Dinamika Negara Kesejahteraan

DINAMIKA NEGARA KESEJAHTERAAN
Muryanto Amin1

Pendahuluan
Pada awal tulisannya, Ebenstein, menyatakan bahwa kesejahteraan dianggap
sebagai konsep yang tersirat dari tujuan alami negara, terlepas bentuk dan tujuan negara
itu, termasuk juga pada masa laissez faire. Adam Smith misalnya, dalam The Wealth of
Nation dan penganjur survival of the fittest, kemudian sadar bahwa penumpukan
kekayaan bukan satu-satunya tujuan keberadaan manusia. Ebenstein mengutip pendapat
Adam Smith bahwa ada tiga tugas negara yang berkaitan dengan masyarakat, pertama
adalah bidang pertahanan yaitu memberikan kebebasan kepada orang-orang yang
melawan penyerangan dan perbudakan, meskipun memerlukan biaya yang besar. Kedua,
melindungi setiap anggota masyarakat untuk melawan ketidakadilan atau tekanan dari
anggota masyarakat lainnya atas dasar keadilan dan kewajaran melalui penyediaan
keamanan dan tidak memihak. Artinya, negara kemudian bertindak untuk mencegah
adanya monopoli dari private property. Ketiga, negara membangun infrastruktur seperti
memelihara pekerjaan umum dan institusi masyarakat yang bermanfaat, bukan untuk
keuntungan individu atau sekelompok orang. Membangun jalan, pelabuhan, kanal, dan
lain sebagainya termasuk pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat umum.
Pengertian konsep kesejahteraan tersebut menunjukkan tidak hanya berkaitan
antara analisis dan kebijakan ekonomi namun harus dilihat secara menyeluruh.

Perdebatannya justru terletak pada peran pemerintah dalam memberikan pelayanan
publik dan perlakuan negara bagi mereka yang kalah dalam persaingan atau kompetisi.
Para penganut ekonomi klasik pada abad 18 dan awal abad 19 mencoba tetap meletakkan
analisis dan kebijakan ekonomi atas dasar rasionalisme, bebas dari tekanan politik,
kebiasaan masa lalu, dan konflik agama. Konsep kunci keterkaitan antara analisis dan
kebijakan ekonomi adalah pada aspek kegunaan (utility), tidak ada kebijakan atau
institusi yang dapat menyatakan kebenaran mutlak tanpa didasari atas kebahagiaan
manusia. Penganjur utama ekonomi klasik berpendapat sekurang-kurangnya kebahagiaan

1



Dosen FISIP USU dan Ketua Asosiasi Ilmu Politik Indonesia Cabang Medan.

1

manusia dicapai melalui laissez faire. Namun, pemikir besar ekonomi klasik dari Smith
sampai Mill tidak membenarkan harapan tersebut menjadi ajaran intelektual yang kaku.
Perubahan laissez faire terjadi secara perlahan-lahan akibat industrialisasi pada

abad 19 terutama mengenai kehidupan manusia sehari-hari. Jeremy Bentham dan John
Stuart Mill misalnya kemudian mengadopsi filsafat sosial dan politik yang sangat dekat
dengan negara kesejahteraan abad keduapuluh. Namun, penting untuk diingat bahwa
perubahan dari laissez faire ke konsep peran negara dalam melakukan kesejahteraan,
membuat Bentham dan Mill masih tetap mempertahankan tujuan kebahagiaan manusia
hanya dicapai melalui laissez faire. Perubahan alamiah itu dimaksudkan dilakukan oleh
negara dalam mendukung laissez faire. Perbedaan filosofi yang ada menunjukkan bahwa
terjadi perubahan konsep negara kesejahteraan dari waktu ke waktu. Makalah ini
membahas tentang perdebatan konsep negara kesejahteraan dengan pendekatan sejarah
pemikiran ekonomi politik.

Evolusi Negara Kesejahteraan
Kekuatan di balik evolusi perubahan liberalisme klasik barat dari laissez faire ke
negara kesejahteraan terjadi karena aspek ekonomi, politik dan psikologi. Pengaruh
ekonomi terjadi disebabkan, pada abad delapan belas atau awal abad sembilan belas, unit
ekonomi utama adalah pertanian, perdagangan dan bisnis kecil, sering sekali
dioperasikan, diatur, dan dimiliki oleh satu keluarga. Kemudian, manusia menginginkan
dibebaskan dari ketidaktahuannya dan campur tangan pemerintah, biarkan manusia
bekerja sendiri, dia merasa mampu mengerjakan aspek ekonomi lebih baik sampai
terpenuhi kebutuhan untuk kemerdekaan jiwanya. Keinginan itu kemudian bertepatan

dengan adanya teknologi yang sangat efisien sehingga menjadi relatif sederhana. Jika
dilihat dari perspektif pembangunan ekonomi, tujuan negara kesejahteraan adalah untuk
mengurangi pengaruh dari bahaya pembangunan ekonomi dan ketidakberdayaan yang
mengancam individu.
Faktor kedua dibalik evolusi negara kesejahteraan adalah politik. Banyak individu
yang mendapatkan hak pilih yang bukan hanya digunakan untuk memilih parlemen tapi
juga banyak kekuasaan sosial dan ekonomi. Penggunaan hak pilih itu dilakukan untuk
memilih parea pegawai pemerintah, dan mempercayakan pilihan tersebut atas dasar



2

keinginan dan pemikian mereka. Setelah itu, masyarakat pemilih memahami bahwa suara
mereka dianggap sebagai instrumen kekuasaan politik untuk meningkatkan kondisi
kehidupan akan kebutuhan dan kepemilikan. Siapapun yang dipilih dalam pemilihan
pejabat publik akan berjanji meningkatkan keuntungan sosial dan ekonomi yang lebih
baik bagi masyarakat, dan yang berbuat sesuai dengan janjinya akan diberi kesempatan
lagi dalam pemilihan berikutnya. Dalam konsep negara kesejahteraan, ada satu alasan
yang mendasar yakni sikap permusuhan atau ketidakpedulian itu harus diiringi dengan

luasnya program keamanan sosial dan ekonomi, dan kesejahteraan dibuat untuk mencapai
kesuksesan politik.
Faktor ketiga adalah psikologi. Masyarakat di belahan dunia ini, termasuk negara
berkembang, tidak akan menerima penderitaan yang berkepanjangan dan mengiginkan
perubahan nasib. Menurunnya pengaruh agama akan berimplikasi pada janji kehidupan
yang lebih baik dalam waktu yang tidak lama sama halnya dengan berhayal, dan bahkan
keyakinan agama sangat kuat untuk mencapai kebahagiaan manusia sebagai haknya.
Faktor psikologi ini kemudian berkembang dan menjadi gerakan reformasi sosial di
Eropa dan Amerika Serikat khususnya pada abad dua puluh. Di Eropa keinginan untuk
hidup lebih baik, atas dasar ekonomi dan keadilan sosial, menjadi tekanan politik yang
dilakukan pada berbagai gerakan reformasi sosial baik sosialis dan nonsosialis.
Perkembangan negara-negara di dunia untuk menciptakan kehidupan yang lebih
baik bagi masyarakatnya, pertumbuhan industrialisasi yang cepat dan standar kehidupan
yang lebih tinggi menjadi tuntutan politik yang tumbuh secara alamiah. Minat akan
negara kesejahteraan tidak didasarkan atas sentimen murni dan kekuatan psikologi, tapi
diperoleh dari pengetahuan bahwa kemiskinan harus dihapuskan dari muka bumi.
Sebelum Revolusi Industri, kemiskinan sepertinya ditakdirkan untuk tidak dapat diubah.
Saat ini, manusia mengatasi kemiskinan dengan mengubah institusi masyarakat.
Prinsip utama negara kesejahteraan relatif sederhana, pertama, mengenalkan
setiap anggota masyarakat tentang hak sebagai manusia untuk mencapai standar

kehidupan minimum. Kedua, membuat kebijakan stabilitas ekonomi dan kemajuannya,
menghapuskan siklus kekerasan dari kenaikan harga yang tiba-tiba melalui kebijakan
publik ketika perusahaan swasta tidak mampu mencegah dirinya sendiri dari ancaman
ketidakstabilan atau kemunduran ekonomi. Ketiga, membuat kesempatan kerja sebagai



3

prioritas utama kebijakan publik.

Perdebatan Politik dan Penerapan Negara Kesejahteraan
Konsep negara kesejahteraan dianggap sebagai jalan tengah, untuk mengatasi
persoalan kemunusiaan, ketika Depresi Besar terjadi pada abad 19 yang menunjukkan
tidak hanya hancurnya ekonomi dan pengangguran, tapi juga penurunan kemanusiaan
yang diakibatkannya. Penganut paham negara kesejahteraan percaya bahwa kebebasan
berusaha dapat menyediakan dan menguatkan kebijakan kesempatan kerja tanpa
melakukan nasionalisasi. Sistem perpajakan disesuaikan untuk kemakmuran, suku bunga
ditentukan oleh keputusan pemerintah menurut kebutuhan ekonomi, kebijakan fiskal
dirancang


untuk

kemampuan

pemerataan

pembelian

yang

seimbang

dengan

mengutamakan kepentingan bangsa, insentif investasi harus dikurangi, pekerjaan umum
diciptakan untuk mengatasi pengangguran, menyediakan kredit pemerintah untuk
pengembang atau pembeli perumahan. Itulah beberapa ukuran yang dapat dilakukan
pemerintah untuk menstabilkan ekonomi tanpa mengubah unsur fondasinya.
Ebenstein menulis, setidaknya ada perdebatan yang terjadi berdasarkan sejarah di

Amerika Serikat, khususnya ketika terjadi Depresi Besar tahun 1932. Pertama, arsitek
utama New Deal, Franklin D. Roosevelt (1882- 1945). Ia memulai dengan premis utama
dari liberal yaitu filsafat demokrasi, bahwa pemerintah dan ekonomi ada untuk melayani
manusia dan bukan sebaliknya. Sekalipun dalam sejarah awal Amerika, konflik sosial
tidak cukup untuk membawa terlalu jauh campur tangan pemerintah sebab yang kaya
tidaklah terlalu kaya, dan yang miskin tidak juga terlalu miskin. Perubahan terjadi ketika
Revolusi Industri pada pertengahan abad 19 dan pertumbuhan industri serta kekuatan
finansial dengan masalah utamanya adanya konsentrasi kekuatan ekonomi pada beberapa
korporasi besar, dan menyebabkan beberapa orang berhenti dari bisnis dan industri itu.
Ketidakseimbangan dalam ekonomi Amerika ini, oleh Roosevelt ditata ulang kembali
untuk mendistribusikan kesejahteraan dan produksi agar lebih sesuai. Konstitusi Amerika
kemudian mengatur kekuatan negara yang ditujukan kepada kesejahteraan nasional.
Perusahaan besar harus mengikuti perintah konsitusi, menyesuaikan kepentingan
perusahaannya dengan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Setiap orang memiliki hak tidak hanya hidup, tapi juga untuk membuat kehidupan



4


lebih nyaman. Roosevelt yakin bahwa pemerintah harus mengatur aktivitas ekonomi
hanya sebagai jalan terakhir, dan melakukannya hanya ketika inisiatif perusahaan gagal.
Fungsi utama pemerintah bukan melakukan sesuatu yang telah dilakukan oleh individu,
tapi untuk memelihara keseimbangan. Akhirnya, Roosevelt memiliki keyakinan akan
keberhasilan perusahaan masyarakat Amerika dengan adanya penurunan kemiskinan.
Kedua yang tidak setuju dengan konsep negara kesejahteraan adalah Presiden Hoover
(1929-1933) yang pada saat kekuasaannyalah terjadi Depresi Besar dengan puncaknya di
tahun 1932. Hoover. Dia tidak pernah bimbang akan keyakinannya bahwa pelaksanaan
New Deal adalah bentuk penyimpangan yang berbahaya dari tradisi masyarakat Amerika
tentang kebebasan. Meningkatnya jumlah penduduk akan berpengaruh kepada
pemerintah, meningkatnya isu-isu serius mengenai hubungan individu dengan
pemerintahannya dalam masyarakat bebas. Ancaman serius dari negara kesejahteraan
adalah kebebasan masyarakat Amerika dan pengaruh pengikut komnunis di Amerika,
Konsep negara kesejahteraan dengan demikian didefinisikan oleh Hoover sebagai
”penyamaran negara kolektivisme dengan mengarahkan pembelanjaan,” Kemerdekaan
individual, inisiatif dan kebebasan tidak dapat ditukarkan, Hoover menyimpulkan, untuk
”kolektivisme yang mengacaukan,” dan dia menyalahkan kelompok penekan dan politisi
yang mengakomodasikan banyak gangguan yang disebabkan oleh pertumbuhan
pemerintah pusat.
Ketiga, oposisi negara kesejahteraan juga disuarakan oleh Roscoe Pound (1870),

satu dari ahli hukum yang berpengaruh. Ketidaksesuaian Pound adalah bukan tugas
negara yang melaksanakan banyak pelayanan publik, tapi adanya konsep tentang
pelayanan publik yang hanya dilaksanakan oleh negara serta tidak ada batas dalam
memberikan pelayanan kemanusiaan. Negara kesejahteraan mensyaratkan adiministrator
yang sangat kuat dalam seluruh lingkup kesejahteraan manusia. Pound beranggapan,
seperti negara super service, harus mengembangkan birokrasi yang besar, dan akhirnya
akan menjadi negara totaliter dengan komunisme Marxian. Karena itu, negara
kesejahteraan hanya awal dari fase absolutisme politik. Pound mengutuk kecenderungan
dalam negara kesejahteraan akan pembangunan konsep baru tentang kebebasan sebagai
keutamaan dari keinginan dan ketakutan, bukannya kebebasan sebagai kepentingan
individu itu sendiri dan penentuan nasib sendiri.



5

Keempat, dari aspek ekonomi negara kesejahteraan, A.C. Pigou mendukung
konsepsi itu. Dalam Some Aspects of the Welfare State, Pigou memperhatikan
keutamaan kesejahteraan ekonomi, dengan mendefinisikan kepuasan dan ketidakpuasan
yang diperoleh dari keadaan ekonomi. Pigou mengingatkan bahwa negara kesejahteraan

memerlukan demokrasi dan bukan sebuah monopoli atau identik dengan lemahnya
negara demokrasi. Negara kesejahteraan adalah bentuk yang pantas dipertimbangkan
untuk menolong kelas-kelas masyarakat miskin begitu juga untuk kebutuhan kolektif
seperti kekuatan bersenjata, polisi, pengadilan, birokrasi, dan bangunan publik yang harus
disediakan atau setidaknya dibayar oleh negara. Kepuasan pemenuhan kebutuhan
individu seharusnya berkisar tentang kebaikan dan keinginan untuk mendapatkannya
yang sering sekali didapat karena penipuan, pernyataan yang keliru dari iklan misalnya.
Fungsi penguasa negara dalam negara kesejahteraan juga harus menyediakan sekolah
untuk anak-anak dengan makan siang dan susu gratis atau menjual sesuatu barang
konsumsi dibawah harga pasar. Tindakan monopoli hanya dilakukan untuk kepentingan
nasional terutama dalam rangka menciptakan perdamaian, mengatur kekuatan produksi
dan lain sebagainya.
Sampai hari ini, konsep negara kesejahteraan jika dilihat dari filosopi dan
empirik, mengalami perdebatan. Meskipun konsep ini tidak begitu populer dengan
minimal state- nya kaum neoliberal namun harapan akan negara kesejahteraan masih
menarik untuk dilirik, setidaknya oleh negara-negara yang pernah melaksanakan
sosialisme demokrat. Negara kesejahteraan tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai terutama
etika Katolik dan pengaruh doktrin karikatif sosial (social charity) gereja. Huber dan
Stephens2 dan Manow3 menjelaskan adanya pengaruh doktrin sosial Katolik dalam desain
dan proses pengembangan negara kesejahteraan di negara-negara Eropa. Kelley (1994)

menyatakan bahwa etika Katolik memunculkan paham keadilan sosial (social justice)
yang menjadi legitimasi intervensi negara terhadap mekanisme pasar.
Kelley membagi paham keadilan sosial menjadi dua aliran, yaitu welfarism dan
egalitarianism. Welfarism memandang bahwa individu mempunyai hak untuk

2

E. Huber, dan JD. Stephens. Development and Crisis of the Welfare State: Parties and Politics in Global
Market. (The University of Chicago Press, 2001).
3
P. Manow, The Good, the Bad, and the Ugly: Esping-Andersen’s Regime Typology and the Religious
Roots of the Western Welfare State, (Max Planck Institute, 2004).



6

mendapatkan kebutuhan dasar tertentu dalam hidup, sehingga menjadi kewajiban
masyarakat untuk memastikan setiap individu mempunyai akses pada kebutuhankebutuhan tersebut. Sistem kapitalis laissez faire tidak mampu menjamin tercapainya hal
tersebut, sehingga dibutuhkan intervensi negara untuk memodifikasi pasar agar bisa
memenuhi tanggung jawab distribusinya. Egalitarianism menyatakan bahwa kemakmuran
(wealth) yang diproduksi oleh masyarakat harus didistribusikan dengan adil (fair). Sistem
kapitalis berbasis pasar cenderung membenarkan bahkan mendorong terjadinya
kesenjangan, baik pendapatan maupun kemakmuran diantara individu-individu. Inilah
yang menyebabkan dibutuhkannya negara untuk memastikan terjadinya distribusi
kemakmuran yang lebih merata.4 Paham ini sangat dekat dekat pandangan liberal, yang
memandang bahwa kapitalisme merupakan sistem yang paling efisien dibandingkan
dengan sistem yang ada. Meskipun begitu, kapitalisme mempunyai efek negatif berupa
kemiskinan dan ketimpangan. Untuk mengatasi hal itulah, negara harus mampu
mengatasi efek negatif tersebut.
Berbeda dengan pandangan kaum libertarian lainnya seperti Robert Nozick, yang
memandang intervensi negara sebagai hal yang salah secara moral.5 Seperti juga halnya
Hayek dan Friedman 6, kaum empirical libertarian, yang memandang bahwa campur
tangan negara akan menurunkan kesejahteraan agregat. Kaum liberal kelompok yang
disebutkan terakhir merasa tidak keliru ketika mereka mengkritik program-program
welfare sebagai mekanisme yang sering melahirkan kultur ketergantungan. Bila kita tahu
bahwa kalau seorang manusia ”jatuh” (misal sakit atau kehilangan pekerjaan) negara atau
pemerintah selalu siap memberi jaminan, yang tidak jarang terjadi adalah orang itu akan
hidup saja dari jaminan negara. Maka etos kerja dan ”wirausaha” dalam masyarakat
secara perlahan menjadi hancur. Kritik terhadap welfare state adalah pada tahap
implementasi programnya.
Klaim kaum libertarian itu berkisar pada agenda kepentingan umum yang
dilandaskan dalam negara kesejahteraan sebagai tidak begitu meyakinkan. Mereka

4

Kelley. D, ”Altruism and Capitalism” {Artikel online}, (1994), tersedia di: www.objectivistcenter.org/text/dkelley_altruism-capitalism.asp; diunduh 11 Oktober 2008.
5
Lihat misalnya Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia, (New York: Basic Books, 1974).
6
Lihat Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom, (Chicago: University of Chicago Press, 1944); dan
Milton Friedman, Capitalism and Freedom, (Chicago: University of Chicago Press, 1962).




7

beranggapan bahwa ”tak ada masyarakat, yang ada hanyalah individu”. Dengan kata lain,
tidak ada kepentingan umum, yang ada hanya kepentingan individual. Karena individu
pertama-tama dipahami sebagai homo economicus, maksimalisasi laba individual pula
yang menjadi tujuan. Apakah dengan itu kepentingan umum dapat terselenggara atau
tidak, bukan menjadi perhatian kaum libertarian ini.
Dalam gagasan liberalisme klasik laissez faire seperti Adam Smith, negara masih
punya otoritas sebagai badan yang menyelenggarakan barang/jasa publik (pendidikan,
kesehatan publik, dan infrastruktur lain), sedang sektor privat menjadi motor pengadaan
barang/jasa privat. Namun, para empirical libertarian (Hayek dan Friedman) menolak
pembagian kerja yang lunak antara sektor negara dan privat ini. Alasannya, bagi mereka
barang/jasa publik pun diciptakan bukan karena baik/berguna untuk khalayak umum,
melainkan karena barang/jasa itu mendatangkan laba bagi penyedianya. Adanya fakta
bahwa pemerintah mencampuri atau bisa campur tangan (misalnya lewat tarif dan pajak
progresif) sudahlah cukup membuat kinerja pasar menjadi tidak bebas.
Kepercayaan empirikal liberal akan pertumbuhan ekonomi – investasi – tabungan
– income – tabungan – investasi – pertumbuhan ekonomi hanya bisa dilakukan oleh
mereka yang memiliki income berlebih. Pertumbuhan tabungan akan menyebabkan
investasi dan menghasilkan pembangunan yang akan menghasilkan tetesen ke bawah
(trickle down effect) dari golongan menengah dan atas ke kelompok-kelompok ekonomi
bawah. Jadi, pertumbuhan ekonomi hanya bisa dicapai secara maksimal dengan
membiarkan distribusi income ditentukan oleh mekanisme pasar bebas.7 Tidak satu pun
instansi masyarakat, termasuk pemerintah, yang harus membuat kebijakan atau program
pemindahan income dari kaum kaya ke kaum miskin. Maka pajak progresif, subsidi
pangan, ketetapan upah minimum, perlindungan buruh dan petani, program khusus
lapangan kerja, jaring pengaman sosial, dan program-program seperti itu menjadi tidak
dibenarkan dalam pandangan kaum empirical libertarian.
Meskipun demikian, dalam pandangan kelompok liberal lainnya masih meyakini
pentingnya fungsi redistribusi kesejahteraan dari negara untuk menjamin terjadinya
keadilan sosial dan pemerataan dalam sistem kapitalis. Negara kesejahteraan tidak pernah

7

Arthur McEwan, Neoliberalism or Democracy: Economic Strategy, Markets, and Alternatives for the
21th Century, (London: Zed Books, 1999), hal. 72-73.



8

dimaksudkan untuk mengeliminasi peran pasar sebagai penyedia kesejahteraan bagi
individu dan masyarakat. Negara kesejahteraan dibangun dalam kerangka ekonomi pasar
dan tidak pernah menolak ekonomi pasar kapitalis.8 Seperti halnya Gooding, Keynes juga
memandang bahwa kapitalisme tidak mengatur dirinya sendiri. Berbeda dengan yang
dijanjikan Hukum Pasar Say, permintaan tidak selalu bisa mengimbangi produksi.
Keynes menunjuk bahwa kapitalisme sebagai suatu sistem ekonomi, tidak selalu akan
dengan sendirinya mengoordinasikan permintaan dan penawaran dengan harmonis
melalui mekanisme pasar bagi keseluruhan perekonomian, khususnya ketika terjadi
defisit permintaan agregat. Karena itu, Keynes percaya peran negara dalam
perekonomian. Negara dibutuhkan untuk memikul tanggung jawab pengelolaan
perekonomian guna memelihara suatu permintaan agregat permintaan yang akan
menjamin kesempatan kerja penuh. Mereka juga percaya bahwa tanpa tindakan
pemerintah, pertumbuhan ekonomi tidak akan mampu menghapuskan kemiskinan.
Namun, negara kesejahteraan bukanlah wujud dari sosialisme. Dalam format
negara kesejahteraan memang terdapat persinggungan antara pemikiran liberal dan
kolektivis sosial demokrat, khususnya dalam area ”sosial justice” dan ”mutual
responsibility and the duty of the strong aid to the weak” 9 Namun, persinggungan
tersebut tidak bisa menghapuskan perbedaan dasar diantara pandangan kolektivis dan
liberal. Kaum kolektivis menilai negara kesejahteraan sebagai bentuk peralihan dari
kapitalisme laissez faire menuju sosialisme, sehingga dalam kaca mata mereka, negara
kesejahteraan tidak pernah lebih dari suatu ”tahapan antara” (a staging post in the
transition).10
Keynes misalnya bukanlah kolektivis, dia memandang kapitalisme sebagai sistem
yang paripurna dan negara kesejahteraan adalah upaya untuk menyelamatkan kapitalisme
agar bisa lebih diterima secara moral dengan menggunakan campur tangan negara. Apa
yang ingin mereka capai adalah menyelematkan kapitalisme dan unsur-unsur pentingnya,
sambil mengurangi atau menghapus hal-hal yang sekarang tidak dapat kesalahan teknis
daripada kesalahan yang mendasar. Kapitalisme, merujuk pada Keynes, jika dikelola

8

RE, Goodin, Reason for Welfare: The Political Theory of the Welfare State, Studies in Moral, Political,
and Legal Philosophy, (Princenton University Press, 1988).
9
N Barr, The Economics of the Welfare State, (Stanford: Stanford University Press, 1998), hal. 44-63.
10
Ibid. hal. 84.




9

secara bijak mungkin dapat menjadi alat yang lebih efisien untuk mencapa tujuan
ekonomi dibandingkan dengan sistem lain mana pun yang dibayangkan. Melalui tindakan
yang tepat, ia percaya bahwa suatu jalan tengah dapat ditemukan antara anarki laissez
faire dan kelaliman totalitarianisme. Negara kesejahteraan dapat disebut sebagai jalan
tengah dari kedua pilar ideologi itu.

Penutup
Konsep negara kesejahteraan adalah konsep yang masih menjadi perdebatan.
Dalam perdebatan tersebut terdapat empat pemaknaan konsep negara kesejahteraan,
antara lain: Pertama, konsep negara kesejahteraan dimaknai sebagai kekuatan negara
yang ditujukan kepada kesejahteraan nasional; Kedua, konsep negara kesejahteraan
dimaknai sebagai penyamaran negara kolektivisme dengan mengarahkan pembelanjaan;
Ketiga, negara kesejahteraan hanya awal dari fase absolutisme politik; Keempat, konsep
negara kesejahteraan dimaknai sebagai cara memperhatikan keutamaan kesejahteraan
ekonomi masyarakat miskin. Perdebatan ini tidak terlepas dari adanya tarik menarik
antara ideologi sosialisme dan kapitalisme. Implikasinya negara kesejahteraan dapat juga
disebut sebagai jalan tengah.
Daftar Pustaka
Barr, N.. 1998. The Economics of the Welfare State. Stanford: Stanford University.
Friedman, Milton. 1962. Capitalism and Freedom. Chicago: University of Chicago Press.
Goodin, RE.. 1988. Reason for Welfare: The Political Theory of the Welfare State,
Studies in Moral, Political, and Legal Philosophy. Princenton University Press.

Hayek, Friedrich A.. 1944. The Road to Serfdom. Chicago: University of Chicago
Press.
Huber, E. dan JD. Stephens. 2001. Development and Crisis of the Welfare State:
Parties and Politics in Global Market. The University of Chicago Press.
Manow, P.. 2004. The Good, the Bad, and the Ugly: Esping-Andersen’s Regime
Typology and the Religious Roots of the Western Welfare State. Max
Planck Institute.
McEwan, Arthur. 1999. Neoliberalism or Democracy: Economic Strategy,



10

Markets, and Alternatives for the 21th Century. London: Zed Books.
Nozick, Robert. 1974. Anarchy, State, and Utopia. New York: Basic Books.
Press. D, Kelley. ”Altruism and Capitalism” {Artikel online}, (1994), tersedia di:
www.objectivist- center.org/text/dkelley_altruism-capitalism.- asp; diunduh 11
Oktober 2008.



11