Mimpi Negara Kesejahteraan Peran Negara

oleh:
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo
(LP3ES dan Perkumpulan Prakarsa, 2006)

Negara kesejahteraan (welfare state) merupakan suatu negara yang bertanggung jawab
menjamin standar kesejahteraan hidup minimum bagi setiap warga negaranya. Welfare state
dirintis pertama kali oleh Jerman dibawah Otto Von Bismarck sejak tahun 1850-an. Negara
kesejahteraan ini mengacu pada peran aktif negara dalam mengelola dan mengorganisir
perekonomian. Di dalamnya tercakup tanggung jawab negara untuk menjamin ketersediaan
pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya. Inti dari proses ini adalah
negara berupaya mengunakan kebijakan sosial sebagai alat untuk melakukan redefinisi pola
relasinya terhadap warga negara. Menata ulang relasi kelas dalam masyarakat serta
menghapuskan kesenjangan kelas yang terjadi. Ada 4 prasayarat terwujudnya negara
kesejahteraan, yaitu social citizenship, full democracy, modern industrial relation systems, serta
rights to education dan expansion of modern mass education.
Negara memainkan peranan yang sangat penting di dalam pengelolaannya. Melalui
format tersebut, negara mampu memikul peran aktif dalam pengurangan kemiskinan, penyediaan
lapangan kerja, sistim kesehatan dan pendidikan yang terjangkau dan tentu saja jaminan sosial.
Tipologi negara kesejahteraan menurut Titmuss (1958) ada 2, yaitu:
1. Residual Welfare State; mengasumsikan tanggung jawab negara sebagai penyedia
kesejahteraan berlaku hanya jika keluarga dan pasar gagal dalam menjalankan fungsinya

serta terpusat pada kelompok masyarakat tertentu.
2. Institusional Welfare State; bersifat universal, mencakup semua populasi warga, serta
terlembaga dalam basis kebijakan sosial yang luas dan vital bagi kesejahteraan masyarakat.
Rezim kesejahteraan ini mengacu pada pola interaksi dan saling keterkaitan dalam produksi dan
alokasi kesejahteraan antara negara, sistem pasar dan keluarga. Sementara Esping-Andersen
membaginya dalam varian-varian yang lebih kecil berdasarkan besar kecilnya peran aktor-aktor
dalam negara kesejahteraan yang meliputi rezim kesejahteraan liberal, sosial demokrat dan
konservatif.
Maka, Esping–Andersen (1999) juga membagi negara kesejahteraan dalam tiga bentuk.
Ia menekankan bahwa ajaran agama memainkan peranan penting sebagai pemberi landasan etis

terhadap perkembangan konsep negara kesejahteraan. Residual Welfare State dengan ciri jaminan
sosial terbatas bagi kelompok target yang selektif, dimana pasar mendapat dorongan kuat untuk
mengurus pelayanan publik. Contoh negara pelakunya ialah Australia, Kanada, Selandia Baru
dan Amerika Serikat. Sementara itu negara-negara di Skandinavia menganut Universalist
Welfare State dengan ciri cakupan jaminan sosial yang universal dan kelompok target luas serta
tingkat dekomodifikasi yang ekstensif. Contoh negara yang menganut pola ini adalah Denmark,
Finlandia, Norwegia, Swedia dan Belanda dengan basis rezim kesejahteraan sosial demokrat.
Sedangkan, Sosial Insurance Welfare State dengan ciri sistem jaminan sosial yang tersegmentasi
serta peran keluarga yang kuat sebagai pemasok kesejahteraan. Negara pelakunya antara lain

Jerman, Perancis, Belanda, Italia dan Spanyol dengan basis rezim kesejahteraan konservatif.
Dalam pengembangannya adopsi negara kesejahteraan membutuhkan dukungan kapasitas
birokrasi yang kuat. Birokrasi ini harus mampu berfungsi sebagai organisasi modern yang efektif
dan efisien untuk melakukan proses peng-administrasi-an jejaring kebijakan sosial yang
komprehensif. Walaupun globalisasi dan beberapa faktor endogen seperti transisi pasca industri
yang menyebabkan melambatnya produktivitas, matangnya sistem negara kesejahteraan,
penuaan populasi, serta transformasi struktur rumah tangga dan keluarga akibat banyaknya
perempuan yang masuk pasar tenaga kerja ditenggarai telah mempengaruhi pelaksanaan konsep
negara kesejahteraan di dunia. Namun fakta menunjukan bahwa konsep ini tetap mendapat
dukungan publik yang kuat. Dukungan ini menjadi faktor utama yang membuat konsep negara
kesejahteraan terus bertahan di dunia.
Selain itu, kelembaman kelembagaan juga menjelaskan tentang kemampuan bertahan
negara kesejahteraan. Kelembaman ini disebabkan oleh dua hal yaitu keberadaan veto point dan
keterikatan pada struktur yang ada (path dependence). Veto point adalah tahapan/mekanisme
dalam penyusunan kebijakan yang di dalamnya koalisi aktor atau kelompok kepentingan tertentu
mampu mempengaruhi diadopsi atau tidaknya suatu kebijakan. Teori path dependence
menjelaskan terjadinya kelembaman kelembagaan sebagai suatu inovasi/ pengembangan politik
yang jika telah diinisiasi akan sulit untuk dibalik arahkan.

Negara Kesejateraan; Pengalaman Skandinavia, Jerman dan Inggris


Secara khusus penulis buku ini mencoba melihat perkembangan dan dinamika 3 rezim
kesejahteraan yang ada di Eropa; Skandinavia, Jerman dan Inggris. Ketiga negara ini menganut 3
paham rezim kesejahteraan yang berbeda; rezim sosial demokrat, rezim konservatif, dan rezim
liberal. Skandinavia menganut paham rezim kesejahteraan sosial demokrat, dimana kunci
perkembangannya ada pada posisi kaum petani yang relatif kuat pada masa pra industri. Jadi
kelas petani mampu mendikte agenda kebijakan sosial yang tidak hanya mencakup perlindungan
terhadap kelas pekerja urban, tetapi juga kepentingan kelas petani pedesaan. Hal inilah yang
mendorong berkembangnya rezim kesejahteraan yang lebih universal, selain itu fusi antara
gereja dan birokrasi negara yang kuat sejak tahun 1500-an juga telah menciptakan minat publik
yang lebih koheren dan kuat terhadap isu kesejahteraan. Faktor lain yang juga mempengaruhi
ialah homogenitas kultural antara negara-negara ini baik dalam etnik, agama maupun bahasa.
Perkembangan ini kemudian semakin dipicu dengan munculnya undang-undang tentang
jaminan sosial pada tahun 1880 di Jerman sehingga dalam kurun waktu 1891-1898, 3 negara
Skandinavia juga mengesahkan undang-undang pertama mereka tentang jaminan sosial yang
meliputi jaminan pensiun hari tua, asuransi kesehatan dan kompensasi atas kecelakaan kerja.
Krisis yang mulai dirasakan oleh negara-negara ini pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an
telah memaksa mereka untuk berusaha memulihkan keseimbangan fiskalnya melalui reformasi
perpajakan, efesiensi pelayanan kebutuhan dasar dan restrukturisasi sistem jaminan sosial.
Secara simultan mereka melakukan:



Penurunan tingkat pajak marginal (marginal tax rates)



Perampingan sistem pensiun dan membuatnya lebih fleksibel



Pengetatan persyaratan bagi penerima jaminan pengangguran



Pengetatan persyaratan bagi penerima asuransi kesehatan.

Restrukturisasi yang dilakukan lebih pada penyesuaian program dengan besarnya anggaran yang
ada dimana reformasi kebijakan jaminan sosial dan kesejahteraan dilakukan dengan cara yang
tidak menyebabkan peningkatan kemiskinan ataupun kesenjangan pendapatan.
Sementara itu, Jerman merupakan negara yang menganut faham rezim kesejahteraan

konservatif. Rezim ini sangat dipengaruhi oleh karakter korporatisme gereja katolik yang
menekankan prinsip familialism (peran aktif keluarga sebagai penyedia kesejahteraan). Konsep
ini ditandai dengan dikotomi anta laki-laki (pencari nafkah/ sektor publik) dan perempuan
sebagai penyedia jasa sosial dalam keluarga (sektor domestik). Basis dukungan politik kanan

tengah yang didominasi oleh partai-partai kristen demokrat sangat mempengaruhi rezim
kesejahteraan Jerman. Hal inilah yang menyebabkan rezim kesejahteraan konservatif lebih
bersifat korporatis-segregatif. Ciri-ciri rezim ini adalah tingkat pengeluaran publik sangat besar
untuk mentransfer kesejahteraan, terutama jaminan pensiun. Keterbatasan kesempatan kerja
mendorong proses pergiliran kerja melalui skema pensiun dini dan tunjangan pengangguran yang
komprehensif.; kebijakan-kebijakan implisit dan eksplisit yang diskriminatif dan mempersulit
partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja serta jaminan sosial dan pensiun yang sangat
tersegregasi antar jenis pekerjaan.
Perjalanan negara kesejahteraan di Jerman dapat dibagi dalam tiga tahapan yaitu periode
Legislasi Bismarck, periode Republik Wiemar dan periode pasca Perang Dunia II. Bismarck
sendiri ketika mengagas sistem jaminan sosial tidak bertujuan untuk mewujudkan welfare state
melainkan welfare monarchy. Skema jaminan sosial yang ditawarkan sebenarnya hanya sebagai
sebuah bentuk kompensasi bagi kelompok pekerja kelas atas karena keterbatasan hak-hak
mereka di bawah pemerintahan monarki di Jerman. Format ini cenderung sentralistik
dan mengandalkan pembiayaan dari sektor pajak, akibatnya tidak hanya menyebabkan tarik

menarik antar kepentingan dan menjadi sumber segregasi antara pusat (reich) dan negara bagian
(lander) namun juga berbentukan dengan sistem politik di Jerman saat itu dimana setiap negara
bagian mempunyai hak veto untuk setiap keputusan. Apalagi beban anggaran tidak sesuai dengan
kemampuan pusat dalam penarikan pajak. Pada akhirnya sistem jaminan sosial yang universal
bagi pekerja kelas atas dan kelas bawah tidak mungkin terbentuk.
Pada periode Weimar, negara kesejahteraan mendapat legitimasi yang kuat melalui
konstitusi Weimar. Koalisi antara partai-partai politik di Jerman menjadi sendi bagi penempatan
kebijakan sosial sebagai prioritas pemerintahan. Negara kesejahteraan dalam periode Weimar ini
berkembang semakin independen yang menempatkan rezim ini mampu bertahan, bahkan pada
masa pemerintahan Nazi sebelum Perang Dunia II. Pasca Perang dunia II, negara kesejahteraan
di Jerman semakin dicirikan dengan adanya sistem asuransi sosial yang komprehensif dengan
bertumpu pada sistem pensiun namun tidak diimbangi dengan penyediaan jasa sosial yang
berbasis luas. Sektor jasa tidak berkembang, kesempatan kerja termasuk kesempatan kerja bagi
perempuan sangat terbatas dimana terjadi trade-off (pengorbanan) yang signifikan antara
kesempatan kerja dengan fertilitas. Tantangan terbesar negara kesejahteraan di Jerman Pasca
Perang Dunia II ini ada 2, yaitu:

1. Terhalangnya perluasan kesempatan kerja baik di sektor swasta maupun pada sektor publik
karena standar upah yang tinggi, serta terciptanya fiscal overload.
2. Perlunya melakukan upaya cost containment untuk program-program jaminan sosial utama

seperti pensiun dan jaminan kesehatan.
Namun terlepas dari itu, Jerman berhasil mempertahankan besaran porsi belanja sosialnya tanpa
harus memotong drastis tunjangan sosial bagi kaum miskin dan di saat yang sama berhasil
melakukan berbagai kebijakan yang penting bagi struktur dasar negara kesejahteraannya.
Penulis buku ini menyebutkan bahwa Inggris merupakan negara kesejahteraan dengan
dinamika yang unik, dimana Inggris merupakan satu-satunya negara kesejahteraan Eropa yang
mengalami restrukturisasi radikal. Pada awalnya, pasca Perang Dunia II, Inggris identik dengan
rezim sosial demokrat yang universal. Namun pasca krisis minyak tahun 1973 Inggris kemudian
lebih bersandar pada peran pasar dalam rezim kesejahteraan. Menurut Barr (1998) terdapat 4
periode tahapan negara kesejahteraan di Inggris, yaitu:
1. Periode Poor Relief; ditandai dengan diundangkannya Poor Act Law yang memberikan
perlindungan sosial bagi kaum impotent poor yaitu manula dan penderita sakit. Memberikan
kesempatan kerja bagi kaum miskin (able bodied) dalam house of correction serta
memberikan hukuman bagi yang menolak. Hukum ini kemudian dimodifikasi pada tahun
1834 melalui the Poor Law Amandement Act. Amandemen ini mencakup 3 prinsip utama;
pembatasan bantuan pada jumlah tertentu sehingga yang diberi bantuan tidak lebih sejahtera
dibandingkan mereka yang bekerja, penerima bantuan juga harus tinggal di workhouse dan
sentralisasi administratif. Peraturan ini juga dibarengi dengan undang-undang yang
mengatur pelayanan pendidikan umum melalui wajib belajar usia dini dan pelayanan
pendidikan gratis.

2. Periode Reformasi Liberal; yang ditandai dengan bangkitnya kolektifitas di Inggris pada
tahun 1906-1914. Munculnya kesadaran bahwa kemiskinan lebih dari sekedar masalah
moral dan kebebasan individu. Hal ini menciptakan cara pandang baru terhadap peran
negara dalam memainkan perannya dalam reformasi sosial. Pengesahan National Insurance
Act tahun 1911, menyebabkan praktik workhouse mulai ditinggalkan dan digantikan dengan
sistem asuransi yang lebih universal. Masa ini juga ditandai dengan pengesahan beberapa
undang-undang jaminan sosial lainnya seperti Education Act, Children Act, Old Age Pension
serta Trade Board Act.

3. Periode Pasca Perang Dunia II; Inggris mulai menerima konsep universalisme dimana
Laporan Beveridge menjadi landasan penting perkembangan rezim kesejahteraan
selanjutnya. Beveridge mengusulkan; menata ulang sistem jaminan sosial menjadi satu
strategi yang koheren, perluasan cakupan kerja dan prinsip parsimoni guna menghindari
kebutuhan mean-test bagi penerima keuntungan. Hal ini menegaskan universalisme dalam
memberikan jaring pengaman sosial bagi mereka yang tidak dijamin oleh sistem asuransi
yang ada.
4. Periode Akhir 1970-an; dimana Perdana Menteri Inggris saat itu Margareth Thatcher
memandang format negara kesejahteraan di Inggris ini sebagai akar masalah. Orientasi
pemerintah beralih pada efisiensi, insentif pasar tenaga kerja dan pengetatan fiskal. Jaminan
pengangguran secara bertahap dikurangi, sistem benefit tidak lagi dikaitkan dengan

pendapatan tapi terhadap perubahan harga dan secara periodik dimodifikasi dari universal
menjadi mean-tasted. Rekomodifikasi merupakan strategi yang konsisten dengan sistem
pasar bebas yang menjadi patokan dasar rezim kesejahteraan liberal.
Faktor pendorong terjadinya rezim kesejahteraan di Inggris menjadi neo liberal menurut Pierson
(2001) disebabkan anjloknya kredibilitas negara kesejahteraan versi Keynes pasca krisis minyak
tahun 1973 dan melemahnya kapasitas politik kelompok pro negara kesejahteraan serta
terjadinya perubahan sistem pengambilan keputusan di parlemen. Lebih jauh lagi perubahan
radikal ini dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang didominasi oleh kompetisi bipolar
kelompok sosial demokrat dengan kelompok liberal. Hasilnya memang tidak mengecewakan,
dimana pendapatan asli masyarakat meningkat signifikan, tapi tingkat kesenjangan menjadi lebih
tinggi.
Amerika Latin, Jepang dan Asia Timur
Selanjutnya sebagai bahan perbandingan yang komprehensif, penulis buku ini juga
mengajak pembaca untuk melihat pengalaman pelaksanaan konsep negara kesejahteraan ini di
negara-negara Amerika Latin, Jepang dan Asia Timur. Bagaimanapun juga konsep negara
kesejahteraan ini merupakan hasil pertumbuhan kapitalisme yang terikat erat dengan pergulatan
kelembagaan dan konteks historis Eropa. Ekperimentasi negara kesejahteraan di Amerika Latin
dikelompokan menjadi tiga, yaitu: kelompok regional pioneer (Argentina, Brasil, Cili, Kosta
Rika dan Uruguay) dengan sistem jaminan yang dibangun terbatas, tersegmentasi, dan tidak


setara dimana militer dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi previlleged group. Kelompok
kedua adalah kelompok intermediate (Bolivia, Kolombia, Ekuador, Meksiko, Panama, Paraguay,
Peru dan Venezuela) dimana cakupan jaminan sosialnya lebih terbatas dibandingkan kelompok
pertama. Kelompok terakhir latecomers (Republik Domonika, El Savlador, Guatemala, Haiti,
Honduras dan Nikaragua) dimana cakupan jaminan sosialnya juga sangat terbatas karena tidak
mencakup jaminan pengangguran dan tunjangan keluarga. Sistem jaminan sosial yang dibangun
di Amerika Latin miskin gagasan dan miskin dukungan basis politik.
Ekperimentasi yang terjadi pada negara-negara di Asia Timur, seperti Jepang, Korea
Selatan dan Taiwan merupakan hasil konsolidasi jaminan sosial yang berpatron pada Amerika
Serikat. Sementara itu jepang memiliki sistem kesejahteraan sosial sendiri yang dikenal dengan
Nihongata Shakai Fukusi yang dicirikan oleh sistem jaminan sosial yang tersegregasi
berdasarkan pekerjaan dan peran keluarga sebagai penyedia jasa kesejahteraan sosial. Hal ini
sama dengan di Taiwan. Kesejahteraan sosial bukanlah prioritas tetapi dianggap sebagai turunan
dari peningkatan ekonomi. Bila ekonomi meningkat maka kesejahteraan pasti meningkat. Model
yang diterapkan di Asia Timur ini merupakan replikasi Model Eropa dan Format Jepang
merupakan pencampuran dari beberapa model yang ada. Sementara itu negara-negara
berkembang di Asia Tenggara (Malaysia, Thailand, dan Indonesia) memiliki tingkat kesulitan
yang lebih tinggi dalam mereplikasi model-model yang berkembang di Eropa. Penyebabnya,
sistem kesejahteraan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial akan menpengaruhi kapasitas
negara tersebut dalam pengembangan sistem perlindungan sosial pasca kemerdekaan mereka.

Faktor yang mempersulit ini menurut Gough (2000) adalah:


Persoalan demokrasi dan masyarakat sipil



Iklim dunia usaha yang lebih terbuka bagi modal asing



Kekuatan pekerja lemah dan terpecah-pecah



Peran sektor pertanian yang kuat sehingga melemahkan integrasi sosial kelas pekerja



Peran negara, legitimasi dan kebijakan sosial yang bersifat bonapartist bagi para elite dan
kelompok tertentu



Keterikatan kelembagaan yang sangat terkait dengan pengalaman penjajahan.

Kegamangan Indonesia

Belajar dari pengalaman keberhasilan berbagai negara di Eropa, Amerika dan Asia sendiri
dalam mengembangkan welfare state, rasanya bukan mustahil. Menurut Gough, sistem negara
kesejahteraan yang dikembangkan di Indonesia sangat jauh tertinggal, ia menggolongkan
Indonesia sebagai less institutionally developed and differentiated dibandingkan dengan negaranegara di Asia Tenggara lainnya. Menurut identifikasi Lindenthal (2004), karakteristik umum
sistem jaminan sosial yang dikembangkan di Indonesia adalah:


Cakupannya terbatas dan hanya melayani minoritas populasi, yaitu pegawai negeri,
angkatan bersenjata dan sebagian kecil sektor swasta.



Ketergantungan terhadap keluarga dan komunitas dalam memberikan perlindungan sosial
informal sangat tinggi.



Ketergantung yang sangat terbatas pada majikan/ perusahaan diakibatkan ketidakmampuan
undang-undang perburuhan dalam mengakomodir kebutuhan jaminan sosial bagi pekerja.



Pilihan jaminan sosial yang tebatas bagi pekerja di sektor swasta



Paket keuntungan sosial yang relatif lebih komprehensif bagi pegawai negeri dan angkatan
bersenjata



Tunjangan sosial (social assitance) yang tidak memadai bagi penduduk miskin dimana
tingkat kebocoran dan biaya administrasi sangat tinggi.



Sistem kesehatan publik yang tidak didanai secara memadai yang mengakibatkan
ketidakmampuan dalam memberikan layanan publik secara tidak memadai pula.

Karena sistem jaminan sosial di Indonesia bersifat kontribusi, menyebabkan biaya operasional
tergolong tinggi yang harus ditutup dari investasi dana-dana yang terkumpul. Menurut penulis,
situasi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi Amerika Latin pada dekade 1980-an.
Indonesia dihadapkan pada tarikan arus neo liberal dan dorongan yang kuat untuk
mereduksi peran negara. Indonesia dihadapkan pada dilema untuk memilih model. Apakah
swasta-individualis yang dipimpin mekanisme pasar atau model egaliter-solidaristis dengan
orientasi publik dan pasar yang teregulasi. Pada akhirnya penulis buku ini menyatakan, bahwa
apapun pilihan yang ingin diambil Indonesia tentu tidak terlepas dari pengorbanan dan
imbangan, namun mudah-mudahan pilihan terbaiklah yang akan diambil. Memang setiap orang
berhak bermimpi. Bangsa kuli pun (asal bukan bermental kuli) berhak bermimpi, tapi mudahmudahan mimpi tentang welfare state tidak akan berubah menjadi nightmare state.