TUGAS AGAMA ISLAM TUGAS PERKEMBANGAN SAI

TUGAS AGAMA ISLAM

TUGAS PERKEMBANGAN SAINS DAN TEKNOLOGI DALAM
PERADABAN SEJARAH ISLAM
Oleh:
Rani Putri Yasmin
(1401154452)
MB-39-04 / MBTI D

MANAJEMEN BISNIS TELEKOMUNIKASI INFORMATIKA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

SEMESTER 2 (2016/2017)
Pada abad ke-6 hingga abad ke-14 M, peradaban Islam menghasilkan banyak karya
ilmiah di bidang sains dan teknologi.
Untuk menggambarkan kegemilangan itu, seorang sejarawan sains terkemuka, George
Sarton, menuliskan dalam jilid pertama bukunya yang terkenal di bidang ini, Introduction to
the History of Science.
''Cukuplah kita menyebut nama-nama besar yang tak tertandingi di masa itu oleh
seorang pun di Barat: Jabir bin Hayyan, Al-Kindi, Al-Khawarizmi, Ar-Razi, Al-Farabi, AtTabhari, Al-Biruni, Ibnu Sina, dan Umar Khayam. Jika seorang mengatakan kepada Anda
bahwa Abad Pertengahan sama sekali steril dari kegiatan ilmiah, kutiplah nama-nama

ilmuwan di atas. Mereka semua hidup dan berkarya dalam periode yang amat singkat, dari
750 hingga 1100 M,'' tulis Sarton.
Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, disebutkan
bahwa perkembangan sains dan teknologi dalam sejarah Islam tidak bisa dilepaskan dari tiga
landasan, yakni landasan agama, landasan filsafat dan landasan kelembagaan.

Landasan Agama
Pengembangan sains dalam sejarah Islam sejalan dengan perintah Alquran untuk
mengamati alam dan menggunakan akal, dua dasar metodologis sains. Alquran sendiri
merupakan sumber pertama ilmu, seperti yang dinyatakan dalam Surat An-Nisa' ayat 82,
''Maka apakah mereka tidak memerhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari
sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.''
Perintah penggunaan akal sebagai dasar kerasionalan ilmu dengan perintah
mengamati alam sebagai dasar keempirikan ilmu selalu berjalan seiring, misalnya dalam
Surat Ar-Rum ayat 22, Al-Baqarah ayat 164, Ali Imran ayat 190-191, Yunus ayat 5, dan AlAn'am ayat 97. Firman Allah SWT juga sering disertai pertanyaan afala ta'qilun (mengapa
tidak kau gunakan akalmu) dan afala tatafakkarun (mengapa tak kau pikirkan).
Perintah Alquran itu diperkukuh oleh hadits-hadits Nabi SAW yang mewajibkan umat
Islam untuk menuntut ilmu. ''Menuntut ilmu itu wajib bagi kaum muslimin laki-laki dan

perempuan.'' (HR Bukhari dan Muslim) dan ''Tuntutlah ilmu semenjak dari ayunan sampai ke

liang lahat.'' (HR Bukhari).
Kedudukan para ilmuwan dalam Islam dipandang utama, seperti dinyatakan
Rasulullah SAW dalam hadits, ''Manusia yang mulia adalah seorang Mukmin yang berilmu.''
(HR Bukhari). Ini sesuai dengan pernyataan Allah SWT dalam Surat Al-Mujadalah ayat 11,
''Allah tinggikan beberapa derajat kedudukan orang yang beriman dan berilmu.'' Bahkan
Rasulullah SAW menegaskan bahwa, ''Manusia yang paling dekat derajatnya dengan derajat
para nabi adalah orang-orang yang berilmu dan berjuang.'' (HR Bukhari).

Landasan Filsafat
Perintah menuntut ilmu dalam Alquran dan hadits tersebut mendorong kaum Muslim
pada abad-abad pertama Hijriyah untuk menerjemahkan berbagai buku dari bahasa Yunani,
Persia, India, dan Cina ke dalam bahasa Arab. Kemudian oleh para filsuf Muslim, ilmu-ilmu
itu diklasifikasikan secara sistematis. Klasifikasi ini yang menjadi dasar bagi para ilmuwan
Muslim untuk mengembangkan sains, teutama ilmu pengetahuan alam dan ilmu alatnya,
yaitu matematika dan logika.
Filsuf Islam yang pertama, Al-Farabi (257 H/870 M-339 H/950 M) mengklasifikasi
ilmu menjadi lima, yaitu ilmu-ilmu bahasa, ilmu logika, ilmu-ilmu persiapan, ilmu-ilmu
kealaman, dan ilmu-ilmu masyarakat.
Klasifikasi Al-Farabi ini diteruskan dan disempurnakan pada abad berikutnya oleh
Ibnu Sina dalam Kitab Asy-Syifa dan oleh Ikhwan As-Safa dalam Ar-Rasa'il.

Penyempurnaan klasifikasi ini berpuncak pada klasifikasi Ibnu Khaldun, seorang
sejarawan dan Bapak Sosiologi Islam, yang dengan tegas membagi ilmu menjadi dua
golongan besar; ilmu-ilmu aqli atau ilmu-ilmu intelektual dan ilmu-ilmu naqli atau ilmu-ilmu
tekstual. Ilmu-ilmu aqli meliputi logika, fisika, metafisika, dan matematika. Adapun ilmuilmu naqli meliputi ilmu Alquran, hadits, fiqih, kalam, tasawuf, dan ilmu-ilmu kebahasaan.
Sementara Al-Gazali (450 H/1058 M-505 H/1111 M) memberikan empat macam
klasifikasi ilmu berdasarkan berbagai kriteria. Berdasarkan praktiknya, ilmu dapat dibagi
menjadi ilmu teoritis dan ilmu praktis. Berdasarkan cara mendapatkannya, Al-Gazali

membagi ilmu menjadi ilmu huduri yang didapat secara langsung dan ilmu husuli yang
diperoleh melalui panca indera.
Pengelompokan yang ketiga berdasarkan kaitannya dengan agama. Dia membedakan
ilmu-ilmu syar'iyah dan ilmu-ilmu aqliyyah. Klasifikasi Al-Ghazali yang terakhir berdasarkan
hukumnya, yaitu ilmu-ilmu yang fardhu ain dan ilmu-ilmu yang fardhu kifayah. Berdasarkan
klasifikasi Al-Gazali ini, sains bersifat husuli, aqliyyah, dan fardhu kifayah.

Landasan Kelembagaan
Ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami perkembangan pesat di masa kejayaan
Islam. Kemajuan pesat itu tidak terlepas dari keberadaan lembaga-lembaga ilmiah dan
pendidikan. Lembaga ilmiah pertama didirikan oleh Khalifah Al-Ma'mun (813-833 M) di
Baghdad, yaitu Baitul Hikmah. Lembaga kedua adalah Darul Hikmah, yang didirikan oleh

penguasa Fatimiyah di Kairo, Mesir, Al-Hakim, pada 1004 M.
Di Baghdad juga terdapat Al-Hamiyah, yang didirikan pada 1076 M oleh Nizam AlMulk, seorang menteri dari Persia. Pada 1243 M sekolah itu diperluas menjadi Madrasah AlMuntasiriah yang dilengkapi dengan rumah sakit. Di Suriah terdapat pula sekolah-sekolah
sejenis, misalnya Ar-Rasyidah dan Al-Aminiah. Adapun di Mesir terdapat An-Nasiriyah dan
As-Salahiyah. Sekolah-sekolah tinggi lainnya tersebar di Spanyol dan Asia Tengah.
Selain perpustakaan, observatorium merupakan pusat-pusat penelitian keilmuan Islam
yang paling maju. Observatorium yang pertama adalah Syamasiah yang didirikan Khalifah
Al-Ma'mun di Baghdad sekitar 829 M. Pembangunan observatorium ini segera diikuti oleh
pembangunan observatorium Al-Battani di Ar-Raqqah dan observatorium Abdurrahman AsSufi di Syiraz. Pada abad-abad berikutnya sejumlah penguasa membangun observatorium
lebih banyak lagi, tersebar dari Spanyol di Barat hingga ke Asia Kecil di Timur.
Rumah-rumah sakit merupakan sarana pengembangan ilmu yang tak dapat diabaikan,
terutama kedokteran dan farmasi. Rumah sakit pertama dalam peradaban Islam didirikan
pada 707 M oleh Khalifah Walid bin Abdul Malik dari Dinasti Umayyah di Damaskus. Para
penguasa berikutnya tak mau ketinggalan dalam pembangunan rumah sakit. Di Mesir
didirikan rumah sakit Manshuri dan di Baghdad didirikan rumah sakit An-Nuri.

Sumber : Republika.co.id