Bab 2 Gambaran Umum Tarekat Syattariyah

  

BAB 2

GAMBARAN UMUM

TAREKAT SYA$$  RIYYAH

2.1. Tarekat sebagai Organisasi Penting dalam Dunia Tasawuf

  Secara kelembagaan, tarekat pada dasarnya tidak dikenal dalam Islam hingga abad ke-8 H atau abad ke-14 M. Artinya, tarekat, sebagai organisasi dalam dunia tasawuf, bisa dianggap sebagai hal baru yang tidak pernah dijumpai dalam tradisi Islam periode awal, termasuk pada masa Nabi. Tidak heran kemudian jika hampir semua jenis tarekat yang dikenal saat ini selalu dinisbatkan kepada nama- nama para wali atau ulama belakangan yang hidup berabad-abad 1 jauh setelah masa Nabi (Bruinessen 1996: 47). Kendati demikian, terutama oleh para pemeluknya, ajaran tasawuf yang diorganisasi melalui lembaga tarekat diyakini sebagai memiliki akar dalam ajaran Nabi itu sendiri, karena para penganut tarekat meyakini bahwa para sufi yang namanya dipakai untuk menyebut jenis tarekatnya tersebut tidak bertindak sebagai pencipta berbagai ritual tarekat, seperti zikir dengan berbagai metodenya, melainkan hanya merumuskan dan membuat sistematikanya saja, sedangkan substansi dari ajaran-ajarannya itu sendiri adalah “asli” berasal dari Nabi, dan diterimanya melalui sebuah jalur silsilah yang terhubungkan sedemikian rupa sampai kepada Nabi.

  Tasawuf sendiri, pada masa awal Islam, merupakan salah satu bentuk ungkapan keberagamaan seseorang yang sifatnya sangat 1 pribadi. Seseorang yang masuk ke dalam dunia tasawuf bermaksud

  Œ Œ Œ ¥

  

Tarekat Q diriyyah misalnya, dinisbatkan kepada Syaikh ‘Abd al-Q dir al-Jail n (471-

Œ Œ ¥ ´

  

561 H/1079-1166 M), tarekat Suhr wardiyyah dinisbatkan kepada Syih b al-D n Ab

î Œ ¥ afs al-Suhr ward (539-632 H/1145-1235 M), tarekat Rifaiyyah dinisbatkan kepada ú ¥ ´ Œ Œ ¥ Œ

  

A mad ibn ‘Al Ab al-‘Abb s al-Rif ’ (w. 578 H/1182 M), tarekat Sh dhiliyyah

´ ú Œ Œ ¥

dinisbatkan kepada Ab al-Hasan A mad ibn ‘Abd All h al-Sh dhil (593-656 H/1197-

  Œ ¥ 1258 M), tarekat Naqsybandiyyah dinisbatkan kepada Bah ’ al-D n al-Naqshband

(717-791 H/1317 -1389 M) (lihat Trimingham 1998: 14; Rivzi 1983, I: 84-88). Demikian

  ‹‹Œ Œ Œ

halnya dengan tarekat Sya riyyah, yang dinisbatkan kepada Sy h ‘Abd All h al-

  ‹‹Œ ¥ Sya r , yang wafat pada tahun 890 H/1485 M.

  22 Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

  menegaskan hubungan spiritual dirinya sebagai hamba (‘Œ bid ) dengan Tuhannya sebagai Yang Disembah (Ma’b´ d). Hubungan spiritual antara Œbid dengan Ma’b´ d dalam dunia tasawuf —yang lebih menekankan aspek batin (esoteric)— ini umumnya dipahami sebagai berbeda dengan hubungan antara Œbid dengan Ma’b´ d yang diatur melalui doktrin-doktrin fikih, dan lebih bersifat lahir (Rizvi 1983, I: 18).

  Pada perkembangan Islam berikutnya, pola hubungan spiritual dalam dunia tasawuf ini semakin tersebar ke, dan dikenal di, berbagai bagian dunia Islam, serta kemudian —seperti telah dikemukakan— terlembagakan melalui organisasi tarekat (Trimingham 1998: 3).

  Sebagai sebuah organisasi, tarekat dibangun di atas landasan sistem dan hubungan yang erat dan khas antara seorang guru (mursyid) dengan mur¥dnya. Hubungan mursyid-mur¥d ini dapat dianggap sebagai pilar terpenting dalam organisasi tarekat (Islam 2002: 385). Hubungan tersebut diawali dengan sebuah pernyataan kesetiaan (bai’ah) dari seseorang yang hendak menjadi mur¥d tarekat kepada seorang syaikh tertentu sebagai mursyid.

  Meskipun teknis dan tata cara bai’ah dalam berbagai jenis tarekat seringkali berbeda satu sama lain, tetapi umumnya terdapat tiga tahapan penting yang harus dilalui oleh seorang calon mur¥d

  ©

  yang akan melakukan bai’ah yakni: talq¥n al- ikr (mengulang-ulang 2 3

  ©

  zikir tertentu) , akh al-‘ahd (mengambil sumpah) , dan libs al-khirqah 4 2 (mengenakan jubah).

  Dalam tahap ini, selama beberapa hari calon mur¥d diminta mengulang-ulang kalimat

zikir lŒ ilŒha illŒ AllŒh hingga ratusan kali dalam sehari di tempat yang sunyi;

kemudian, dia diminta memberikan “laporan” kepada Syaikhnya berkaitan dengan

firasat atau mimpi yang barangkali dia alami; berdasarkan laporan tersebut sang

Syaikh akan menentukan apakah calon mur¥d tersebut sudah boleh menerima kalimat

zikir berikutnya. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa secara keseluruhan, ada 7

  ©

kalimat zikir yang harus dilalui oleh seorang calon mur¥d dalam tahap talq¥n al- ikr ,

yaitu: lŒ ilŒha illŒ AllŒh, YŒ AllŒh, YŒ Huwa, YŒ î aqq, YŒ î ayy, YŒ Qayy´ m, dan YŒ

3 QahhΠr (Trimingham 1998: 190 & 206).

  

Pada dasarnya, rumusan kalimat sumpah seorang calon mur¥d dalam setiap jenis

tarekat berbeda-beda satu dengan yang lain, kendati semuanya mengisyaratkan pada

ikrar kesetiaan dari calon mur¥d tersebut untuk patuh kepada Syaikhnya, dan kepada

berbagai aturan serta tuntunan tarekat yang diajarkan. Selain itu, dalam bai’ah,

apapun jenis tarekatnya, ada satu ayat al-Quran yang senantiasa menjadi bagian tak

terpisahkan dari lafaz bai’ah. Ayat yang dikenal sebagai Œyat al-mubŒ ya’ah itu

merupakan kutipan dari ayat ke-10 dari al-Quran surat al-Fatú yang berbunyi:

ﻪ ﻴ ﻠ ﻋ ﺪﻫﺎﻋ ﺎﲟ ﰱﻭﺃ ﻦﻣ ﻭ ، ﻪ ﺴﻔ ﻧ ﻰﻠ ﻋ ﺚﻜﻨ ﻳ ﺎﳕ ﺈﻓ ﺚﻜﻧ ﻦﻤﻓ ﻢﻬﻳ ﺪ ﻳ ﺃ ﻕﻮﻓ ﷲﺍ ﺪﻳ ﷲﺍ ﻥﻮﻌ ﻳ ﺎﺒ ﻳ ﺎﳕ ﺇ ﻚﻧ ﻮﻌ ﻳ ﺎﺒ ﻳ ﻦﻳ ﺬﻟ ﺍ ﻥﺇ

.

  ﺎﻤﻴ ﻈﻋ ﺍ ﺮ ﺟﺃ ﻪ ﻴ ﺗ ﺆﻴ ﺴﻓ ﷲﺍ

  Bab 2. Gambaran Umum Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

  23 Proses inisiasi melalui bai’ah ini sedemikian penting dan

  menentukan dalam organisasi tarekat, karena bai’ah mengisyaratkan terjalinnya hubungan yang tidak akan pernah putus antara mur¥d dengan mursyidnya. Begitu bai’ah diikrarkan, maka sang mur¥d dituntut untuk mematuhi berbagai ajaran dan tuntunan sang

  mursyid , dan meyakini bahwa mursyidnya itu adalah wakil dari Nabi.

  Lebih dari itu, bai’ah juga diyakini sebagai sebuah bentuk perjanjian antara mur¥d sebagai hamba dengan al-î aq sebagai Tuhannya.

  Seorang mur¥d yang telah secara resmi menjadi anggota tarekat akan memulai perjalanan spiritual (sul´ k)nya dengan mempelajari berbagai ilmu tasawuf. Dalam dunia tarekat, tidak ada ketentuan tentang berapa lama seorang mur¥d bisa dianggap selesai mempelajari ilmu tasawuf, dan berhak mengajarkan kembali ilmunya itu kepada orang lain, karena hal itu sangat tergantung kepada kemampuan sang mur¥d sendiri dalam menjalani berbagai tahapan pengalaman spiritual (maqŒmŒ t ) hingga sampai pada pengetahuan tentang al-úaq¥qat (Kebenaran Ilahi). Beberapa mur¥d bisa saja menyelesaikan pelajaran mistisnya dalam waktu singkat, sementara mur¥d lain mungkin lebih lama (Rizvi 1983, I: 99).

  Biasanya, sang mursyid lah yang nantinya menentukan mur¥d mana yang sudah bisa dianggap lulus dalam perjalanan spiritualnya. Jika seorang mur¥d telah dianggap sampai pada tingkat tertentu 5 dalam memahami pengetahuan tentang al-úaq¥qat, maka sang

  mursyid akan mengangkatnya sebagai khal¥fah, yang prosesi

  pengangkatannya biasanya ditandai dengan pemberian ijŒzah (otorisasi, atau lisensi).

  ©¥ Œ ´ Œ Œ ´ Œ Œ ¥ [Inna al-la na yub yi’ naka innam yub yi’ na All

  h, yadu All hi fauqa aid him, fa £ £ Œ Œ Œ Œ Œ Œ

man naka a fa innam yanku u ‘al nafsihi, wa man auf bi m ‘ hada ‘alaihi All hu fa

  ¥ ½¥ Œ sayu’t hi ajran ‘a m ]

“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka

berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Barangsiapa yang

melanggar janjinya, maka akibat melanggar itu akan menimpa dirinya sendiri. Dan

barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala

4 yang besar”.

  

Khirqah (jubah) biasanya diberikan dan dipakaikan oleh sang Syaikh kepada mur¥d

yang baru saja mengucapkan ikrar bai’ah sebagai tanda masuknya mur¥d tersebut ke

dalam organisasi tarekat. Selain itu, khirqah juga diberikan kepada mur¥d yang

5

dianggap telah menyelesaikan perjalanan spiritual (sul´ k) nya (Armstrong 1996: 146).

  

Yang dimaksud dengan tingkat tertentu ini, antara lain, mur¥d telah mampu untuk

melakukan tiga tugas “pelayanan”, yakni: melayani orang lain, melayani Tuhannya,

24 Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

  Penting dicatat bahwa dalam dunia tarekat, selain jenis ijŒzah yang diberikan kepada seorang mur¥d yang naik derajatnya menjadi

  khal¥fah tersebut, juga terdapat dua jenis ijŒzah lain yang bobotnya

  lebih ringan, yakni ijŒzah yang diberikan kepada seorang mur¥d yang sudah diizinkan untuk mengamalkan ritual atau zikir tertentu yang diajarkan oleh mursyidnya; dan ijŒ zah yang diberikan kepada seorang

  mur¥d yang dianggap telah menyelesaikan tahap tertentu dari ajaran

  tarekat dari mursyidnya itu. Berbeda dengan yang pertama, dua jenis

  ijŒ zah yang disebut terakhir ini tidak memberikan wewenang kepada

  yang menerimanya untuk mentahbiskan orang lain menjadi anggota tarekat, melainkan hanya untuk yang bersangkutan saja (Trimingham 1998: 192).

  Sejauh ini, tampaknya tidak ada rumusan kalimat tertentu yang dianggap baku dalam sebuah ijŒzah, kendati umumnya berisi penegasan bahwa syaikh tertentu (disebutkan nama lengkapnya) telah mengangkat mur¥d tertentu (disebutkan pula nama lengkapnya) menjadi khal¥fah, dan oleh karenanya mur¥d tersebut memiliki wewenang penuh untuk menyampaikan ajaran tarekat, 6 dan bahkan mentahbiskan seseorang menjadi mur¥d. Demikianlah, proses masuknya seseorang menjadi mur¥d tarekat melalui bai’ah, serta proses pengangkatan mur¥d menjadi khal¥fah melalui pemberian ijŒ zah , telah berlangsung sedemikian lama dalam organisasi tarekat, dan menjadi pola yang senantiasa terjadi di wilayah mana pun tarekat berkembang. Pada gilirannya, proses tersebut melahirkan sebuah 7 mata rantai hubungan spiritual mursyid-mur¥d yang disebut dengan silsilah. Dalam dunia tarekat, silsilah —yang mulai mengakar terutama pada abad ke-12— ini menempati peran yang sangat penting karena bisa digunakan untuk menelusuri asal-usul dan kesahihan sebuah tarekat. Melalui silsilah pula ajaran-ajaran tasawuf dapat tersebar secara sistematis; Dan yang paling penting, silsilah telah menjadikan gerakan tarekat semakin terkonsolidasi dan terorganisasi dengan baik, karena berhasil menciptakan hubungan spiritual yang hierarkis antara sufi satu dengan sufi lainnya. Melalui hubungan seperti ini, para sufi merasa mendapatkan kehormatan besar dan memiliki kepercayaan diri yang kuat untuk menangkal berbagai bantahan dan serangan yang tidak jarang dialamatkan kepada ajaran-ajaran 6 Redaksi mereka oleh sebagian Muslim ortodoks (Rizvi 1983, I: 82).

  ijŒ zah ini tentu saja disesuaikan pula dengan tujuan dari pemberian ijŒzah itu 7 sendiri, sebagaimana telah dikemukakan di atas.

  

Ketika sampai di wilayah tertentu, tatacara bai’ah, pengangkatan khal¥fah, dan

pemberian ijŒzah ini mengalami berbagai perubahan dan penyesuaian dengan tradisi

  Bab 2. Gambaran Umum Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

  25 Lebih dari itu, tradisi silsilah merupakan jaminan atas transmisi

  berbagai ajaran tasawuf yang dirumuskan pertama kalinya oleh para sufi pendiri tarekat kepada generasi sufi berikutnya yang diangkat sebagai khal¥fah (Rizvi 1983, I: 98). Dengan posisinya yang sedemikian penting, maka tidak heran kemudian jika silsilah menjadi salah satu ukuran sebuah tarekat dikategorikan sebagai

  tarekat mu’tabarah (jenis tarekat yang diakui) atau gair mu’tabarah (jenis tarekat yang tidak diakui).

  Akan tetapi, penting dicatat bahwa silsilah yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya sebetulnya juga meniscayakan adanya hubungan langsung antara seorang murid dengan gurunya. Dalam kenyataannya tidak selalu demikian, karena tidak jarang seorang murid yang ditulis dalam silsilah tidak pernah berjumpa dengan guru yang ditulis secara berurutan di atasnya, karena gurunya tersebut wafat sebelum murid tersebut lahir, atau karena mereka tinggal di negeri yang berbeda dan sangat berjauhan.

  Berkaitan dengan silsilah semacam ini, sebagian kecil sufi memang menolaknya dan menganggap silsilah tersebut sebagai palsu. Akan tetapi, sebagian besar lainnya tidak mempersoalkan karena mereka tidak menolak kemungkinan bahwa seorang yang dianggap suci (wali) dapat saja menerima perlajaran dari guru yang mendahuluinya bukan melalui komunikasi langsung tetapi melalui komunikasi spiritual, yakni melalui pertemuan dengan wujud ruhaniahnya. Dalam dunia tarekat, hubungan yang demikian itu disebut barzakh¥ atau uwais¥ (Bruinessen 1995: 49)

  Tradisi silsilah dalam dunia tarekat sendiri sangat mungkin meniru tradisi isnŒd yang dikembangkan oleh ahli hadis untuk mendukung kesahihan hadis (Rahman 1997: 226). Silsilah bagi seorang guru tarekat (mursyid), merupakan syarat terpenting untuk mengajarkan atau memimpin organisasi tarekat (Atjeh 1985: 97).

  Dalam tradisi tarekat, umumnya, sebelum sampai kepada Nabi sendiri, ada dua nama yang sering menjadi sandaran keabsahan

  ´ ê ¥ ¥ ¥ $Œ

  sebuah silsilah, yaitu Ab Bakr al- idd q dan ‘Al ibn Ab lib (Rizvi 1983, I: 83). Silsilah tarekat Naqsybandiyyah misalnya, selalu

  ´ ê ¥

  terhubungkan kepada Nabi melalui Ab Bakr al- idd q, sementara

  ‹‹Œ Œ

  silsilah tarekat Sya riyyah, Q diriyyah, dan sejumlah jenis tarekat

  ¥ ¥ $Œ

  lainnya, terhubungkan kepada Nabi melalui ‘Al ibn Ab lib. Para penganut tarekat, apapun jenisnya, meyakini bahwa Nabi telah

  ´

  mengajarkan teknik-teknik mistik tertentu kepada Ab Bakr al-

  ê ¥ ¥ ¥ $Œ

  idd q dan ‘Al ibn Ab lib sesuai dengan sifat dan karakternya masing-masing, sehingga hal ini diyakini sebagai penyebab utama

  26 Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

  munculnya perbedaan teknik, metode dan ritual di antara berbagai jenis tarekat tersebut (Bruinessen 1996: 48).

  Di samping itu, para penganut tarekat tampaknya juga cenderung memandang bahwa ajaran dan amalan tarekat yang mereka terima tidak pernah berubah, melainkan diturunkan secara berkesinambungan dari waktu ke waktu melalui guru atau Syaikhnya. Akan tetapi, seperti akan tampak dalam pembahasan bab ini, sesungguhnya berbagai ajaran tarekat tersebut senantiasa mengalami perubahan dan penyesuaian dari waktu ke waktu terhadap berbagai faktor lokal, atau iklim sosial-intelektual pada zamannya masing-masing.

  Dalam konteks dunia Melayu-Indonesia sendiri, tarekat sejak awal telah memainkan peran penting, terutama karena Islam yang masuk ke wilayah ini pada periode awal adalah yang bercorak 8 tasawuf, sehingga karenanya, tarekat, sebagai organisasi dalam dunia tasawuf senantiasa dijumpai di wilayah mana pun di Melayu- Indonesia ini Islam berkembang. Bahkan, di beberapa wilayah tertentu, tarekat menjadi fenomena istana ketika para pengikut dan sebagian guru tarekatnya menjadi bagian dari keluarga, atau menjadi pejabat, istana. Di Aceh misalnya, Nuruddin al-Raniri (w. 1068/1658), yang merupakan salah seorang guru utama dalam tarekat Rifa’iyyah, pernah menjabat sebagai Syaikh al-IslŒm —salah satu kedudukan tertinggi di Kesultanan di bawah Sultan sendiri— pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (1637-1641) dan awal pemerintahan Sultanah Safiatuddin (1641-1675). Demikian halnya dengan Abdurrauf Singkel (1024-1105/1615-1690), yang sepanjang kariernya dipercaya oleh Sultanah Safiatuddin sebagai QŒè¥ Malik al-

    dil atau Mufti Kerajaan, yang bertanggung atas berbagai masalah 9 sosial-keagamaan.

  Hal yang sama juga terjadi di wilayah lain pada periode berikutnya, seperti di Cirebon dan Banten. Beberapa sumber menjelaskan bahwa sejumlah pembesar kerajaan di Kesultanan Cirebon dan Banten adalah murid-murid tarekat yang terhubungkan secara langsung dengan guru-guru tarekat di Mekkah (Bruinessen 1994a: 13). Di Keraton Cirebon misalnya, ada beberapa nama yang

  ‹‹Œ menjadi Mursyid tarekat, dalam hal ini tarekat Sya riyyah, seperti P.

  S. Sulediningrat, yang juga merupakan keturunan dari Sunan

  ‹‹Œ

  Gunung Djati. Mursyid tarekat Sya riyyah lainnya adalah Mbah Muqayyim, seorang penghulu Keraton, yang belakangan mendirikan 8 pesantren Buntet, dan hingga saat ini menjadi salah satu basis 9 Lihat Johns 1961b: 10-23; Azra 1994: 32-33.

  Bab 2. Gambaran Umum Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

  27 ‹‹Œ

  terpenting tarekat Sya riyyah di wilayah Cirebon (Muhaimin 1997: 10). Di Kesultanan Banten sendiri, tarekat, di samping menjadi sarana untuk memperoleh kekuatan spiritual, juga diyakini oleh kalangan istana sebagai media yang dapat mendukung, meligitimasi dan semakin memperkuat kedudukan mereka sebagai penguasa (Bruinessen 1994b).

2.2. Melacak Akar Tarekat Sya‹‹Œ riyyah: dari India hingga Haramayn

  ‹‹Œ

  Seperti telah diisyaratkan di atas, nama tarekat Sya riyyah

  Œ Œ ‹‹Œ

  dihubungkan kepada Sy h ‘Abd All h al-Sya r (w. 890 H/1485 M), seorang ulama yang masih memiliki hubungan kekeluargaan 10

  Œ ¥ ´ î Œ ¥

  dengan Syih b al-D n Ab afs ‘Umar Suhr ward (539-632 H/1145-1234 M), ulama sufi yang mempopulerkan tarekat

  Œ

  Suhr wardiyyah, sebuah tarekat yang awalnya didirikan oleh

  ë Œ ¥ ´ ¥ Œ ¥

  pamannya sendiri, iy al-D n Ab Naj b al-Suhr ward (490-563 H/1097-1168 M) (Trimingham 1998: 33-34).

  Jika ditelusuri lebih awal lagi, tarekat ini sesungguhnya memiliki akar keterkaitan dengan tradisi Transoxiana, karena

  ´ ¥ ¥

  silsilahnya terhubungkan kepada Ab Yaz d al-’Isyq , yang

  ´ ¥ Œ ¥

  terhubungkan lagi kepada Ab Yaz d al-Bust m (w. 260 H/873 M)

  Œ êŒ

  dan Im m Ja’far al- diq (w. 146 H/763 M). Tidak mengherankan kemudian jika tarekat ini dikenal dengan nama tarekat ‘Isyqiyyah di

  ‹Œ

  Iran, atau tarekat Bis miyyah di Turki Uthmani (Trimingham 1998: 97-98), yang pada sekitar abad ke-5 cukup populer di wilayah Asia Tengah, sebelum akhirnya memudar dan pengaruhnya digantikan oleh tarekat Naqsybandiyyah.

  ‹Œ

  Tarekat ‘Isyqiyyah atau Bis miyyah tersebut mengalami

  Œ Œ ‹‹Œ

  kebangkitannya kembali setelah Sy h ‘Abd All h al-Sya r mengembangkannya di wilayah India, dan menyebutnya sebagai

  ‹‹Œ ‹‹Œ

  tarekat Sya riyyah. Sejak itu, tarekat Sya riyyah selalu

  ´ ¥

  dihubungkan dengan jenis tasawuf India, kendati nama Ab Yaz d

  ¥ ´ ¥ Œ ¥

  al-’Isyq dan Ab Yaz d al-Bust m tetap menjadi sandaran dalam

  Œ

  tradisi silsilahnya untuk menghubungkan sampai kepada Im m

  al-êŒ diq 10 Ja’far , dan akhirnya sampai kepada Nabi Muhammad Saw.

  Œ

Ia adalah salah seorang tokoh tasawuf amali pendiri tarekat al-Suhr wardiyyah. Salah

satu kitab karangannya berjudul ‘AwŒrif al-Ma‘Œrif. Selain menjelaskan berbagai ajaran

  Œ

tarekat al-Suhr wardiyyah, kitab ini juga menjelaskan latihan-latihan rohaniah

praktis, tingkatan-tingkatan (maqŒmŒ t ), perilaku diri (aúwŒl), makrifat, dan lain-lain.

  

Kitab ‘AwŒrif al-Ma‘Œrif sangat berperan dalam penyebaran ajaran tarekat al-

Œ

  

Suhr wardiyyah ke berbagai Dunia Islam (Taftazani 1985: 238; Nasution dkk. 1992:

868-869; edisi bahasa Indonesia kitab ‘AwŒrif al-Ma‘Œrif ini, lihat Ismail 1998).

  28 Tarekat Sya‹‹Œ riyyah ‹‹Œ

  Dalam konteks India sendiri, tarekat Sya riyyah —seperti halnya juga tarekat lain yang berakar di India, yaitu tarekat Khisytiyyah,

  Œ

  tarekat Suhr wardiyyah, tarekat Firdausiyyah, dan tarekat

  Œ

  Q diriyyah— muncul ketika berbagai gerakan keagamaan lebih memfokuskan misinya untuk melakukan ekspansi dakwah Islam kepada kalangan non-Muslim. Di India, gerakan ekpansi keagamaan semacam ini merupakan periode awal dari keseluruhan gerakan keagamaan, yang, oleh para sarjana, umumnya dibagi ke dalam empat kategori: pertama, gerakan “ekspansi” keagamaan dan kemasyarakatan, yang terjadi pada sekitar abad 6 H/12 M hingga abad 10 H/16 M,

  kedua , gerakan “reformasi” keagamaan dan kemasyarakatan, yang

  terjadi pada sekitar abad 11 H/17 M, ketiga, masa “regenerasi” yang terjadi pada abad 12 H/18 M, dan terakhir, keempat adalah masa “reorientasi” yang terjadi pada abad 19 (Nizami, Sya‹‹Œ riyya 1999).

  ‹‹Œ

  Sebagai sebuah gerakan ekspansi keagamaan, tarekat Sya riyyah pada periode ini lebih diarahkan pada perjuangan untuk meningkatkan nilai moral dan spiritual melalui penyebaran berbagai ajaran Islam. Dan

  Œ Œ ‹‹Œ

  dalam upayanya ini, Sy h ‘Abd All h al-Sya r beserta para pengikutnya mengembangkan kecenderungan untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan tradisi dan ritual masyarakat setempat yang masih banyak dipengaruhi ajaran atau ritual Hindu.

  Memang, di satu sisi, sikap akomodatif para penganut tarekat

  ‹‹Œ

  Sya riyyah seperti ini lebih mudah menarik perhatian non-Muslim untuk memeluk ajaran Islam, dan bahkan hal ini dianggap sebagai kunci sukses berkembangnya ajaran tarekat. Akan tetapi, di sisi lain, hal ini juga mengakibatkan banyaknya konsep-konsep tasawuf dan ritual tarekat yang bersifat sinkretis serta memiliki persamaan 11 dengan konsep-konsep dan ritual Hindu.

  Œ Œ ‹‹Œ

  Sy h ‘Abd All h sendiri, sebagai pendiri tarekat Sya riyyah, menetap di Mandu, sebuah desa di India bagian tengah, di mana ia

  12 ‹‹Œ mendirikan khanqah pertama bagi para penganut tarekat Sya riyyah.

  Ia diketahui menulis sebuah kitab berjudul La‹Œ ’if al-Gaibiyyah , tentang

  ‹‹Œ

  prinsip-prinsip dasar ajaran tarekat Sya riyyah, yang disebutnya sebagai cara tercepat untuk mencapai tingkat makrifat (Rivzi 1983, II: 153-154). Karyanya ini kemudian disempurnakan oleh dua murid

  ú Œ Œ è¥

  utamanya, Syaikh Mu ammad A’l , yang dikenal sebagai Syaikh Q

  ‹‹Œ ¥ î ¥½

  Bengal (Qazan Sya r ), dan Syaikh af Jawnpur. Yang disebut

  Œ Œ 11 terakhir tercatat sebagai murid Sy h ‘Abd All h yang berjasa 12 Nizami, Hind 1999; Trimingham 1998: 98.

  

Khanqah berasal dari bahasa Persia, yang berarti sebuah bangunan yang digunakan

oleh para sufi untuk berbagai macam keperluan, seperti belajar-mengajar, berkhalwat,

berzikir, dan sebagainya (Chabbi, khankah, 1999).

  Bab 2. Gambaran Umum Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

  29 ‹‹Œ

  mengembangkan silsilah tarekat Sya riyyah di India bagian Utara melalui muridnya, Syaikh Budhdhan. Belakangan, murid spiritual dari

  Œ ¥

  Syaikh Buddhan ini, yakni Syaikh Bah al-D n, menulis pula sebuah kitab berjudul RisŒ lah Sya‹‹Œ riyyah , yang juga berisi tentang prinsip-

  ‹‹Œ prinsip ajaran tarekat Sya riyyah.

  ‹‹Œ

  Penting dicatat bahwa dalam silsilah tarekat Sya riyyah yang berkembang, khususnya di dunia Melayu-Indonesia, nama dua

  Œ Œ Œ è¥

  murid Sy h ‘Abd All h yang disebut di atas, yakni Syaikh Q

  Œ

  Bengal dan Syaikh H fiz Jawnpur, tidak pernah dijumpai. Nama

  ‹‹Œ

  yang menempati posisi sebagai khalifah tarekat Sya riyyah setelah

  Œ Œ Œ Œ è¥ ‹‹Œ ¥ î Œ Œ

  Sy h ‘Abd All h adalah Im m Q al-Sya r , Syaikh id yat All h 13

  £ î Œ î è´ ¥ ú al-Sarmasti, Syaikh ji u r , dan Syaikh Mu ammad Gau .

  Dalam hal ini, penulis belum dapat memastikan apakah dua nama tersebut memang tidak populer dalam urutan silsilah, atau hanya berbeda sebutan saja, sedangkan orangnya sama.

  £ ú Di antara nama-nama tersebut, Syaikh Mu ammad Gau (w.

  ‹‹Œ

  970 H/1563 M) merupakan khalifah tarekat Sya riyyah yang paling

  ‹‹Œ

  berhasil memapankan doktrin dan ajaran tarekat Sya riyyah melalui berbagai karangannya (Trimingham 1998: 98). Ia menulis

  ‹‹Œ

  sejumlah kitab yang berisi pokok ajaran tarekat Sya riyyah, antara lain: JawŒhir al-Khamsah, Kil¥d Makhzan, DamŒ’ir, BasŒyir, dan Kanz al-

  Tauú¥d . Akan tetapi, penting dicatat bahwa —seperti akan tampak

  dalam pembahasan berikut— di antara kitab-kitab tentang

  ‹‹Œ

  Sya riyyah yang muncul di India ini, hanya JawŒhir al-Khamsah

  ‹‹Œ

  yang tersosialisasi kepada para ulama tarekat Sya riyyah generasi berikutnya. Dapat dipastikan bahwa kitab ini memuat sejumlah

  ‹‹Œ

  doktrin dan rumusan penting berkaitan dengan tarekat Sya riyyah pada periode awal pertumbuhannya di India. Sayangnya, sejauh ini kitab tersebut tidak diketahui keberadaannya, sehingga pengetahuan atas berbagai kandungan isinya hanya dapat diketahui melalui sumber-sumber lain yang mengutip kitab tersebut.

  Di antara kitab yang memberikan informasi berharga berkaitan

  ‹‹Œ

  dengan doktrin dan ajaran tarekat Sya riyyah dalam JawŒhir al- Khamsah adalah Tanb¥h al-MŒsy¥ karangan Abdurrauf al-Sinkili. Dalam kitab ini, al-Sinkili setidaknya empat kali menyebut dan merujuk secara eksplisit kitab JawŒhir al-Khamsah. Selain untuk

  ‹‹Œ

  mengemukakan rumusan ajaran tarekat Sya riyyah yang tidak dijumpainya dalam kitab-kitab karangan dua guru utamanya, al-

  Œ ¥ ´ Œ ¥ 13 Qusy sy dan al-K r n , biasanya al-Sinkili mengutip JawŒhir al- Lihat, antara lain, Tanb¥h al-MŒsy¥, h. 65-69.

  30 Tarekat Sya‹‹Œ riyyah Khamsah untuk melengkapi penjelasan yang ia kemukakan, dan berasal dari dua gurunya itu.

  ‹‹Œ

  Salah satu ajaran tarekat Sya riyyah yang dikutip al-Sinkili dari JawŒhir al-Khamsah, dan tidak dijumpai dalam kitab-kitab

  Œ ¥ ´ Œ ¥

  karangan al-Qusy sy dan al-K r n adalah berkaitan dengan apa yang disebut sebagai al-asygŒ l al-sya‹‹Œ r¥ (amalan-amalan kaum

  ‹‹Œ ¥

  Sya r ), yakni berbagai amalan yang secara khusus harus dilakukan

  ‹‹Œ

  oleh para pengikut tarekat Sya riyyah. Dalam Tanb¥h al-MŒsy¥, amalan-amalan tersebut dikemukakan dalam bentuk rumus-rumus atau kode-kode rahasia yang hanya dapat diketahui melalui 14 penjelasan guru (Syaikh).

  

£

ú

  Syaikh Mu ammad Gau dikenal sebagai ulama tarekat

  ‹‹Œ

  Sya riyyah yang relatif dekat, dan menjalin hubungan, dengan tokoh-tokoh agama Hindu. Ia, bahkan menulis kitab Baúr al-î ayŒt yang merupakan terjemahan dari kitab Amrita Kunda, yang mengemukakan, antara lain, tentang beberapa persamaan antara konsep dan ritual Islam, khususnya aspek tasawuf, dengan konsep

  £ ú

  dan ritual Hindu. Melalui kitab ini, Syaikh Mu ammad Gau juga mengadopsi teknik dan praktek Yoga menjadi bagian dari formulasi

  ‹‹Œ

  zikir tarekat Sya riyyah (Rizvi 1983, II: 158-159). Memang, sejauh menyangkut tradisi tasawuf di India dan praktek Yoga ini, keduanya sesungguhnya telah memperlihatkan timbal balik atau saling mempengaruhi satu dengan yang lain sejak abad ke-11, jauh sebelum

  ‹‹Œ tarekat Sya riyyah berkembang di India (Rizvi 1983, I: 323).

  Di antara kandungan isi kitab Baúr al-î ayŒt adalah pembahasan tentang jasad manusia sebagai mikrokosmos (dunia kecil), hubungannya dengan dunia yang lebih besar (makrokosmos). Selain itu, kitab ini juga menjelaskan latihan-latihan yang harus dilalui oleh seseorang yang ingin mencapai salah satu tujuan dari praktek Yoga, yakni untuk memperoleh kesatuan antara tubuh lahir dengan jiwa yang bersifat batin (Rizvi 1983, I: 335-336).

  Memperhatikan tahapan-tahapan dalam praktek Yoga yang harus dilalui sebelum memperoleh kesempurnaan, tidak heran jika praktek-praktek tersebut banyak memiliki kesamaan dengan praktek tarekat dalam dunia tasawuf.

  Dalam apa yang disebut sebagai astanga-yoga misalnya, terdapat 5 hal berkaitan dengan latihan tubuh lahir (kaya-samskaras), yakni: Yama (pengendalian diri), Niyama (ketaatan/ibadat), Asana (duduk dengan posisi tertentu), Pranayama (mengatur nafas), dan 14 Pratyahara (menutup seluruh panca indera) (Pott 1966: 4-5).

  Lihat Tanb¥h al-MŒsy¥, h. 26-27.

  Bab 2. Gambaran Umum Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

  31 Adapun 3 hal yang berkaitan dengan penyempurnaan ruhani

  (citta-samskaras), dan merupakan kelanjutan dari 5 tahap lahir sebelumnya, adalah: Dharana (konsentrasi pikiran pada satu fokus tertentu), Dhyana (meditasi), dan Samadhi. Yang disebut terakhir ini merupakan sebuah keadaan yang agak sulit dilukiskan dengan kata- kata. Seseorang yang sedang berada dalam keadaan samadhi, merasakan kebahagiaan besar dalam dirinya. Lebih jauh, kesadaran dirinya sebagai manusia pun akan hilang (sunya) (Pott 1966: 6). Dalam dunia tasawuf, keadaan samadhi ini mirip dengan konsep fana, yang 15 merupakan tahap tertinggi pencapaian spiritual seorang sŒ lik .

  £ ú

  Demikianlah, pada akhirnya, Syaikh Mu ammad Gau dianggap

  ‹‹Œ

  sebagai ulama tarekat Sya riyyah yang paling banyak mempengaruhi

  ‹‹Œ

  sifat dan kecenderungan ajaran tarekat Sya riyyah di India yang bersifat sinkretis dengan ajaran Hindu dan praktek Yoga.

  £ ú

  Selain itu, Syaikh Mu ammad Gau juga menulis kitab Mi’rŒ j , yang menceritakan ihwal pengalaman spiritual pribadinya. Melalui kitab, yang dianggap terlalu banyak menggunakan ungkapan-

  £ ú

  ungkapan panteistis, inilah Syaikh Mu ammad Gau dituduh oleh sejumlah ulama Gujarat sebagai telah berlebihan, dan bahkan dianggap menyimpang (heretic) dari ajaran Islam (Trimingham 1998: 98).

  £ ú

  Di antara murid Syaikh Mu ammad Gau yang paling

  ¥ ¥ ¥

  terkemuka adalah Syaikh Waj h al-D n ‘Alaw (w. 1018 H/1609 M),

  Œ Œ ¥ ¥

  yang tinggal di Ahmad b

  d, India. Syaikh Waj h al-D n juga yang paling gigih membela gurunya dari berbagai tuduhan para ulama

  ‹‹Œ ¥

  Gujarat di atas. Selain dalam tarekat Sya riyyah, Syaikh Waj h al-

  ¥ Œ

  D n juga bergabung dengan tarekat Khisytiyyah, Suhr wardiyah, Madariyah, Khalwatiyah, Hamadaniyyah, Naqsybandiyyah dan Firdausiyyah (Rizvi 1983, II: 130).

  Penting juga dikemukakan bahwa perkembangan tarekat

  ‹‹Œ

  Sya riyyah di India tampaknya tidak dapat dipisahkan dari dukungan pihak penguasa terhadap aktivitas para Syaikh dan

  ‹‹Œ

  pengikut-pengikutnya. Tokoh-tokoh Sya riyyah memang dikenal kooperatif, dan memiliki hubungan dekat, dengan para sultan yang

  ‹‹Œ

  berkuasa. Beberapa dari penganut tarekat Sya riyyah bahkan

  Œ Œ

  terlibat aktif dalam politik praktis kenegaraan. Sy h ‘Abd All h al-

  ‹‹Œ

  Sya r sendiri mendedikasikan kitab La‹Œ’if al-Gaibiyyah karangannya

  £ Œ ¥ ¥ ú

  untuk Sultan Giy al-D n Khalj , sementara Syaikh Mu ammad

  £ Œ

  Gau juga pernah membantu Sultan B bur ketika menaklukkan 15 daerah Gwaliyar. Demikian halnya dengan saudara laki-laki dari

  32 Tarekat Sya‹‹Œ riyyah £ ú ´

  Syaikh Mu ammad Gau , yakni Syaikh Bahl l, yang menjalin

  

î Œ ´

hubungan dekat dengan raja um y n (Nizami 1999).

  

‹‹Œ

  Perkembangan tarekat Sya riyyah di India mulai surut setelah

  £ ú

  ¥

  wafatnya Syaikh Mu ammad Gau Gwaliyar dan Syaikh Waj h al-

  ¥ ¥

  D n ‘Alaw . Dalam periode berikutnya, pengaruh tarekat

  ‹‹Œ

  Sya riyyah tergantikan oleh tarekat Naqsybandiyyah dan

  Œ ¥ ¥ ¥

  Q diriyyah. Kendati demikian, Syaikh Waj h al-D n ‘Alaw ternyata

  ê Œ ´ ú

  “menyisakan” seorang murid bernama Sayyid ibgat All h ibn R

  Œ Œ ¥

  All h Jam l al-Barwaj (w. 1015 H/1606 M), yang kelahiran India dari

  ê Œ è

  orang tua asal Persia. ibgat All h adalah juga kawan karib dari Fa l

  Œ Œ ´ ¥ ¥

  All h al-Burh np r al-Hind (w. 1029 H/1620 M), yang karyanya,

  Tuúfat al-Mursalah ilŒ R´ ú al-Nab¥ , menimbulkan pembahasan hangat

  di kalangan ulama, dan bahkan membuat heboh di kalangan Muslim Melayu-Indonesia pada awal hingga pertengahan abad 17 (Azra 1994: 85).

  Selama beberapa tahun, di bawah lindungan penguasa

  ê Œ ‹‹Œ

  setempat, ibgat All h sempat mengajarkan doktrin Sya riyyah di tempat kelahirannya, sebelum akhirnya pada tahun 999 H/1591 M ia mengadakan perjalanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.

  ê Œ

  ibgat All h memang pernah kembali ke tanah kelahirannya, dan

  Œ Œ

  tinggal selama setahun di Ahmad b

  d. Ia juga sempat singgah di Bijapur, sebuah pusat sufi di India, tempat di mana dia berhasil

  ‹Œ Œ ¥ Œ

  merebut hati Sul n Ibr h m ‘Adil Sy

  h, yang kemudian membantunya untuk dapat melakukan kembali perjalanan ke

  ê

  Makkah pada musim haji tahun 1005 H/1596 M. Rupanya, ibgat

  Œ ‹‹Œ

  All h merasa lebih dapat mengembangkan tarekat Sya riyyah di Makkah dan Madinah (Haramayn), terbukti bahwa setelah selesai menunaikan ibadah haji, ia memutuskan untuk tinggal di Madinah, di mana ia membangun sebuah rumah dan ribat, yang sangat

  ‹Œ

  mungkin merupakan wakaf dan hadiah dari Sul n di Ahmadnagar, Bijapur serta pejabat-pejabat Uthmani di Madinah (Azra 1994: 85).

  ê

  Dalam perkembangannya, apa yang dilakukan Sayyid ibgat

  Œ

  All h ternyata telah melahirkan era baru bagi sejarah tarekat

  ‹‹Œ

  Sya riyyah itu sendiri. Ia menjadi contoh yang baik bagaimana interaksi keilmuan menghasilkan pertukaran pengetahuan dan transmisi “tradisi-tradisi kecil” Islam dari India. Lebih dari itu,

  ê Œ

  Sayyid ibgat All

  h, yang wafat di Madinah, menjadi ulama pengembara yang akhirnya menjadi salah seorang tokoh kunci dalam persebaran berbagai gagasan keislaman di Haramayn (Azra 1994: 84). Ia kemudian dikenal sebagai Syaikh terkemuka

  ‹‹Œ

  Sya riyyah, yang dipandang paling bertanggungjawab dalam

  Bab 2. Gambaran Umum Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

  33

  memperkenalkan kitab JawŒhir al-Khamsah karangan Syaikh

  £ ú Mu ammad Gau Gwaliyar kepada kalangan ulama di Haramayn.

  

ê Œ

  Karier keilmuan Sayyid ibgat All h di Haramayn rupanya tak terbendung lagi. Ia aktif mengajar di Masjid Nabawi dan di ribat-nya sendiri. Ia juga menulis sejumlah kitab di bidang tasawuf, kalam,

  è ¥

  dan komentar (syarú) atas tafsir al-Bay aw . Murid-muridnya pun datang dari berbagai kalangan. Yang paling terkemuka di antaranya,

  ‹‹Œ

  dan yang kemudian menjadi penerusnya dalam tarekat Sya riyyah,

  

ú ¥ Œ ¥ ú

  adalah A mad al-Sy n w (lahir 975 H/1567 M) dan A mad al-

  Œ ¥

  Qusy sy (991-1071 H/1583-1660 M). Dua orang inilah yang paling

  ê Œ

  bertanggungjawab atas sosialisasi ajaran-ajaran ibgat All h di

  ¥ Œ ¥ Œ ¥

  Haramayn. Hubungan antara al-Sy n w dan al-Qusy sy sendiri

  ¥ Œ ¥

  tergolong unik. Di satu sisi, al-Sy n w adalah kawan seperguruan

  Œ ¥ ê Œ ¥ Œ ¥

  al-Qusy sy dari Sayyid ibgat All

  h, tetapi di sisi lain, al-Sy n w

  Œ ¥

  juga adalah guru, dan juga mertua, al-Qusy sy . Ia mengajari al-

  Œ ¥

  Qusy sy berbagai pengetahuan keislaman, seperti hadis, fikih,

  ¥ Œ ¥

  kalam, dan tasawuf. Bahkan, al-Sy n w pula yang menginisiasi al-

  Œ ¥ ‹‹Œ

  Qusy sy sebagai khalifah tarekat Sya riyyah berikutnya (Azra 1994: 88).

  ¥ Œ ¥

  Setelah al-Sy n w wafat, tanggungjawab atas penyebaran

  ‹‹Œ

  ajaran tarekat Sya riyyah di Haramayn benar-benar diambil alih

  Œ ¥ Œ ¥

  oleh al-Qusy sy . Dalam hal ini, integritas keilmuan al-Qusy sy tidak perlu diragukan lagi. Ia merupakan seorang penulis dan pengarang produktif pada masanya. Karyanya berjumlah puluhan, dalam berbagai bidang keilmuan, seperti tasawuf, hadis, fikih, u§´ l

  al-fiqh , dan tafsir. Dari semua karyanya itu, baru al-Sim al-Maj¥d

  yang menjadi salah satu sumber pokok penelitian ini— saja yang pernah diterbitkan (Azra 1994: 88-89).

  Œ ¥ ‹‹Œ

  Di bawah kebesaran al-Qusy sy , tarekat Sya riyyah semakin memantapkan pengaruhnya di Haramayn. Lebih dari itu, di tangan al-

  Œ ¥ ¥ Œ ¥

  Qusy sy —yang sebelumnya juga telah dirintis oleh al-Sy n w — pula

  ‹‹Œ

  ajaran tarekat Sya riyyah mengalami semacam reorientasi dari sifat awalnya yang cenderung lebih menekankan aspek mistis menjadi sebuah tarekat yang mengajarkan perpaduan antara aspek mistis dengan aspek syariat, atau yang kemudian dikenal sebagai neo-sufisme.

  Selanjutnya, melalui murid-muridnya yang datang dari

  Œ ¥

  berbagai kalangan, al-Qusy sy juga dianggap sebagai yang paling

  ‹‹Œ

  bertanggungjawab dalam transmisi ajaran tarekat Sya riyyah ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke wilayah Melayu-Indonesia. Di antara murid-muridnya, yang penting disebut dalam konteks ini

34 Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

  Œ ¥ ´ Œ ¥

  adalah Ibr h m al-K r n (1023-1102 H/1614 -1690 M), dan Syaikh 16 Abdurrauf al-Sinkili (1024-1105 H/1615-1693 M).

  Kendati lebih dikenal sebagai khalifah dalam tarekat

  ´ Œ ¥

  Naqsybandiyyah, al-K r n sendiri menjadi penting dalam

  ‹‹Œ

  penyebaran tarekat Sya riyyah ke wilayah Melayu-Indonesia

  ´ Œ ¥

  karena hubungannya dengan al-Sinkili. Al-K r n memang tidak mewariskan estafet kekhalifahan kepada siapa pun —termasuk