Perlindungan Hukum Terhadap Wartawan Yang Bertugas Di Wilayah Konflik Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional

(1)

Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan Internasional, Rajawati Pers, Jakarta,2009

Effendi, Masjur, Moh Ridwan, Muslich Subandi, Pengantar dan Dasar-Dasar Hukum Internasional, IKIP malang, Malang.

Evans, Graham and Jeffrey Newnham,The Penguin Dictionary of International Relations, London; Penguin Books,1998.

Haryomataram, KGPH Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005.

Holsti, K.J, Politik Internasional: Kerangka Analisa,Terjemahan, Jakarta Pedoman Ilmu Jaya,1987

Permanasari, Arlina, Aji Wibowo, Fadillah Agus, Achmad Romsan,Supardan Mansyur, Michael G. Nainggolan, Pengantar Hukum Humaniter,Miamita Print, Jakarta, 1999.

Kalshoven, Frits and Zegveld Liesbeth ,Constraint on the Waging War,ICRC, 1991

Kovach, Bill dan Tom Rosentiel, BLUR: Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi, Dewan Pers, 2012

Kusumaatmadja, Mochtar, Konvensi Djenewa 1949 Mengenai Perlindungan Korban Perang, Binatjipta, Bandung, 1968,

Legality of the Threat or use of Nuclear Weapons, Advisory Opinion July 8, 1996, ICJ, Rep. 1996.

Miall, Hugh, Oliver Ramsbotham,Tom Woodhouse,Contemporary Conflict Resolution, Cambridge : Polity Press,1999

Peter Gasser, Hans, International Humanitarian Law,An Introduction,Paul Haupt Publisher, Berne-Stuggart-Vienna,1993

Rehman, Javaid, International Human rights Law A practical Approach, Dorset press, Dorchester, Henry Ling Ltd ,2003

Subroto, Hendro, Perjalanan Seorang Wartawan Perang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998,


(2)

UNDANG-UNDANG

Konvensi IV Jenewa Tahun 1949

Protokol Tambahan I/ Konvensi Jenewa Tahun 1977 UU No.40 tahun 1999 Tentang Pers

WEBSITE

http:// apaazhaada.blogspot.com/2010/05/tujuan-dari-pbb-perserikatan- bangsa http://manado.tribunnews.com

http://arlina100.wordpress.com/2008/11/23/apakah-objek-sasaran-target- http://www.cpj.org/reports/2003/02/contacs.php,militer/#more-285 http://.www.cpj.org/Briefings/2003/safety/journo_safe_guide.pdf

http://dewaarka.wordpress.com/ 2010/ 03/ 08/ hukum humaniter internasional http://en.wikisource.org/wiki/United_Nations_SecurityCouncil_Resolution_1738  http://www.icrc.org/eng/resources/documents/misc/hotline-010106

http://skalanews.com http://id.m.wikipedia.org http://www.bbc.com

http://www.radio.baticnews.com http://www.lpds.or.id


(3)

Konvensi - Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang ( Geneva Convention of 1949 for the Protection of Victims of War ) terdiri dari atas 4 Konvensi, yaitu :29

1. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Bersenjata di Medan Pertempuran Darat (Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and sick in Armed Forces in the Field of August 12,1949)

2. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata di Laut yang Luka, Sakit, dan Korban Karam (Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded,Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea, of August 12, 1949)

3. Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan perang (Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War,of August 12,1949)

4. Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang sipil di waktu Perang (Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in time of war, of August 12, 1949)

Yang dimana keempat konvensi tersebut diatas awal mulanya dibentuk pada tahun 1864. Pembentukan Konvensi Jenewa 1864, dalam sejarahnya berkaitan dengan pembentukan Komite Internasional Palang Merah atau

      

29 Direktorat Jenderal Hukum Dan PerundangUndangan Departemen Kehakiman, Terjemahan 


(4)

International Committee of the Red Cross (ICRC). Pembentukan Konvensi Jenewa 1864, sedikit banyak dipengaruhi dari ide yang terpublikasi dari buku “A Memory of Solferino” yang ditulis oleh salah satu pendiri ICRC, yaitu Henry Dunant. Dalam buku tersebut, Henry Dunant menggambarkan pengalamannya menyaksikan penderitaan para tentara yang menjadi korban dan tidak memperoleh pertolongan di medan bekas pertempuran di Solferino. Cerita Henry Dunant tidak terlalu terfokus pada hal-hal yang mengerikan akibat perang, tetapi justru kepada permasalahan tidak cukupnya pertolongan untuk tentara korban tersebut. Ia juga menceritakan upaya spontannya mengumpulkan para wanita setempat untuk menolong para korban tersebut dengan fasilitas seadanya.

Dua dari ide yang termuat dalam buku tulisan Henry Dunant terealisasi pada tahun 1863 dan 1864. Tahun 1863 adalah tahun pembentukan organisasi sukarelawan yang dipersiapkan untuk membantu korban perang yang kemudian dikenal dengan ICRC. Tahun 1864 adalah Tahun pembentukan perjanjian internasional untuk melindungi korban perang dan pihak yang bertugas menolong korban perang. Adapun konferensi diplomatik yang membahas dan mengadopsi perjanjian tersebut diselenggarakan oleh Negara Swiss atas Himbauan dari Henry Dunant dan para pendiri ICRC.

Konvensi Jenewa 1864 menjadi instrumen hukum pertama tentang kesepakatan Negara di bidang Hukum Humaniter Internasional dan menjadi perjanjian pertama yang terbuka bagi setiap Negara untuk ikut serta di dalamnya. Setelah itu cukup banyak pertemuan diplomatik dan antar Negara yang


(5)

diselenggarakan secara teratur dan menghasilkan perjanjian-perjanjian lainnya di bidang Hukum Humaniter Internasional.

Dalam perjalanannya, pembentukan perjanjian Hukum Humaniter Internasional dan norma-norma hukum yang disepakati di dalamnya banyak dipengaruhi oleh kebutuhan yang dirasakan karena peristiwa peperangan yang terjadi pada waktu itu. Diantaranya, juga dipengaruhi oleh kenyataan perkembangan teknologi dan sistem persenjataan atau metode peperangan yang digunakan. Peristiwa Perang Dunia I dan II serta berbagai perang atau konflik-konflik dalam negeri, seperti yang terjadi di Amerika latin yang melibatkan upaya dekolonisasi dan teknik gerilya sampai pembersihan etnis di Former Yugoslavia dan Genosida di Rwanda, turut memberikan kontribusi bagi pembentukan dan penyempurnaan Hukum Humaniter Internasional.

Sebelum masa Perang Dunia I, telah terbentuk berbagai perjanjian Hukum Humaniter Internasional berkenaan dengan larangan dan pembatasan pengggunaan senjata dan metode perang tertentu, yaitu Deklarasi St.Petersburgh Tahun 1868 yang melarang penggunaan proyektil eksplosif tertentu pada saat perang dan beberapa Konvensi Den Haag 1899-1907 berkenaan dengan peperangan di darat dan laut serta larangan penggunaan rancangan, gas mencekik, peluru mengembang, berikut pembatasan pengiriman proyektil tertentu melalui balon udara. Setelah masa Perang Dunia II, yaitu Tahun 1945-1948 dunia melihat terbentuknya peradilan internasional; terhadap penjahat perang, yaitu di Tokyo dan Nurmberg atas prakarsa para pemenang perang. Sementara itu, Konvensi Jenewa 1864 mengalami perbaikan dan penyempurnaan terakhir dengan


(6)

terbentuknya empat Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 berkenaan dengan perlindungan korban perang.

Tahun 1977 ditandai dengan terbentuknya dua perjanjian internasional yang merupakan tambahan atas Konvensi-Konvensi Jenewa 1949, Perjanjian Hukum Humaniter Internasional tersebut adalah Protokol Tambahan I/1977 tentang Perlindungan Korban Perang pada situasi sengketa bersenjata internasional dan Protokol Tambahan II/1977 tentang Perlindungan Korban Perang pada situasi sengeketa bersenjata non-Internasional Protokol I antara lain, memuat referensi Hukum Humaniter Internasional bagi perang melawan kolonial dan pembatasan penggunaan metode perang gerilya.30

Konvensi Jenewa IV mengenai Penduduk Sipil dalam waktu Perang merupakan konvensi yang sama sekali baru. Konvensi ini yang mengatur kedudukan penduduk sipil pihak-pihak yang bersengketa, baik dalam daerah pertempuran maupun daerah pendudukan serta di Negara-negara netral, seluruhnya meliputi 159 pasal dan tiga buah lampiran.

Persiapan untuk Konvensi Jenewa IV 1949 sudah dimulai oleh Konferensi Internasional Palang Merah yang ke XV yang diadakan di Tokyo di tahun 1934. Konferensi ini telah meneyetujui suatu rancangan konvensi mengenai perlindungan penduduk sipil di Negara musuh atau di Negara yang diduduki musuh yang terdiri dari 40 pasal, yang dibuat untuk memenuhi rekomendasi konferensi diplomatic yang diadakan di Jenewa di tahun 1929 untuk

      


(7)

memperbaharui Konvensi I dan menyusun Konvensi mengenai Perlakuan Tawanan Perang.

Rancangan konvensi mengenai perlindungan penduduk sipil ini yang dikenal juga dengan nama rancangan Tokyo, yang merupakan rancangan pertama bagi Konvensi Jenewa IV yang sekarang, mula-mula akan diajukan pada suatu konferensi Diplomatik yang akan diadakan di Jenewa pada Tahun 1940. Pecahnya Perang Dunia II membatalkan niat ini.

Maksud untuk memperbaharui ketiga konvensi I, II, dan III lahir setelah Perang Dunia II berakhir tahun 1945. Di tahun 1946 Komite Internasional Palang Merah mengadakan suatu konferensi pendahuluan di Jenewa yang dihadiri oleh utusan-utusan Palang Merah nasional untuk membahas Konvensi-Konvensi Jenewa dan masalah-masalah yang bertalian dengan Palang Merah. Konferensi ini membahas ketiga rancangan konvensi yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh suatu konferensi para ahli yang diadakan di Jenewa di tahun 1945.

Pekerjaan persiapan diatas dilanjutkan dalam tahun 1947 dengan diadakannya suatu konferensi di Jenewa antara ahli-ahli dari berbagai Negara untuk mempelajarai Konvensi-Konvensi mengenai Perlindungan Korban Perang yang kemudian disusul dengan konsultasi antara Komite Internasional dengan beberapa pemerintah yang tidak mengirimkan wakilnya. Hasil pekerjaan-pekerjaan persiapan tersebut diatas berupa empat buah ranncangan Konvensi dibicarakan pada Konferensi Palang Merah ke-XVII yang diadakan di Stockholm di tahun 1948. Rancangan konvensi-konvensi inilah yang menjadi bahan perbincangan (working documents) daripada Konferensi Diplomatik yang


(8)

diadakan di Jenewa dari tanggal 21 April hingga 12 Agustus 1949, dan yang akhirnya menghasilkan keempat konvensi mengenai perlindungan korban perang dalam bentuknya yang dikenal sekarang.31

Penjelasan Konvensi Jenewa IV 1949 mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil yang menjadi korban perang diatur di dalam bagian II yang berisi tentang perlindungan umum.

1. Perlindungan Umum

Berdasarkan Konvensi Jenewa IV, perlindungan umum yang diberikan kepada penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif, dalam segala keadaan penduduk sipil berhak atas penghormatan pribadi, hak kekeluargaan, kekayaan dan praktek ajaran agamanya. Terhadap mereka, tidak boleh dilakukan tindakan-tindakan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 27-34.32

Isi pasal 27-34 Konvensi Jenewa IV adalah:

1. Orang orang yang dilindungi, dalam segala keadaan berhak akan penghormatan atas diri pribadi, hak-hak kekeluargaan, keyakinan dan praktek keagamaan, serta adat-istiadat dan kebiasan mereka. Mereka harus selalu diperlakukan dengan perikemanusiaan, dan harus dilindungi khusus terhadap segala tindakan kekerasan atau ancaman-ancaman kekerasan dan terhadap penghinaan serta tidak boleh menjadi objek tontonan umum.wanita harus terutama dilindungi terhadap setiap serangan atau kehormatannya, khususnya terhadap perkosaan, pelacuran yang dipaksakan atau setiap bentuk serangan yang melanggar kesusilaan. Tanpa

      

31 Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi Djenewa TH, 1949 Mengenai Perlindungan Korban Perang, Binatjipta, Bandung, 1968, hal 3-4


(9)

mengurangi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan keadaan kesehatan, umur dan jenis kelamin mereka, maka semua orang yang dilindungi harus diperlakukan dengan cara yang sama oleh pihak dalam sengketa dalam kekuasaan mana mereka berasal, tanpa perbedaan merugikan yang didasarkan terutama pada suku, agama atau pendapat politik. akan tetapi pihak pihak dalam sengketa dapat mengambil tindakan-tindakan pengawasan dan keamanan berkenaan dengan orang –orang yang dilindungi, yang mungkin diperlukan sebagai akibat perang (pasal 27)

2. Adanya seseorang yang dilindungi tidak boleh digunakan untuk menyatakan sasaran-sasaran atau daerah tertentu kebal dari operasi-operasi militer (Pasal 28) 3. Pihak-pihak dalam sengketa bertanggung jawab atas perlakuan yang diberikan oleh alat-alat kelengkapannya kepada orang-orang yang dilindungi yang ada dalam tangannya , lepas dari tanggung jawab perseorangan apapun yang mungkin ada (pasal 29)

4. Orang-orang yang dilindungi harus memeperoleh setiap fasilitas untuk berhubungan secara tertulis dengan Negara Pelindung, dengan Komite Palang Merah Internasional, Perhimpunan-Perhimpunan Palang Merah Nasional (Bulan Sabit, Merah, Singa, dan Matahari Merah) dari Negara-negara tempat mereka berada, demikian pula dengan setiap organisasi yang dapat memberi bantuan kepada mereka. organisasi-organisasi ini harus diberikan fasilitas-fasilitas untuk maksud itu oleh penguasa-penguasa, dalam batas-batas yang ditentukan oleh pertimbangan militer atau keamanan.disamping kunjungan-kunjungan dan utusan-utusan Negara pelindung serta Komite Palang Merah Internasional, sebagaimana diatur dalam pasal 143, maka Negara penahan atau Negara pendudukan harus


(10)

sebanyak mungkin memudahkan kunjungan-kunjungan kepada orang-orang yang dilindungi oleh wakil-wakil organisasi-organsasi lain yang bertujuan memberikan bantuan spiritual atau pertolongan materil kepada orang-orang tersebut. (pasal 30) 5. Terhadap orang yang dilindungi tidak boleh dilakukan paksaan fisik atau moral, terutama untuk memperoleh keterangan-keterangan dari mereka atau dari pihak ketiga (pasal 31).

6. Pihak pihak Peserta Agung teristimewa sepakat bahwa mereka masing-masing dilarang mengambil tindakan apapun yang sifatnya menimbulkan penderitaan-penderitaan jasmani atau pemusnahan orang-orang yang dilindungi yang ada dalam tangan mereka. Larangan ini tidak hanya berlaku terhadap pembunuhan, penganiayaan, hukuman badan, pengudungan serta percobaan-percobaan kedokteran atau percobaan-percobaan ilmiah yang tidak diperluka perawatan kedokteran daripada seorang yang dilindungi, akan tetapi juga berlaku setiap tindakan kekuasaan lainnya, baik yang dilakukan oleh alat-alat Negara sipil maupun militer (pasal 32).

7. Orang yang dilindungi tidak boleh dihukum untuk suatu pelanggaran yang tidak dilakukan sendiri olehnya. Hukuman kolektif dan semua perbuatan intimidasi atau terorisme dilarang. Tindakan pembalasan terhadap orang-orang yang dilindungi dan harta miliknya adalah dilarang (pasal 33).

8. Penangkapan orang untuk dijadikan sandera (tanggungan) dilarang (pasal 34) Demikian besarnya perhatian yang diberikan Konvensi Jenewa untuk melindungi penduduk sipil dalam sengketa bersenjata, sehingga konvensi ini juga mengatur mengenai pembentukan kawasan-kawasan rumah sakit dan


(11)

daerah-daerah keselamatan (safety zones), dengan persetujuan bersama antara pihak-pihak yang bersangkutan (Pasal 14 Konvensi Jenewa IV)

Berikut adalah isi lengkap dari Pasal 14 Konvensi Jenewa IV :

Dalam waktu damai, Pihak-Pihak Peserta Agung dan setelah pecahnya permusuhan, pihak-pihak dalam permusuhan itu dapat mengadakan dalam wilayah mereka sendiri dan apabila perlu, dalam daerah yang diduduki, daerah-daerah serta perkampungan-perkampungan rumah sakit dan keselamatan, yang diorganisir sedimikian rupa sehingga melindungi yang luka, sakit, dan orang tua, anak-anak dibawah lima belas tahun, wanita-wanita hamil serta ibu-ibu dari anak dibawah tujuh tahun dari akibat-akibat perang

Pada waktu pecahnya dan selama berlangsungnya permusuhan, permusuhan, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengadakan persetujuan-persetujuan tentang pengakuan bersama daripada daerah dan perkampungan yang telah mereka adakan. Untuk maksud ini mereka dapat melaksanakan ketentuan-ketentuan Rencana Persetujuan yang dilampirkan pada Konvensi ini, dengan perubahan-perubahan yang dianggap perlu.

Negara-negara Pelindung serta Komite Palang Merah Internasional diundang untuk memberikan jasa baik mereka guna memudahkan penetapan dan pengakuan atas rumah sakit dan daerah-daerah keselamatan serta perkampungan-perkampungan.

Pembentukan kawasan ini terutama ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang sipil yang rentan terhadap akibat perang yaitu, orang yang luka dan sakit, lemah, perempuan hamil atau menyusui, perempuan


(12)

hamil atau menyusui, perempuan yang memiliki anak balita, orang lanjut usia dan anak-anak. Daerah keselamatan ini harus memenuhi syarat – syarat sebagai berikut :

1. Daerah-daerah kesehatan hanya boleh meliputi sebagian kecil dari wilayah yang diperintah oleh Negara yang mengadakannya

2. Daerah-daerah itu harus berpenduduk relatif lebih sedikit dibandingkan dengan kemungkinan-kemungkinan akomodasi yang terdapat disitu.

3. Daerah-daerah itu harus jauh letaknya dan tidak ada hubungannya dengan segala macam objek-objek militer atau bangunan-bangunan industri dan administrasi yang besar

4. Daerah-daerah seperti itu tidak boleh ditempatkan di wilayah-wilayah yang menurut perkiraan, dapat dijadikan areal untuk melakukan peperangan.

Berkaitan dengan perlakuan terhadap orang-orang yang dilindungi, perlakuan khusus harus diberikan terhadap anak-anak. Para pihak yang bersangkutan diharuskan untuk memelihara anak-anak yang sudah yatim piatu atau terpisah dengan orangtua mereka. Diantara penduduk sipil yang harus dilindungi, terdapat beberapa kelompok orang-orang sipil yang perlu dilindungi, seperti :

(1) Orang asing di wilayah pendudukan

Pada waktu pecah perang antara Negara yang warga negaranya berdiam di wilayah Negara musuh, maka orang-orang asing ini merupakan warga Negara musuh. Walaupun demikian, mereka tetap mendapatkan penghormatan dan


(13)

perlindungan di Negara dimana mereka berdiam. Berdasarkan pasal 35 Konvensi Jenewa IV, mereka harus diberi ijin untuk meninggalkan Negara tersebut dipertimbangkan kembali, permintaan tersebut ditujukan kepada pengadilan atau badan administrasi yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas itu.33

Berikut adalah isi lengkap dari Pasal 35 Konvensi Jenewa IV:

Semua orang yang dilindungi yang berkehendak meninggalkan wilayah pada permulaan, atau selama berlangsungnya suatu sengketa, boleh berbuat demikian, kecuali apabila keberangkatannya itu bertentangan dengan kepentingan-kepentingan nasional dari Negara itu. Permohonan-permohonan orang tersebut untuk berangkat harus diputuskan sesuai dengan prosedur-prosedur secara teratur dan keputusan harus diambil secepat mungkin. Orang-orang yang diizinkan untuk berangkat dapat melengkapi diri mereka dengan dana-dana yang diperlukan untuk perjalanan mereka dan membawa serta suatu jumlah yang pantas dari milik dan barang-barang untuk pemakaian pribadi.

Apabila ada seorang ditolak permintaan untuk meninggalkan wilayah itu, maka ia berhak supaya penolakan itu dipertimbangkan kembali selekas mungkin oleh sebuah pengadilan atau dewan administratif, yang ditunjuk oleh Negara penahan untuk maksud itu. Atas permintaan, maka wakil-wakil Negara pelindung harus, kecuali apabila bertentangan dengan keamanan, atau apabila orang-orang yang bersangkutan berkeberatan dengan alasan-alasan keamanan, atau apabila orang-orang yang bersangkutan dengan alasan-alasan keamanan, atau apabila orang-orang yang bersangkutan berkeberatan, diberitahu alasan-alasan penolakan

       33 Ibid, Hal 171-173


(14)

dari tiap permohonan izin untuk meninggalkan wilayah dan kepada wakil-wakil itu harus diberi secepat mungkin nama-nama semua orang yang tidak diberi izin untuk berangkat.

Hukum yang berlaku bagi mereka harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku di masa damai (9 hukum tentang orang asing). Perlindungan minimum atas hak asasi manusia mereka harus dijamin. Oleh karena itu mereka harus dimungkinkan untuk tetap menerima pembayaran atas pekerjaannya, menerima bantuan, perawatan kesehatan, dan sebagainya. Sebaliknya Negara penahan juga diperbolehkan mengambil tindakan yang perlu seperti membuat laporan regular ke kantor polisi, atau menentukan tempat tinggal tertentu jika keadaan keamanan yang mendesak mengharuskan orang-orang asing ini untuk berpindah tempat tinggal (Pasal 42 Konvensi Jenewa IV).34

Berikut ini adalah isi lengkap pasal 42 Konvensi Jenewa IV :

Penginterniran orang-orang yang dilindungi atau penempatan mereka di tempat-tempat tinggal yang ditunjuk hanya dapat diperintahkan apabila keamanan Negara Penahan betul-betul memerlukannya.

Apabila seseorang, melalui wakil-wakil Negara Pelindung, dengan sukarela mohon penginterniran dan apabila keadaannya menyebabkan perlu diambil tindakan tersebut, maka ia akan diinternir oleh kekuasaaan dalam tangan siapa ia pada waktu itu berada.

Mereka juga dapat dipindahkan ke Negara asal mereka kapan saja, dan apabila masih ada, harus dipulangkan pada saat terakhit setelah berakhirnya


(15)

permusuhan. Mereka dapat diserahkan melalui Negara ketiga. Harus pula terdapat jaminan bahwa mereka tidak akan diajukan ke pengadilan karena keyakinan politik agama yang mereka anut.

(2) Orang yang tinggal di wilayah pendudukan

Dalam wilayah pendudukan, penduduk sipil sepenuhnya harus dilindungi, penguasa pendudukan (occupying power) tidak boleh mengubah hukum yang berlaku di wilayah tersebut. Dengan perkataan lain, hukum yang berlaku di wlayah tersebut adalah hukum dari Negara yang diduduki. Oleh karena itu, perundang-undangan nasional dari Negara yang diduduki masih berlaku (secara

de jure), walaupun yang berkuasa atas wilayah pendudukan adalah penguasa pendudukan (secara de facto). Sejalan dengan hal ini, maka Pemerintah Daerah di wilayah yang diduduki, termasuk pengadilannya, harus diperbolehkan untuk melanjutkan aktivitas-aktivitas mereka seperti sedia kala.

Orang-orang sipil di wilayah ini harus dihormati hak-hak asasinya, misalnya mereka tidak boleh dipaksa bekerja untuk Penguasa Pendudukan, tidak boleh dipaksa untuk melakukann kegiatan-kegiatan militer. Penguasa Pendudukan bertanggung jawab untuk memelihara dinas-dinas kesehatan, rumah sakit, dan banguna-bangunan lainnya. Perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah Nasional harus tetap diperbolehkan untuk melanjutkan tugas-tugasnya. Penguasa Pendudukan juga harus memperhatikan kesejahteraan anak-anak, serta menjamin kebutuhan makanan dan kesehatan penduduk (Pasal 50 Konvensi Jenewa IV) dan bila Penguasa Pendudukan tidak mampu melakukan hal tersebut maka mereka


(16)

harus mengijinkan adanya bantuan yang datang dari luar negeri, sesuai dengan pasal 59-61 dan sebagainya.35

Berikut adalah isi lengkap dari pasal 50, 59, 60 dan 61 Konvensi Jenewa IV :

Kekuasaan Pendudukan, dengan bantuan penguasa-penguasa nasional dan lokal, harus membantu kelancaran bekerja semua lembaga yang bertujuan untuk perawatan dan pendidikan anak-anak.

Kekuasaan Pendudukan harus mengambil segala tindakan yang perlu untuk memudahkan identifikasi anak-anak dan pendaftaran dari asal-usul mereka. Kekuasaan Pendudukan bagaimanapun juga, tidak boleh merubah kedudukan pribadi mereka, atau memasukkan mereka dalam kesatuan-kesatuan atau organisasi-organisasi kekuasaannya.

Apabila lembaga-lembaga setempat tidak mencukupi untuk tujuan itu, maka Negara pendudukan harus mengatur pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yatim piatu atau anak-anak-anak-anak yang terpisah dari ibu bapaknya sebagai akibat peperangan, dan yang tidak dapat dipelihara dengan baik oleh kerabat atau kawan, pemeliharaan dan pendidikan ini jika mungkin dilakukan oleh orang-orang yang sama kebangsaan, bahasa, dan agamanya.

Suatu seksi khusus dan Biro yang didirikan sesuai dengan Pasal 136, akan bertanggung jawab atas segala tindakan yang perlu diambil untuk mengidentifikasi anak-anak yang identitasnya diragukan. Keterangan-keterangan


(17)

mengenai ibu-bapak atau keluarga mereka mereka yang dekat, selau harus dicatat apabila ada.

Kekuasaan Pendudukan tidak boleh menghalang-halangi diadakannya tindakan-tindakan istimewa mengenai makanan, pengobatan, dan perlindungan terhadap akibat-akibat perang yang mungkin telah diadakan sebelum pendudukan dan yang telah diadakan untuk manfaat anak-anak dibawah lima belas tahun, wanita hamil, dan ibu-ibu dari anak-anak dibawah tujuh tahun (Pasal 50)

Apabila seluruh atau sebagian dari penduduk sesuatu wilayah yang diduduki tidak mempunyai persediaan-persediaan cukup, maka kekuasaan pendudukan harus menyetujui rencana-rencana pemberian bantuan bagi penduduk tersebut, dan harus membantu rencana-rencana tersebut, dengan segala kesanggupan yang ada padanya.

Rencana-rencana bantuan tersebut, yang mungkin diadakan, atau oleh Negara-negara atau organisasi-organisasi kemanusiaan yang tidak seperti Komite Palang Merah Internasionnal, terutama harus berisikan pemberian-pemberian kiriman bahan makanan persediaan obat-obatan dan pakaian.

Semua Pihak Peserta harus mengizinkan lalu lintas bebas daripada kiriman-kiriman ini, dan harus menjamin perlindungannya.

Akan tetapi suatu Negara yang mengizinkan perjalanan bebas kiriman-kiriman yang menuju ke wilayah yang diduduki oleh pihak lawan dalam sengketa, berhak untuk memeriksa kiriman-kiriman itu untuk mengatur perjalanannya sesuai dengan waktu dan rencana perjalanannya sesuai dengan waktu dan rencana perjalanan yang telah ditentukan dan berhak untuk mendapat jaminan sepantasnya


(18)

dari Negara pelindung bahwa kiriman-kiriman itu akan dipergunakkan untuk menolong penduduk yang membutuhkannya dan tidak akan dipergunakan untuk keuntungan Kekuasaan Kependudukan (Pasal 59).

Kiriman-kiriman sumbangan sekali-kali tidak akan membebaskan kekuasaan kependudukan dari kewajiban dan tanggung jawab apapun dibawah Pasal 55, 56 serta Pasal 59. Kekuasaan Pendudukan bagaimanapun juga tidak boleh membelokkan kiriman-kiriman sumbangan itu dari tujuannya yang dimaksudkan semula, kecuali dalam hal-hal keperluan yang mendesak, guna kepentingan-kepentingan penduduk wilayah yang diduduki dan dengan persetujuan Negara Pelindung (Pasal 60)

Pembagian kiriman-kiriman sumbangan yang tercantum dalam pasal-pasal diatas, harus diselenggarakan dengan kerja sama dan dibawah pengawasan Negara pelindung. Kewajiban ini, dengan persetujuan dari Kekuasaan Pendudukan dan Negara Pelindung, dapat juga diserahkan kepada suatu Negara Netral, kepada komite Palang Merah Internasional atau kepada setiap badan kemanusiaan lain yang tidak memihak.

Kiriman-kiriman tersebut harus dibebaskan dari segala biaya, kewajiban-kewajiban pajak atau bea dalam wilayah yang diduduki, kecuali apabila hal itu diperlukan demi kepentingan ekonomi di wilayah itu. Kekuasaan Pendudukan harus memberi kelonggaran-kelonggaran untuk membantu pembagian yang cepat daripada kiriman-kiriman itu.

Segenap Pihak Peserta Agung harus berusaha untuk mengizinkan lalu lintas dan pengangkutan yang bebas biaya daripada kiriman-kiriman sumbangan


(19)

tersebut dalam perjalanan kiriman-kiriman itu menuju wilayah yang diduduki (Pasal 61).

Sebaliknya Penguasa Pendudukan, berdasarkan ketentuan Pasal 64 Konvensi Jenewa IV, dapat membentuk peraturan perundang-undangan sendiri. Mereka, berdasarkan pasal 66 Konvensi Jenewa IV, juga dapat membentuk pengadilan militer yang bersifat non-politis.36

Berkut ini adalah isi lengkap dari pasal 64 dan 66 Konvensi Jenewa IV:

Perundang-undangan hukum pidana wilayah yang diduduki akan tetap berlaku, dengan pengecualian bahwa undang-undang tersebut dapat dicabut atau ditangguhkan pelaksanaannya oleh Kekuasaan Pendudukan dalam hal-hal dimana undang-undang ini merupakan suatu ancaman terhadap keamanannya atau merupakan penghalang bagi pelaksaan Konvensi ini. Dengan mengingat pertiiimbangan yang disebut terakhir diatas dan untuk menjamin pelaksanaan peradilan yang efektif, pengadilan wilayah yang diduduki harus terus melakukan tugasnya berkaitan dengan segala kejahatan yang diatur oleh undang-undang hukum pidana termaksud.

Akan tetapi, Kekuasaan Pendudukan boleh menggunakan ketentuan-ketentuan hukum atas penduduk wilayah yang diduduki, yang perlu untuk memungkinkan Kekuasaan Pendudukan memenuhi kewajiban-kewajibannya menurut Konvensi ini, untuk memelihara pemerintahan yang teratur dari wilayah dan untuk menjamin keamanan Kekuasaan Pendudukan, anggota dan harta milik

       36 Ibid, hal. 174


(20)

angkatan perang atau pemerintah pendudukan dan pula untuk keamanan gedung-gedung dan saluran-saluran perhubungan yang mereka pergunakan (Pasal 64)

Dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan-ketenntuan hukum pidana yang ditetapkan berdasarkan paragraf kedua dari pasal 64, maka Kekuaasan Pendudukan dapat menyerahkan si tertuduh kepada pengadilan-pengadilan militer yang non-politis dan yang dibentuk dengan sewajarnya, dengan syarat bahwa pengadilan tersebut bersidang di wilayah Negara yang diduduki. Pengadilan-pengadilan banding sebaiknya bersidang di wilayah yang diduduki (Pasal 66).

Namun, adanya pembentukan tersebut tidak boleh melepaskan kewajiban Penguasa Pendudukan untuk tetap melaksanakan kewajibannya sesuai dengan Konvensi Jenewa, untuk memelihara keamanan dan ketertiban, dan untuk menjaga segala infrastruktur di daerah tersebut agar tetap dapat berfungsi sebagaimana sedia kala. Dalam melakukan kegiatan peradilan, Penguasa Pendudukan juga harus menghormati dan merupakan asas-asas hukum umum (general principles of law), terutama asas hukum yang menyatakan bahwa hukuman yang dijatuhkan haruslah seimbang dengan pelanggaran yang dilakukan (Pasal 67 Konvensi Jenewa IV) pidana mati hanya boleh dijatuhkan terhadap kasus pelanggaran berat, seperti mata-mata, sabotase terhadap peralatan militer, atau karena pelanggaran yang disengaja yang memang dapat dijatuhi hukuman mati menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 68 Konvensi Jenewa IV).37


(21)

Berikut ini adalah isi lengkap dari pasal 67 dan 68 Konvensi Jenewa IV:

Pengadilan-pengadilan itu hanya boleh menggunakan ketentuan-ketentuan hukum yang telah berlaku sebelum pelanggaran yang dituduhkan, dan yang sesuai dengan azas-azas hukum umum, terutama azas bahwa hukuman harus seimbang dengan pelanggaran yang dilakukan. Pengadilan-pengadilan itu harus turut mempertimbangkan hal bahwa yang tertuduh seorang warga Negara Kekuasaan Pendudukan (Pasal 67)

Orang-orang yang dilindungi yang telah melakukan suatu pelanggaran yang khusus ditujukan untuk merugikan Kekuasaan Pendudukan akan tetapi yang tidak merupakan suatu percobaan atas jiwa dan raga anggota-anggota tentara atau administrasi pendudukan, yang juga tidak merupakan suatu bahaya kolektif besar, maupun yang tidak merusak dengan hebat harta milik tentara dan administrasi pendudukan atau instalasi-instalasi yang dipakai mereka, dapat dikemakan interniran atau hukuman penjara biasa, asal saja lamanya interniran atau hukuman penjara itu seimbang dengan pelanggaran yang telah dilakukan. Selanjutnya, penginterniran atau hukuman penjara untuk pelanggaran-pelanggaran tersebut, merupakan tindakan satu-satunya yang boleh dipakai untuk merampas kebebasan orang-orang yang dilindungi.

Pengadilan-pengadilan yang dimaksudkan oleh Pasal 66 dari Konvensi ini dapat, atas kebikjasanaan sendiri, merubah hukuman penjara menjadi interniran untuk jangka waktu yang sama.

Peraturan-peraturan hukum pidana yang diumumkan oleh Kekuasaan Pendudukan sesuai dengan Pasal-pasal 64 dan 65 hanya dapat menetapkan


(22)

hukuman mati atas diri seseorang yang dilindungi, dalam hal-hal dimana orang itu bersalah melakukan pekerjaan mata-mata, perbuatan sabotase yang berat terhadap instalasi-instalasi militer Kekuasaan Pendudukan, atau karena pelanggaran-pelanggaran yang disengaja yang dapat dihukum dengan kematian dibawah hukum wilayah yang diduduki yang berlaku sebelum pendudukan dimulai.

Hukuman mati itu tidak boleh dijatuhkan atas diri seorang yang dilindungi, kecuali jika pengadilan sudah memperhatikan terutama hal bahwa karena yang tertuduh itu bukan warga Negara Kekuasaan Pendudukan, yang bersangkutan tidak terikat pada Kekuasaan Pendudukan oleh kewajiban kesetiaan.

Bagaimanapun juga, hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas diri seorang yang dilindungi yang berumur dibawah delapan belas tahun pada waktu pelanggaran itu dilakukan (Pasal 68)

(3) Interniran Sipil

Penduduk sipil yang dilindungi dapat diinternir. Ketentuan-ketentuan tentang perlakuan orang-orang yang diinternir diatur dalam Seksi IV, pasal 79-135 Konvensi Jenewa IV. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, tindakan perampasan kebebasan dapat dilakukan apabila terdapat alasan keamanan yang riil dan mendesak. Tindakan untuk menginternir penduduk sipil pada hakekatnya bukan merupakan suatu hukuman, namun hanya merupakan tindakan pencegahan administratif. Oleh karena itu, walaupun penduduk sipil ini diinternir, namun mereka tetap memiliki kedudukan dan kemampuan sipil mereka dan dapat melaksanakan hak-hak sipil mereka (Pasal 80 Konvensi Jenewa IV)38


(23)

Berikut ini adalah isi lengkap dari pasal 80 Konvensi Jenewa IV:

Orang-orang yang diinternir tetap memiliki kedudukan dan kemampuan sipil mereka sepenuhnya dan akan dapat melaksanakan hak hak attendance yang bersangkutan dengan kedudukan sipil yang mereka miliki.

Orang-orang sipil yang dapat diinternir adalah:

a) Penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak yang bersengketa yang perlu diawasi dengan ketat demi kepentingan keamanan

b) Penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak yang bersengketa yang dengan sukarela menghendaki untuk diinternir, atau karena keadaannya menyebabkan ia diinternir

c) Penduduk sipil musuh dalam wilayah yang diduduki, apabila penguasa pendudukan menghendaki mereka perlu diinternir karena alasan mendesak d) Penduduk sipil yang telah melakukan pelanggaran hukum yang secara

khusus bertujuan untuk merugikan penguasa pendudukan

Selanjutnya, para interniran sipil ini tidak boleh ditempatkan di dalam daerah daerah yang sangat terancam bahaya perang. Bila kepentingan militer memerlukan, tempat interniran ini harus ditandai dengan huruf “IC” (TI= Tempat Interniran; IC= Internment Camps) atau sistem penandaan lainnya yang disepakati. Pengurusan para interniran, harus dilakukan oleh Negara Penahan, termasuk meliputi layaknya tempat interniran, harus dillakukan oleh Negara penahan, termasuk meliputi layaknya tempat interniran, makanan dan pakaian, kebersihan dan pengamatan kesehatan, serta kegiatan-kegiatan keagamaan. Setiap tempat interniran, harus ditempatkan dibawah kekuasaan seorang perwira yang


(24)

bertanggung jawab, yang dipilih dari anggota angkatan bersenjata tetap atau pemerintahan sipil biasa dari Negara penahan.

Para interniran sipil, walaupun dilindungi sepenuhnya oleh Konvensi Jenewa, tetap dijatuhi sanksi pidana dan sanksi disipliner. Yang penting, penjatuhan sanksi-sanksi tersebut harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di daerah yang diinternir tersebut.

Segera setelah permusuhan berakhir, interniran sipil harus dipulangkan kembali ke Negara asal mereka. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan melakukan tindakan-tindakan serupa selama berlangsungnya permusuhan antara pihak-pihak yang bersengketa.39

2. Perlindungan Khusus

Di samping perlindungan umum yang diberikan terhadap penduduk sipil dalam sengketa bersenjata diuraikan diatas, maka terdapat pula sekelompok penduduk sipil tertentu yang dapat menikmati perlindungan khusus. Mereka umumnya adalah penduduk sipil yang tergabung dalam suatu organisasi social yang melaksanakan tugas-tugas yang bersifat sosial untuk membantu penduduk sipil yang menjadi anggota Perhimpunan Palang Merah Nasional dan anggota Perhimpunan Penolong Sukarela lainnya, termasuk anggota Pertahanan Sipil.

Pada saat melaksanakan tugas-tugas yang bersifat social (sipil), biasanya mereka dilengkapi dengan sejumlah fasilitas (transportasi, bangunan-angunan khusus) maupun lambing-lambang khusus. Apabila sedang melaksanakan tugasnya, mereka harus dihormati (respected) dan dilindungi (protected) .


(25)

“Dihormati” berarti mereka harus dibiarkan untuk melaksanakan tugas-tugas social mereka pada waktu sengketa bersenjata, sedangkan pengertian “dilindungi” adalah bahwa mereka tidak boleh dijadikan sasaran serangan militer.40

a. Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 Sebagai Pelindung Bagi Penduduk Sipil Pada Saat Berperang

Konvensi Jenewa 1949 yang bertitel Convention for the Victims of War(Perlindungan bagi korban perang) dikenal juga dengan nama Konvensi-Konvensi Palang Merah (The ICRC Conventions). Penamaan lain Konvensi-Konvensi tersebut sebagai Konvensi-Konvensi Palang merah tidak terlepas dari besarnaa peranan yang telah dimainkan oleh Palang Merah Internasional dalam sejarah terjadinya Konvensi-Konvensi mengenai Perlindungan Korban Perang.misalnya seperti yang tercantum dalam pasal 9 Konvensi I mengenai kegiatan Humaniter komite Palang Merah pasal 10 Palang Merah sebagai organisasi pengganti bagi Negara pelindung (protecting power)

Konvensi mengenai Perlindungan Penduduk sipil di waktu Perang bukan merupakan penyempurnaan dari Konvensi-Konvensi yang telah ada, melainkan suatu konvensi-konvensi yang sama sekali baru, namun hal ini tidak berarti bahwa sebelumnya kedudukan dan hak penduduk sipil belum pernah diatur dalam hukum perang yang tertulis.

Peraturan Den Haag mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat dalam bab yang mengatur kependudukan, memuat 15 pasal yang memberikan perlindungan kepada penduduk sipil dalam daerah pendudukan.

Ketentuan-       40 Ibis, hal 176-177


(26)

Ketentuan inilah yang berlaku ketika Perang Dunia ke II terjadi, disamping asas hukum perang yang melarang penyerangan atas penduduk sipil yang tidak bersenjata, sebagai orang yang berdiri “diluar perang” . Pengalaman selama Perang Dunia ke II ini, baik di eropa maupun di Asia, menunjukkan betapa kurang sempurnanya ketentuan-ketentuan tersebut diatas sebagai perlindungan penduduk sipil terhadap tindakan sewenang-wenang dari pihak lawan.

Lagipula, perkembangan teknik persenjataan modern mengakibatkan bertambah sukarnya untuk mencegah penduduk sipil turut menjadi korban serangan musuh. Faktor ini dan Kenyataan bahwa Perang Modern merupakan perang yang total mengakibatkan bahwa perlindungan yang diberikan oleh hukum perang tradisional secara negatif dengan menempatkannya di luar perang, jelas tidak memadai lagi, kenyataan perang modern menunjukkan bahwa penduduk sipil tidak bisa lagi dianggap berdiri “diluar perang”. Mereka membutuhkan perlindungan yang lebih positif dari “netralisasi” dari perbuatan permusuhan belaka, yang hanya menghindarkan mereka dari serangan yang langsung.

Untuk sebagian perlindungan ini memang telah diberikan oleh Peraturan-Peraturan Den Haag tersebut, namun ketentuan-ketentuan ini jauh dari lengkap, karena hanya mengatur perliindungan penduduk sipil di walayah yang diduduki. Peraturan Den Haag tidak mengatur mengenai peraturan perlakuan dan perlindungan hak penduduk sipil musuh di wilayah pihak dalam sengketa sendiri, dan juga tidak memuat ketentuan-ketentuan mengenai perlakuan penduduk sipil yang diinternir.


(27)

Sebagai tindakan darurat, maka dalam Perang Dunia ke II atas usul Komite Internasional Palang Merah,I nterniran sipil di wilayah pihak yang berperang diiperlakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perlakuan Tawanan Perang yang sama sekali tidak diperluas pada perlakuan terhadap interniran sipil di wilayah yang diduduki 41. Kekurangan-kekurangan dalam ketentuan-ketentuan yang memberikan perlindungan kepada penduduk sipil di waktu perang ini telah menimbulkan banyak korban dan penderitaan terutama sebagai deportasi, penyanderaan dan penawanan di kamp-kamp konsentrasi.

Konvensi ini yang disusun berdasarkan pengalaman-pengalaman yang menyedihkan itu, bertujuan untuk menghindarkan berulangnya bencana tersebut di atas. Kenyataan bahwa Konvensi ini untuk sebagian mengatur hal yang sama dengan apa yang telah diatur oleh Peraturan Den Haag. Bahkan, mengandung beberapa ketentuan yang bersamaan,tidak berarti bahwa konvensi ini menggantikan ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan penduduk sipil dalam Peraturan Den Haag.

Ketentuan-Ketentuan Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai Perlindungan Penduduk Sipil di Waktu Perang merupakan tambahan dan Penyempurnaan dari Seksi II dan III Peraturan Den Haag mengenai hukum dan kebiasaan peperangan di Darat.42

Konvensi-konvensi Jenewa 1949 adalah konvensi pertama yang secara khusus mengatur tentang korban penduduk sipil selama peperangan, banyak

      

41 Commentary to the VIth Convention(selanjutnya disebut Commentary)p.5 42 Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi Jenewa Tahun 1949 Mengenai Perlindungan Korban Perang, Binatjipta, Bandung, 1968, hal. 75-76


(28)

ketentuan pasalnya berkaitan dengan akibat dan perlakuan buruk terhadap penduduk sipil yang berada di wilayah penguasa pendudukan, daripada pasal-pasal yang mengatur tentang aturan berperang. Konvensi ini menjawab tantangan timbulnya suatu trauma akibat pemboman yang dilakukan melalui udara (terjadi pada 1939 dan 1945), yang merupakan realitas buruk yang harus diterima akibat dibomnya kota berpenduduk padat. Hal ini mungkin merupakan suatu konsekuensi dari kegagalan Draft Rules on Air Warfare yang dirancang di Den Haag pada tahun 1923.

Penolakan terhadap Draft ini dan meletusnya Perang Dunia II, menggambarkan bahwa Negara-negara belum siap menerima larangan untuk menyerang dan menteror penduduk sipil musuh oleh karena itu, menurut Konvensi Jenewa, Orang-orang sipil biasa tetap harus mendapatkan perlindungan ketika peperangan sedang berlangsung. Hal ini dapat kita lihat antara lain dalam pasal 18 Konvensi Jenewa I dan Pasal 19 Konvensi Jenewa IV yang mengatur tentang perlindungan terhadap petugas sipil medis dan rohaniawan, dan perlindungan umum untuk melaksanakan tugas-tugas medis.

Walaupun Negara-negara secara umum mengakuii bahwa suatu serangan harus hanya ditunjuk kepada sasaran militer, namun tidak ada definisi yang dapat disetujui mengenai apa saja yang termasuk dalam sasaran-sasaran militer. Kenyataannya, selama Perang Dunia II dan selama sengketa-sengketa bersenjata yang terjadi setelah itu, setiap belligerent menentukan sendiri apa yang harus disetujui tentang sasaran-sasaran militer. Harus dicatat bahwa gagasan Negara-negara seringkali berbeda, tergantung dari sudut pandang mana mereka


(29)

melihatnya.. misalnya, ada Negara yang menyatakan suatu sasaran militer tergantung dari apakah suatu daerah itu wilayah mereka atau wilayah musuh, atau merupakan wilayah sekutu yang diduduki pihak musuh. Oleh karena itu, suatu definisi yang bersifat restriktif diperlukan apabila hendak membedakan kombatan dan penduduk sipil serta sasaran militer dan obyek sipil. Namun, definisi demikian belum terakomodasi dalam Konvensi Jenewa 1949.43

Seperti telah dikatakan pengertian “orang-orang yang dilindungi” dalam arti konvensi IV adalah lain sekali dengan pengertian “orang-orang yang dilindungi” dalam arti ketiga konvensi lainnya. Hal ini ditegaskan dalam kalimat terakhir dari Pasal 4,yang mengatakan bahwa orang-oranng yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa ke I,II,dan III tidak dapat dipandang sebagai “Orang yang dilindungi “ dalam arti Konvensi IV. Dengan perkataan lain,unsur pokok dari pengertian “orang yang dilindungi dalam arti Konvensi IV adalah bahwa ia itu adalah Penduduk Sipil .

Jika demikian, apakah seluruh penduduk sipil suatu Negara itu merupakan “orang-orang yang dilindungi”dalam arti Konvensi IV? Pasal 4 yang mengatur soal ini memuat batasan (definisi) sebagai berikut :

“Orang-orang yang dilindungi oleh konvensi adalah mereka yang dalam suatu sengketa bersenjata atau kejadian pendudukan pada suatu saat tertentu dan dengan cara bagaimanapun juga ada dalam tangan suatu pihak dalam sengketa atau kekuasaan pendudukan yang bukan Negara mereka”

      

43 Arlina Permanasari, Aji Wibowo, Fadillah Agus, Achmad Romsan, Supardan Mansyur, Michael G. Nainggolan, Op. Cit, hal 202-203


(30)

“Warga Negara suatu Negara yang tidak terikat oleh konvensi tidak dilindungi oleh konvensi.warga Negara suatu Negara netral yang ada di wilayah suatu Negara yang berperang serta warga Negara dari suatu Negara yang berperang,tidak akan dianggap sebagai orang-orang yang dilindungi,selama Negara mereka mempunyai perwakilan diplomatic biasa di Negara yang mengawasi mereka”

Secara mudah dapat dikatakan bahwa “orang-orang yang dilindungi menurut pasal 4 adalah penduduk sipil Negara dalam sengketa yang telah jatuh ke dalam kekuasaan musuh,atau apabila dilihat dari sudut pihak yang menguasai mereka “orang-orang yang dilindungi” dalam arti Konvensi IV adalah penduduk sipil musuh . karena selain di wilayahnya sendiri,suatu Negara dalam perang juga berkuasa di wilayah musuh yang diduduki oleh angkatan perangnya, dapat juga “orang-orang yang dilindungi” menurut Konvensi IV dirumuskan sebagai berikut:

1. warga Negara sipil musuh di wilayah Negara pihak dalam sengketa,dan 2. penduduk sipil di wilayah musuh yang diduduki,terkecuali

(a) warga Negara Negara pendudukan sendiri (b) warga Negara sekutu

(c) warga Negara Negara netral yang mempunyai hubungan diplomatik dengan pendudukan

(d) warga Negara Negara bukan peserta konvensi

Pengertian yang tepat tentang apa yang diartikan dengan orang-orang yang dilindungi menurut Konvensi Jenewa IV perlu kita miliki karena untuk mereka


(31)

itulah Konvensi ini telah disusun. Seluruh Konvensi Jenewa IV didasarkan atas pengertian orang-orang yang dilindungi tersebuut diatas, kecuali sebagian kecil yaitu Bagian II (Pasal 13 sampai dengaN 26) yang berlaku untuk seluruh penduudk wilayah yang dikuasai pihak dalam pertikaian.

Pembatasan penting terhadap hak-hak perlindungan diatas hak-hak perlindungan diatas yang diberikan Konvensi kepada orang-orang yang dilindungi tersebut diatur dalam Pasal 5. Pasal ini mengatakan bahwa penduduk sipil di wilayah pihak dalam pertikaian atas wlayah yang diduduki, yang melakukan atau dicurigai keras melakukan atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang merugikan keamanan Negara, kehilangan hak-haknya sebagai orang yang dilindungi dibawah konvensi ini. Termasuk di dalamnya orang-orang yang melakukan atau dicurigai melakukan pekerjaan mata-mata dan sabotase. Walaupun demikian, mereka tetap harus diperlakukan dengan perikemanusiaan dan apabila diadili, mereka berhak memperoleh jaminan-jaminan peradilan sebagaimana ditetapkan dalam konvensi ini. Karena hilangnya hak-hak sebagai orang-orang yang dilindungi merupakan sanksi yang berat, apalagi bagi orang yang hanya dicurigai keras, maka kalimat terakhir pasal 5 menetapkan bahwa mereka secepat-cepatnya akan diberi kembali hak-hak dibawah Konvensi ini apabila hal itu tidak bertenntangan dengan keselamatan Negara atau kekuasaan pendudukan.

Ketentuan diatas yang telah dimuat untuk menjaga kepentingan militer pihak-pihak dalam pertikaian, dapat dipahamkan karena tanpa pembatasan demikian hak-hak dan perlakuan istimewa, mudah disalahgunakan untuk tujuan-ujuan yang bertentangan dengan kepentingan militer pihak lawan. Akibat daripada


(32)

perang modern yang bersifat total adalah bahwa tidak saja perlindungan yang diberikan hukum perang harus diluaskan pada penduduk sipil, tetapi juga bahwa kepada pihak-pihak dalam pertikaian harus diberikan jaminan yang lebih banyak bahwa perlindungan demikian tidak akan disalahgunakan.44

B. Penduduk Sipil Yang Berhak Atas Status Tawanan Perang

Tawanan Perang menurut Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perlakuan Terhadap Tawanan Perang adalah orang-orang anggota angkatan bersenjata yang ditahan oleh pihak musuh (capture by the enemy) atau selengkapnya : all person belonging to the armed forces of the belligerents who are captured by the enemy in the course of operatins. Pendudukan oleh angkatan perang musuh tanpa perlawanan tidak tercakup dalam definisi di atas, yang menggunakan istiah “tawanan perang” dalam suatu pertempuran sebagai ukuran.

Pada Ketentuan Pasal 4A, pengertian tawanan perang menurut Konvensi Jenewa 1949 mengenai perlakuan Tawanan Perang adalah orang-orang yang termasuk salah satu golongan berikut, yang telah jatuh dalam kekuasaan musuh. Pasal ini menyatakan bahwa mereka berhak mendapatkan status sebagai tawanan perang adalah :

1. Para anggota angkatan perang dari suatu pihak dalam sengketa, begitupun anggota-anggota milisi atau barisan prajurit cadangan sukarela yang menjadi bagian dari angkatan perang demikian itu (Pasal 4 Konvensi III Paragraf B)


(33)

2. Anggota-anggota milisi serta anggota-anggota barisan prajurit cadangan sukarela lainnya, termasuk anggota-anggota gerakan-gerakan perlawanan yang diorganisir, yang tergolong pada suatu pihak dalam sengketa dan beroperasi di dalam suatu diluar wilayahnya sendiri, sekalipun itu diduduki, asal saja milisi atau barisan prajurit cadangan sukarela demikian, termasuk gerakan perlawanan yang diorganisir itu dan memenuhi syarat-syarat berikut (Pasal 4 Konvensi III Paragraf B sub Paragraf I)

a. Dipimpin oleh seseorang yang bertanggung jawab atas bawahannya b. Menggunakan tanda pengenal tetap yang dikenali dari jauh

c. Membawa senjata secara terbuka

d. Melakukan operasi mereka yang sesuai dengan hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang

3. Para anggota angkatan perang regular yang menyatakan kesetiannya pada suatu pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui oleh Negara penahan 4. Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa dengan sebenernya

menjadi anggota dari angkatan perang itu, seperti anggota sipil awak pesawat terbang atau dinas-dinas yang bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan perang, asal saja mereka telah mendapatkan pengesahan dari angkatan perang yang disertainya, yang harus melengkapi mereka dengan sebuah kartu pengenal

5. Anggota-anggota awak kapal niaga, termasuk nahkoda, pemandu laut dan taruna dan awak pesawat terbang sipil dari pihak-pihak dalam sengketa,


(34)

yang tidak mendapat perlakuan yang lebih menguntungkan menurut ketentuan-ketentuan lain apapun dalam hukum internasional

6. Para wartawan perang

7. Penduduk wilayah yang belum diduduki, yang tatkala musuh mendekat, atas kemauan sendirinya dan dengan serentak mengangkat senjata untuk melawan pasukan-pasukan yang menyerbu, tanpa mempunyai waktu untuk membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata yang teratur, asal saja mereka membawa senjata secara terang-terangan dan menghormati kebiasaan-kebiasaan perang.

Dari tujuh golongan tersebut diatas, yang termasuk ke dalam nomor 1, 2, 3 dan 7 termasuk dalam kategori kombatan, yang apabila tertangkap akan diperlakukan sebagai tawanan perang sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa 1949 sedangkan yang termasuk dalam nomor 4, 5 dan 6, walaupun termasuk dalam kategori penduduk sipil berhak untuk diperlakukan sebagai tawanan perang.

Ketujuh golongan diatas. Yang terdiri dari kombatan dan penduduk sipil, apabila jatuh ketangan musuh, maka berhak mendapat perlakuan sebagai tawanan perang harus dilindungi dan dihormati dalam segala keadaan.

Menurut Konvensi ini, kategori berikut juga diperlakukan sebagai tawanan perang, yaitu:

1. Orang yang tergolong, atau pernah tergolong dalam angkatan perang dari wilayah yang diduduki, apabila Negara yang menduduki wilayah itu memandang perlu untuk menginternir mereka karena kesetiaan itu,


(35)

walaupun Negara itu pada awalnya telah membebaskan mereka selagi permusuhan berlangsung diluar wilayah yang diduduki Negara itu, terutama jika orang-orang bergabung kembali dengan angkatan perang mereka yang terlibat dalam pertempuran, atau jika mereka tidak memenuhi panggilan yang ditujukan kepada mereka berkenaan dengan penginterniran 2. Orang-orang yang termasuk dalam salah satu golongan tersebut dalam

pasal ini, yang telah diterima oleh negara netral atau Negara-negara yang tidak turut berperang dalam wilayahnya, dan yang harus diinternir oleh Negara-negara itu menurut hukum internasional, tanpa mempengaruhi tiap perlakuan yang lebih baik yang mungkin diberikan kepada mereka oleh Negara-negara itu dan dengan penegcualian pasal 8, 10, 15, dan 30 paragraf kelima. Pasal 58-67, 126 dan apabila terdapat hubungan diplomatik antara pihak-pihak dalam sengketa yang ditaati oleh Negara-negara itu harus diperkenankan menyelenggarakan fungsi Negara pelindung terhadap mereka, sebagaimana ditentukan oleh Konvensi ini, tanpa mempengaruhi fungsi-fungsi yang biasa dijalankan oleh pihak-pihak itu sesuai dengan kebiasaan dan perjanjian-perjanjian diplomatik dan konsuler.

Berpegang pada pengertian tawanan perang tersebut, membuka kemungkinan bagi tentara pendukung yang melakukan penangkapan atas bekas anggota tentara yang diduduki berdasarkan pertimbangan-pertimbangan keamanan untuk menganggap dirinya tidak terikat untuk memperlakukan orang-orang yang demikian sebagai tawanan perang.


(36)

C. Tawanan Perang Menurut Konvensi III Jenewa 1949

Tawanan Perang diatur dalam Konvensi III Jenewa tentang Perlakuan terhadap Tawanan Perang (The Convention (III) Relative to the Treatment of Prisoners of War). Peraturan yang tertuang dalam Konvensi III ini “secara umum dipandang sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional, karena itu, konvensi ini mengikat semua negara termasuk negara-negara yang tidak menjadi pihak pada Konvensi ini”

Perlindungan terhadap tawanan perang sejalan dengan prinsip-prinsip fundamental mengenai perlindungan yang dianut oleh Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Prinsip-prinsip ini ditegaskan dalam pasal 12 konvensi I dan II, 16 Konvensi III, dan 27 Konvensi IV.

Penghormatan (respect) dan perlindungan (protection) adalah pengertian yang saling melengkapi. Penghormatan merupakan unsur pasif menunjuk suatu kewajiban untuk tidak membahayakan, tidak merentankan penderitaan dan tidak membunuh orang yang dilindungi. Perlindungan adalah unsur aktif berarti suatu kewajiban untuk menghindari dan mencegah bahaya, unsur ketiga mengenai perlakuan yang baik terkait dengan sikap segi-segi yang hendak mengatur perlakuan atas orang-orang yang dilindungi, sikap ini bertujuan untuk menjamin kepada orang-orang ini keberadaan nilai umat manusia-dan dengan pengakuan penuh keadaan keras keadaan mereka ini. Larangan diskriminasi menambahkan unsur esensial terakhir yang harus diperhatikan dalam penghormatan semua tiga unsur ini.


(37)

Selain tujuh golongan yang dapat memperoleh status tawanan perang yang telah disebutkan diatas, para anggota dinas kesehatan militer juga dapat dijadikan sebagai tawanan perang untuk merawat tawanan perang di pihak mereka atau dikembalikan ke pihak mereka sendiri. sedangkan dalam pasal 33 pendeta-pendeta selama ditahan oleh Negara penahan dengan maksud untuk membantu tawanan perang tidak akan dianggap sebagai tawanan perang, tetapi mereka sedikitnya harus menerima manfaat dan perlindungan dari konvensi ini. Selain dari orang-orang ini, jika tertangkap tidak diperlakukan sebagai tawanan perang tetapi mereka harus diperlakukan dengan baik. Mereka ini adalah (a) orang sipil yang ambil bagian dalam permusuhan selain a levee on masse , (b) tentara bayaran (mercenary) dan (d) mata-mata.

Para tawanan perang tetap dalam status mereka sebelum ditangkap sampai mereka dikembalikan ke negaranya, status ini tidak hilang selama penawanan mereka, baik karena tindakan otoritas yang bertanggung jawab atass penawanan mereka maupun karena perbuatan mereka sendiri. Orang-orang yang dilindungi tidak boleh menolak hak-hak yang diberikan kepada mereka berdasarkan Konvensi—Konvensi Jenewa.

Perlakuan terhadap tawanan perang dalam Konvensi III diatur dalam Pasal 21-48. Berikut ini adalah perlakuan terhadap para tawanan perang :

a. Para tawanan perang ketika tertangkap diwajibkan memberikan nama, pangkat militer, tanggal lahir dan nomor serialnya saja. Dalam keadaan apapun mereka tidak boleh dipaksa memberikan keterangan lebih jauh.


(38)

Juga berdasarkan konvensi ketiga, penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya dipandang sebagai kejahatan perang

b. Segera setelah penangkapan mereka, para tawanan perang berhak atas kartu penangkapan (captured card), yang selanjutnya dikirim melalui ICRC Central Agency kepada biro informasi resmi (official information bureau) di Negara para tawanan tersebut. Biro ini bertugas untuk memberikan informasi kepada keluarga tawanan. Dengan cara ini hubungan dengan rumah dan keluarga mereka segera dapat dibina kembali c. Para tawanan harus dipindahkan secepat mungkin keluar kawasan

berbahaya dan dibawa ke tempat aman, di tempat ini kondisi kehiduoan harus sama baiknya dengan kondisi kehidupan Negara penahan (Detaining Power) yang tinggal sementara di kawasan yang sama. Baik kapal maupun tawanan perang misalnya, tiidak diharuskan memenuhi persyaratan ini. d. Sedapat mungkin kondisi penangkapan mempertimbangkan kebiasaan

para tawanan

e. Para tawanan perang yang sehat boleh diharuskan bekerja, tetapi hanya boleh dipekerjakan ditempat berbahaya jika mereka menyetujuinya secara sukarela. Pembersihan ranjau dianggap sebagai pekerjaan berbahaya. Sekalipun penggunaan tawanan perang yang sudah terlatih untuk membersihkan ranjau mungkin tepat khususnya jika mereka memiliki pengetahuan pribadi tentang tempat ranjau. Ini juga dapat dilakukan hanya dengan persetujuan bebas para tawanan ini.


(39)

f. Para tawanan perang berhak berkirim surat dengan keluarga mereka (surat dan kartu biasanya dikirim melalui ICRC Central Agency). Mereka juga berhak menerima bantuan berupa parsel perorangan.

g. Seorang tawanan perang harus mematuhi hukum Negara dari Negara penahan, khususnya peraturan perundangan yang berlaku bagi angkatan bersenjata. Jika ia melakukan pelanggaran, pengadilan atau tindakan disipliner dapat diambil terhadapnya.

h. Para tawanan perang yang dituntut berhak atas peradilan yang benar, dan jika dihukum tetap pada status hukum mereka sebagai tawanan perang. Namun pemulangan mereka dapat ditangguhkan sampai mereka menyelesaikan hukuman mereka.

i. Tindakan pembalasan kepada tawanan dilarang tanpa kecuali

Dalam hal terjadi pertukaran antar tawanan perang, tidak selalu didasarkan pada jumlah yang sama dari tawanan yang akan dipulangkan, tetapi biasanya didasarkan atas pertimbangan terhadap mereka yang mengalami penderitaan khusus.

Pemulangan atau pelepasan penuh tawanan perang juga dapat dilakukan dengan cara bersyarat atau dengan suatu perjanjian. Berdasarkan persyaratan atau perjanjian tersebut, tawanan perang yang dilepaskan berjanji untuk tidak ikut ambil bagian lagi secara aktif dalam pertempuran. Namun, karena persyaratan demikian, maka pelepasan dengan syarat atau perjanjian jarang sekali terjadi.


(40)

Berdasarkan Pasal 118 Konvensi III, semua tawanan perang harus dipulangkan ke Negara asalnya. Berkenaan dengan hal tersebut, timbul suatu masalah, yaitu apabila para tawanan perang itu sendiri tidak mau untuk dipulangkan.

Berkaitan dengan pemulangan tawanan perang, dalam pasal 109-111 Konvensi III diatur hal-hal sebagai berikut:

1. Segera setelah mampu berjalan, tawanan yang luka dan sakit parah harus langsung dikembalikan tanpa penangguhan. Suatu komite kesehatan bersama (mixed medical committe) akan memutuskan siapa-siapa yang akan dipulangkan.

2. Setelah peperangan berakhir, semua tawanan harus dibebaskan dan dipulangkan tanpa ada penundaan.

3. Tanpa menunggu berakhirnya perang, para pihak yang bersengketa hendaknya memulangkan para tawanan atas dasar kemanusiaan dan sedapat mungkin bersifat timbal balik, yaitu dengan cara melakukan pertukaran tawanan perang secara langsung ataupun melalui Negara ketiga yang netral.

Sebagai contoh, dalam perang Korea, para tawanan Korea Utara enggan pulang ke negaranya. Dalam hal ini, PBB memutuskan bahwa tidak seorangpun tawanan perang yang dapat dipaksa untuk dikembalikan ke Negara asalnya, jika mereka tidak menghendakinya.


(41)

Namun hal ini harus diputuskan dengan sangat hati-hati. sebab jika tawanan perang diperbolehkan memutuskan sendiri untuk pulang dan tidak, ada kemungkinan Negara penahan akan menegaskan haknya untuk membuat putusan mengenai pemulangan para tawanan perang tersebut, sehingga suatu Negara dapat saja menekan para tawanan perang tersebut untuk tinggal. Untuk menghindari kemungkinan tersebut, maka suatu organsisasi kemanusiaan yang bersifat netral dapat melakukan jasa-jsanya berkenaan dengan pemulangan para tawanan perang.

Setelah peperangan berakhir, para pihak yang bersengketa juga harus melakukan segala tindakan yang dimungkinkan untuk mencari dan mengumpulkan orang-orang yang luka dan sakit. Kondisi mereka dicatat dan secepatnya diberikan kepada biro penerbangan, sebagaimana tercantuum dalam Pasal 122 Konvensi III. Ketentuan tersebut harus meliputi nama Negara asal nomor anggota, nama lengkap dan nama kecil, tanggal lahir, serta tanggal dan tempat penangkapan.

Di samping orang-orang yang luka atau sakit, maka pihak yang bersengketa juga harus melakukan semua tindakan untuk mencari dan mengidentifikasi orang-orang yang telah meninggal dunia. Wasiat dan barang-barang si korban harus dikumpulkan. Pemakaman mereka harus dijamin. Pembakaran mayat hanya dimungkinkan karena alasan kesehatan atau karena ajaran agama si korban. Makam mereka harus didaftarkan, ditandai dan dijaga oleh Layanan Pendaftaran Makam Resmi (official graves registration services), yang dikelola oleh pihak yang bersengketa.


(42)

Selain peranan Komite Palang Merah dalam pengawasan atas pelaksanaan Konvensi Jenewa, perhimpunan-perhimpunan penolong dan perhimpunan kemanusiaan lainnya dapat memberikan bantuan yang besar dalam meringankan penderitaan tawanan perang. Hal ini terbukti dengan nyata sekali, tidak hanya saat Perang Dunia II, tetapi dalam setiap pertikaian bersenjata yang terjadi setelah perang dunia tersebut.


(43)

A. Ruang Lingkup Profesi Wartawan

Wartawan atau Jurnalis adalah seseorang yang melakukan tugas jurnalisme, yaitu orang yang secara teratur menuliskan berita berupa laporan dan tulisannya dikirimkan atau dimuat di media massa secara teratur. Laporan ini lalu dapat dipublikasi dalam media massa seperti Koran, televisi, radio, majalah, film, dokumentasi, dan internet.wartawan mencari sumber mereka untuk ditulis dalam laporannya dan mereka diharapkan untuk menulis laporan yang paling objektif tidak memiliki pandangan dari sudut tertentu untuk melayani masyarakat45.

Istilah Jurnalis baru muncul di Indonesia setelah masuknya pengaruh ilmu komunikasi yang cenderung berkiblat ke Amerika Serikat. Jurnalis adalah profesi atau penamaan seseorang yang pekerjaannya berhubungan dengan isi media massa. Jurnalis meliputi juga kolumnis, penulis lepas, fotografer, dan desain grafis editorial. Akan tetapi pada kenyataan referensi penggunaannya, istilah jurnalis lebih mengacu pada definisi wartawan.

Sementara itu wartawan, dalam pendefinisian persatuan wartawan Indonesia, yaitu berhubungan dengan kegiatan tulis menulis yang diantaranya mencari data (riset ,liputan, verifikasi) untuk melengkapi laporannya. Wartawan dituntut untuk objektif, hal ini berbeda dengan penulis kolom yang bisa mengemukakan subjektifitasnya. Wartawan identik dengan berita, surat kabar,

      


(44)

atau televisi. Wartawan dituntut untuk memberikan informasi akurat kepada masyarakat pembaca dan pemirsa, dengan memenuhi kaidah-kaidah Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Di Indonesia wartawan untuk melaksanakan tugasnya sesuai Kode Etik Jurnalistik, sedangkan dalam pelaksanaan tugas, wartawan dilindungi oleh Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Sehingga dalam melaksanakan tugas wartawan sangat tahu rambu-rambu yang dilarang dan yang diperbolehkan, sehingga dalam penyajian suatu berita atau liputan masyarakat tidak ada yang merasa dirugikan oleh berita tersebut.

Organisasi wartawan di Indonesia adalah Persatuan Wartawan Indonesia yang biasa disingkat PWI merupakan organisasi wartawan pertama di Indonesia sebagai organisasi profesi, PWI didirikan pada 9 Februari 1946 di Solo. Munculnya PWI diwarnai aspirasi perjuangan para pejuang kemerdekaan. Baik mereka yang ada di era 1908, 1929, maupun klimaksnya 1945. Sebelum lahirnya PWI dibentuk sebuah panitia persiapan pada awal januari 1946, sebagai organisasi profesi, PWI menjadi wahana perjuangan bersama para wartawan. Organisasi PWI lahir mendahului SPS( Serikat Penerbit Suratkabar) . Aspirasi perjuangan kewartawanan Indonesia yang melahirkan SPS, empat bulan kemudian yakni pada Juni 1946.

Wartawan memegang peranan penting dalam menjamin terpenuhnya hak untuk memperoleh informasi, terutama pada saat terjadi konflik bersenjata. Wartawan merupakan salah satu dari sedikit pihak yang dapat berada di willayah konflik, mengumpulkan informasi mengenai peristiwa yang sedang terjadi dan


(45)

menyampaikannya kepada publik, sehingga publik dapat mengetahui perkembangan terbaru dari konflik bersenjata yang sedang berlangsung. Namun dalam melaksanakan tugasnya seringkali berhadapan dengan situasi-situasi yang berbahaya dan penuh resiko.

Dalam situasi konflik wartawan memiliki akses untuk mencari informasi langsung dari tempat kejadian dan menyampaikannya ke publik. Walaupun kebebasan untuk melakukan tugas profesi di wilayah konfllik merupakan hak dari wartawan, namun dalam menjalankan ttugas profesinya harus menaati batasan-batasan tertentu. Batasan-batasan-batasan ini umumnya didasarkan pada kepentingan Negara yang berkaitan dengan pertimbangan keamanan atau kepentingan atau kepentingan individu tertentu yang terkait, yang mmungkin dirugikan apabila diumumkan ke publik. Selain itu, wartawan dalam menjalankan tugas profesinya juga harus berdasarkan ketentuuan hukum nasionalnya masing-masing.

Meningkatnya serangan yang ditujukan kepada wartawan di daerah konflik bersenjata selama satu dekade terakhir merupakan alasan yang paling signifikan yang menjadikan perlindungan terhadap wartawan sebagai permasalahan yang krusial.. keselamatan wartawan menjadi suatu prioritas baru bagi lembaga-lembaga berita. Berbagai lembaga berita terutama di Eropa dan Amerika Serikat mempersiapkan rompi anti peluru bagi wartawan mereka yang bertugas di wilayah konflik bersenjata.

Usaha lain yang dilakukan oleh lembaga-lembaga berita untuk melindungi wartawannya adalah dengan mengirimkan wartawan untuk mengikuti pelatihan khusus yang pada umumnya diselenggarakan oleh anggota militer, dengan


(46)

demikian wartawan dapat mempersiapkan diri dalam menghadapi bahaya-bahaya yang muncul dalam situasi konflik bersenjata.

Sejak tahun 1960-an pemikiran untuk memberikan perlindungan terhadap wartawan yang melakukan tugas di medan perang (konflik bersenjata) menjadi program dari banyak organisasi kewartawanan. Penyebabnya adalah karena banyak wartawan yang hilang dan mati pada perang korea, demikian pula pada waktu perang Vietnam. Organisasi-organisasi wartawan yang terpecah dua karena pengaruh perang dingin, bersatu di dalam masalah memintakan perlindungan bagi wartawan yang bertugas di daerah berbahaya, khususnya daerah dimana terjadi konflik bersenjata. Baik IOJ (International Organisation of Journalist)

dipengaruhi komunis bermarkas di Praha), maupun IFJ (International Federation of Journalist), dipengaruhi kubu Barat dan bermarkas di Brussel) kedua-keduanya sepakat untuk memintakan perlindungan bagi wartawan.46

Bahkan organisasi dalam tingkat pemimpin redaksi dan pemimpin usaha seperti IPI (International Press Institute) dan FIEJ (Federation Internationale Lediteur de Journalist) juga memberikan banyak sekali perhatian. Usaha-usaha itu dapat mengangkat masalahnya ke tingkat perserikata bangsa-bangsa sehingga dalam Sidang Umum PBB tahun 1972 disepakati bahwa masalah konvensi perlindungan bagi wartawan yang meliput daerah dimana terjadi Konflik meneruskan kepada Kompetensi Diplomatik yang akan membicarakan penegasan dan pengembangan Hukum Humaniter Internasional yang bersangkutan dengan Konflik Bersenjata.


(47)

Sidang Umum PBB menyatakan pendapatnya bahwa sangatlah diharapkan untuk dapat dirumuskan suatu konvensi yang memberikan perlindungan kepada wartawan yang melakukan tugas berbahaya di daerah dimana terjadi konflik bersenjata. Sejak itu masalah perlindungan kepada wartawan yang melakukan tugas berbahaya di daerah dimana terjadi konflik bersenjata menjadi isu yang dibicarakan oleh UNESCO. UNESCO mensponsori banyak sekali pertemuan internasional dan regional, diantara sesama pesatuan wartawan, untuk dapat merumuskan protocol Konvensi. Rumusan-rumusan itu kemudian dibicarakan bersama dengan Palang Merah Sedunia, sehingga akhirnya disepakati rumusan-rumusan perlindungan dalam Konvensi Jenewa mengenai orang sipil dan wartawan.

B. Perlindungan Terhadap Wartawan yang Bertugas di wilayah Konflik Menurut Konvensi IV Jenewa 1949

Pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa 1949 telah terjadi di wilayah konflik, mungkin pihak yang bersengketa tidak mengetahui peraturan yang terdapat pada Konvensi dan Protokol Tambahan 1977 atau memang sengaja melakukan pelanggaran tersebut. Tidak sedikit wartawan yang menjadi korban di wilayah konflik bersenjata, yang dapat kita lihat dalam kasus-kasus dibawah ini:

1. Diculik (Abducted)

Wartawan lepas Jepang, Junpei Yasuda (41) menghilang sejak Juli 2015 di Syria, keberadaannya di Syria untuk mengusut dan membuat cerita mengenai pembunuhan Kenji Goto wartawan lepas jepang yang dibunuh ISIS. Kelompok


(48)

Al-Nusra di Syria mengaku menahannya dan telah menghitung mundur. Apabila tidak dibayar permintaan kelompok tersebut, Yasuda akan dibunuh atau dijual kepada kelompok teroris lain.47

2. Dipenjara (Imprisoned)

Akram Buni seorang wartawan dan Penulis yang berusia 58 tahun ditangkap oleh Pasukan Keamanan Suriah pada 22 Februari 2014 di Damaskus. Sebelumnya dia telah dipenjara pada periode 2007-2010 karena menandatangani Deklarasi Damaskus yang menuntut perubahan demokratis di Syria. dua hari setelah penangkapannya, dia dibebaskan.48

3. Dibunuh (Killed)

Koresponden Al Jazeera Mahran Al Deeri tewas saat meliput pertempuran di Kota Al-Sheikh. Ia meninggal pada Rabu, 10 Desember 2014 saat kendaraan liputannya dengan sengaja diterjang peluru oleh para pemberontak, ia hanya salah satu dari begitu banyak wartawan yang meninggal tiap tahunnya akibat meliput berita langsung di wilayah konflik.

Selain kasus diatas, ISIS juga bertanggung jawab atas segala kasus penyiksaan serta pembunuhan wartawan yang terjadi di Syria, contohnya Kasus Kenji Goto yang memasuki wilayah Syria untuk menyelamatkan Tawanan jepang Haruna Yukawa, di dalam video tertanggal 30 Januari 2015 dengan jelas menunjukkan bahwa kenji telah dipenggal. Sebelumnya di tanggal 24 Januari 2014 ISIS mengeluarkan rekaman suara kenji yang menyatakan bahwa ia akan

      


(49)

diampuni apabila nyawanya juga ditukar dengan Sajida Mubarak Atrous al-Rishawi yang ditahan pemerintah Jordania karena terlibat dalam Pemboman Amman 2015. Sajida diketahui masih berhubungan saudara denngan Anggota ISIS.49. Wartawan Amerika Serikat juga tidak lepas dari kekejaman ini , James

Foley Jurnalis asal Amerika serikat yang menjadi koresponden saat terjadi Perang Sipil di Syria ,diculik pada 22 November 2012, nasibnya berujung pada pemenggalan dirinya pada tahun 2014 di bulan Agustus sebagai respon terhadap Serangan Udara Amerika di Irak, ia menjadi warga Negara Amerika Serikat Pertama yang dibunuh oleh ISIS. Teror ISIS tidak berhenti di situ dengan adanya Kasus Steven Sotloff yang bekerja di majalah TIME yang dipenggal dalam sebuah video yang dirilis oleh ISIS sebelumnya ia diculik di Syria Akhir tahun 2013 di dalam video tersebut Steven membacakan pesan yang dibuat oleh ISIS untuk presiden Obama untuk tidak lagi mencampuri urusan ISIS dan sebagai pembalasan atas serangan udara AS.

Mengapa perlindungan terhadap wartawan yang berada dalam wilayah konflik bersenjata menjadi suatu permasalahan yang penting? Pertama, karena besarnya ketertarikan publik terhadap perkembangan dari suatu konflik yang sedang berlangsung. Kedua, pada saat wartawan melakukan tugas profesinya di wilayah konflik bersenjata, wartawan dihadapkan pada situasi yang berbahaya, yang melebihi tingkat bahaya yang dihadapi penduduk sipil.

Hukum humaniter Internasional tidak mengatur mengenai legalitas kegiatan-kegiatan jurnalistik pada saat perang atau konflik bersenjata Hukum

      


(50)

Humaniter Internasional tepatnya pasal 79 Protokol Tambahan Konvensi I Jenewa 1977, wartawan yang berada di wilayah bersenjata diperlakukan sama dengan pihak sipil. Oleh karena itu, perlindungan yang diberikan terhadap watawan sama dengan perlindungan yang diberikan kepada penduduk sipil yang berada dalam wilayah konflik bersenjata. Serangan yang ditujukan terhadap wartawan maupun pekerja medis lainnya dianggap sebagai pelanggaran terhadap Hukum Humaniter Internasional. Hal ini diatur dalam Kententuan Pasal 79 Protocol Additional I

(Protokol Tambahan I):

Measures or Protection for Journalist

1. Journalist engaged in dangerous professional mission in areas of armed conflict shall be considerer as civilian..

2. They shall be protected as such under the Convention and this Protocol, Provided that they take no action adversely affecting their status as civilian,and..

Yang berarti :

1. Wartawan yang melakukan tugas-tugas pekerjanya yang berbahaya di daerah-daerah pertikaian bersenjata harus dianggap sebagai orang sipil di dalam pengertian pasal 50 ayat 1

2. Mereka ini harus dilindungi sedemikian rupa dibawah Konvensi dan Protokol ini, dengan ketentuan mereka tidak melakukan tindakan yang dapat mengubah status mereka sebagai penduduk sipil.


(51)

Dengan demikian walaupun terhadap wartawan serta perlengkapannya tidak diberikan status khusus, namun mereka menikmati perlindungan yang secara umum diterima oleh pihak maupun objek sipil, sepanjang mereka tidak melakukan kontribusi terhadap kegiatan militer, wartawan termasuk pula pihak media tidak dapat dijadikan sebagai sasaran militer resmi, walaupun mereka digunakan untuk propaganda. Pengecualian diberikaan kepada wartawan maupun pihak media yang secara jelas terbukti melakukan upaya penghasutan untuk melakukan pelanggaran Hukum Humaniter Internasional atau melakukan kekerasan maupun kejahatan genosida.

Perlindungan yang diberikan terhadap warga sipil menurut Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977 pasal 51 yaitu adalah sebagai berikut :

Ayat 1: “Penduduk sipil dan orang-orang sipil perorangan harus menikmati perlindungan umum terhadap bahaya-bahaya yang timbul dari operasi-operasi militer”..

Ayat 2: “Dengan demikian penduduk sipil maupun perorangan-perorangan sipil tidak boleh menjadi sasaran serangan. Tindakan-tindakan atau ancaman-ancaman kekerasa yang tujuan utamanya adalah menyebarkan terror di kalangan penduduk sipil adalah dilarang”

Ayat 3: “Orang-orang sipil harus menikmati perlindungan yang diberikan oleh seksi ini, kecuali dan selama mereka ikut serta langsung dalam peperangan.


(52)

Ayat 4: “Serangan-serangan embabi buta adalah dilarang, serangan-serangan membabi buta adalah dilarang, serangan-serangan-serangan-serangan membabi buta itu adalah:

a. Serangan-serangan yang tidak ditujukan terhadap sasaran khusus militer

b. Serangan-serangan yang mempergunakan suatu cara atau alat-alat tempat yang tidak dapat ditujukan terhadap sasaran khusus militer. c. Serangan-serangan yang mempergunakan suatu cara atau alat-alat

tempur yang akibat-akibatnya tidak dibatasi sebagai dituntut oleh protocol ini

Dan karena itu, dalam tiap hal tersebut, serangan-serangan seperti itu pada hakekatnya adalah penyerangan tanpa membeda-bedakan sasaran militer dengan orang-orang sipil dan objek-objek sipil.50

Menurut Konvensi Jenewa IV 1949 Pasal 3, tindakan-tindakan yang dilarang dan tetap akan dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang sipil pada waktu dan tempat apapun juga adalah sebagai berikut:

a. Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan,pengudungan,perlakuan kejam dan penganiayaan

b. Penyanderaan

c. Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang enghina dan merendahkan martabat


(53)

d. Menghukum dan menjalankan hukuman mati, tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh salah satu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab

Jadi perlindungan yang diperoleh oleh para wartawan yang sedang melakukan tugas profesionalnya sama dengan perlindungan yang diberikan oleh Konvensi Jenewa 1949 teradap warga sipil. Mengenai wartawan yang berada di wilayah konflik juga diperkuat dengan adanya Resolusi Dewan Keamanan PBB resolusi No.1738 yang menegaskan bahwa: “para professional pers yang bekerja di daerah konflik bersenjata akan dipertimbangkan (sebagai) warga sipil, serta hharus dihormati dan dilindungi karenanya51

Pasal 79 Protokol Tambahan I tahun 1977 berisikan mengenai tindakan-tindakan perlindungan bagi wartawan:

1. Wartawan yang melakukan tugas-tugas pekerjaannya yang berbahaya di daerah-daerah pertikaian bersenjata harus dianggap sebagai orang sipil di dalam pengertian pasal 50 ayat 1

2. Mereka ini harus dilindungi sedemikian rupa dibawah Konvensi ini dan Protokol ini, asalkan saja mereka tidak mengambil tindakan yang mempengaruhi secara merugikan kedudukan mereka sebagai orang-orang sipil, dan tanpa mengurangi hak mereka sebagai wartawan yang ditugaskan pada Angkatan Perang dengan kedudukan seperti yang diterapkan dalam Pasal 4a(4) dari Konvensi Ketiga

      

51 Dikutip dari http://en.wikisource.org/wiki/United_Nations_Security


(54)

3. Mereka ini boleh mempergunakan kartu pengenal yang sama dengan model kartu pengenal dalam lampiran II dari protocol ini. Kartu ini, yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah dari Negara,, darimana wartawan itu adalah warganegaranya atau yang di wilayahnya ia bertempat tinggal atau dimana alat pemberitaan yang mengerjakannya berada, harus menyatakan sebenarnya kedudukannya sebagai wartawan.

Secara khusus memang belum ditemukan bentuk-bentuk perlindungan kepada wartawan yang bertugas di wilayah konflik, hanya saja secara umum dalam wilayah konflik status wartawan sama dengan perlindungan yang diberikan kepada penduduk sipil(civilian). jadi perlindungan yang diberikan kepada wartawan sama degan perlindungan yang diberikan kepada penduduk sipil.52

Perlindungan secara khusus terhadap wartawan dilakukan atas inisiatif Negara asal wartawan saja, sebagai contoh yang dilakukan oleh Amerika dan Inggris, mereka mengadakan pelatihan singkat kepada wartawan sebelum dikirim untuk melakukan peliputan di wilayah konflik.

Beberapa contoh perusahaan yang menyelenggarakan pelatihan bagi wartawan dalam rangka meningkatkan keselamatan wartawan :

1. AKE Ltd. (Awareness, Knowledge and Excellence), merupakan pelatihan khusus yang diselenggarakan oleh mantan anggota militer Inggris termasuk pasukan khusus inggris. Perusahaan ini menawarkan

      

52 Dikutip dari http://www.cpj.org/Briefings/2003/safety/journo_safe_guide.pdf, diakses pada 7 Maret 2016


(55)

berbagai program pelatihan, termasuk diantaranya program pelatihan khusus wartawan

2. Safehouse Training Inc, diselenggarakan oleh mantan anggota Pasukan Khusus bersenjata Amerika Serikat. Perusahaan ini berada di California dan mulai menawarkan kursus khusus yang ditujukan bagi wartawan pada tahun 2002

3. Bruhn New Tech Group, diselenggarakan oleh mantan anggota Angkatan Udara Kerajaan Inggris, Bruhn menawarkan proram pelatihan mengenai bio-kimia yang ditujukan bagi wartawan di Inggris, Amerika Serikat, Denmark dan Negara lainnya.

Selain dari tiga perusahaan di atas, ada perusahaan lain yang menawarkan pelatihan khusus bagi wartawan, seperti Centurion Risk Assesment Service Ltd, Objective Team Ltd, Pilgrims Group, Praetorian International and Travel Advisory Group Inc, Point Blank Armor, Bullet Proof Me53

Upaya-upaya untuk memberikan perlindungan terhadap wartawan yang lebih baik lagi bagi wartawan memperoleh hasil saat adopsinya ketentuan dalam pasal 79 Protokol Tambahan I tahun 1977 mengenai konflik bersenjata internasional. Pasal 79 Protokol Tambahan I memberikan perlindungan terhada wartawan yang melakukan misi professional yang berada di wilayah konflik bersenjata dianggap sama dengan pihak sipil dan memperoleh perlindungan sebagaimana pihak sipil dilindungi.

      


(56)

Baik Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahannya tidak memberikan definisi wartawan, wartawan hanya diartikan secara umum. Wartawan di dalam konvensi dan protocol tambahan adalah orang yang bekerja di pers dan media lainnya. Namun definisi wartawan dapat ditemukan dalam draft pasal 2(a) Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan terhadap Wartawan dalam Misi-misi Berbahaya di wilayah Konflik Bersenjata, yaitu “…setiap koresponden, fotografer, dan ahli teknis film, radio, dan asisten televise yang umumnya terlibat dalam kegiatan-kegiatan bersangkutan sebagai pekerjaan utama mereka…”

Berdasakan Pasal 79 Protokol Tambahan I (selanjutnya disebut PT I) yang melakukan misi-misi professional berbahaya di wilayah konflik bersenjata adalah sebagai misi-misi professional berbahaya di wilayah konflik bersenjata adalah sebagai warga sipil sebagaimana diatur dalam pasal 50 (1). Dengan demikian wartawan tersebut memperoleh seluruh perlindungan sebagaimana yang diberikan oleh Hukum Humaniter Internasional terhadap penduduk sipil. Wartawan dalam hal ini berarti dalam keadaan apapun tidak dapat dijadikan sebagai target militer atau ancaman kekerasan dalam bentuk apapun. Wartawan tidak boleh dijadikan target serangan balasan atau dijadikan sandera. Barang kepemilikan wartawan juga dilindungi dalam pasal 52 PT I,yaitu:

1.Civilian objects shall not be the object of attack or reprisals. Civilian objects are all objects which are not military objectives as defined in paraghraph 2.


(1)

ABSTRACTION Prof Sulaiman Hamid, SH *) Makdin Munthe, SH, M. Hum **)

Oppie Chairani Lubis ***)

Armed conflict or war in any form will certainly always brought suffering and loss of both material and immaterial. And most bear the pain of it is the civilian population. , Journalists grouped within the category of the civilian population are required to be the one to provide information about the situation significantly despite the dangers that follow are enormous.

The protection given to journalists who are in conflict or war is the given status as civilians are regulated under the 1949 Geneva Convention, the provision of enhanced protection against a war reporter in one of the convention's protocol, namely in Article 79 additional protocol I- 1977.

To be treated as a civilian, the journalist demanded to be neutral and show no partisan attitude, and as proof of their status, it must be aimed at the identity card as defined in Annex II of Additional Protocol I-1977. As for violence, rape, as well as a deliberate attack to cause injury or death of a journalist committed by the warring parties is a severe violation (Grave Breaches) to the 1949 Geneva Conventions and Additional Protocol I-1977 and therefore a war crime. Attacks against journalists are always occurs annually and is increasing even though the protection is set.

This is obviously because there disobedience by those involved in the war or do not understand the status and position of journalists who had clearly protected. The international community including international organizations or international journalists organizations are expected to do their best to prevent actions detrimental to journalists because of attacks on journalists are a threat to peace, freedom of expression and the welfare of all countries in the world.

Keywords: Protection, Journalist, Journalist Protection, State Conflict, Humanitarian Law

* Supervisor I * Supervisor II


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan jasmani dan rohani, kesabaran dan ketabahan sekaligus rahmat dan ridhonya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARTAWAN YANG BERTUGAS DI WILAYAH KONFLIK DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi tugas dan memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Secara khusus saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya terhadap orangtua saya, Kompol Chairul Anwar Lubis dan Fatimah Reni yang selalu mendoakan memberikan cinta dan kasih sayang, kesabaran, perhatian, bantuan, dan pengorbanan yang tak ternilai sehingga saya dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan formal hingga Strata Satu (S1)

Dalam proses penyusunan skripsi ini saya juga mendapat banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sebagai penghargaan dan ucapan terimakasih terhadap semua dukungan, doa, dan bantuan yang telah diberikan, saya menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung S.H, M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(3)

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H. M.Hum. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Syafruddin Hasibuan S.H, M.H, DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Bapak OK Saidin, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Bapak Boy Laksamana, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik

6. Ibu Dr. Chairul Bariah, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Internasioanal

7. Bapak Prof Sulaiman, SH selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Makdin Munthe, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II, Terimakasih atas waktu dan bimbingan yang telah bapak berikan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sebagaimana semestinya

8. Seluruh Dosen dan pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

9. Keluarga besar penulis yang selalu memberikan perhatian dan semangat tidak hanya dalam menyelesaikan skripsi namun juga untuk berbagai hal di hidup saya, terutama ayah dan mama serta adik- adik saya Rizki Odrian Lubis dan Andine Fahira Lubis yang selalu membuat tertawa.

10. Sugar teman-teman kesayangan penulis dari dulu hingga sekarang yang selalu ada baik sedih maupun senang, semoga tidak pernah lupa dengan penulis, Astri Khairisa, Evi Veronika, Putri Yaumil, Kania Giwangkara,


(4)

11. Trymay Sarah, Puteri Mentari, Wina Sabrina dan Puteri Syafura Terimakasih atas semangat dan bantuannya.

12. Bang Dearma Sinaga, SH, MH sebagai sosok yang selalu mendukung, membantu, memberikan semangat, serta memberikan kesabaran ketika penulis merasa kesulitan.

13. Dara-dara kesayangan penulis , Sherly Siregar, Nazla Adila, Sabrina, Faisal Anshari yang telah mengajarkan sebuah persahabatan yang luar biasa, segala masalah dan kesenangan selalu dihadapi bersama, terimakasih telah mengajarkan kemandirian dan keberanian yang selama ini belum ada di diri penulis.

14. Sahabat-sahabat penulis Aidilla Maghfirah , Nazli Aulia, Lia Fadliani, Aulia Jihan, Indah Dewi, Ray Nabawi, dan semua sahabat yang telah membantu yang tidak dapat saya tuliskan satu persatu.

15. ILSA( International Law Student Association) Fakultas Hukum USU Penulis sadar bahwa hasil penulisan skripsi ini tidaklah sempurna. Penulis berharap pada semua pihak agar dapat memberikan kritik dan saran yang membangun untuk kedepannya. Akhirnya, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dan jasa semua pihak yang telah membantu penulis secara tulus dan ikhlas. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Medan, Maret 2016 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat ... 10

D. Keaslian Penulisan ... 11

E. Tinjauan Kepustakaan ... 12

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM HUMANITER .. 18

A. Pengertian Hukum Humaniter Internasional ... 18

B. Prinsip, Asas, dan Sumber Hukum Humaniter Internasional ... 28

C. Hubungan Antara Hukum Humaniter Dengan Hak Asasi Manusia44 BAB III STATUSDAN KEDUDUKAN WARTAWAN ... 53

A. Penduduk Sipil Menurut Konvensi Jenewa ... 53

B. Penduduk Sipil Yang Berhak Atas Tawanan Perang ... 82


(6)

BAB IV PERLINDUNGAN BAGI WARTAWAN BERTUGAS DI

WILAYAH KONFLIK ... 93

A. Ruang Lingkup Profesi Wartawan ... 93

B. Perlindungan Terhadap Wartawan Yang Berada Di Wilayah Konflik Menurut Konvensi IV Jenewa 1949 ... 97

C. Peran Serta Organisasi Internasional Dalam Hal Perlindungan Wartawan Yang Berada Di Wilayah Konflik ... 109

1. Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) ... 109

2. International Comitee Of Red Cross ... 112

3. The World Press Freedom Comitee ... 114

BAB V PENUTUP ... 118

A. Kesimpulan ... 118

B. Saran ... 118