FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT PARU OBS

Unnes Journal of Public Health

FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF
KRONIK (PPOK) (STUDI KASUS PADA PASIEN RAWAT JALAN
DI RSUD TEMANGGUNG TAHUN 2016)
Inne Wijayasari*, Arulita Ika Fibriana1)
E-mail: andrinne007@gmail.com
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang
Kampus Sekaran Gunungpati Semarang 50229 Jawa Tengah – Indonesia
Telp. (024) 8508007 E-mail: fik@unnes.ac.id
ABSTRAK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan
keterbatasan aliran udara yang terus-menerus secara progresif dan berhubungan dengan
respon inflamasi kronis dalam saluran udara dan paru-paru. Jumlah kejadian PPOK pada
pasien rawat jalan di RSUD Temanggung dari tahun 2013 hingga 2016 mengalami kenaikan
yaitu dari 2 kasus hingga 45 kasus baru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor
risiko yang berhubungan kejadian PPOK pada pasien rawat jalan di RSUD Temanggung
Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan desain kasus kontrol. Jumlah sampel
yang diambil sebanyak 55 kelompok kasus (pasien PPOK) dan 55 kelompok kontrol (pasien
hipertensi) dengan cara purposive sampling. Hasil analisis bivariat menunjukan faktor risiko
yang berhubungan dengan kejadian PPOK yaitu jenis kelamin (p value=0,000; OR=6,2;

95% CI=2,69-14,57), umur (p value=0,013; OR=2,8; 95% CI=1,30-6,13), riwayat penyakit
pernapasan ( p value=0,000; OR=12,89; 95% CI=2,82-58,94), riwayat status merokok (p
value=0,000; OR=5,9; 95% CI= 2,61-13,59), riwayat pekerjaan (p value=0,021; OR= 2,6;
95% CI=1,22-5,76), riwayat paparan bahan bakar memasak ( p value =0,019; OR=2,7; 95%
CI=1,24-6,12), dan riwayat penggunaan obat nyamuk bakar(p value= 0,015; OR=4,1; 95%
CI= 1,38-12,17). Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah perlu adanya
pencegahan dengan mengurangi paparan faktor risiko kejadian PPOK.
Kata Kunci: PPOK, Faktor Risiko, Merokok, Paparan Polusi Udara
ABSTRACT
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is currently defined as a common
preventable and treatable disease that is characterized by persistent airflow limitation that
is usually progressive and associated with an enhanced chronic inflammatory response in
the airways and the lung. Total incidences of COPD outpatients in the regional hospital
Temanggung from 2013 to 2016 increase of 2 cases up to 45 new cases. This study aims to
determine risk factors related to the incidence of COPD outpatients in regional hospital of
Temanggung. This research was analytical research with Case Control design. 55 patients
of COPD was taken as the case and 55 patients of hypertention was taken as the control,
the sample was taken with purposive sampling. From the result of bivariate analysis
showed that risk factors of COPD were: sex (p value=0,000; OR=6,2; 95% CI=2,6914,57), age (p value=0,013; OR=2,8; 95% CI=1,30-6,13), history of pulmonary disease ( p
value=0,000; OR=12,89; 95% CI=2,82-58,94), history of smoking (p value=0,000;

OR=5,9; 95% CI= 2,61-13,59), history of occupation (p value=0,021; OR= 2,6; 95%
CI=1,22-5,76), history of biomass fuels exposures (p value =0,019; OR=2,7; 95%
CI=1,24-6,12), and history of mosquito coils used (p value= 0,015; OR=4,1; 95% CI=
1,38-12,17). Advice can be given from this research was need for prevention by reducing
exposure to risk factors of COPD.
Keywords: COPD, Risk Factors, Smoking, Air Pollution Exposures

1

Unnes Journal of Public Health

PENDAHULUAN
Berdasarkan data 10 penyebab kematian utama pada tahun 2000, PPOK menempati
urutan ke 4 dan meningkat menjadi urutan ke 3 pada tahun 2012 dengan jumlah kematian
mencapai 3,1 juta jiwa. Sedangkan jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, kematian karena
PPOK lebih besar pada laki-laki dibandingkan pada perempuan (WHO, 2014).
Sebuah survei nasional besar yang dilakukan oleh NHANES (Survei Pemeriksaan
Gizi dan Kesehatan Nasional) di Amerika Serikat antara tahun 1988 dan 1994, bagi
penduduk berusia 25-75 tahun, estimasi prevalensi PPOK ringan adalah sebesar 6,9% dan
PPOK sedang adalah 6,6%. Sedangkan, berdasarkan perkiraan data statistik dari database

internasional, Indonesia merupakan negara di Asia Ternggara dengan tingkat prevalensi
tertinggi nomor satu yaitu 11,8% atau sekitar 238.452.952 penduduk Indonesia yang
menderita PPOK (US Census Bureau, 2004).
Di Indonesia belum ada data pasti tentang PPOK. Hasil survei penyakit tidak
menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004,
menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%),
diikuti asma bronkial bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%) (Depkes, 2004).
Pada tahun 2007, hasil prevalensi PPOK tidak dicantumkan dalam Riskesdas, namun pada
tahun 2013, prevalensi PPOK Indonesia adalah 3,7%(Riskesdas 2013).
Prevalensi PPOK di Jawa Tengah dari tahun 2008 sampai dengan 2013 mengalami
kenaikan, yaitu dari 0,2 % menjadi 3,4 % (Profil Kesehatan Jateng, 2012 dan Riskesdas
2013). Pada tahun 2013 hingga 2015, kabupaten yang selalu berada diurutan lima besar
dengan kasus PPOK tertinggi yaitu, Kota Salatiga, Kabupaten, Kota Semarang, Kabupaten
Klaten, Kabupaten Temanggung dan Kota Magelang. Berdasarkan beberapa kabupaten
dengan jumlah kasus PPOK tertinggi, Kabupaten Temanggung merupakan kabupaten
dengan jumlah kasus PPOK yang selalu meningkat, yaitu 997 kasus pada tahun 2013
dengan prevalensi 0,13% menjadi 1088 kasus pada tahun 2015 dengan prevalensi 0,14%
(Profil Kesehatan Jateng dan Dinkes Laporan Temanggung, 2013-2015).
Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung tahun 2014, menunjukkan

bahwa PPOK juga mengalami kenaikan dari tahun 2013 sebesar 997 kasus, tahun 2014
sebesar 902 kasus dan tahun 2015 sebesar 1088 kasus. Kasus PPOK tertinggi terdapat di
Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Temanggung yaitu sebesar 272 kasus pada tahun
2014.

2

Unnes Journal of Public Health

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Temanggung,
diperoleh data jumlah penderita PPOK pada pasien rawat inap pada tahun 2012-2015
mengalami penurunan. Namun, jumlah kasus PPOK pada pasien rawat jalan di RSUD
Temanggung mengalami fluktuasi. Peningkatan jumlah kasus yang signifikan terjadi pada
tahun 2014. Jumlah kasus pada tahun 2013 hanya berjumlah 2 kasus, sedangkan jumlah
kasus pada tahun 2014 dan 2015 meningkat menjadi 272 kasus dan 339 kasus. Berdasarkan
laporan tahun 2016 hingga bulan Agustus, jumlah kasus PPOK ada sejumlah 45 kasus.
METODE
Jenis penelitian ini menggunakan metode survei analitik dengan desain studi kasus
kontrol (case control study). Populasi dalam penelitian adalah seluruh pasien PPOK di
RSUD Temanggung . Sampel minimal sebesar 55 orang dengan perbandingan kasus:

kontrol 1:1 maka jumlah 110 orang. Pengambilan sampel dilakukan teknik purposive
sampling.
Variabel bebas dalam penelitian adalah jenis kielamin, umur, riwayat status gizi,
riwayat penyakit pernapasan, riwayat status merokok riwayat paparan pekerjaan, tingkat
pendidikan, tingkat pendapatan, riwayat paparan bahan bakar memasak, riwayat
penggunaan obat nyamuk bakar, dan riwayat jarak rumah dan jalan raya. Sedangkan
variabel terikat adalah kejadian PPOK.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah kuisoner dan data rekam medik.
Analisis univariat untuk menunjukan persentase variabel penelitian. Analisis bivariat untuk
mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 1. Distribusi Analisis Bivariat

No

Variabel

1.


Jenis
Kelamin

2.

Umur

3.

Riwayat

Kategori

Laki-laki
Perempuan
Jumlah
≥ 65 tahun
< 65 tahun
Jumlah

Kurus

Status Pasien
Kasus
Kontrol
N
%
N
%
43
78 20
36
12
22 35
64
55
100 55
100
35
54 20

36
20
36 36
64
55
100 55
100
5
10
2
4

p value

OR 95% CI

0,000

6,2 (2,69-14,57)


0,013

3,0 (1,40-6,66)

0,435

2,6 (0,49-14,28)

3

Unnes Journal of Public Health

Status Gizi

Tidak Kurus
50
Jumlah
55
4.
Riwayat

Ada
18
Penyakit
Tidak
37
Pernapasan
Jumlah
55
5.
Riwayat
Aktif
38
Status
Pasif
17
Merokok
Jumlah
55
6.
Riwayat

Tinggi
31
Paparan
Rendah
24
Pekerjaan
Jumlah
55
7.
Tingkat
Rendah
43
Pendidikan
Tinggi
12
Jumlah
55
8.
Tingkat
Rendah
30
Pendapatan
Tinggi
25
Jumlah
55
9.
Riwayat
Terpapar
28
Paparan
biomassa
Bahan Bakar Tidak
27
Memasak
terpapar
biomassa
Jumlah
55
10. Riwayat
Ya
16
Penggunaan Tidak
39
Obat
Jumlah
55
Nyamuk
Bakar
11. Riwayat
< 100 m
31
Jarak Rumah ≥ 100 m
24
dan
Jalan Jumlah
55
Raya
Sumber: data primer penelitian tahun 2016

90
100
33
67
100
69
31
100
56
44
100
78
22
100
55
45
100
51

53
55
2
53
55
15
40
55
18
37
55
38
17
55
32
23
55
15

96
100
4
96
100
27
73
100
33
67
100
69
31
100
58
42
100
37

49

40

73

100
29
71
100

55
5
50
55

100
10
90
100

56
44
100

22
33
55

40
60
100

0,000

12,8 (2,8258,94)

0,000

5,9 (2,61-13,59)

0,021

2,6 (1,22-5,76)

0,387

1,6 (0,68-3,78)

0,848

0,8 (0,40-1,83)

0,019

2,7 (1,24-6,12)

0,015

4,1 (1,38-12,17)

0,127

1,9 (0,90-4,13)

Jenis Kelamin
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa pasien rawat jalan dengan jenis kelamin
laki-laki lebih berisiko 6,2 kali terkena PPOK dibandingkan dengan pasien rawat jalan
dengan jenis kelamin perempuan. Hasil penelitian yang sama juga ditunjukan pada
penelitian Lee Seok Jeong tahun 2015 di Korea, bahwa laki-laki memiliki risiko 4,2 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Hal ini dikarenakan terdapat hubungan
dengan pola merokok dan paparan kerja. Belakangan ini, prevalensi PPOK di negara
dengan pendapatan tinggi adalah

sama antara laki-laki dan perempuan, karena pola

kebiasan merokok yang sama antara laki-laki dan perempuan (Maninno, 2007).

4

Unnes Journal of Public Health

Umur
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa pasien rawat jalan dengan umur ≥ 65
tahun mempunyai risiko terkena PPOK sebesar 2,83 kali lebih besar dari pada pasien rawat
jalan dengan umur < 65 tahun. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Lee Seeok Jeong pada tahun 2015 di Korea bahwa pertambahan umur 60-69 tahun memiliki
risiko 3,8 kali terkena PPOK dibandingkan dengan umur 40-49 tahun. Fungsi maksimum
sistem pernafasan tercapai pada usia 20-25 tahun, setelah itu penuaan berhubungan dengan
penurunan progresif pada kemampuan paru. Perubahan fisiologis pada lansia yang paling
penting adalah: penurunan elastisitas paru, compliance dinding dada, dan penurunan
kekuatan otot-otot pernafasan. Klasifikasi dan perubahan struktural lain di tulang rusuk
menjadikan kekakuan dinding dada (compliance menurun), semakin meningkatkan kerja
nafas. Perubahan bentuk thoraks juga terjadi. dan peningkatkan diameter anteroposterior
(“barrel chest”), yang menurunkan lengkungan diafragma dan mempunyai efek negatif
pada kemampuannya.

Riwayat Status Gizi
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat status
gizi dengan kejadian PPOK pada pasien rawat jalan di RSUD Temanggung tahun 2016. Hal
ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ding et al tahun 2015 bahwa berat badan
kurang berhubungan dengan kejadian PPOK dimana hasil odd ratio adalah 2,62. Berdasarkan
teori Status gizi mempengaruhi kapasitas vital paru atau fungsi paru. Kondisi malnutrisi akan
menambah morbiditas PPOK karena berkorelasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan
perubahan analisis gas darah. Malnutrisi mempunyai pengaruh negatif terhadap struktur,
elastisitas dan fungsi paru, serta kekuatan dan ketahanan otot pernapasan, mekanisme
pertahanan imunitas paru dan pengaturan nafas (Fatisasari, 2013). Namun pada penelitian ini,
rata-rata pasien kasus dan kontrol memiliki riwayat status gizi normal (85). Sehingga jumlah
pasien dengan gizi kurang atau kurus tidak begitu berpengaruh pada kejadian PPOK.

Riwayat Penyakit Pernapasan
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa pasien rawat jalan yang memiliki riwayat
penyakit pernapasan berisiko 12,89 kali terkena PPOK dibandingkan dengan pasien rawat
jalan yang tidak memiliki riwayat penyakit pernapasan. Berdasarkan penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Lee Seok Jong tahun 2015 pada populasi bukan perokok di Korea,
menunjukkan bahwa riwayat penyakit tuberkulosis berisiko 4,5 kali dan riwayat penyakit

5

Unnes Journal of Public Health

bronkiektasis berisiko 6,0 untuk terjadi PPOK. Bronkiektasis merupakan komplikasi infeksi
yang dapat menyebabkan obstrusi aliran udara. peningkatan bronchial responsiveness, yaitu
sebagai salah satu tanda dan gejala dari asma, dapat menyebabkan perkembangan PPOK
meski permasalahan ini masih kontroversial. Penelitian cross sectional menunjukkan
kemungkinan terdapat 30% kejadian PPOK dan asma pada waktu yang sama.
Riwayat Status Merokok
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa pasien rawat jalan yang merupakan
perokok aktif 5,96 kali lebih berisiko terkena PPOK dibandingkan dengan pasien rawat
jalan yang merupakan perokok pasif. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Yulianto pada tahun 2006 di Kabupaten Magelang bahwa perokok aktif atau bekas perokok
mempunyai risiko 4,91 untuk terkena PPOK. Penelitian yang dilakukan oleh Salameh juga
menunjukkan bahwa merokok berhubungan dengan kejadian PPOK dengan nilai OR 16,3.
Merokok tembakau merupakan penyebab utama pada PPOK. Di seluruh dunia, merokok
merupakan faktor risiko yang paling sering ditemui untuk kejadian PPOK. Ada beberapa
alasan mengapa pada kelompok kasus dan kontrol masih mempunyai kebiasaan merokok
diantara berkaitan dengan pekerjaan. Sebagian besar masyarakat di Temanggung bekerja
sebagai petani tembakau, hal ini membuat akses untuk mendapatkan tembakau sebagai
bahan utama rokok sangat mudah. Selain akses yang mudah, dengan adanya tembakau,
masyarakat mampu memproduksi rokok sendiri dengan cara membuat rokok lintingan.
Riwayat Paparan Pekerjaan
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa pasien rawat jalan yang memiliki riwayat
kerja dengan paparan polusi tinggi 2,65 kali lebih berisiko terkena PPOK dibandingkan
dengan pasien rawat jalan yang memiliki riwayat kerja dengan paparan polusi yang rendah.
Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, 24% bekerja sebagai petani, 22% bekerja
sebagai pedagang di rumah, di pasar maupun pedagan keliling, 20% bekerja sebagai PNS
maupun pensiunan, 15% bekerja sebagai ibu rumah tangga, 14% bekerja sebagai buruh
harian lepas maupun buruh pabrik, dan 5% bekerja sebagai karyawan swasta.
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), dari 30% penderita
penyakit PPOK dan asma disebabkan oleh pajanan di tempat kerja (Kurniawidjaja, 2010).
Tidak hanya pada lingkungan industri, paparan bahan berbahaya juga dapat terjadi di
lingkungan pekerja seorang petani. Seorang petani dapat terpapar bahan berbahaya dari
penggunaan pestisida yang meliputi herbisida, insektisida, bakterisida, fungisida,
rodentisida dan lain-lain untuk mengendalikan hama dan penyakit karena hama. Penelitian

6

Unnes Journal of Public Health

kasus kontrol pada petani di India menunjukkan bahwa prevalensi bronchitis kronik yang
tinggi berhubungan dengan OP dan paparan karbamat dengan hasil OR 2,54 (95% CI 1,483,74) (Ming Ye et al, 2013). Pada petani, paparan pestisida terjadi selama proses produksi,
transportasi, persiapan dan pengaplikasian di tempat kerja. Faktor lainnya yang dapat
mempengaruhi paparan pestisida pada petani adalah intensitas pemakaian, jumlah, waktu
atau lama penggunaan, metode penggunaan dan penggunaan alat pelindung diri.
Penghirupan dan absropsi kulit merupakan jalan utama dari terpaparnya pestisida di tempat
kerja (Ming Ye et al, 2013).
Tingkat Pendidikan
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat
pendidikan dengan kejadian PPOK pada pasien rawat jalan di RSUD Temanggung tahun
2016. Berbeda dengan hasil penelitian Kanervisto et al pada tahun 2011 di Findlandia,
bahwa tingkat pendidikan berhubungan dengan kejadian PPOK. Meskipun penelitian lain
menjelaskan hasil yang bertentangan, perbedaan faktor risiko tersebut karena adanya
perbedaan gaya hidup di berbagai negara dan hubungan multifaktor antara faktor risiko.
Tingkat Pendapatan
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat
pendapatan dengan kejadian PPOK pada pasien rawat jalan di RSUD Temanggung tahun
2016. Tingkat pendapatan merupakan salah satu indikator dari pengukuran status sosial
ekonomi. Status sosial ekonomi yang menyangkut tingkat pendapatan sering diuraikan
sebagai faktor risiko dari penyakit kronis. Status sosial ekonomi rendah tidak berarti kualitas
perawatan lebih rendah tetapi juga dapat mengganggu pencegahan penyakit. Akan lebih sulit
pada warga miskin untuk menghindari faktor risiko penyakit kronis karena sering kekurangan
pengetahuan dan kekurangan sumber informasi maupun ekonomi (Golec et al, 2014).
Perbedaan hasil penelitian ini dapat dikarenakan kondisi demografi dan status sosial ekonomi
setiap daerah yang berbeda-beda.

Riwayat Paparan Bahan Bakar Memasak
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa pasien rawat jalan yang memiliki riwayat
terpapar bahan bakar memasak menggunakan biomassa 2,76 kali lebih berisiko terkena
PPOK dibandingkan dengan pasien rawat jalan yang tidak memiliki riwayat terpapar bahan
bakar memasak berupa biomassa. Penelitian menunjukkan bahwa polusi udara dalam ruang

7

Unnes Journal of Public Health

(PUDR) 2 hingga 4 kali bahkan 100 kali lebih tinggi dari polusi udara di luar ruangan
(PULR). Rata-rata seseorang menghabiskan 90% waktu di dalam ruang. Salah satu sumber
PUDR yaitu pencemaran dari asap dari dapur karena ventilasi yang tidak tepat dan kurang
baik (NIOSH,2003 ). Bahan bakar biomassa seperti sisa hasil panen atau kayu, digunakan
dilebih dari setengah rumah tangga di seluruh dunia dan sebagian besar aktivitas dilakukan
dalam kondisi dimana terdapat banyak asap pembakaran. Paparan biomassa dalam jumlah
besar dapat mempengaruhi kesehatan sama seperti paparan dari asap rokok (Liu, 2007).
Riwayat Penggunaan Obat Nyamuk Bakar
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa pasien rawat jalan yang memiliki riwayat
penggunaan obat nyamuk bakar 4,10 kali lebih berisiko terkena PPOK dibandingkan
dengan pasien rawat jalan yang tidak memiliki riwayat penggunaan obat nyamuk bakar.
Hasil penelitian Yulianto di Kabupaten Magelang, menunjukkan bahwa penggunaan racun
serangga bakar lebih dari 5 tahun lebih berisiko terkena PPOK sebanyak 5,19 kali. Zat aktif
utama dalam sebagian besar obat nyamuk bakar adalah pyrethrins, sekitar 0,3-0,4 % dari
berat total obat nyamuk (Liu et al, 2003). Pyrethrins oleh WHO dikelompokkan dalam
racun kelas menengah. Bahan-bahan lain penyusun obat nyamuk bakar adalah bahan-bahan
organik, pengikat, pewarna dan zat tambahan lain yang mudah terbakar. Hasil pembakaran
bahan tersbut menghasilkan sejumlah besar partikel submikrometer dan polutan dalam
bentuk gas. Partikel submikrometer ini dilapisi dengan berbagai senyawa organik, bebrapa
diantaranya karsinogen, seperti PAHs yang dihasilkan melalui pembakaran tidak lengap
biomasa dan dapat mencapai saluran pernapasan bagian bawah. Menurut hasil penelitian
Liu et al menyalakan satu obat nyamuk bakar menghasilkan P M2,5 sama dengan
menyalakan 75-137 rokok. PM merupakan salah satu komponen penting terkait dengan
pengaruhnya terhadap kesehatan. Paparan akut PM akan menimbulkan iritasi, inflamasi dan
peningkatan reaktivitas bronkus dan dapat menurunkan kemampuan pembersihan
mukosiliar. Sehingga berpotensi untuk menimbulkan mengi, eksaserbasi asma, infeksi
saluran pernapasan, bronchitis kronik, PPOK, dan eksaserbasi akut dari PPOK (Bruce et al,
2000).
Riwayat Jarak Rumah dan Jalan Raya
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat jarak
rumah dan jalan raya dengan kejadian PPOK pada pasien rawat jalan di RSUD Temanggung
tahun 2016.

8

Unnes Journal of Public Health

Hal ini berberda dengan penelitian yang dilakukan Salameh tahun 2012 di Lebanon yang
menunjukkan bahwa tinggal di rumah dengan jarak < 100 meter dari jalan raya memiliki
risiko 2,06 untuk terkena PPOK. Hasil penelitian ini dapat berbeda karena dari karakteristik
lokasi pun juga berbeda. Temanggung merupakan sebuah kabupaten kecil yang masih
didominasi oleh pepohonan atau ruang terbuka hijau dan tidak terdapat banyak bangunan
industri ataupun gedung-gedung bertingkat. Meskipun tempat tinggal berdekatan dengan
jalan raya akan tetapi masih banyak kawasan terbuka hijau yang dapat menyerap polusi dari
kendaraan di jalan raya. Sehingga, jarak rumah dan jalan raya tidak berhubungan dengan
kejadian PPOK pada pasien rawat jalan di RSUD Temanggung tahun 2016.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian bahwa ada hubungan antara jenis kelamin, umur,
riwayat penyakit pernapasan, riwayat status merokok, riwayat paparan pekerjaan, riwayat
paparan bahan bakar memasak dan riwayat penggunaan obat nyamuk bakar dengan
kejadian PPOK.Ssedangkan riwayat status gizi, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan
riwayat jarak rumah dan jalan raya tidak menunjukan adanya hubungan dengan kejadian
PPOK.

UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami tunjukan kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan,
Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Dosen Pembimbing, Keluarga, serta temanteman yang telah memberi bantuan dan motivasi dalam penyelesaian penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
American Thoracic Society. 2004. Standards for diagnosis Management of Patient with
COPD. ATS: New York
Barnett, Margaret,. 2006. Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Primary
Care.Chichester: John Wiley and Sons Ltd
Ding et al. 2015.The analyses of Risk Factors for COPD in the Li Ethnic Group in Hainan,
Peoples Republic of China.International Journal of COPD.Dovepress: 10 hal 25932600
Djojodibroto, Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). EGC: Jakarata.
Dunlap, Mary Myers. 2015. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Grown Up. Volume
20 issue 4 halaman 1-4

9

Unnes Journal of Public Health

Fasitasari, Minidian. 2013. Terapi Gizi Lanjut Usia dengan Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK). Sains Medika, vol 5 nomor 1 hal 50-61
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2014. Global Strategy for the
Diagnosis, Management, and Prevention of COPD. GOLD diakses melalui
http://www.goldcopd.org/uploads/users/files/GOLD_Report_2014_Jan23.pdf

pada

Rabu, 13 April 2016 pukul 09.27 WIB
Karakatsani A et al. 2003. Pulmonary Disease Air Pollution in Relation to Manifestations
of CPD: A Nested Case Control Study in Athens, Greece. European Journal of
Epidemiology. Volume 18 halaman 45-53
Kanervisto, Merja et al. 2011.

Low Socioeconomic status is associated with chronic

obstructive airways disease. Respiratory Medicine . volume 105. halaman 1140-1146
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1022/MENKES/SK/XI/2008
tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik tahun 2008
Kemenkes. 2013. Riset Kesehatan Dasar tahun 2013.
_______. 2008. Riset Kesehatan Dasar 2007 Laporan Propinsi Jawa Tengah.
Kurniawidjaja, L Melly. 2010. Program Perlindungan Kesehatan Respiratori di tempat
Kerja, Management Risiko Penyakit Paru Akibat Kerja. Jurnal Respiratory Indonesia
vol 30 nomor 4
Lee Seok Jeoung et al. 2015. Risk Factors for COPD Among Never-Smokers in Korea.
International

Journal

of

COPD.

Dovepress:

Korea

diakses

melalui

https://www.dovepress.com/risk-factors-for-chronic-obstructive-pulmonary-diseaseamong-never-smo-peer-reviewed-article-COPD pada Kamis, 14 April 2016 pukul
20.15 WIB
Mannino, David M dan A Sonia Buist. 2007. Global Burden of COPD: Risk factors,
prevalence, and future trends. vol 370 hal 765-773 diaksesmelaluihttp://www.xhalo.com/pdfs/OtherRelated/GlobalBurdenofCOPDLancet2007.pfdfpadaRabu,

18

Mei 2016 pukul 13.08 WIB
NHLBI.

2014.

What

is

COPD.

diakses

melalui

http://www.nhlbi.nih.gov/files/docs/public/lung/copdpada Selasa, 23 Februari 2016
pukul 22.08 WIB
Panos, Ralph J dan William L. Eschenbacher. 2015. A COPD Primer. De Gruyter Ltd:
Berlin.
PDPI. 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. PDPI

10

Unnes Journal of Public Health

Price, Sylvia A dan Wilson, Lorraine M. 2003. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 2. EGC: Jakarta
Salameh, Pascale et al. 2012. Exposure o Outdoor Air Pollution and Chronic Bronchitis in
Adults: A Case Control Study. Lebanon.The IJOEM Volume 3 omor 4
Sastroasmoro, S., Ismael, S., ed. 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta:
CV. Sagung Seto
Schikowski, Tamara et al. 2005. long-term air pollution exposure and living close to busy
roads are associated with COPD in woma. BioMed Central Respiratory Research
volume 6 nomor 152
Skorsa, Golec M et al. 2014. Relationship between COPD and Lower Socioeconomic Status
in Farmers from South-Eastern Poland (Lublin Region). International Electronic
Journal of Rural and Remote Health.
Soeroto

Arto Yuwono dan Hendarsyah Suryadinata. 2014. Penyakit Paru Obstruktif

Kronik. Ina J Chest Crit and Emerg Med volume 1 nomor 2 halaman 83-88
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan RND. Bandung; Alfabeta
US Census Bureau : International Data Base, 2004, Statistics by Country for COPD diakses
melalui http://www.rightdiagnosis.com/c/copd/stats-country.htm statistik country
pada Selasa, 23 Februari 2016 pukul 22.05 WIB
Ye, Ming et al. 2013. occupational Pesticide Exposures and Respiratory Health.
International Journal of Environtmental health (10).hal 6442-6471
Yulianto. 2006. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Paru
Obstruktif Kronik di Kabupaten Magelang. Tesis. UGM: Jogjakarta.
WHO. 2004. Indoor smoke from solid fuels Assessing the environmental burden of disease
at National and Local Level. Geneva
______. 2014. Global Health Estimates : Key Figures and Tables. Departement of Health
Statistics and Information Systems: Geneva.
______.2016.

Household

Air

Pollution

and

Health

diakses

melalui

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs292/en/ pada Selasa, 10 Mei 2016 pukul
22.10 WIB.

11