Tingkat Spiritualitas dan Stres Pada Lansia di Graha Resident Senior Karya Kasih Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lanjut Usia
2.1.1 Definisi Lanjut Usia
Lanjut usia dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur
perkembangan kehidupan manusia. Menurut Undang-Undang nomor 13 Tahun
1998 tentang Kesejahteraan Lansia dikatakan bahwa lansia adalah seseorang yang
telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Dewi, 2014).
Manusia lanjut usia adalah seseorang yang karena usianya mengalami
perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial. Perubahan ini akan memberikan
pengaruh pada seluruh aspek kehidupan, termasuk kesehatannya. Oleh karena itu,
kesehatan manusia usia lanjut perlu mendapatkan perhatian khusus dengan tetap
dipelihara dan ditingkatkan agar selama mungkin dapat hidup secara produktif
sesuai dengan kemampuannya sehingga dapat ikut serta berperan aktif dalam
pembangunan (UU Kesehatan No. 23 tahun 1992, pasal 19 ayat 1, dalam Fatimah
2010).
2.1.2 Klasifikasi Lanjut Usia
Menurut Maryam, dkk (2010) klasifikasi lanjut usia terbagi atas: (1) pra
lanjut usia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun; (2) lanjut
usia yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih, lanjut usia adalah tahap
masa tua dalam perkembangan individu (usia 60 keatas); (3) Lanjut usia risiko

tinggi yaitu seseorang ysng berusia 70 tahun atau lebih atau seseorang yang
berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan; (4) lanjut usia potensial
6
Universitas Sumatera Utara

yaitu lanjut usia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau mampu melakukan
kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa; (5) lanjut usia tidak potensial yaitu
lanjut usia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung
pada bantuan orang lain.
2.1.3 Tipe Lanjut Usia
Tipe lanjut usia terbagi atas: (1) tipe arif bijaksana yaitu lansia kaya dengan
hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai
kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi
undangan dan menjadi panutan; (2) tipe mandiri yaitu mengganti kegiatan yang
hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan
teman, dan memenuhi undangan; (3) tipe tidak puas yaitu lansia yang mengalami
konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak
sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan banyak menuntut; (4) tipe
pasrah yaitu lansia menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan
agama dan melakukan pekerjaan apa saja; (5) tipe bingung lansia yang sering

kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif dan
acuh tak acuh.
Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, konstruktif, dependen (tergantung),
detensif (bertahan), militant dan serius, tipe pemarah/frustasi (kecewa akibat
kegagalan dalam melakukan sesuatu), serta tipe putus asa (Nugroho, 2000 dalam
Padila, 2014).

Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Teori Proses Menua
2.1.4.1 Teori genetic clock
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies
spesies tertentu. Jadi menurut konsep ini bila jam kita berhenti maka kita akan
meninggal dunia, meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan atau penyakit
awal yang katastrofal. Namun secara teoritis dapat dimungkinkan memutar jam
ini lagi meski hanya untuk beberapa waktu dengan pengaruh-pengaruh dari luar
berupa peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dengan obat-obatan atau
tindakan-tindakan tertentu.
2.1.4.2 Mutasi somatik (teori error Catastrophe)
Faktor penyebab proses menua dalam hal ini adalah faktor lingkungan

yang menyebabkan terjadinya mutasi somatik seperti radiasi dan zat kimia yang
dapat memperpendek umur. Terjadinya mutasi yang progresif pada DNA sel
somatik, akan menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan fungsional sel
tersebut (Suhana & Constantinides, 1994 dalam Darmojo & Martono, 2006).
2.1.4.3 Rusaknya sistem imun tubuh
Mutasi yang berubah atau perubahan protein pascatranslasi menyebabkan
berkurangnya

kemampuan

sistem

imun

tubuh

mengenali dirinya

(self


recognition). Jika mutasi somatik menyebabkan kelainan pada antigen permukaan
sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh mengenggap sel yang
mengalami perubahan tersebut

sebagai selasing dan menghancurkannya

(Goldstein, 1998 dalam Darmojo & Martono, 2006).

Universitas Sumatera Utara

2.1.4.4 Teori menua akibat metabolisme
Perubahan yang disebabkan oleh kalori yang berlebihan atau kurangnya
aktivitas. Perpanjangan umur karena penurunan jumlah kalori, menyebabkan
menurunnya salah satu atau beberapa proses metabolisme yang menyebabkan
penurunan pengeluaran hormon yang merangsang prolifersi sel, misalnya insulin
dan hormon pertumbuhan (Mckay, et al, 1935 dalam Darmojo & Martono, 2006).
2.1.5 Kebutuhan Lanjut Usia
Darmojo (2004 dalam Maryam, dkk, 2010) menyatakan bahwa terdapat
sepuluh kebutuhan pasien lanjut usia, yaitu: makanan cukup dan sehat, pakaian
dan kelengkapannya, perumahan atau tempat tinggal, perawatan dan pengawasan

kesehatan, bantuan teknis praktis sehari-hari, transportasi umum, kunjungan,
teman bicara atau informasi, rekreasi dan hiburan sehat lainnya, rasa aman dan
tentram, bantuan alat-alat panca indera dan kesinambungan bantuan dana dan
fasilitas.
2.2 Stres
2.2.1 Definisi Stres
Stres adalah reaksi dari tubuh (respon) terhadap lingkungan yang dapat
memproteksi diri kita yang juga merupakan bagian dari sistem pertahanan yang
membuat kita tetap hidup (Nasir dan Muhith, 2011). Pandangan dari patel (1996)
stres merupakan reaksi tertentu yang muncul pada tubuh yang bisa disebabkan
oleh berbagai tuntutan, misalnya ketika manusia menghadapi tantangan-tantangan
yang penting, ketika dihadapkan pada ancaman, atau ketika harus berusaha
mengatasi harapan-harapan yang tidak realistis dari lingkungannya.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Ermawati (2010) stres adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh
transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak
antara tuntutan yang bersalah dari situasi dan sumber daya sistem biologis,
psikologis, dan sosial dari seseorang.

Menurut Rasmun (2004) stres adalah respons tubuh yang tidak spesifik
terhadap setiap kebutuhan tubuh yang terganggu, suatu fenomena universal yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan tidak dapat dihindari, setiap orang akan
mengalaminya, stres memberi dampak secara total pada individu yaitu terhadap
fisik, psikologis, intelektual, sosial dan spiritual. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
stres merupakan tekanan atau tuntutan pada organisme untuk beradaptasi atau
menyelaraskan diri dengan lingkungan sehingga memiliki efek fisik dan psikis
serta dapat menimbulkan perasaan positif maupun negatif.
2.2.2 Jenis Stres
2.2.2.1 Eustres
Eustres atau stres yang baik adalah respon stres ringan yang menimbulkan
rasa bahagia, senang, menantang dan menggairahkan. Dalam hal ini tekanan yang
bersifat positif, misalnya lulus dari ujian, atau kondisi ketika menghadapi
perkawinan. Stres yang baik terjadi jika setiap stimulus mempunyai arti sebagai
hal yang memberikan pelajaran dan bukan sebuah tekanan. Tahu diri sendiri, tahu
menempatkan diri, dan tahu membawa diri akan menempatkan kita pada suasana
yang baik dan menyenangkan, terutama dalam menghadapi suatu stimulus internal
maupun eksternal. Dengan demikian, dikatakan stres positif apabila setiap
kejadian dihadapi dengan selalu berpikiran yang positif dan setiap stimulus yang


Universitas Sumatera Utara

masuk merupakan suatu pelajaran yang berharga dan mendorong seseorang untuk
selalu berpikir dan berperilaku bagaimana agar apa yang akan dilakukan selalu
membawa manfaat (Muhith & Nasir, 2011).
2.2.2.2Distres
Distres merupakan stres yang buruk dan menyakitkan, dimana respons yang
digunakan selalu negatif dan ada indikasi mengganggu integritas diri sehingga
bisa diartikan sebagai sebuah ancaman. Distres akan menempatkan pikiran dan
perasaan kita pada tempat dan suasana yang serba sulit. Hans Selye (1982, dalam
Muhith & Nasir, 2011), menyatakan bahwa distres adalah tubuh jika dihadapkan
pada tuntutan yang berlebihan, sedangkan menurut Dadang Hawari (2001, dalam
Muhith & Nasir, 2011), distres dimaknai sebagai sebuah reaksi tubuh yang
menyebabkan fungsi organ tubuh tersebut sampai terganggu. Dengan stres yang
tidak baik, dapat dipastikan ada salah satu pihak yang akan dirugikan bisa diri
sendiri maupun orang lain (Muhith & Nasir, 2011).
2.2.2.3 Optimal stres
Optimal stres atau neustres adalah stres yang berada antara eustres dengan
distres, merupakan respon stres yang menekan namun masih seimbang sehingga
seseorang merasa tertantang untuk menghadapi masalah dan memacu untuk lebih

bergairah, berprestasi, meningkatkan produktivitas kerja dan berani bersaing
(Hidayat, 2009).

Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Sumber Stres
Sumber stres dapat berasal dari dalam tubuh dan diluar tubuh, sumber stres
dapat berupa biologi/fisiologi, kimia, psikologi, sosial dan spiritual. Terjadinya
stres karena stresor tersebut dirasakan dan dipersepsikan oleh individu sebagai
suatu ancaman sehingga menimbulkan kecemasan yang merupakan tanda umum
dan awal dari gangguan kesehatan fisik dan psikologis.
2.2.3.1 Stresor biologi
Stresor biologi dapat berupa mikroba; bakteri, virus dan jasad renik lainnya,
hewan, binatang, bermacam tumbuhan dan mahluk hidup lainnya yang dapat
mempengaruhi kesehatan misalnya, tumbuhan jerawat, demam, digigit binatang
yang dipersepsikan dapat mengancam konsep diri individu.
2.2.3.2 Stresor fisik
Stresor fisik dapat berupa perubahan iklim, alam, suhu, cuaca, geografi (yang
meliputi letak tempat tinggal dan domisili), demografi (jumlah anggota keluarga,
nutrisi, radiasi kepadatan penduduk, imigrasi dan kebisingan).

2.2.3.3 Stresor kimia
Stresor dari dalam tubuh dapat berupa serum darah dan glukosa sedangkan
dari luar tubuh dapat berupa obat, pengobatan, pemakaian alkohol, nikotin, cafein,
polusi udara, gas beracun, insektisida, pencemaran lingkungan, bahan-bahan
kosmetik, bahan pengawet, dan pewarna.
2.2.3.4 Stresor sosial
Stres sosial terdiri dari beberapa yaitu: (1) Stresor sosial meliput i ekonomi
dan politik, misalnya tingkat inflasi yang tinggi, tidak ada pekerjaan, pajak yang

Universitas Sumatera Utara

tinggi, perubahan teknologi yang cepat, kejahatan; (2) Keluarga, misalnya peran
seks, iri, cemburu, kematian anggota keluarga, masalah keuangan, perbedaan gaya
hidup dengan pasangan atau anggota keluarga yang lain; (3) Jabatan dan karir,
misalnya kompetisi dengan teman, hubungan yang kurang baik dengan atasan
atau sejawat, pelatihan dan aturan kerja; (4) Hubungan interpersonal dan
lingkungan, misalnya harapan sosial yang terlalu tinggi, pelayanan yang buruk,
dan hubungan sosial yang buruk.
2.2.3.5 Stresor psikologis
Stresor psikologis meliputi frustasi yaitu tidak tercapainya keinginan atau

tujuan karena ada hambatan dan ketidakpastian yaitu apabila seseorang sering
berada dalam keraguan dan merasa tidak pasti mengenai masa depan atau
pekerjaannya, selalu bingung dan tertekan, rasa bersalah, perasaan khawatir dan
inferior.
2.2.3.6 Stresor spiritual
Stresor spiritual yaitu adanya persepsi negatif terhadap nilai-nilai ketuhanan.
2.2.4 Tahapan Stres
Menurut Van Amberg (dalam Hawari, 1996 & dalam Hidayat, Tahapan stres
2009) memiliki enam tahapan, yaitu :
2.2.4.1 Stres tingkat I
Tahapan ini merupakan tingkat stres yang paling ringan, dan biasanya disertai
perasaan-perasaan sebagai berikut; semangat besar, penglihatan tajam tidak
sebagaimana biasanya, energi dan gugup berlebihan, kemampuan menyelesaikan

Universitas Sumatera Utara

pekerjaan lebih dari biasanya, tahapan ini biasanya menyenangkan dan bertambah
semangat, tanpa disadari bahwa sebenarnya cadangan energinya sedang menipis.
2.2.4.2 Stres tingkat II
Pada tahap ini dampak stres yang menyenangkan mulai menghilang dan

timbul keluhan-keluhan dikarenakan cadangan energy tidak lagi cukup sepanjang
hari. Keluhan yang sering dikemukakan sebagai berikut; merasa letih sewaku
bangun pagi, merasa letih sesudah makan siang, merasa lelah menjelang sore hari,
terkadang gangguan dalam sistem pencernaan (gangguan usus, perut kembung),
kadang-kadang jantung berdebar, perasaan tegang pada otot punggung dan
tengkuk, perasaan tidak santai.
2.2.4.3 Stres tingkat III
Pada tahap ini keluhan keletihan semakin nampak disertai gejala sebagai
berikut; gangguan usus lebih terasa (sakit perut, mulas, sering bab dan bak), otototot terasa lebih tegang, perasaan tegang yang semakin meningkat, gangguan tidur
(susar tidur, sering terbangun malam dan susah tidur kembali atau bangun terlalu
pagi), badan terasa oyong, rasa-rasa mau pingsan, pada tahapan ini eksekutif
sudah harus berkonsultasi pada dokter, psikolog, kecuali jika beban stres atau
tuntutan dikurangi, dan tubuh mendapat kesempatan untuk beristirahat atau
relaksasi unuk memulihkan suplai energi.
2.2.4.4 Stres tingkat IV
Tahapan ini sudah menunjukkan keadaan yang lebih buruk ditandai dengan
gejala sebagai berikut; untuk bertahan sepanjang hari terasa sangat sulit, kegiatan-

Universitas Sumatera Utara

kegiatan yang semula menyenangkan kini terasa sulit, kehilangan kemampuan
untuk menanggapi situasi, pergaulan sosial dan kegiatan rutin lainnya terasa berat,
tidur semakin susah, mimpi-mimpi menegangkan dan sering terbangun dini hari,
perasaan negativistic, kemampuan konsentrasi menurun tajam, perasaan takut
yang tidak dapat dijelaskan.
2.2.4.5 Stres tingkat V
Tahapan ini merupakan keadaan yang lebih mendalam dari tahap IV, dengan
gejala sebagai berikut; keletihan yang mendalam (physical dan psychological
exhaution), untuk pekerjaan-pekerjaan yang sederhana saja terasa kurang mampu,
gangguan sistem pencernaan (sakit maag dan usus) lebih sering, susah buang air
besar dan buang air kecil, feses encer, perasaan takut yang semakin menjadi atau
panic.
2.2.4.6 Stres tingkat VI
Tahapan ini merupakan tahapan puncak yang merupakan keadaan gawat
darurat. Tidak jarang eksekutif dalam tahapan ini dibawa ke ICCU. Gejala-gejala
pada tahap ini cukup mengerikan, yaitu: debaran jantung terasa sangat keras, hal
ini disebabkan karena zat adrenalin yang dikeluarkan stres tersebut cukup tinggi
dalam peredaran darah, nafas sesak, badan gemetar, tubuh dingin, keringat
bercucuran. Bilamana diperhatikan, maka dalam tiap-tiap tahapan stres
menunjukkan manifestasi dibidang fisik dan psikis. Dibidang fisik berupa
kelelahan, sedangkan dibidang psikis berupa kecemasan dan depresi. Hal ini
dikarenakan penyediaan energi fisik maupun mental yang mengalami deficit
terus-menerus. Sering buang air kecil dan susah tidur merupakan pertanda depresi.

Universitas Sumatera Utara

2.2.5 Langkah-langkah Menghadapi Stres
Cara yang dilakukan untuk menghadapi stres dapat dilakukan dengan
berbagai cara, yaitu dengan mengurangi tingkat stres dan mengelolanya. Dalam
mengurangi stres menurut Atwater (1963, dalam Hidayat 2009) cara yang
dilakukan adalah sebagai berikut:
2.2.5.1 Mekanisme pertahanan diri
Proses psikologis yang termotivasi secara detensif. Mekanisme pertahan diri
terjadi secara otomatis dan dilakukan secara tidak disadari untuk menjadi cara
mengurangi stres. Contoh mekanisme pertahanan diri adalah repressi (menekan
ingatan ke alam tak sadar), rasionalisasi, proyeksi, sublimasi, fantasi, dan
sebagainya.
2.2.5.2 Mekanisme pengendalian diri
Mekanisme pengendalian diri merupakan cara-cara yang digunakan untuk
beradaptasi terhadap stres. Di dalamnya mencakup keseluruhan kemampuan
individu untuk menghadapi strres, pengubahan tingkah laku sehingga menjadi
lebih adaptif, mengubah cara berfikir dan cara bertindak, misalnya dengan
mengembangkan humor atau tertawa, menangis, dan berteriak.
Sementara untuk mengelola stres beberapa langkah yang harus dilakukan
menurut (Soewondo, 1993 dan Hawari, 1996 dalam Hidayat, 2009) adalah
sebagai berikut; menyadari tentang adanya stres, mengatur kebiasaan makan dan
berolahraga, mengubah respon terhadap stres, yaitu menanggulangi dengan
berbagai terapi tingkah laku, seperti dengan relaksasi, terapi fisiologis dengan

Universitas Sumatera Utara

biofeedback dan yoga, melakukan meditasi, pertemuan kelompok dan konseling,
istirahat di siang hari dan tidur yang cukup, mempersiapkan dan mengorganisasi
pekerjaan dengan lebih baik, yaitu dengan melakukan rekreasi, menghindari
merokok dan menghindari minuman keras, menjaga berat badan, mengembangkan
pergaulan yang sehat, mengatur waktu dengan tepat, menghindari perubahan,
memodifikasi lingkungan, sistem pendukung seperti keluarga, teman, memberi
nasehat dan dorongan emosi sangat berguna bagi sesorang yang dalam keadaan
stres, meningkatkan harga diri dengan cara mengidentifikasi aspek positif dari
dirinya, mengatasi rasa takut akan kegagalan, mendekatkan diri kepada Tuhan.
2.3 Spiritualitas
2.3.1 Definisi Spiritualitas
Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Yang Maha Kuasa
dan Pencipta (Hamid, 2009). Sebagai contoh seseorang yang percaya kepada
Allah sebagai pencipta atau sebagai Maha Kuasa. Menurut Stanlay dan Beare
(2007) spiritualitas adalah hubungan transenden antara manusia dengan yang
Maha Tinggi, sebagai kualitas yang berjalan diluar afiliasi agama tertentu, yang
berjuang keras untuk mendapatkan penghormatan, kekaguman, inspirasi dan yang
memberi jawaban sebagai sumber kekuatan dan harapan. Banks (1980 dalam
Stanley dan Beare, 2007) menyebutkan bahwa spiritualitas sebagai kekuatan yang
menyatukan, memberi makna pada kehidupan dan terdiri dari nilai-nilai individu,
persepsi dan kepercayaan juga keterikatan diantara individu.
Menurut Mickley, et al (1992 dalam Hamid, 2009) menyatakan bahwa
spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi eksistensial dan

Universitas Sumatera Utara

dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan,
sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan
Yang Maha Penguasa. Selanjutnya, Stoll (1998 dalam Hamid 2009) menyatakan
bahwa spiritualitas sebagai konsep dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan
dimensi horizontal. Dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan Yang Maha
Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang. Dimensi horizontal adalah hubungan
seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan lingkungan.
Terdapat hubungan yang terus-menerus antara dua dimensi tersebut.
Menurut Burkhardt (1993 dalam Hamid, 2009) spiritualitas meliputi aspek
sebagai berikut: (1) berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau
ketidakpastian dalam kehidupan; (2) menemukan arti dan tujuan hidup; (3)
menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri
sendiri; (4) mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang
Maha Tinggi.
2.3.2 Teori-teori Spiritualitas
2.3.2.1 Teori teologis
Mendeskripsikan spiritualitas sebagai iman seseorang pada Tuhan yang
diungkapkan melalui rumusan iman dan praktik keagamaan.
2.3.2.2 Teori psikologis
Spiritualitas sebagai ekspresi dari motif dan dorongan dalam diri manusia
yang diarahkan pada kedalaman hidupnya dan pada Tuhan.

Universitas Sumatera Utara

2.3.2.3 Teori sosiologis
Menurut sosiologi seseorang sangat dipengaruhi oleh orang-orang di
sekitarnya, yang pada gilirannya dipengaruhi oleh kelompok orang yang ada di
lingkungan hidupnya. Menurut sosiologi spiritualitas tidak hanya praktik spiritual
dan ritual yang dilakukan kelompok orang, tetapi juga sebagai molaritas sosial
yang terdapat dalam relasi personal (Meraviglia, 1999 dalam Young dan Koopsen,
2007).
2.3.2.4 Teori kedokteran
Secara historis, ilmu kedokteran hingga akhir-akhir ini memberikan sedikit
sekali perhatian pada dimensi spiritual, karena hal ini dipandang kurang berperan
dalam hal penyembuhan. Akan tetapi, sekarang ilmu kedokteran memusatkan
perhatian pada penjelajahan hubungan antara kebutuhan spiritualitas pasien dan
aspek perawatan kesehatan tradisional. Fakultas kedokteran mulai menawarkan
mata kuliah tentangt spiritualitas, agama dan kesehatan (Hiatt, 1996; Koenig et al,
1999 dalam Young dan Koopsen, 2007).
2.3.2.5 Teori keperawatan
Keperawatan melingkupi pandangan-pandangan yang telah disebut pada teori
teologis, psikologis, sosiologis, dan kedokteran. Selain itu, bidang keperawatan
juga memandang spiritualitas itu dari sudut pandang lain meliputi kesehatan
spiritual, kesejahteraan spiritual, perspektif spiritual, transendensi-diri, iman,
kualitas hidup, harapan, kesaehan, tujuan hidup dan kemampuan mengatasi
masalah spiritual (Moraviglia, 1999 dalam Young dan Koopsen, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas
Menurut (Taylor, 1997 dan Craven & Himle, 1996 dalam Hamid, 2009)
faktor penting yang dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang adalah:
2.3.3.1 Tahap perkembangan
Setiap individu memiliki bentuk pemenuhan spiritualitas yang berbeda-beda
sesuai dengan usia, jenis kelamin, agama dan kepribadian individu. Semakin
bertambah usia, individu akan memeriksa dan membenarkan keyakinan
spiritualitasnya (Taylor et al, 1997 dalam Hamid, 2009). Menurut (Hamid, 2009)
perkembangan spiritualitas berdasarkan usia terdiri dari:
(1) Pada masa anak-anak yaitu spiritualitas pada masa ini belum bermakna pada
dirinya. Spiritualitas didasarkan pada perilaku yang didapat melalui interaksi
dengan orang lain misalnya keluarga. Pada masa ini anak-anak belum mempunyai
pemahaman salah atau benar. Kepercayaan atau keyakinan mengikuti ritual atau
meniru orang lain.
(2) Pada masa remaja yaitu spiritualitas pada masa ini sudah mulai pada
keinginan akan pencapaian kebutuhan spiritualitas seperti keinginan melalui
berdoa kepada penciptanya, yang berarti sudah mulai membutuhkan pertolongan
melalui keyakinan atau kepercayaan. Bila pemenuhan kebutuhan spiritualitas
tidak terpenuhi, akan menimbulkan kekecewaan.
(3) Pada masa dewasa yaitu kelompok usia dewasa muda yang dihadapkan pada
pertanyaan bersifat keagamaan dari anaknya akan menyadari apa yang pernah

Universitas Sumatera Utara

diajarkan kepadanya pada masa anak-anak dulu, lebih dapat diterima pada masa
dewasa dari pada waktu remaja.
(4) Pada usia pertengahan dan lansia kelompok usia pertengahan dan lansia
mempunyai lebih banyak waktu untuk kegiatan agama dan berusaha untuk
mengerti nilai agama yang diyakini. Perasaan kehilangan karena pensiun dan
tidak aktif serta menghadapi kematian orang lain (saudara, sahabat) menimbulkan
rasa kesepian dan mawas diri. Perkembangan spiritualitas pada tahap ini lebih
matang sehingga membuat indivdu mampu untuk mengatasi masalah dan
menghadapi kenyataan.
(5) Keluarga

yaitu

keluarga

merupaka

lingkungan

pengalaman pertama individu dalam mempersepsikan kehidupan

terdekat
di

dan
dunia.

Pandangan individu pada umumnya diwarnai oleh pengalaman keluarga. Oleh
karena itu peran keluarga sangat penting untuk perkembangan spiritualitas
individu (Hamid, 2009).
2.3.3.2 Latar belakang etnik dan budaya
Sikap, keyakinan, dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan budaya,
Pada umumnya, seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga.
Seseorang belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama, termasuk nilai moral
dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk kegiatan
keagamaan (Hamid, 2009).

Universitas Sumatera Utara

2.3.3.3 Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup yang positif maupun negatif dapat mempengaruhi
spiritualitas seseorang. Pengalaman hidup mempengaruhi seseorang dalam
mengartikan secara spiritual kejadian yang dialaminya. Pengalaman hidup yang
menyenangkan dapat menyebabkan seseorang bersyukur atau tidak bersyukur.
Peristiwa dalam kehidupan sering dianggap sebagai suatu cobaan yang diberikan
Tuhan kepada manusia untuk menguji imannya (Hamid, 2009).
2.3.3.4 Krisis dan perubahan
Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalaman spiritualitas seeorang.
Krisis sering dialami ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan, proses
penuaan, kehilangan dan kematian. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang
dialami seseorang merupakan pengalaman spiritual yang bersifat fisik dan
emosional.
2.3.3.5 Terpisah dari ikatan spiritual
Ketika individu mengalami penyakit akut sering kali individu merasa
terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dan sistem dukungan sosial. Sebagai
contoh pasien yang sedang dirawat di rumah sakit terhalang untuk menghadiri
kegiatan keagamaan atau tidak dapat berkumpul dengan keluarga dan teman
dekat. Terpisahnya individu dari ikatan spiritual dapat beresiko terjadinya
perubahan fungsi spiritual.

Universitas Sumatera Utara

2.3.3.6 Isu moral terkait dengan terapi
Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap sebagai cara Tuhan
untuk menunjukkan kebesarannya walaupun ada agama yang menolak intervensi
pengobatan. Prosedur medik sering dapat dipengaruhi oleh pengajaran agama,
misalnya sirkumsisi, transplantasi organ, pencegahan kehamilan dan sterilisasi.
Konflik antar jenis terapi dengan keyakinan agama sering dialami oleh klien dan
tenaga kesehatan.
2.3.3.7 Asuhan keperawatan yang kurang sesuai
Ketika memberikan asuhan keperawatan kepada klien, perawat diharapkan
untuk peka terhadap kebutuhan spiritualitas klien, tetapi dengan berbagai alasan
ada kemungkinan perawat menghindar untuk memeberikan asuhan keperawatan
spiritualitas. Hal tersebut terjadi karena perawat merasa kurang nyaman dengan
kehidupan spiritualnya, kurang menganggap penting kebutuhan spiritualitas, tidak
mendapatkan pendidikan tentang aspek spiritualitas dalam keperawatan atau
merasa bahwa pemenuhan kebutuhan spiritualitas klien bukan merupakan
tugasnya tetapi tanggung jawab pemuka agama (Taylor,et al, 1997 dalam Hamid,
2009).
2.3.4 Elemen Hakiki Spiritualitas
Agar dapat mengenali kebutuhan spiritual pasien dan menyelenggaran
perawatan kesehatan yang memadai, penyelenggara perawatan kesehatan harus
memahami elemen spiritualitas dan bagaimana elemen itu diekspresikan oleh

Universitas Sumatera Utara

orang yang berbeda-beda. Berikut dijelaskan elemen-elemen pokok spiritualitas
yaitu:
2.3.4.1 Diri sendiri, sesama, dan Tuhan
Relasi spiritual dengan diri sendiri, sesame dan Tuhan dapat menjadi sumber
penghiburan tak terbatas, seraya memberi energi dan daya yang menyembuhkan
kepada pasien. Energi ini dapat bersifat timbal balik, mendalam dan kaya makna
bagi baik penyelenggara perawatan kesehatan maupun pasien (Dyson et al, 1997;
Walton, 1996 dalam Young & Koopsen, 2007).
2.3.4.2 Makna dan tujuan hidup
Pencarian akan makna hidup telah menjadi tema utama dalam spiritualitas,
hubungan dengan diri sendiri, sesame dan Tuhan. Burkhardt (1998) memberikan
pengertian makna dan tujuan hidup sebagai suatu misteri yang selalu
menyingkapkan diri. Kebutuhan akan tujuan dan makna hidup merupakan ciri
universal dan menjadi hakikat hidup itu sendiri. Apabila seseorang tidak mampu
menemukan tujuan dan makna hidupnya, seluruh aspek hidupnya akan rusak dan
mengakibatkan penderitaan karena kesepian dan kehampaan. Kemudian
mengalami distres spiritual, dan akhirnya fisik (Burkhardt & Nagai-Jacobson,
2002 dalam Young & Koopsen, 2007).
2.3.4.3 Harapan
Harapan dimengerti sebagai pancaran energi afiliasi timbal balik dan
perhatian yang diberikan kepada sesama dan diri sendiri. Harapan mengatasi rasa
ketertarikan terhadap segala kemungkinan dan daya yang melampaui diri sendiri

Universitas Sumatera Utara

masa kini. Orang yang memperhatikan hidup spiritual cenderung berpengharapan
tinggi dari pada sesamanya yang tidak memperhatikan hidup spiritual ( Mahoney
& Graci, 1998 dalam Young & Koopsen, 2007). Sering kali dikatakan bahwa
dimana ada hidup, disitulah harapan; akan tetapi, Kleindienst (1998 dalam Young
& Koopsen, 2007) juga percaya akan kebalikan kepercayaan itu, bahwa dimana
ada harapan, disitu ada hidup.
2.3.4.4 Keterhubungan/keterkaitan
Spiritualitas juga melibatkan hubungan dengan seseorang atau sesuatu yang
mengatasi diri sendiri. Orang atau sesuatu itu dapat menopang dan menghibur,
membimbing dalam pengambilan keputusan, memaafkan kelemahan kita, dan
merayakan perjalanan hidup kita ( Spaniol, 2002 dalam Young & Koopsen, 2007).
Spiritualitas juga diungkapkan dan dialami melalui saling keterhubungan
dengan alam, bumi, lingkungan, dan kosmos. Seluruh rangkaian hidup ada dalam
jejaring saling keterhubungan, apa yang terjadi pada bumi mempengaruhi tiap
manusia, dan tiap perilaku manusia mempengaruhi bumi. Maka sangatlah penting
untuk menyadari dan menghormati jejaring saling keterhubungan hidup (Dossey,
1997; Spaniol, 2002 dalam Young & Koopsen, 2007)
Spaniol (2002 dalam Young & Koopsen, 2007) menyatakan bahwa
keterhubungan merupakan kodrat asli yang kita alami dan spontan. Untuk
menjadikan diri sebagai rekan yang terus-menerus memberi partisipasi, bekerja
sama dan menyatu di bumi, tempat kita hidup. Konsekuensi dari terputusnya
saling keterhubungan (dari diri sendiri, sesama atau makna hidup yang lebih luas

Universitas Sumatera Utara

atau Tuhan) mencakup perasaan kesepian, keterasingan, dan hilangnya makna
atau tujuan hidup.
2.3.4.5 Kepercayaan dan sistem kepercayaan
Iman dapat menjadi bagian penting dari kepercayaan seseorang dan
keputusan yang dibuatnya dalam hidup. Iman yang bertumbuh selalu merupakan
proses aktif dan berlangsung terus-menerus serta unik bagi masing-masing orang,
karena tertanam dimasa lampau, sekarang, dan harapan akan masa depan (Carson,
1989 dalam Young & Koopsen, 2007).
Kepercayaan spiritual secara eksklusif dikaitkan dengan agama, sehingga
kepercayaan itu tidak pernah berkaitan dengan orang lain. Bukti menunjukkan
bahwa minat pada spiritualitas tidak terbatas pada mereka yang pergi ke gereja
atau menjadi anggota kelompok agama (Shea, 2000 dalam Young & Koopsen,
2007). Dyson et al (1997) menyatakan jika Tuhan didefinisikan sebagai konstruk
yang menunjukkan nilai utama dalam hidup seseorang, dan membentuk
kepercayaan, nilai dan pilihan yang dianut orang itu, maka baik sistem
kepercayaan religious dan non-religius harus dipandang sangat penting dalam
eksplorasi tentang spiritualitas.
2.3.5 Karakteristik Spiritualitas
2.3.5.1 Hubungan dengan diri sendiri
Merupakan kekuatan dari dalam diri seseorang yang meliputi pengetahuan diri
yaitu siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya, sikap yang menyangkut
kepercayaan diri sendiri, percaya pada kehidupan atau masa depan, ketenangan

Universitas Sumatera Utara

pikiran, serta keselarasan dengan diri sendiri. Kekuatan yang timbul dari diri
seseorang membantunya menyadari makna dan tujuan hidupnya, diantaranya
memandang pengalaman hidupnya sebagai pengalaman yang positif, kepuasan
hidup, optimis terhadap masa depan, dan tujuan hidup yang semakin jelas (Hamid,
2009).
1. Kepercayaan
Merupakan penerimaan individu terhadap kebenaran yang tidak dapat
dibuktikan dengan pikiran logis. Kepercayaan memberikan kekuatan pada
individu dalam menjalani kehidupan ketika individu mengalami kesulitan atau
penyakit (Kozier, Erb, Blais, & Wilkinson, 2004).
2. Harapan
Merupakan suatu proses interpersonal yang terbina melalui hubungan dengan
orang lain dan Tuhan yang didasarkan pada kepercayaan. Harapan berperan
penting dalam mempertahankan hidup ketika individu sakit (Kozier, Erb, Blais &
Wilkinson, 2004).
3. Makna atau arti dalam hidup
Merupakan suatu hal yang berarti bagi kehidupan individu ketika individu
merasa dekat dengan Tuhan, orang lain dan lingkungan. Individu merasakan
kehidupan sebagai sesuatu yang membuat hidup lebih terara, memiliki masa
depan, dan merasakan kasih saying dari orang lain (Kozier, Erb, Blais &
Wilkinson, 2004).

Universitas Sumatera Utara

2.3.5.2 Hubungan dengan orang lain
Hubungan ini terbagi atas harmonis dan tidak harmonisnya hubungan dengan
orang lain. Keadaan harmonis meliputi pembagian waktu, ramah dan
bersosialisasi, mengasuh anak, mengasuh orang tua dan orang sakit, serta
meyakini kehidupan dan kematian. Sedangkan kondisi yang tidak harmonis
mencakup konflik dengan orang lain dan resolusi yang menimbulkan
ketidakharmonisan, serta keterbatasan hubungan (Hamid, 2009).
2.3.5.3 Hubungan dengan alam
Harmonis merupakan gambaran hubungan seseorang dengan alam yang
meliputi pengetahuan tentang tanaman, pohon, margasatwa, iklim dan
berkomunikasi dengan alam (bertanam dan berjalan kaki), dan melindungi alam
tersebut (Burkhdat, 1989 dalam Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995 & Hamid,
2009).
2.3.5.4 Hubungan dengan Tuhan
Meliputi agamis atau tidak agamis. Keadaan ini menyangkut sembahyang,
berdoa dan meditasi, keikutsertaan dalam kegiatan ibadah, perlengkapan
keagamaan, serta bersatu dengan alam (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995).
Dapat disimpulkan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan spiritual apabila mampu
merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di dunia atau
kehidupan, mengembangkan arti penderitaan serta meyakini hikmah dari satu
kejadian atau penderitaan, menjalin hubungan yang positif dan dinamis, membina
integritas personal dan merasa diri berharga, merasakan kehidupan yang terarah

Universitas Sumatera Utara

terlihat melalui harapan dan mengembangkan hubungan antar manusia yang
positif (Hamis, 2009).

Universitas Sumatera Utara