Gambaran Konsep Diri dan Kecemasan Keluarga yang Memiliki Anak Retardasi Mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) kota Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Retardasi Mental
2.1.1 Pengertian Retardasi Mental
Keterbelakangan mental (mental retardation, MR) adalah suatu keadaan

yang

ditandai dengan fungsi kecerdasan yang berada di bawah rata-rata yang disertai dengan
kurangnya kemampuan menyesuaikan diri (perilaku maladaptif), yang mulai tampak pada
awal kelahiran. Pada mereka yang mengalami mental retardation memiliki keterbelakangan
dalam kecerdasan, mengalami kesulitan belajar dan adaptasi sosial. Diperkirakan ada sekitar
tiga persen dari total penduduk dunia mengalami keterbelakangan mental (Pieter, dkk,
2011).
Mark Durand (2007 dalam Pieter, Janiwarti dan Saragih, 2011) mengatakan bahwa
mental retardation adalah bentuk keterbelakangan fungsi intelektual yang secara signifikan
berada di bawah rata-rata yang disertai oleh defisit fungsi adaptasi, seperti kegagalan dalam
mengurus diri sendiri dan timbulnya perilaku menentang (okupasional).
Menurut DSM-IV-TR (2004) mental retardation merupakan gangguan fungsi
intelektual yang secara signifikan berada di bawah rata-rata dengan skor IQ-70 ataupun
kurang. Mental retardation ditandai dengan defisit atau hendaya dalam fungsi adaptif,

seperti bidang komunikasi, mengurus dirinya sendiri, home living, keterampilan sosial,
interpersonal, dan keterampilan akademik.

2.1.2 Ciri-ciri Klinis Retardasi Mental
Menurut DSM-IV-TR (2004) ciri-ciri klinis mental retardation:
1. Orang yang memiliki fungsi intelektual yang secara signifikan berada di tingkat
subaverage (IQ < 70).
7

Universitas Sumatera Utara

2. Orang yang memiliki defisit atau hendaya dalam fungsi adaptif yang timbul secara
bervariasi. Tanda-tanda umum dari mental retardation adalah kesulitan dalam
berkomunikasi, kesulitan dalam mengurus diri sendiri atau rumah, kesulitan dalam
membina relasi sosial atau personal, rendahnya kemampuan akademis, kesehatan dan
keselamatan.
3. Umur onset, yakni timbulnya mental retardation pada usia 18 tahun. Batasan ini
ditetapkan sebagai identifikasi gangguan pada fase-fase perkembangan berikutnya.
Selanjutnya menurut DSM-IV-TR, ciri-ciri klinis mental retardation diselaraskan
dengan tingkatan kemampuannya, yakni:

a. Retardasi Mental Katagori Ringan
Retardasi mental kategori ringan disebut juga dengan mental retardation kategori mild
(ringan) dengan tingkat IQ=50-70, memiliki fungsi intelegensi yang secara signifikan
berada pada subaverage ke bawah. Penderitanya membutuhkan bantuan yang cukup
terbatas dan tak membutuhkan bantuan total. Dia masih bisa mandiri dengan tingkat
pengawasan yang minimal dan masih memiliki prestasi yang memadai. Akan tetapi mereka
masih sangat tergantung pada pendidikan, pelatihan, dan dukungan masyarakat.
Anak dengan retardasi mental ringan masih dapat membaca hingga kelas empat
sampai enam sekolah dasar. Meskipun dia memiliki kesulitan membaca, tetapi dia masih
mampu mempelajari pendidikan dasar yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka membutuhkan pengawasan, bimbingan, dan pelatihan khusus. Penderita retardasi
mental tidak memiliki kelainan fisik yang signifikan, tetapi mereka kerap kali menderita
epilepsi.
b. Retardasi Mental Kategori Sedang
Retardasi mental kategori sedang disebut juga dengan mental retardation kategori
moderate (sedang), memiliki tingkat IQ=35-40 atau IQ=50-55. Penderitanya membutuhkan
8

Universitas Sumatera Utara


bantuan yang cukup terbatas, tidak membutuhkan bantuan total, masih mampu mandiri
dengan tingkat pengawasan yang cukup minimal, masih memiliki prestasi yang memadai
dan tergantung pola pendidikan, bimbingan, pelatihan, dan dukungan masyarakat.
Anak yang memiliki retardation mental IQ=36-51 jelas sekali memiliki keterbatasan
dan keterlambatan dalam belajar bicara dan keterlambatan dalam perkembangan lainnya,
seperti duduk. Dengan melalui pelatihan dan dukungan masyarakat (lingkungan), penderita
retardasi mental masih dapat hidup mandiri untuk taraf keterampilan dan kebutuhan
tertentu.
c. Retardasi Mental Kategori Berat
Retardasi mental kategori berat disebut juga dengan mental retardation kategori
severe (berat) dengan tingkat skor IQ=20-25 dan IQ=30-45, memiliki keterampilan
komunikasi formal yang sangat terbatas, sehingga tidak pernah bicara lisan dan jika adapun
bicaranya hanya sebatas satu atau dua kata. Penderitanya membutuhkan bantuan khusus dan
total, seperti mandi, berpakaian, dan makan. Penderitanya total membutuhkan bantuan
living home, tidak memiliki keselamatan, kesehatan apalagi keterampilan akademik.
d. Retardasi Mental Kategori Sangat Berat
Retardasi mental kategori sangat berat disebut juga mental retardation kategori
profound (sangat berat) dengan tingkat skor IQ=20-25, tidak memiliki keterampilan
komunikasi formal, sehingga tidak pernah bicara lisan sama sekali, tak pernah belajar
menggunakan bicara sebagai media komunikasi, dan tidak mampu menggunakan alternatif

bahasa isyarat atau alat komunikasi lainnya. Dia sangat sulit belajar akibat disfungsi
kognitif dan memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi sehingga aktivitas sehari-harinya
sangat total membutuhkan bantuan living home, keselamatan, kesehatan dan keterampilan
akademiknya sama sekali tidak ada.

9

Universitas Sumatera Utara

Anak-anak mental retardation dalam kategori sangat berat (IQ≤ 19) biasanya tidak
dapat berjalan, berbicara, ataupun memahami orang lain. Angka harapan hidup anak-anak
yang memiliki keterbelakangan mental relatif pendek dan tergantung pada faktor
penyebabnya. Biasanya semakin berat mental retardation, maka semakin kecil angka
harapan hidupnya.
2.1.3 Faktor-faktor Penyebab Retardasi Mental
Adapun 5 faktor penyebab retardasi mental menurut Pieter, Janiwarti, dan Saragih (2011)
yaitu :

a. Trauma (Sebelum dan Sesudah Lahir)
Faktor perkembangan dan kelahiran yang dimaksudkan ialah faktor-faktor yang berkaitan

dengan perkembangan selama pranatal, perinatal, dan postnatal. Faktor pranatal, yakni
akibat penyakit, keracunan dari bahan-bahan kimia, obat-obatan yang tidak terkendali dalam
penggunaanya, penggunaan alkohol (fetal alcohol sindrom), drugs, rokok, dan malanutrisi
selama kandungan. Faktor perinata, yakni pengaruh dari kesulitan melahirkan atau kelahiran
yang kurang oksigen (hipoksia). Faktor postnatal, yakni akibat infeksi atau virus, luka atau
pencederaan pada otak atau cacat pada kepala.
b. Infeksi (Bawaan dan Sesudah Lahir) dan Kelainan Kromosom
Infeksi bawaan sesudah lahir yang menyebabkan mental retardation yaitu: rubela
kongenitalis, meningitis, sitomegalo, ensefalitis, toksoplasmosis kongenitalis, listeriosis, dan
HIV.Sementara kelainan kromosom yang menyebabkan mental retardation adalah kesalahan
pada jumlah kromosom (sindrom Down), defek pada kromosom (sindrom X yang rapuh,
sindrom Aangelman, sindrom Prader-Willi), translokasi, dan sindrom cri du chat.
c. Kelainan Genetik dan Kelainan Metabolik yang Diturunkan

10

Universitas Sumatera Utara

Kelainan genetik yang menyebabkan retardasi mental adalah galaktosemia, penyakit TaySachs, leukodistrofi metakromatik adrenoleukodistrof, sindrom Lesch-Nyhan, sindrom rett,
dan sklerosis tuberosa. Sementara faktor-faktor metabolik yang dapat menyebabkan retardasi

mentaladalah sindrom Reye, dehidrasi hipernatremik, hipotiroid kongenital, hipoglikemia,
dan diabetes melitus.
d. Akibat Keracunan
Pemakaian alkohol, kokain, amfetamina, dan obat lainnya pada ibu hamil. Serta keracunan
metil merkuri (timah hitam) juga dianggap memberikan konstribusi besar sebagai penyebab
retardasi mental.
e. Gizi dan Lingkungan
Faktor-faktor penyebab retardasi mental yang berkaitan dengan aspek gizi yaitu kwasiorkor,
maramus dan malnutrisi.Sementara faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dalam
pembentukan retardasi mental adalah kemiskinan, deprivasi sosial, lingkungan rumah dengan
sikap tidak memperdulikan anak atau adanya penelantaran anak, budaya (culture familial
retardation), atau lingkungan yang menghasilkan bahan-bahan kimia beracun dan berbahaya.

11

Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Klasifikasi Tingkatan Retardasi Mental
Tabel 2.1 Klasifikasi menurut Pieter, Janiwarti, dan Saragih (2011) sebagai berikut:


TINGKAT

KISARAN
IQ

KEMAMPUAN
PRASEKOLAH
(SEJAK LAHIR-5
TAHUN)

Ringan

52-68

Dapat membangun
kemampuan sosial
& komunikasi
koordinasi otot
sedikit terganggu
dan sering kali

tidak terdiagnosis.

Moderat

36-51

Dapat berbicara &
belajar
berkomunikasi
kesadaraan sosial
kurang dan
koordinasi otot
cukup.

Berat

20-35

Dapat
mengucapkan

beberapa kata.
Mampu
mempelajari
kemampuan untuk
menolong diri
sendiri. Tidak
memiliki
kemampuan

KEMAMPUAN KEMAMPUAN
MASA
USIA
DEWASA (21
SEKOLAH (6TAHUN
20 TAHUN)
KEATAS)
Dapat
Biasanya dapat
mempelajari
mencapai

pelajaran kelas kemampuan kerja
enam pada
& bersosialisasi
akhir usia
yang cukup, tetapi
belasan tahun.
ketika mengalami
Dapat
stres sosial
dibimbing ke
ataupun ekonomi,
arah pergaulan
memerlukan
sosial dan dapat bantuan.
dididik.
Dapat
Dapat memenuhi
mempelajari
kebutuhannya
beberapa

sendiri dengan
kemampuan
melakukan
sosial &
pekerjaan yang
pekerjaan.
tidak terlatih atau
Dapat belajar
semi terlatih di
berpergian
bawah
sendiri di
pengawasan.
tempat-tempat
Memerlukan
yang
pengawasan &
dikenalnya
bimbingan ketika
dengan baik.
mengalami stres
sosial maupun
ekonomi yang
ringan.
Dapat berbicara Dapat memelihara
atau belajar
diri sendiri di
berkomunikasi. bawah
Dapat
pengawasan.
mempelajari
Dapat melakukan
kebiasaan hidup beberapa
sehat
kemampuan
sederhana.
perlindungan diri
dalam lingkungan
yang terkendali.

12

Universitas Sumatera Utara

Sangat
berat

19 atau
kurang

ekspresif atau
hanya sedikit.
Koordinasi otot
jelek.
Sangat terbelakang.
Koordinasi ototnya
sedikit sekali.
Mungkin
memerlukan
perawatan khusus.

Memiliki
beberapa
koordinasi otot,
kemungkinan
tidak dapat
berjalan atau
berbicara.

Memiliki
beberapa
koordinasi otot &
berbicara. Dapat
merawat diri
tetapi sangat
terbatas.
Memerlukan
perawatan khusus.

2.1.5 Bentuk-Bentuk Retardasi Mental
a. Alcohol syndrom,Yaitu mental retardation yang diakibatkan bahan kimia dan obat-obatan,
seperti penylalanin. (Hellekson, dalam Pieter, Janiwarti, dan Saragih, 2011).
a. Lesch-Nyhan syndromadalah mental retardation yang diakibatkan gangguan cerebral palsy
(spastisitas, pengencangan otot). Ciri-ciri Lesch-Nyhan syndrome ditandai dengan perilaku
mencederai diri sendiri, seperti menggigit-gigit jari atau bibir. Gangguan ini hanya dideritai
oleh anak laki-laki, karena yang bertanggung jawab adalah gen resesif, yakni ketika gen
berada di kromosom X pada laki-laki tidak memiliki gen normal untuk menyeimbangi dan
karena laki-laki tidak memiliki kromosom X yang kedua.
b. Down syndromeadalah bentuk mental retardation akibat adanya abnormalitas kromosom 21
yang memberikan penampilan fisik yang khas, seperti wajah mongoloid (Scherenberger,
dalam Pieter, Janiwarti, dan Saragih 2011). Ciri-ciri khas down syndrome adalah mata sipit
dan mengarah keatas, hidung rata, mulut kecil dengan langit-langit datar sehingga lidah
menjulur keluar, ada malformasi jantung bawaan, mengarah demensia Alzheimer≥ (40
tahun). Gangguan otak pada Down syndrome menyebabkan hendaya ingatan dan gangguan
kognitif lainnya. Selain akibat penyimpangan kromosom, faktor pendukung lain yang dapat
menyebabkan Down syndrome adalah akibat usia ibu yang terlalu tua atau terlalu muda
untuk mengandung.
13

Universitas Sumatera Utara

c. Fragile X syndromemenurut Dykens (1998 dalam Pieter, Janiwarti, dan Saragih, 2011)
adalah bentuk mental retardation ini akibat penyimpangan atau cacat pada kromosom X
yang berkaitan dengan masalah-masalah belajar, hiperaktif, menghindar tatapan mata,
perseverative speech dan ciri-ciri fisik yang tidak lazim, seperti telinga, buah zakar,
lingkaran kepala yang besar. Estimasi gangguan ini diperkirakan 1 di antara 2.000 laki-laki.
d. Cultural familial retardation, yaitu bentuk mental retardation yang ringan dan disebabkan
oleh pengaruh lingkungan dan kombinasi pengaruh biologis dengan psikososial, seperti
akibat penganiayaan fisik, penelantaran dan deprivasi sosial. Ciri-ciri orang yang cultur
familial retardation adalah memiliki skor IQ= 50-70, memiliki keterampilan adaptif yang
cukup baik, namun tidak berpotensi untuk mengembangkan keterampilannya, memiliki
keterlambatan dalam perkembangan.
2.1.6 Cara Penanganan Retardasi Mental
Pieter, Janiwarti, dan Saragih (2011) cara penanganan mental retardation secara
biologis untuk saat ini bukan pilihan utama. Secara umum, penanganan pada mental
retardation harus paralel, yakni dengan mengajarkan berbagai keterampilan yang
dibutuhkan agar mereka dapat produktif dan mandiri. Perlu kita ketahui bahwa para
penderita mental retardation yang sangat mereka butuhkan ialah agar mereka dapat
berpartisipasi dengan cara-cara tertentu dalam masyarakat, bersekolah bahkan memiliki
harapan untuk dapat bekerja dan memperoleh kesempatan menjalin hubungan sosial yang
lebih berarti. Dengan kemajuan teknologi dan pendidikan memberikan peluang yang lebih
baik dan realitis dalam kehidupan bagi para penderita mental retardation.
Mark Durand dan David H. Barlow (2007) mengatakan, bahwa hingga saat ini belum
ada obat medis khusus yang bisa menyembuhkan gangguan mental retardation. Akan tetapi,
usaha pencegahan dan penanganannya lebih menunjukkan pada perubahan keterampilan
yang lebih berarti dalam kehidupan mereka.
14

Universitas Sumatera Utara

a. Penanganan Behavioral
Penanganan gangguan mental retardation pertama kali diintroduksikan pada tahun 1960
yang menekankan pada pengajaran keterampilan melalui inovasi perilaku (behavior),
seperti dengan mengajarkan mereka keterampilan untuk mandi, berpakaian dan buang
air. (Wilson, dalam Pieter, Janiwarti, dan Saragih, 2011). Keterampilan perilaku seperti
ini dipecahkan menjadi bagian-bagian lebih kecil (task analysis) dan mereka diajarkan
dengan

memberikan

pujian-pujian

atau

penguatan

(reinforce).

Keberhasilan

mengajarkan keterampilan dapat diukur dari tingkat kemandirian yang dicapai dengan
memanfaatkan keterampilan yang telah diajarkan.
b. Latihan Komunikasi
Latihan komunikasi sangat penting bagi penderita mental retardation. Langkah awal
yang perlu diketahui yaitu bagaimana membuat kebutuhan yang dapat memberikan rasa
puas dalam berbagai aktivitasnya. Tujuan latihan ini berbeda bagi setiap penderita,
tergantung pada tingkat keterampil yang dimilikinya. Bagi penderita mental
retardationringan, tujuannya pada aspek artikulasi dan pengorganisasian bicara.
(Abbeduto, dalam Pieter, Janiwarti, dan Saragih, 2011). Sementara penderita mental
retardation dengan disabilitas paling berat, tipe latihan komunikasi dapat memberikan
tantangan baru karena penderitanya memiliki keragaman defisit fisik dan kognitif yang
membuat komunikasi lisan sangat sulit atau bahkan mustahil dilakukan. (warren, dalam
Pieter, Janiwarti, dan Saragih, 2011). Menurut Reichle (1992 dalam Pieter, Janiwarti,
dan Saragih, 2011) Namun bagi para terapis yang ahli dan kreatif tentu memiliki
alternatif yang lebih mudah, misal menggunakan bahasa isyarat yang lazim digunakan
penderita disabilitas pendengaran dan menggunakan argumentatif strategi komunikasi
melalui buku-buku bergambar yang menandakan permintaan atau menunjukkan
terhadap suatu objek tertentu.
15

Universitas Sumatera Utara

c. Support Employment
Bellamy (1988 dalam Pieter, Janiwarti, dan Saragih, 2011) mengatakan salah satu
metode yang mengajarkan penderita mental retardation agar dapat berpartisipasi dalam
dunia pekerjaan secara memuaskan dan berkompetisi. (Bellamy, Rhodes, Mank, dan
Albin, 1988). Terlepas dari besarnya biaya yang terkait, maka dengan metode ini bukan
hanya menempatkan penderitanya dalam satu pekerjaan yang bermakna, tetapi yang
terpenting adalah membuat mereka untuk dapat menjadi orang yang produktif, mandiri,
dan berguna bagi masyarakat.
2.2 Konsep Diri
2.2.1 Pengertian Konsep Diri
Konsep diri adalah semua perasaan, kepercayaan, dan nilai yang diketahui individu tentang
dirinya dan memengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain. Konsep diri berkembang
secara bertahap saat bayi mulai mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain (Tarwoto
dan Wartonah, 2010).
Hal ini termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain
dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta
keinginannya. Pembentukan konsep diri ini sangat dipengaruhi oleh asuhan orang tua dan
lingkungannya (Tarwoto & Wartonah, 2010).
Sedangkan menurut Kozier dan Snyder (2010) konsep diri merupakan citra mental individu.
Konsep diri positif penting untuk kesehatan mental dan fisik individu. Individu yang memiliki
konsep diri positif lebih mampu mengembangkan dan mempertahankan hubungan interpersonal,
dan juga lebih mampu menerima atau beradaptasi dengan perubahan yang mungkin terjadi
sepanjang hidupnya
Menurut Potter (2005) konsep diri memberikan kita kerangka acuan yang mempengaruhi
manajemen kita terhadap situasi dan hubungan kita dengan orang lain. Ketidaksesuaian antara

16

Universitas Sumatera Utara

aspek tertentu dari kepribadian dan konsep diri dapat menjadi sumber stress atau konflik. Konsep
diri dan persepsi tentang kesehatan sangat berkaitan erat satu sama lain. Klien yang mempunyai
keyakinan tentang kesehatan yang baik akan dapat meningkatkan konsentrasi.
2.2.2 Komponen-komponen Konsep Diri
a. Gambaran Diri (Body image)
Gambaran diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap
ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh
saat ini dan masa lalu yang secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman baru setiap
individu (Tarwoto & Wartonah, 2010)
Menurut Potter & Perry (2009) gambaran atau citra tubuh (body image) meliputi perilaku
yang berkaitan dengan tubuh, termasuk penampilan, struktur, atau fungsi fisik. Rasa terhadap citra
tubuh termasuk semua yang berkaitan dengan seksualitas, feminitas dan maskulinitas,
berpenampilan muda, kesehatan dan kekuatan.
Sejak lahir individu mengeksplorasi bagian tubuhnya, menerima reaksi dari tubuhnya,
menerima stimulus dari orang lain, kemudian mulai memanipulasi lingkungan dan mulai sadar
dirinya terpisah dari lingkungan. Gambaran diri (Body image) berhubungan erat dengan
kepribadian. Cara individu memandang diri mempunyai dampak yang penting pada aspek
psikologisnya, pandangan yang realistis terhadap dirinya menerima dan menyukai bagian tubuh
akan memberi rasa cemas dan meningkatkan harga diri (Keliat, 1992).
b. Ideal Diri
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia seharusnya bertingkah laku
berdasarkan standart perilaku serta mewujudkan cita-cita dan harapan pribadi (Tarwoto &
Wartonah, 2010).

17

Universitas Sumatera Utara

Standart dapat berhubungan dengan tipe orang yang akan diinginkan atau sejumlah aspirasi,
cita-cita, nilai-nilai yang ingin dicapai. Ideal diri akan mewujudkan cita-cita dan harapan pribadi
berdasarkan norma sosial (keluarga Budaya) dan kepada siapa ingin dilakukan (Salbiah, 2003).
c. Harga Diri
Harga diri (Self-esteem) adalah perasaan individu secara keseluruhan tentang harga diri atau
pernyataan emosional dari konsep diri. Hal ini merupakan dasar dari evaluasi diri karena mewakili
keseluruhan pendapat tentang penghargaan atau nilai personal. Harga diri bersifat positif saat
seseorang merasa mampu, berguna, dan kompeten (Potter & Perry, 2009).
Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan analisis, sejauh mana
perilaku memenuhi ideal diri. Jika individu selalu sukses maka cenderung harga dirinya akan tinggi
dan jika mengalami gagal cenderung harga dirinya menjadi rendah. Harga diri diperoleh dari
sendiri dan orang lain (Tarwoto & Wartonah, 2010).
Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang
tinggi. Jika individu sering gagal, maka cenderung harga diri rendah. Harga diri diperoleh dari diri
sendiri dan orang lain. Aspek utama adalah dicintai dan menerima penghargaan dari orang lain
(Keliat, 1992).
Biasanya harga diri sangat rentan terganggu pada saat remaja dan usia lanjut. Dari hasil riset
ditemukan bahwa masalah kesehatan fisik mengakibatkan harga diri rendah. Gangguan harga diri
dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri termasuk hilangnya percaya diri
dan harga diri. Harga diri rendah dapat terjadi secara situasional (trauma) atau kronis (negatif self
evaluasi yang telah berlangsung lama). Dan dapat diekspresikan secara langsung atau tidak
langsung (nyata atau tidak nyata) (Salbiah, 2003).
d. Peran
Peran adalah sikap dan perilaku nilai serta tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan
posisinya di masyarakat. Peran yang ditetapkan adalah peran dimana seseorang tidak punya pilihan,

18

Universitas Sumatera Utara

sedangkan peran yang diterima adalah peran yang terpilih atau dipilih oleh individu. Posisi
dibutuhkan oleh individu sebagai aktualisasi diri (Tarwoto & Wartonah, 2010).
Menurut Stuart & Sundeen, (1998) penyesuaian individu terhadap perannya dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu: (a) kejelasan perilaku yang sesuai dengan perannya serta pengetahuan yang
spesifik tentang peran yang diharapkan; (b) Kosistensi respon orang yang berarti atau dekat dengan
perannya; (c) Kejelasan budaya dan harapannya terhadap perilaku perannya; dan (d) Pemisahan
situasi yang dapat menciptakan ketidakselarasan.
Harga diri yang tinggi merupakan hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan dan cocok
dengan ideal diri. Posisi di masyarakat dapat merupakan stresor terhadap peran karena struktur
sosial yang menimbulkan kesukaran, tuntutan serta posisi yang tidak mungkin dilaksanakan (Keliat,
1992).
e. Identitas
Identitas meliputi perasaan internal akan individualitas, menyeluruh, dan konsistensi
seseorang pada waktu dan situasi yang berbeda. Identitas menunjukkan batasan dan pemisahan diri
yang lainnya. Menjadi “diri sendiri” atau hidup dalam kehidupan nyata merupakan dasar dari
identitas yang benar (Potter & Perry, 2009).
Identitas adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang
merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sendiri sebagai satu kesatuan yang utuh (Tarwoto
& Wartonah, 2010).
Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat akan yang memandang dirinya
berbeda dengan orang lain. Kemandirian timbul dari perasaan berharga (aspek mandiri),
kemampuan dan penyesuaian diri (Keliat, 1992).
2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Konsep diri
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri menurut Tarwonto & Wartonah,
(2010) yaitu:

19

Universitas Sumatera Utara

a) Tingkat perkembangan dan kematangan yakni, perkembangan anak seperti dukungan
mental, perlakuan dan pertumbuhan anak akan mempengaruhi konsep dirinya.
b)

Budaya yakni, pada usia anak-anak nilai-nilai akan diadopsi dari orang tuanya,
kelompoknya, dan lingkungannya. Orang tua yang bekerja seharian akan membawa anak
lebih dekat pada lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud disini adalah lingkungan
fisik dan lingkungan psikososial. Lingkungan fisik adalah segala sarana yang dapat
menunjang perkembangan konsep diri, sedangkan lingkungan psikososial adalah segala
lingkungan yang dapat menunjang kenyamanan dan perbaikan psikologis yang dapat
mempengaruhi perkembangan konsep diri.

c) Sumber eksternal dan internal yaitu, kekuatan dan perkembangan pada individu sangat
berpengaruh terhadap konsep diri. Sumber internal misalnya, orang yang humoris koping
individunya lebih efektif. Sumber eksternal misalnya, dukungan dari masyarakat, dan
ekonomi yang kuat.
d) Pengalaman sukses dan gagal yakni, ada kecendrungan bahwa riwayat sukses akan
meningkatkan konsep diri demikian juga sebaliknya.
e) Stresor dapat mempengaruhi kehidupan misalnya perkawinan, pekerjaan baru, ujian, dan
ketakutan. Jika koping individu tidak adekuat maka akan menimbulkan depresi, menarik
diri, dan kecemasan.
f) Usia tua, keadaan sakit, dan trauma akan mempengaruhi persepsi dirinya.
2.2.4 Kriteria Kepribadian sehat
Kriteria kepribadian yang sehat menurut Tarwoto & Wartonah, (2010) yakni:
a. Citra tubuh yang positif dan akurat yaitu, kesadaran akan diri berdasarkan atas observasi
mandiri dan perhatian yang sesuai akan kesehatan diri. Termasuk persepsi saat ini dan masa
lalu.

20

Universitas Sumatera Utara

b. Ideal dan realitas yaitu individu yang mempunyai ideal diri yang realitas dan mempunyai
tujuan hidup

yang dapat dicapai.

c. Konsep diri yang positif merupakan konsep diri yang menunjukkan bahwa individu akan
sesuai dalam hidupnya.
d. Harga diri tinggi yakni, seseorang yang memiliki harga diri tinggi akan memandang dirinya
sebagai seseorang yang berarti dan bermanfaat. Ia memandang dirinya sama dengan apa
yang dia inginkan.
e. Kepuasan penampilan peran merupakan individu yang mempunyai kepribadian sehat akan
dapat berhubungan dengan orang lain, secara intim dan mendapat kepuasan. Ia dapat
mempercayai dan terbuka pada orang lain dan membina hubungan interdependen.
f. Identitas jelas yakni, individu merasakan keunikan dirinya yang memberi arah kehidupan
dalam mencapai tujuan.
2.2.5 Karakteristik Konsep Diri Rendah
Menurut (Carpenito, 1995 dalam Taylor) yang dikutip oleh Tarwoto & Wartonah, (2010) ada
beberapa karakteristik konsep diri yang rendah yaitu: menghindari sentuhan atau melihat bagian
tubuh tertentu; Tidak mau berkaca, menghindari diskusi tentang topik dirinya, menolak usaha
rehabilitas, melakukan usaha sendiri dengan tidak tepat, mengingkari perubahan pada dirinya, tanda
dari keresahan seperti marah, keputusasaan, dan menangis, menolak berpartisipasi dalam perawatan
dirinya, tingkah laku yang merusak seperti gangguan obat-obatan dan alkohol, menghindari kontak
sosial; dan kurang bertanggung jawab.
2.2.6 Konsep diri keluarga yang memiliki anak retardasi mental
Menurut Muttaqin (2008), yang menyatakan bahwa keluarga merupakan tempat tumbuh
kembang seorang anak, maka keberhasilan pembangunan sangat ditentukan oleh kualitas dari anak
yang terbentuk dari norma yang dianut dalam keluarga sebagai patokan perilaku setiap hari. Harga
diri orang tua dengan anak retardasi mental dipengaruhi cara penerimaan dan penilaian pribadi

21

Universitas Sumatera Utara

terhadap hasil yang dicapai dalam kehidupan dengan mempunyai anak retardasi mental (Suliswati,
2005)
Berdasarkan hasil penelitian Kuantitatif yang dilakukan oleh Widiyanto dan Afif, (2013)
terhadap keluarga yang memiliki anak retardasi mental, menunjukkan bahwa subjek keluarga yang
memiliki anak retardasi mental memiliki gambaran konsep diri negatif. Keluarga yang memiliki
anak retardasi mental secara negatif beranggapan bahwa masyarakat sekitar menilai keluarga yang
memiliki anak retardasi mental merupakan orang tua atau keluarga dengan gen yang tidak baik
sehingga menghasilkan keturunan yang tidak baik (retardasi mental). Akibatnya keluarga yang
memiliki anak retardasi mental akan menampilkan kesan yang negatif seperi rasa malu, dan rendah
diri terhadap orang lain. Dapat juga mempengaruhi kurangnya kepercayaan diri orang tua atau
keluarga karena memiliki anak retardasi mental, hal ini disebabkan adanya tuntutan dan harapan
dari orang-orang yang dianggap penting seperti orang tua, saudara dan kerabat terhadap suatu
kesuksesan kehidupan seseorang. Anak retardasi mental seringkali menjadi beban dan dapat
membuat jenuh orang tua atau keluarganya karena tidak dapat memenuhi standar yang sesuai
dengan tuntutan dan harapan keluarga.
2.3 Kecemasan
2.3.1 Pengertian Kecemasan
Kecemasan adalah gangguan yang disebabkan oleh konflik yang tidak disadari mengenai
keyakinan, nilai, krisis situasional, maturasi, ancaman pada diri sendiri, penyakit yang
dipersepsikan sebagai ancaman kehidupan atau kebutuhan untuk bertahan yang tidak terpenuhi
(Pieter dan Lubis, 2010).
Ermawati (2009 dalam Pieter, Janiwarti, dan Saragih, 2011) mengatakan bahwa kecemasan
(ansietas) merupakan istilah yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, yakni
menggambarkan keadaan kekhawatiran, kegelisahan yang tidak menentu, atau reaksi ketakutan dan
tidak tenteram yang terkadang disertai dengan keluhan fisik. Kecemasan merupakan respon

22

Universitas Sumatera Utara

emosional dan penilaian individu yang subjektif yang dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan
belum diketahui secara khusus faktor penyebabnya.
Gangguan kecemasan sering juga dianggap sebagai suatu gangguan yang berkaitan dengan
perasaan khawatir tidak nyata, tidak masuk akal, tidak cocok yang berlangsung terus (intens) atas
prinsip yang terjadi (manifestasi) dan kenyataan yang dirasakan. Orang yang mengalami gangguan
kecemasan selalu diikuti rasa ketakutan yang difuse, tidak jelas, tidak menyenangkan dan
timbulnya rasa kewaspadaan yang tidak jelas (Pieter, Janiwarti, dan saragih, 2011).
2.3.2 Tanda-Tanda Umum Kecemasan
Tanda-tanda kecemasan (ansietas) adalah memiliki ketakutan yang tidak realistis, irrasional,
dan tidak dapat secara intensif ditampilkan dalam cara-cara yang jelas (Sutardjo dan Wiramihardja,
2007). Keluhan atau tanda dan gejala kecemasan yang ditunjukkan atau dikemukakan oleh
seseorang sangat bervariasi, tergantung dari beratnya kecemasan yang dirasakan oleh individu
tersebut, salah satunya keluhan-keluhan yang dikemukakan oleh Pieter dan lubis (2010) ada 2
gejala, yaitu gejala fisik dan gejala psikologis. Gejala fisik meliputi; ketegangan motorik seperti
gemetar, gugup, nyeri otot dan mudah lelah, nafas pendek atau perasaan mudah tercekik, tangan
dingin dan berkeringat, mulut kering dan pusing, mual, diare atau tidak nyaman abdomen, sering
berkemih, tiba-tiba panas dan menggigil, tekanan darah meningkat. Gejala psikologis meliputi ;
kegelisahan yang berlebihan, waspada yang berlebihan, sulit berkonsentrasi, respon kaget
berlebihan, sulit tidur, mudah tersinggung dan hipersensitif.
2.3.3 Tingkat Kecemasan
Empat tingkat kecemasan untuk mengidentifikasi dan menggambarkan efek pada tiap
individu yang dikemukakan oleh Pieter, Janiwarti, dan Saragih (2011) dan Tarwoto (2010), yaitu:
a. Cemas Ringan
Adanya berhubungan dengan ketegangan peristiwa kehidupan sehari-hari. Lapangan
persepsi melebar dan orang akan bersikap hati-hati dan waspada. Orang yang mengalami

23

Universitas Sumatera Utara

cemas ringan akan terdorong untuk menghasilkan kreativitas. Respon-respon fisiologis
orang yang mengalami cemas ringan adalah sesekali mengalami napas pendek, naiknya
tekanan darah dan nadi, muka berkerut, bibir bergetar, dan mengalami gejala pada lambung.
Respon kognitif orang yang mengalami cemas ringan adalah lapang persepsi melebar,
dapat menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah dan dapat
menjelaskan masalah secara efektif. Adapun respon perilaku dan emosi dari orang yang
mengalami cemas adalah tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan, suara kadangkadang meninggi.
b. Cemas Sedang
Pada cemas sedang tingkat lapangan persepsi pada lingkungan menurun dan
memfokuskan diri pada hal-hal penting saat itu juga dan menyampingkan hal-hal lain.
Respon fisiologis dari orang yang mengalami cemas sedang adalah sering napas pendek,
nadi dan tekanan darah naik, mulut kering, anoreksia, diare, konstipasi, dan gelisah.
Respon kognitif orang yang mengalami cemas sedang adalah lapangan persepsi yang
menyempit, rangsangan luar sulit diterima, berfokus terhadap apa yang menjadi perhatian.
Adapun respon perilaku dan emosi adalah gerakan yang tersentak-sentak, meremas tangan,
sulit tidur, dan perasaan tidak aman.
c. Cemas Berat
Cemas berat lapangan persepsinya menjadi sangat sempit, individu cenderung
memikirkan hal-hal yang kecil saja dan mengabaikan hal-hal lain. Individu sulit berpikir
realistis dan membutuhkan banyak pengarahan untuk memusatkan perhatian pada area lain.
Respon-respon fisiologis cemas berat adalah napas pendek, nadi dan tekanan darah naik,
banyak berkeringat, rasa sakit kepala, penglihatan kabur, dan mengalami ketegangan.

24

Universitas Sumatera Utara

Respon kognitif orang mengalami cemas berat adalah lapangan persepsi yang sangat
sempit dan tidak mampu untuk menyelesaikan masalah. Adapun respon perilaku dan
emosinya terlihat dari perasaan tidak aman, verbalisasi yang cepat, dan blocking.
2.3.4 Faktor-Faktor Penyebab Cemas
Menurut Pieter dan Lubis (2010) ada faktor yang dapat menjadi pencetus seseorang
merasa cemas dapat berasal dari diri sendiri (faktor internal) maupun dari luar dirinya
(faktor ekstrnal). Namun demikian pencetus cemas (ansietas) dapat dikelompokkan ke
dalam dua kategorik yaitu :
1. Ancaman terhadap integritas diri, meliputi ketidakmampuan fisiologis atau gangguan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari guna pemenuhan terhadap kebutuhan dasarnya.
2. Ancaman terhadap sistem diri yaitu adanya sesuatu yang dapat mengancam terhadap
identitas diri, harga diri, kehilangan status / peran diri, dan hubungan interpersonal.
Menurut Pieter, Janiwarti, dan saragih (2011) berdasarkan teori psikoanalisis cemas
merupakan konflik emosional antara dua elemen kepribadian, yakni Id, Ego, dan Superego.
Id mencerminkan dorongan instingtif dan impuls-impuls primitif. Ego melambangkan
mediatir antara Id dan Superego. Sedangkan Superego mencerminkan hati nurani seseorang
yang dikendali oleh norma-norma lingkungan, agama dan budaya. Kaitannya pada cemas
adalah peringatan terhadap pertahanan ego.
Adapun pada teori interpersonal mengatakan bahwa cemas terjadi akibat ketakutan
atas penolakan interpersonal dan disertai dengan trauma masa perkembangan seperti
kehilangan atau perpisahan orang tua. Demikian juga dengan kehilangan harga diri, di mana
biasanya orang yang mengalami hilangnya harga diri bisa berakibat timbulnya cemas berat.
Sementara menurut pandangan teori perilaku, cemas dianggap sebagai produk
frustrasi, yakni segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang mencapai tujuan
yang dia inginkan. Semakin tinggi frustrasi yang dialami, maka akan semakin besar tingkat
25

Universitas Sumatera Utara

cemasnya. Sumber-sumber frustrasi adalah pada usaha pemenuhan kebutuhan, kondisi fisik
individu dan lingkungan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab
cemas adalah adanya perasaan takut tidak diterima dalam lingkungan tertentu, adanya
pengalaman traumatis, seperti trauma perpisahan, kehilangan atau bencana alam, adanya
frustrasi akibat kegagalan mencapai tujuan, adanya ancaman pada integritas diri, yakni
meliputi kegagalan memenuhi kebutuhan fisiologis (kebutuhan dasar) dan adanya ancaman
pada konsep diri.
2.3.5 Cara Mengatasi Cemas
Menurut Pieter, Janiwarti, dan Saragih (2011) ada 4 komponen cara mengatasi
cemas antara lain yaitu:
a. Terapi Individual
Terapi individual adalah dengan mengajak klien mengeksplorasi rangsangan yang
menimbulkan cemas, mengajari klien untuk menghambat respon cemas melalui
penyelesaian dan analisis logis. Membantu klien memahami bagaimana pikiran, perasaan
dan situasi yang dapat mencetuskan respons yang terantisipasi. Tingkatkan pengenalan pada
keterbatasan diri dalam serangan cemas sehingga klien dapat memulai membentuk kontrol
pada semua aspek keterbatasannya. Mendorong klien untuk mengatasi kecemasan, seperti
mengatakan kamu dapat melewati segala masalahmu. Ajarkan klien tentang relaksasi untuk
mengurangi segala ketegangan fisik. Mengkaji dan monitor gejala kecemasan, apakah ada
keinginan untuk bunuh diri.
b. Terapi Kelompok
Terapi kelompok adalah dengan mengajari klien strategi koping untuk mengatasi
kejadian hidup yang penuh stres. Beri kesempatan klien untuk membuat dan mencoba caracara baru dalam bersikap dan berpikir. Dorong klien untuk menggunakan teman kelompok
26

Universitas Sumatera Utara

dalam menenteramkan suasana hatinya. Bantu klien mengidentifikasi kapan cemas
meningkat dan mereduksi proses cemasnya.
c. Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah dengan mengajarkan kepada keluarga klien tentang cemas
yang terjadi pada klien. Mengajarkan keluarga klien untuk mengembangkan keterampilan
komunikasi yang efektif, mereduksi konflik keluarga dan mengajarkan tentang makna
kejujuran, empati, dan keterbukaan.
d. Terapi Obat-obatan
Menggunakan obat cemas (terutama benzodiazepin), anti depresan (seperti selective
sorotonin reuptake inhibitor), inhibitor oksidae moenoamin (obat untuk panik berat).
2.3.6 Tindakan Keperawatan Mengatasi Kecemasan Kepada Individu
Menurut Purba, Wahyuni, Daulay, dan Nasution (2012) tindakan keperawatan yang
dapat dipilih dengan kondisi pasien atau individu sebagai berikut:
1. Kecemasan
Tindakan keperawatan untuk individu
Tujuan:
a) Klien mampu mengenal kecemasan (ansietas)
b) Klien mampu mengatasi kecemasan melalui teknik relaksasi
c) Klien mampu memperagakan dan menggunakan teknik relaksasi untuk mengatasi
kecemasan
Tindakan keperawatan:

a) Bina hubungan saling percaya
Dalam membina hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan agar pasien merasa
aman dan nyaman saat berinteraksi. Tindakan yang harus dilakukan dalam membina
27

Universitas Sumatera Utara

hubungan saling percaya adalah: (a) Mengucapkan salam terapeutik; (b) Berjabat
tangan; (c) menjelaskan tujuan interaksi; dan (d) Membuat kontrak topik, waktu dan
tempat setiap kali bertemu pasien
b) Bantu pasien mengenal kecemasan:
Adapun tahapan perawat untuk membantu pasien mengenal kecemasan yang dihadapi
yakni : (a) Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan menguraikan perasaannya; (b)
Bantu pasien menjelaskan situasi yang menimbulkan kecemasan; (c) Bantu pasien
mengenal penyebab kecemasan; dan (d) Bantu pasien menyadari perilaku akibat
kecemasan (ansietas)
c) Ajarkan pasien teknik relaksasi untuk meningkatkan kontrol dan rasa percaya diri: (a)
Pengalihan situasi; (b) Tarik nafas dalam dan mengerutkan serta mengendurkan otototot; dan (c) Menggunakan teknik 5 jari
d) Motivasi pasien melakukan teknik relaksasi setiap kali rasa cemas itu muncul
2.3.7 Kecemasan keluarga yang memiliki anak retardasi mental
Menurut Norhidayah, Wasilah, dan Husein (2013) kecemasan yang terjadi pada
keluarga penderita retardasi mental disebabkan oleh permasalahan yang ditimbulkan karena
memiliki anak retardasi mental itu lebih kompleks dibandingkan dengan keluarga yang
memiliki anak normal. Berdasarkan teori, kecemasan yang dialami keluarga yang memiliki
anak abnormal merupakan jenis kecemasan realitas. Hal yang juga menyebabkan sebagian
besar keluarga penderita retardasi mental mengalami kecemasan adalah kemungkinan
adanya konflik dalam menghadapi anak retardasi mental. Seringkali orang tua tidak
memahami mengenai retardasi mental sehingga orang tua merasa bimbang terhadap kondisi
anaknya yang mengalami konflik dalam diri. Konflik juga berpotensi terjadi karena adanya
perbedaan penanganan terhadap anak retardasi mental dengan anak normal.

28

Universitas Sumatera Utara

Pada penelitian Hastuti pada tahun 2004 menunjukkan bahwa permasalahan yang
banyak dialami keluarga penderita retardasi mental mengacu pada tingkah laku dan emosi
anak retardasi mental, masa depan anak, kesempatan anak retardasi mental untuk
melanjutkan pendidikan dan pengasuhan anak retardasi mental setelah ketidakhadiran
keluarga. Hal ini dikarenakan anak retardasi mental membutuhkan pengawasan yang
berbeda-beda dari anak-anak lainnya. Permasalahn yang juga muncul pada keluarga
penderita retardasi mental adalah kecemburuan terhadap orang tua lain yang tidak memilki
anak retardasi mental.
2.4 Keluarga
2.4.1 Pengertian Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari atas kepala keluarga dan
beberapa orang yang terkumpul serta tinggal disuatu tempat dibawah satu atap dalam
keadaan saling ketergantungan (Depkes RI, 1998 dalam Santun S & Agus Citra D, 2008).
Menurut Friedman, 1998 dalam Santun S & Agus Citra D, (2008) Keluarga merupakan
kesatuan dari orang-orang yang terikat dalam perkawinan, ada hubungan darah, atau adopsi
dan tinggal dalam satu rumah.
Keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung karena hubungan darah,
hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam suatu rumah tangga,
berinteraksi satu sama lainnya, dan di dalamnya terdapat peranan dari masing-masing
anggota, menciptakan serta mempertahankan kebudayaan yang telah ada (Salvicion G
Baillon dan Aracelis Maglaya dalam Sujono Riyadin, 2009).
2.4.2 Struktur Keluarga
Menurut Friedman dalam Satun Setiawati (2008) menyebutkan elemen struktur keluarga
terdiri dari:

29

Universitas Sumatera Utara

1) Struktur peran keluarga
a. Struktur peran keluarga; menggambarkan peran masing-masing anggota keluarga baik
didalam keluarganya sendiri maupun peran dilingkungan masyarakat.
b. Nilai atau norma keluarga; menggambarkan nilai dan norma yang dipelajari dan diyakini
dalam keluarga.
c. Pola komunikasi keluarga; menggambarkan bagaimana cara dan pola komunikasi diantara
orang tua, orang tua dan anak, diantara anggota keluarga ataupun dalam keluarga besar.
d. Struktur kekuatan keluarga, menggambarkan kemampuan anggota keluarga untuk
mengendalikan atau mempengaruhi orang lain dalam perubahan prilaku ke arah positif.
2) Ciri-ciri struktur keluarga
Menurut Satun Setiawati (2008) ciri-ciri struktur keluarga yaitu :
a. Teroganisasi
Keluarga adalah cerminan organisasi, dimana masing-masing anggota keluarga memiliki
peran dan fungsi masing-masing sehingga tujuan keluarga dapat tercapai.
b. Keterbatasan
Dalam mencapai tujuan, setiap anggota keluarga memiliki peran dan tanggung jawabnya
masing-masing sehingga dalam berinteraksi setiap anggota keluarga tidak bisa semenasemena, tetapi mempunyai keterbatasan yang dilandasi oleh tanggung jawab, masingmasing anggota keluarga.
c. Perbedaan dan kekhususan
Adanya peran yang beragam dalam keluarga menunjukkan masing-masing anggota
keluarga mempunyai peran dan fungsi yang berbeda dan hak seperti halnya peran ayah
sebagai pencari nafkah utama, peran ibu yang merawat anak-anakn.
3) Dominasi struktur keluarga

30

Universitas Sumatera Utara

Menurut Satun Setiawati (2008), dominasi struktur keluarga terbagi menjadi tiga bagian
yaitu :
1. Dominasi jalur hubungan darah
a) Patrilineal : Keluarga yang dihubungkan atau disusun melalui jalur garis ayah.
b) Matrilineal : Keluarga yang dihubungkan atau disusun melalui jalur garis ibu
2. Dominasi keberadaan tempat tinggal
a) Patrilokal : Keberadaan tempat tinggal satu keluarga yang tinggal dengan keluarga
dari pihak suami.
b) Matrilokal : Keberadaan tempat tinggal satu keluarga yang tinggal dengan keluarga
sedarah dari pihak istri.
3. Dominasi pengambilan keputusan
a) Patriakal : Dominasi pengambilan keputusan ada pada pihak suami
b) Matriakal : Dominasi pengambilan keputusan ada pada pihak istri.
2.4.3 Tipe-tipe Keluarga
Keluarga yang memerlukan pelayanan kesehatan berasal dari berbagai macam pola kehidupan.
Sesuai dengan perkembangan sosial maka tipe keluarga juga berkembang mengikutinya. Berikut
adalah berbagai tipe keluarga menurut Sri Setyowati (2008):
1. Tipe keluarga tradisional
a. Keluarga inti : yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari suami, istri, dan anak (kandung
atau angkat).
b. Keluarga besar : yaitu keluarga inti yang ditambah dengan keluarga lain yang
mempunyai hubungan darah.
c. Keluarga Dyad : yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari suami dan istri tanpa anak.

31

Universitas Sumatera Utara

d. Single Parent : yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari satu orang tua (ayah/ ibu)
dengan anak (kandung/ angkat). Kondisi ini dapat disebabkan oleh perceraian atau
kematian.
e. Single Adult : yaitu suatu rumah tangga yang hanya terdiri seorang dewasa (misalnya,
seorang yang telah dewasa kemudian tinggal kost untuk bekerja atau kuliah).
2. Tipe keluarga non tradisional
a. The unmarriedteenege mather : keluarga yang terdiri dari orang tua (terutama ibu)
dengan anak dari hubungan tanpa nikah.
b. The stepparent family : keluarga dengan orang tua tiri. Beberapa keluarga yang tidak ada
hubungan saudara hidup bersama dalam satu rumah, sumber dan fasilitas yang sama,
pengalaman yang sama : sosialisasi anak dengan melalui aktivitas kelompok atau
membesarkan anak bersama.
c. The non marital heterosexual cohibitang family : keluarga yang hidup bersama dan
berganti-ganti pasangan tanpa melalui pernikahan.
d. Gay dan lesbian family : seseorang yang mempunyai persamaan sex hidup bersama
sebagaimana pasangan suami istri.
e. Cohabiting couple : orang dewasa yang hidup bersama diluar ikatan perkawinan karena
beberapa alasan tertentu.
f. Group marriage family : beberapa orang dewasa menggunakan alat-alat rumah tangga
bersama yang sudah saling menikah, berbagai sesuatu termasuk sexual dan
membesarkan anaknya.
g. Group network family : keluarga inti yang dibatasi set aturan atau nilai-nilai, hidup
bersama atau berdekatan satu sama lainnya dan saling menggunakan barang-barang
rumah tangga bersama, pelayanan, dan tanggung jawab membesarkan anaknya.

32

Universitas Sumatera Utara

h. Foster family : keluarga yang menerima anak yang tidak ada hubungan keluarga atau
saudara didalam waktu sementara, pada saat orang tua anak tersebut perlu mendapatkan
bantuan untuk menyatukan kembali keluarga yang aslinya.
i. Homeless family : Keluarga yang terbentuk dan tidak mempunyai perlindungan yang
permanen karena krisis personal yang dihubungkan dengan ekonomi dan atau problem
kesehatan mental.
j. Gang : Sebuah bentuk keluarga yang destruktif dari orang-orang muda yang mencari
ikatan emosional dan yang mempunyai perhatian tetapi berkembang dalam kekerasan
dan kriminal dalam kehidupannya.

2.4.4 Fungsi keluarga
Fungsi keluarga menurut Friedman, 1998 dalam Satun S & Agus Citra D, (2008)
sebagai berikut :
a. Fungsi Afektif
Fungsi afektif adalah fungsi internal keluarga sebagai dasar kekuatan keluarga.
Didalamnya terkait dengan saling mengasihi, saling mendukung dan saling
menghargai antar anggota keluarga.

b. Fungsi sosialisasi
Fungsi sosialisasi adalah fungsi yang mengembangkan proses interaksi dalam
keluarga. Sosialisasi dimulai sejak lahir dan keluarga merupakan tempat individu
untuk belajar bersosialisasi.
c. Fungsi reproduksi
Fungsi reproduksi adalah fungsi keluarga untuk meneruskan kelangsungan
keturunan dan menambah sumber daya manusia.

33

Universitas Sumatera Utara

d. Fungsi ekonomi
Fungsi ekonomi adalah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh
anggota keluarganya yaitu : makan, pakaian, dan tempat tinggal.
e. Fungsi perawatan kesehatan
Fungsi perawatan kesehatan adalah fungsi keluarga untuk mencegah terjadinya
masalah kesehatan dan merawat anggota keluarga yang mengalami masalah
kesehatan.
2.4.5 Peran Keluarga
Peran keluarga menurut Setyowati & Muwarni (2008), yaitu :
Peran keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan
yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan
individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga,
kelompok dan masyarakat. Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga
adalah sebagai berikut :
1. Peranan Ayah : Ayah sebagai pemimpin keluarga mempunyai peran sebagai
pencari nafkah, pendidik, pelindung/ pengayon, pemberi rasa aman bagi setiap
anggota keluarga dan juga sebagai anggota masyarakat kelompok sosial
tertentu.
2. Peranan Ibu : Ibu sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anakanak, pelindung keluarga dan pencari nafkah tambahan keluarga dan juga
sebagai anggota masyarakat sosial tertentu.
3. Peran Anak : Anak-anak melaksanakan peranan psikososial sesuai dengan
tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.

2.4.6 Peran Keluarga dibidang Kesehatan

34

Universitas Sumatera Utara

Peran Keluarga dibidang Kesehatan menurut Setyowati & Muwarni (2008) :
Keluarga juga berperan atau berfungsi untuk melakukan praktek asuhan kesehatan, yaitu
untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan dan atau merawat anggota keluarga yang sakit.
Kemampuan keluarga dalam memberikan asuhan kesehatan memengaruhi status kesehatan
keluarga. Kesanggupan keluarga melaksanakan pemeliharaan kesehatan dapat dilihat dan tugas
kesehatan keluarga yang dilaksanakan. Keluarga yang dapat melaksanakan tugas kesehatan berarti
sanggup menyelesaikan masalah kesehatan.

Tugas kesehatan keluarga adalah sebagai berikut : (a) Mengenal masalah kesehatan; (b)
Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat; (c) Memberi perawatan pada anggota keluarga
yang sakit; (d) Mempertahankan atau menciptakan suasana rumah yang sehat; (e) Mempertahankan
hubungan dengan (menggunakan) fasilitas kesehatan masyarakat.

35

Universitas Sumatera Utara