Kemungkinan Sebuah Otonomi Sejarah Moder

Kemungkinan Sebuah Otonomi Sejarah Modern di Asia Tenggara
John R. W.Smail
Secara umum diterima bila sejarah adalah bagian dari budaya dan seorang
sejarawan adalah anggota dari masyarakat, karenanya, dalam ungkapan Croce, satusatunya sejarah yang benar adalah sejarah kontemporer. Bila diikuti dari sini bahwa saat
terjadi perubahan besar dalam pandangan kontemporer, pastinya terdapat perubahan besar
dalam historiografi, yang mana pandangan tersebut tidak melulu dari masa kini tapi juga
masa lampau yang ikut berubah.
Jika perubahan dalam pandangan kontemporer sangat ekstrim dan cepat, kita dapat
berkesimpulan adanya krisis dalam historiografi. Ini adalah contoh dari sejarah Asia
Tenggara masa kini, dimana dalam 40 atau 50 tahun belakangan terjadi perubahan besar
dalam situasi sosial dan budaya dan 50 tahun atau kurang ke belakang terdapat perubahan
yang lebih besar dalam struktur politik dengan munculnya negara baru dan berkuasa
dimana mereka sebelumnya adalah anggota koloni.
Badai di historiografi Asia Tenggara telah meledak dengan cepat. Pada mulanya
dimulai tahun 1930 saat sejarawan dan sosiolog Belanda, J. C. van Leur meluncurkan
serangan retorikanya pada sejarah ortodoks kolonial dari, terutama, Indonesia di abad 17:
“…Tetapi baik Speelman dan Kompeni menjadi bangkit di Indonesia dengan
sebuah usaha keras dari kekuatan yang ada. Mengapa, lalu, cahaya tersebut tidak
banyak jatuh di wilayah tersebut? Mengapa itu hanya dilihat sebagai antagonis:
Mengapa itu semua hanya menjadi sangat abu-abu dan tidak terbedakan?”
dan, yang lebih penting, dalam tulisannya yang lain memberi petunjuk pada pandangan

sesatnya pada sebuah pembangkitan keheranan yang jelas dari otonomi sejarah “wilayah
Asia Tenggara”.
Pada masanya dia tidak banyak mendengarkan pada: kata-kata yang tidak enak
tetapi mematikan yang sekarang digunakan untuk mendeskripsikan apa yang dia serang,
“Eropa-sentris”, tidak muncul hingga 1948 dan tidak mendapat perhatian yang luas hingga
publikasi History of South-East Asia oleh D. G. E. Hall di tahun 1955.
Bagaimanapun juga pandangan yang baru ini, meskipun, saya kira hampir semua—
mungkin semua—sejarawan tertarik dengan Asia Tenggara sekarang menolak dalil dari
sejarah kolonial murni dan dengan berbagai macam tingkatan antusiasme dan pendirian
sekarang mendukung idealisasi dari sejarah “Asia-Sentris” dari Asia Tenggara. Perubahan

dalam sudut pandang, meskipun, tidak peduli bagaimana hasratnya mereka bersorak-sorai,
adalah urusan yang menyakitkan dan membingungkan serta baru saja dimulai. Krisis ini
sangat dekat dengan kita.
Kebingungan yang terlihat jelas dapat ditemukan dalam istilah dimana diskusi
tentang krisis historiografi ini berjalan, terlebih istilah “Eropa-Sentris” dan “Asia-Sentris”.
Bagian terbesar dari makalah ini akan dikhususkan pada pemeriksaan kritis yang wajar dari
berbagai segi dimana istilah ini digunakan, baik eksplisit maupun implisit. Melalui
pemeriksaan ini, saya harap dapat mendemonstrasikan kesimpulan pasti tentang bagaimana
kita dapat atau seharusnya mendekati penulisan sejarah Asia Tenggara modern. Untuk

lebih mempermudah, saya akan menggunakan kasus sejarah Indonesia selruhnya, meski
analisis ini dimaksudkan untuk diterapkan secara umum untuk sejarah Asia Tenggara
secara keseluruhan.
Terdapat satu pengertian dimana frasa “Eropa-Sentris” telah digunakan yang mana
secara filosofis sangat mendasar dimana ini harus diperhatikan, dimana jika permasalahan
yang mana ini meningkat dan tidak dapat diselesaikan maka tidak ada alasan lagi untuk
memperoses lebih jauh dengan argumen ini. Ini adalah perasaan dimana orang Eropa
memiliki penglihatan Eropa-sentris dengan definisi karena dia dibesarkan dalam budaya
Eropa dan membaginya dengan dunia. Ini adalah pengertian yang digunakan oleh Profesor
John Bastin dalam makalahnya yang terkini saat dia menulis (meringkas beberapa
keterangan dari Pieter Geyl) yang mana “…tidak peduli seberapa baiknya maksud dari
sejarawan Barat untuk meninggalkan pandangan Eropa-sentris, dia tidak akan sepenuhnya
melarikan diri dari masa lalunya, dari adat kebiasannya”. Dapat dilihat dari sini bila Bastin
menyangkal kemungkinan sejarah Asia-sentris ditulis oleh orang non-Asia, tetapi ini
adalah bukti kalau dia tidak berani lebih jauh, karena beberapa kalimat lagi dia lalu
menulis “Ini…terlihat bagi saya untuk membuat pembatasan keras untuk kemungkinan
sejarawan Barat dapat dengan sukses menginterpretasi sejarah (Asia Tenggara) dari sudut
pandang orang Asia”. Namun demikian, kita mempunyai tantangan yang sangat serius.
Ini adalah argument yang masuk akal. Tetapi ini sangat jelas diaplikasikan secara
sama pada kesulitan yang dihadapi oleh sejarawan Eropa dalan usahanya untuk mengerti

sejarah Inca, atau sejarah Mesir, atau tentu saja sejarah Eropa minggu kemarin. Apakah
Bastin secara mudah membangkitkan masalah umum dari pengetahuan sejarah dalam
kasus khusus dari Sejarah Asia Tenggara? Jika demikian, posisinya secara teoritis dapat
dipertahankan, tetapi tidak menghasilkan kontribusi praktis. Kita dapat, jika kita ingin,

mengabaikan hak mereka untuk berbicara tentang hasil mereka sebagai “Asia-sentris”
tetapi sejarawan Barat akan terus melanjutkan studi sejarah Asia Tenggara. Mereka akan
dengan mudah mengekspresikan penemuan mereka dalam konsep asli kedalam alam
pemikiran mereka. Masalahnya akan muncul seperti sebelumnya: Konsep apa, sudut
pandang apa?
Tetapi tidak mungkin dalam penggunaan istilah Bastin “Eropa-sentris” dapat
memiliki arti praktis dan seperti bila kita mengasumsikan keberadaan dari pemiliran
alternatif dunia atau “warisan budaya” (atau lebih dari satu). Untuk kepentingan yang lebih
mudah, mari kita asumsikan dan kita sebut sebagai alam pemikiran Asia. Sekarang kita
memiliki sesuatu yang penting: dua tradisi budaya, otonom dan sama-sama valid, mencari
sejarah Asia Tenggara, yang satu berkewajiban karena definisi kita mencarinya dari sudut
pandang “Eropa-sentris”, yang lain, sama sama pentingnya, mencarinya dari sudut
pandang “Asia-sentris”. Bastin (memenuhi syarat) menolak kemungkinan sejarawan Barat
memperoleh pandangan Asia-sentris sekarang dapat sangat berarti, karena untuk istilah
“Asia-sentris” sekarang dapat dibalik dengan definisi dari pengelihatan yang diperoleh

oleh sejarawan Asia.
Tetapi Bastin tidak menegaskan hal ini. Pada satu poin dia terlihat menyatakan
secara tidak langsung saat dia menulis, “ini….tidak untuk menolak validitas sejarawan
Asia menulis sejarah Asia Tenggara seperti yang mereka lihat.” Tetapi beberapa halaman
kemudian dia menegaskan posisinya: “…ini harus diingatkan kalau mayoritas sejarawan
(Asia) dilatih dalam metode sejarah Barat…” dan, penyelesaiannya, “Tipe sejarah Asia dan
Asia Tenggara yang ditulis sekarang, bahkan oleh sejarawan Asia sendiri, adalah tradisi
sejarah Barat…”
Ini hanyalah pendapat. Bila bagaimana sejarawan Asia modern menulis sejarah
dengan tradisi Barat, seperti yang dia tahu, lalu ini tidak mungkin lagi baginya
dibandingkan secara etnis sejarawan Barat yang melarikan diri dari “warisan budaya”
Barat, sama tidak mungkin baginya untuk memperoleh perspektif Asia-sentris dalam
perasaan filsafat dasar. Jika ini terjadi tidak siapapun dapat mencapai perspektif asia, atau
siapapun dapat mencapainya.
Alam pemikiran otonom dan eksklusif satu sama lain, semua memiliki tradisi
sejarahnya sendiri, yang ada di masa lalu di seluruh Asia-Tenggara seperti bagian lainnya
di dunia. Kita tahu adanya keberadaan dari banyaknya tradisi lokal—Jawa, Batak, Kachin,
Lao, dan sebagainya. Banyak tradisi tersebut yang masih hidup sekarang. Tetapi

bagaimanapun nenek moyangnya berpikir, apa yang orang-orang di jalan pikirkan,

sejarawan Indonesia hingga saat ini tidak mempercayai kalau tentara Demak berubah
menjadi sekumpulan lebah yang berhasil menggulingkan Majapahit, seperti yang direkam
di dalam Babad Tanah Djawi. Hal tersebut tidak lagi mungkin bagi mereka daripada bagi
sejarawan Barat, dimana dia menjadi bagian dalam dunia pemikiran Barat
Kita tidak harus melihatnya secara negatif, meskipun, sama-sama benar bagi hal ini
kalau apapun yang didapatkan oleh sejarawan Asia modern dalam perspektif Asia-sentris
dapat juga diperoleh secara sama oleh sejarawan Barat. Saya akan menjelaskannya dengan
gamblang, bagaimanapun. Tidak diragukan lagi kalau masalah perspektif yang hadir saat
ini di antara sejarawan Barat dan Asia, dimana ini adalah cacat dalam literatur yang ada
dan ini akan berlanjut menjadi permasalahan di masa depan. Tetapi ini adalah masalah
praktis, bukan masalah filosofis (kecuali dalam wilayah pemikiran sendiri mengenai
permasalahan sejarah secara umum yang tidak kita perhatikan di sini). Tidak ada batasan
filsafat yang absolut untuk mencegah sejarawan Barat (atau sejarawan Asia modern) untuk
memperoleh perspektif Asia-sentris yang valid.
II
Semua ini akan tampak lebih jelas, mungkin, jika kita kembali untuk melihat apa
yang telah saya awali dalam paper ini, dari perubahan besar baru-baru ini dalam budaya
dan masyarakat Asia Tenggara. Dilihat dalam pandangan jauh (visi), jumlah perubahan ini
menuju ke hancurnya (putusnya) progresif partikularisme budaya dan peningkatan
pendirian tetap dari budaya dunia tunggal, atau peradaban, di mana ada ilmu fisika

universal tunggal (sudah hampir dicapai), sebuah sejarah universal tunggal dan sebagainya.
Secara historis, budaya dunia ini berutang paling bayak pada budaya Barat, tapi di sini dan
sekarang ini derivasi historis tidak terlalu penting; memang; penekanan atas itu cukup
sering mengarah pada kesalahan serius dari berpikir, tidak untuk berbicara tentang
kegagalan emosi.
Dalam tren budaya yang besar ini terjadi perubahan di dalam struktur politik dan
historiografi, di antara banyak lainnya. Ketika budaya Barat berbunga ke dalam budaya
dunia, sejarah kolonial klasik yang diserang van Leur adalah sebuah anomali, sebuah tour
de force (unjuk kekuatan), dimungkinkan oleh (dan secara logis diperlukan untuk) sistem
politik tertutup di Hindia Belanda, itu sendiri adalah sebuah tour de force. Dengan jatuhnya
sistem politik tertutup, visi sejarah tertutup pun runtuh juga, dengan ketiba-tibaan
mengejutkan yang menunjukkan sejauhmana buatannya (kepalsuannya).

Tetapi sistem tertutup lama tidak bisa, pada teori ini, diganti dengan sistem tertutup
yang baru. Secara umum, saya pikir, ini ditanggung oleh fakta-fakta, kecuali (sementara?)
dalam arti konstitusional sempit. Saya sadar bahwa di sana ada rasa historiografi nasionalis
yang lebih khusus (di mana-mana di dunia, dalam hal ini) merupakan upaya untuk
membuat atau mempertahankan sistem budaya tertutup, tapi saya yakin bahwa dalam
konteks budaya dunia yang semakin berkembang kuat, sistem ini adalah lemah dan
semakin lemah. Pada titik ini saya berpegang (sependapat) dengan Resink.

Para penulis sejarah Hindia Belanda dalam pengelolaan pra-perang kelas telah
digantikan oleh para penulis sejarah Indonesia dalam pasca-perang, internasional,
daripada nasional, kelas-elit.
Saya menerima itu bahwa kita di sini dalam konferensi ini adalah seluruh anggota
kelas elite internasional ini, yang secara sadar atau tidak, kita semua menerima begitu saja
bahwa kita berbagi dalil-dalil dari sejarah universal tunggal, namun kekurangan dalil ini
mungkin digambarkan. Memang, asumsi ini hanya pembenaran, saya bisa melihat untuk
menyelenggarakan konferensi ini sama sekali.
Kita sekarang dalam posisi, saya percaya, untuk mengatakan bahwa bagi para
sejarawan, seperti halnya ilmuwan alam lainnya dan sosial, sekarang hanya ada dunia
tunggal kebudayaan atau pemikiran-dunia; dengan demikian bahwa istilah "Eropasentris"
dan "Asiasentris" (bersama dengan "Indosentris," "Jawasentris" dan sebagainya) tidak
dapat digunakan untuk menggambarkan visi sejarah otonom pemikiran dunia. Dalam hal
ini pikiran- dunia yang tunggal dari sejarah universal, maka, sudut pandang apa yang dapat
atau harus kita adopsi untuk sejarah Asia Tenggara? Apa makna keberhasilan yang bisa kita
tetapkan untuk istilah-istilah seperti "Eropasentris" dan "Asiasentris."
Kepekaan kedua di mana istilah "Eropasentris" telah digunakan adalah rasa di mana
ia mengacu pada berlalunya satu sisi nilai penghakiman. Ini, tentu saja, terkait erat dengan
jenis bias lain, yang akan saya pertimbangkan pada istilah kepekaan (rasa) ketiga, di mana,
sebagaimana van Leur meletakkannya begitu tepat, "Hindia Belanda yang diamati dari dek

kapal (from the deck of the ship), benteng-benteng, gedung tinggi dari rumah dagang." (hal.
261). Dalam prakteknya kedua jenis Eropasentrisme ini sering terkait erat; dalam teori,
sejauh pembacaan saya telah dijalankan, kita tidak menemukan perbedaan ini dibuat.
Namun demikian, seperti yang akan saya tunjukkan nanti, ini adalah sebuah perbedaan
penting.

Masalah penghakiman nilai dalam sejarah Asia Tenggara adalah suatu yang luas
dan menyakitkan. Kepuasan diri dan penghinaan dari kebanyakan sejarah kolonial, sama
sekali belum mati, suatu kebencian terkadang ditemukan dalam tradisi anti-kolonialis yang
lebih muda—ini adalah uncongenial pada sejarah, yang mana yang terbaik adalah studi
yang paling manusiawi. Hal ini bukan hanya bahwa penghakiman nilai dibuat—ini tak
terelakkan dan mungkin dengan cara sederhana bahkan diinginkan, jika mereka dengan
berbagai cara membantu untuk mengekspresikan visi pribadi sejarawan—masalahnya
adalah bahwa bias ini sistematis, seluruh sejarah dan seluruh kelas dari keseluruhan
sejarawan. Keluarnya bias moral yang sistematis hanya bisa datang dari karikatur dan
karikatur adalah seberapa besar hasil sejarah kita mengenai Asia Tenggara itu.
Tetapi setelah mengatakan ini, apa lagi yang bisa kita katakan? Bias moral yang
sistematis adalah salah satu kejahatan yang melanda dalam penulisan sejarah, tetapi juga
salah satu yang paling kurang dikerjakan. Ini adalah fakta keras bahwa cita-cita sejarah
berisi (sendirinya sebuah produk budaya) kebanyakan lebih pada konflik dengan latar

belakang budaya umum sejarawan dari aspek yang lebih profesional lainnya dari sikap
kerjanya, yang orientasinya pada materinya. Mungkin proses perubahan sosial dan budaya
menawarkan satu-satunya harapan yang pasti untuk perubahan sejarah yang bias. Jika
demikian, di sana ada sedikit keuntungan dalam diskusi panjang dari masalah tersebut. Hal
ini perlu untuk mengatakan bahwa sudut pandang "Asiasentris" dalam arti moral mengacu
pada bias sistematis adalah bukan perbaikan yang kita cari ketika kita menolak bias
Eropasentris. Setelah mengatakan ini, kita bisa menyampaikan pada pencarian hasrat
perbaikan ini di tempat lain.
Dengan pengertian ketiga di mana istilah "Eropasentris" telah digunakan, rasa yang
mengacu pada disposisi untuk melihat Eropa di latar depan, luas dan jelas, dan Asia di latar
belakang, "abu-abu dan tidak dibeda-bedakan," kita datang menuju komponen terbesar dan
terpenting dalam pengelompokan makna yang berada di sekitar istilah. Istilah alternatif,
"Asiasentris", sebagaimana yang memiliki makna jelas, yang sering dinyatakan dalam
tuntutan untuk sejarah Asia Tenggara di mana Asia, sebagai tuan rumah di rumahnya
sendiri, harus berdiri di latar depan, sementara Eropa (atau Hindu atau Cina) harus berdiri
ke belakang. Inilah apa yang telah van Leur tetapkan untuk dilakukan dan begitu
cemerlang hasilnya; ini adalah tugas yang telah diterapkan Profesor Hall dalam
pengantarnya pada Sejarah Asia Tenggaranya—“untuk menyajikan sejarah Asia Tenggara
sebagai daerah yang layak dipertimbangkan dalam dirinya sendiri, dan tidak hanya ketika


dibawa ke dalam kontak dengan China, India atau Barat…[ untuk ] sejarahnya ini tidak
dapat dipandang dengan aman dari beberapa sudut pandang lainnya sampai terlihat dari
dirinya sendiri." (hal. vii)
Saya masih bisa mengingat kegembiraan ketika saya membaca bagian ini untuk
pertama kalinya, kegembiraan yang lebih besar yang datang dari visi van Leur ini
mengenai jalur perdagangan Asia lama. Ini adalah tangis yang menggembirakan, seperti
seruan Marx untuk perspektif pusat-proletar, dan tidak ada, saya pikir, yang dapat melihat
pada sejarah Asia Tenggara dalam cara yang sama setelah mendengar itu. Namun, bahkan
dalam waktu singkat sejak pertama kali mendengar, hal itu telah menjadi jelas bahwa tidak
mudah untuk dipraktikkan, bahwa masalah ini, bahkan dalam teori, tidak sesederhana
seperti yang pertama terlihat.
Kebingungan masa kini tentang hal ini pertama-tama karena pengelompokan ideide terkait di sekitar lebih asli atau konsep kurang murni yang hanya mengacu hanya untuk
sebuah pertanyaan dari perspektif yang akan diadopsi oleh sejarawan (yaitu arti ketiga
terisolasi di sini). Saya akan mengambil masalah ini terlebih dahulu, sebelum melanjutkan
ke sumber kedua dan yang lebih penting dari kesulitan, di mana masalahnya terletak pada
kegagalan untuk menganalisa implikasi dari konsep itu sendiri dengan kejelasan yang
cukup.
Saya tidak akan mengulangi alasan dimana saya tiba pada kesimpulan bahwa
perubahan perspektif kami mencari tidak dapat dilihat sebagai pergeseran ke pemikiran
dunia yang berbeda, tetapi pergeseran yang terjadi dalam satu pemikiran-dunia (universal).

Tetapi saya belum menjelaskan kenapa saya merasa itu menjadi sangat penting untuk
memisahkan pengertian moral terkait dari istilah "Eropa-sentris" dari perspektifnya. Pada
akhirnya, seperti yang saya katakan di atas, dua-duanya secara alami cenderung untuk
berjalan bersama-sama; sejarawan, yang melihat Hindia dari galeri tinggi rumahperdagangan (trading-house) akan cenderung beranggapan bahwa pedagang Belanda di
belakang tempat tersebut adalah seorang yang baik pada umumnya.
Akan tetapi hal ini tidak selalu begitu, baik secara teoritis maupun dalam praktik.
Seperti yang akan kita lihat sebentar lagi, historiografi Asia Tenggara baru-baru ini
menunjukkan sebuah variasi membingungkan dari pergeseran di kedua perspektif dalam
arti murni dan sudut pandang moral, tetapi perspektif dan pergeseran moral ini pada
dasarnya bergerak secara independen satu sama lain.

Inilah sebabnya, dalam kasus tertentu dari sejarah Asia Tenggara, hal tersebut
sangat penting untuk membedakan keduanya. Hal ini tidak hanya tidak memuaskan secara
teoritis bahwa, dalam makalah yang telah saya kutip, Profesor Bastin (seperti lawan yang
telah ia pilih, K. M. Panikkar) harus terus bergeser bolak-balik antara dua masalah yang
cukup terpisah: (1) berapa banyak kepentingan yang harus kita tetapkan untuk peran
Portugis di Asia modern awal (sebuah masalah perspektif) dan (2) seberapa baik atau
buruk Portugis, dan kekuatan kolonial lainnya (sebuah masalah penghakiman nilai). Itu
tidak tetap bahkan dalam makalah ini, selama semua terlalu sering (dibahas) dalam diskusi
masalah ini, semakin banyak muatan-emosi (emotion-laden) masalah moral yang
cenderung membayangi masalah perspektif hingga pada akhir makalah, setelah sebuah
bantuan liberal dari Perbandingan Kekejaman dan Nazi dan Historiografi Soviet, kita sulit
sekali untuk mengingat bahwa kita memulai dengan pertimbangan masalah perspektif. Hal
yang utama adalah bahwa ketika dua masalah ini terjerat dengan satu sama lain sulit, itu
untuk menghargai salah satu dari mereka dengan jelas dan untuk melihat sejauh mana
perbedaan implikasinya.
Beberapa contoh akan menunjukkan apa yang saya maksud di sini. Kita bisa mulai
dengan van Leur. Apa yang dia lakukan untuk abad 16 dan 17, pada dasarnya adalah untuk
menggeser sudut pandang moral yang dari Eropa-sentris ke netral, sementara dia
mengubah perspektif dari Eropa-sentris ke Asia-sentris. Karyanya berdiri sebagai sebuah
model pada kedua hal ini dan mungkin apa yang kebanyakan dari kita pikirkan pertama
ketika kita berbicara secara umum mengenai menafsirkan ulang sejarah Asia Tenggara.
Namun, dia tidak memiliki banyak rekan.
Selanjutnya kita memiliki kelompok besar penulis yang dapat disebut
sejarawan neo-kolonial, umumnya sarjana yang telah dewasa dalam pengalaman panjang
mengenai satu atau lebih negara-negara Asia Tenggara. Untuk Indonesia, D. G. E. Hall
sendiri dan B. H. M. Vlekke mewakili grup ini. Apa yang mereka lakukan untuk masa
kolonial, pada dasarnya, adalah untuk menggeser sudut pandang moral dari Eropa-sentris
ke sebuah posisi yang cukup dekat dengan netral tetapi gagal untuk mencapai standar,
ketika mereka mengubah perspektif dari Eropa-sentris ke satu campuran dengan arti lebih
dekat ke sisi Eropa-sentris.
Hal ini menjadi lebih jelas jika kita membandingkan perlakuan mereka pada
Indonesia abad ke-17 dengan (perlakuan) van Leur, membuat hak kelonggaran (due
allowance) untuk perbedaan tujuan dan ruang lingkup. Sudut pandang moral van Leur

adalah

benar-benar

netral,

hampir-netral,

semacam

gerak

badan

moral

yang

mencondongkan tubuh ke depan dan kemudian mundur ke belakang. Perspektif van Leur
koheren dan benar-benar Asia-sentris, mereka dengan bergantian Eropa-sentris (pada
VOC) dan Asia-sentris (pada negara Indonesia seperti Mataram). Perspektif campuran ini
akan diterima (setelah semua, jarang sekali bisa memiliki perspektif yang benar-benar
murni dalam sejarah umum) jika perspektif dominan adalah Asia-sentris, tetapi sebaliknya
terjadi.
Untuk periode-periode berikutnya, perspektif mereka bergeser ke arah Eropa
sentris, sampai dengan ketinggian pada periode kolonial itu hampir sepenuhnya Eropasentris. Namun kemudian, dengan munculnya gerakan nasionalis, perspektif Indo-sentris
kembali muncul dan buku mereka berakhir sekali lagi dengan perspektif yang beragam.
Untuk menggambarkan pendekatan neo-kolonial yang agak lebih detail, dan
membuatnya cukup jelas mengenai apa yang dimaksud dengan perlunya membedakan
antara sudut pandang moral dan perspektif, mari kita pertimbangkan perlakuan Vlekke
terhadap Perang Aceh pada dekade terakhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Untuk
memulainya, fotonya hampir secara keseluruhan menyingkirkan moral bias; Orang Aceh
secara umum dipandang sebagai pemberani dan berpikiran independen, bukan sebagai
orang berbahaya dan fanatik, beberapa slip yang ia buat lebih atau kurang seimbang di sisi
lain oleh sejumlah komentar agak kritis tentang Belanda.
Tapi pergeseran yang pasti ini dalam sudut pandang moral tidak memiliki efek
sedikit pada perspektif. Kita masih melihat semuanya dari Batavia. Orang Aceh
membahayakan pengiriman, tetapi dilindungi oleh perjanjian 1824; langkah pertama
adalah untuk menegosiasikan perjanjian baru dengan Inggris (1871); upaya orang Aceh
untuk memperkuat posisi diplomatik mereka (urusan konsul Singapura, 1871) tindakan
begitu cepat harus diambil dan ekspedisi dikirim; itu gagal, lebih banyak pasukan yang
dikirim; Orang Aceh menolak keras; "Masalah Aceh," bagaimana untuk menekan
perlawanan ini; banyak pendekatan dicoba: sebuah kesepakatan dengan Sultan, bukan
pemerintah militer sipil, gesekan (attrition) sistematis ("geconcentreerde linie" [lini
terpusat]), politik pecah belah (divide and rule) (menangkap Teuku Umar), semua gagal;
solusi akhir dari masalah: Snouck Hurgronje dan Kolonel van Heutz, sebuah takaran dari
politik pecah belah (mendukung "kepala suku lokal" [Uleebalang] melawan para pemimpin
agama [ulama]); sukses secara genting (??? precarious success).

Dalam semua ini, orang Aceh merupakan antagonis yang lebih atau kurang
terhormat, tetapi antagonis mereka tetap, "abu-abu dan tidak dibeda-bedakan." Kita melihat
“masalah Aceh” tetapi tidak pernah “masalah Belanda”, kita melihat Belanda mencoba
untuk memecahkan masalah Aceh dengan menangkap Teuku Umar, tetapi kita tidak
melihat Teuku Umar mencoba untuk memecahkan masalah Belanda dengan berkolaborasi
pertama; dengan Belanda kemudian kembali ke sisi orang Aceh. Sejauh perspektif yang
bersangkutan, kita belum maju satu langkah pun dari sejarah kolonial ortodoks.
Sebuah variasi ketiga dalam cara pandang moral dan perspektif dapat digeser
diwakili oleh kelompok besar (lihat catatan 9) penulis yang bisa disebut sejarawan antikolonial, sebuah kelompok yang mencakup sejarawan yang paling nasionalis dan sejumlah
orang Barat. Pada dasarnya apa yang mereka lakukan (untuk periode kolonial) adalah
untuk menggeser sudut pandang moral yang dari Eropa-sentris ke "Asia-sentris" (yaitu
bertukar satu bias sistematis pada yang lain). Tetapi, secara mengejutkan, mereka
menggeser perspektif dari Eropasentris tidak ke Asia-sentris, tetapi ke perspektif campuran
yang condong ke sisi Eropa-sentris. Seperti dengan sejarawan neo-kolonial, mereka yang
menyerupai begitu banyak dalam hal ini, posisi perspektif mereka sangat bervariasi,
tergantung pada periode, insiden atau individu yang sedang dipertimbangkan, atau pada
penulis, tetapi itu masih cukup adil untuk mengatakan bahwa posisi utama lebih dekat ke
Eropa-sentris daripada Asia-sentris.
Perlakuan umum dari Perusahaan Belanda (Dutch Company) dan (orang atau
pemerintahan) Belanda; Hindia (Indies) akan menggambarkan hal ini. Kapal-kapal
Belanda pertama berlayar ke pelabuhan Banten pada tahun 1598 dan kita melihat hal-hal
"dari atas geladak kapal" (from the deck of the ship) sama seperti sejarawan kolonial (van
Leur juga memulai dengan cara ini, tetapi dengan cepat ia turun ke darat [??? gets ashore]).
Hubungan Belanda dengan kerajaan besar di Jawa terkadang waspada terhadap bahaya
Belanda, mungkin lebih sering waspada terhadap bahaya seorang pria seperti Sultan
Agung. Ketika kita maju dalam waktu dan Belanda menyebarkan kekuasaan mereka secara
perlahan-lahan pada Hindia, perspektif cenderung menjadi lebih Eropa-sentris; kita melihat
ekspedisi meninggalkan Batavia, tiba, menghadapi masalah-masalah tertentu—seringnya
di sini sebuah kilasan dari pendekatan Belanda (atau Belanda yang mendekat [oncoming
Dutch]) seperti yang terlihat oleh pemimpin lokal—akhirnya berhasil dalam misi mereka.
Dengan kedatangan abad ke-20, perspektif Asia-sentris kembali lagi seperti kita lihat pada

kemunculan gerakan nasionalis, tetapi bahkan untuk periode ini ada banyak hal yang
terlihat Eropa-sentris.
Hal tersebut bermanfaat ketika membandingkan gambaran dari perang Aceh
melalui wakil dari sejarawan Indonesia, Anwar Sanusi, yang diserahkan oleh Vlekke.
Catatan Sanusi menjelaskan lebih rinci dari pada Vlekke dan dia memasukkan informasi
yang lebih mengenai pmimpin Aceh. Sejak dia bersimpati kepada pemimpin tersebut, kita
kadang-kadang berpandangan bagaimana pikiran tersebut dilihat oleh mereka; musuh dari
orang Aceh tidak semuanya seperti bayangan saja, seperti halnya penjelasan Vlekke. Pada
saat yang sama dia memasukkan semua hal yang diperlukan mengenai Belanda yang
ditemukan pada catatan Vlekke. Lebih dari itu, dia waspada terhadap bahaya Belanda,
terdapat sebuah rencana ketika dia bermusuhan dengan Belanda yang memunculkan
perselisihan yang agak luar biasa atas sudut pandang moral dan perspektif. Mengambil
gambaran secara keseluruhan yang seperti tanpa ada keragu-raguan akan ancaman yang
melekat pada hal tersebut secara bersama yang merupakan kebijakan dari Belanda dan
berhadapan dengan mereka. Perspektif Belanda itu dominan dan masuk akal, sementara
perspektif orang Aceh hanya terbentuk sebagian.
Hal tersebut seperti sebuah pandangan moral yang anti kolonial dan sedikit
menggunakan perspektif Eropa sentris yang membuat sesuatu yang aneh. Di lain hal
mereka melakukan hal tersebut, seperti yang sudah saya perkirakan sebelumnya. Hal
tersebut menarik untuk dicoba untuk menjelaskan sebagaimana mestinya sumber yang
alami, terutama ketika kelompok anti kolonial (antara Indonesia dan Barat) cenderung
sebagian lebih banyak bekerja dari sumber pendukung yaitu dari Belanda pada pendapat
disini, sehingga saya berpikir lebih memilih untuk merubah perhatian dan melemparkan
hal tersebut: pada wilayah anti kolonial yang begitu kuat yang sering membuat perspektif
yang pokok yang hampir tidak sesuai. Pada saat yang sama, satu hal yang sulit
diberitahukan adalah ketika cetakan pada halaman surat kabar terkadang digunakan untuk
sosok wayang yang populer yang salah satunya banyak ditemukan di pasar.
Tetapi apabila satu kata mengenai “perspektif” lebih pada penilaian yang relatif
berguna dari pada pikiran pada pengertian penglihatan pada pundak seseorang yang
dimulai untuk melihat bahwa teman tidak selalu baik/ramah. Sejarah anti kolonial
merupakan suatu anti kolonial dan menyatakan secara tidak langsung atau sedikit
memerlukan kemunculan atas kolonialisme yang kuat. Tanpa koloni, tanpa sentimen anti
kolonial, bahan yang sedikit untuk para anti kolonial. Biasanya salah seorang sejarawan

yang anti kolonial (dan bukan sejarawan) berada di luar sejarawan neo kolonial, yang
mencapai posisi yang murni sejarawan kolonial, pada perkiraan mereka atas tingkat dan
durasi atas kekuatan kelompok Belanda dan NEI : hal tersebut merupakan “mitos atas 350
tahun” kaidah atas Belanda di Indonesia yang menemukan dukungan yang kuat sampai
sekarang diantara para anti kolonial, antara Indonesia dan Barat. Manusia tersebut
menemukan pendeta spiritual mereka diantara Belanda dengan tradisi anti kolonial yang
lama dengan “Max Havelaar” juga “Eereschuld” serta “Millioenen uit Deli’s). Penulis
Belanda juga menjadi salah satu perbincangan yang menerima penggabungan pandangan
moral anti kolonial dan persepktif Eropa sentris. Ketika salah satu perspektif pada sudut
pandang yang sama dari visi atau evaluasi yang penting yangkembali kepada fakta yang
kita setujui disini dengan pandangan moral yang dominan dari perspektif. Sebab kita tidak
bisa bertanya pada para anti kolonial untuk menyerahkan moral mereka yang anti kolonial.
Seperti halnya orang yang berpolitik, kemungkinan anti kolonial sekarang yang membuat
kita hanya bisa berharap atas pemisahan yang tepat pada pandangan moral dari perspektif
yang bagaimana kita membangitkan kembali kepentingan masa depan. Seperti halnya kita
hanya berharap bahwa kepentingan yang sama atas sejarawan neo kolonial yang bisa
membawa pandangan atas asumsi dasar mereka.
Setelah mendiskusikan hubungan yang terkadang rumit antara konsep perspektif
(murni) dan hubungan konsep pada pandangan moral, sekarang kita harus berubah untuk
merubah pertimbangan atas konsep perspektif itu sendiri, untuk sulit melupakan
kebohongan besar.
III
Kita bisa mulai dengan isu yang begitu mencuat pada bagian diatas ketika saya
menyatakan bahwa perspektif bisa digunakan pada sudut pikiran mengenai visi (poinnya
waspada terhadap bahaya seseorang) atau pada pikiran atas evaluasi yang begitu relatif
penting. Untuk menanamkan hal tersebut pada kata yang berbeda; biasanya, ketika kita
melihat pada sesuatu dari keterangan-keterangan yang dijelaskan; apapun berada pada
akhir pilihan kita atas kemunculan transaksi untuk mengambil sebuah bagian yang lebih
penting pada keseluruhan gambaran dibanding hal sebelumnya. Hal tersebut pada
tujuannya ada beberapa tuntutan untuk perubahan pada sudut pandang visi (seperti pada
Asia sentris) termasuk sebuah penilaian yang tinggi atas kepentingan yang relatif dari
subjek akhir apapun pada suatu pandangan (elemen Asia yang lebih penting). Sebaliknya
adalah seperti halnya kebenaran. Umumnya, penilaian tertinggi kita atas kepentingan yang

relatif pada beberapa elemen pada sebuah bagian sejarah yang seperti kita ketahui dengan
melihat elemen ini pada istilahnya tersendiri dan sesuatu yang lebih valid yang kita akan
merasakan sudut pandang yang akan menjadi sebuah visi.
Sejauh ini hal tersebut murni subjektif. Tetapi subjektif harus memiliki beberapa
hal yang korelatif objektif di lain hal dimana sejarawan tidak bisa berkomunikasi yang
begitu bermakna. Suatu sudut pandang pada visi, seperti sebuah aspek pada perspektif,
yang menunjukkan tanpa adanya bantuan, bahwa tidak ada korelatif objektif. Tetapi relatif
berguna dengan batasan yang jelas. Kita akan berbicara jika kita berharap melihat kerajaan
Mataram dari sudut pandang seorang budak dan tidak ada dasar untuk menghentikan kita,
lebih lagi apabila kita bisa menempatkan objek jika pihak lain ingin melihat subjek yang
sama dari sudut pandang Sultan Agung. Tetapi hal ini juga pertanda sesuatu yang begitu
relatif penting untuk budak ini pada keseluruhan (subjektif) gambaran kita mengenai
Mataram, tanda lainnya juga sebagai sebuah relatif yang begitu penting untuk Sultan
Agung pada keseluruhan gambaran mereka (subjektif). Perdebatan ini (subjektif) dinilai
sebagai sesuatu yang relatif penting yang bisa membandingkan pada keterangan atas fakta
(objektif), dan beberapa wacana atas alasan yang bisa diikuti.
Dari penjelasan tersebut, walaupun perdebatan persepktif cenderung diekspresikan
pada teori dengan istilah sudut pandang visi, praktik dari pendapat yang digapai pada
wacana yang didapatkan hampir tanpa terkecuali mengenai pertanyaan atas (objektif) yang
relatif berguna. Karena hal tersebut berguna, maka untuk mempertimbangkan tetap sebagai
jenis kriteria yang digunakan untuk menentukan (objektif) yang relatif penting pada
elemen yang bervariasi yang diberikan pada situasi peristiwa sejarah. Kembali kepada
masalah kita, kita harus mempertanyakan atas kriteria apa yang menegaskan bahwa elemen
Asia bisa sebagai sesuatu yang begitu penting dalam sejarah baru di Asia Tenggara?
Sekali lagi, kita bisa memulai dari Van Leur. Ketika dia membalikkan sejarah
kolonial dan menegaskan bahwa sejarah Indonesia pada periode company hal tersebut
menjadi dunianya Indonesia dan bukan company yang begitu penting, dia ada di ingatan
kriteria cukup terbuka yang dianggap relatif penting. Lebih berguna lagi, dia menggunakan
kriteria ini untuk peranan pentingnya untuk membatasi periode yang dia anggap unggul
atas dunia Indonesia (dan juga mengikuti logika di atas untuk membatasi periode pada
pandangan Indonesia sentris yang valid).

Poin ini, saya pikir, belum diapresiasi secara umum dan hal itu meningkatkan
jumlah masalah penting, pertama mengenai pengertian kita atas Van Leur sendiri dan
kedua tentang keseluruhan masalah untuk perspektif Asia sentris.
Seperti halnya keprihatinan Van Leur, pertama kita harus membuat apa kriterianya
untuk menentukan kepentingan yang relatif tersebut, dan periode apa yang ada di
pikirannya. Kriterianya—dia tidak sebutkan pada banyak kata, tetapi bisa atas alasan
dugaannya—dijatuhkan kepada kedua bahasan politik. Pertama merupakan kriteria umum
atas kekuatan politik militer dan ekonomi. Kedua adalah kriteria analitik dari sosiologinya:
kategori seperti “bentuk” ekonomi pada level tertentu, “sifat” sejarah pada karakter khusus,
level dari teknik militer dan sebagainya. Hal yang relatif tidak berguna atas Belanda pada
abad ke-17 di Indonesia telah ditetapkan untuknya tidak hanya dari fakta atas konstitusi
mereka yang tidak lebih dari “hasil Eropa” yang pertama atas batasan politik yang
signifikan dan praktik tanpa kepentingan ekonomi di timur tetapi juga pada fakta yang
terbentuk atau sifat karakteristik aktivitas mereka ataupun bagian dari “Eropa” yang juga
merupakan bagian dari “Asia” yang menjadi bagian yang tidak lebih dari sebuah “nilai
yang sama”.
Sejauh periode yang menyatukan ketidakpentingan relatif ini, kita bisa melihat
progres yan menarik dibenaknya. Pada tesisnya (1934) dia membawakan pendapatnya
sampai tahun 1600, tetapi instingnya menuju kepada Belanda pada abad ke-17. Pada
artikelnya “Studi Sejarah Indonesia” pada tahun 1937, dia mengklaim keseluruhan abad
ke-17. Dalam ulasannya dari volume 2 dan 3 dari Geschiedenis Stapel pada tahun 1939 ia
mulai mengarahkan pandangan pada abad ke-18.
Untuk abad ke-18, ketika kekuatan Company Mulia telah berkembang dari benteng
pesisir, pelabuhan, dan stasiun penjaga rempah-rempah dengan sebuah kekuatan
dengan pengaruh teritorial, kekuatan nyata di antara negara-negara Oriental, atrofi
dunia Indonesia menjadi sebuah pertanyaan, dan pada saat yang sama kepentingan
relatif sejarah company meningkat, (hal. 262).
Pada tahun 1940, van Leur menulis artikel yang berjudul “On the 18th Century as a
Category in Indonesian History”. Ia mengambil temporal pada abad ke-18 karena telah
terjadi perubahan dan perkembagan kepentingan perusahaan di dunia Barat, khususnya di
Indonesia. Ia menghabiskan waktu selama 6 tahun untuk meneliti tema-tema yang
berhubungan dengan otonomi dan dominasi masyarakat Indonesia dalam sejarah Indonesia
dari tahun 1600 sampai 1800. Setelah itu penelitiannya juga akan ditekankan pada periode

abad ke-19 sampai abad ke-20, tetapi hal itu belum terlaksana karena van Leur telah
meninggal tahun 1942.
Terlihat beberapa keraguan di dalam artikel yang ia nyatakan dalam ulasannya pada
tahun 1939, The Atrophy of the Indonesia word becomes a question. Abad ke-18 menjadi
tolak ukur kemajuan zaman ketika bangsa Barat menguasai dan mengembangkan berbagai
perusahaan. Hal itu yang nantinya akan menjadi industri kapitalis yang akan kemudian
pengaruh tersebut dibawa ke Asia Tenggara. Pada tahun 1934 ia menulis:
... seiring berjalannya waktu, dengan kekuatan global Eropa Barat dan konsolidasi
kapitalisme modem, dunia Asia akan semakin tertinggal dan jauh lebih lemah. (hal. 120).
Sekarang, dalam ringkasannya, ia menampilkan sebuah pernyataan:
... Ada kesatuan yang tak terputus di negara-negara dalam peradaban Asia dari abad
ke-17 sampai 18 dan ke-19. . . Dua peradaban yang sama yang berkembang secara terpisah
dari satu sama lain, Asia dalam setiap cara yang unggul secara kuantitatif. Kesetaraan tetap
selama racun kapitalisme modem belum mempengaruhi Eropa ... (hlm. 284-5).
Menurut van Leur, Indonesia tumbuh pada abad ke-19 dan 20 melalui kapitalisme
yang diterapkan Belanda. Hal ini mnegundang pertanyaan bagi kalangan sejarawan.
Apakah ini merupakan sudut pandang Indonesiasentrik atau Eropasentrik. kita memiliki
kekurangan unutk melihat hal itu dari sudut pandang Indonesiasentrik karena dibangun di
atas seperangkat asumsi yang sesuai dengan kriteria van Leur.
Dilema menjadi lebih jelas jika kita mendekati dari sudut yang lain. Pada tahun
1937, dalam esainya "On The Study of Indonesia History", van Leur mengedepankan
konsep otonomi sejarah Indonesia sebagai satu-satunya dasar yang kuat untuk membangun
sejarah baru Indonesia. (pp. 147 dst.) Ia berpendapat bahwa hal ini tidak jelas sama sekali
dan sejauh yang saya tahu dia tidak membawa masalah itu lagi, tapi saya pikir kita dapat
cukup yakin bahwa apa yang ia bicarakan adalah metode yang orientasi ideologi yang
harus diadopsi sejarawan untuk menentukan sumber-sunber dari sejarah Indonesia.
Menurutnya, ini adalah tema sentral dalam karyanya dan kontribusi terbesar kepada
historiografi Indonesia. Sejarawan mengambil contoh dari konsep dan kategori yang ia
gunakan untuk sejarah Indonesia, membuat yang baru dan menolak kekeliruan yang
dipinjamkan oleh sejarah Barat. secara eksplisit ide ini ia terapkan ke seluruh sejarah
Indonesia. (hal. 147).
Otonomi ini harus digunakan dalam pikiran sejarawan, terutama pada tataran
metodologis. Tapi itu harus memiliki korelatif dalam peristiwa historis yang obyektif

karena jika peristiwa sejarah pada dasarnya sama dengan, katakanlah Eropa, itu tidak akan
cukup berbeda karena membutuhkan konsep dan kategori yang berbeda secara signifikan.
Hal ini penting untuk melihat di mana otonomi dari peristiwa sejarah Indonesia diletakkan.
Ini harus terletak dalam struktur sosial dan budaya; "otonomi" di sini harus berarti sesuatu
seperti "keunikan dalam bidang sosial dan budaya." Hal ini tidak berarti otonom diartikan
dalam konsep biasa, yaitu sebagai batas tertentu independen atau berdiri di atas kaki
sendiri.
Ini adalah inti dari permasalah van Leur. Tidak ada keraguan bahwa sepanjang
karyanya van Leur menerapkan ide otonomi dalam arti pertama, tetapi di samping itu ia
juga menggunakan kedua sebagai keterbatasan pemikiran. Kriteria yang digunakan untuk
menentukan kepentingan relatif diukur otonomi hanya dalam pengertian terakhir ini:
kriteria kekuasaan jelas begitu tetapi juga kriteria analitik (peradaban dari "nilai yang
sama", "lebih tinggi" bentuk ekonomi dan sebagainya). Tumpang tindih ini atau
kebingungan dalam terminologi tidak berpengaruh pada periode sampai sekitar 1700-an.
Tapi mulai paruh kedua abad ke-18 hal itu semakin menyimpang (salah satu alasan, tentu,
untuk ketidaknyamanan jelas dalam artikelnya pada abad ke-18) dan pada abad
pertengahan abad ke-19 (untuk Java pada setiap tingkat) yang hampir menentang. Otonomi
sebagai pengertian mendasar lewat referensi bagi kelangsungan tertutup menunjukkan
bahwa ia menyadari setidaknya satu aspek dari ini.
Hal ini penting dalam kritik van Leur. Pertama, seperti komentar saya, ia tidak
pernah mendapat kesempatan untuk menerapkan ide-idenya (termasuk yang otonomi
metodologis) dalam periode modern dan ia mungkin telah berhasil menemukan jalan
keluar untuk memperbaiki ide-idenya tersebut. Kedua, harus ditekankan bahwa senjata
untuk melawan mitos kolonial sangat kuat dan sebagai fakta sosial, seperti yang akan kita
lihat sebentar lagi, tidak dapat diterapkan oleh van Leur. Hal ini tidak salah, karena van
Leur adalah seorang sejarawan Barat yang sedikit banyak masih terpengaruh oleh
pemikiran Barat.
Apa yang benar dari van Leur benar secara umum untuk seluruh literatur tentang
sejarah Indonesia. Kriteria, eksplisit atau implisit, yang digunakan untuk menentukan
kepentingan relatif mungkin tidak cukup sama dengan van Leur, tapi mereka berhubungan
cukup erat. Kriteria analitik nya tidak menemukan penerimaan luas di kalangan sejarawan
konvensional tetapi kriteria kekuatan militer politik dan kekuatan ekonomi yang diambil
untuk diberikan, dan menghasilkan dasarnya hasil yang sama seperti dia. sejarawan dengan

kajian sosiologis atau ekonomi akan ditemukan pada historiografi Indonesia dalam
mengkaji isu-isu politik konvensional, misalnya yang berhubungan dengan penaklukan
Mataram. Tapi ini perbedaan dalam aplikasi, tidak pada prinsipnya. Jika pembahasan
menggunakan sudut pandang Indonesia yang independen mulai menurun, maka akan
semakin terjebak dalam historiografi Neerlandasentris.
Kita bisa melihat ini dalam banyak contoh. Saya telah mengatakan di atas bahwa
akan terjadi kesulitan untuk menjelaskan apa perspektif keseluruhan dari kelompok
neokolonial dan antikolonial yang karena perspektif mereka bergeser karena periode,
menjadi lebih Eropasentris sebagai pengaruh kekuasaan Belanda. Ini jelas merupakan
cerminan dari penilaian mereka dari tingkat kekuatan independen yang dimiliki oleh
Indonesia. Juga perlu dicatat bahwa ada kecenderungan perdebatan antara Asiacentric vs
Eropa sentris yang berpusat pada penulisan di abad 16 dan 17. Sekali lagi ini hanya
berhubungan dengan apa posisi atau sudut pandang yang anda gunakan sehubungan
dengan masa kolonial awal sampai periode kolonial akhir.
Tidak cukup dekat, saya harus berkata. Kita tidak bisa menolak hal penting di sini
yang selesai dikerjakan oleh Profesor G.J. Resink lebih dari dekade terakhir, untuk
pekerjaan ini dia telah memperluas sebuah campur tangan pada kemerdekaan Indonesia
sebagai dunia yang benar menuju inti periode kolonial baru-baru ini. Hal yang lebih
penting untuk tujuan kita di sini, dalam melakukan hal ini dia telah banyak menjelaskan
batas-batas spasial dan temporal batasan dari kekuatan kemerdekaan, dan dengan demikian
efek sikap akan lebih tajam pada pertanyaan historiografi tentang bagaimana untuk
menghandel masa transisi dari penguasa kolonial.
Saya berkata di atas bahwa kematian awalnya van Leur dicegah dari membawa
investigasinya tentang batas dunia kemerdekaan Indonesia menuju sebuah kesimpulan
yang jelas. Tidak hanya usaha dia untuk tidak melampaui tentang 1800, dia juga tidak
pernah sampai mengambil masalah pada pulau lainnya sebagai pembeda dari Jawa—
cukup rasional sejak perbedaan tidak menjadi signifikan dalam konteks ini sampai pada
awal abad ke-18. Semua ini, untuk tujuan praktis sekarang telah diselesaikan oleh Resink.
Hal ini merupakan sesuatu yang mengesankan dari serial artikel-artikel, yang telah dia
tegaskan bahwa kemerdekaan paling kuat pada kepulauan lain sampai abad ke-20. Dimulai
dari sudut pandang hukum internasional yang dia tetapkan bahwa efek masalah Batavia
dengan pulau lain sampai tahun 1910 lebih banyak sama dengan hubungan orang asing
daripada administrasi internal. Dia berpendapat dengan penuh paksaan bahwa pegawai

Belanda mereka sendiri pada awal abad ke-20 mengambil sudut pandang ini. Lebih
daripada ini—untuk hal ini boleh jadi kelihatannya kering dan sesuai dengan hukum untuk
sejumlah—yang telah dia berikan, di salah satu artikelnya saat ini, sebuah ungkapan
meyakinkan sebuah gambaran tentang dunia Indonesia yang dilihat oleh Joseph Conrad
pada abad 19, sebuah dunia yang tidak ada Hindia Belanda tetapi hanya ada Belanda Jawa,
dan sepanjang sisi bahwa sebuah keseluruhan otonomi pulau kekuatan dunia tidak
berkurang. Ini adalah sebuah untuk mengatur disamping gambarnya van Leur pada jalur
perdagangan lama.
Ini adalah sebuah prestasi yang mengesankan, dan tepatnya karena hal ini secara
mengesankan menginterpretasikan sebuah bahaya untuk kita semua yang mengikuti
langkah-langkah Resink dalam meninjau ulang “sejarah yang diterima” mengenai
Indonesia dan Asia Tenggara. Untuk itu saya harus mengulangi pertanyaan bahwa
pendekatan ini ditujukan untuk pemusatan perhatian pada hanya sebagian keseluruhan
subyek dalam sejarah modern Indonesia—bagian dimana Belanda tidak hanya bermain
pada sebuah peran penting. Secara esensial hal itu memotong ukuran VOC dan Hindia
Belanda, untuk menghancurkan mitos 350 tahun penguasaan Belanda. Tapi bagimana kita
untuk menangani Belanda Jawa pada gambaran Conrad-Resink, pulau-pulau lainnya
setelah sekitar tahun 1910, periode kapitalis modern untuk keseluruhan sejarah Indonesia
termasuk kedalam tulisannya van Leur? Gambaran Leur-Resink tentang dunia
kemerdekaan Indonesia adalah sekarang hanya tentang kelengkapan bentuk utamanya. Kita
tidak bisa melanjutkan selamanya pencarian sudut kecil dimana kekuatan Belanda tidak
dapat ditemukan.
Kita dihadapkan dengan sebuah pilihan penting. Pada satu sisi, kita bisa
mempertimbangkan masalah yang dekat, sudut pandang Indonesi-sentris yang dibawa
sejauh hal itu bisa dijangkau, dan sebagai gantinya sebuah sudut pandang Belanda-sentris
yang melanjutkan cerita. Hal ini faktanya, adalah implisit (Meskipun saya beripikir tidak
secara penuh berniat) dalam tulisan van Leur dan Resink yang kita diskusikan dan kurang
lebih diterima untuk diambil oleh penulis lainnya. Hal ini seperti yang saya katakan,
sebuah posisi yang dapat dipertahankan. Tapi jika harus dilihat secara jelas, maka, hal itu
diperlukan keterlibatan sebuah diskontinuitas umum, ketika kita datang untuk
mempertimbangkan abad ke-20 dan dengan demikian membuat kemungkinan sebuah
kelanjutan sejarah Indo-sentris.
Di sisi lain, kita bisa berkata bahwa formulasi di atas adalah terlalu dekat, terutama
pada bagian kecenderungannya untuk menegaskan otonomi pada hubungan politik dan

kekuatan ekonomi, terlihat otonomi sewperti yang saya katakan. Kita bisa malahan
kembali kepada van Leur asli dan perasaan fundamental tentang hubungan “otonomi” dan
mengambil penekanan kita tidak pada kriteria kekuatan yang terlihat tetapi hal yang
mendasari struktur sosial dan budaya. Dengan melakukan hal ini, kita membuka
kesempatan silang batas antara otonomi kekuatan Indonesia, dan dominasi Belanda,
kesempatan untuk memecahkan diskontinuitas dan pembentukan basis untuk sebuah
kelanjutan sejarah Indo-sentris di Indonesia.
Ada sejumlah implikasi kejelasan pada pendekatan ini. Hal yang jelas, sebagai
contoh, bahwa sebuah penekanan besar tentang faktor-faktro sosial dan budaya akan
memproduksi sebanyak mungkin “sosiologis” sejarah daripada yang kita telah usahakan
sekarang. Kebutuhan ini tidak menjadi masalah bagi kita—hal itu adalah sebuah tren yang
ditandai secara jelas pada sejarah modern dimanapun—tapi itu memerlukan kita untuk
datang menuju hubungan dengan konsep dan metode ilmu sosial lainnya, dan untuk
menghadapi fakta bahwa sejarah baru ini akan melihat keanehan, bahkan mungkin
kekonyolan, pada permulaanya.
Sebuah konsekuensi kurang jelas dari pendekatan ini adalah bahwa dengan
masuknya ke dalam pertimbangan serius tentang masalah mengenai otonomi pada puncak
periode kolonial yang kita tak bisa acuhkan mengenai pertimbangan akhir periode dan
kembalinya pembentukan kekuatan politik Indonesia merdeka. Satu hal yang tidak bisa
dipikirkan menuju eksistensi untuk sebuah pembicaraan “tak terlihat” tentang otonomi
Indonesia di bawah penguasa kolonial Belanda tanpa hadir untuk melihat bahwa otonomi
muncul lagi pada sebuah bentuk yang telihat pada akhir periode kolonial. Hal ini, memang,
sebuah keuntungan besar terhadap sebuah basis pendekatan yang lebih luas tentang
konsepsi otonomi, untuk itu menawarkan kemungkinan penghubung tidak hanya awal
diskontinuitas yang besar dari Indo-sentris menuju Belanda-sentris yang sudah ditandai di
atas, tapi juga yang kedua (dari Belanda-sentris kembali menuju Indo-sentris) yang mana
tidak dilakukan bahkan sampai untuk pertimbangkan di bawah pandangan lama. Tapi pada
waktu yang sama, secara jelas meningkat dengan pesat kompleksitas pada tugas.
Sebuah konsekuensi akhir pada pendekatan ini, meskipun demikian cukup tidak
terduga. Seperti yang kita kerjakan melalui garis alasan terbuka di sini kita akan
menemukan bahwa kita telah melebihi hubungan pada masalah sejarah Eropa sentris
melawan Asia sentris dengan apa yang kita mulai. Kita akan melihat kemungkinan sebuah
otonomi kebenaran sejarah tentang Asia Tenggara.
IV.

Melewati jalan pada sejarah Indonesia, jika hal itu bisa dilihat sebagai kontinutitas
dan koheren pada kondisinya sendiri, terdapat sebuah penghalang yang hebat: Secara
konvensional gambaran tentang masyarakat Indonesia pada waktu kolonial. Hal itu
merupakan sebuah cerita sedih, sebagaimana kita temukan dalam literatur; Kita mendengar
banyak kehancuran nilai-nilai hidup tradisional, mundur menju kehidupan pasif,
kebohongan yang terbengkalai, peremehan yang berkurang, pada kemunduran dan
kemerosotan. Kita mendengar sebanyak itu dari sejarawan dan penulis anti kolonial, yang
berhasrat untuk men