PENERIMAAN DIRI REMAJA YANG MERASA TERBUANG

PENERIMAAN DIRI REMAJA YANG MERASA TERBUANG

  Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

  Oleh: Prinses Bengawan Zaldy

  NIM : 021114036

  S K R I P S I

  Oleh: Prinses Bengawan Zaldy NIM: 021114036 Telah disetujui oleh:

  Pembimbing I

Dra. M.J. Retno Priyani, M.Si Tanggal 8 Desember 2006

Pembimbing II

Drs. T.A. Prapancha. Hary, M.Si Tanggal 8 Desember 2006

S K R I P S I PENERIMAAN DIRI REMAJA YANG MERASA TERBUANG

  Dipersiapkan dan ditulis oleh: Prinses Bengawan Zaldy

  NIM: 021114036 Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 8 Desember 2006 dan dinyatakan memenuhi syarat

  Susunan Panitia Penguji Nama Lengkap Tanda Tangan Ketua Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si ...................................

  Sekretaris Fajar Santoadi, S. Pd ................................... Anggota Dra. M.J. Retno Priyani, M.Si ................................... Anggota Drs. T.A. Prapancha Hary, M.Si ................................... Anggota Dra. C.L. Milburga, CB., M.Ed ...................................

  Yogyakarta, 8 Desember 2006 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

  Universitas Sanata Dharma Dekan.

  

Allah Mengasihi Manusia

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan anak-

Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang

kekal.

  Yohanes 3: 16 Akan tetapi Allah menunjukan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.

  Roma 5:8

  

Semua Manusia Berdosa

Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah.

  Roma 3:23 Seperti ada tertulis: “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak.”

  Roma3:10

Allah Menyelesaikan Perbuatan Dosa

  Sebab upah dosa ialah maut, tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.

  Roma 6:23 Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya

  Yohanes 1:12 Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima

sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia

telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari ketiga, sesuai dengan kitab suci.

  1 Korintus 15:3-4

Semua Dapat Diselamatkan Sekarang

  Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara- Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya.

  Wahyu 3:20a Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan

  Roma 10:13 PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, 8 Desember 2006 Penulis

  Prinses Bengawan Zaldy

  ABSTRAK

  PENERIMAAN DIRI REMAJA YANG MERASA TERBUANG Penelitian ini dimaksudkan untuk memahami permasalahan yang dihadapi subjek dan memperoleh gambaran tentang penerimaan diri subjek yang mengalami hambatan karena perasaan terbuang yang disebabkan latar belakang keluarga, dan kecacatan fisik yang dialami subjek. Subjek penelitian ini seorang remaja putri, berusia 15 tahun. Ia dari kecil tinggal di panti asuhan dan bersekolah di SLB.

  Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif- kualitatif, dengan desain penelitian studi kasus. Metode pengumpulan data dalam penelitian adalah metode observasi, wawancara informasi dan wawancara konseling sebagai suatu usaha untuk membantu subjek mengatasi masalahnya. Data yang diperoleh dari subjek dan beberapa sumber informasi lainnya, peneliti gunakan untuk menggambarkan keadaan dan permasalahan yang dialami subjek saat ini, sehingga peneliti dapat menentukan pendekatan konseling yang tepat dan sesuai dalam memberikan pendampingan.

  Dari hasil penelitian, diketahui bahwa subjek mengalami masalah penerimaan diri yang disebabkan perasaan terbuang yang timbul karena ia tidak tinggal dengan orang tua asli, dan memiliki kecacatan fisik. Oleh karena itu pendekatan konseling yang digunakan adalah Interview for Adjustment (IA). Setelah peneliti mengadakan wawancara konseling dengan subjek sebanyak 4 kali pertemuan, subjek menunjukkan perubahan, yaitu a) Subjek mengakui didepan orang lain kalau ia punya cacat fisik dan bersekolah di SMPLB; b) Subjek bergabung dengan teman-temannya ketika teman-temannya tersebut sedang berkumpul; c) Subjek bila berjumpa dengan ibunya mau merangkul dan memeluk ibunya serta menanyakan kabar; d) Subjek akan les menggambar agar ia bisa masuk Institut Seni Indonesia setamat SMA; e) Subjek tiap hari berdoa agar ia dikuatkan dan bisa menerima keadaan dirinya. Konseling dapat berjalan dengan baik tetapi ada satu permasalahan yang tidak dapat diselesaikan karena tidak mendapat ijin dari pihak PA. Permasalahan tersebut adalah menyangkut masalah Subjek dengan ayah kandungnya. Selama konseling berlangsung Subjek menunjukan perubahan nyata, tetapi Subjek tetap harus mendapat perhatian khusus karena ia tidak seperti anak normal pada umumnya.

  

ABSTRACT

  THE ACCEPTANCE OF A TEENAGER THAT FEELS BEING IGNORED The research was aimed to describe a problem that was faced by the subject and to get clear description about the subject’s acceptance that experienced an obstacle because of her feeling of being ignored caused by family background, and physical disability faced by the subject. The subject of this research was a girl whose age was fifteen years old. She has lived in an orphan house since she was a child and studied at special school.

  This research was a descriptive-guallitative research, and its design was case study. The data gathering methods in this research were observation, informative interview, and counseling interview as an effort to help the subjek to solve her problem. The data from the subject and other information sources were used by the researcher to describe the condition and the problem that were faced by the subject lately, so the researcher could decide the most appropriate approach in giving guidance.

  From the result of the research, it was understood that the subject had a problem in acceptance caused by a feeling of being ignored because she did not live with her biologic parents, she has physical disability and she did not get an affection from her family. Therefore the counseling approach that was used was IA (Interview for Adjustment). After the researcher conducted counseling interview with the subject for 4 meetings, the subject showed some changes, they are: a) Subject admitted in front of others that she had physical disability and studied at SMPLB; b) Subject joined with her friends when they were gathering; c) if subject met her mother, she wanted to hug and embrace her and also asked about her news; d) Subject would take drawing course so that she could enter Institut Seni Indonesia after she graduated from SMA (Senior High School); e) Subject prayed everyday so that she could be strong and could be able to accept herself as the way she is. The counseling could run well but there was a problem that could not be solved because the researcher did not get a premission from the orphan house. The problem was about the subject’s problem with her biologic father. During the counseling period the subject showed some real changes, but the subject still must get a special attention because she was different from the other normal children.

  Puji syukur bagi Tuhan Yesus Kristus karena terselesaikannya skripsi yang bertemakan “Penerimaan Diri Remaja yang Merasa Terbuang”.

  Berkat kasih dan karunia-Nya yang Ia anugerahi maka skripsi ini dapat selesai dengan baik.

  Skripsi “Penerimaan Diri Remaja yang Merasa Terbuang” dibuat sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Program Studi Bimbingan dan Konseling. Keberhasilan dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari keterlibatan berbagai pihak. Banyak bantuan yang diperoleh selama penulisan skripsi ini, baik yang didapat secara langsung maupun secara tidak langsung. Pada kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati saya haturkan terima kasih kepada:

  1. Dra. M.J. Retno Priyani, M.Si sebagai Pembimbing I.

  2. Drs. T.A. Prapancha Hary, M.Si. sebagai Pembimbing II.

  3. Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si. sebagai Kepala Program Studi dan segenap Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling.

  4. Sr. Krista, PI sebagai Kepala Panti Asuhan Pangrekso Dalem Betlehem, Temanggung dan segenap staf.

  5. Keluarga tercinta Mama, Papa, Pristian Winata, dan Predian Winata sebagai

  8. Semua pihak yang telah membantu.

  Akhir kata disadari terdapat banyak kekurangan dan kesalahan dalam skripsi dengan tema “Penerimaan Diri Remaja yang Merasa Terbuang” ini.

  Kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam skripsi ini harap dimaafkan.

  Yogyakarta, 8 Desember 2006 (Prinses Bengawan Zaldy)

  DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL.................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................... ii HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... iii HALAMAN PERSEMBAHAN................................................................... iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA....................................................... v ABSTRAK.................................................................................................... vi ABSTRACT.................................................................................................. vii KATA PENGANTAR.................................................................................. viii DAFTAR ISI................................................................................................ x DAFTAR TABEL........................................................................................ xiii DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ xiv

  BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah................................................................ 1 B. Rumusan Masalah.......................................................................... 4 C. Tujuan Penelitian........................................................................... 4 D. Manfaat Penelitian......................................................................... 4

  b. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri........................................................................

  11 B. Remaja yang Merasa Terbuang

  a. Definisi remaja yang merasa terbuang..................................... 13

  b. Penyebab remaja merasa terbuang........................................... 14

  c. Akibat remaja merasa terbuang............................................... 19

  d. Kebutuhan remaja yang merasa terbuang................................ 20 C.

   Konseling Eklektik dengan Pendekatan Interview for Adjustment .................................................................................... 21

  D. Penerapan Konseling Eklektik dengan Pendekatan

  Interview for Adjustment Bagi Anak yang Merasa Terbuang....... 25

  BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Penelitian studi kasus.................................................................... 27 B. Subjek Penelitian........................................................................... 28 C. Metode Pengumpulan Data

  a. Observasi................................................................................. 29

  b. Wawancara.............................................................................. 29

  D. Teknik Pengolahan Data................................................................ 33

  E. Analisis Data................................................................................... 34

  BAB IV PEMBAHASAN A. Deskripsi Umum Kasus Subjek..................................................... 36 B. Analisis

  a. Riwayat pendidikan................................................................. 38

  b. Tes psikologis.......................................................................... 51

  c. Latar belakang keluarga.......................................................... 52

  d. Riwayat keagamaan................................................................. 55

  e. Riwayat kesehatan................................................................... 56

  f. Lingkungan dan kelompok sosial............................................ 57

  g. Konsep diri............................................................................... 66

  C. Sintesis............................................................................................ 68

  D. Diagnosis........................................................................................ 72

  E. Pragnosis........................................................................................ 72

  F. Treatment........................................................................................ 73

  BAB V PENUTUP A. Kesimpulan.................................................................................... 84 B. Saran-saran..................................................................................... 88 DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 90

  DAFTAR TABEL

  Tabel Halaman Tabel 1 : Wawancara Informasi.............................................

  1 Tabel 2 : Rencana Pelaksanaan Wawancara Konseling.........

  2 Table 3 : Kuesioner Perasaan Terbuang.................................

  3 Table 4 : Indikator yang Perlu Diubah Menggunakan Pendekatan IA............................................................

  4 Table 5 : Tabel Pelaksanaan Wawancara Konseling..............

  5

  LAMPIRAN

  Lampiran Halaman Lampiran 1 : Verbatin Wawancara Konseling..............................

  1 Lampiran 2 : Hasil Pemeriksaan Psikologis..................................

  39 menuju usia tua. Havighurst (Hurlock, 1997) membagi rentang hidup manusia menjadi 6 fase, yaitu: masa bayi dan kanak-kanak, akhir masa kanak-kanak, masa remaja, awal masa dewasa, masa usia tengah, masa tua. Dalam setiap rentang kehidupan manusia berusaha untuk menerima dirinya. Schneiders (Gunarsa, 2004) berpendapat bahwa bilamana seseorang dapat menerima keadaan dirinya sendiri, maka ia juga mudah menerima keadaan orang lain termasuk kekurangan atau hal-hal yang positif dari orang tersebut. Schneiders (Gunarsa, 2004) juga mengatakan bahwa sebelum seseorang dapat menerima keadaan diri sendiri, ia harus mengenal terlebih dahulu kemampuan serta keterbatasannya, sehingga ia mudah mengatasi kesukaran yang dialaminya dalam usaha menerima dirinya.

  Dalam menghadapi realita kehidupan, setiap orang berusaha menghindari situasi atau perasaan yang tidak menyenangkan dirinya. Ia berusaha untuk menutupi atau menyangkal kelemahan dan kegagalan- dapat berfikir secara lebih objektif, lebih dekat dengan kenyataan dan tidak mudah terbawa oleh perasaan.

  Begitu juga dengan remaja, remaja yang dikenal sebagai anak yang menuju dewasa tidak lepas dari usaha menerima diri. Hurlock, 1997 menuliskan bahwa anak yang mengadakan penyesuaian pribadi berusaha mengenal dan menerima dirinya. Bila remaja cukup menyukai dirinya, maka menunjang penerimaan sosial dan sebaliknya, ketika remaja mengadakan penyesuaian sosial ia berusaha agar orang lain menerimanya. Bila semakin banyak orang menyukai dan menerimanya, semakin senang ia dengan dirinya dan semakin kuat penerimaan dirinya.

  Remaja berusaha mencapai keharmonisan dengan diri sendiri dan lingkungan. Apabila remaja tidak berhasil mencapai keharmonisan dengan diri dan lingkungan maka remaja tersebut gagal mencapai kebahagian hidup. Oleh karena itu remaja harus diterima cukup baik oleh orang yang berarti dalam hidupnya. Horn (Hurlock, 1997 ) menuliskan

  “Seseorang yang kurang memperoleh cinta kasih di masa kanak-kanak tidak bahagia pada masa itu dan juga mengembangkan nilai yang menyebabkan ketidakbahagiaan berlangsung terus dalam kehidupan selanjutnya.”

  Dewasa ini berkembang suatu kenyataan bahwa semakin sering ditemukan remaja yang merasa tidak diinginkan, tidak berharga, disia-siakan kimia, remaja yang menjadi anak asuh, remaja yang kehilangan orang yang dikasihinya dan remaja yang mengalami gangguan baik emosi, belajar maupun jasmani. Lingkungan tersebut tidak memberi cukup kasih sayang pada remaja. Remaja tersebut bertumbuh dalam perasaan yang tidak bahagia, ia tidak mendapat dukungan dari orang-orang yang seharusnya memiliki peran penting dalam membantunya berkembang secara utuh. Salah satu contoh remaja yang merasa terbuang karena kurangnya kasih sayang adalah remaja korban perceraian, di mana setelah ibu dan ayah berpisah, ia menjadi korban.

  Ia dioper kesana-sini, sebentar tinggal dengan paman, sebentar tinggal dengan saudara yang lain. Ia merasa tidak diinginkan, perasaan tidak diinginkan tersebut bisa disebabkan karena perasaan tidak diterima. Perasaan tidak diterima dirasakan bukan hanya dari kehidupan yang harus berpindah-pindah tetapi juga karena perlakuan yang diterimanya (www.anak korban perceraian.com ).

  Gunarsa (2004) menuliskan bahwa pengalaman-pengalaman yang didapat remaja, bukan saja membantu remaja mengembangkan aspek sosialnya tapi juga pribadi. Melalui pengalaman hidup dengan orang lain, remaja dapat mengetahui apakah ia diterima atau tidak. Bila seseorang menyukainya, berarti ia diterima oleh orang itu bukan dari satu aspek tersinggung, cemas dan hidupnya tanpa kepastian sehingga ia mengalami kesukaran dalam menerima dirinya.

  Remaja yang merasa terbuang harus berusaha lebih keras lagi dalam menerima dirinya. Ia harus benar-benar mampu mengenal dan menerima dirinya sehingga dapat memenuhi kebutuhannya dengan cara yang wajar yaitu diterima lingkungannya tanpa merugikan lingkungannya

  Mudah didapatnya kasus di internet, televisi, radio, surat kabar dan media cetak lainnya mengenai remaja yang merasa terbuang maka orang yang bergelut di bidang bimbingan dan konseling tidak boleh tinggal diam. Mereka harus bergerak membantu remaja yang merasa terbuang agar mampu menerima dirinya. Penerimaan diri yang berhasil dengan baik akan membawa remaja pada kebahagiaan.

  Peranan bimbingan dan konseling dalam kasus tersebut adalah membantu remaja yang merasa terbuang agar berhasil menerima dirinya yaitu dengan cara mengungkap penerimaan diri remaja yang merasa terbuang, dan usaha untuk membantu remaja tersebut untuk mampu menerima dirinya, sehingga menemukan kebahagiaan hidup.

  2. Bagaimanakah proses konseling yang berguna untuk membantu penerimaan diri subjek sebagai remaja yang merasa terbuang?

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah;

  1. Memperoleh informasi tentang penerimaan diri subjek sebagai remaja yang merasa terbuang.

  2. Membantu subjek sebagai remaja yang merasa terbuang melalui proses konseling.

  D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk memahami fenomena penerimaan diri remaja yang merasa terbuang.

  2. Manfaat praktis

  a. Bagi subjek penelitian Subjek dapat menerima dirinya dengan lebih baik, sehingga subjek dapat menemukan kebahagian.

  b. Bagi penulis c. Bagi peneliti lain Penelitian ini dapat menjadi dasar untuk pengembangan penelitian lebih lanjut tentang penerimaan diri remaja yang merasa terbuang.

   Definisi Operasional E.

  1. Penerimaan diri adalah sikap yang mencerminkan kepuasan terhadap kenyataan kemampuan diri yang menunjukan kualitas diri sendiri

  2. Remaja yang merasa terbuang adalah remaja (anak yang mendekati kedewasaan diawali pada masa pubertas yang berakhir dengan kedewasaan) dimana remaja tersebut merasa tidak dikasihi sebagai mana adanya dia, sehingga ia merasa tidak diinginkan, disia-siakan atau diabaikan dan tidak berharga.

  3. Konseling eklektik dengan pendekatan Interview for Adjustment adalah pola pendekatan dalam konseling eklektik (konseling yang menunjuk pada perpaduan dari berbagai unsur yang diambil atau dipilih dari beberapa teori serta pendekatan konseling) yang digunakan untuk melayani kasus khusus yang penyelesaiannya menuntut perubahan sikap serta tindakan penyesuaian diri terhadap situasi kehidupan yang

  1. Pengertian penerimaan diri Sinurat (1991) berpendapat bahwa penerimaan diri diartikan sebagai penghargaan/perasaan seseorang tentang dirinya sendiri.

  Penerimaan diri dapat berupa penerimaan diri positif maupun negatif. Menurut Supratiknya (1995) menerima diri adalah memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri dan memandang diri sendiri disenangi, mampu, berharga, dan diterima orang lain. Hurlock (1981) dan McKinney (1949) mengemukakan bahwa untuk dapat mencapai suatu penyesuaian diri yang baik, maka seseorang harus memiliki penerimaan diri yang baik pula. Dijelaskan lebih lanjut oleh Wiley (ANIMA, 1998) bahwa penerimaan diri sangat berhubungan dengan penyesuaian diri yang tinggi, selain memberi sumbangan pada kesehatan mental seseorang serta hubungan antar pribadinya. Penerimaan diri mengandung pengertian adanya persepsi terhadap diri sendiri mengenai keterbatasannya untuk digunakan secara efektif. Penerimaan diri juga sendiri dan berusaha untuk memperbaiki dan mengatasinya. Penerimaan diri akan meningkatkan penilaian diri, akan dapat mengkritik diri sendiri dan bertanggungjawab terhadap pilihannya sendiri serta tidak menyalahkan ataupun mencela orang lain karena keadaan dirinya.

  Penerimaan diri tersebut merupakan ciri-ciri kemasakan kepribadian seseorang (Allport dalam Hjelle dan Ziegler, 1977). Menurut Allport dan Wolman (1973) penerimaan diri yang merupakan sikap positif, yaitu meliputi pengakuan nilai-nilai seseorang dan kelemahan- kelemahannya tanpa harus menyalahkan orang lain.

  Ahli lain dalam hal ini, Prawitasari (1986) mengemukakan bahwa sikap terhadap diri sendiri merupakan kriteria untuk mental yang sehat.

  Lebih lanjut Prawitasari menjelaskan bahwa apabila seseorang dapat menerima dirinya dengan segala kelebihan maupun kelemahan- kelemahannya, maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut mempunyai penerimaan diri yang positif terhadap dirinya. Rubin (1974) mengemukakan bahwa penerimaan diri merupakan kunci utama bagi seseorang dalam mengatasi berbagai persoalannya. Rubin juga mengemukakan bahwa seseorang memiliki penerimaan diri yang positif apabila memiliki sikap yang mencerminkan rasa senang sehubungan mereka mempunyai keinginan untuk memperbaiki diri. Sedangkan menurut Chaplin (1975), penerimaan diri yang positif merupakan perwujudan dari kepuasan terhadap kenyataan kemampuan diri, kualitas dan bakat sendiri dan pengakuan atas keterbatasan-keterbatasan sendiri.

  Perasaan ini terbentuk karena adanya pengertian arti positif dari kemampuan diri sendiri. Rogers (Hjelle dan Ziegler, 1977) menambahkan bahwa penerimaan diri yang positif terbentuk sehubungan dengan adanya pengertian mengenai arti positif dari kenyataan kemampuan-kemampuan diri sendiri. Pengertian tersebut diperoleh dengan meninjau kemampuan diri sendiri berdasarkan nilai sosial yang ada (Chaplin, 1975). Jadi orang yang dapat menerima diri secara positif adalah orang yang dapat melihat kenyataan diri secara positif berdasarkan nilai-nilai sosial.

  Menurut Sheerel (Cronbach, 1980) ada beberapa ciri yang terdapat pada orang yang dapat menerima diri secara positif, antara lain : a. Mempunyai keyakinan akan kemampuan yang dimilikinya untuk menghadapi kehidupan.

  b. Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang sederajat dengan orang lain.

  c. Berani memikul tanggungjawab terhadap perilakunya Sedangkan menurut Chaplin (1975), ciri penerimaan diri yang positif yaitu :

  a. Mampu menerima tanggung jawab terhadap perilakunya

  b. Mempunyai keyakinan akan kemampuan untuk menghadapi kebutuhan

  c. Memiliki pandangan positif mengenai diri

  d. Menerima kelemahan dan kelebihan yang ada Berdasarkan pengertian tentang penerimaan diri dan ciri-ciri tentang orang yang mampu menerima diri, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

  a. Penerimaan diri merupakan sikap yang mencerminkan kepuasan terhadap kenyataan kemampuan diri yang menunjukkan kualitas diri sendiri.

  b. Pembentukan penerimaan diri ditentukan oleh sejauh mana pengertian tentang arti positif dari kemampuan diri berdasarkan nilai sosial yang ada.

  Menurut Hurlock (1973) mengemukakan ciri-ciri orang yang memiliki penerimaan diri negatif antara lain : tidak menyenangi diri, mencemooh dirinya, merasa orang lain melihatnya dengan penuh permusuhan dan penghinaan, tidak memiliki kepercayaan akan perasaan dan sikapnya sendiri dan penghargaan terhadap dirinya ditentukan oleh

  Menurut Hurlock (1994), ada banyak hal pokok/kondisi yang dapat mengarah pada pembentukan penerimaan diri. Kondisi tersebut antara lain :

  a. Memahami diri sendiri

  b. Memperoleh penghargaan yang realistik

  c. Tidak adanya halangan/hambatan dari lingkungan

  d. Adanya perilaku sosial yang mendukung

  e. Adanya kondisi emosi yang menyenangkan dan tidak ada tekanan emosi f. Pengaruh pengalaman sukses

  g. Identifikasi dengan individu yang penyesuaian dirinya baik

  h. Perspektif diri yang realistik i. Didikan yang baik di masa anak-anak j. Konsep diri yang stabil

  Selain itu, Burns (ANIMA, 1980) mengemukakan bahwa terdapat 3 aspek yang mempengaruhi penerimaan diri seseorang terhadap kondisi fisiknya, yaitu :

  a. Pengetahuan tentang fisik dirinya sendiri

  Selain kondisi-kondisi dan 3 (tiga) aspek yang telah disebutkan secara rinci di atas, ada beberapa faktor yang juga dominan dapat mem- pengaruhi penerimaan diri pada seseorang, yaitu :

  a. Jenis kelamin Menurut Ratnawati (1990), jenis kelamin akan mempengaruhi penerimaan diri dan terdapat perbedaan yang mencolok antara pria dan wanita. Pria dinilai memiliki penerimaan diri yang lebih positif bila dibandingkan dengan wanita, hal ini berkaitan dengan sifat serta perlakuan orang tua mereka. Selain itu juga karena wanita relatif lebih sensitif serta lebih menitikberatkan pada afektif daripada pria.

  b. Cacat yang disandang Bagi orang yang mengalami cacat tubuh, penerimaan diri di pengaruhi lama cacat yang di sandang. Berdasarkan lama cacat yang disandang, penerimaan diri pada orang yang mengalami cacat tubuh sejak lahir atau pada masa kanak-kanak lebih positif dibandingkan yang mengalami cacat tubuh pada masa remaja atau dewasa (Suhartono, 1976). Hal itu terjadi karena mereka sejak kecil terbiasa diperlakukan sebagai anak normal. Kecacatan tubuh yang mereka sandang seolah- olah merupakan kejutan psikis sehingga mereka mengalami gangguan c. Inteligensi Faktor inteligensi selain menambah kemampuan dalam membentuk pengertian mengenai bagaimana nilai-nilai sosial menghendaki penye- suaian juga dapat membuat seseorang lebih mampu untuk membentuk tinjauan yang lebih tepat tentang arti positif dari kenyataan dirinya berdasarkan nilai-nilai sosial yang ada (Siswojo, 1980).

  d. Pendidikan Pendidikan memiliki pengaruh positif dalam penerimaan diri karena dapat untuk mempermudah penyesuaian diri. Tetapi adakalanya pendidikan yang tinggi justru akan menghambat penerimaan diri (Siswojo, 1980).

  Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan penerimaan diri seseorang.

  Faktor tersebut diantaranya yaitu faktor dari dalam diri, seperti : sikap, emosi, jenis kelamin, inteligensi, dan faktor dari luar seperti sikap orang lain dan pendidikan yang mereka peroleh.

   Remaja yang Merasa Terbuang B.

  1. Definisi remaja yang merasa terbuang berharga. Remaja yang terbuang adalah anak yang mendekati kedewasaan diawali pada masa pubertas yang berakhir dengan kedewasaan, dimana anak tersebut merasa tidak diinginkan, disia-siakan atau diabaikan dan tidak berharga.

  Bloch dan Merritt (2006) menuliskan bahwa remaja yang merasa terbuang adalah remaja yang merasa tidak dikasihi sebagai mana adanya dia. Kasih orang tua membuat remaja menyadari dirinya diterima apa adanya dan merasa berharga.

  Berdasar dua rumusan di atas dapat disimpulkan remaja yang terbuang adalah remaja (anak yang mendekati kedewasaan diawali pada masa pubertas yang berakhir dengan kedewasaan) dimana remaja tersebut merasa tidak dikasihi sebagai mana adanya dia, sehingga ia merasa tidak diinginkan, disia-siakan atau diabaikan dan tidak berharga.

  2. Penyebab remaja merasa terbuang Karena tidak dikasihi, remaja merasa tidak diinginkan, tidak berharga, disia-siakan atau diabaikan. Menurut Bloch dan Merritt (2006), penyebab perasaan tidak dikasihi, tidak diinginkan, tidak berharga, disia- siakan atau diabaikan adalah: d. Tidak adanya pengakuan atas bakat dan taleta remaja.

  e. Tidak adanya pengakuan atas keinginan dan kerinduan remaja.

  f. Tidak adanya pengakuan atas keindahan fisik remaja.

  g. Tidak adanya pengakuan atas kebaikan di dalam niat remaja.

  h. Tidak adanya perkuatan pada remaja secara nonverbal.

  Menurut Bloch dan Merritt (2006), selain penyebab diatas perasaan tidak dikasihi, tidak diinginkan, tidak berharga, disia-siakan atau diabaikan bisa dirasakan oleh remaja ketika mengalami: a. Gangguan jasmani.

  Remaja yang mengalami gangguan fisik mengalami berbagai perasaan dan pikiran negatif. Ia berfikir kalau dirinya tidak normal, rusak, aneh, cacat dan tidak mampu melakukan apapun. Ia merasa sedih, tertekan, pasrah, tidak berdaya, bersalah, tak mampu, diabaikan, diisolasi, dikucilkan, diasingkan. Perasaan diisolasi, dikucilkan, diasingkan dan diabaikan dipersulit oleh cap cacat yang disandang si remaja apalagi kehidupannya di rumah tidak terlalu mendukung ia mempelajari kealihan berkomunikasi (Bloch dan Merritt, 2006).

  b. Gangguan kognitif.

  Gangguan kognitif meliputi remaja yang mengalami hambatan menyimpang. kenakalan yang ia timbulkan membuatnya mendapat perlakuan yang berbeda dengan remaja seusianya dan membuat ia merasa dikucilkan, diasingkan, diabaikan dan tidak berharga (Bloch dan Merritt, 2006).

  c. Gangguan emosional dan perilaku.

  Remaja yang mengalami gangguan emosional dan perilaku dibesarkan dalam sistem keluarga dimana perasaannya tidak dihormati dan diakui. Remaja ini pada dasarnya pemalu, ia memandang diri buruk dan tidak berharga. Ia mengembangkan perasaan bersalah, tidak dikasihi, malu, takut, marah, benci diri sendiri, tidak berdaya, putus asa, tidak berguna dan diabaikan (Bloch dan Merritt, 2006).

  d. Kekerasan.

  Menurut Irwanto, dkk (1999) kekerasan dalam keluarga terjadi dalam semua tipe keluarga, baik keluarga berada maupun keluarga tidak berada. Irwanto (1995) menuliskan semakin besar jumlah anggota keluarga, semakin tinggi kemungkinan kekerasan pada anak terjadi. Menurut kamus Encyclopedia of Knowledge kekerasan dibagi atas: a) kekerasan pada anak secara fisik dapat berupa tamparan, pukulan, tendangan, dorongan yang bisa mengakibatkan memar, luka, seks, pornografi. Bloch dan Merritt (2006) menuliskan bahwa remaja korban kekerasan menyimpan di dalam batinnya pesan “kamu tidak diinginkan, kamu tidak berharga.” Gordon (1994) membuat hipotesis bahwa bila anak mempunyai orang tua yang menggunakan hukuman fisik maka anak tersebut juga akan melakukan kekerasan fisik ketika mereka menjadi orang tua.

  e. Tidak tinggal dengan orang tua asli.

  Anak asuh perlahan-lahan akan mulai memahami bahwa ia dibesarkan di dalam keluarga lain. Mengetahui ia besar bukan di keluarga asli menimbulkan perasaan sedih, marah, kecewa, malu, bersalah, tidak dicintai, tidak diinginkan, tidak berharga, tidak berguna, ditinggalkan, diabaikan, ditolak. Anak yang tinggal di asrama, tinggal dengan nenek, tinggal dengan paman atau saudara lain juga bisa membuat anak merasa tidak disayangi, tidak diinginkan, ditolak dan disia-siakan (Bloch dan Merritt, 2006) f. Kehilangan orang tua, sanak saudara, sahabat, binatang piaraan, tempat tinggal, kasih, kesehatan, fungsi salah satu bagian tubuh.

  Menurut Bloch dan Merritt (2006), kehilangan orang tua menyebabkan remaja merasa telah diabaikan, ditinggalkan dan merasa menyalahkan diri juga dirasakan saat ia kehilangan sanak saudara, sahabat, binatang piaraan, tempat tinggal, kasih, kesehatan, fungsi salah satu bagian tubuh.

  g. Perceraian.

  Kondisi interen keluarga yang negatif akan merusak perkembangan mental remaja; terutama “broken home” (Sudarsono, 1990). Menurut Bloch dan Merritt (2006), remaja dalam keluarga

  

broken home memandang perpecahan keluarga sebagai suatu ancaman

  langsung terhadap kelangsungan hidupnya. Tanggapan awal terhadap ancaman kelangsungan hidup adalah rasa takut, khususnya perasaan takut diabaikan. Gunarsa (2004) menuliskan bahwa remaja yang putus hubungan dengan orang tua, membuat remaja berada dalam kesendirian dengan segala perasaan yang tidak menyenangkan. Cole (2004), menuliskan bahwa remaja korban perceraian menderita karena merasa tidak berguna atau tidak berharga.

  h. Tinggal dengan keluarga yang tergantung pada bahan-bahan kimia.

  Menurut Bloch dan Merritt (2006), tumbuh di tengah-tengah keluarga yang bergantung pada bahan-bahan kimia misalnya keluarga pecandu alkohol membuat remaja merasa: a) takut (ditinggalkan atau

  (kerena tidak seorangpun menemani mereka, tidak ada yang mencintainya).

  3. Akibat remaja merasa terbuang Remaja yang merasa diabaikan atau disia-siakan, tidak diinginkan dan tidak berharga dalam keluarga akan lebih merasa tertampung setiap kali ia berada di tengah-tengah kawannya, tetapi ketika orang lain mengetahui keadaannya dan ia dipandang berbeda oleh masyarakat, ia mengalami diskriminasi sosial dari lingkungannya. Ia menjadi takut untuk meluaskan pergaulannya dan mempengaruhi prestasi belajarnya di sekolah (Gunarsa, 2004). Remaja yang merasa tidak mendapat kasih sayang yang cukup di rumah, di sekolah dan lingkungannya sehingga mereka merasa diabaikan maka secara alami terseret pada kehidupan geng. Geng merupakan kelompok teman sebaya remaja-remaja yang terusir (Bloch dan Merritt, 2006). Anak yang merasa diabaikan atau disia-siakan, tidak diinginkan dan tidak berharga akan diselubungi perasaan tidak aman, sehingga tumbuh perasaan inferiority. Ia merasa rendah diri, ia menjadi takut untuk meluaskan pergaulannya (Gunarsa, 2004). Selain mengembangkan perasaan inferioritas remaja juga merasa diri sebagai

  Remaja yang diabaikan atau disia-siakan, tidak diinginkan dan tidak berharga akan meyakini bahwa ia tidak baik sama sekali. Saat remaja butuh uluran tangan dan dukungan, tetapi ia tidak mendapatkannya, ia akan merasa tidak berharga. Perhatian remaja yang tersita oleh perasaan disia-siakan atau tidak diinginkan akan membuat ia sulit menerima diri (Cole, 2004).

  4. Kebutuhan remaja yang merasa terbuang Pembinaan keluarga sehat diperlukan adanya hubungan yang baik antara orang tua dan anak dengan penuh kasih sayang (Wresniwiro

  (1996). Kasih sayang merupakan kebutuhan pokok yang bersifat kejiwaan bagi remaja. Kebutuhan pokok tersebut menuntut pemenuhan sedini mungkin sebagai modal utama bagi perkembangan jiwa remaja (Sudarsono, 1990). Apabila keinginan seorang remaja untuk mendapat kasih sayang seutuhnya dapat dipahami, maka ia akan merasa tentram.

  Bila hasrat remaja dapat dimengerti dan dihargai, ia akan merasa terhibur. Kalau keunikan setiap remaja dihargai, maka ia akan merasa dikuatkan (Ginott, 2005). Di dalam keluarga pemenuhan kasih sayang dapat tercermin dalam pemeliharaan, perhatian, sikap toleran dan kelemah- butuh kasih sayang dari orang-orang yang penting baginya. Bloch dan Merritt (2006) menuliskan untuk menjauhkan remaja dari perasaan terbuang maka sangat diperlukan kasih sayang orang tua yang menghargai dan menghormati si remaja atas keberadaanya dan menegaskan ia sebagai pribadi yang unik dan berharga bisa dengan: a) memberi pengakuan atas keberadaan mendasar remaja; b) memberi pengakuan atas hak remaja atas keberadaannya; c) memberi pengakuan atas hal-hal bermanfaat yang dilakukan oleh remaja; d) memberi pengakuan atas bakat dan talenta remaja; e) memberi pengakuan atas keinginan dan kerinduan remaja; f) memberi pengakuan atas keindahan fisik remaja; g) memberi pengakuan atas kebaikan di dalam niat remaja; h) memberi perkuatan pada remaja secara nonverbal. Bloch dan Merritt (2006) juga menuliskan anak yang merasa terbuang butuh memperoleh harapan, keberanian, kekuatan kembali untuk dapat hidup lebih kaya dan lebih penuh.

   Konseling Eklektik dengan Pendekatan Interview for Adjustment C.

  Winkel dan Hastuti, 2004 menuliskan konseling eklektik menunjuk pada perpaduan dari berbagai unsur yang diambil atau dipilih dari beberapa teori serta pendekatan konseling. Promotor utama dari pola eklektik adalah dalam memikirkan persoalan-persoalan hidup dan memiliki banyak pengalaman. Konseling eklektik tidak mengikuti satu orientasi teoritis serta menerapkan satu pendekatan saja tetapi menggunakan variasi dalam sudut pandang, prosedur dan teknik, sehingga dapat melayani masing-masing konseli sesuai dengan kebutuhannya dan ciri khas dari masalah yang dihadapinya.

  Winkel dan Hastuti, 2004 mengembangkan suatu pola pendekatan konseling di institusi pendidikan yang bersifat eklektik, yang tidak khusus terikat pada kerangka teoritis tertentu. Salah satu pendekatan konseling eklektik di institut pendidikan adalah Interview for Adjustment yaitu suatu pola pendekatan dalam konseling yang digunakan untuk melayani kasus yang penyelesaiannya menuntut perubahan sikap serta tindakan penyesuaian diri terhadap situasi kehidupan yang tidak dapat diubah dan harus diterima seadanya (change case). Dalam kasus change case konseli perlu dibantu untuk meninjau kembali sikap dan pandangannya sampai sekarang serta memikirkan sikap dan tindakan yang lebih baik. Change case digunakan bila tidak ada indikasi tentang adanya pikiran irasional atau rasa takut (anxiety) yang bersumber pada suatu proses belajar di masa yang lampau. Interview for

  

Adjustment dapat digunakan untuk membantu anak yang merasa terbuang

  Wawancara konseling dengan pola pendekatan Interview for

  Adjustment , fasenya yaitu: 1. Fase pembukaan.

  Selama fase ini konselor berusaha untuk menciptakan suatu hubungan antar pribadi (working relationship) yang baik dengan konseli.

  a. Konseli datang atas undangan konselor/konseli datang sendiri

  b. Menyambut kedatangan konseli

  c. Mengajak konseli berbasa-basi

  d. Menjelaskan kekhususan dari wawancara konseling

  e. Mempersilakan konseli mengungkapkan masalah yang ingin disampaikan

  2. Fase penjelasan masalah Diambil dari rambu kasus, kirannya apa yang akan diutarakan konseli.

  3. Fase penggalian masalah Digali latar belakang masalah menurut sistematis tertentu (tidak ada yang baku), misalnya: a. Asal-usul masalah

  b. Unsur-unsur pokok dan tidak pokok

  c. Siapa-siapa yang terlibat

  4. Fase penyelesaian masalah Dengan mengingat ciri khas suatu “chang case” yaitu penyesuaian diri, konselor mengajak berdiskusi tentang: a. Dijelaskan penyebab mengapa konseli sampai mengalami masalah

  b. Perubahan dalam pandangan dan sikap yang bagaimana yang diperlukan, supaya dapat menghadapi situasi yang ada.

  c. Tindakan apa yng direncanakan akan diambil sesudah keluar dari ruang konseling.

  5. Fase penutup Selama fase ini konselor mengakhiri wawancara dengan: a. Memberi ringkasan jalannya wawancara.

  b. Menegaskan kembali keputusan yang diambil.

  c. Memberi semangat/bombongan

  d. Menawarkan bantuannya bila kelak timbul persoalan baru

  e. Berpisah dengan konseli Adapun teori konseling Interview for Adjustment merupakan teori yang relevan bagi konseling di institut pendidikan. Pandangan teoritis yang dibahas di atas mengakui bahwa manusia pada dasarnya mampu berubah. Seandainya seseorang yaitu perubahan dalam perilaku dan perasaan seseorang dengan mengubah cara berfikir tentang dirinya sendiri.

  Adjustment Bagi Anak yang Merasa Terbuang

  Merasa terbuang adalah perasaan yang dialami seseorang karena ia merasa kurangnya kasih sayang yang didapat dari orang yang berarti dalam hidupnya sehingga ia merasa tidak diinginkan, disia-siakan atau diabaikan dan tidak berharga (Bloch dan Merritt, 2006). Gunarsa (2004) menuliskan seseorang yang merasa terbuang akan merasa lebih tertampung setiap kali ia berada di tengah-tengah kawannya, tetapi ketika orang lain mengetahui keadaannya dan ia dipandang berbeda oleh masyarakat, ia mengalami diskriminasi sosial dari lingkungannya. Ia menjadi takut untuk meluaskan pergaulannya, mempengaruhi prestasi belajarnya di sekolah dan tumbuh perasaan inferiority. Ia merasa rendah diri, menjadi takut untuk meluaskan pergaulannya. Cole (2004) menuliskan remaja yang perhatiannya berpusat pada perasaan terbuang membuat ia sulit menerima dirinya.

  Permasalahan yang dimulai dari merasa terbuang sampai akhirnya takut mengembangkan pergaulan menunjukan adanya kesulitan dalam harus diambil. Agar remaja yang merasa terbuang mampu menyadari kalau ia masih punya harapan, kekuatan untuk dapat menerima dirinya sehingga membantu ia menyesuaikan diri dan hidup dengan bahagia.

satu dari beberapa jenis penelitian deskriptif-kualitatif. Menurut Zuriah (1997) penelitian deskriptif-kualitatif terdiri dari jenis penelitian survei, studi kasus, perkembangan, tindak lanjut, analisis dokumen, studi waktu dan gerak, dan studi kecenderungan. Isaac dan Michael (1982) menyatakan desain penelitian studi kasus untuk melakukan analisis secara intensif dan mendalam pada sebuah gejala mengenai latar belakang, atribut-atribut, status terkini dan pengaruh interaksi lingkungan secara individual atau kolektif. Furchan (1982) menyatakan studi kasus mengupayakan penyelidikan terhadap individu atau kelompok sosial secara mendalam. Yatim (dalam Zuriah, 1997) menyatakan bahwa studi kasus berkenaan dengan segala sesuatu yang bermakna dalam sejarah atau perkembangan kasus yang bertujuan untuk memahami siklus kehidupan atau bagian dari siklus kehidupan suatu unit individu.

  Winkel dan Hastuti (2004) menjelaskan metode studi kasus digunakan untuk mengumpulkan data mengenai berbagai aspek tentang seseorang yang B. Subjek Penelitian Poerwandari (1998) menjelaskan karakteristik penelitian studi kasus diarahkan tidak pada jumlah sample yang besar, melainkan pada kasus- kasus tipikal sesuai dengan kekhususan masalah penelitian. Subjek penelitian ini adalah seorang remaja putri yang bernama Lexa (samaran). Subjek tinggal di Panti Asuhan Pangrekso Dalem, Betlehem, Temanggung. Subjek berusia 15 tahun, ia tinggal di PA sejak bayi. Subjek memiliki kecacatan fisik yaitu mata juling, telinga mengalami kesulitan pendengaran serta mengeluarkan bau busuk dan bentuk kepala atas cekung. Subjek bersekolah di SMPLB Melati, Temanggung. Pendengaran subjek yang terganggu menghambat subjek mendengar dengan baik, walau demikian subjek dapat diajak bertukar pikiran

  C. Metode Pengumpulan Data Winkel dan Hastuti (2004) menyatakan pengumpulan data penelitian bertujuan untuk mendapatkan pengertian yang luas, lebih lengkap dan lebih mendalam tentang subjek yang akan diteliti, serta membantu untuk memperoleh pemahaman akan diri sendiri. Penelitian ini menggunakan metode observasi dan wawancara.

  Teknik pencatatan data dalam penelitian ini adalah naratif perilaku yang akan diamati, mengidentifikasi hal-hal yang akan berpengaruh pada perkembangan sosialnya, mencatat perilaku verbal dengan menggunakan

  tape-recorder dan non-verbal.

  1. Observasi Poerwandari (1998) menyatakan metode observasi merupakan kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut.

  Metode observasi dalam penelitian ini adalah naturalistic

  

observation yaitu pengamatan dan pencatatan perilaku di kehidupan nyata

  yaitu di rumah, tempat subjek bermain, lingkungan sekolah dan masyarakat. Hubungan subjek dengan anggota keluarganya, hubungan subjek dengan tetangganya, hubungan subjek dengan teman-teman dan hubungan subjek dengan gurunya.

  2. Wawancara yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu atau makna subjektif yang muncul.

  Metode wawancara dalam penelitian ini ada dua yaitu, wawancara informasi dan wawancara konseling.