman.
2.2

Disribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan merupakan salah satu indikator pemerataan.

Pemerataan akan terwujud jika proporsi pendapatan yang dikuasai oleh
sekelompok masyarakat tertentu sama besarnya dengan proporsi kelompok
tersebut. Distribusi pendapatan pada dasarnya merupakan suatu konsep mengenai
penyebaran pendapatan di antara setiap orang atau rumah tangga dalam
masyarakat. Konsep pengukuran distribusi pendapatan dapat ditunjukkan oleh dua
konsep pokok, yaitu konsep ketimpangan absolut dan konsep ketimpangan relatif.
Ketimpangan absolut merupakan konsep pengukuran ketimpangan yang
menggunakan parameter dengan suatu nilai mutlak. Ketimpangan relatif
merupakan konsep pengukuran ketimpangan distribusi pendapatan yang
membandingkan besarnya pendapatan yang diterima oleh seseorang atau
sekelompok anggota masyarakat dengan besarnya total pendapatan yang diterima
oleh masyarakat secara keseluruhan (Ahluwalia dalam Sukirno, 1985).

14
Universitas Sumatera Utara

Para ahli ekonomi pada umumnya membedakan antara dua ukuran
utamadari distribusi pendapatan baik untuk tujuan analisis maupun kuantitatif,
yaitu:
a.

Distribusi pendapatan perorangan
Distribusi pendapatan perorangan memberikan gambaran tentang distribusi
pendapatan yang diterima oleh individu atau rumah tangga. Dalam konsep
ini, yang diperhatikan adalah seberapa banyak pendapatan yang diterima oleh
seseorang tidak dipersoalkan cara yang dilakukan oleh individu atau rumah
tangga yang mencari penghasilan tersebut berasal dari bekerja atau sumber
lainnya. Selain itu juga diabaikan sumber-sumber pendapatan yang
menyangkut lokasi (apakah di wilayah desa atau kota) dan jenis
pekerjaannya.

b.

Distribusi pendapatan fungsional
Distribusi pendapatan fungsional mencoba menerangkan bagian dari
pendapatan yang diterima oleh tiap faktor produksi. Faktor produksi tersebut
terdiri dari tanah atau sumberdaya alam, tenaga kerja, dan modal. Pendapatan
didistribusikan sesuai dengan fungsinya seperti buruh menerima upah,
pemilik tanah memerima sewa dan pemilik modal memerima bunga serta
laba. Jadi setiap faktor produksi memperoleh imbalan sesuai dengan
kontribusinya pada produksi nasional, tidak lebih dan tidak kurang.
Distribusi pendapatan yang didasarkan pada pemilik faktor produksi ini

akan berkaitan dengan proses pertumbuhan pendapatan, adapun pertumbuhan

15
Universitas Sumatera Utara

pendapatan dalam masyarakat yang didasarkan pada kepemilikan faktor produksi
dapat dikelompokkan menjadi dua macam:
1.

Pendapatan karena hasil kerja yang berupa upah atau gaji dan besarnya
tergantung tingkat produktifitas.

2.

Pendapatan dari sumber lain seperti sewa, laba, bunga, hadiah atau warisan.
Sayangnya relevansi teori fungsional tidak mempengaruhi pentingnya
peranan dan pengaruh kekuatan kekuatan di luar pasar (faktor-faktor nonekonomis) misalnya kekuatan dalam menentukan faktor-faktor harga
(Todaro, 2003).

2.2.1

Indikator Mengukur Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan mencerminkan merupakan merata atau timpangnya

pembagian hasil pembangunan dikalangan penduduknya. Ada beberapa cara yang
dijadikan sebagai indikator untuk mengukur kemerataan distrbusi pendapatan,
yaitu:
1.

Kurva lorenz

Gambar 2.1
Kurva Lorenz

16
Universitas Sumatera Utara

Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional
dikalangan lapisan-lapisan penduduk. Kurva ini terletak di dalam sebuah bujur
sangkar yang sisi tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan,
sedangkan sisi datarnya mewakili persentase kumulatif penduduk. Kurvanya
sendiri ditempatkan pada diagonal utama bujur sangkar tersebut. Semakin jauh
jarak kurva Lorenz dari garis diagonal (yang merupakan garis pemerataan
sempurna), maka semakin timpang atau tidak merata distribusi pendapatannya.
2. Indeks Gini atau Rasio Gini
Gini Ratio merupakan parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat
ketimpangan distribusi pendapatan

yang angkanya berkisar antara nol

(pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna). Semakin kecil
nilai Gini Ratio, mengindikasikan semakin meratanya distribusi pendapatan,
sebaliknya semakin besar nilai Gini Ratio mengindikasikan distribusi pendapatan
yang semakin timpang (senjang) antar kelompok penerima pendapatan. Secara
khusus dapat diartikan bahwa jika nilai Gini Ratio sebesar 0 berarti terdapat
kemerataan sempurna atau setiap orang memperoleh pendapatan yang sama persis
dan jika nilai Gini Ratio sebesar 1 berarti terjadi ketidakmerataaan sempurna
dimana satu orang mampu memiliki serta menguasai seluruh pendapatan total di
suatu daerah, sementara lainnya tidak memperoleh pendapatan sama sekali.
Rumus untuk menghitung Gini Ratio :
k

G=1-∑
i-1

Pi ( Qi + Qi – 1)
10.000

dengan:

17
Universitas Sumatera Utara

G
Qi
Qi-1
Pi
Pi-1
K

= Gini Ratio
= Persentase rumah tangga pada kelas pendapatan ke-i
= Persentase rumah tangga pada kelas pendapatan ke-i-1
= Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i
= Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i-1
= Banyaknya kelas pendapatan

Nilai gini ratio antara 0 dan 1, yaitu:
G < 0,3 adalah ketimpangan rendah
0,3 ≤ G ≤ 0,5 adalah ketimpangan sedang
G > 0,5 adalah ketimpangan tinggi
3.

Kriteria Bank Dunia
Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan

nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yakni 40% penduduk
berpendapatan rendah, 40% penduduk berpendapatan menengah, serta 20%
penduduk berpendapatan tinggi. Ketidakmerataan atau ketimpangan distribusi
pendapatan dinyatakan lunak atau dianggap cukup merata apabila 40% penduduk
yang berpendapatan rendah menikmati lebih dari 17% pendapatan nasional.
Ketimpangan dianggap sedang atau moderat jika 40% penduduk miskin
menikmati antara 12%-17% pendapatan nasionla. Sedangkan jika 40% penduduk
berpendapatan rendah menikmati kurang dari 12% pendapatan nasional, maka
kesenjangan atau ketimpangan dikatakan parah atau tinggi.
2.3

Konsep Kesejahteraan
Menurut Undang-undang No 11 Tahun 2009, Kesejahteraan Sosial adalah

kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar
dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat
melaksanakan fungsi sosialnya. Permasalahan kesejahteraan sosial yang

18
Universitas Sumatera Utara

berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa ada warga negara yang belum
terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh
pelayanan sosial dari negara. Akibatnya, masih ada warga negara yang
mengalami hambatan pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani
kehidupan secara layak dan bermartabat.
Todaro (2003) mengemukakan bahwa kesejahteraan masyarakat menengah
kebawah dapat direpresentasikan dari tingkat hidup masyarakat. Tingkat hidup
masyarakat ditandai dengan terentaskannya dari kemiskinan, tingkat kesehatan
yang lebih baik, perolehan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan tingkat
produktivitas masyarakat.
Hasil Survei Biaya Hidup (SBH) tahun 1989 yang dilakukan oleh BPS
membuktikan bahwa semakin besar jumlah anggota keluarga semakin besar
proporsi pengeluaran keluarga untuk makanan dari pada untuk bukan makanan.
Ini berarti semakin kecil jumlah anggota keluarga, semakin kecil pula bagian
pendapatan untuk kebutuhan makanan, dengan demikian jumlah anggota keluarga
secara langsung mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga.
Menurut Drewnoski (1974) dalam Bintarto (1989), melihat konsep
kesejahteraan dari tiga aspek, yaitu;
1.

Dilihat pada tingkat perkembangan fisik (somatic status), seperti nutrisi,
kesehatan, harapan hidup, dan sebagianya

2.

Dilihat

pada

tingkat

mentalnya,

(mental/educational

status)

seperti

pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya
3.

Dilihat pada integrasi dan kedudukan sosial.

19
Universitas Sumatera Utara

Dalam memahami realitas tingkat kesejahteraan, pada dasarnya terdapat
beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan tingkat kesejahteraan
antara lain : (1) social ekonomi rumah tangga atau masyarakat, (2) struktur
kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar kegiatan produksi rumah tangga
atau masyarakat, (3) potensi regional (sumberdaya alam, lingkungan dan
insfrastruktur) yang mempengaruhi perkembangan struktur kegiatan produksi, dan
(4) kondisi kelembagaan yang membentuk jaringan kerja produksi dan pemasaran
pada skala lokal, regional dan global (Taslim, 2004).
2.3.1

Indikator Tingkat Kesejahteraan
Menurut Kolle (1974) dalam Bintaro (1989), indikator kesejahteraan

dilihat dari beberapa aspek kehidupan yaitu :
1.

Segi materi, seperti kualitas rumah, bahan pangan dan sebagianya;

2.

Segi fisik, seperti kesehatan tubuh, lingkungan alam, dan sebagainya;

3.

Segi mental, seperti fasilitas pendidikan, lingkungan budaya, dan sebagainya;

4.

Segi spiritual, seperti moral, etika, keserasian penyesuaian, dan sebagainya.
Menurut BPS (2005) dalam penelitian Eko Sugiharto (2007) indikator

yang digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan ada delapan, yaitu
pendapatan, konsumsi atau pengeluaran keluarga, keadaan tempat tinggal, fasilitas
tempat tinggal, kesehatan anggota keluarga, kemudahan mendapatkan pelayanan
kesehatan, kemudahan memasukkan anak kejenjang pendidikan, dan kemudahan
mendapatkan fasilitas transportasi.
1. Indikator pendapatan digolongkan menjadi 3 item yaitu:
a. Tinggi (> Rp. 10.000.000)

20
Universitas Sumatera Utara

b. Sedang (Rp. 5.000.000)
c. Rendah (< Rp. 5.000.000)
2. Indikator pengeluaran digolongkan menjadi 3 item yaitu:
a. Tinggi (> Rp. 5.000.000)
b. Sedang (Rp. 1.000.000 – Rp. 5.000.000)
c. Rendah (< Rp. 1.000.000)
3. Indikator tempat tinggal yang dinilai ada 5 item yaitu jenis atap rumah,
dinding, status kepemilikan rumah, lantai dan luas lantai. Dari 5 item tersebut
kemudian akan digolongkan ke dalam 3 golongan yaitu:
a. Permanen
Kriteria permanen ditentukan oleh kualitas dinding, atap dan lantai.
Bangunan rumah permanen adalah rumah yang dindingnya terbuat dari
tembok/kayu kualitas tinggi, lantai terbuat dari ubin/keramik/kayu kualitas
tinggi dan atapnya terbuat dari seng/genteng/sirap/asbes (BPS, 2012).
b. Semi Permanen
Rumah semi permanen adalah rumah yang dindingnya setengah
tembok/bata

tanpa

plaster/kayu

kualitas

rendah,

lantainya

dari

ubin/semen/kayu kualitas rendah dan atapnya seng/genteng/sirap/asbes
(BPS, 2012)
c. Non Permaen
Sedangkan rumah tidak permanen adalah rumah yang dindingnya sangat
sederhana (bambu/papan/daun) lantainya dari tanah dan atapnya dari daun-

21
Universitas Sumatera Utara

daunan atau atap campuran genteng/seng bekas dan sejenisnya (BPS,
2012).
4. Indikator fasilitas tempat tinggal yang dinilai terdiri dari 12 item, yaitu
pekarangan, alat elektronik, pendingin, penerangan, kendaraan yang dimiliki,
bahan bakar untuk memasak, sumber air bersih, fasilitas air minum, cara
memperoleh air minum, sumber air minum, fasilitas MCK, dan jarak MCK
dari rumah. Dari 12 item tersebut kemudian akan digolongkan ke dalam 3
golongan yaitu:
a. Lengkap
b. Cukup
c. Kurang
5. Indikator kesehatan anggota keluarga digolongkan menjadi 3 item yaitu:
a. Bagus (< 25% sering sakit)
b. Cukup (25% - 50% sering sakit)
c. Kurang (> 50% sering sakit)
6. Indikator kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan terdiri dari 5 item
yaitu jarak rumah sakit terdekat, jarak toko obat, penanganan obat-obatan,
harga obat-obatan, dan alat kontrasepsi. Dari 5 item tersebut kemudian akan
digolongkan ke dalam 3 golongan yaitu:
a. Mudah
b. Cukup
c. Sulit

22
Universitas Sumatera Utara

7. Indikator kemudahan memasukkan anak ke jenjang pendidikan terdiri dari 3
item yaitu biaya sekolah, jarak ke sekolah, dan proses penerimaan. Dari 3 item
tersebut kemudian akan digolongkan ke dalam 3 golongan yaitu:
a. Mudah
b. Cukup
c. Sulit
8. Indikator kemudahan mendapatkan transportasi terdiri 3 item, yaitu ongkos
kendaraan, fasilitas kendaraan, dan status kepemilikan kendaraan. Dari 3 item
tersebut kemudian akan di digolongkan ke dalam 3 golongan yaitu:
a. Mudah
b. Cukup
c. Sulit
2.4

Penelitian Terdahulu
Makmur, dkk (2011) berjudul Ketimpangan Distribusi Pendapatan Rumah

Tangga Masyarakat Desa di Kecamatan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar.
Dari hasil analisis menggunakan koefisien gini (gini ratio) dapat disimpulkan
bahwa ketimpangan yang terjadi di Kecamatan Peukan Bada adalah ketimpangan
sedang untuk pekerjaan penduduk sebagai petani dan buruh dan ketimpangan
rendah untuk pekerjaan penduduk sebagai pedagang dan pns. apabila dilihat
secara keseluruhan sampel diperoleh indeks gini sebesar 0,386, ini artinya pada
kabupaten Peukan Bada mempunyai nilai ketimpangan distribusi pendapatannya
sedang.

23
Universitas Sumatera Utara

Hasyim (2012) melakukan penelitian tentang analisis tingkat ketimpangan
pendapatan dan kemiskinan petani padi (Studi Kasus: Desa Sidodadi Ramunia,
Kecamatan

Beringin,

Kabupaten

Deli

Serdang).

Hasil

penelitian

menunjukkanbahwa tingkat ketimpangan petani padi sawah berdasarkan nilai Gini
Ratio sebesar 0,32 berada dalam kategori rendah, dan menurut kriteria World
Bank juga berada dalam kategori rendah. Sumber pendapatan petani padi sawah di
luar usaha tani padi sawah cukup beragam dimana pendapatan dari usaha tani padi
sawah memberikan kontribusi terbesar terhadap total pendapatan yaitu, sebesar
67,56%. Tingkat kemiskinan menurut kriteria BPS (2011) tidak terdapat petani
padi sawah yang berada pada kategori miskin, dan petani padi sawah yang berada
pada kategori miskin menurut UMR (2012) sebanyak 37,21%.

Fahmi Husein (2015) melakukan penelitian dengan judul Analisis
Ketimpangan Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan di Kota Medan
(Studi Kasus: Kecamatan Medan Deli). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tingkat ketimpangan di Kecamatan Medan Deli relatif sedang dengan
menggunakan perhitungan rasio Gini yakni sebesar 0,32. Berdasarkan kriteria
Bank Dunia tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di Kecamatan Medan Deli
tergolong rendah. Berdasarkan kriteria Badan Pusat Statistik bahwa masyarakat di
Kecamatan Medan Deli memiliki tingkat kesejahteraan sedang.

Penelitian

sejenis

dilakukan

oleh

Albert

Tarigan

dengan

judul

Ketimpangan Distribusi Pendapatan dan Kesejahteraan Masyarakat di Kota
Medan (Stusi Kasus Kec. Medan Labuhan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

24
Universitas Sumatera Utara

tingkat ketimpangan di Kecamatan Medan Labuhan relatif sedang dengan
menggunakan perhitungan rasio Gini yakni sebesar 0,39. Berdasarkan kriteria
Bank Dunia, tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di Kecamatan Medan
Labuhan tergolong sedang. Berdasarkan kriteria Badan Pusat Statistik, masyarakat
di Kecamatan Medan Labuhan memiliki tingkat kesejahteraan yang sedang.

2.5

Kerangka Konseptual
Secara skematis, kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut :
Pendapatan
Rendah

Pendapatan
Sedang

Ketimpangan

Tingkat Kesejahteraan

Distribusi Pendapatan
Tinggi, Sedang, Rendah

Pendapatan Tinggi

Gambar 2.2
Kerangka Konseptual

25
Universitas Sumatera Utara