Analisis fakta dan sarana cerita

ANALISIS FAKTA DAN SARANA CERITA

Memenuhi tugas pengganti UTS matakuliah Apresiasi Prosa
yang diampu oleh Bapak Maulfi Syaiful Rizal, M.Pd.

Oleh
Nurul Hidayati
NIM 125110706111001

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Maret 2013

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra adalah hasil pekerjaan seni kreatif pengarang yang
menampilkan kehidupan di dalamnya, yang tidak hanya berisi imajinasi tetapi
juga realita sosial. Karya sastra contohnya prosa memiliki beberapa jenis, seperti
cerpen, novel, drama, dan novelet. Karya sastra seperti novel dan cerpen menurut

pandangan tradisional memiliki dua unsur pembangun yaitu unsur intrinsik dan
ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra dari
dalam karya sastra itu sendiri. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur
yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung memengaruhi
bangunan karya sastra tersebut.
Stanton (2012:20-47) membedakan unsur pembangun novel atau karya
fiksi ke dalam tiga macam yaitu fakta, tema dan sarana pengucapan. Fakta
meliputi karakter atau penokohan, plot (alur), dan setting (latar) ketiganya secara
fakta dan nyata bisa dibayangkan peristiwa dan eksistensinya. Tema adalah dasar
cerita atau makna yang disampaikan pengarang, yang bersinonim dengan ide
cerita. Pengucapan atau sarana sastra (literary devices) adalah teknik yang
digunakan pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita agar tercapai
pola-pola yang bermakna. Sarana sastra pada umumnya meliputi sudut pandang,
gaya dan nada, simbolisme, dan ironi. Metode atau sarana pengucapan ini
bertujuan agar pembaca dapat melihat fakta-fakta cerita yang disampaikan
pengarang
Karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk
dapat memahaminya haruslah karya sastra dianalisis (Hill dalam Pradopo,
1995:108). Menganalisis karya sastra berarti memahami fakta-fakta, dan tema
yang menjadi unsurnya. Untuk dapat memahami fakta dan tema tersebut maka

haruslah terlebih dulu dipahami teknik-teknik atau sarana yang digunakan
pengarang menyampaikannya. Dengan demikian menganalisis berarti mamahami
fakta-fakta cerita, tema, dan sarana cerita dalam karya sastra.

1.2 Rumusan Masalah
1.2.1

Fakta cerita apa yang terdapat dalam cerpen “Orde Lama” karya A.A.
Navis?

1.2.2

Sarana cerita apa yang terdapat dalam cerpen “Orde Lama” karya A.A.
Navis?

1.3 Tujuan
1.3.1

Menjelaskan dan menganalisis fakta cerita yang terdapat dalam cerpen
“Orde Lama” karya A.A. Navis.


1.3.2

Menjelaskan dan menganalisis sarana cerita yang terdapat dalam cerpen
“Orde Lama” karya A.A. Navis.

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Fakta Cerita
Stanton (2012:20-47) membedakan unsur pembangun novel atau karya
fiksi ke dalam tiga macam yaitu fakta, tema dan sarana pengucapan. Fakta
meliputi karakter atau penokohan, plot (alur), dan setting (latar), ketiganya
merupakan unsur yang secara nyata atau factual dapat dibayangkan peristiwa dan
eksistensinya dalam prosa fiksi.
2.1.1.1 Alur
Alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita yang
berhubungan sebab akibat (Stanton, 2012:26).
Tahap-tahap perkembangan alur secara rinci dikemukakan oleh Tasrif




(dalam Nurgiantoro, 2010:149) sebagai berikut:
Situation merupakan penggambaran dan pengenalan latar dan tokoh cerita.
Generating Circumstances merupakan tahap pemunculan konflik, dan
peristiwa-peristiwa

yang

menyebabkan

terjadinya

konflik

mulai



dimunculkan.

Rising Action adalah tahap yang memperlihatkan peristiwa-peristiwa yang



mulai memuncak.
Climaks merupakan tahap alur yang memperlihatkan puncak dari peristiwa-



peristiwa yang telah terjadi sejak dari bagian situation.
Denoument tahap alur yang ditandai oleh adanya pemecahan soal dari semua
peristiwa.

2.1.1.2 Latar
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2000:216).
Latar terbagi menjadi tiga kategori, yaitu: tempat, waktu, dan sosial. Yang
dimaksud sebagai latar tempat adalah hal-hal yang berkaitan dengan masalah
geografis, latar waktu berkaitan dengan masalah-masalah historis, dan latar sosial

berhubungan dengan perilaku atau tata cara kehidupan kemasyarakatan, yang

dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup,
cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain.
2.1.1.3 Karaker atau Penokohan
Tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau yang
bertindak atau bersikap dalam berbagai peristiwa dalam cerita. sedangkan
penokohan atau karakter merujuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang
ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh.
2.1.2 Sarana Cerita
Pengertian Sarana Cerita menurut Stanton (2012:46) adalah metode
pengarang memilih dan menyusun detail-detail cerita agar tercapai pola-pola yang
bermakna. Dengan tujuan penggunaan sarana cerita agar pembaca dapat melihat
fakta cerita melalui kacamata tokoh yang dibuat pengarang. Sarana cerita pada
umumnya meliputi judul, sudut pandang, gaya dan nada.
2.1.2.1 Sudut Pandang
Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan
pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai
peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca
(Abram, dalam Nurgiantoro, 2010:248).

Secara garis besar ada dua macam sudut pandang, yakni sudut pandang
orang pertama dan sudut pandang orang ketiga.


Sudut pandang orang pertama yaitu pengarang menempatkan dirinya
sebagai pelaku sekaligus narator dalam cerita. Menggunakan kata ganti
“Aku” atau “Saya”. Walau demikian, sudut pandang ini bisa dibedakan
berdasarkan kedudukan “Aku”. Apakah dia sebagai pelaku utama cerita?
atau hanya sebagai pelaku tambahan yang menuturkan kisah tokoh
lainnya?



Sudut pandang orang ketiga yaitu pengarang menempatkan dirinya sebagai
narator yang berada di luar cerita, atau tidak terlibat dalam cerita. Dalam
sudut pandang ini, narator menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan
menyebut namanya, atau kata gantinya; “dia” atau “ia”. Sudut pandang
orang ketiga dapat dibedakan berdasarkan tingkat kebebasan dan
keterikatan pengarang terhadap cerita. Pada satu pihak, pengarang atau


narator dapat bebas mengungkapkan segala sesuatu yang berhubungan
dengan tokoh “Dia”. Di pihak lain, pengarang atau narator tidak dapat
leluasa menguangkapkan segala hal yang berhubungan dengan tokoh
“Dia”, atau dengan kata lain hanya bertindak sebagai pengamat.
2.1.2.2 Gaya atau Style
Stile pada hakikatnya merupakan teknik, teknik pemilihan ungkapan
kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan
(Nurgiantoro, 2010:277). Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam
menggunakan bahasa. Aspek seperti kerumitan, ritme, panjang pendek kalimat,
detail, humor, kekonkretan, dan banyaknya imaji dan metafora. Campuran dari
berbagai aspek di atas (dengan kadar tertentu) akan menghasilkan gaya (Stantont,
2012:61).
2.1.2.3 Judul
Judul adalah bagian dari total impresi karangan yang diciptakan oleh
pengarangnya. Hubungan judul terhadap keseluruhan cerita secara umum dapat
digambarkan sebagai berikut:


Sebagai pembayang cerita




Berkaitan dengan tema cerita



Berkaitan dengan tokoh cerita yang berupa nama,watak dan sikap



Berkaitan dengan latar, tempat dan waktu



Berkaitan dengan teknik penyelesaian



Sebagai titik tolak antar pelaku




Sering dinyatakan dalam bentuk kiasan atau simbol



Sering dinyatakan dalam bentuk pepatah



Menunjuk suasana

2.2 Analisis Berdasarkan Data

2.2.1 Analisis Fakta Cerita
2.2.1.1 Alur
Alur yang digunakan dalam cerpen “Orde Lama” karya A.A. Navis adalah
alur maju yang dapat dilihat dari analisis dan penjelasan di bawah ini:



Situation merupakan penggambaran dan pengenalan latar dan tokoh
dalam cerita. Penggambaran dan pengenalan latar dalam cerpen “Orde
Lama” adalah bahwa di saat pagi hari di desa di pinggir danau, bunyi
canang digunakan sebagai pemberitahuan atau pengumuman kepada warga
desa dari kepala desa. Seperti yang terlihat dalam kutipan di bawah ini:
Di kala fajar dengan sinarnya mulai mengambang di puncak bukit
sebelah timur danau, bunyi canang pun kedengaran bertalu-talu
menembus telinga penduduk meski tinggal jauh di pinggang bukit.
Canang pemberitahuan dari kepala desa (A.A. Navis, 1976:229).

Penggambaran dan pengenalan tokoh dalam dalam cerpen “Orde Lama”
adalah ketika canang dibunyikan Leman sedang menyiangi ladang cabenya ia
ingat bahwa hari itu hari Jumat tidak diadakan gotong royong karena merupakan
hari pendek karena ada sholat Jumat. Seperti yang terlihat dalam kutipan di bawah
ini:
“Tentu bukan canang gotong royong. Sebab kini hari Jumat,” pikir
Leman selagi menyiangi ladang cabe (A.A. Navis, 1976:229).

Dari analisis di atas dapat dijelaskan bahwa tahap situation yang terdapat
dalam cerpen “Orde Lama” adalah penggambaran dan pengenalan latar di desa
yang menggunakan canang sebagai tanda pemberitahuan dan pengumuman untuk
warga. Leman yang sedang menyiangi ladang cabe mendengar bunyi canang
tersebut tetap tenang, karena pikirnya hari Jumat tidak diadakan gotong royong
maka berarti bunyi canang tersebut bukan tanda pemberitahuan gotong royong
atau pemberitahuan apa pun.


Generating circumstances merupakan tahap pemunculan konflik, dan
peristiwa-peristiwa

yang

menyebabkan

terjadinya

konflik

mulai

dimunculkan. Penggambaran dan pengenalan keadaan Leman yang tenang
ketika mendengar bunyi canang, karena hari Jumat karena berarti bukan
canang pemberitahuan gotong royong yang membuat hatinya lega dan

semakin mantap untuk pergi ke kecamatan meminta surat izin pernikahan
Ramalah anaknya. Seperti yang terlihat dalam kutipan di bawah ini:
.... Leman merasa lega juga. Meski ada canang, ditabuh, pastilah tidak
akan mengganggu rencananya hari itu. Karena hari itu ia bermaksud ke
kecamatan untuk minta surat izin menikahkan Ramalah, anak gadisnya yang
sulung (A.A. Navis, 1976:230).

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa rencana Leman pergi ke
kecamatan untuk meminta surat izin tidak ada gangguan karena hari itu tidak ada
kegiatan gotong royong seperti biasa karena hari Jumat. Terlebih lagi rencana
tersebut menjadi sangat penting dan mendesak. Pikirannya memang hanya berisi
bagaimana caranya agar Ramalah bisa segera menikah. Seperti yang terlihat
dalam kutipan di bawah ini:
... Pernikahan itu harus segera dilaksanakan. Kalau tidak, akan sangat
terlambat jadinya. Laki-laki yang bakal jadi suami Ramalah akan
mempunyai kesempatan untuk berhelah lagi (A.A. Navis, 1976:230).

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa rencana Leman ke kecamatan
sangat penting dan mendesak, kalau tidak, bisa terlambat, dan lelaki yang telah
menghamili Ramalah bisa mungkir dan berkelah lagi untuk tidak menikahi
Ramalah anaknya. Dari kutipan di atas juga dapat diketahui bahwa Leman sebagai
seorang ayah sangat takut jika anaknya nanti melahirkan tanpa suami, dan
cucunya akan lahir tanpa seorang ayah.
Ramalah telah hamil tiga bulan. Sedang laki-laki itu menolak
menikahkannya. Dalihnya, Ramalah tidak perawan lagi sebelum dengan
dia. Tetapi, Ramalah bersikeras, bahwa laki-laki itulah satu-satunya
yang telah menidurinya (A.A. Navis, 1976:230).

Dari kutipan di atas diketahui Ramalah sudah hamil tiga bulan tanpa
suami. Lelaki yang telah menghamilinya tidak mau bertanggung jawab karena
menganggap Ramalah sebelum dengan dia sudah tidak perawan. Sedangkan
Ramalah bersikeras dan mengatakan sebaliknya, bahwa lelaki yang telah tidur
dengannya hanya lelaki itu. Namun ternyata walau pun Ramalah telah bersikeras,
lelaki itu tetap mengatakan tidak mau. Hingga akhirnya ia bersedia menikahi
Ramalah setelah dijanjikan akan dibelikan sepeda, dan boleh hanya menikah tanpa
harus tinggal bersama. Seperti yang terlihat pada kutipan di bawah ini:

... Dijanjikan akan dibelikan sebuah sepeda asal mau menikahi
Ramalah. Sungguh pun begitu, masih ada syarat laki-laki itu lagi. Ia
hanya mau menikahi saja, tapi ia takkan pulang untuk serumah (A.A.
Navis, 1976:230).



Rising action merupakan tahap yang memperlihatkan peristiwa-peristiwa
yang mulai memuncak. Tahap ini ditandai dengan Leman yang ketika
melewati jalanan diteriaki orang agar tidak pergi ke kecamatan karena
akan diadakan razia. Namun Leman yang merasa telah membawa suratsurat keterangan yang cukup tidak takut akan terkena razia, dan tetap
melanjutkan perjalanannnya ke kecamatan. Seperti yang terlihat pada
kutipan di bawah ini:
Di kala matahari telah muncul di puncak bukit. Leman sudah menapaki
jalan raya ke kecamatan. Di lapau simpang desa, ia diteriaki orang agar
Leman jangan ke kecamatan hari itu, karena akan ada razia. Tapi,
Leman tidak peduli. Ia tak perlu takut kena razia. Sebab ia telah punya
surat keterangan yang cukup (A.A. Navis, 1976:230-231).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa Leman yang tidak memperdulikan
teriakan orang yang melarangnya pergi ke kecamatan karena ada razia.
Keinginannya yang terlalu besar dan kuat agar Ramalah bisa menikah hari itu
membuatnya lupa dan tak sadar atau merasa aneh dan ingin bertanya kenapa
orang melarangnnya pergi. Bahkan ketika ia melihat keanehan pada keadaan desa
seperti yang terlihat pada kutipan di bawah ini:
Jalan raya demikian sepi. Tidak seperti biasanya hari Jumat yang jadi
hari pasar di Desa Kapur. Tetapi, itu tidak menjadi pikiran Leman (A.A.
Navis, 1976:231).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa Leman tidak sadar, atau bertanya
kenapa jalan raya begitu sepi, padahal hari Jumat biasanya merupakan hari pasar
desa. Pikirannya yang terlalu fokus pada pernikahan Ramalah, membuatnya tidak
sadar dan memikirkan atau memperhatikan hal lainnya.


Climaxs merupakan tahap alur yang memperlihatkan puncak dari
peristiwa-peristiwa yang telah terjadi sejak dari bagian situation. Tahap ini
ditandai dengan ditangkapnya Leman oleh petugas razia Buta Huruf ketika
sampai di perbatasan desa Kapur. Leman yang memang sejak awal hanya

terfokus pada rencananya ke kecamatan untuk meminta surat izin
menikahkan Ramalah, membuatnya hanya mendengar bunyi canang.
Sedangkan suara ronda yang berseru agar semua orang yang buta huruf
disuruh masuk hutan oleh kepala desa tidak dengarnya. Seperti yang
terlihat pada kutipan di bawah ini:
Dan, kepala desa memerintahkan pada orang ronda. “Bunyikan canang.
Suruh semua orang yang buta huruf masuk hutan.”
Dan, Leman hanya mendengar bunyi canang. Tidak mendengar suara
orang ronda yang berseru. Maka, tiba-tiba saja Leman dicegat di
ambang Desa Kapur oleh petugas yang melakukan razia (A.A. Navis,
1976:232).

Leman yang buta huruf hanya bisa terdiam dan memohon mukjizat pada
Tuhan ketika petugas razia menyuruh bahkan membentaknya untuk membaca. Ia
berteriak dalam hati apa yang terjadi pada Ramalah anaknya. Karena ia tidak bisa
ke kecamatan. Seperti yang terlihat pada kutipan di bawah ini:
“Ya Allah bencana apa yang akan menimpa Ramalah anakku?”
teriaknya dalam hati sambil melirik-lirik kiri kanan mencari celah
lowong tempat lari (A.A. Navis, 1976:232).

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa Leman bingung dan khawatir
pada nasib Ramalah selanjutnya karena ia tidak bisa lari agar bisa pergi ke
kecamatan untuk meminta surat izin menikahkan Ramalah. Terlebih, ia pun sangat
ingin bayi Ramalah nantinya lahir dengan mempunyai seorang ayah yang sah.
Lidahnya menjadi kelu. Bukan hanya karena kecut oleh bentakan itu,
melainkan karena memang ia tidak bisa membaca huruf-huruf yang
ditunjuk petugas itu. Selintas ia ingat Tuhan dan ingin berdoa semoga ia
diberi mukjizat. Tetapi ia tidak tahu doa apa yang harus dibacanya ketika
itu (A.A. Navis, 1976:232).

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa Leman yang memang buta
huruf sangat bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan karena ia tidak
dapat membaca huruf-huruf yang disuruh petugas dan ia tidak dapat pergi ke
kecamatan karena hal itu. Karena kebingungan itu Leman tidak dapat berpikir,
bahkan berdoa pun ia lupa harus berdoa seperti apa.


Denoument merupakan tahap alur yang ditandai oleh adanya pemecahan
masalah dari semua peristiwa. Bagian ini ditandai dengan Leman yang harus
menerima hukuman dari camat mengangkut 40 karung semen dalam waktu

satu minggu ke pintu air yang sedang dibangun di kaki bukit Sarahan.
Tempatnya sangat jauh, yaitu dua jam perjalanan melalui pematang sawah
dan tidak ada jalan atau kendaraan lain yang bisa. Sehingga ia pun harus
membayar orang untuk melakukan hal itu, karena ia tidak mampu
melakukannya sendiri. Sehingga uang untuk membeli sepeda untuk calaon
suami Ramalah akan gagal. Seperti yang terlihat dalam kutipan di bawah ini:
Dan, jatuh pingsan ketika camat memberi ia hukuman mengangkat 40
karung semen dalam waktu seminggu ke pintu air yang tengah dibangun
di kaki bukit Sarahan. Leman jatuh pingsan karena tahu letak pintu air
dua jam perjalanan melalui pematang sawah dan tak ada kendaraan
bisa ke sana. Dan, ia tak bisa mengangkat sendiri. Ia harus mengupah
orang lain. Kalau ia mengupah itu artinya sepeda untuk calon suami
Ramalah tak jadi dibeli (A.A. Navis, 1976:234).

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa Leman sudah tidak dapat
berpikir lagi, hingga akhirnya pingsan. Sepeda yang harusnya dibeli untuk calon
suami Ramalah akan gagal karena hukuman yang diberikan camat sangat berat,
sehingga ia harus mengupah orang untuk melakukannya. Ia akhirnya hanya bisa
menyerahkan nasib Ramalah pada suratan takdir yang telah di berikan Tuhan
padanya. Seperti yang terkihat dalam kutipan di bawah ini:
Tak ada jalan lain baginya kini, selain menyerahkan Ramalah pada
suratan nasibnya sendiri (A.A. Navis, 1976:234).

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa Leman telah berputus asa. Walau pun
awalnya, ia memiliki keinginan yang sangat besar dan kuat untuk menikahkan
Ramalah sang anak, sampai ia bersedia menyetujui persyaratan yang diajukan
calon suami Ramalah yang memberatkan dan merugikan dirinya dan keluarganya.
Namun pada akhirnya manusia hanya bisa berencana Tuhanlah yang menentukan.
Karena walau pun rencana dan keinginan Leman sangat besar kuat, ternyata
Tuhan memilki rencana yang lain.
Ketika presiden mengumumkan bahwa Indonesia telah bebas Buta Huruf.
Lahirlah seorang bayi dari rahim Ramalah pada usia kandungan yang masih tujuh
bulan. Namun penyesalan dan rasa bersalah Leman kembali muncul karena
bingung nantinya ketika anak itu menanyakan “siapa ayahnya?”. Seperti yang
terlihat pada kutipan di bawah ini:

Dan, ketika presiden mengumumkan Indonesia telah bebas BH pada
Hari Proklamasi seperti yang direncanakan, berteriaklah seorang bayi
yang baru saja keluar dari rahim ibunya. Kelahirannya terlalu cepat dua
bulan. Tetapi, Leman merasa lebih tua sepuluh tahun lagi, ketika
memikirkan pertanyaan si bayi kelak; “siapa ayahnya?” (A.A. Navis,
1976:235).

2.2.1.2 Latar


Latar Tempat


Puncak bukit sebelah timur danau
Di kala fajar dengan sinarnya mulai mengambang di puncak bukit
sebelah timur danau, bunyi canang pun kedengaran bertalu-talu
menembus telinga penduduk meski tinggal jauh di pinggang bukit.
Canang pemberitahuan dari kepala desa (A.A. Navis, 1976:229).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa latar yang digunakan pengarang
adalah sebuah tempat di sekitar bukit dan danau yang menunjukkan cerpen
menceritakan tentang kehidupan di desa yang masih menggunakan canang untuk
melakukan pemberitahuan atau pengumuman kepada warga desa.


Ladang cabe
“Tentu bukan canang gotong royong. Sebab kini hari Jumat,” pikir
Leman selagi menyiangi ladang cabe (A.A. Navis, 1976:229).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa latar ladang cabe digunakan
mengingat latar tempat yang digunakan pengarang adalah bukit dan danau yang
merupakan tempat pertanian yang bagus. Sehingga penggunaan ladang cabe
sebagai salah satu latar tempat dalam cerpen merupakan keputusan yang benar
dan tepat.


Jalan raya
Leman sudah menapaki jalan raya ke kecamatan (A.A. Navis, 1976:230231).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa Leman yang tinggal di desa pinggir
atau sekitar bukit dan danau akan pergi ke kecamatan, dan baru berjalan sampai
jalan raya. Penggunaan latar jalan raya ke kecamatan karena kecamatan di sebuah
daerah biasanya berada di pinggir jalan raya atau jalan umum yang besar.
Sehingga tidak mungkin pengarang menggunakan latar Leman menapaki jalan

trotoar atau setapak untuk menuju ke kecamatan. Penggunaan latar ini juga
berhubungan dengan alur di dalam cerpen.


Desa Kapur
Jalan raya demikian sepi. Tidak seperti biasanya hari Jumat yang jadi
hari pasar di Desa Kapur (A.A. Navis, 1976:231).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa penggunaan latar nama Desa Kapur
karena berkaitan dengan konflik atau masalah dalam cerpen mengenai
pemberantasan Buta Huruf yang membuat rencana Leman gagal. Razia buta huruf
yang dilakukan dengan cara petugas menuliskan huruf-huruf dengan kapur di
papan untuk dibaca warga yang terkena razia.


Kaki bukit Sarahan
Dan, jatuh pingsan ketika camat memberi ia hukuman mengangkat 40
karung semen dalam waktu seminggu ke pintu air yang tengah dibangun
di kaki bukit Sarahan(A.A. Navis, 1976:234).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa penggunaan latar kaki bukit Sarahan
karena berkaitan dengan alur atau rangkaian peristiwa dalam cerpen yang
mengambil latar di pinggir atau sekitar bukit dan danau sehingga pemberian
hukuman mengangkut semen ke kaki bukit Sarahan menunjukkan kesesuaian
dengan alur yang terdapat dalam cerpen.


Latar Waktu


Pagi hari
Di kala fajar dengan sinarnya mulai mengambang di puncak bukit
sebelah timur danau, bunyi canang pun kedengaran bertalu-talu
menembus telinga penduduk meski tinggal jauh di pinggang bukit.
Canang pemberitahuan dari kepala desa (A.A. Navis, 1976:229).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa latar waktu untuk menjawab
pertanyaan “kapan? terjadi peristiwa dalam cerpen adalah salah satunya pagi hari
ketika canang dibunyikan sebagai pertanda pemberitahuan untuk warga dari
kepala desa. Penggunaan latar pagi hari karena pemberitahuan gotong royong atau
apa saja biasanya dilakukan pada pagi hari sebelum warga melakukan aktivitas
sehari-hari mereka. Sehingga warga dapat mengetahui dan melakukan
pemberitahuan tersebut sebelum melaksanakan atau menentukan aktivas atau
rencana mereka hari itu.



Hari Jumat
“Tentu bukan canang gotong royong. Sebab kini hari Jumat,” pikir
Leman selagi menyiangi ladang cabe (A.A. Navis, 1976:229).

Dari kutipan di atas di atas diketahui bahwa penggunaan latar hari Jumat
karena hari itu tidak dilakukan kegiatan gotong royong seperti hari biasanya yang
berkaitan dengan alur atau rangkaian peristiwa yang tersebab-akibat dalam
cerpen.


Hamil tiga bulan
Ramalah telah hamil tiga bulan. Sedang laki-laki itu menolak
menikahkannya. Dalihnya, Ramalah tidak perawan lagi sebelum dengan
dia. Tetapi, Ramalah bersikeras, bahwa laki-laki itulah satu-satunya
yang telah menidurinya (A.A. Navis, 1976:230).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa penggunaan waktu hamil Ramalah
tiga bulan karena berkaitan dengan alur atau rangkaian peristiwa yaitu konflik
atau masalah karena ia telah hamil tiga bulan namun belum memiliki suami.


Siang hari
Di kala matahari telah muncul di puncak bukit. Leman sudah menapaki
jalan raya ke kecamatan (A.A. Navis, 1976:230-231).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa penggunaan latar siang hari karena
setelah perjalanan dari rumahnya menuju ke kecamatan Leman telah sampai di
jalan raya yang menunjukkan keterkaitan dengan alur atau rangkaian peristiwa
yang tersebab-akibat dalam cerpen.


Satu minggu
Dan, jatuh pingsan ketika camat memberi ia hukuman mengangkat 40
karung semen dalam waktu seminggu ke pintu air yang tengah dibangun
di kaki bukit Sarahan (A.A. Navis, 1976:234).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa penggunaan latar waktu seminggu
untuk menunjukkan penokohan pada camat seperti yang terdapat dalam cerpen.


Hari Proklamasi (17 Agustus)
Dan, ketika presiden mengumumkan Indonesia telah bebas BH pada Hari
Proklamasi seperti yang direncanakan, berteriaklah seorang bayi yang
baru saja keluar dari rahim ibunya. Kelahirannya terlalu cepat dua bulan.
Tetapi, Leman merasa lebih tua sepuluh tahun lagi, ketika memikirkan
pertanyaan si bayi kelak; “siapa ayahnya?” (A.A. Navis, 1976:235).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa pengumuman presiden Indonesia
bebas BH pada Hari Proklamasi berjalan sesuai rencana merujuk pada alur atau
rangkaian peristiwa yang tersebab- akibat dalam cerpen.


Dua bulan dan sepuluh tahun lagi
Kelahirannya terlalu cepat dua bulan. Tetapi, Leman merasa lebih tua
sepuluh tahun lagi, ketika memikirkan pertanyaan si bayi kelak; “siapa
ayahnya?” (A.A. Navis, 1976:235).

Dari kutipan di atas diketahui penggunaan latar dua bulan kelahiran lebih
cepat karena untuk menegaskan konflik atau penyelesaian konflik, dan sepuluh
tahun lagi merujuk pada alur atau rangkaian peristiwa kausalitas dalam cerpen.


Latar Sosial


Bunyi canang sebagai tanda pemberitahuan
Di kala fajar dengan sinarnya mulai mengambang di puncak bukit
sebelah timur danau, bunyi canang pun kedengaran bertalu-talu
menembus telinga penduduk meski tinggal jauh di pinggang bukit.
Canang pemberitahuan dari kepala desa (A.A. Navis, 1976:229).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa keadaan kemasyarakat dalam cerpen
menggunakan bunyi canang untuk pemberitahuan kepada warga desa.


Gotong royong
“Tentu bukan canang gotong royong. Sebab kini hari Jumat,” pikir
Leman selagi menyiangi ladang cabe (A.A. Navis, 1976:229).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa kebiasaan dalam kehidupan
bermasyarakat dalam cerpen adalah gotong royong yang selalu dilakukan kecuali
hari Jumat.


Ramalah telah hamil tiga bulan. Sedang laki-laki itu menolak
menikahkannya. Dalihnya, Ramalah tidak perawan lagi sebelum dengan
dia. Tetapi, Ramalah bersikeras, bahwa laki-laki itulah satu-satunya yang
telah menidurinya (A.A. Navis, 1976:230).

Dari kutipan di atas diketahui sikap dan perilaku tokoh yang menyimpang
karena telah hamil sebelum menikah. Keadaan kehidupan kemasyarakatan yang
salah dan melanggar adat istiadat serta keyakinan agama.


.... Leman merasa lega juga. Meski ada canang, ditabuh, pastilah tidak
akan mengganggu rencananya hari itu. Karena hari itu ia bermaksud ke
kecamatan untuk minta surat izin menikahkan Ramalah, anak gadisnya
yang sulung (A.A. Navis, 1976:230).

Dari kutipan di atas diketahui keadaan kehidupan kemasyarakatan yang
harus meminta izin ke kecamatan yaitu KUA terlebih dahulu sebelum menikah.
Diskriminasi terhadap orang kecil



“Kau yang menyulitkan aku, menyulitkan bupati, menyulitkan gubernur.
Malah menyulitkan presiden, tahu? Tambah 10 karung semen lagi,” kata
camat sebelum Leman habis menceritakan kesulitannya (A.A. Navis,
1976:234).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa peraturan, sistem atau kebijakan yang
dilakukan atau dibuat pemerintah pada akhirnya hanya akan menyulitkan orangorang kecil, karena yang menjadi pejabat atau yang memilki kedudukan tinggi
orang-orang yang tidak mau repot dan tidak bijaksana. Yang mereka pentingkan
hanya pencitraannya di mata publik (masyarakat) atau atasan tetap baik.
Dari kutipan di atas juga terlihat jelas bahwa yang seharusnya kesalahan
pemerintah, dilimpahkan pada orang kecil. Merupakan kesalahan pemerintah
Leman buta huruf. Maka kewajiban pemerintah untuk memberantasnya, bukan
sebaliknya, menyembunyikan orang yang buta huruf dengan menyuruhnya masuk
hutan hanya untuk mendapatkan sebuah pencitraan yang baik di mata atasan dan
publik (masyarakat).
Baiklah. Pokoknya Ramalah pernah menikah, meski kemudian ia akan
menjanda seumur hidupnya. Soalnya, anak yang dalam perut Ramalah
telah punya ayah yang sah (A.A. Navis, 1976:230).



Dari kutipan di atas diketahui kedaan kehidupan kemasyarakatan seorang
tokoh yang mempunyai berpandangan sempit. Yaitu yang terpenting Ramalah
pernah menikah dan punya suami, dan anak dalam rahimnya nanti punya ayah
yang sah walau hanya sekedar formalitas terhadap masyarakat. Ia tidak berpikir ke
depan bagaimana keadaan hidup Ramalah dan anaknya jika tanpa suami dan ayah
untuk anaknya.
2.2.1.3 Karakter atau Penokohan


Leman


Ayah dari Ramalah
.... Leman merasa lega juga. Meski ada canang, ditabuh, pastilah tidak
akan mengganggu rencananya hari itu. Karena hari itu ia bermaksud ke
kecamatan untuk minta surat izin menikahkan Ramalah, anak gadisnya
yang sulung (A.A. Navis, 1976:230).



Penyayang
Baiklah. Pokoknya Ramalah pernah menikah, meski kemudian ia akan
menjanda seumur hidupnya. Soalnya, anak yang dalam perut Ramalah
telah punya ayah yang sah (A.A. Navis, 1976:230).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa Leman secara tersirat memberi
makna ia menyayangi anaknya, sebab ia tak ingin Ramalah melahirkan nanti
tanpa pernah berstatus menikah, dan anaknya juga harus memiliki ayah yang sah.
Bahkan karena sayangnya ia rela dan bersedia menerima persyaratan yang
memberatkan dan merugikan keluarganya, asalkan lelaki itu bersedia menikahi
Ramalah. Seperti yang terlihat pada kutipan di bawah ini:
... Dijanjikan akan dibelikan sebuah sepeda asal mau menikahi Ramalah.
Sungguh pun begitu, masih ada syarat laki-laki itu lagi. Ia hanya mau
menikahi saja, tapi ia takkan pulang untuk serumah (A.A. Navis,
1976:230).

Dari kutipan diketahui persyaratan yang diberikan calon suami Ramalah
sangat merugikan keluarga Leman. Lelaki itu selain mendapatkan sepeda
nantinya, juga hanya menikah tanpa harus hidup dan menafkahi Ramalah dan
anaknya sesuai dengan tanggung jawabnya sebagai suami dan ayah.


Bertanggung jawab pada keluarga (anak)
.... Leman merasa lega juga. Meski ada canang, ditabuh, pastilah tidak
akan mengganggu rencananya hari itu. Karena hari itu ia bermaksud ke
kecamatan untuk minta surat izin menikahkan Ramalah, anak gadisnya
yang sulung (A.A. Navis, 1976:230).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa Leman merupakan orang tua yang
bertanggung pada anaknya. Ia mengurus semua keperluan untuk pernikahan
Ramalah anaknya dengan sungguh-sungguh dan ikhlas karena rasa tanggung
jawabnya pada keluarga.


Patuh pada peraturan
Kata ulama yang menjadi ikutan Leman, yang berkewajiban menikahkan
anak perempuan ialah bapaknya. Kadi hanya sebagai saksi saja.
***
Tetapi, pernikahan demikian tidak menurut aturan. Maka, kini tiba-tiba
saja Leman merasakan, bahwa aturan bisa juga menyulitkan orang.
Sulit atau tidak, ia mesti ke Kantor Urusan Agama hari itu juga (A.A.
Navis, 1976:231).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa Leman yang walau pun sadar dan
merasakan peraturan yang menyulitkan, tetapi karena memang itu peraturan dan
harus ditaati, sulit atau tidak tetap harus dilakukan dan dijalani.
Bodoh (buta huruf)



Lidahnya menjadi kelu. Bukan hanya karena kecut oleh bentakan itu,
melainkan karena memang ia tidak bisa membaca huruf-huruf yang
ditunjuk petugas itu. Selintas ia ingat Tuhan dan ingin berdoa semoga ia
diberi mukjizat. Tetapi ia tidak tahu doa apa yang harus dibacanya ketika
itu (A.A. Navis, 1976:232).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa Leman merupakan warga yang bodoh
karena masih buta huruf.
Teguh pendirian



Baiklah. Pokoknya Ramalah pernah menikah, meski kemudian ia akan
menjanda seumur hidupnya. Soalnya, anak yang dalam perut Ramalah
telah punya ayah yang sah (A.A. Navis, 1976:230).
Sulit atau tidak, ia mesti ke Kantor Urusan Agama hari itu juga (A.A.
Navis, 1976:231).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa begitu teguh pendirian dan keinginan
Leman untuk menikahkan Ramalah hari itu, karena takut calon suami Ramalah
mungkir jika pernikahan tidak dilaksanakan hari itu seperti yang terlihat pada
kutipan di bawah ini:
... Pernikahan itu harus segera dilaksanakan. Kalau tidak, akan sangat
terlambat jadinya. Laki-laki yang bakal jadi suami Ramalah akan
mempunyai kesempatan untuk berhelah lagi (A.A. Navis, 1976:230).



Ramalah


Anak Leman
.... Leman merasa lega juga. Meski ada canang, ditabuh, pastilah tidak
akan mengganggu rencananya hari itu. Karena hari itu ia bermaksud ke
kecamatan untuk minta surat izin menikahkan Ramalah, anak gadisnya
yang sulung (A.A. Navis, 1976:230).



Teguh pendirian
Ramalah telah hamil tiga bulan. Sedang laki-laki itu menolak
menikahkannya. Dalihnya, Ramalah tidak perawan lagi sebelum dengan
dia. Tetapi, Ramalah bersikeras, bahwa laki-laki itulah satu-satunya yang
telah menidurinya (A.A. Navis, 1976:230).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa Ramalah berpendirian bahwa lelaki
yang telah menidurinya hanya lelaki itu, walau pun lelaki mengatakan sebaliknya
bahwa Ramalah sudah tidak perawan sebelum dengan dia. Namun di dalam
kutipan di atas disebutkan bahwa Ramalah tetap bersikeras bahwa hanya lelaki
itu yang telah menidurinya.


Laki-laki


Calon suami Ramalah
... Pernikahan itu harus segera dilaksanakan. Kalau tidak, akan sangat
terlambat jadinya. Laki-laki yang bakal jadi suami Ramalah akan
mempunyai kesempatan untuk berhelah lagi (A.A. Navis, 1976:230).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa laki-laki yang disebutkan dalam
kutipan di atas adalah calon suami Ramalah.


Tidak bertanggung jawab
... Pernikahan itu harus segera dilaksanakan. Kalau tidak, akan sangat
terlambat jadinya. Laki-laki yang bakal jadi suami Ramalah akan
mempunyai kesempatan untuk berhelah lagi (A.A. Navis, 1976:230).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa calon suami Ramalah bukan lelaki
yang bertanggung karena setelah membuat Ramalah hamil, ia tidak mau
menikahinya dengan alasan sudah tidak perawan sebelum dengan dia. Seperti
yang terlihat dalam kutipan di bawah ini:
Ramalah telah hamil tiga bulan. Sedang laki-laki itu menolak
menikahkannya. Dalihnya, Ramalah tidak perawan lagi sebelum dengan
dia. Tetapi, Ramalah bersikeras, bahwa laki-laki itulah satu-satunya yang
telah menidurinya (A.A. Navis, 1976:230).



Kepala Desa


Licik
Dan, kepala desa memerintahkan pada orang ronda. “Bunyikan canang.
Suruh semua orang yang buta huruf masuk hutan” (A.A. Navis,
1976:232).

Dari kutipan di atas diketahui betapa liciknya kepala desa. Ketika razia
buta huruf dilakakukan ia menyuruh orang membunyikan canang dan ronda
semua orang buta huruf masuk hutan. Padahal razia itu dilakukan untuk kebaikan

dan kemajuan Indonesia sendiri. Sehingga jika masih terdapat orang buta huruf
haruslah diberantas, bukan malah disembunyikan.


Camat


Egois
Dan, jatuh pingsan ketika camat memberi ia hukuman mengangkat 40
karung semen dalam waktu seminggu ke pintu air yang tengah
dibangun di kaki bukit Sarahan. Leman jatuh pingsan karena tahu letak
pintu air dua jam perjalanan melalui pematang sawah dan tak ada
kendaraan bisa ke sana. Dan, ia tak bisa mengangkat sendiri. Ia harus
mengupah orang lain. Kalau ia mengupah itu artinya sepeda untuk
calon suami Ramalah tak jadi dibeli (A.A. Navis, 1976:234).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa sebagai seorang pemimpin, camat
terlalu berlebihan dalam memberikan hukuman pada Leman. Walau pun ia buta
huruf dan hal tersebut membuat malu gubernur, bupati, camat, dan kepala desa.
Tentu hal tersebut bukan murni kesalahan Leman yang tidak mendengar suara
ronda, tetapi juga kesalahan guberbur, bupati, camat, dan kepala desa yang ingin
menyembunyikan kenyataan bahwa masih banyak orang buta huruf. Buta huruf
yang dialami Leman seharusnya diberantas. Namun sebaliknya, karena hal itu
Leman harus menanggung hukuman berat dari camat.
Padahal sebelumnya camat telah sanggup dalam tiga bulan Leman tidak
buta huruf lagi. Seperti yang terlihat dari kutipan di bawah ini:
Musyawarah singkat yang dilakukan oleh pejabat-pejabat:
yang
mengikuti jalan razia itu memutuskan bahwa buta huruf yang masih ada
pada Leman harus diberantas. Tuga itu diberikan pada camat dan akan
diawasi oleh bupati. Dan, camat menyanggupi, bahwa dalam waktu tiga
bulan, Leman tidak buta huruf lagi (A.A. Navis, 1976:234).

Selain itu, tidak adanya kebijaksanaan dalam diri camat membuatnya
memberikan hukuman tersebut pada Leman.
2.1.2

Sarana Cerita

2.1.2.1 Sudut pandang
Sudut pandang yang digunakan dal cerpen “Orde Lama” karya A.A. Navis
adalah sudut pandang orang mahatahu karena Pengarang atau narator
menggunakan nama dan kata ganti orang ketiga yaitu “ia” dan mengetahui segala
hal tentang tokoh-tokohnya, peristiwa, dan tindakan, termasuk motif yang
melatarbelakanginya. Seperti yang terlihat pada kutipan di bawah ini:

Dan, jatuh pingsan ketika camat memberi ia hukuman mengangkat 40
karung semen dalam waktu seminggu ke pintu air yang tengah
dibangun di kaki bukit Sarahan. Leman jatuh pingsan karena tahu letak
pintu air dua jam perjalanan melalui pematang sawah dan tak ada
kendaraan bisa ke sana. Dan, ia tak bisa mengangkat sendiri. Ia harus
mengupah orang lain. Kalau ia mengupah itu artinya sepeda untuk
calon suami Ramalah tak jadi dibeli (A.A. Navis, 1976:234).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa pengarang

menggunakan nama

dalam menyebutkan tokohnya yaitu Leman atau kata ganti orang ketiga seperti
“Ia” dan pengarang juga mampu menceritakan sesuatu baik yang bersifat fisik,
yaitu keadaan fisik atau tenaga Leman yang tidak mampu mengangkat karung
semen tersebut sendiri sehingga ia harus membayar orang lain.
Di kala fajar dengan sinarnya mulai mengambang di puncak bukit
sebelah timur danau, bunyi canang pun kedengaran bertalu-talu
menembus telinga penduduk meski tinggal jauh di pinggang bukit.
Canang pemberitahuan dari kepala desa (A.A. Navis, 1976:229).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa pengarang mampu menceritakan
sesuatu yang bersifat diindera yaitu bunyi canang tanda pemberitahuan dari kepala
desa.
Baiklah. Pokoknya Ramalah pernah menikah, meski kemudian ia akan
menjanda seumur hidupnya. Soalnya, anak yang dalam perut Ramalah
telah punya ayah yang sah. – Leman menegaskan dalam hatinya, ketika
laki-laki itu mengajukan syarat tambahan itu (A.A. Navis, 1976:230).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa pengarang mampu menceritakan
sesuatu yang bahkan hanya terjadi dalam hati dan pikiran tokoh seperti suara hati
Leman yang menegaskan menerima syarat yang diajukan calon suami Ramalah.
Karena yang terpenting Ramalah pernah menikah, dan anak dalam rahimnya nanti
memiliki ayah yang sah.
“Kau yang menyulitkan aku, menyulitkan bupati, menyulitkan gubernur.
Malah menyulitkan presiden, tahu? Tambah 10 karung semen lagi,” kata
camat sebelum Leman habis menceritakan kesulitannya (A.A. Navis,
1976:234).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa pengarang mampu menceritakan
sesuatu bahkan yang berasal dari tokoh lain. Kutipan di atas memperlihatkan
pengarang yang mengetahui dialog yang diucapkan tokoh lain yaitu camat.

Dari analisis kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa pengarang yang
menggunakan teknik sudut pandang orang ketiga mahatahu yang mana pengarang
menggunakan nama dalam menyebutkan tokoh seperti Leman. Pengarang juga
mampu menceritakan sesuatu baik yang bersifat fisik, dapat diindera, maupun
sesuatu yang hanya terjadi dalam hati dan pikiran tokoh, bahkan lebih dari satu
tokoh.
2.1.2.2 Style
Style bahasa yang digunakan pengarang dalam menceritakan adalah
bahasa yang denotatif atau lugas, namun karena ini merupakan karya fiksi unsur
estetisnya yang ditonjolkan pengarang tidak melupakan penggunaan bahasabahasa yang konotatif unsur penonjolan unsur estetisnya.
Jalan raya demikian sepi. Tidak seperti biasanya hari Jumat yang jadi
hari pasar di Desa Kapur (A.A. Navis, 1976:231).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa style yang digunakan adalah bahasa
yang cenderung lugas seperti pada kutipan di atas. Dari kata-kata di atas tidak
terdapat kata yang memiliki makna konotatif. Kutipan di atas hanyalah salah satu
contoh kutipan dalam cerpen yang cenderung menggunakan bahasa yang lugas.
Karena hampir semuanya menggunakan bahasa yang lugas.
Kulit wajah gubernur yang kehitam-hitaman menjadi kelabu karena naik
pitam, ketika Leman digiring orang ke tempat para pejabat mengawasi
razia itu (A.A. Navis, 1976:232).

Dari kutipan di atas diketahui walau pun secara garis besar cerpen “Orde
Lama” cenderung menggunakan style yang berupa bahasa-bahasa yang lugas.
Namun terdapat penggunaan bahasa-bahasa yang bermakna konotatif, salah
satunya ketika gubernur marah karena terdapat seorang warga yang buta huruf
yaitu Leman yang digambarkan atau diceritakan dengan wajah yang berubah
kelabu karena naik pitam.
2.1.2.3 Judul
Judul “Orde Lama” yang dipilih pengarang dikarenakan sebagai penunjuk
suasana di dalam cerita. Suasana pemerintahan Orde Lama yang otoriter idak jauh
berbeda dengan suasana ketika cerpen ini dibuat pada masa Orde Baru yang juga
otoriter. Seperti yang terlihat pada kutipan di bawah ini:

Semenjak desa sekitar danau itu dibebaskan dari pasukan PRRI, hampir setiap
hari penduduk dikerahkan bergotong royong. Kalau tidak memeperbaiki jalan,
tentu menebas pohon-pohon pisang di sekitar perkampungan, krena pohon
pisang dapat dijadikan perlindungan oleh pasukan PRRI jika menyerang desa
(A.A. Navis, 1976:229).

Dari kutipan di atas diketahui bahwa waktu ketika masyarakat masih takut
dan penurut pada peraturan pemerintah yang otoriter. Hal ini juga terlihat ketika
akan diadakan razia buta huruf. Warga begitu mematuhi perintah untuk masuk ke
hutan jika masih buta huruf seperti yang diperintahkan kepala desa. Seperti yang
terlihat pada kutipan di bawah ini:
Dan, kepala desa memerintahkan pada orang ronda. “Bunyikan canang.
Suruh semua orang yang buta huruf masuk hutan.” (A.A. Navis,
1976:232).

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65