BOOK Wiwik N, Engkus K, Eni M, Atwar B Ragam Istilah
Ragam Istilah untuk Menyebut Perempuan Pelaku
Seks Komersial: Sebuah Studi Fenomenologi
pada Mantan Pelacur di Kabupaten Cirebon
dan Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Indonesia
Wiwik Novianti1, Engkus Kuswarno,2 Eni Maryani3 dan Atwar
Bajari.4
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
Pendahuluan
Dalam masyarakat Indonesia keberadaan praktik prostitusi
dianggap sebagai suatu hal yang melanggar norma-norma di
masyarakat. Oleh karena itulah seorang pelaku seks komersial hampir
selalu dianggap buruk oleh masyarakat Indonesia.
Meskipun keberadaan pelacur mendapatkan penolakan yang
keras dari berbagai pihak namun jumlah pelacur di Indonesia tetap
saja besar. Pada tahun 2016, pelacur di Indonesia berjumlah sekitar
56 ribu. Menurut situs Global Black Market Information, Havoscope,
perolehan bisnis pelacuran di Indonesia mencapai USD2,25 miliar
setahun. Indonesia pun masuk dalam 12 besar negara terbesar dalam
bisnis prostitusi (beritagar.id, 19 Mei 2016).
Pelacur dipinggirkan secara sosial karena dianggap sebagai orang
yang amoral Anggapan yang buruk terhadap perempuan pelacur
memunculkan banyak istilah yang disematkan padanya. Istilah-istilah
tersebut mengandung stigma dan menempatkan pelacur dalam posisi
yang lebih rendah dibanding masyarakat lainnya.
Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki istilah khusus untuk
pelacur. Istilah yang sama juga memiliki kemungkinan untuk berbeda
1
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman
2
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
3
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
4
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
67
dalam interpretasinya karena nilai rasa yang ditimbulkan pada setiap
pelacur berbeda.
Istilah yang diberikan menunjukkan perspektif orang yang
menggunakan istilah tersebut. Oleh karena itu penulis tertarik untuk
membahas mengenai istilah-istilah yang digunakan untuk menyebut
seorang pelaku seks komersial dan bagaimana mantan pelacur
sebagai orang yang pernah mendapat julukan tersebut memaknainya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengumpulkan istilah yang
digunakan untuk menyebut pelacur dan mendapatkan pemahaman
tentang interpretasi istilah tersebut dari sudut pandang mantan pelacur.
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini selain memperkaya kajian
komunikasi antarbudaya juga dapat memberikan pemahaman tentang
interpretasi perempuan mantan pelacur. Dengan demikian diharapkan
masyarakat tidak lagi memandang rendah pelacur atau mantan pelacur.
Metodologi
Paradigma dan Metode Penelitian
Fokus penelitian ini adalah pada istilah yang digunakan untuk
menyebut seorang perempuan pelaku seks komersial. Guna memahami
interpretasi perempuan mantan pelacur terhadap istilah-istilah yang
pernah disematkan padanya maka paradigma yang digunakan dalam
penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme sosial. Paradigma
konstruktivisme sosial meneguhkan asumsi bahwa individu-individu
selalu berusaha memahami dunia di mana mereka hidup dan bekerja.
Mereka mengembangkan makna-makna subjektif atas pengalamanpengalaman mereka—makna-makna yang diarahkan pada objek-objek
atau benda-benda tertentu (Creswell, 2010:11).
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi. Metode kualitatif digunakan untuk
mengeksplorasi dan memahami makna yang—oleh sejumlah individu
atau sekelompok orang—dianggap berasal dari masalah sosial atau
kemanusiaan.
Proses penelitian kualitatif melibatkan upaya-upaya penting
seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur,
mengumpulkan data yang spesiik dari partisipan, menganalisis
data secara induktif, menafsirkan makna data. Laporan akhir untuk
68
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
penelitian ini memiliki struktur leksibel. Siapa pun yang terlibat dalam
bentuk penelitian ini harus menerapkan cara pandang penelitian
yang bergaya induktif, berfokus terhadap makna individual, dan
menerjemahkan kompleksitas suatu persoalan (Creswell, 2010:5).
Tujuan penelitian kualitatif adalah memahami situasi, peristiwa,
kelompok, atau interaksi sosial tertentu (Locke, Spirduso, & Silverman
dalam Creswell, 2010:292). Penelitian ini dapat diartikan sebagai proses
investigatif yang di dalamnya peneliti secara perlahan-lahan memaknai
suatu fenomena sosial dengan membedakan, membandingkan,
menggandakan, mengatalogkan, dan mengklasiikasikan objek penelitian
(Miles & Huberman dalam Creswell, 2010:292).
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data melalui
wawancara mendalam, observasi non partisipan, dan analisis dokumen.
Dalam penelitian ini, untuk menggali pengalaman hidup mantan
pelacur, penulis menggunakan wawancara mendalam agar partisipan
dapat memaparkan pengalaman hidupnya dengan panjang lebar.
Wawancara dilakukan secara terbuka, tidak berstruktur dan informal
dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh partisipan.
Pada saat wawancara, penulis mengawalinya dengan mengobrol
santai sehingga partisipan merasa nyaman dan mau menceritakan
pengalamannya dengan bebas.
Pada saat wawancara, penulis berupaya agar tidak menyinggung
perasaan atau menghakimi partisipan. Oleh karena itu penulis
mengganti kata pelacur dengan istilah perempuan penghibur. Istilah
perempuan penghibur muncul dari MC sebagai partisipan pertama
yang penulis wawancara. Ketika penulis menanyakan pekerjaannya
dulu sebagai apa, MC menjawabnya sebagai perempuan penghibur.
Dengan menggunakan istilah perempuan penghibur, penulis menjadi
dekat dengan partisipan dan mereka merasa lebih dihargai.
Materi wawancara adalah tema yang ditanyakan kepada partisipan
yang berisi masalah penelitian untuk mencapai tujuan penelitian.
Penulis mendokumentasikan hasil wawancara menggunakan alat
perekam suara.
Selain wawancara, penulis juga mengumpulkan data melalui
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
69
observasi. Observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan
pengamatannya melalui hasil kerja panca indra mata serta dibantu
dengan panca indra lainnya (Bungin, 2010:115). Observasi dalam
penelitian ini dianggap penting karena penulis dapat secara langsung
mengamati berbagai kegiatan yang dilakukan oleh mantan pelacur.
Dari metode observasi, penulis memperoleh data yang tidak
didapatkan melalui wawancara seperti penampilan isik partisipan,
setting (meliputi lingkungan manusia dan sosial, cara interaksi
antar manusia, tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan
lingkungan eksternal dan fasilitas yang tersedia) dan gaya komunikasi
yang dilakukan partisipan.
Dalam penelitian ini observasi dilakukan secara nonpartisipan,
yaitu penulis tidak berlaku sebagai mantan pelacur, melainkan hanya
menemani mereka melakukan aktivitas di lingkungannya. Dengan
observasi nonpartisipan ini peneliti dapat mengamati kehidupan
mantan pelacur tanpa mengganggu aktivitas yang sedang mereka
lakukan.
Guna menggali data-data masa lampau secara sistematis dan objektif,
penulis juga melakukan analisis dokumen (Kriyantono, 2010:120).
Dokumen yang dianalisis dapat berbentuk dokumen publik maupun
dokumen privat. Analisis dokumen dilakukan untuk memperoleh data
yang tidak dapat ditemukan melalui wawancara dan observasi.
Dalam penelitian ini dokumen yang akan ditelaah adalah dokumen
atau arsip yang terdiri dari media cetak maupun media elektronik dan
internet yang memuat informasi mengenai kehidupan mantan pelacur
ataupun prostitusi pada umumnya.
Teknik Analisis Data
Menurut Creswell (2013:180-182), terdapat tiga strategi analisis
data yang umum digunakan dalam penelitian kualitatif, seperti yang
ditunjukkan dalam tabel 1 berikut:
70
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
Tabel 1. Strategi Analisis Data Berdasarkan Beberapa Pakar Penelitian Kualitatif
Analytic Strategy
Madison (2005)
Huberman & Miles
(1994)
Sketching ideas
Write margin notes
in ield notes
Taking notes
Write relective passages in notes
Summarizing
ield notes
Drat a summary
sheet on ield notes
Working with
words
Make metaphors
Identifying codes
Do abstract coding
or concrete coding
Write codes, memos
Reducing codes to
theme
Identify salient
themes or patterns
Note patterns and
themes
Counting frequency of codes
Wolcott (1994b)
Highlight certain
information in
description
Identify patterned
regularities
Count frequency of
codes
Relating categories to analytic
framework in
literature
Contextualize with the
framework from
literature
Creating a point
of view
For scenes, audience,
readers
Displaying the
data
Create a graph or
picture of the framework
Make contrasts and
comparisons
Display indings
in tables, charts,
diagrams, and
igures; compare
cases; compare
with a standars
case.
(Sumber: Creswell, 2013:181)
Menurut Creswell (2013:181), ketiga penulis di atas
merepresentasikan perspektif penelitian yang berbeda. Madison
menghadirkan kerangka kerja dari etnograi kritis. Huberman dan
Miles mengemukakan pendekatan sistematis untuk menganalisis
penelitian kualitatif sedangkan Wolcott menggunakan pendekatan
yang lebih tradisional untuk analisis penelitian etnograi dan studi
kasus. Karena penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi, maka penelitian ini akan menggunakan
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
71
kerangka kerja dari Huberman dan Miles untuk menganalisis data
penelitian serta mengikuti alur analisis dan penyajian data seperti yang
dikemukakan oleh Creswell.
Model analisis data yang digagas oleh Huberman dan Miles (dalam
Sutopo, 2002:96) sering disebut sebagai model analisis interaktif.
Komponen analisis ini adalah (1) pengumpulan data, (2) reduksi data,
(3) sajian data dan (4) penarikan kesimpulan (veriikasi). Dalam teknik
analisis ini, analisis dilakukan secara terus menerus dari awal penelitian
sampai dengan penelitian selesai.
Teknik Validasi Data
Creswell (2013:249) berpendapat bahwa validasi dalam penelitian
kualitatif adalah sebuah usaha untuk menilai ketepatan atau keakuratan
temuan penelitian yang digambarkan menurut peneliti dan partisipan.
Hal ini berarti bahwa laporan penelitian merupakan representasi
penulisnya. Kekuatan validasi dalam penelitian kualitatif terletak pada
keluasan waktu yang dihabiskan di lapangan, deskripsi yang sangat
detil, dan kedekatan antara peneliti dengan partisipan.
Dalam penelitian ini, penulis menggambarkan pengalaman
transformasi identitas mantan pelacur secara detil kemudian
mengirimkan hasil penelitian kepada partisipan. Partisipan lalu diminta
untuk mengoreksi serta memberi masukkan terkait dengan hasil
penelitian. Penulis melakukan hal ini sampai partisipan menyetujui
laporan penelitian yang ditulis.
Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Cirebon dan Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat. Lokasi ini dipilih sebagai lokasi penelitian
dengan pertimbangan:
1. Jumlah pelacur di Jawa Barat mengalami peningkatan yang cukup
tajam. Menurut Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial 2012,
pada tahun 2008 jumlah perempuan pelacur di Jawa Barat adalah
3.659 jiwa. Sedangkan pada tahun 2012, naik menjadi 5.495 jiwa.
2. Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu terletak di jalur
pantai utara Pulau Jawa. Oleh karena itulah wilayah Cirebon dan
Indramayu menjadi daerah transit yang cukup ramai. Dengan
72
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
banyaknya orang-orang yang transit di Cirebon dan Indramayu,
dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk membuka
praktek prostitusi. Selain itu, Cirebon dan Indramayu juga sudah
terkenal sebagai daerah asal pelacur.
Partisipan dalam penelitian ini adalah mantan pelacur yaitu
seseorang yang dahulu pernah memberikan pelayanan seksual dengan
imbalan uang atau barang berharga. Saat penelitian dilakukan mantan
pelacur sudah berhenti dari aktivitasnya dalam dunia prostitusi.
Partisipan diperoleh dengan teknik purposive sampling dengan
cara snowball yaitu partisipan pertama yang memenuhi kriteria akan
menunjukkan partisipan berikutnya yang sesuai dengan kriteria dalam
penelitian ini. Penelitian ini melibatkan delapan belas orang partisipan,
delapan orang tinggal di Kabupaten Cirebon dan sepuluh orang tinggal
di Kabupaten Indramayu.
Guna menjalin kedekatan dengan partisipan, peneliti berkunjung
ke rumahnya serta tempat mencari nakahnya. Pada partisipan yang
memiliki warung, peneliti duduk bercengkerama dengan partisipan
sambil membeli dagangannya seperti kopi dan mie rebus.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Istilah-istilah untuk Menyebut Perempuan Pelaku Seks Komersial
di Indonesia
Banyak istilah yang digunakan untuk merujuk pada perempuan
pelaku seks komersial. Istilah yang digunakan berhubungan dengan
cara pandang seseorang terhadap sosok perempuan pelaku seks
komersial. Partisipan juga ketika menceritakan pengalamannya
kepada peneliti menggunakan berbagai macam istilah untuk menyebut
identitas mereka dahulu. Ada yang terang-terangan menyebut diri
mereka dahulu sebagai WTS (Wanita Tuna Susila) namun ada pula
partisipan yang sepanjang perbincangan hanya mau menyebut wong
mengkenen (orang begini) atau pun kerja mengkonon (kerja begitu).
Dalam dunia prostitusi, istilah menjadi hal yang sangat penting
untuk didiskusikan karena berkaitan dengan cara pandang seseorang
terhadap para pelakunya. Berbagai istilah disematkan bagi perempuan
pelaku seks komersial, mulai dari yang spesiik menunjukkan
aktivitasnya sebagai orang yang menjual diri hingga istilah yang
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
73
generik sehingga menimbulkan tafsir yang berbeda. Istilah tersebut
muncul dari pergaulan sehari-hari dan ada beberapa di antaranya yang
tidak terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Istilah-istilah
tersebut penting dibahas karena istilah ini menyangkut masalah stigma.
Masalah stigma berkaitan erat dengan istilah pemahaman, pemaknaan,
dan penerimaan sebuah istilah, perilaku, atau gejala perilaku tertentu.
Penulis menggunakan istilah mantan pelacur untuk menyebut
perempuan yang pernah melayani hasrat seksual laki-laki dengan
imbalan uang atau barang. Pelacur berasal dari kata lacur yang
memiliki arti malang, celaka, sial, dan buruk laku.5 Melacur berbuat
lacur atau menjual diri sebagai pelacur. Orang yang berbuat lacur
atau menjual diri disebut pelacur. Penulis memiliki tiga pertimbangan
untuk menggunakan kata pelacur dalam penelitian ini, yaitu:
1. Istilah pelacur sudah bebas bias gender, yang berarti ada pelacur
laki-laki dan pelacur perempuan (Koentjoro dan Sugihastuti, 1997)
2. Arti kata pelacur lebih lengkap dan spesiik.
3. Dalam wawancara, beberapa partisipan mendeinisikan diri mereka
sebagai seorang pelacur atau menyebut orang yang mencari uang
dengan cara melayani kebutuhan seksual laki-laki sebagai seorang
pelacur. Partisipan yang menggunakan istilah pelacur adalah San
dan Cst.
Istilah lainnya adalah wanita tuna susila. Pemerintah menggunakan
istilah ini untuk menyebut perempuan pelaku seks komersial. Namun
penggunaan istilah ini mendapat kritikan dari banyak pihak karena
dianggap menyudutkan perempuan. Hal ini disebabkan tidak ada
istilah pria tuna susila bagi laki-laki yang menjual diri. Lalu mengapa
konsumen layanan jasa pelacur wanita tidak beristilah? Perempuan
pelaku seks komersial disebut wanita tuna susila karena perempuan
tersebut tidak mempunyai adab dan tidak pula bersopan santun dalam
hubungan seks menurut norma masyarakat. Dalam penelitian ini,
partisipan yang menggunakan istilah WTS adalah Drsn.
Terdapat pula istilah pekerja seks yang berasal dari terminologi
sex worker yang diajukan oleh para feminis radikal. Istilah sex worker
dalam referensi referensi barat baru muncul pada awal tahun 19905
74
http://kbbi.web.id/lacur, diakses 4 Maret 2017
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
an. Oleh kelompok feminis radikal, pelacuran diperjuangkan agar
diakui sebagai sebuah pekerjaan yang sah. Namun hal ini mengundang
penolakan dari kelompok lain karena pelacuran bukan pekerjaan.
Pelacuran dianggap merendahkan derajat dan martabat kaum
wanita. Dalam penelitian ini tidak ada seorang partisipan pun yang
menggunakan istilah PSK (Pekerja Seks Komersial).
Selain tiga istilah di atas (pelacur, wanita tuna susila, dan pekerja
seks), dari hasil wawancara dengan partisipan, penulis juga menemukan
istilah-istilah yang mengacu pada pelaku seks komersial seperti berikut
ini:
1. Perempuan penghibur
Menurut Erw, sebagai seorang perempuan penghibur dan
perempuan malam ia wajar diciumi oleh tamunya dan dikatakan yang
buruk-buruk oleh masyarakat. “Namanya juga penghibur, ya kayak
gitu. Cium sana, cium sini wajar.”6
Hampir senada dengan yang disampaikan Erw, MC menjelaskan
peran perempuan penghibur sebagai tempat pelarian masalah bagi
kaum lelaki.
“Pati-pati wong lanang luru hiburan mengkenen kuh ning umae
maksa bae ana masalah hubungan suami karo istri, pelampiasane
ning golongane mekenen. Luru hiburan seminggu sekali. Mungkin
juga ana masalah kerjaan, ya nggo hiburan bae.”7
(Bisanya laki-laki mencari hiburan begini itu karena di rumahnya
ada masalah hubungan suami dengan istri, pelampiasannya pada
kelompok seperti ini. Mencari hiburan seminggu sekali. Mungkin
juga ada masalah kerjaan, ya untuk hiburan saja).
MC menceritakan, dulu sebagai seorang perempuan penghibur,
ia harus bisa menghibur lelaki yang datang padanya. Menurutnya,
lelaki yang mencari hiburan dengan pelacur adalah lelaki yang sedang
memiliki masalah, baik masalah rumah tangga maupun kantor.
2. Perempuan malam
Perempuan malam adalah sebutan lain yang ditujukan untuk
pelacur. Para pelacur biasanya mulai beraktivitas sore hingga dini hari.
Oleh karena itu perempuan pelacur juga sering menyebut diri mereka
6
7
Wawancara dengan Erw, 3 Agustus 2015
Wawancara dengan MC, 20 Mei 2015
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
75
sebagai perempuan malam, seperti yang dikatakan oleh Erw, “Dikatain
yang nggak-nggak juga wajar, wong perempuan malam.”8
Dari yang dikatakan oleh Erw tersebut, tersirat rasa frustasi Erw
terhadap stigma yang melekat padanya dulu sebagai wanita malam. Erw
bahkan sudah menganggap bahwa stigma, cap negatif yang ditujukan
kepadanya adalah suatu kewajaran.
3. Jablay
Istilah jablay dipopulerkan oleh artis Titi Kamal saat menyanyikan
lagu berjudul sama dalam ilm Mendadak Dangdut pada 2006. Jablay
merupakan singkatan dari jarang dibelai yang memiliki makna sebagai
seorang perempuan kesepian yang jarang mendapatkan belaian kasih
sayang kekasihnya. Namun saat ini arti kata jablay sudah mengalami
pergeseran menjadi sebutan bagi perempuan yang mau diajak untuk
bersenang-senang atau pelacur.
Bagi Nr, waktu awal-awal menjadi pelacur di Cirebon ia tidak enak
ketika dipanggil jablay namun lambat laun ia terbiasa dengan itu.
Ehm apa ya. Kadang kalau orang sini bilang jablay ya. Kalau dulu
ya kadang nggak enak ya. Tapi kalau kita telusuri lagi emang
pekerjaan begitu gitu hehe. Banyak nggak enaknya. Dari sebutan
aja udah menonjol ya, jablay gitu. Kadang saya juga mikir, jablay
kok kayak begituan hehe. Tapi sekarang udah nggak hehe9
Menurut Nr, kata jablay untuk menyebut pelacur dirasanya cukup
menonjol dan menarik perhatian. Awalnya ia risih dengan sebutan
tersebut namun kemudian ia menerimanya.
4. Anak nakal
Berbeda dengan Nr, menurut El, panggilan jablay itu sangat kasar.
Ia dan teman-temannya sesama pelacur dulu tidak suka dipanggil
jablay. El dahulu lebih sering menggunakan istilah anak nakal untuk
menyebut dirinya dan teman-temannya.
Ya paling kalau orang sini paling ngomongnya jablayl-ah. Jadi
itulah, cuman dulu bilangnya anak nakal, yang nyebut jablay itu
paling anak-anak orang seumuran, “Dasar ira jablay!”. Kalau ada
yang ngomong jablay jadinya berantem.10
8
9
10
76
Wawancara dengan Erw, 3 Agustus 2015
Wawancara dengan Nr, 26 Agustus 2015
Wawancara dengan El, 28 Agustus 2015
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
Bagi El, sebutan anak nakal masih bisa ia terima dibandingkan
jablay. Sebutan anak nakal yang masih bersifat umum tersebut
secara tidak langsung menunjukkan bahwa El tidak nyaman dengan
identitasnya dahulu sebagai seorang pelacur.
5. Bukan wanita baik-baik
Sebutan lain yang digunakan partisipan untuk mendeskripsikan
diri mereka dahulu adalah bukan wanita baik-baik seperti yang
dikatakan oleh Er kepada calon suaminya dulu. Setelah berhenti
menjadi pelacur, Er bertemu dengan calon suaminya (sekarang menjadi
suaminya). Saat itu Er mengatakan kepada calon suaminya bahwa ia
bukanlah perempuan baik-baik, “Saya tuh ngomong, saya itu bukan
wanita baik-baik”.11 Calon suami Er menjawab bahwa ia menerima Er
apa adanya dan meminta Er untuk tidak berkata seperti itu lagi.
Hampir sama dengan El, Er menggunakan istilah yang masih
sangat umum untuk menggambarkan dirinya pada calon suaminya saat
itu. Istilah bukan wanita baik-baik memiliki arti yang sangat luas. Dari
istilah yang dipilihnya terlihat bahwa Er sebenarnya ingin menutupi
masa lalunya sebagai pelacur dari suaminya.
6. Ungkluk dan Cabo
Menurut Er, istilah yang biasa ia gunakan untuk menunjuk pada
pelacur adalah ungkluk dan cabo
Ya kalau orang sono bilangkan ungkluk. Kalau orang sunda mah
itu paling kasar, ungkluk, cabo, kaya gitu ya.12
Ungkluk dan cabo adalah kata dari bahasa daerah yang berarti
pelacur. Bedanya, ungkluk adalah Bahasa Sunda sedangkan kata cabo
berasal dari Bahasa Betawi. Er yang berasal dari Bandung menjelaskan
bahwa dalam bahasa Sunda kata ungkluk adalah sebutan paling kasar
untuk seorang pelacur.
7. Tlembuk
Istilah tlembuk digunakan oleh Sae ketika ia menceritakan
bagaimana pandangan orang kepadanya meskipun Sae sudah berhenti
menjadi pelacur. “Barang kita? Kecelukke masih tlembuk bae, jadi wong
11
12
Wawancara dengan Er, 28 Agustus 2015
Wawancara dengan Er, 28 Agustus 2015
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
77
edan.”13 Sae mengungkapkan bahwa sangat sulit untuk mengubah
pandangan orang terhadapnya. Meski ia sudah berubah, orang-orang
tetap memandangnya sebagai pelacur.
Tlembuk adalah istilah untuk menyebut pelacur. Istilah tlembuk
digunakan di daerah Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Purwokerto
dan Pemalang bagian selatan. Istilah tlembuk adalah istilah yang bagi
pelacurnya sendiri dianggap sangat kasar.
8. Orang Gila (Wong Edan)
Istilah lainnya yang digunakan partisipan untuk menyebut dirinya
dahulu adalah ‘orang gila’. Partisipan yang menggunakan istilah
tersebut Id, “Yang penting dulu, walaupun saya bekas orang gila, saya
mah sekarang hidup di masyarakat.”14
Kata ‘gila’ memiliki banyak arti, salah satunya adalah tidak
sebagaimana mestinya.15 Id menyadari bahwa dahulu aktivitasnya
bertentangan dengan norma-norma yang ada di masyarakat. Namun
ia menegaskan bahwa itu semua sudah berlalu. Dan saat ini ia berusaha
menjadi warga masyarakat yang baik.
9. Wong Luruh Duit
Menurut Kst, apa yang dilakukannya dahulu sebagai pelacur
disebutnya sebagai luruh duit. “Ya pekerjaan apa ya, luruh duit.”16
Makna sebenarnya dari luruh duit adalah mencari uang. Namun
karena banyak orang Indramayu yang mencari uang dengan cara
menjadi pelacur maka luruh duit kemudian berarti melacur. Bagi Kst
identitasnya dahulu sebagai wong luruh duit bukanlah suatu hal yang
harus ditutupi karena banyak perempuan di desanya juga luruh duit
seperti dirinya.
Dari hasil wawancara, penulis mendapati bahwa partisipan tidak
nyaman untuk mengatakan identitas dirinya dahulu. Mereka sering
menggunakan kata pengganti untuk menyebut pelacur. Dari mulai
mengkenen, mengkonon (begini, begitu), hingga wong edan (orang
gila). Meskipun ada partisipan yang mengakui bahwa dahulu ia bekerja
13
14
15
16
78
Wawancara dengan Sae, 5 September 2015
Wawancara dengan Id, 5 September 2015
http://kbbi.web.id/gila. Diakses 5 Januari 2017
Wawancara dengan Kst, 5 September 2015
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
sebagai pelacur namun ketika mengobrol dengan penulis, kata pelacur
jarang sekali digunakan.
Sewaktu berbincang dengan partisipan, penulis menggunakan
istilah perempuan penghibur. Istilah tersebut penulis pilih karena
respon partisipan ketika penulis menggunakan istilah tersebut sangat
baik. Partisipan menjadi tidak sungkan untuk menceritakan masa
lalunya kepada penulis. Mereka menerima istilah itu karena menurut
mereka istilah tersebut paling sesuai dengan peran mereka dahulu,
sebagai penghibur laki-laki.
Simpulan
Identitas mereka sebagai orang baik-baik yang sudah meninggalkan
dunia pelacuran, mengembalikan rasa percaya diri mereka. Mereka
merasa kembali memiliki harga diri yang tidak boleh diinjak-injak atau
dilecehkan oleh orang lain.
Partisipan yang awalnya hanya diam ketika menjadi bahan
ejekan, bisa melakukan perlawanan karena mereka merasa sekarang
sudah berubah. Hal ini sejalan dengan asumsi dari Musgrove yang
menyatakan bahwa peran yang baru berarti menciptakan diri yang
baru (Musgrove, 1977:14).
Sebagai pelacur, karena mereka merasa sebagai orang yang
menyalahi norma-norma di masyarakat, mereka diam dan tak berdaya
menghadapi stigma masyarakat. Namun, ketika sudah berhenti
menjadi pelacur, mereka merasa kembali menjadi orang baik. Harga
diri mereka bangkit dan tidak rela apabila orang masih berpandangan
buruk terhadap mereka karena mereka sudah berubah.
Datar Pustaka
Bungin, Burhan. (2010). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Creswell, John W. (2010). Research Design: Pendekatan Kualitatif,
Kuantitatif, dan Mixed. (Judul Asli: Research Design: Qualitative,
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
79
Quantitative, and Mixed Methods Approaches. hird Edition
Penerjemah: Achmad Fawaid). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Creswell, John W. (2013). Qualitative Inquiry & Research Design:
Choosing Among Five Approaches. California: Sage Publication.
Kriyantono, Rachmat. (2010). Teknik Praktis Riset Komunikasi: disertai
contoh praktis riset media, public relations, advertising, komunikasi
organisasi, komunikasi pemasaran. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Kuswarno, Engkus. (2009). Metodologi Penelitian Komunikasi:
Fenomenologi, Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya.
Bandung: Widya Padjadjaran.
Littlejohn, Stephen W. & Karen A. Foss. (2009). Teori Komunikasi.
Jakarta: Salemba Humanika.
Musgrove, Frank. (1977). Margins of he Mind. London: Methuen &
Co. LtD.
80
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
Seks Komersial: Sebuah Studi Fenomenologi
pada Mantan Pelacur di Kabupaten Cirebon
dan Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Indonesia
Wiwik Novianti1, Engkus Kuswarno,2 Eni Maryani3 dan Atwar
Bajari.4
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
Pendahuluan
Dalam masyarakat Indonesia keberadaan praktik prostitusi
dianggap sebagai suatu hal yang melanggar norma-norma di
masyarakat. Oleh karena itulah seorang pelaku seks komersial hampir
selalu dianggap buruk oleh masyarakat Indonesia.
Meskipun keberadaan pelacur mendapatkan penolakan yang
keras dari berbagai pihak namun jumlah pelacur di Indonesia tetap
saja besar. Pada tahun 2016, pelacur di Indonesia berjumlah sekitar
56 ribu. Menurut situs Global Black Market Information, Havoscope,
perolehan bisnis pelacuran di Indonesia mencapai USD2,25 miliar
setahun. Indonesia pun masuk dalam 12 besar negara terbesar dalam
bisnis prostitusi (beritagar.id, 19 Mei 2016).
Pelacur dipinggirkan secara sosial karena dianggap sebagai orang
yang amoral Anggapan yang buruk terhadap perempuan pelacur
memunculkan banyak istilah yang disematkan padanya. Istilah-istilah
tersebut mengandung stigma dan menempatkan pelacur dalam posisi
yang lebih rendah dibanding masyarakat lainnya.
Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki istilah khusus untuk
pelacur. Istilah yang sama juga memiliki kemungkinan untuk berbeda
1
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman
2
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
3
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
4
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
67
dalam interpretasinya karena nilai rasa yang ditimbulkan pada setiap
pelacur berbeda.
Istilah yang diberikan menunjukkan perspektif orang yang
menggunakan istilah tersebut. Oleh karena itu penulis tertarik untuk
membahas mengenai istilah-istilah yang digunakan untuk menyebut
seorang pelaku seks komersial dan bagaimana mantan pelacur
sebagai orang yang pernah mendapat julukan tersebut memaknainya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengumpulkan istilah yang
digunakan untuk menyebut pelacur dan mendapatkan pemahaman
tentang interpretasi istilah tersebut dari sudut pandang mantan pelacur.
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini selain memperkaya kajian
komunikasi antarbudaya juga dapat memberikan pemahaman tentang
interpretasi perempuan mantan pelacur. Dengan demikian diharapkan
masyarakat tidak lagi memandang rendah pelacur atau mantan pelacur.
Metodologi
Paradigma dan Metode Penelitian
Fokus penelitian ini adalah pada istilah yang digunakan untuk
menyebut seorang perempuan pelaku seks komersial. Guna memahami
interpretasi perempuan mantan pelacur terhadap istilah-istilah yang
pernah disematkan padanya maka paradigma yang digunakan dalam
penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme sosial. Paradigma
konstruktivisme sosial meneguhkan asumsi bahwa individu-individu
selalu berusaha memahami dunia di mana mereka hidup dan bekerja.
Mereka mengembangkan makna-makna subjektif atas pengalamanpengalaman mereka—makna-makna yang diarahkan pada objek-objek
atau benda-benda tertentu (Creswell, 2010:11).
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi. Metode kualitatif digunakan untuk
mengeksplorasi dan memahami makna yang—oleh sejumlah individu
atau sekelompok orang—dianggap berasal dari masalah sosial atau
kemanusiaan.
Proses penelitian kualitatif melibatkan upaya-upaya penting
seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur,
mengumpulkan data yang spesiik dari partisipan, menganalisis
data secara induktif, menafsirkan makna data. Laporan akhir untuk
68
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
penelitian ini memiliki struktur leksibel. Siapa pun yang terlibat dalam
bentuk penelitian ini harus menerapkan cara pandang penelitian
yang bergaya induktif, berfokus terhadap makna individual, dan
menerjemahkan kompleksitas suatu persoalan (Creswell, 2010:5).
Tujuan penelitian kualitatif adalah memahami situasi, peristiwa,
kelompok, atau interaksi sosial tertentu (Locke, Spirduso, & Silverman
dalam Creswell, 2010:292). Penelitian ini dapat diartikan sebagai proses
investigatif yang di dalamnya peneliti secara perlahan-lahan memaknai
suatu fenomena sosial dengan membedakan, membandingkan,
menggandakan, mengatalogkan, dan mengklasiikasikan objek penelitian
(Miles & Huberman dalam Creswell, 2010:292).
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data melalui
wawancara mendalam, observasi non partisipan, dan analisis dokumen.
Dalam penelitian ini, untuk menggali pengalaman hidup mantan
pelacur, penulis menggunakan wawancara mendalam agar partisipan
dapat memaparkan pengalaman hidupnya dengan panjang lebar.
Wawancara dilakukan secara terbuka, tidak berstruktur dan informal
dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh partisipan.
Pada saat wawancara, penulis mengawalinya dengan mengobrol
santai sehingga partisipan merasa nyaman dan mau menceritakan
pengalamannya dengan bebas.
Pada saat wawancara, penulis berupaya agar tidak menyinggung
perasaan atau menghakimi partisipan. Oleh karena itu penulis
mengganti kata pelacur dengan istilah perempuan penghibur. Istilah
perempuan penghibur muncul dari MC sebagai partisipan pertama
yang penulis wawancara. Ketika penulis menanyakan pekerjaannya
dulu sebagai apa, MC menjawabnya sebagai perempuan penghibur.
Dengan menggunakan istilah perempuan penghibur, penulis menjadi
dekat dengan partisipan dan mereka merasa lebih dihargai.
Materi wawancara adalah tema yang ditanyakan kepada partisipan
yang berisi masalah penelitian untuk mencapai tujuan penelitian.
Penulis mendokumentasikan hasil wawancara menggunakan alat
perekam suara.
Selain wawancara, penulis juga mengumpulkan data melalui
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
69
observasi. Observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan
pengamatannya melalui hasil kerja panca indra mata serta dibantu
dengan panca indra lainnya (Bungin, 2010:115). Observasi dalam
penelitian ini dianggap penting karena penulis dapat secara langsung
mengamati berbagai kegiatan yang dilakukan oleh mantan pelacur.
Dari metode observasi, penulis memperoleh data yang tidak
didapatkan melalui wawancara seperti penampilan isik partisipan,
setting (meliputi lingkungan manusia dan sosial, cara interaksi
antar manusia, tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan
lingkungan eksternal dan fasilitas yang tersedia) dan gaya komunikasi
yang dilakukan partisipan.
Dalam penelitian ini observasi dilakukan secara nonpartisipan,
yaitu penulis tidak berlaku sebagai mantan pelacur, melainkan hanya
menemani mereka melakukan aktivitas di lingkungannya. Dengan
observasi nonpartisipan ini peneliti dapat mengamati kehidupan
mantan pelacur tanpa mengganggu aktivitas yang sedang mereka
lakukan.
Guna menggali data-data masa lampau secara sistematis dan objektif,
penulis juga melakukan analisis dokumen (Kriyantono, 2010:120).
Dokumen yang dianalisis dapat berbentuk dokumen publik maupun
dokumen privat. Analisis dokumen dilakukan untuk memperoleh data
yang tidak dapat ditemukan melalui wawancara dan observasi.
Dalam penelitian ini dokumen yang akan ditelaah adalah dokumen
atau arsip yang terdiri dari media cetak maupun media elektronik dan
internet yang memuat informasi mengenai kehidupan mantan pelacur
ataupun prostitusi pada umumnya.
Teknik Analisis Data
Menurut Creswell (2013:180-182), terdapat tiga strategi analisis
data yang umum digunakan dalam penelitian kualitatif, seperti yang
ditunjukkan dalam tabel 1 berikut:
70
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
Tabel 1. Strategi Analisis Data Berdasarkan Beberapa Pakar Penelitian Kualitatif
Analytic Strategy
Madison (2005)
Huberman & Miles
(1994)
Sketching ideas
Write margin notes
in ield notes
Taking notes
Write relective passages in notes
Summarizing
ield notes
Drat a summary
sheet on ield notes
Working with
words
Make metaphors
Identifying codes
Do abstract coding
or concrete coding
Write codes, memos
Reducing codes to
theme
Identify salient
themes or patterns
Note patterns and
themes
Counting frequency of codes
Wolcott (1994b)
Highlight certain
information in
description
Identify patterned
regularities
Count frequency of
codes
Relating categories to analytic
framework in
literature
Contextualize with the
framework from
literature
Creating a point
of view
For scenes, audience,
readers
Displaying the
data
Create a graph or
picture of the framework
Make contrasts and
comparisons
Display indings
in tables, charts,
diagrams, and
igures; compare
cases; compare
with a standars
case.
(Sumber: Creswell, 2013:181)
Menurut Creswell (2013:181), ketiga penulis di atas
merepresentasikan perspektif penelitian yang berbeda. Madison
menghadirkan kerangka kerja dari etnograi kritis. Huberman dan
Miles mengemukakan pendekatan sistematis untuk menganalisis
penelitian kualitatif sedangkan Wolcott menggunakan pendekatan
yang lebih tradisional untuk analisis penelitian etnograi dan studi
kasus. Karena penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi, maka penelitian ini akan menggunakan
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
71
kerangka kerja dari Huberman dan Miles untuk menganalisis data
penelitian serta mengikuti alur analisis dan penyajian data seperti yang
dikemukakan oleh Creswell.
Model analisis data yang digagas oleh Huberman dan Miles (dalam
Sutopo, 2002:96) sering disebut sebagai model analisis interaktif.
Komponen analisis ini adalah (1) pengumpulan data, (2) reduksi data,
(3) sajian data dan (4) penarikan kesimpulan (veriikasi). Dalam teknik
analisis ini, analisis dilakukan secara terus menerus dari awal penelitian
sampai dengan penelitian selesai.
Teknik Validasi Data
Creswell (2013:249) berpendapat bahwa validasi dalam penelitian
kualitatif adalah sebuah usaha untuk menilai ketepatan atau keakuratan
temuan penelitian yang digambarkan menurut peneliti dan partisipan.
Hal ini berarti bahwa laporan penelitian merupakan representasi
penulisnya. Kekuatan validasi dalam penelitian kualitatif terletak pada
keluasan waktu yang dihabiskan di lapangan, deskripsi yang sangat
detil, dan kedekatan antara peneliti dengan partisipan.
Dalam penelitian ini, penulis menggambarkan pengalaman
transformasi identitas mantan pelacur secara detil kemudian
mengirimkan hasil penelitian kepada partisipan. Partisipan lalu diminta
untuk mengoreksi serta memberi masukkan terkait dengan hasil
penelitian. Penulis melakukan hal ini sampai partisipan menyetujui
laporan penelitian yang ditulis.
Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Cirebon dan Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat. Lokasi ini dipilih sebagai lokasi penelitian
dengan pertimbangan:
1. Jumlah pelacur di Jawa Barat mengalami peningkatan yang cukup
tajam. Menurut Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial 2012,
pada tahun 2008 jumlah perempuan pelacur di Jawa Barat adalah
3.659 jiwa. Sedangkan pada tahun 2012, naik menjadi 5.495 jiwa.
2. Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu terletak di jalur
pantai utara Pulau Jawa. Oleh karena itulah wilayah Cirebon dan
Indramayu menjadi daerah transit yang cukup ramai. Dengan
72
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
banyaknya orang-orang yang transit di Cirebon dan Indramayu,
dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk membuka
praktek prostitusi. Selain itu, Cirebon dan Indramayu juga sudah
terkenal sebagai daerah asal pelacur.
Partisipan dalam penelitian ini adalah mantan pelacur yaitu
seseorang yang dahulu pernah memberikan pelayanan seksual dengan
imbalan uang atau barang berharga. Saat penelitian dilakukan mantan
pelacur sudah berhenti dari aktivitasnya dalam dunia prostitusi.
Partisipan diperoleh dengan teknik purposive sampling dengan
cara snowball yaitu partisipan pertama yang memenuhi kriteria akan
menunjukkan partisipan berikutnya yang sesuai dengan kriteria dalam
penelitian ini. Penelitian ini melibatkan delapan belas orang partisipan,
delapan orang tinggal di Kabupaten Cirebon dan sepuluh orang tinggal
di Kabupaten Indramayu.
Guna menjalin kedekatan dengan partisipan, peneliti berkunjung
ke rumahnya serta tempat mencari nakahnya. Pada partisipan yang
memiliki warung, peneliti duduk bercengkerama dengan partisipan
sambil membeli dagangannya seperti kopi dan mie rebus.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Istilah-istilah untuk Menyebut Perempuan Pelaku Seks Komersial
di Indonesia
Banyak istilah yang digunakan untuk merujuk pada perempuan
pelaku seks komersial. Istilah yang digunakan berhubungan dengan
cara pandang seseorang terhadap sosok perempuan pelaku seks
komersial. Partisipan juga ketika menceritakan pengalamannya
kepada peneliti menggunakan berbagai macam istilah untuk menyebut
identitas mereka dahulu. Ada yang terang-terangan menyebut diri
mereka dahulu sebagai WTS (Wanita Tuna Susila) namun ada pula
partisipan yang sepanjang perbincangan hanya mau menyebut wong
mengkenen (orang begini) atau pun kerja mengkonon (kerja begitu).
Dalam dunia prostitusi, istilah menjadi hal yang sangat penting
untuk didiskusikan karena berkaitan dengan cara pandang seseorang
terhadap para pelakunya. Berbagai istilah disematkan bagi perempuan
pelaku seks komersial, mulai dari yang spesiik menunjukkan
aktivitasnya sebagai orang yang menjual diri hingga istilah yang
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
73
generik sehingga menimbulkan tafsir yang berbeda. Istilah tersebut
muncul dari pergaulan sehari-hari dan ada beberapa di antaranya yang
tidak terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Istilah-istilah
tersebut penting dibahas karena istilah ini menyangkut masalah stigma.
Masalah stigma berkaitan erat dengan istilah pemahaman, pemaknaan,
dan penerimaan sebuah istilah, perilaku, atau gejala perilaku tertentu.
Penulis menggunakan istilah mantan pelacur untuk menyebut
perempuan yang pernah melayani hasrat seksual laki-laki dengan
imbalan uang atau barang. Pelacur berasal dari kata lacur yang
memiliki arti malang, celaka, sial, dan buruk laku.5 Melacur berbuat
lacur atau menjual diri sebagai pelacur. Orang yang berbuat lacur
atau menjual diri disebut pelacur. Penulis memiliki tiga pertimbangan
untuk menggunakan kata pelacur dalam penelitian ini, yaitu:
1. Istilah pelacur sudah bebas bias gender, yang berarti ada pelacur
laki-laki dan pelacur perempuan (Koentjoro dan Sugihastuti, 1997)
2. Arti kata pelacur lebih lengkap dan spesiik.
3. Dalam wawancara, beberapa partisipan mendeinisikan diri mereka
sebagai seorang pelacur atau menyebut orang yang mencari uang
dengan cara melayani kebutuhan seksual laki-laki sebagai seorang
pelacur. Partisipan yang menggunakan istilah pelacur adalah San
dan Cst.
Istilah lainnya adalah wanita tuna susila. Pemerintah menggunakan
istilah ini untuk menyebut perempuan pelaku seks komersial. Namun
penggunaan istilah ini mendapat kritikan dari banyak pihak karena
dianggap menyudutkan perempuan. Hal ini disebabkan tidak ada
istilah pria tuna susila bagi laki-laki yang menjual diri. Lalu mengapa
konsumen layanan jasa pelacur wanita tidak beristilah? Perempuan
pelaku seks komersial disebut wanita tuna susila karena perempuan
tersebut tidak mempunyai adab dan tidak pula bersopan santun dalam
hubungan seks menurut norma masyarakat. Dalam penelitian ini,
partisipan yang menggunakan istilah WTS adalah Drsn.
Terdapat pula istilah pekerja seks yang berasal dari terminologi
sex worker yang diajukan oleh para feminis radikal. Istilah sex worker
dalam referensi referensi barat baru muncul pada awal tahun 19905
74
http://kbbi.web.id/lacur, diakses 4 Maret 2017
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
an. Oleh kelompok feminis radikal, pelacuran diperjuangkan agar
diakui sebagai sebuah pekerjaan yang sah. Namun hal ini mengundang
penolakan dari kelompok lain karena pelacuran bukan pekerjaan.
Pelacuran dianggap merendahkan derajat dan martabat kaum
wanita. Dalam penelitian ini tidak ada seorang partisipan pun yang
menggunakan istilah PSK (Pekerja Seks Komersial).
Selain tiga istilah di atas (pelacur, wanita tuna susila, dan pekerja
seks), dari hasil wawancara dengan partisipan, penulis juga menemukan
istilah-istilah yang mengacu pada pelaku seks komersial seperti berikut
ini:
1. Perempuan penghibur
Menurut Erw, sebagai seorang perempuan penghibur dan
perempuan malam ia wajar diciumi oleh tamunya dan dikatakan yang
buruk-buruk oleh masyarakat. “Namanya juga penghibur, ya kayak
gitu. Cium sana, cium sini wajar.”6
Hampir senada dengan yang disampaikan Erw, MC menjelaskan
peran perempuan penghibur sebagai tempat pelarian masalah bagi
kaum lelaki.
“Pati-pati wong lanang luru hiburan mengkenen kuh ning umae
maksa bae ana masalah hubungan suami karo istri, pelampiasane
ning golongane mekenen. Luru hiburan seminggu sekali. Mungkin
juga ana masalah kerjaan, ya nggo hiburan bae.”7
(Bisanya laki-laki mencari hiburan begini itu karena di rumahnya
ada masalah hubungan suami dengan istri, pelampiasannya pada
kelompok seperti ini. Mencari hiburan seminggu sekali. Mungkin
juga ada masalah kerjaan, ya untuk hiburan saja).
MC menceritakan, dulu sebagai seorang perempuan penghibur,
ia harus bisa menghibur lelaki yang datang padanya. Menurutnya,
lelaki yang mencari hiburan dengan pelacur adalah lelaki yang sedang
memiliki masalah, baik masalah rumah tangga maupun kantor.
2. Perempuan malam
Perempuan malam adalah sebutan lain yang ditujukan untuk
pelacur. Para pelacur biasanya mulai beraktivitas sore hingga dini hari.
Oleh karena itu perempuan pelacur juga sering menyebut diri mereka
6
7
Wawancara dengan Erw, 3 Agustus 2015
Wawancara dengan MC, 20 Mei 2015
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
75
sebagai perempuan malam, seperti yang dikatakan oleh Erw, “Dikatain
yang nggak-nggak juga wajar, wong perempuan malam.”8
Dari yang dikatakan oleh Erw tersebut, tersirat rasa frustasi Erw
terhadap stigma yang melekat padanya dulu sebagai wanita malam. Erw
bahkan sudah menganggap bahwa stigma, cap negatif yang ditujukan
kepadanya adalah suatu kewajaran.
3. Jablay
Istilah jablay dipopulerkan oleh artis Titi Kamal saat menyanyikan
lagu berjudul sama dalam ilm Mendadak Dangdut pada 2006. Jablay
merupakan singkatan dari jarang dibelai yang memiliki makna sebagai
seorang perempuan kesepian yang jarang mendapatkan belaian kasih
sayang kekasihnya. Namun saat ini arti kata jablay sudah mengalami
pergeseran menjadi sebutan bagi perempuan yang mau diajak untuk
bersenang-senang atau pelacur.
Bagi Nr, waktu awal-awal menjadi pelacur di Cirebon ia tidak enak
ketika dipanggil jablay namun lambat laun ia terbiasa dengan itu.
Ehm apa ya. Kadang kalau orang sini bilang jablay ya. Kalau dulu
ya kadang nggak enak ya. Tapi kalau kita telusuri lagi emang
pekerjaan begitu gitu hehe. Banyak nggak enaknya. Dari sebutan
aja udah menonjol ya, jablay gitu. Kadang saya juga mikir, jablay
kok kayak begituan hehe. Tapi sekarang udah nggak hehe9
Menurut Nr, kata jablay untuk menyebut pelacur dirasanya cukup
menonjol dan menarik perhatian. Awalnya ia risih dengan sebutan
tersebut namun kemudian ia menerimanya.
4. Anak nakal
Berbeda dengan Nr, menurut El, panggilan jablay itu sangat kasar.
Ia dan teman-temannya sesama pelacur dulu tidak suka dipanggil
jablay. El dahulu lebih sering menggunakan istilah anak nakal untuk
menyebut dirinya dan teman-temannya.
Ya paling kalau orang sini paling ngomongnya jablayl-ah. Jadi
itulah, cuman dulu bilangnya anak nakal, yang nyebut jablay itu
paling anak-anak orang seumuran, “Dasar ira jablay!”. Kalau ada
yang ngomong jablay jadinya berantem.10
8
9
10
76
Wawancara dengan Erw, 3 Agustus 2015
Wawancara dengan Nr, 26 Agustus 2015
Wawancara dengan El, 28 Agustus 2015
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
Bagi El, sebutan anak nakal masih bisa ia terima dibandingkan
jablay. Sebutan anak nakal yang masih bersifat umum tersebut
secara tidak langsung menunjukkan bahwa El tidak nyaman dengan
identitasnya dahulu sebagai seorang pelacur.
5. Bukan wanita baik-baik
Sebutan lain yang digunakan partisipan untuk mendeskripsikan
diri mereka dahulu adalah bukan wanita baik-baik seperti yang
dikatakan oleh Er kepada calon suaminya dulu. Setelah berhenti
menjadi pelacur, Er bertemu dengan calon suaminya (sekarang menjadi
suaminya). Saat itu Er mengatakan kepada calon suaminya bahwa ia
bukanlah perempuan baik-baik, “Saya tuh ngomong, saya itu bukan
wanita baik-baik”.11 Calon suami Er menjawab bahwa ia menerima Er
apa adanya dan meminta Er untuk tidak berkata seperti itu lagi.
Hampir sama dengan El, Er menggunakan istilah yang masih
sangat umum untuk menggambarkan dirinya pada calon suaminya saat
itu. Istilah bukan wanita baik-baik memiliki arti yang sangat luas. Dari
istilah yang dipilihnya terlihat bahwa Er sebenarnya ingin menutupi
masa lalunya sebagai pelacur dari suaminya.
6. Ungkluk dan Cabo
Menurut Er, istilah yang biasa ia gunakan untuk menunjuk pada
pelacur adalah ungkluk dan cabo
Ya kalau orang sono bilangkan ungkluk. Kalau orang sunda mah
itu paling kasar, ungkluk, cabo, kaya gitu ya.12
Ungkluk dan cabo adalah kata dari bahasa daerah yang berarti
pelacur. Bedanya, ungkluk adalah Bahasa Sunda sedangkan kata cabo
berasal dari Bahasa Betawi. Er yang berasal dari Bandung menjelaskan
bahwa dalam bahasa Sunda kata ungkluk adalah sebutan paling kasar
untuk seorang pelacur.
7. Tlembuk
Istilah tlembuk digunakan oleh Sae ketika ia menceritakan
bagaimana pandangan orang kepadanya meskipun Sae sudah berhenti
menjadi pelacur. “Barang kita? Kecelukke masih tlembuk bae, jadi wong
11
12
Wawancara dengan Er, 28 Agustus 2015
Wawancara dengan Er, 28 Agustus 2015
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
77
edan.”13 Sae mengungkapkan bahwa sangat sulit untuk mengubah
pandangan orang terhadapnya. Meski ia sudah berubah, orang-orang
tetap memandangnya sebagai pelacur.
Tlembuk adalah istilah untuk menyebut pelacur. Istilah tlembuk
digunakan di daerah Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Purwokerto
dan Pemalang bagian selatan. Istilah tlembuk adalah istilah yang bagi
pelacurnya sendiri dianggap sangat kasar.
8. Orang Gila (Wong Edan)
Istilah lainnya yang digunakan partisipan untuk menyebut dirinya
dahulu adalah ‘orang gila’. Partisipan yang menggunakan istilah
tersebut Id, “Yang penting dulu, walaupun saya bekas orang gila, saya
mah sekarang hidup di masyarakat.”14
Kata ‘gila’ memiliki banyak arti, salah satunya adalah tidak
sebagaimana mestinya.15 Id menyadari bahwa dahulu aktivitasnya
bertentangan dengan norma-norma yang ada di masyarakat. Namun
ia menegaskan bahwa itu semua sudah berlalu. Dan saat ini ia berusaha
menjadi warga masyarakat yang baik.
9. Wong Luruh Duit
Menurut Kst, apa yang dilakukannya dahulu sebagai pelacur
disebutnya sebagai luruh duit. “Ya pekerjaan apa ya, luruh duit.”16
Makna sebenarnya dari luruh duit adalah mencari uang. Namun
karena banyak orang Indramayu yang mencari uang dengan cara
menjadi pelacur maka luruh duit kemudian berarti melacur. Bagi Kst
identitasnya dahulu sebagai wong luruh duit bukanlah suatu hal yang
harus ditutupi karena banyak perempuan di desanya juga luruh duit
seperti dirinya.
Dari hasil wawancara, penulis mendapati bahwa partisipan tidak
nyaman untuk mengatakan identitas dirinya dahulu. Mereka sering
menggunakan kata pengganti untuk menyebut pelacur. Dari mulai
mengkenen, mengkonon (begini, begitu), hingga wong edan (orang
gila). Meskipun ada partisipan yang mengakui bahwa dahulu ia bekerja
13
14
15
16
78
Wawancara dengan Sae, 5 September 2015
Wawancara dengan Id, 5 September 2015
http://kbbi.web.id/gila. Diakses 5 Januari 2017
Wawancara dengan Kst, 5 September 2015
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
sebagai pelacur namun ketika mengobrol dengan penulis, kata pelacur
jarang sekali digunakan.
Sewaktu berbincang dengan partisipan, penulis menggunakan
istilah perempuan penghibur. Istilah tersebut penulis pilih karena
respon partisipan ketika penulis menggunakan istilah tersebut sangat
baik. Partisipan menjadi tidak sungkan untuk menceritakan masa
lalunya kepada penulis. Mereka menerima istilah itu karena menurut
mereka istilah tersebut paling sesuai dengan peran mereka dahulu,
sebagai penghibur laki-laki.
Simpulan
Identitas mereka sebagai orang baik-baik yang sudah meninggalkan
dunia pelacuran, mengembalikan rasa percaya diri mereka. Mereka
merasa kembali memiliki harga diri yang tidak boleh diinjak-injak atau
dilecehkan oleh orang lain.
Partisipan yang awalnya hanya diam ketika menjadi bahan
ejekan, bisa melakukan perlawanan karena mereka merasa sekarang
sudah berubah. Hal ini sejalan dengan asumsi dari Musgrove yang
menyatakan bahwa peran yang baru berarti menciptakan diri yang
baru (Musgrove, 1977:14).
Sebagai pelacur, karena mereka merasa sebagai orang yang
menyalahi norma-norma di masyarakat, mereka diam dan tak berdaya
menghadapi stigma masyarakat. Namun, ketika sudah berhenti
menjadi pelacur, mereka merasa kembali menjadi orang baik. Harga
diri mereka bangkit dan tidak rela apabila orang masih berpandangan
buruk terhadap mereka karena mereka sudah berubah.
Datar Pustaka
Bungin, Burhan. (2010). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Creswell, John W. (2010). Research Design: Pendekatan Kualitatif,
Kuantitatif, dan Mixed. (Judul Asli: Research Design: Qualitative,
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia
79
Quantitative, and Mixed Methods Approaches. hird Edition
Penerjemah: Achmad Fawaid). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Creswell, John W. (2013). Qualitative Inquiry & Research Design:
Choosing Among Five Approaches. California: Sage Publication.
Kriyantono, Rachmat. (2010). Teknik Praktis Riset Komunikasi: disertai
contoh praktis riset media, public relations, advertising, komunikasi
organisasi, komunikasi pemasaran. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Kuswarno, Engkus. (2009). Metodologi Penelitian Komunikasi:
Fenomenologi, Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya.
Bandung: Widya Padjadjaran.
Littlejohn, Stephen W. & Karen A. Foss. (2009). Teori Komunikasi.
Jakarta: Salemba Humanika.
Musgrove, Frank. (1977). Margins of he Mind. London: Methuen &
Co. LtD.
80
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia