Tarekat Syâdziliyah Dan Hizbnya

TAREKAT SYÂDZILIYAH DAN HIZBNYA

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)

Disusun Oleh:
Sa’adatul Jannah
NIM:107033101689

JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, penulis menghaturkan segala puji yang tidak terhingga
kepada Allah SWT. Karena Dialah satu-satunya yang memiliki segala kebesaran

dan keagungan. Ditangan-Nyalah bermula segala masalah dan ditangan-Nyalah
terselesaikan segala masalah. Dia juga yang menciptakan kesedihan dikala
manusia sedang bergembira dan menciptakan kegembiraan disaat manusia sedang
berputus asa. Dia juga yang menyembuhkan penyakit manusia ketika mereka
sudah tidak mempunyai harapan untuk kesembuhannya dan Dia pulalah yang
memberikan rasa sakit kepada manusia ketika mereka dalam keadaan
menyombongkan kesehatan dirinya. Dialah yang membuat kesulitan ketika
manusia merasa sombong atas kemampuannya dan dia pulalah yang menjadikan
kemudahan ketika manusia berpasrah diri kepada-Nya.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
juga keluarga serta sahabat-sahabat sekalian. Beliaulah utusan Allah yang telah
merubah kebatilan menuju keimanan serta membawa umat manusia dari tempat
yang gelap gulita ke tempat yang terang benderang.
Setelah sekian lama bertahan antara harap dan cemas, akhirnya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih atas segala bantuan, dorongan dan
sumbangan baik moril maupun materil.

i


Pertama-tama penulis haturkan terimakasih kepada Keluarga saya.
Ayahanda Supangat dan ibunda Choiriah yang dengan penuh kasih sayang,
keikhlasan dan tidak henti-hentinya memanjatkan doa, memberikan dorongan dan
memenuhi kebutuhan materil selama penulis menjalankan perkuliahan. Buat
kakanda Chafid Syahbi yang selalu setia menemani saya dan adik saya M. Hasan
Tamami yang selalu mendo’akan dan menasihati saya.
Terima kasih kepada K.H. Habib Makky dan Ibu Nyai, selaku pimpinan
Pondok Pesantren al-Amien Mersi Purwokerto Wetan yang telah memberikan
waktu untuk memberi arahan dan informasi atas penelitian yang penulis lakukan.
Tak lupa pula penulis haturkan terima kasih kepada bapak Anas penganut dari
Tarekat syadziliyah yang telah merekomendasikan dan yang telah menemani dan
memberi informasi.
Terima kasih kepada Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan. MA, selaku
pembimbing yang sangat sabar memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi
ini, Dekan Fakultas Ushuluddin Prof. Dr. Zainun Kamal. MA, Ketua Jurusan
Akidah Filsafat Drs. Agus Darmaji. M.Fils, Sekretaris Jurusan Akidah Filsafat
Dra. Tien Rohmatin, MA.
Terima kasih kepada segenap civitas akademik Fakultas Ushuluddin yang
telah membantu kelancaran administrasi. Kepada pimpinan dan staf perpustakaan
Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

ii

Selanjutnya, terimakasih kepada kawan-kawan seperjuangan, mba saya
Uyun yang sudah meninggalkan saya wisuda duluan, Ayu yang semangat ya
kuliahnya, Ipeh yang selalu senang mendengar cerita-cerita saya, Nanang, Amar,
Faiz, Makin, Anwar, Muis, Riza, Rian, Acan, Verli, Diki, Hambali, Khadoet,
Deul, Gangsar, Hamzah dan Tanti. Tak lupa penulis ucapkan salam kepada
senior-senior Ushuluddin.
Terima kasih kepada semua seluruh pihak yang telah membantu penulis,
namun tidak sempat di sebutkan satu persatu namanya. Semoga Allah SWT.
membalas dengan kebaikan kalian. Akhirnya, penulis menyelesaikan skripsi ini,
semoga bermanfaat dunia akhirat.

Jakarta, 9 Oktober 2011

iii

TRANSLITERASI

Dalam skripsi ini, sebagian data berbahasa Arab ditransliterasikan ke
dalam huruf latin, transliterasi dan cara penulisan yang penulis gunakan dalam
skripsi ini berdasarkan pada pedoman Penulisan Karya Ilmiah ( Skripsi, Tesis, dan
disertasi) “ yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Develoment and
Assurance ) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab
‫ا‬
‫ب‬
‫ت‬
‫ث‬
‫ج‬
‫ح‬
‫خ‬
‫د‬
‫ذ‬
‫ر‬
‫ز‬
‫س‬

‫ش‬
‫ص‬
‫ض‬
‫ط‬
‫ظ‬
‫ع‬
‫غ‬
‫ف‬
‫ق‬
‫ك‬
‫ل‬
‫م‬
‫ن‬
‫و‬
‫ء‬
‫ي‬

Huruf Latin
B
T

Ts
J
H
Kh
D
Dz
R
Z
S
Sy
S
D
T
Z

Gh
F
Q
K
L

M
N
W
H

Y

iv

Keterangan
tidak dilambangkan
Be
Te
te dan es
Je
h dengan garis bawah
ka dan ha
De
de dan zet
Er

Zet
Es
es dan ye
Es dengan garis di bawah
De dengan garis di bawah
Te dengan garis di bawah
zet dengan garis di bawah
koma terbalik di atas hadap kanan
ge dan ha
Ef
Ki
Ka
El
Em
En
We
Ha
Aspostrof
Ye


Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin
a
i
u

Keterangan
Fathah
Kasrah
Dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab
‫ي‬


Tanda Vokal Latin
ai
au

Keterangan
a dan i
a dan u

Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab di
lambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab
‫و‬

Tanda Vokal Latin
â
î
û


Keterangan
a dengan topi di atas
i dengan topi di atas
u dengan topi di atas

Kata sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ‫ ال‬di alih aksarakan menjadi huruf/l/ baik diikuti huruf syamsiyyah
maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwan bukan addîwân.

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…….…………………………………………………..... i
TRANSLITERASI……….…………………………………………………….. iv
DAFTAR ISI……………….………………………………………………….... vi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…….…………….……………………... 1
B. Tinjauan Pustaka ...............................…………............................ 6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah…..………………………... 8
D. Tujuan Penelitian……………………….………………………... 8
E. Metode Penelitian……………………….……………………….. 9
F. Sistematika Penulisan……………………..……………………... 9
BAB II : ABÛ HASAN AL-SYÂDZILÎ DAN TAREKAT SYÂDZILIYAH
A. Biografi Abû Hasan Al-Syâdzilî……………………………….. 11
1. Latar belakang dan Pendidikan Abû Hasan Al-Syâdzilî…..… 11
2. Karya-karya Abû Hasan Al-Syâdzilî........................................ 14
3. Kepribadian Abû Hasan Al-Syâdzilî………………………… 15
4. Pemikiran Abû Hasan Al-Syâdzilî…………………………... 17
B. Tarekat Syâdziliyah dan Keberadaannya…………………......... 18
C. Pengikut Tarekat Syâdziliyah…………………………………... 23
BAB III : HIZB TAREKAT SYÂDZILIYAH
A. Pengertian Hizb………………………………………………… 28
B. Hizb-Hizb Tarekat Syâdziliyah ……………………..…………. 29

vi

C. Pengaruh Hizb bagi yang Mengamalkannya …………………... 68
BAB IV : PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………….............. 75
B. Saran-Saran…………………………………………………….. 77

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 78
LAMPIRAN…………………………………………………………………... 81

vii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Tarekat adalah sebuah kata yang berasal dari kata thariqah yang berarti
jalan. Kata al-thariqah dapat dijumpai pada al-Qur‟an surah al-Jin ayat 16:

“Dan seandainya mereka menempuh jalan lurus mengikuti jalan
itu, niscaya Aku akan memberi mereka minum dengan air yang paling
segar.”
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Nabi
saw. menyuruh umatnya untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah para
sahabatnya. Sunnah juga berarti jalan, seperti halnya thariqah yang berarti jalan.
Kendati sama-sama bermakna jalan, istilah tarekat dapat diterapkan pada berbagai
kelompok orang yang mengikuti mazhab pemikiran yang dikembangkan oleh
seorang alim atau Syaikh tertentu,1 sedangkan istilah sunnah tidak demikian
halnya.
Pada abad ketujuh Hijriyah di dunia Islam, baik di kawasan sebelah Timur
maupun Barat, tumbuh berbagai tarekat sufi yang bergerak secara aktif. Di dunia
Islam belahan Barat muncul Tarekat Syâdziliyah yang kemudian berkembang ke
Mesir dan negeri-negeri dunia Islam belahan Timur dan terus menyebar ke

1

Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, Tasawuf dan Ihsan: Antivirus Kebatilan dan
Kezaliman. Penerjemah Zainul Am (Jakarta: SERAMBI, 1998), h.16.

1

2

berbagai kawasan Islam hingga saat ini.2 Tarekat Syâdziliyah adalah salah satu
tarekat yang diakui kebenarannya (al-mu’tabarah).
Tarekat Syâdziliyah dinisbatkan kepada Abû Hasan al-Syâdzilî (w. 656
H/1258 M) sebagai pendirinya, Tarekat ini cukup dikenal dengan hizbnya.3 Ia
adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf searah dengan alGhazâlî, yakni pelaksanaan tasawuf yang tetap memegang teguh syariat yang
berlandaskan al-Qur‟an dan as-Sunnah, mengarah pada asketisme, pelurusan dan
penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan pembinaan moral (akhlaq). Tarekat ini
dinilai oleh kebanyakan kalangan bersifat moderat dan menawarkan konsep zuhud
(al-zuhd) yang lebih moderat.4
Al-Syâdzilî

tidak

menganjurkan

pada

murid-muridnya

untuk

meninggalkan profesi dunia mereka. Mereka tidak harus hidup menyendiri dan
bahkan dianjurkan untuk merealisasikan ajaran tarekat dalam masyarakat di
tengah-tengah kesibukan mereka. Bertarekat itu tidak berarti menghalangi upayaupaya modernisasi. Konon, tarekat ini banyak digemari oleh kalangan usahawanusahawan berduit dan berdasi, yang merasa pas dengan ajarannya dan tertarik
menjadi pengikut Tarekat Syâdziliyah.
Al-Syâdzilî

senantiasa

mengajarkan

kepada

pengikutnya

agar

menggunakan nikmat Allah secukupnya baik dalam hal pakaian, makanan,
kendaraan, yang layak dalam kehidupan yang sederhana. Hal demikian akan
menumbuhkan rasa syukur kepada Allah SWT dan mengenal rahmat Ilahi.
2

Abu al-Wafa al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman. Penerjemah Ahmad Rofi‟
„Utsmani (Bandung: Pustaka, 1997), h. 238.
3
Sri Mulyati dan Wiwi Siti Sajaroh, Laporan Penelitian Kolektif: Tasawuf Pasca Ibn
Arabi (Jakarta: Fakultas Ushuluddin UIN, 2006), h 1.
4
Sri dan Wiwi, Laporan Penelitian Kolektif, h. 22.

3

Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur
dan berlebih-lebihan memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezhaliman.
Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT, sebaik-baiknya sesuai
petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Al-Syâdzilî berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan
umat Islam saat itu, seperti apa yang dirisaukan oleh para modernis-rasionalis
sekarang. Dia berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami
oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif
yang banyak dialami para sâlik. Dia menawarkan tasawuf yang ideal dalam arti
bahwa di samping berupaya mencapai makrifat, juga harus beraktivitas dalam
realitas sosial di „bumi‟ ini. Seperti yang dikatakan al-Syâdzilî bahwa seorang sufi
tidak hanya beribadah tetapi juga harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan
hidup jasmaniahnya.5
Di samping itu tarekat ini mempunyai lima prinsip dasar yang harus
menjadi ciri sikap dan tingkah laku setiap pengikutnya. Lima prinsip ini, yakni:
(1) bertaqwa kepada Allah, baik dalam keadaan sunyi maupun dalam keadaan
ramai. (2) mengikuti sunnah Rasulullah (3) berkhalwat (4) ridha kepada Allah (5)
senantiasa mengingat Allah baik dalam keadaan lapang maupun sulit.6
Ajaran al-Syâdzilî ini kemudian diteruskan oleh muridnya Abû Άbbâs alMursî (w. 686 H.), kemudian diteruskan oleh Ibn Athâillâh al-Iskandari (w. 709
H.). Mereka ini dalam perkembangannya dipandang sebagai pioner Tarekat
5

Ardani, “Tarekat Syadziliyah terkenal dengan Variasi Hizb-nya,” dalam Sri Mulyati, ed.,
Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), h.
73-75.
6
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf (T.tp.: AMZAH,
2005), h. 219.

4

Syâdziliyah, sehingga berkembang pesat di beberapa wilayah seperti Tunisia,
Mesir, Aljazair, Sudan, Syria dan Indonesia khususnya di Jawa.7 Tarekat
Syâdziliyah memulai keberadaannya di bawah salah satu dinasti al-Muwahhidûn,
yakni Hafsiyyah di Tunisia. Tarekat ini kemudian berkembang dan tumbuh subur
di Mesir dan Timur Dekat di bawah kekuasaan dinasti Mamluk.
Al-Syâdzilî tidak meninggalkan karya berupa buku maupun risalah
tasawuf, tetapi menyusun rangkaian doa yang berasal dari pengalaman mistis
(hizb) yang memuat formula ayat al-Qur‟an dan juga inspirasi khas tasawuf.
Kumpulan doa ini dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru Dunia Islam.
Rangkaian doa ini memiliki nama yang diberikan olehnya sendiri (Abû Hasan AlSyâdzilî) ataupun oleh orang lain, seperti hizb al-bahr, hizb al-nashr, hizb al-barr
atau al-kabir dan lain-lain. Saat ini dapat dijumpai bahwa di banyak pesantren di
Indonesia diajarkan hizb al-Syâdzilî itu. Dikatakan bahwa doa-doa tersebut sangat
makbul dan Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî mengakui bahwa dirinya menerima
langsung dari lisan Nabi dalam penglihatan spiritual.8
Menurut Tarekat Syâdziliyah, daya spiritual hizb itu bukan datang dari jin,
tetapi murni dari Allah. Apabila terjadi kasus seseorang yang mengamalkan hizb
ini, ternyata jin yang turut campur, maka yang perlu diluruskan adalah niat
seseorang mengamalkan hizb tersebut. Amal sebaik apapun jika niat dalam
hatinya jahat maka niat jahatnya itulah yang akan menjadi kenyataan dan hasilnya

7

Hasan Muarif Ambari, et.al., Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), h. 193.
8
Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” dalam Sayyed
Hossein Nasr, ed., Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi. Penerjemah Tim Mizan
(Bandung: Mizan, 2003), h. 38.

5

hanya akan berhenti pada niatnya itu, yang biasanya tidak ikhlas karena Allah.
Karena itulah, jika seseorang akan memasuki suatu tarekat, yang paling penting
adalah menata dan meluruskan niat dalam hatinya semata-mata hanya karena
Allah.
Hizb inilah ciri utama Tarekat Syâdziliyah yang dapat dirasakan hingga
saat ini dan terutama hizb al-bahr yang dikenal sangat memberi pengaruh yang
kuat bagi pengamalnya. Hizb yang diajarkan Tarekat Syâdziliyah jumlahnya
cukup banyak dan setiap murid tidak menerima hizb yang sama karena
disesuaikan dengan situasi dan kondisi ruhaniah murid sendiri dan kebijaksanaan
mursyid. Hizb-hizb tersebut tidak boleh diamalkan oleh semua orang, kecuali
telah mendapat izin atau ijazah dari mursyid atau seseorang murid yang ditunjuk
mursyid untuk mengijazahkannya.9
Penulis sangat tertarik terhadap Tarekat Syâdziliyah karena banyaknya
penganut atau pengikut dari Tarekat Syâdziliyah. Dalam penulisan ini, penulis
ingin membahas tentang tokoh Tarekat Syâdziliyah dan ajarannya mengenai
hizbnya. Meskipun sudah ada yang membahas tentang Tarekat Syâdziliyah,
namun menurut penulis pembahasannya lebih kepada seputar perkembangan sosio
kultural para pengikut Tarekat Syâdziliyah, terutama dalam aspek perkembangan,
dan ajarannya. Walaupun dalam ajarannya sudah diteliti, tetapi tidak secara
terperinci dalam membahas ajaran hizb Tarekat Syâdziliyah. Oleh karena itu
dalam skripsi ini penulis lebih menitik beratkan pada aspek Tarekat Syâdziliyah
dan hizbnya. Inilah inti dari permasalahan yang akan dibahas. Hal ini sangat
9

Heri MS Faridy, dkk., ed., Ensiklopedi Tasawuf, jilid III (Bandung: Angkasa, 2008), h.

1153.

6

menarik untuk dikaji dan dipahami lebih dalam. Karena itu, penulis ingin
membahas hal ini lewat sebuah tulisan ilmiah yang berjudul “Tarekat Syâdziliyah
dan Hizbnya ”.

B. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan hasil tinjauan penulis terhadap pustaka yang ada terdapat
beberapa karya tulis dalam bentuk buku, skripsi, tesis yang pernah penulis baca,
berkaitan dengan pembahasan skripsi ini:
Pertama, Imam Ali Abil Hasan Asy-Syadzili: Kepribadian dan Pemikiran
karya Miftahussurur Anwar dan Muhdhor Ahmad Assegaf. Buku ini selain
menguraikan tentang kepribadian dan pemikiran Abû Hasan al-Syâdzilî, juga
membahas hizb-hizb Abû Hasan al-Syâdzilî beserta terjemahan hizb-hizb, tetapi
tidak semua hizb-hizb Abû Hasan al-Syâdzilî dibahas di dalam buku ini.
Dikatakan oleh Abû Hasan al-Syâdzilî: “Barangsiapa yang membaca hizb ini,
maka dia akan memperoleh segala apa yang telah kami peroleh dan terhindar dari
bahaya yang Allah hindarkan dari kami”.
Kedua, kitab Dalâil al-Khairât má a al-Ahzâb yang di karang oleh Abi

́Abdillah Muhammad ibn Sulaiman al-Jazulî. Kitab itu berisi petunjuk tentang

bacaan shalawat atas Nabi Muhammad saw. beserta bacaan hizb yang diajarkan
oleh pendahulunya, Abû Hasan al-Syâdzilî. Hizb yang terkenal adalah hizb yang

di susun oleh Abû Hasan al-Syâdzilî, pendiri Tarekat Syâdziliyah, antara lain hizb
al-bahr, hizb al-barr (al-kabir) dan hizb al-nashr.

7

Ketiga, “Sejarah Perkembangan dan Peranan Tarekat Syadziliyah di
Kabupaten Bekasi”, skripsi yang ditulis oleh Muhammad Juni, menginformasikan
bahwa perkembangan Tarekat Syâdziliyah di Kabupaten Bekasi sangat pesat sejak
periode KH. Mahfudz Syafi‟i (1993-2003) sampai sekarang, yang mempunyai
bai‟at mutlaq dari KH. Mustaqim bin Husain Tulungagung Jawa Timur. Tarekat
Syâdziliyah di Kabupaten Bekasi diajarkan degan konsep yang mudah dipahami,
sesuai zaman sekarang yang serba modern dan sesuai kebutuhan murid-murid
pada saat itu. Tarekat Syâdziliyah berdiri di Kabupaten Bekasi, karena adanya
murid yang membutuhkan tempat untuk menjalankan riyadhah di dekat kediaman
Kyai dan dapat bimbingan langsung dari Kyai dan sebagai tempat untuk
menjalankan acara ke tarekatan, seperti pengajian, ritual khususiyah dan tempat
untuk menjalankan wiridan.
Keempat, “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajarannya:
Studi pada Pondok Peta di Tulungagung”, tesis yang ditulis oleh Muhammad
Zaini, menginformasikan bahwa perkembangan Tarekat Syâdziliyah di Pondok
PETA Tulungagung sangat baik; secara kuantitas murid atau pengikutnya sangat
banyak, yang diperkirakan jumlah pengikutnya minimal adalah 50.000 orang
sampai jutaan orang. Tarekat Syâdziliyah yang dikembangkan di Pondok PETA
Tulungagung berasal dari Pondok Pesantren Termas Pacitan, tepatnya dibawa
oleh Syaikh Άbdul Razzâq ibn Άbdullâh al-Termasî. Ajaran-ajaran Tarekat
Syâdziliyah di Tulungagung meliputi istighfar, shalawat Nabi saw, wasilah atau
tawasul, rabithah, wirid, hizb, adab murid dan suluk.

8

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Perkembangan pengikut Tarekat Syâdziliyah yang begitu pesat, membuat
peneliti bermaksud mengetahui lebih mendalam Tarekat Syâdziliyah dan hizbnya.
Penulis menfokuskan kajian dalam penulisan ini hanya terkait dengan
Tarekat Syâdziliyah, khususnya berkenaan dengan Tarekat Syâdziliyah dan ajaran
mengenai hizb sebagai pembatasan masalah.
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, terdapat perumusan masalah
dalam skripsi ini, yaitu:
1. Bagaimana munculnya Tarekat Syâdziliyah dan sosok pendirinya?
2. Apa pengaruh ajaran hizb bagi pengikutnya yang mengamalkan?

D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan sebagai media informasi dan media belajar serta
untuk mengetahui lebih dalam Tarekat Syâdziliyah dan ajarannya mengenai hizb,
agar tidak ada kesalahfahaman persepsi tentang Tarekat Syâdziliyah.
Adapun tujuan penulisan skripsi ini ialah:
1. Mengetahui lebih jelas tentang biografi Abû Hasan al-Syâdzilî.
2. Mengetahui keberadaan Tarekat Syâdziliyah dan pengikutnya.
3. Memperoleh pemahaman mengenai hizb-hizb Tarekat Syâdziliyah.
4. Sebagai karya akademik, penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi
persyaratan mencapai gelar Sarjana pada Fakultas Ushuluddin, Program
Studi Aqidah dan Filsafat di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

9

E. Metode Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, untuk mendapatkan data yang diperlukan,
penulis melakukan Studi Pustaka (Library Research), yakni menggunakan
sumber-sumber pustaka sebagai rujukan utama dalam mengumpulkan informasi.
Penulis mencari dan mengumpulkan buku-buku, tulisan-tulisan dan dokumen
elektronik dari internet serta beberapa sumber yang berkaitan dengan Tarekat
Syâdziliyah dan hizbnya.
Adapun pembahasannya, dalam skripsi ini adalah menggunakan metode
deskripsi analisis, yaitu pertama menggambarkan masalah, berikutnya meneliti
tulisan-tulisan kepustakaan yang berkaitan dengan pembahasan Tarekat
Syâdziliyah dan hizbnya dan kemudian melakukan analisis.
Teknik penulisan dalam skripsi ini sesuai dengan buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), yang diterbitkan oleh
CeQDA (Center for Quality Develoment and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2007.

F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini, penulis bagi ke dalam empat bab, masing-masing bab terdiri
atas beberapa sub bab:
Bab I, pendahuluan, dimulai dengan latar belakang masalah, tinjauan
pustaka, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian
dan diakhiri dengan sistematika penulisan. Bab II, membahas Tarekat
Syâdziliyah. Pertama, tentang biografi Abû Hasan al-Syâdzilî yang terdiri dari

10

latar belakang dan pendidikan Abû Hasan al-Syâdzilî, karya-karya Abû Hasan AlSyâdzilî, kepribadian Abû Hasan al-Syâdzilî dan pemikiran Abû Hasan alSyâdzilî. Kedua, Tarekat Syâdziliyah dan keberadaannya. Ketiga, pengikut
Tarekat Syâdziliyah.
Bab III, merupakan bab inti, memaparkan pokok bahasan berkenaan hizb
Tarekat Syâdziliyah, seperti pengertian hizb, hizb-hizb Tarekat Syâdziliyah,
pengaruh hizb bagi yang mengamalkannya. Bab IV, menyimpulkan semua isi
pembahasan yang menjadi fokus kajian dari penelitian ini dan saran-saran yang
mengakhiri sekaligus menutup pembahasan.

11

BAB II
TAREKAT SYÂDZILIYAH

A. Biografi Abû Hasan Al-Syâdzilî
1. Latar Belakang dan Pendidikan Abû Hasan Al-Syâdzilî
Nama lengkapnya Άli bin Abdullah bin Άbd. Al-Jabbâr Abû Hasan alSyâdzilî. Sebutan Abû Hasan merupakan nama kunyah (gelar kemuliaan) bagi
beliau. Abû Hasan al-Syâdzilî kemudian lebih terkenal dengan panggilan alSyâdzilî.1 Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan orang-orang garis
keturunan Hasan bin Άlî bin Abi Thâlib, cucu Nabi Muhammad SAW. Silsilah alSyâdzilî dari Hasan bin Άlî bin Abi Thâlib, kemudian diteruskan kepada Άlî bin
Abi Thâlib yang menikah dengan Fatimah, anak perempuan Nabi Muhammad.
Oleh karenanya tarekat ini mempunyai silsilah sampai kepada Nabi Muhammad.2
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat antara Ibn Athâillâh dengan alJami‟, mengenai nasab al-Syâdzilî. Ibn Athâillâh menasabkan kepada orang-orang
terhormat dan menyatukan nasabnya kepada al-Hasan bin Άlî bin Abi Thâlib.
Namun al-Jami‟ menasabkan al-Syâdzilî kepada al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Al-Syâdzilî dilahirkan di desa Ghumara, dekat Ceuta, di utara Maroko pada tahun
573 H. Wafat pada 656H/1258M, di Humaithra,3 dekat pantai Laut Merah, dalam
perjalanan pulang dari ibadah haji. Adapun mengenai tahun kelahiran al-Syâdzilî,
1

Miftahussurur Anwar dan Muhdhor Ahmad Assegaf, Imam Ali Abil Hasan Asy-Syadzili:
Kepribadian dan Pemikiran (Jawa Tengah: Al-Anwar, 2002), h. 1.
2
Harun Nasution, dkk., Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 902.
3
Humaithra adalah suatu daerah yang terletak antara Port Said dan Padang Izab, (Mesir).
Menurut keterangan air di tempat itu rasanya asin, tetapi sejak Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî
wafat dan dimakamkan di sana airnya berubah menjadi tawar. Lihat Abdullah Zain, Tasawuf dan
Zikir, h. 153.

11

12

sebenarnya masih belum ada kesepakatan. Beberapa penulis berbeda pendapat
antara lain sebagai berikut: Sirâdj al-Din Abû Hafsh menyebut tahun kelahirannya
pada 591 H/1069 M, Ibn Sabbâgh menyebut tahun kelahirannya pada 583 H/1187
M, dan J. Spencer Trimingham mencatat tahun kelahiran al-Syâdzilî pada 593
H/1196 M.4
Di tanah kelahirannya itulah, semaca kecil beliau belajar dan mempelajari
berbagai ilmu pengetahuan agama, sebelum akhirnya beliau mengembara ke
berbagai daerah untuk menimba ilmu pengetahuan yang kelak menghantarkan
maqam (derajat) beliau menjadi seorang waliyyun min auliyâ’illâh (termasuk
orang-orang yang dicintai Allah), bahkan mencapai derajat quthbil ghouts
(pemimpin para wali yang dapat dimintai pertolongan).5
Ilmu yang diperoleh bermula dari orang tuanya, kemudian al-Syâdzilî
melanjutkan pendidikannya pada seorang ulama besar yaitu Άbd. Al-Salâm Ibn
Masyîsy (w. 628 H/1228 M) dan Abû Abdillah M Ibn Kharazim (w. 633 H/1236
M) yang mengajarkan berbagai disiplin ilmu terutama dalam hal spiritual. Kedua
murid besarnya adalah murid dari Abû Madyan Syu‟aib Ibn al-Husein (11161198)6, lahir di Seville. Beliau adalah ulama besar di Maghribi yang telah
mempelajari dan menghafal kitab Ihyâ’ „Ulûm al-Dîn karya al-Ghazâlî dan juga
murid dari Syaikh Άbd. al-Qâdir al-Jîlânî (w. 561 H/1166 M), sehingga tidak
mengherankan jika al-Syâdzilî pun terpengaruh oleh ajaran-ajaran Syaikh Άbd. al-

4

Ardani, “Tarekat Syadziliyah terkenal dengan Variasi Hizb-nya,” dalam Sri Mulyati, ed.,
Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), h.
57-58.
5
Miftahussurur dan Muhdhor, Imam Ali Abil Hasan Asy-Syadzili, h. 1-2.
6
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (ringkas). Penerjemah Gufron A. Mas‟adi (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1999), h. 378.

13

Qâdir al-Jîlânî. Di antara guru-guru al-Syâdzilî, Ibn Masyisy-lah yang sangat
mempengaruhi perjalanan spiritual dan kehidupannya.
Adapun kitab-kitab tasawuf yang pernah dikaji oleh al-Syâdzilî dan
dikemudian hari ia ajarkan kepada muridnya, antara lain: Ihyâ’ „Ulûm al-Dîn
karya al-Ghazâlî, Qût al-Qulûb karya Abû Thâlib al-Makkî, Khatm al-Auliyâ’
karya al-Hâkim al-Tirmidzi, al-Mawâqif wa al-Mukhâthabah karya Muhammad
Άbd al-Abbâr an-Nafri, al-Syifa’ karya Qadhli „Iyâdh, al-Risâlah karya alQusyairî dan Muharrar al-Wajiz karya Ibn Athiah.7
Menurut Abdul Halim Mahmud (w. 1978 M),8 al-Syâdzilî mendapatkan
berbagai ilmu yang dia peroleh dari gurunya maupun belajar secara autodidak. AlSyâdzilî terkenal sebagai ahli dalam al-Hadis, penghafal al-Qur‟an, ahli fiqih,
teologi dan tidak kalah penting adalah ahli dalam ilmu tasawuf. Hal inilah yang
memberi pengaruh pada perkembangan pemikirannya dan menjadi seorang guru
dan sufi yang mempunyai karomah. Pendapat Abdul Halim, menurut Ardani,
agaknya masuk akal dan bisa diterima. Tidak mungkin tanpa pengetahuannya
tentang syariat, al-Syâdzilî berpendapat bahwa tidak ada kontradiksi antara syariat
dan tasawuf, antara fiqh dengan haqiqah atau antara eksoterik dengan esoteris. AlSyâdzilî menegaskan, “jika engkau ingin belajar tasawuf maka pelajarilah syariat
terlebih dahulu”, sehingga mereka yang ingin masuk Tarekat Syâdziliyah
diharuskan mempelajari dan memahami ajaran-ajaran syariat dasar.
Namun demikian, bisa jadi pendapatnya yang moderat dalam masalah
hubungan syariat dengan tasawuf ini, diperoleh juga dari guru sufinya, karena
7

Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 59-60.
Dia adalah mantan Rektor Universitas al-Azhar yang pernah menjadi mursyid Tarekat
Syadziliyah di Mesir.
8

14

menurut data yang diberikan oleh Trimingham bahwa Abû Madyan dan muridnya
Άbd. Al-Salâm Ibn Masyîsy adalah sufi yang kokoh mengenai syariat.9
Ketika masih berusia muda, al-Syâdzilî meninggalkan kota kelahirannya
menuju Tunisia. Beberapa waktu kemudian, dia menjadi seorang teolog beraliran
Sunni yang sangat menentang Mu‟tazilah. Dia sangat menentang sistem
pemikiran Mu‟tazilah yang sangat menghargai akal. Sedangkan dalam fikih, para
anggota Syâdziliyah awal mengikuti mazhab Maliki. Hal ini bukan hanya karena
al-Syâdzilî sendiri bermazhab Maliki, tetapi Mazhab ini sangat dominan di daerah
Maghribi (Spanyol, Maroko, Tunisia).10 Ketika penyebaran Tarekat Syâdziliyah,
berpindah ke Alexandria, Mesir,11 di daerah ini juga mayoritas penduduknya
berpaham Maliki.
2. Karya-karya Abû Hasan Al-Syâdzilî
Dalam kehidupannya al-Syâdzilî tidak menulis ajaran-ajarannya dalam
sebuah karya berupa buku maupun risalah tasawuf, begitu juga muridnya, Abû
Άbbâs al-Mursî; di antara sebab-sebabnya adalah karena kesibukannya melakukan
pengajaran-pengajaran terhadap murid-muridnya yang sangat banyak. Al-Syâdzilî
berkata: “Kitabku adalah murid-muridku, merekalah yang menyebarkan ilmu dan

9

Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 60-61.
Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” dalam Seyyed
Hossein Nasr, ed., Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi. Penerjemah Tim Mizan
(Bandung: Mizan, 2003), h. 44-47.
11
Kota Alexandria waktu itu menjadi pusat perdagangan. Di sini dibangun kantor-kantor
perusahaan yang cabangnya menyebar di berbagai daerah. Lihat Victor Danner, “Tarekat
Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” h. 46.
10

15

tarekatku”.12 Ajaran-ajaran al-Syâdzilî dapat diketahui melalui risalah tulisan Ibn
Athâillâh al-Iskandari, sehingga khazanah Tarekat Syâdziliyah tetap terpelihara.13
Meskipun begitu, al-Syâdzilî menyusun rangkaian doa yang berasal dari
pengalaman mistis (hizb) yang memuat formula ayat al-Qur‟an dan juga inspirasi
khas tasawuf. Kumpulan doa ini dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru Dunia
Islam. Sejak saat itu, karya beliau menjadi rangkaian doa yang sangat luas
pemakaiannya dalam Dunia Islam dan dianggap memiliki keberkatan khusus.
Rangkaian doa ini memiliki nama yang diberikan olehnya sendiri (Abû Hasan AlSyâdzilî) ataupun oleh orang lain, seperti hizb al-bahr, hizb al-nashr, hizb al-barr
atau al-kabir dan lain-lain. Saat ini dapat dijumpai bahwa di banyak pesantren di
Indonesia diajarkan hizb al-Syâdzilî itu. Dikatakan bahwa doa-doa tersebut sangat
makbul dan Syaikh Abû Hasan Al-Syâdzilî mengakui bahwa dirinya menerima
langsung dari lisan Nabi dalam penglihatan spiritual.14
3. Kepribadian Abû Hasan Al-Syâdzilî
Di antara para tokoh sufi, Abû Hasan al-Syâdzilî adalah seorang yang
mempunyai perawakan ideal, warna kulitnya sawo matang, tinggi badannya, jarijarinya panjang sebagaimana orang Hijaz. Fasih lisannya dan manis tutur katanya.
Ia selalu berpakaian mewah saat ia berpergian kemana-mana, lebih-lebih ketika ia
pergi ke masjid. Tempat-tempat yang lain (selain tempat kotor) baginya sama

12

Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 73.
Data yang ada seringkali berdasarkan atas riwayat, baik dari muridnya, koleganya atau
anaknya sendiri. Meskipun begitu, data tersebut tidak bisa dikatakan tidak valid karena dalam
tradisi kesufian, periwayatan dan kesaksian menempati bagian penting.
14
Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” h. 38.
13

16

seperti masjid.15 Al-Syâdzilî agaknya seorang tokoh sufi yang bercorak modern,
artinya „tidak terlalu‟ meninggalkan dunia.16 Ia hidup sebagaimana layaknya
manusia modern. Bagi al-Syâdzilî, bila seorang memanfaatkan kebahagiaan
dunianya, ia adalah orang yang bersyukur atas ni‟mat yang diberikan oleh Allah
SWT. Hal ini juga sesuai dengan ajaran Islam yang mengatakan berfikirlah
dengan ciptaan-Nya dan jangan memikirkan zat-Nya. Menurutnya, orang yang
memanfaatkan kebahagiaan di dunia akan selalu mencintai Allah SWT. Sebab
dengan memikirkan ciptaan-Nya ia akan merasakan betapa agungnya Allah SWT.
Al-Ustadz Syekh Άli Salim Άmmar mengatakan: “al-Syâdzilî suka
mengenakan pakaian yang paling bagus dan paling mewah, makan makanan yang
lezat dan minum minuman yang enak, serta memiliki kuda yang bagus dan cepat.
Beliau juga penunggang kuda yang hebat, seorang ilmuwan yang handal, seorang
pejuang di medan peperangan, seorang petani yang membajak sawah, menanam
dan memanennya sendiri.” Demikian pula al-Syâdzilî juga terkenal sebagai hamba
Allah yang selalu beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, sekaligus
sebagai sosok seorang Muslim yang dicintai oleh Allah SWT.
Ibn Athâillâh al-Iskandari pernah mengatakan dan ini menjadi penjabaran
salah satu ajaran Tarekat Syâdziliyah, bahwa barangsiapa mengenakan pakaian,

15

Hadits Rasulullah saw. “Aku jadikan bumi laksana Masjid.” Yakni bahwa bumi di mana
tempat manusia berada semuanya masjid. Abû Hasan al-Syâdzilî selalu berpenampilan rapih dan
bersih di manapun ia berada. Lihat Miftahussurur dan Muhdhor, Imam Ali Abil Hasan AsySyadzili, h. 17-18.
16
Abû Hasan al-Syâdzilî pernah berkata, ketika ia menasihati pengikutnya, “janganlah
kamu terlalu berlebih-lebihan meninggalkan urusan dunia.” Lihat Ardani, “Tarekat Syadziliyah
Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 73-74.

17

makan makanan yang enak dan minum minuman yang lezat selagi disertai syukur
kepada Allah, maka itu tidak sesuatu yang dilarang.17
4. Pemikiran Abû Hasan Al-Syâdzilî
Al-Syâdzilî, seorang tokoh sufi yang berasal dari Maghribi dan kemudian
hijrah ke Mesir, ia sangat menekankan ajaran tasawuf yang moderat. Ajaranajaran tasawufnya sifatnya seimbang, diarahkan untuk mendekatkan diri kepada
Allah sekaligus kepada realitas masyarakat. Bahwa seorang salik tidak cukup
mendekat kepada Allah saja, tapi juga harus berbakti kepada masyarakat.
Menurutnya, sufi bukanlah seorang yang menghindar dari masyarakat, karena
sebenarnya beraktivitas sosial untuk kemaslahatan ummat adalah bagian
terpenting dari hasil kontemplasi seorang sufi.
Begitu pula, ajaran-ajarannya juga selalu berpegang teguh pada al-Qur‟an
dan Sunnah, sebagai sumber tertinggi. Dengan demikian, ajaran tasawufnya dapat
dikatakan tidak menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW. Karena bertasawuf
adalah upaya melatih dan memperbaiki diri agar sesuai dengan aturan-aturan
Allah SWT. Tasawuf merupakan latihan-latihan jiwa dalam rangka beribadah dan
menempatkannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan Ilahi.18
Al-Syâdzilî termasuk juga sufi yang berpandangan bahwa dunia itu hina.
Tetapi dengan catatan, dunia yang bisa melalaikan manusia pada tuhannya.
Menurutnya, tidak ada larangan bagi seseorang menjadi kaya, milliuner, asalkan
hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya. Sesungguhnya yang
menjadikan seorang hina adalah karena ketergantungannya pada dunia. Seseorang
17

Miftahussurur dan Muhdhor, Imam Ali Abil Hasan Asy-Syadzili, h. 17-19.
Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 74.

18

18

yang memiliki banyak harta dan hatinya tidak tergantung padanya maka dia bisa
disebut zahid. Sebaliknya, meskipun tidak mempunyai harta, tetapi jika perhatian
terfokus pada harta, orang tersebut tidak bisa disebut zahid.
Zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Tuhan. Karena sifatnya
pekerjaan hati maka tidak mesti sifat zuhud itu diukur dari kepemilikan harta.
Seorang zahid bisa jadi mempunyai banyak harta. Atas pertimbangan itu dan demi
memakmurkan dunia, al-Syâdzilî mendorong para salik agar tetap mencari harta
kekayaan, namun jangan sampai melalaikan Tuhan.19 Pemahaman al-Syâdzilî ini
kemudian terimplementasikan, seperti dalam tarekat yang dipimpinnya, alSyâdzilî yang sebagaimana ungkap Annemari Schimmel, mempunyai pendekatan
pragmatis untuk kenyamanan duniawi.20
Memang menurut al-Syâdzilî, bertasawuf itu tidak menjadikan sang salik
terasing dari dirinya sendiri maupun masyarakat. Dengan demikian, konsep
tasawuf yang diajukannya bisa menolak sikap apatis sebagian kalangan
modernisme terhadap tasawuf. Menurutnya, tasawuf bukan anti kemajuan, tapi
sebaliknya, mendukung perubahan kearah tatanan masyarakat yang lebih baik.

B. Tarekat Syâdziliyah dan Keberadaannya
Tarekat Syâdziliyah adalah salah satu tarekat yang besar di samping
Tarekat Qadiriyah, Rifa‟iyah, Naqsyabandiyah dan Suhrawardiyah. Tarekat
Syâdziliyah adalah tarekat yang paling layak disejajarkan dengan Tarekat

19

Saepudin, “Pemikiran Tasawuf Abu Hasan Al-Syadzili (1196-1258M)”, (Tesis Pasca
Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 93-95.
20
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam. Penerjemah Sapardi Djoko
Damano, dkk (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h. 51.

19

Qadiriyah dalam hal penyebarannya.21 Nama Tarekat Syâdziliyah dinisbatkan
kepada Abû Hasan al-Syâdzilî (w.656 H/1258 M) sebagai pendirinya. Ia adalah
keturunan Nabi Muhammad SAW. melalui Sayidina Hasan bin Alî bin Abî
Thâlib. Tarekat Syâdziliyah adalah salah satu tarekat yang diakui kebenarannya
(al-mu’tabarah), karena silsilah al-Syâdzilî adalah bersambung (muttasil) sampai
Rasulullah SAW.22
Tarekat Syâdziliyah memulai keberadaannya di bawah salah satu dinasti
al-Muwahhidûn, yakni Hafsiyyah di Tunisia. Tarekat ini kemudian berkembang di
Mesir dan Timur Dekat di bawah kekuasaan dinasti Mamluk. Dalam hal ini yang
menarik, sebagaimana dicatat Victor Danner, peneliti Tarekat Syâdziliyah,
meskipun terekat ini berkembang pesat di daerah Timur (Mesir), namun awal
perkembangannya adalah dari Barat (Tunisia). Dengan demikian, peran daerah
Maghribi dalam kehidupan spiritual tidak sedikit. Menurut Danner, perannya
sejak abad ke-7H/13M sangatlah jelas. Banyak tokoh sufi yang sezaman dengan
al-Syâdzilî menetap di Barat, misalnya Abû Madyan Syu‟aib al-Maghribi (w. 594
H/1197M), Ibn al-Άrabi (w. 638H/1240M), Άbd. Al-Salâm ibn Masyîsy (w.
625H/1228M), Ibn Sab‟in (w. 669H/1271M) dan al-Syusyturî (w. 688H/1270M).
Walaupun dasar-dasar tasawuf Maghribi itu berasal dari Timur sebagai asal
muasal Islam itu sendiri, namun kecerdasan Muslim daerah Barat, gaya hidupnya,
seni kaligrafinya, arsitektur masjidnya, juga mazhab Malikinya, telah ada sejak
generasi Islam awal. Ciri umum ini mendapat penguatan bersamaan dengan
berdirinya dinasti Abbasiyah pada abad ke-2H/8M dan mulai mengembangkan
21

Martin Lings, Membedah Tasawuf. Penerjemah Bambang Herawan (Bandung: Mizan,
1979), h. 112.
22
Heri MS Faridy, dkk., ed., Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1149.

20

kebiasaan sendiri. Inilah atmosfir yang melatarbelakangi berdirinya Tarekat
Syâdziliyah pada abad ke-7H/13M yang mengembangkan kebebasan berfikir,
kemajuan ilmu pengetahuan, peradaban dan perekonomian.23
Daerah Maghribi telah mengembangkan suatu peradaban Islam yang luar
biasa. Bahkan setelah penaklukan kembali Spanyol oleh pasukan Kristen pada
abad ke-9 H/15 M yang mengakhiri kejayaan Islam di sana, Afrika Utara tetap
menjadi benteng pertengahan spiritualitas sufi, khususnya jika disadari bahwa
sejak zaman itu, daerah Timur Dekat sudah mengalami kemerosotan
berkepanjangan. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa pergerakan Tarekat
Syâdziliyah dari Maghribi ke Timur merupakan sebuah upaya penguatan kembali
semangat tasawuf di daerah Timur, khususnya di wilayah Arab. Ini berarti Tarekat
Syâdziliyah memainkan peranan penting di tengah kemunduran umat Islam.24
Di Maghribi (Maroko), al-Syâdzilî sangat terkenal dan banyak sekali
pengikutnya. Meskipun demikian, tetap saja ada orang yang dengki atas
kehebatannya al-Syâdzilî. Bahkan ada pula yang berani melontarkan bermacammacam fitnah kepadanya yang melewati batas, menyakiti beliau, melarang orangorang untuk tidak bergaul dengannya. Mereka menuduh al-Syâdzilî seorang
zindik. Bahkan beliau bersama pengikut-pengikutnya diusir keluar dari negeri
Maghribi, karena itu al-Syâdzilî pindah ke Mesir pada 642 H/1244 M dan dari
sinilah berkembang ke seluruh Dunia.25
Para tokoh Syâdziliyah pada masa awal tidak hanya menaruh perhatian
pada pengajaran dan praktik tasawuf tetapi juga terhadap masalah-masalah akidah
23

Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” h. 35.
Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” h. 52.
25
Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 65.

24

21

dan hukum Islam. Hal ini karena al-Syâdzilî sangat menekankan pentingnya
pengetahuan agama bagi para pengikutnya. Mereka bermazhab Sunni dan
sekalipun tasawuf sendiri tidak menaruh perhatian pada dogma-dogma teologis,
mereka cenderung untuk memilih mazhab Asy‟ariyah dalam bidang ilmu kalam.
Namun, mazhab Asy‟ariyah yang mereka anut kemungkinan besar yang sudah
dipengaruhi oleh ajaran-ajaran al-Ghazâlî yang turut memberikan kontribusi pada
mazhab itu dan mengubah watak aslinya. Secara turun temurun mereka mengikuti
aliran Asy‟ariyyah. Sekalipun anggota Tarekat Syâdziliyah saat itu menganut
Asy‟ariyyah, sama sekali tidak berarti bahwa tasawuf mereka adalah dogmatisme
Asy‟ariyyah atau bahwa tarekat ini bersifat dogmatis. Kenyataannya pada masa
berikutnya banyak pengikut Syâdziliyah di daerah lain bermazhab Syafi‟i, dan
umumnya mereka mengikuti Asy‟ariyyah.
Sedangkan dalam fikih, para anggota Syâdziliyah awal mengikuti mazhab
Maliki. Hal ini bukan hanya karena al-Syâdzilî sendiri bermazhab Maliki, tetapi
Mazhab ini sangat dominan di daerah Maghribi (Spanyol, Maroko, Tunisia).
Ketika penyebaran Tarekat Syâdziliyah, berpindah ke Alexandria, Mesir, di
daerah ini juga mayoritas penduduknya berpaham Maliki.26
Tarekat yang didirikan oleh Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî ini dilandaskan
pada ajaran metafisik dan spiritual tauhid dan tentu saja pada al-Qur‟an dan
Sunnah. Tujuan tarekat ini adalah kesadaran ma’rifah kepada Allah yang
mengimplikasikan

kebijaksanaan

sempurna

dan

kesucian

jiwa

pelaku

kontemplasi. Ma’rifah yang diajarkannya ini berdasarkan keyakinan sederhana,

26

Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 70.

22

ketaatan syariat dan formulasi dogmatis dari aqidah yang diajarkan oleh
Asy‟ariyah. Sehingga tentu saja bukan ma’rifah dalam pembahasannya memiliki
implikasi kosmologi dalam konteks spiritual, hal ini tidaklah membuatnya
terselimuti oleh kompleksnya konsep filosofis wahdah al-wujûd yang dilansir
oleh Ibn Άrabî, sekalipun al-Syâdzilî selalu membelanya dari para penentang ide
tersebut.27 Tauhid dan dzikir merupakan dua pilar esensial tarekat ini. Yang
pertama berhubungan dengan doktrin sedangkan yang kedua berkaitan dengan
metodologi spiritual.28
Tarekat Syâdziliyah merupakan suatu bentuk reformasi pandangan
spiritual dan religius, bukan dalam arti sebagai gerakan pemurnian dan antikemusyrikan yang sering secara brutal membinasakan institusi Islam eksternal di
bawah bendera “kembali ke jalan para salaf”. Namun, dengan caranya sendiri, ia
mengkritisi formalisme dan literalisme yang berlebih-lebihan dalam Islam
eksoterik saat itu. Mungkin di luar tarekat besar lainnya yang berkembang saat itu,
Syâdziliyah merupakan tarekat yang paling diterima, tidak hanya oleh tasawuf
normatif tetapi juga oleh Islam normatif. Hal ini karena, baiat atau inisiasi yang
dilakukan tarekat ini tidak pernah melanggar apa yang diyakini masyarakat.29
Ajaran al-Syâdzilî kemudian diteruskan murid-muridnya, antara lain Abû
Άbbâs al-Mursî (w. 686 H), kemudian diteruskan Ibn Athâ‟illâh al-Iskandari
27

Ada kemungkinan bahwa Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî pernah berhubungan dengan
Ibn Άrabî saat melakukan sejumlah perjalaan ke Timur Dekat. Hubungan seperti ini lebih dapat
diyakini jika menyangkut murid Ibn Άrabî, yaitu shadr al-Din Al-Qûnawî (w. 673 H/1275 M). Ia
berkunjung ke Kairo untuk menemui sejumlah tokoh-tokoh Syâdziliyah. Lebih jauh, anggota
tarekat ini merupakan pembela yang kukuh, seperti yang kita saksikan dalam perbenturan hebat
antara Ibn Athâ‟illâh al-Iskandari dan Ibn Taimiyah sebagai fundamentalis Hanbali yang
mengkritiki Ibn Άrabî, di benteng Kairo awal abad ke-8 H/14 M. Lihat Victor Danner, “Tarekat
Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” h. 48
28
Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” h. 40.
29
Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” h. 45.

23

(w.709 H), Ibn Abbâd al-Randî (w. 793 H). Pada abad IX H/XV M. dilanjutkan
Sayid Abî Abd Allah Muhammad ibn Sulaymân al-Jazulî. Di dalam
perkembangannya, mereka dipandang sebagai pemimpin-pemimpin Tarekat
Syâdziliyah, sehingga berkembang pesat di beberapa wilayah seperti Tunisia,
Mesir, Aljazair, Maroko, Sudan, Afrika Barat, Afrika Utara, Afrika Selatan,
Mesopotamia, Palestina, Syiria, dan Indonesia khususnya di Jawa Tengah dan
Jawa Timur.30
Bahwa tetap berlangsungnya dan mapannya Tarekat Syâdziliyah tidak
dapat dilepaskan dari faktor atau konteks sejarahnya. Kondisi Afrika Utara yang
diliputi krisis ekonomi dan politik membuat masyarakat tertarik untuk bergabung
dengan organisasi semacam tarekat ini.31 Faktor lain adalah karena terekat ini
memegang kuat ortodoksi Sunni dan cukup moderat, sehingga bisa terus tumbuh
di lingkungan penguaha Sunni dan menarik minat banyak orang karena ajarannya
yang moderat.

C. Pengikut Tarekat Syâdziliyah
Sepeninggal al-Syâdzilî, kepemimpinan tarekat ini diteruskan oleh Abû
Άbbâs al-Mursî yang ditunjuk langsung oleh al-Syâdzilî. Al-Mursî termasuk
murid yang memiliki kualitas spiritual paling tinggi dibandingkan ikhwân-ikhwân
yang lainnya. Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn „Umar ibn Alî al-Anshari alMursî, terlahir di Murcia, Spanyol pada 616 H/1219 M dan meninggal pada 686
H/1287 M di Alexandria. Seperti gurunya, ia tidak menulis sebuah buku atau
30
31

Heri MS Faridy, Ensiklopedi Tasawuf , h. 1155.
Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 73.

24

risalah tasawuf. Namun Abû Άbbâs al-Mursî menyusun hizb-hizb juga seperti alSyâdzilî.32
Guru ketiga yang terkemuka dari rantai silsilah tarekat ini, Ibn Athâ‟illâh
al-Iskandari, lahir di kota Iskandariyah Mesir, oleh karena itulah nama
belakangnya disebutkan al-Iskandari. Ia adalah seorang ahli hukum Malikiyah
yang terkenal. Mengenai pengaruh al-Syâdzilî kepada Ibn Athâ‟illâh, tampaknya
dimungkinkan melalui dua cara, yaitu al-Mursî dan hizb-hizb yang ditinggalkan
al-Syâdzilî. Melalui dua cara inilah Ibn Athâ‟illâh mewarisi ajaran spiritual alSyâdzilî. Ibn Athâ‟illâh al-Iskandari merupakan Syaikh pertama yang menuliskan
ajaran, pesan-pesan, doa-doa al-Syâdzilî dan al-Mursî. Ia pula yang menyusun
berbagai aturan tarekat ini dalam bentuk buku-buku dan karya-karya yang tak
ternilai untuk memahami perspektif Syâdziliyah bagi angkatan sesudahnya.33
Ajaran-ajaran Tarekat Syâdziliyah tidak terlalu berbeda dengan ajaranajaran tarekat lainnya. Yang menjadi perbedaan dengan tarekat-tarekat lainnya
pada masa itu tampaknya adalah sikap tidak menonjolkan diri dalam hal
bertarekat. Tarekat Syâdziliyah tidak memisahkan diri dengan dunia luar,
meskipun al-Syâdzilî dari waktu ke waktu memberikan khutbah bagi masyarakat
umum. Para pengikut di bawahnya sulit dibedakan dengan masyarakat awam.
Satu hal juga yang membedakan Tarekat Syâdziliyah dengan tarekat lain pada
umumnya adalah dalam hal sikap hidup dan sosial bermasyarakat.
Para pengikut tarekat ini tidaklah mengenakan pakaian yang unik seperti
yang terdapat pada tarekat lainnya. Semacam khirqah atau muraqqa’ah yang
32

Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 67.
Abu al-Wafa al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman. Penerjemah Ahmad Rofi‟
„Utsmani (Bandung: Pustaka, 1997), h. 239-240.
33

25

terdapat pada kain wol bertambal dan terbuat dari bahan kasar, yang seringkali
dikenakan sebagai simbol lahiriah oleh kalangan sufi pada umumnya. Mereka
tidak hidup mengembara atau mengasingkan diri sebagai orang fakir. Sebaliknya
mereka berpakaian seperti masyarakat umum, bahkan sebagian dari mereka
seperti halnya pendiri tarekat ini sering mengenakan pakaian yang indah. Inilah
yang mengakibatkan orang sering bertanya, apakah sang Syaikh ini benar-benar
seorang sufi. Pakaian yang mereka pakai merefleksikan strata sosialnya, apakah
seorang guru, pedangang, pegawai atau yang lainnya.34 Pada tingkat ini, dapat di
mengerti kesimpulan yang dibuat Annemari Schimmel, bahwa tarekat ini
mempunyai pendekatan pragmatis untuk kenyamanan duniawi. Seorang faqih
kepada Tuhan tidak harus miskin harta, begitu pula tidak harus menyendiri, malah
dianjurkan untuk merealisasikan ajaran tarekat ini kepada masyarakat di tengahtengah kesibukannya.35
Hal-hal lain yang menjadi motivasi pengikut Tarekat Syâdziliyah adalah
bahwa tarekat tersebut adalah salah satu tarekat yang diakui kebenarannya oleh
ulama ahli tasawuf dan sah untuk di ikuti (al-mu’tabarah), tiada pertentangan di
antara mereka karena silsilahnya bersambung sampai kepada Rasullullah SAW.
yang pada intinya adalah bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan
teknik-teknik tertentu sesuai petunjuk mursyid dalam waktu yang relatif tidak
terlalu lama, melalui jalan atau tarekat yang diakui kebenarannya oleh ulama ahli
tasawuf.

34

Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” h. 40-41.
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, h. 51.

35

26

Ajaran-ajaranya tidak begitu memberatkan para pengikutnya. Karena
ajaran-ajarannya yang mudah diterima dan moderat, tak heran jika pengikutnya
pun terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari pejabat, ulama, cendekiawan sampai
masyarakat awam; mulai dari masyarakat desa sampai masyarakat urban.36
Tarekat Syâdziliyah yang merupakan manifestasi dari ajaran-ajarannya pun
menyebar di berbagai negara, dengan jumlah pengikut yang sangat banyak.
Karena merupakan manifestasi dari ajaran-ajarannya al-Syâdzilî yang moderat itu,
maka tarekat ini menurut istilah Victor Danner, merupakan suatu bentuk
reformasi pandangan spiritual dan religius. Dalam arti, dengan carannya sendiri,
ia mengkritisi formalisme dan literalisme yang berlebih-lebihan dalam Islam
eks