French Fries dan Karya Seni
UJIAN TENGAH SEMESTER
SENI DAN PASAR
BALAI LELANG INDONESIA
disusun oleh:
Ganjar Gumilar
17008501
PROGRAM STUDI SENI RUPA
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2012
French Fries dan atau Karya Seni: Tinjauan Singkat Sosiologis
oleh: Ganjar Gumilar (17008501) – Seni dan Pasar
Prawacana, seni yang belakangan menjadi komoditi
Komodifikasi seni, akan selalu menjadi wacana yang menarik dalam
perkembangan seni rupa di Indonesia, atau bahkan dalam ruang lingkup yang
lebih besar, seni rupa global. Perkembangan peradaban manusia pada era postmodern yang kemudian mengantarkan dunia hampir seara serentak pada sistem
ekonomi neo-liberal memicu kegiatan investasi antar-nasional, pasar bebas, dan
kapitalisme. Perkembangan ini pun menjangkiti seni rupa. Label harga tinggi pada
karya seni yang notabene memiliki nilai estetik-filosofis yang baik belakangan ini
bergeser, nilai ekonomis sebuah karya tidak serta merta ditentukan dari nilai
estetika atau filosofinya saja, namun ditentukan pula oleh beberapa vaiabel yang
berkaitan dengan singgungan sosiologisnya. Seni kemudian tidak selalu
memenuhi tugasnya sebagai representasi peradaban, tapi juga marak dijadikan
sebagai media investasi. Fenomena ini tidak selalu berkonotasi buruk, namun
sudah sewajaranya seni kemudian mengikuti perkembangan semangat zaman
yang terus berubah. Dan pada titik ini, komodifikasi terhadap hampir apapun yang
disetir oleh kapitalisme sebagai motor penggerak utamanya.
Sekelebat tentang medan seni, dengan pasar sebagai fokus utama.
Howard S. Becker, seorang institusionalis di bidang seni dengan tegas
menjabarkan medan seni rupa kontemporer global dalam prespektif yang sangat
pragmatis. Beliau menyatakan bahwa sangat wajar ketika kemudian karya seni
diperlakukan sebagai sebuah komoditi. Menurut Dirk Boll, dalam buku Art for
Sale, Seni sebagai komditi tentunya memerlukan promosi dalam proses
penjualannya. Proses promosi kemudian dilakukan dengan mediasi pameran yang
diinisiasi oleh kurator dan galeri, kemudian terjadi penjualan karya secara
langsung kepada art dealer atau galeris (konvensi medan seni memang
melegitimasi direct purchase oleh art dealer) di pasar primer, yang kemudian
dilelang di balai lelang dengan sasaran kolektor-kolektor seni sebagai pasaran
sekundernya.
Pembahasan menarik terjadi pada pasaran sekunder, atau pelelangan karya dalam
sebuah auction house. Dalam kasus ini, pelambungan harga karya seni sering
dlikaukan pelaku-pelaku pasar dengan motif (biasanya) uang dibelakangnya.
Fenomena ini di Indonesia sering disebut sebagai ‘penggorengan’ karya seni.
Becker menyatakna bahwa…
…composed of all the people involved in the production,
commission,
preservation,
promotion, criticism,
and
sale
of art. Howard S. Becker describes it as "the network of people
whose cooperative activity, organized via their joint knowledge of
conventional means of doing things, produce(s) the kind of art
works that art world is noted for" (Becker, 1982).
Menimbang pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa berlaku sebuah konvesi
dalam laju pergerakan pihak-pihak pembentuk pranata seni rupa, sehingga
hierarki para pihak adalah sejajar atau sederajat. Satriana Didiek Isnanta
menambahkan bahwa ketika terjadi proses pelebaran wilayah kekuasaan dari salah
satu pihak yang membentuk pranata seni, akan menyebabkan distorsi dalam
medan seni rupa (tinjau Jurnal Seni Rupa ISI Volume 6 tahun 2010). Hal ini
pernah terjadi dalam fenomena boom seni lukis di Indonesia yang baru saja
berakhir pada tahu 2008.
Boom Seni Lukis Indonesia, perubahan wajah medan seni rupa
Lebih jauh lagi Didiek mengungkapkan bahwa pada fenomena boom seni lukis,
Terdapat pelebaran kekuasaan pada galeris dan kurator. Galeri dan kurator
menjelma menjadi agen kebenaran (Walker, Sarah Chaplin, 1997). Bahkan proses
inisiasi seniman ke dalam medan seni rupa juga melalui pihak galeri dan kurator
(Zolberg, 1990). Didiek menduga bahwa latar belakang ketimpangan tersebut
adalah dari aspek manajemen setap galeri. Manajemen, secara umum dipahami
sebagai: Hal-hal yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya secara
efektif (baik manusia, alam, maupun uang), atau, Sekelompok orang / pihak yang
bertanggung jawab dalam manajemen sebuah organisasi, perencanaan serta
realisasi gerakan-gerakannya. (David A. Statt, 1991). Maka dari itu, manajemen
seni atau galeri adalah proses manajemen yang dlakukan untuk membantu
penggagas (pengelola) untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien, dalam
kasus ini pameran seni rupa (Sanento, 2004). Efektif dalam pengertian bahwa
karya-karya yang dipamerkan memenuhi kebutuhan seniman maupun pasar yang
mengikutinya. Sedangkan efisien, berujung pada penggunaan sumber daya seara
rasional, hemat, dan tepat sasaran. Beliau pun menyatakan bahwa motif
pengadaan pameran pada era boom seni lukis yang juga menjadi tujuan dibuatnya
pameran adalah komersialisasi karya seni.
Kurator, dalam periode ini berkembang menjadi agen aktif pameran seni, berjalan
parallel dengan fenomana kekuratoran global, yakni munculnya kurator-kurator
independen yang bertugas menjadi kurator pameran, tidak bekerja di bawah
institusi sebuah museum. Perwacanaan pameran pun lebih berada di tangan
kurator. Konsep karya seniman kemudian bersinggungan dengan wacana pameran
secara kontekstual. Kekuratoran pun pun kemudian mensubordinasi keberadaan
kritik yang dalam medan seni rupa bertugas sebagai pihak yang memberikan
koreksi. Didiek menambahkan pula bahwa dominasi kurator tidak lepas dari
aliansinya dengan kolektor-kolektor seni.
Boom seni lukis yang melibatkan rotasi uang yang cukup besar di dalamnya
melahirkan fenomena ‘menggoreng lukisan’, yakni upaya melambungkan harga
karya seni. Kolektor yang mengkhususkan pada perlakuan karya seni sebagai
investasi, dengan bantuan kurator, berupaya untuk membuat trend-trend baru
(dengan media perwacanaan pameran) di dalam pasar, dengan memunculkan
karya-karya seniman muda dan kemudian membelinya di pasar primer (galeri,
atau art dealer) dan kemudian menjualnya di balai lelang dengan harga yang lebih
tinggi. Didiek menyimpulkan bahwa pihak yang paling diuntungkan oleh Boom
Seni Lukis adalah kolektor, kurator, art dealer, dan galeri. Sedangkan seniman
berada di bawah naungan kurator dan kolektor baik secara politis maupun
ekonomi. Seniman muda kemudian dijadikan sebagai objek eksploitasi (Didiek,
2010)
Pada pasaran sekunder, di Indonesia, seniman hanya berhak gigit jari atas
melambungnya harga karya yang seyogyanya diproduksi oleh beliau. Keuntungan
dalam kasus ini berada pada pihak penggerak pasar diluar seniman. Semenjak
seniman dijadikan objek eksploitasi, kerugian baik secara mental maupun
finansian pun melanda para pekerja seni ini. Seyogyanya terdapat sebuah regulasi
yang dianggap tidak tetlalu merugikan seniman dalam proses pergerakan balai
lelang, Dirk Boll menyatakan bahwa terdapat sebuah kebijakan droit de suite
dalam proses pelelangan karya seni di beberapa negara Eropa, yakni kebijakan
bahwa seniman berhak mengambil sekian persen (tergantung kebijakan
pemerintah) dari selisih kenaikan harga di balai lelang, namun sayang, kebijakan
ini tidak berlaku di Indonesia. Fenomena menarik terjadi di Yogyakarta ketika
beberapa seniman yang menjadi korban’penggorengan’ karya seni kemudian
mendapat beban mental yang amat luar biasa karena terikat kontrak dengan
beberapa kolektor yang tidak mengizinkan mereka untuk berkarya seni selama
beberapa periode, bahkan beberapa diantaranya (maaf) menderita regresi mental.
Penutup
Sebelumnya telah diterangkan bahwa terdapat anomaly dalam medan seni rupa
kontemporer Indonesia yang sangat disayangkan merugikan beberapa pihak,
dengan tidak memihak siapapun, seyogyanmya perlu diadakna sebuah perenungan
untuk merevisi ketimpangan-ketimpangan yang terjadi. Seni rupa kontemporer
yang amat cair dan bebas memang hampir menghalakan segala cara baik dalam
proses kreatif seniman mapun dalam proses perwacanaan seni ke depannya, atau
di wilayah yang lebih praktis sampai kepada proses distribusi, dan preservasi
karya. Namun, alangkah baiknya ketika setiap pelaku medan seni rupa mulai
mempercayai bahwa seni masih memiliki itikad baik sebagai representasi
peradaban, dan juga alat pencari kebenaran, yang agak bersebrangan dengan
motif-motif berkonotasi negatif tertentu.
SENI DAN PASAR
BALAI LELANG INDONESIA
disusun oleh:
Ganjar Gumilar
17008501
PROGRAM STUDI SENI RUPA
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2012
French Fries dan atau Karya Seni: Tinjauan Singkat Sosiologis
oleh: Ganjar Gumilar (17008501) – Seni dan Pasar
Prawacana, seni yang belakangan menjadi komoditi
Komodifikasi seni, akan selalu menjadi wacana yang menarik dalam
perkembangan seni rupa di Indonesia, atau bahkan dalam ruang lingkup yang
lebih besar, seni rupa global. Perkembangan peradaban manusia pada era postmodern yang kemudian mengantarkan dunia hampir seara serentak pada sistem
ekonomi neo-liberal memicu kegiatan investasi antar-nasional, pasar bebas, dan
kapitalisme. Perkembangan ini pun menjangkiti seni rupa. Label harga tinggi pada
karya seni yang notabene memiliki nilai estetik-filosofis yang baik belakangan ini
bergeser, nilai ekonomis sebuah karya tidak serta merta ditentukan dari nilai
estetika atau filosofinya saja, namun ditentukan pula oleh beberapa vaiabel yang
berkaitan dengan singgungan sosiologisnya. Seni kemudian tidak selalu
memenuhi tugasnya sebagai representasi peradaban, tapi juga marak dijadikan
sebagai media investasi. Fenomena ini tidak selalu berkonotasi buruk, namun
sudah sewajaranya seni kemudian mengikuti perkembangan semangat zaman
yang terus berubah. Dan pada titik ini, komodifikasi terhadap hampir apapun yang
disetir oleh kapitalisme sebagai motor penggerak utamanya.
Sekelebat tentang medan seni, dengan pasar sebagai fokus utama.
Howard S. Becker, seorang institusionalis di bidang seni dengan tegas
menjabarkan medan seni rupa kontemporer global dalam prespektif yang sangat
pragmatis. Beliau menyatakan bahwa sangat wajar ketika kemudian karya seni
diperlakukan sebagai sebuah komoditi. Menurut Dirk Boll, dalam buku Art for
Sale, Seni sebagai komditi tentunya memerlukan promosi dalam proses
penjualannya. Proses promosi kemudian dilakukan dengan mediasi pameran yang
diinisiasi oleh kurator dan galeri, kemudian terjadi penjualan karya secara
langsung kepada art dealer atau galeris (konvensi medan seni memang
melegitimasi direct purchase oleh art dealer) di pasar primer, yang kemudian
dilelang di balai lelang dengan sasaran kolektor-kolektor seni sebagai pasaran
sekundernya.
Pembahasan menarik terjadi pada pasaran sekunder, atau pelelangan karya dalam
sebuah auction house. Dalam kasus ini, pelambungan harga karya seni sering
dlikaukan pelaku-pelaku pasar dengan motif (biasanya) uang dibelakangnya.
Fenomena ini di Indonesia sering disebut sebagai ‘penggorengan’ karya seni.
Becker menyatakna bahwa…
…composed of all the people involved in the production,
commission,
preservation,
promotion, criticism,
and
sale
of art. Howard S. Becker describes it as "the network of people
whose cooperative activity, organized via their joint knowledge of
conventional means of doing things, produce(s) the kind of art
works that art world is noted for" (Becker, 1982).
Menimbang pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa berlaku sebuah konvesi
dalam laju pergerakan pihak-pihak pembentuk pranata seni rupa, sehingga
hierarki para pihak adalah sejajar atau sederajat. Satriana Didiek Isnanta
menambahkan bahwa ketika terjadi proses pelebaran wilayah kekuasaan dari salah
satu pihak yang membentuk pranata seni, akan menyebabkan distorsi dalam
medan seni rupa (tinjau Jurnal Seni Rupa ISI Volume 6 tahun 2010). Hal ini
pernah terjadi dalam fenomena boom seni lukis di Indonesia yang baru saja
berakhir pada tahu 2008.
Boom Seni Lukis Indonesia, perubahan wajah medan seni rupa
Lebih jauh lagi Didiek mengungkapkan bahwa pada fenomena boom seni lukis,
Terdapat pelebaran kekuasaan pada galeris dan kurator. Galeri dan kurator
menjelma menjadi agen kebenaran (Walker, Sarah Chaplin, 1997). Bahkan proses
inisiasi seniman ke dalam medan seni rupa juga melalui pihak galeri dan kurator
(Zolberg, 1990). Didiek menduga bahwa latar belakang ketimpangan tersebut
adalah dari aspek manajemen setap galeri. Manajemen, secara umum dipahami
sebagai: Hal-hal yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya secara
efektif (baik manusia, alam, maupun uang), atau, Sekelompok orang / pihak yang
bertanggung jawab dalam manajemen sebuah organisasi, perencanaan serta
realisasi gerakan-gerakannya. (David A. Statt, 1991). Maka dari itu, manajemen
seni atau galeri adalah proses manajemen yang dlakukan untuk membantu
penggagas (pengelola) untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien, dalam
kasus ini pameran seni rupa (Sanento, 2004). Efektif dalam pengertian bahwa
karya-karya yang dipamerkan memenuhi kebutuhan seniman maupun pasar yang
mengikutinya. Sedangkan efisien, berujung pada penggunaan sumber daya seara
rasional, hemat, dan tepat sasaran. Beliau pun menyatakan bahwa motif
pengadaan pameran pada era boom seni lukis yang juga menjadi tujuan dibuatnya
pameran adalah komersialisasi karya seni.
Kurator, dalam periode ini berkembang menjadi agen aktif pameran seni, berjalan
parallel dengan fenomana kekuratoran global, yakni munculnya kurator-kurator
independen yang bertugas menjadi kurator pameran, tidak bekerja di bawah
institusi sebuah museum. Perwacanaan pameran pun lebih berada di tangan
kurator. Konsep karya seniman kemudian bersinggungan dengan wacana pameran
secara kontekstual. Kekuratoran pun pun kemudian mensubordinasi keberadaan
kritik yang dalam medan seni rupa bertugas sebagai pihak yang memberikan
koreksi. Didiek menambahkan pula bahwa dominasi kurator tidak lepas dari
aliansinya dengan kolektor-kolektor seni.
Boom seni lukis yang melibatkan rotasi uang yang cukup besar di dalamnya
melahirkan fenomena ‘menggoreng lukisan’, yakni upaya melambungkan harga
karya seni. Kolektor yang mengkhususkan pada perlakuan karya seni sebagai
investasi, dengan bantuan kurator, berupaya untuk membuat trend-trend baru
(dengan media perwacanaan pameran) di dalam pasar, dengan memunculkan
karya-karya seniman muda dan kemudian membelinya di pasar primer (galeri,
atau art dealer) dan kemudian menjualnya di balai lelang dengan harga yang lebih
tinggi. Didiek menyimpulkan bahwa pihak yang paling diuntungkan oleh Boom
Seni Lukis adalah kolektor, kurator, art dealer, dan galeri. Sedangkan seniman
berada di bawah naungan kurator dan kolektor baik secara politis maupun
ekonomi. Seniman muda kemudian dijadikan sebagai objek eksploitasi (Didiek,
2010)
Pada pasaran sekunder, di Indonesia, seniman hanya berhak gigit jari atas
melambungnya harga karya yang seyogyanya diproduksi oleh beliau. Keuntungan
dalam kasus ini berada pada pihak penggerak pasar diluar seniman. Semenjak
seniman dijadikan objek eksploitasi, kerugian baik secara mental maupun
finansian pun melanda para pekerja seni ini. Seyogyanya terdapat sebuah regulasi
yang dianggap tidak tetlalu merugikan seniman dalam proses pergerakan balai
lelang, Dirk Boll menyatakan bahwa terdapat sebuah kebijakan droit de suite
dalam proses pelelangan karya seni di beberapa negara Eropa, yakni kebijakan
bahwa seniman berhak mengambil sekian persen (tergantung kebijakan
pemerintah) dari selisih kenaikan harga di balai lelang, namun sayang, kebijakan
ini tidak berlaku di Indonesia. Fenomena menarik terjadi di Yogyakarta ketika
beberapa seniman yang menjadi korban’penggorengan’ karya seni kemudian
mendapat beban mental yang amat luar biasa karena terikat kontrak dengan
beberapa kolektor yang tidak mengizinkan mereka untuk berkarya seni selama
beberapa periode, bahkan beberapa diantaranya (maaf) menderita regresi mental.
Penutup
Sebelumnya telah diterangkan bahwa terdapat anomaly dalam medan seni rupa
kontemporer Indonesia yang sangat disayangkan merugikan beberapa pihak,
dengan tidak memihak siapapun, seyogyanmya perlu diadakna sebuah perenungan
untuk merevisi ketimpangan-ketimpangan yang terjadi. Seni rupa kontemporer
yang amat cair dan bebas memang hampir menghalakan segala cara baik dalam
proses kreatif seniman mapun dalam proses perwacanaan seni ke depannya, atau
di wilayah yang lebih praktis sampai kepada proses distribusi, dan preservasi
karya. Namun, alangkah baiknya ketika setiap pelaku medan seni rupa mulai
mempercayai bahwa seni masih memiliki itikad baik sebagai representasi
peradaban, dan juga alat pencari kebenaran, yang agak bersebrangan dengan
motif-motif berkonotasi negatif tertentu.