Perlindungan Hukum Terhadap Wartawan Yang Bertugas Di Wilayah Konflik Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional

BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM HUMANITER
A. Pengertian Hukum Humaniter Internasional
Dalam sejarah kehidupan politik manusia, peristiwa yang banyak dicatat
adalah perang dan damai, peristiwa-peristiwa besar yang menjadi tema-tema
utama dalam literatur-literatur politik dan juga hubungan internasional berkisar
antara dua macam interaksi tersebut. Ungkapan bahwa peace to be merely a
respite between wars menunjukkan, situasi perang dan damai terus silih berganti
dalam interaksi manusia. Hasil penelitian Zeev Maoz yang dikutip Holstoi,
menunjukkan bahwa sejak Kongres Viena 1815 hingga tahun 1976, telah terjadi
827 macam konflik, 210 diantaranya terjadi di abad ke-19 dan sisanya 617 terjadi
di abad ke-20.9
Dalam Buku edisi sebelumnya Holsti mengutip data Quincy Wright yang
mengidentifikasi perang di Negara-negara barat sejak 1480 hingga 1940 sebanyak
278 peristiwa10 dari kedua data ini, Wright dan Maoz mempunyai kesimpulan
yang sama yaitu bahwa periode paling damai terjadi pada pada masa setelah
perang napoleon sampai dengan Perang Dunia I. Lebih lanjut, Maoz
menyimpulkan periode paling tinggi tingkat konfliknya terjadi setelah Perang
Dunia ke II.11
Secara definitif, perang adalah suatu kondisi tertinggi dari bentuk konflik
antar manusia. Dalam studi internasional, perang secara tradisional adalah

                                                            
9

K.J Holsti, International Politics, A Framework for Analysis, 6th edition New jersey;
Prentice Hall Inc, 1992, hal. 351.
10
K.J Holsti, Politik Internasional : Kerangka Analisa, Terjemahan, Jakarta Pedoman
Ilmu Jaya, 1987, hal. 590.
11
Ibid, hal. 351. 

18
Universitas Sumatera Utara

19
 

penggunaan kekerasan yang terorganisasi oleh unit-unit politik dalam sistem
internasional. Perang akan terjadi apabila Negara-negara dalam situasi konflik dan
saling bertentangan merasa bahwa tujuan-tujuan eksklusif mereka tidak tercapai,

kecuali dengan cara-cara kekerasan12. konsep-konsep seperti krisis, ancaman,
penggunaan kekerasan, aksi gerilya, penaklukan, pendudukan bahkan teror.
Ada 5 tahap dalam definisi konflik yaitu:
1. Situasi stabil damai yang didefinisikan sebagai stabilitas politik tingkat tinggi
dan legitimasi rezim yang terarah;
2. Situasi ketegangan politik yang didefinisikan sebagai meningkatnya tahap
ketegangan sistemik dan semakin terbelahnya faksi-faksi sosial dan politik;
3. Tahap konflik politik dengan kekerasan yang mengarah pada krisis politik
seiring dengan merosotnya legitimasi politik dan semakin diterimanya politik
faksional dengan kekerasan;
4. Konflik intensitas rendah, yaitu perseteruan terbuka dan Konflik bersenjata,
antara faksi, tekanan-tekanan rezim, dan pemberontakan-pemberontakan.
5. High-Intensity Conflict, yaitu perang terbuka antar kelompok dan atau
penghancuran misil, serta pengungsian penduduk sipil yang lebih dari 1000 orang
terbunuh.13
Perang merupakan perilaku mendasar dalam interaksi manusia yang
didorong oleh naluri agresi, sebab-sebab sosial dan politik, serta peristiwaperistiwa perang dan jumlah korban, namun selain sisi agresif, manusia juga
                                                            
12
Graham Evans and Jeffrey Newnham, The Penguin Dictionary of International

Relations, London; Penguin Books, 1998, hal. 565.
13
Hugh Miall, Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse, Contemporary Conflict
Resolution, Cambridge : Polity Press, 1999, hal. 23. 

 

 
Universitas Sumatera Utara

20
 

mempunyai kecenderungan untuk hidup berdampingan dan mengontrol konflik
serta mengembangkan simpati dan empati serta melakukan perang dengan caracara yang beradab, dengan pemikiran itulah maka muncul ide untuk membuat
aturan-aturan yang dapat mengurangi penderitaan yang terjadi di dalam perang
Hukum Humaniter internasional (HHI), sebagai salah satu bagian hukum
internasional merupakan salah satu alat dan cara yang dapat digunakan oleh setiap
Negara, termasuk oleh Negara damai atau Negara netral, untuk ikut serta
mengurangi penderitaan yang dialami oleh masyarakat akibat perang yang terjadi

di berbagai Negara. Dalam hal ini HHI merupakan suatu instrumen kebijakan dan
sekaligus pedoman teknis yang dapat digunakan oleh semua aktor internasional
untuk mengatasi isu internasional berkaitan dengan kerugian dan korban perang
Mengurangi penderitaan korban perang tidak cukup dengan membagikan
makanan dan obat-obatan, tetapi perlu disertai upaya mengingatkan para pihak
yang berperang agar operasi tempur mereka dilaksanakan dalam batas-batas
perikemanusiaan. Hal tersebut dapat terlaksana apabila pihak-pihak yang terkait
menghormati dan mempraktikkan HHI karena HHI memuat aturan tentang
perlindungan korban konflik serta tentang pembatasan alat dan cara perang.
Keikutsertaan suatu Negara, dalam mempraktikan aturan HHI atau dalam
mengesahkan perjanjian HHI (Perjanjian internasional di bidang HHI), merupakan
himbauan bagi Negara-negara lainnya, termasuk bagi Negara-negara potensial
terlibat dalam perang, untuk berbuat serupa dalam menghormati dan mengikatkan
diri dengan perjanjian HHI. Artinya, makin banyak Negara yang mengakui
norma-norma HHI makin besar harapan akan penghormatan dan pelaksanaan HHI

 

 
Universitas Sumatera Utara


21
 

oleh Negara yang sedang berperang maupun yang tidak terlibat dalam
peperangan.
Walaupun HHI merupakan aturan-aturan yang akan akan diberlakukan
pada waktu perang, persiapan pelaksanaannya harus disiapkan semenjak masa
damai, baik oleh masing-masing Negara maupun dalam hubungan antarnegara.
Demikian telah disepakati oleh masyarakat internasional, sebagaimana termuat
dalam berbagai perjanjian internasional HHI. Kesepakatan tersebut dapat
dipahami mengingat, pada waktu perang kesempatan mempersiapkan pelaksanaan
HHI akan semakin berkurang dibanding keinginan para pihak untuk mengejar
tujuan perang masing-masing.
Istilah hukum humaniter internasional atau HHI sering digunakan secara
bergantian di dalam berbagai dokumen dan literatur. Istilah ini digunakan dalam
Protokol Tambahan I/1977 atas Konvensi-konvensi Jenewa 19549 tentang
perlindungan korban sengketa bersenjata internasional. Secara rinci ICRC
menguraikan maksud dari istilah ini sebagai berikut :
“HHI berarti aturan-aturan internasional yang dibentuk oleh perjanjian-perjanjian

internaisonal atau kebiasaan yang secara spesifik, diharapkan untuk mengatasi
masalah-maslaah kemanusiaan yang muncul secara langsung dari sengketasengketa bersenjata internasional maupun non-internasional, dan untuk alasanalasan kemanusiaan, membatasi hak dari para pihak-pihak yang berkonflik untuk
menggunakan metode alat perang pilihan mereka atau untuk melindungi orangorang dan harta milik mereka yang mungkin terkena dampak konflik, di samping

 

 
Universitas Sumatera Utara

22
 

itu ICRC juga sering menggunakan istilah hukum sengketa bersenjata (law of
armed conflict) sebagai alternatif dari istilah HHI.
Istilah Hukum Humaniter merupakan istilah baru yang mulai dikenal di
Indonesia pada akhir tahun 70-an sehingga tidaklah mengherankan apabila masih
banyak yang belum mengetahui artinya. Dalam rangka lebih mengenalkan Hukum
Humaniter dan sekaligus menyebarluaskan isinya, pada permulaan tahun 1980
pemerintah indonsia, yang menjadi pihak dalam konvensi-konvensi Jenewa 1949,
merasa perlu untuk memenuhi kewajibannya untuk memperkenalkan isi konvensi.

Untuk kepentingan itu dibentuklah suatu Panitia Tetap Penerapan dan Penelitian
Hukum Humaniter yang mempunyai tugas antara lain merumuskan pokok-pokok
kebikjasanaan mengenai keseragaman penyebarluasan Hukum Internasional
Humaniter melalui pendidikan dan penerangan.
Dalam

rangka

turut

serta

menyebarluaskan

Hukum

Humaniter,

Departemen Hankam telah mengadakan penataran bagi para perwira pengajar
sebanyak empat angkatan. Penataran untuk angkatan pertama dimulai pada

tanggal 25 Mei 1981, perlu ditambahkan bahwa penyebarluasan Konvensi Jenewa
di kalangan ABRI, terutama perwiranya, telah dimulai sejak tahun 50-an.
Departemen Kehakiman telah pula mengadakan penataran angkatan pertama bagi
para dosen Universitas Negeri se-Jawa yang dibuka pada tanggal 6 Desember
1982. Dengan adanya usaha-usaha tersebut diatas diharapkan seiring berjalannya
waktu Hukum Humaniter telah dikenal dan tersebar secara meluas, terutama di
kalangan cendikiawan dan ABRI.

 

 
Universitas Sumatera Utara

23
 

Hukum Humaniter Internasional yang dahulu dikenal sebagai Hukum
Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata adalah sebagai salah satu cabang dari
Hukum Internasional Publik. Hukum ini memiliki usia sejarah yang sama tuanya
dengan peradaban umat manusia. Pada dasarnya segala peraturan tentang perang

terdapat dalam pengaturan tentang tingkah laku, moral, dan agama. masingmasing agama seperti Islam, Kristen, Budhha, Yahudi memuat segala aturan
mengenai hal yang bersangkutan dengan ketiga hal diatas.
Salah satu contohnya di dalam Agama Islam, berperang dalam ajaran
Islam hanya boleh dilakukan jika dalam keadaan terdesak untuk mempertahankan
diri dan tidak pernah digunakan sebagai satu kegiatan menyerang umat lain14,
Perundangan-undangan tentang berperang terdapat pada dalil Al-Qur’an dan
hadits, dan walaupun islam dalam situasi yang telah disinggung mengizinkan,
namun agama islam tidak membiarkan peperangan yang dilegalkan itu tanpa
batasan dan etika. Adapun prinsip pembedaan kombatan dan warga sipil ini juga
sebenarnya telah termaktub di dalam Al-Qur’an lebih dari 10 abad sebelum
adanya formulasi HHI yang baru muncul pada tahun 1864, yakni firman Allah
SWT :
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas”15
Dalam tafsir al-Qurthubi, sahabat Ibnu Abbas Ra, Umar bin Abdul Azis
dan Mujahid menafsirkan ayat diatas sebagai berikut :
                                                            
14
15


 

Dikutip dari http: /id.m.wikipedia.org diakses 2 Februari 2016.
(QS.Al-Baqoroh(2) : 190). 

 
Universitas Sumatera Utara

24
 

“Perangilah orang yang dalam keadaan sedang memerangimu,dan jangan
melampaui batas sehingga terbunuhnya perempuan, anak-anak,tokoh agama dan
semisalnya.”
Atas dasar inilah maka segala bentuk pertempuran hanya terjadi di
kalangan, dan dibatasi untuk kombatan (tentara) yang memang bertugas untuk
berperang. adapun warga sipil dan non kombatan serta objek-objek dan fasilitas
sipil, kesemuanya harus dilindungi dari akibat destruktif yang ditimbulkan dari
suatu peperangan atau konflik bersenjata. Nabi Muhammad SAW juga telah

mengeluarkan instruksi yang jelas untuk memberikan perawatan terhadap tawanan
perang yang terluka. Sejarah mencatat bagaimana umat islam saat itu menangani
tawanan pertama selepas Perang Badar pada 624 Masehi. Sebanyak 70 orang
tawanan Makkah yang ditangkap dalam perang itu dibebaskan dengan atau tanpa
tebusan.
Contoh lainnya di dalam Tradisi Agama Yahudi ada ketentuan sebagai berikut:
“The Jewish tradition is clear that before declaring war or starting battle,there
must be an attempt to make peace-any military action without doing this is
probably unlawful (Deuteronomy,20:10)”
Yang artinya adalah bahwa tradisi yahudi telah jelas menyatakan bahwa
sebelum perang.atau memulai pertempuran harus ada upaya berdamai apapun
tindakan militer tanpa melakukan hal ini mungkin melanggar hukum. Hanya
pejuang yang diperbolehkan untuk dibunuh dengan sengaja dalam perang,
Komandan militer harus memberikan non-pejuang kesempatan yang baik untuk
meninggalkan daerah pertempuran sebelum pertempuran dimulai.

 

 
Universitas Sumatera Utara

25
 

Ketentuan-ketentuan ini sebenarnya sudah ada di setiap peradaban,
peradaban bangsa romawi mengenal konsep perang yang adil (just war). Jean
Jacquez Rosseau mengatakan bahwa perang harus berlandaskan pada moral. Hal
ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam bukunya yang berjudul The Social
Contract.inilah yang kemudian menjadi konsep dari Hukum Humaniter
Internasional. Lalu, pada Abad ke -19, landasan yang diberikan oleh J.J Rosseau
ini kemudian diikuti oleh Henry Dunant yang tak lain adalah initiator organisasi
Palang Merah.Pada akhirnya, Negara-negara membuat suatu kesepakatan tentang
peraturan-peraturan internasional yang bertujuan untuk menghindari penderitaan
sebagai akibat dari perang. Peraturan-Peraturan yang diciptakan dibuat dalam
suatu Konvensi, dan disetujui untuk dipatuhi bersama.
Sejak saat itu, terjadi perubahan dari sifat pertikaian bersenjata dan daya
merusak yang disebabkan dari penggunaan senjata modern. Pada akhirnya
menyadarkan perlunya suatu perbaikan serta perluasan Hukum Humaniter.sangat
tidak mungkin menemukan bukti dokumenter, kapan dan dimana aturan-aturan
hukum humaniter itu timbul, dan bahkan lebih sulitnya lagi adalah menyebutkan
“pencipta” dari hukum humaniter tersebut16. dikatakan diawal bahwa Hukum
Humaniter berusia sama tuanya dengan peradaban umat manusia.
Banyak terjadi perkembangan terhadap salah satu cabang hukum
internasional ini, terhadap bentuknya yang sekarang, hukum humaniter
internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang dan pesat dan
seiring berjalannya waktu, berbagai upaya telah dilakukan untuk memanusiawikan
                                                            
16

Hans-Peter Gasser, International Humanitarian Law ,An Introduction, Paul Haupt
Publisher, Berne-Stuggart-Vienna, 1993, hal. 6.

 

 
Universitas Sumatera Utara

26
 

perang. upaya-upaya tersebut dapat dibagi dalam tahapan-tahapan perkembangan
hukum humaniter, yang terdiri atas:
1. Zaman Kuno
Pada masa ini perang tidak memberikan kesan yang mengerikan bagi para
pihak yang berperang serta orang-orang yang berada didaerah peperangan.Karena,
di masa ini, seluruh pemimpin militer memberi perintah kepada para pasukan
untuk menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan setiap mereka
dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil dari pihak musuh.saat waktu
penghentian konflik, para pihak yang bersengketa membuat suatu kesepakatan
yang mengharuskan mereka untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik17
Pada masa ini juga membiasakan untuk memberi peringatan terlebih
dahulu kepada pihak musuh sebelum perang dimulai, Untuk menghindari luka
yang berlebihan maka ujung panah dilarang untuk diarahkan ke hati. Bila ada
yang terbunuh atau terluka, maka pepeangan wajib diberhentikan selama 15 hari.
Seiring berjalannya waktu, upaya-upaya tersebut tetap berkembang dan tentunya
mengalami perubahan sedikit demi sedikit. Hal ini dikemukakan oleh Jean Pictet
,antara lain:
a. diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang telah menjadi satu lembaga
yang terorganisir, Hal ini ditandai dengan adanya pernyataan perang arbitrasi,
kekebalan utusan musuh serta perjanjian perdamaian.

                                                            
17

 

Frits Kalshoven, Constraint on the Waging War, ICRC, 1991, hal. 7. 

 
Universitas Sumatera Utara

27
 

b. dalam kebudayaan mesir kuno, tergambar adanya perintah untuk
memberikan makanan, minuman, pakaian, dan perlindungan kepada musuh. juga
perintah untuk merawat seetiap orang yang sakit dan menguburkan yang mati.
c. dalam kebudayaan bangsa Hittie, perang dilakukan dengan sangat
manusiawi karena hukum yang mereka miliki didasarkan keaslian serta integritas.
para penduduk yang menyerah tidak akan diganggu serta apabila terdapat
penduduk yang melakukan perlawanan akan ditindak tegas.
d. dalam kebudayaan india, para satria dilarang keras untuk membunuh
musuh yang cacat atau menyerah, apabila ada yang luka, maka mereka harus
dipulangkan ke tempat tinggal mereka setelah sebelumnya diobati. Pemakaian
senjata yang dapat menusuk hati ataupun senjata yang beracun dan panah api
sangat dilarang.
2. Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan, ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip
ksatria sudah mulai mempengaruhi eksistens dari hukum humaniter. oleh agama
Kristen, hukum humaniter mendapat pengaruh berupa pandangan bahwa perang
sebagai pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran.Ajaran Agama islam
tentang perang dapat dilihat dalam Al-Qur’an surah al Baqarah,190.191,al Anfal
39,at-Taubah:5.al Haj 3918. Prinsip ksatria juga turut memberikan pengaruhnya
kepada hukum humaniter. Bentuk pengaruh yang diberikan oleh prinsip ini ialah
mengajarkan pentingnya pengumuman perang serta larangan penggunaan senjata
tertentu.
                                                            
18

Masjur Effendi, Moh Ridwan, Muslich Subandi, Pengantar dan Dasar-Dasar Hukum
Internasional, IKIP malang, Malang, hal. 16.

 

 
Universitas Sumatera Utara

28
 

3. Zaman modern
Zaman modern ditandai dengan praktek-praktek dari berbagai Negara
yang kemudian berubah menjadi suatu hukum serta kebiasaan dalam berperang.
Keadaan ini terjadi di abad ke-18 setelah berakhirnya perang napoleon sampai
kepada pecahnya Perang Dunia I. yang menjadi salah satu tonggak penting dalam
sejarah, lahirnya serta perkembangan hukum humaniter ialah berdirinya suatu
organisasi kemanusiaan, yaitu palang merah yang dipromotori oleh Henry Dunant,
selain berdirinya organisasi ini, penandatanganan Konvensi Jenewa 1864 juga
menjadi tonggak penting terhadap perkembangan hukum humaniter, Konvensi
Jenewa 1864 merupakan Konvensi mengenai Perbaikan Keadaan Tentara yang
Luka di Medan Perang Darat.Tahun 1864 menjadi titik lahir untuk mengawali
Konvensi-Konvensi Jenewa yang berikutnya, yang berhubungan tentang
perlindungan terhadap korban perang. Salah satu contoh hukum perang tertulis
yang dibuat menjelang lahirnya HHI modern adalah Lieber Code 1863. Instrumen
Hukum yang dirancang oleh Lieber ini merupakan instruksi bagi tentara
pemerintah amerika serikat pada waktu itu.

B. Asas, Prinsip, dan Sumber Hukum Humaniter Internasional
Salah satu cabang dari Hukum Internasional yang bersifat publik ini
dulunya sempat menimbulkan kebingungan di tengah-tengah masyarakat karena
namanya, Banyak kalangan yang mengurai bahwa Hukum Humaniter merupakan
nama baru dari Hukum Perang. Untuk menghilangkan keragu-raguan terhadap
istilah dari hukum ini, maka secara tegas istilah yang sesungguhnya dari hukum

 

 
Universitas Sumatera Utara

29
 

ini adalah Hukum Humaniter (International Humanitarian Law Applicable in
Armed Conflict). Istilah yang muncul sebelum adanya penegasan akan hal ini
adalah dahulu disebut Hukum Perang (Laws of War).kemudian berubah menjadi
Hukum Sengketa Bersenjata(Laws of Armed Conflict) dan kemudian diubah
untuk terakhir kalinya menjadi Hukum Humaniter.Munculnya istilah sah ini
diharapkan tidak lagi menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat..
Sebagai bidang baru dalam Hukum Internasional, terdapat berbagai
rumusan atau definisi tentang hukum Humaniter serta ruang lingkupnya yang
berasal dari para sarjana. Rumusan serta ruang lingkup ini ditujukan untuk
mempermudah pemahaman terhadap salah satu cabang hukum internasional yang
bersifat publik ini. Hukum Humaniter Internasional dalam arti luas adalah
ketentuan hukum yang konstitusional baik yang tertulis dan adat, yang menjamin
penghormatan terhadap individu dan kesejahteraannya.
Salah satu pembahasan yang terdapat dalam hukum internasional adalah
mengenai ajaran “just war”. Melalui ajaran ini,maka hukum humaniter dibagi
dalam dua bagian,yaitu:
1. Jus ad bellum yang berarti hukum tentang perang
2. Jus in bello yang berarti hukum yang berlaku dalam perang
Jus ad bellum membahas mengenai tentang waktu pelaksanaan perang
atau mengatur tentang hal bagaimana suatu Negara dibenarkan untuk melakukan
kekerasan bersenjata atau berperang. Sedangkan Jus in bello membahas mengenai
ketentuan-ketentuan atau hukum yang berlaku dalam perang, yang diatur dalam
sumber-sumber hukum humaniter.

 

 
Universitas Sumatera Utara

30
 

Ketentuan dalam Jus in bello dijabarkan lagi dalam 2(dua) ketentuan
lagi,yakni:
a. Ketentuan mengenai tata cara dilakukannya perang (conduct of war) dan
alat-alat yang dibenarkan dipakai untuk berperang. ketentuan ini secara umum
disebut sebagai Hukum Den Haag atau The Hague Laws yang terdapat dalam
Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1907.
b. Ketentuan yang mengatur tentang perlindungan terhadap orang-orang
yang menjadi korban perang bai itu yang tergolonng kombatan dan penduduk
sipil. Ketentuan ini lazimnya dikenal sebagai Hukum Jenewa atau The Geneva
Laws yang tercantum dalam Konvensi Jenewa tahun 1949.
Hukum Humaniter diciptakan bukan tanpa satu tujuan yang jelas. Hukum
Humaniter mempunyai tujuan utama yaitu memberi perlindungan terhadap
seluruh korban perang baik yang berasal dari kombatan maupun non kombatan.
selain itu, tujuan dari hukum ini ialah untuk menjamin hak-hak asasi dari setiap
pihak yang jatuh ke tangan musuh. disamping memberikan perlindungan ,hukum
humaniter juga diharapkan mampu memberikan harapan untuk terjadinya
perdamaian antara pihak yang bertikai serta membatasi kekuasaan dari setiap
pihak yang berperang agar tidak terjadi penguasaan total oleh satu pihak di dalam
suatu wilayah pertikaian.
Berdasarkan tujuan yang telah diuraikan diatas, terkandung 3(tiga) asas
penting dalam hukum Humaniter, Asas-asas tersebut adalah:

 

 
Universitas Sumatera Utara

31
 

1. Asas Kepentingan Militer
Asas ini memaparkan bahwa setiap pihak yang bersengketa dibenarkan
menggunakan kekerasan untuk menaklukan lawan atau musuh demi tercapainya
keberhasilan perang. Dalam istilah asing,asas ini disebut juga military necessity
2. Asas Perikemanusiaan
Asas ini menjelaskan bahwasanya para pihak yang bersengketa diwajibkan
untuk memperhatikaan perikemanusiaan. maksudnya adalah bahwa setiap pihak
yang bertikai dilarang menggunakan kekerasan dalam bentuk apapun yang dapat
menimbulkan luka yang berlebihan atas penderitaan yang tidak diinginkan.dalam
istilah asing asas ini disebut humanity.
3. Asas Kesatria
Asas ini mengandung arti bahwa ketika perang berlangsung, kejujuran
merupakan suatu hal yang sifatnya sangatlah penting. Kejujuran harus
diutamakan. kejujuran yang dimaksud difokuskan pada penggunaan senjata yang
tidak diperkenankan untuk digunakan, tidak dibenarkan melakukan berbagai tipu
muslihat dan tidak dibenarkan juga melakukan pengkhianatan. dalam istilah asing
asas ini disebut chivalry
Selain Asas-asas yang telah dijabarkan diatas, hal yang tidak kalah
pentingnya adalah prinsip-prinsip HHI atau yang dianggap sebagai prinsip-prinsip
HHI yang fundamental. Prinsip tersebut yaitu prinsip pembatasan, prinsip
necessity (kepentingan), prinsip larangan yang menyebabkan penderitaan yang tak
seharusnya, prinsip kemanusiaan dan Marten’s clause (klausula marten). Masingmasing prinsip HHI ini tidak hanya berdasarkan pada satu macam sumber HHI

 

 
Universitas Sumatera Utara

32
 

saja melainkan dari berbagai sumber. Prinsip-Prinsip tersebut sebagai bagian dari
suatu sistem HHI, satu sama lainnya bersifat saling melengkapi, menjelaskan dan
membantu penafsirannya.
Adapun prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kemanusiaan
Prinsip –prinsip kemanusiaan ditafsirkkan sebagai pelarangan atas sarana
dan metode berperang yang tidak penting bagi tercapainya suatu keuntungan
militer yang nyata. dalam bukunya yang berjudul Development and Principle of
International

Humanitarian

Law,

Jean

Pictet

menginterpretasikan

arti

kemanusiaan sebagai berikut :19
“…..penangkapan lebih diutamakan daripada melukai musuh dan melukai musuh
adalah lebih baik daripada membunuhnya bahwa non kombatan harus dijauhkan
sedapat mungkin dari arena pertempuran, bahwa korban-korban yang luka harus
diusahakan seminimal mungkin, sehingga mereka dapat dirawat dan diobati,
bahwa luka-luka yang terjadi harus diusahakan seringan-ringanya menimbulkan
rasa sakit.”
Mahkamah internasional PBB menafsirkan prinsip kemanusiaan sebagai
ketentuan untuk memberikan bantuan tanpa diskriminasi kepada orang yang
terluka di medan perang, berupaya dengan kapasitas internasional dan nasional
untuk mengurangi penderitaan manusia dimanapun adanya. prinsip ini bertujuan
untuk melindungi dan menjamin penghormatan terhadap manusia. Prinsip ini
bermanfaat untuk meningkatkan saling pengertian, persahabatan , kerja sama dan
                                                            
19
Jean Pictet, Development and Principle of International Humanitarian Law,
sebagaimana dimuat juga dalam Pengantar Hukum Humaniter Internasional, Arlina Permanasari,
dkk (ed), ICRC, Jakarta : 2000.

 

 
Universitas Sumatera Utara

33
 

perdamaian yang berkelanjutan diantara semua rakyat sehingga tidak menciptakan
diskriminasi karena kebangsaan, ras, kepercayaan agama, pendapat kelas ataupun
aliran politik. Prinsip ini dimaksudkan untuk melepaskan penderitaan,
memberikan prioritas kepada kasus-kasus keadaan susah yang paling mendesak20
2. Kepentingan (Necessity)
Walaupun HHI telah menetapkan bahwa yang dapat dijadikan sasaran
serangan dalam pertempuran hanyalah sasaran militer atau objek militer, terdapat
pula ketentuan HHI yang memungkinkan suatu objek sipil menjadi sasaran militer
apabila memenuhi persyaratan tertentu. Dengan demikian, prinsip kepentingan
adalah ketentuan yang menetapkan bahwa suatu objek sipil hanya bisa dijadikan
sasaran militer apabila telah memenuhi persyaratan tertentu.
Persyaratan yang harus terpenuhi untuk menjadikan suatu objek sipil
menjadi sasaran militer mencakup dua hal, yaitu sebagai berikut:21
a. Objek tersebut telah memberikan kontribusi efektif bagi tindakan militer
pihak musuh, dan
b. Tindakan penghancuran, atau penangkapan atau perlucutan terhadap
objek tersebut memang akan memberikan suatu keuntungan militer yang
semestinya bagi pihak yang akan melakukan tindakan.
Selanjutnya tindakan yang disebut diatas hanya boleh dilaksanakan
terhadap objek atau sasaran tersebut sebagai tindakan militer apabila:
                                                            
20

Twentieth International Conference of the Red Cross, sebagaimana disebut dalam
Putusan International Court of Justice (ICJ), 27 Juni 1986 dalam kasus mengenai kegiatan militer
dan para militer di dalam dan terhadap Nicaragua (Kasus Nicaragua versus Amerika Serikat),
dalam Marco Sassoli, hlm. 903-912. Prinsip Kemanusiaan ini untuk pertama kali diakui dalam
Putusan Pengadilan Nurmberg terhadap penjahat-penjahat perang Nazi. Adapun ICJ menggunakan
prinsip ini dalam pertimbangan Puusan terhadap kasus Corfu Channel pada 9 April 1949.
21
Protokol Tambahan 1/ 1977, Pasal 57. 2. iii . 

 

 
Universitas Sumatera Utara

34
 

a. Tujuan politis dari kemenangan hanya bisa dicapai melalui tindakan
keras tersebut dengan mengarahkannya terhadap sasaran militer
b. Dua kriteria diatas ,mengenai kontribusi efektif dan perlunya tindakan
keras tersebut memang terpenuhi dalam hal yang berlangsung pada waktu
itu.
Berkaitan dengan prinsip necessity, terdapat pula ketentuan sebagai
berikut: “Apabila dimungkinkan pilihan antara beberapa sasaran militer untuk
memperoleh keuntungan militer yang sama, maka sasaran yang akan dipilih
adalah sasaran yang apabila diserang dapat diharapkan mengakibatkan bahaya
yang paling kecil bagi nyawa orang-orang sipil dan objek-objek sipil22
3. Proporsionalitas (Proportionality)
Dalam melakukan tindakan keras atau serangan, apapun alat dan caranya,
setiap pihak yang bersengketa harus melakukannya dengan berpegang pada
prinsip proporsional. Menurut prinsip proporsional, setiap serangan dalam operasi
militer harus didahului dengan tindakan yang memastikan bahwa serangan
tersebut tidak akan menyebabkan korban ikutan di pihak sipil yang berupa
kehilagan nyawa, luka-luka, ataupun kerusakan harta benda yang berlebihan
dibandingkan keuntungan militer yang berimbas langsung akibat serangan
tersebut23
Prinsip proporsional ini ternyata dijadikan salah satu pertimbangan oleh
Mahkamah Internasional ketika memberikan pendapat tentang keabsahan

                                                            
22
23

 

Protokol Tambahan I/ 1977, Pasal 57, 3
Protokol Tambahan I/ 1977, Pasal 57. 2. iii  

 
Universitas Sumatera Utara

35
 

ancaman atau penggunaan senjata nuklir24. Menjawab pertanyaan dari Majelis
Umum PBB yang diajukan pada tahun 1994, Mahakamah menyatakan setiap
Negara yang mempertimbangkan penggunaan senjata nuklir bela diri, terlebih
dahulu harus memastikan kemampuannya untuk memenuhi prinsip proporsional.
Pendapat yang diberikan pada tahun 1996 tersebut, didahului dengan penjelasan,
apabila senjata seperti nuklir telah dinilai berisiko akan menyebabkan kerusakan
ikutan yang berlebihan, maka faktor resiko tersebut telah mengecilkan
kemungkinan dipenuhinya prinsip proporsional.
4. Pembedaan (Distinction)
Semua pihak yang terlibat dalam sengketa bersenjata harus membedakan
antara peserta tempur (kombatan) dengan orang sipil. Demikian, salah satu
ketentuan HHI yang dikenal dengan prinsip pembedaan. Oleh karena itu, setiap
kombatan harus membedakan dirinya dari orang sipil, karena orang sipil tidak
boleh diserang dan tidak boleh ikut serta secara langsung dalam pertempuran.
Adapun garis pembeda antara kombatan dengan orang sipil, dalam
perkembangan HHI, masih diperdebatkan. Pihak yang kekuatannya hebat dan
berperalatan lengkap selalu menginginkan definisi pembedaan yang tegas dan
suatu identifikasi kombatan yang jelas, sedangkan pihak yang lebih lemah
berharap adanya opsi untuk menggunakan sumber daya manusia tambahan secara
fleksibel.
Tujuan dari prinsip pembedaan ini adalah untuk melindungi warga sipil.
adapun kewajiban kombatan untuk membedakan dirinya dari orang sipil juga
                                                            
24

Legality of the Threat or use of Nuclear Weapons, Advisory Opinion July 8, 1996, ICJ,

Rep. 1996

 

 
Universitas Sumatera Utara

36
 

berkaitan dengan identifikasi kombatan sebagai orang berhak untuk ikut serta
dalam pertempuran. oleh karena itu, setiap kombatan yang telah melakukan
serangan terhadap kombatan musuh atau objek-objek militer musuh tidak dapat
dikenakan sanksi hukum. Berbeda halnya terhadap situasi sengketa bersenjata
non-internasional, HHI tidak menetapkan konsep kombatan secara eksplisit.
Dalam hal ini, Negara tidak ingin memberikan hak kepada warganya untuk
bertempur melawan angkatan bersenjata pemerintah.
Sehubungan dengan prinsip pembedaan, seorang kombatan yang
melakukan suatu serangan tanpa membedakan dirinya dari orang sipil, dapat
dikategorikan telah melakukan pelanggaran HHI. kombatan yang tidak melanggar
HHI, tetapi tertangkap oleh pihak Negara lawan, berhak diperlakukan sebagai
tawanan perang, bukan sebagai kriminal. Masih berkaitan denngan prinsip
pembedaan, seorang kombatan yang tertangkap musuh ketika menjalankan
kegiatan mata-mata tanpa serangan, tidak dapat mempertahankan haknya sebagai
kombatan, diantaranya tidak berhak memperoleh status tawanan perang.
5. Prohibition of Causing Unnecessary Suffering (Prinsip HHI Tentang
Larangan menyebabkan Penderitaan yang Tidak seharusnya)
Ketentuan HHI tentang larangan menyebabkan penderitaan yang tidak
seharusnya, sering disebut sebagai principle of limitation (prinsip pembatasan).
Prinsip pembatasan ini merupakan aturan dasar yang berkaitan dengan metode
dan alat perang. Prinsip ini berkaitan dengan ketentuan yang menetapkan bahwa
metode perang yang benar adalah metode yang dilaksanakan hanya untuk
melemahkan kekuatan militer lawan.

 

 
Universitas Sumatera Utara

37
 

Dalam perjanjian-perjanjian internasional dan kodifikasi hukum kebiasaan
internasional, prinsip ini diformulasikan sebagai berikut:
a. Dalam setiap konflik bersejata, hak dari para pihak yang berkonflik
untuk memilih metode atau alat peperangan adalah tidak terbatas25
b. Dilarang menggunakan senjata, baik proyektil dan materil

26

, serta

metode peperangan yang sifatnya menyebabkan luka yang berlebihan atau
penderitaan yang tidak seharusnya27
c. Dilarang menggunakan metode atau cara peperangan tertentu atau yang
bisa diharapkan untuk merusak lingkungan yang meluas, berjangka
panjang,dan parah28
Disamping formulasi prinsip pembatasan yang bersifat umum, tetapi
mendasar seperti diatas, terdapat pula perjanjian-perjanjian internasional yang
mengatur senjata dan metode perang tertentu. Ada perjanjian internasional yang
melarang penggunaan racun, peluru mengembang, senjata biologi, dari metode
bakteriologi. Ada juga perjanjian yang membatasi penggnaan senjata pembakar
dan senjata laser.
Selanjutnya, pertanyaan yang sering diajukan dari hal-hal yang telah
tertuang diatas adalah apa yang menjadi dasar dari pembentukan asas dan prinsip
HHI tersebut, dengan kata lain adalah “sumber” Hukum Humaniter. Pertama
dapat dikemukakan bahwa ada sumber hukum yang tertulis dan yang tidak
tertulis. yang akan dibahas disini adalah sumber hukum yang tertulis. Hukum
                                                            
25
26

Regulasi Konvensi Den Haag IV, Pasal 22, dan Protokol Tambahan I/ 1977, Pasal 35. 1
RegulasiKonvensi Den Haag IV, Pasal 23, e, dan Protokol Tambahan I/ 1977, Pasal 35.

2.
27
28

 

Protokol Tambahan I/ 1977, Pasal 35. 2
Protokol Tambahan I, 1977, Pasal 35. 3 

 
Universitas Sumatera Utara

38
 

Humaniter dapat ditemukan dalam berbagai perjanjian internasional, biasanya
bersifat multilateral, dalam berbagai bentuk, seperti konvensi, protokol, deklarasi,
dan sebagainya. Mengingat banyaknya perjanjian-perjanjian tersebut, maka yang
pertama-tama akan dikemukakan adalah sumber utama. Biasanya yang dianggap
sebagai sumber utama adalah sebagai berikut:
1. Konvensi-konvensi Den Haag 1909 = Hukum Den Haag
Konvensi-Konvensi ini dihasilkan dalam Konferensi Perdamaian Pertama
di Den Haag pada tahun 1899,yang kemudian disempurnakan dalam Konferensi
kedua pada tahun 1907. Rangkaian konvensi tersebut dikenal dengan sebutan
“Hukum den Haag”. Hukum tersebut terutama mengatur alat dan cara berperang
(means and method of warfare). Prinsip atau dalil pertama yang terdapat dalam
hukum tersebut berbunyi sebagai berikut.
The right of belligerents to adopt means of injuring the enemy is not
unlimited. ini berarti bahwa ada cara-cara tertentu dan alat-alat tertentu yang
dilarang untuk dipakai/digunakan.
Prinsip kedua yang penting yang terdapat dalam Hukum Den Haag adalah
apa yang lazim disebut “Martens Clause” yang terdapat dalam Preeamble
Konvensi den Haag. Martens Clause,tersebut berbunyi sebagai berikut:
Until a move complete code of the laws of war has been issued, the High
Contracting Parties deem it expedient to declare tat, in cases not included in the
Regulations adopted by them, the inhabitants and the belligerents remain under
the protection and the rule of the principles of the law of nations, as they results

 

 
Universitas Sumatera Utara

39
 

from the usages established among civilized peoples, from the laws of humanity,
the dictates of the public conscience.
Jadi diakui bahwa ketentan-ketentuan yang dihasilkan belumlah sempurna/
lengkap karena masih mungkin ada kejadian-kejadian yang belum diatur. Namun
demikian, dalam keadaan semacam itu, baik penduduk maupun pihak-pihak
berperang tetap akan mendapat perlindungan dari hukum internasional, maupun
dari kebiasaan-kebiasaan yang diakui oleh masyarakat internasional yang
berhubungan dengan kemanusiaan.
Konferensi Den Haag tahun 1907 menghasilkan tiga belas konvensi dan
satu deklarasi, Adapun ke-13 Konvensi tersebut adalah antara lain:
a. Konvensi I mengenai Penyelesaian Damai Persengkatan Internasional
b. Konvensi II mengenai Pembatasan Kekerasan Senjata dalam menurut
Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata
c. Konvensi III mengenai Cara Memulai Peperangan
d. Konvensi IV mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat dilengkapi
dengan Peraturan Den Haag
e. Konvensi V mengenai Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral
dalam Perang di Darat
f. Konvensi VI mengenai Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan
Perang
g. Konvensi VII mengenai Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang
h. Konvensi VIII mengenai Penempatan Ranjau Otomatis didalam Laut
i. Konvensi IX mengenai Pemboman oleh Angkatan Laut di waktu Perang

 

 
Universitas Sumatera Utara

40
 

j. Konvensi X mengenai Adaptasi Asas-Asas Konvensi Jenewa tentang Perang di
laut
k. Konvensi XII mengenai Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak
penangkapan dalam Perang Angkatan Laut
l. Konvensi XII mengenai Mahkamah Barang-barang sitaan
m. Konvensi XIII mengenai Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di
Laut, Dan selanjutnya ialah
n. Declaration XIV Prohibiting the Discharge of Projectiles and Explosives from
Balloons.
Dapat dilihat bahwa sebagaian besar dari konvensi tersebut yang mengatur
perang di laut, Hanya ada satu konvensi yang mengatur perang di darat, yaitu
konvensi ke-4 .Perlu dicatat bahwa Konvensi ke-4 mempunyai suatu “annex”
yaitu yang lazim disebut Hague Regulation-1907, Ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam Hague Regulations inilah yang sampai sekarang menjadi pegangan
bagi para belligerents.
2. Konvensi-konvensi Jenewa-Hukum Jenewa 1949
Konvensi-konvesi Jenewa tahun 1949,yang juga disebut konvensi-kovensi
Palang Merah terdiri dari empat buku, yaitu:
a. Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan
Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat
b. Konvensi Jenewa ttahun 1949 mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan
Perang di laut yang Luka sakit dan Korban Karam
c. Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai Perlakuan Tawanan Perang

 

 
Universitas Sumatera Utara

41
 

d. Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai Perlindungan Orang-orang Sipil di
Waktu Perang
Kumpulan Konvensi-Konvensi Jenewa tahun 1949 dikenal dengan nama
Hukum Jenewa. Berbeda dengan Hukum den Haag yang mengatur alat dan cara
berperang, Hukum Jenewa mengatur perlindungan terhadap mereka yang menjadi
korban perang.
Ada beberapa hal penting dalam Konvensi Jenewa ini yang secara singkat
akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Konvensi Jenewa 1949 selain mengatur perang yang bersifat internasional
(perang/konflik bersenjata antar Negara), juga mengatur perang/konflik bersenjata
yang bersifat non-internasional, yaitu perang/konflik bersenjata yang terjadi di
wilayah salah satu pihak peserta agung, antara pasukannya dengan pasukan
bersenjata pembangkak/pemberontak.
b. Di dalam Konvensi tersebut terdapat apa yang disebut ketentuan-ketentuan
yang berlaku utama (Common Articles), yaitu ketentuan-ketentuan yang dianggap
sangat penting sehingga dicantumkan dalam keempat buku dengan perumusan
yang sama.
3. Protokol Tambahan 1977
Protokol tambahan ini “menambah” “menyempurnakan” isi dari Konvensi
Jenewa 1949. Perlu ditekankan bahwa prinsip-prinsip yang terdapat dalam
Konvensi Jenewa masih tetap berlaku.
Protokol Tambahan 1977 terdiri dari dua buku,yaitu :

 

 
Universitas Sumatera Utara

42
 

a. Protokol I, yang mengatur perang/konflik bersenjata yang bersifat internasional
yaitu perang/konflik bersenjata antarnegara
b. Protokol II, yang mengatur perang/konflik bersenjata yang sifatnya noninternasional, yaitu perang/konflik bersenjata yang terjadi di wilayah salah satu
pihak peserta agung antara pasukannya dengan pasukan pembangkang atau
pemberontak. Protokol Tambahan II ini menambah isi/ruang lingkup Pasal 3
Konvensi Jenewa
Protokol tambahan 1977 memuat beberapa ketentuan yang penting/baru,
antara lain:
a. memuat definisi beberapa pengertian penting,yang belum terdapat dalam
peraturan sebelumnya seperti:
1) kombat
2) penduduk sipil(civilian population)
3) sasaran militer(military objects)
4) sasaran sipil(civilian objects)
b. memuat hal-hal baru,yaitu:
1) definisi/pengertian Civil Defense
2) definisi/pengertian Mercenaries
3) war of national liberation (perang pembebasan nasional)
4). ketentuan mengenai tugas komandan
c. terbentuknya International Fact Finding Commision kewenangan dari komisi
ini adalah:

 

 
Universitas Sumatera Utara

43
 

1) menyelidiki fakta-fakta yang dianggap sebagai pelanggaran berat (grave
breaches) atau pelanggaran-pelanggaran serius lain
2) membantu dengan jalan memberikan jasa-jasa baik, mengembalikan
sikap menghormati konvensi dan protokol ini
Pada waktu meratifikasi protokol ini, suatu Negara dapat membuat
pernyataan bahwa Negara tersebut mengakui kewenangan komisi untuk
menyelidiki tuduhan (adanya suatu pelanggaran) yang dilakukan oleh salah satu
pihak. jadi pihak peserta agung yang tidak membuat deklarasi tidak mengakui
kewenangan komisi
Selain konvensi yang disebut diatas, masih banyak konvensi yang juga
dapat disebut sebagai sumber Hukum Humaniter, antara lain:`
a. Deklarasi Paris (16 April 1856), mengatur tentang perang di Laut
b. Deklarasi St.Petersburg (29 November-11 Desember 1868),tentang pelarangan
penggunaan senjata yang permukaannya keras sehingga tutupnya dapat meledak
c. Rancangan Peraturan Den Haag tentang Perang di Udara(1923) yang digunakan
sebagai pedoman dalam pertempuran di udara
d. Protokol Jenewa (17 Juni 1925) tentang Pelarangan Penggunaan Gas Cekik dan
Macam-macam Gas lain dlam peperangan
e. Protokol London (6 November 1936) tentang Peraturan Penggunaan Kapal
Selam dalam Pertempuran. Protokol ini merupakan suatu penegasan dari
Deklarasi Hukum Perang yang dibentuk di London
f. Konvensi Den Haag 1954 tentang Perlindungan terhadap Benda-Benda Budaya
pada waktu Pertikaian Bersenjata

 

 
Universitas Sumatera Utara

44
 

g. Convention of Prohibition of Military or other hostile use of environmental
modifications techniques (Enmod Convention 1976)
h. Convention on the Prohibition or Restriction on the use of Certain
Conventional Weapons which may be deemed do be excessively injurious or to
have indiscriminate effects (1980 Conventional Weapons Convention)
i. Convention on the Prohibition of the Development, Production, Stockpilling and
Use of Chemical Weapons and on their or Destruction (CCW)
j. 1995 Protocol on Blinding Laser Weapons
k. 1977 Ottowa Convention on the Prohibitions of the Use, Stockpilling,
Production and Transfer of Antipersonnel Mines and on their Destruction
l. 1999 Second Hague Protocol for the Protection of Cultural Property in the
Event of Armed Conflict.

C. Hubungan Antara Hukum Humaniter Dengan Hak Asasi Manusia
Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut International
Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict,pada awalnya dkenal sebagai
Hukum Perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum
sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan
istilah hukum humaniter. Panitia tetap Hukum Humaniter, departemen Hukum
dan perundang-undangan merumuskan sebagai berikut: ”Hukum humaniter
sebagai keseluruhan asas, kaedah, dan ketentuan internasional, baik tertulis
maupun tidak tertulis, yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia

 

 
Universitas Sumatera Utara

45
 

dalam pengertian umum adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap pribadi
manusia sebagai anugerah tuhan yang dibawa sejak lahir
Pada awalnya tidak pernah ada perhatian mengenai hubungan-hubungan
hukum hak asasi manusia dan hukum humaiter. oleh karena itu, tidaklah
mengherankan jika Pernyataan Universal Hak Asaasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights) 1948 tidak menyinggung tentang penghormatan
hak asasi manusia pada waktu sengketa bersenjata. Sebaliknya, dalam KonvensiKonvensi Jenewa 1949 tidak menyinggung masalah hak asasi manusia, tetapi
tidak berarti bahwa konvensi-konvensi Jenewa dan Hak Asasi Manusia tidak
memiliki kaitan dengan sama sekali. Antara keduanya terdapat hubungan
keterkaitan,walaupun tidak secara langsung.
Kesadaran akan adanya hubungan hak asasi manusia dan hukum
humaniter baru terjadi pada akhir tahun 1960-an. Kesadaran ini makin meningkat
dengan terjadinya berbagai ssengketa bersenjata, seperti dalam perang
Kemerdekaan di Afika dan di berbagai belahan dunia lainnya yang menimbulkan
masalah, baik dari segi Hukum Humaniter maupun dari segi Hak asasi Manusia.
Konferensi Internasioal mengenai hak asasi manusia yang diselenggarakan oleh
PBB di Teheran pada tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan antara Hak
Asasi Manusia (HAM) dan Hukum Humaniter Internasional (HHI), Dalam
Resolusi XXIII tanggal 12 Mei 1968 mengenai “penghormatan HAM pada waktu
pertikaian senjata”, meminta agar konvensi-konvensi tentang pertikaian bersenjata
diterapkan secara lebih sempurna dan supaya disepakati perjanjian baru mengenai
hal ini.

 

 
Universitas Sumatera Utara

46
 

Dalam kepustakaan ada 3 (tiga) aliran berkaitan dengan hubungan hukum
humaniter internasional:
a. Aliran Intergrationis
Aliran Integrationis berpendapat bahwa sistem hukum yang satu berasal
dari hukum yang lain. Dalam hal ini, maka ada 2(dua) kemungkinan, yaitu :
1. Hak asasi manusia menjadi dasar bagi hukum humaniter internasional, dalam
arti bahwa hukum humaniter merupakan cabang dari hak asasi manusia. Pendapat
ini antara lain dianut oleh Robertson, yang menyatakan bahwa hak asasi manusia
merupakan hak dasar bagi setiap orang, setiap orang setiap waktu dan berlaku di
segala tempat. jadi hak asasi manusia merupakan genus dan hukum humaniter
merupakan spesiesnya, karena hanya berlaku untuk golongan tertentu dan dalam
keadaan tertentu pula.
2. Hukum Humaniter Internasional merupakan dasar dari Hak Asasi Manusia,
dalam arti bahwa HAM merupakan bagian dari hukum humaniter. Pendapat ini
didasarkan pada alasan bahwa hukum humaniter lahir lebih dahulu daripada hakhak asasi manusia.jadi secara kronologis, hak asasi manusia dikembangkan
setelah hukum humaniter internasional.
b. Aliran Separatis
Aliran separatis

melihat Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter

Internasional sebagai sistem hukum yang sama sekali tidak berkaitan, karena
keduanya berbeda. Perbedaan kedua sistem tersebut terletak pada:

 

 
Universitas Sumatera Utara

47
 

1. Obyeknya
Hukum Humaniter Internasional mengatur sengketa bersenjata antara
Negara dengan kesatuan (entity) laiinya, sebaliknya hak asasi manusia mengatur
hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya di dalam Negara tersebut
2. Sifatnya
Hukum Humaniter Internasional bersifat mandatory a political serta
peremptory
3. Saat berlakunya
Hukum Humaniter Internasional berlaku pada saat perang atau masa
sengketa bersenjata, sedangkan hak asasi manusia berlaku pada saat damai. Salah
seorang dari penganut teori ini adalah Mushkat,yang menyatakan bahwa secara
umum dapat dikatakan bahwa hukum humaniter itu berhubungan dengan akibat
dari sengketa bersenjata antar Negara, sedangkan hak asasi manusia berkaitan
dengan pertentangan antara pemerintah dengan individu di dalam Negara yang
bersangkutan. Hukum Humaniter mulai berlaku pada saat hak asasi manusia
sudah tidak berlaku lagi, hukum humaniter melindungi mereka yang tidak mampu
terus berperang atau mereka yang sama sekali tidak turut bertempur, yaitu
penduduk sipil. Hak asasi manusia tidak ada dalam sengekta bersenjata karena
fungsinya diambil oleh hukum humaniter, tetapi terbatas pada golongan tertentu
saja.
b. Aliran Komplementaris
Aliran Komplementaris melihat Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum
Humaniter Internasional melalui proses yang bertahap, berkembang sejajar dan

 

 
Universitas Sumatera Utara

48
 

saling melengkapi .Salah seorang dari penganut teori ini adalah Cologeropoulus,
dimana ia menentang pendapat aliran separatis yang dianggapnya menentang
kenyataan bahwa kedua sistem hukum tersebut memiliki tujuan yang sama, yakni
perlindungan pribadi orang. Hak asasi manusia melindungi pribadi orang pada
masa damai, sedangkan hukum humaniter memberika perlindungan pada masa
perang atau sengketa bersenjta, Aliran inu mengakui adanya perbedaan seperti
yang dikemukakan oleh aliran separatis, dan menambahkan beberapa perbedaan
lain, yaitu:
1. Dalam pelaksanaan dan penegakan hukum humaniter menggantungkan
diri pada atau menerapkan sistem Negara pelindung (protecting power).
sebaliknya hukum hak asasi manusia sudah mempunyai aparat mekanisme
yang tetap, tetapi ini hanya berlaku di Negara-negara eropa saja, yaitu
diatur dalam Konvensi Hak asasi Manusia Eropa.
2. Dalam hal sifat pencegahan Hukum Humaniter Internasional dalam hal
kaitannya dengan pencegahan menggunakan pendekatan preventif dan
korektif, sedangkan hukum hak asasi manusia secara fundamental
menggunakan pendekatan korektif, yang diharapkan akan mempunyai efek
preventif.
Meskipun Hukum Internasional dan HAM keduanya didasarkan atas
perlindungan orang, terdapat perbedaan khas dalam lingkup, tujuan dan penerapan
diantara keduanya. Hukum Humaniter Internasional berlaku dalam kasus-kasus
sengketa bersenjata, baik internasional maupun internasional terdiri atas standarstandar perlindungan bagi para korban sengketa, disebut hukum jenewa, dan

 

 
Universitas Sumatera Utara

49
 

dilain pihak peraturan-peraturan yang berkaitan dengan alat dan cara berperang
dan tindakan permusuhan,juga dikenal sebagai hukum Den Haag.
Dewasa ini, dua perangkat peraturan itu telah digabung dan muncul dalam
Protokol-Protokol Tambahan pada Konvensi Jenewa yang diterima tahun 1977,
Hukum hak asasi manusia, sebaliknya bertujuan untuk memberikan jaminan
bahwa hak-hak dan kebebasan sipil, politik, ekonomi, dan budaya dan setiap
orang perorangan dihormati pada segala waktu, untuk menjamin bahwa dia dapat
berkembang sepenuhnya dalam masyarakatnya dan melindunginya jika perlu
terhadap penyalahgunaan dari para penguasa yag bertanggungjawab. Hak-hak ini
tergantung pada hukum nasional dan sifatnya yang sangat fundamental dijumpai
dalam

konstitusi

Negara-negara.

namun