BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Kewarganegaraan 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan - BAB II Rini Puji S.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Kewarganegaraan 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan Secara bahasa, istilah Civic Education oleh sebagian pakar diterjemahkan ke

  dalam bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Kewargaan. Istilah “Pendidikan Kewarganegaraan” diwakili oleh Azra dan Tim

  ICCE (Indonesian Center for Civic Education) dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, sebagai pengembang Civic Education pertama di perguruan tinggi.

  Penggunaan istilah Pendidikan Kewarganegaraan diwakili oleh Winataputra dkk dari tim CICED (Center Indonesian for Civic Education), Tim ICCED (2005:8).

  Menurut Kerr (dalam Winataputra dan Budimansyah, 2007:4) mengemukakan bahwa Citizenship Education or Civics Education didefinisikan sebagai berikut:

  Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and in particular , the role of education (trough schooling, teaching and learning) in that preparatory process.

  Berdasarkan definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dirumuskan secara luas untuk mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, dan secara khusus peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran dan belajar dalam proses penyiapan warga negara tersebut.

  9 Menurut Zamroni (Tim ICCE, 2005:7) mengemukakan bahwa pengertian Pendidikan Kewarganegaraan adalah: Pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktifitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru, bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat. Demokrasi adalah suatu pembelajaran dan proses yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan mentransformasikan nilai- nilai demokrasi.

  Menurut Merphin Panjaitan (Tim ICCE UIN Jakarta, 2005:9) Pendidikan

  Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mendidik

  generasi muda menjadi warga negara yang demokratis dan partisipatif melalui suatu pendidikan yang dialogik. Sedangkan menurut Soedijarto (Tim ICCE UIN Jakarta, 2005: 9) mengartikan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan politiik yang bertujuan untuk membantu peserta didik untuk menjadi warga negara yang secara politik dewasa dan ikut serta membangun sistem politik yang demokratis.

  Somantri (2001: 154) mengemukakan bahwa: PKn merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.

  Beberapa unsur yang terkait dengan pengembangan PKn, antara lain (Somantri, 2001: 158):

  a. Hubungan pengetahuan intraseptif (intraceptive knowledge ) dengan pengetahuan ekstraseptif (extraceptive knowledge) atau antara agama dan ilmu.

  b. Kebudayaan Indonesia dan tujuan pendidikan nasional.

  c. Disiplin ilmu pendidikan, terutama psikologi pendidikan.

  d. Disiplin ilmu-ilmu sosial, khususnya ide fundamental Ilmu Kewarganegaraan.

  e. Dokumen negara, khususnya Pancasila, UUD 1945 dan perundangan negara serta sejarah perjuangan bangsa.

  Ketujuh unsur inilah yang akan mempengaruhi pengembangan PKn. Karena pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan akan mempengaruhi pengertian PKn sebagai salah satu tujuan pendidikan IPS.

  Sehubungan dengan itu, PKn sebagai salah satu tujuan pendidikan IPS yang menekankan pada nilai-nilai untuk menumbuhkan warga negara yang baik dan patriotik, maka batasan pengertian PKn dapat dirumuskan sebagai berikut (Somantri, 2001: 159): Pendidikan Kewarganegaraan adalah seleksi dan adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu kewarganegaraan, humaniora, dan kegiatan dasar manusia, yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk ikut mencapai salah satu tujuan pendidikan IPS.

  Berdasarkan pendapat dari para sarjana mengenai pengertian Pendidikan Kewarganegaraan dapat diketahui bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan yang mempunyai tujuan untuk membentuk warga negara yang baik

  

(Good Citizenship) yaitu warga negara yang tahu dan melaksanakan hak-hak dan

kewajiban-kewajibannya sebagai warga negara dari suatu negara.

2. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan

  Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan menurut Djahiri (1996: 10) adalah sebagai berikut: a. Secara umum.Tujuan PKn harus ajeg dan mendukung keberhasilan pencapaian

  Pendidikan Nasional, yaitu: “Mencerdaskan kehidupan bangsa yang mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki kemampuan pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.

  b. Secara khusus. Tujuan PKn yaitu membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perseorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran pendapat ataupun kepentingan diatasi melalui musyawarah mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

  Menurut Branson (1999:7) tujuan civic education adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik tingkat lokal, negara bagian, dan nasional.

  Tujuan pembelajaran PKn secara umum mempersiapkan generasi bangsa yang unggul dan berkepribadian, baik dalam lingkungan lokal, regional maupun global.

  Berdasarkan tujuan PKn di atas, dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya dalam setiap tujuan membekali kemampuan-kemampuan pada peserta didik dalam hal tanggung jawabnya sebagai warga negara, yaitu warga negara yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berpikir kritis, rasional dan kreatif, berpartisipasi dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa lain.

  Djahiri (1996:10) mengemukakan bahwa melalui PKn siswa diharapkan:

  a. Memahami dan menguasai secara nalar konsep dan norma Pancasila sebagai falsafah, dasar ideologi dan pandangan hidup Negara RI.

  b. Melek konstitusi (UUD 1945) dan hukum yang berlaku dalam Negara RI.

  c. Menghayati dan meyakini tatanan dalam moral yang termuat dalam butir di atas.

  d. Mengamalkan dan membakukan hal-hal di atas sebagai sikap perilaku diri dan kehidupannya dengan penuh keyakinan dan nalar.

3. Konteks Kelahiran dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia

  Istilah Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia mengalami perkembangan dan perubahan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan Pendidikan Kewarganegaraan yang lebih dikenal dengan nama Civic Education di USA menunjukkan adanya perluasan dari waktu ke waktu.

  Secara historis pertumbuhan Civic Education dapat digambarkan sebagai berikut (Sumantri, 1975:31): a. Civics (1790) b. Civic Education (1901, Harold Wilson).

  c. Community Civics (1970, A.W. Dunn)

  d. Civic-Citizenship Education (1945, John Mahoney)

  e. Civic-Citizenship Education (1971, NCSS) Pelajaran Civics mulai diperkenalkan pada tahun 1970 di Amerika Serikat dalam rangka meng-Amerikakan bangsa Amerika atau terkenal dengan theory of

  Americanization

  . Penerbitan majalah “The Citizen” dan “Civics” pada tahun 1886, Henry Randall Waite merumuskan Civic dengan “the science of citizenship

  • - the relation of man, the individual, to man in organized collections
    • – the (Somantri, 1975: 31).

  individual in his relation to the state, creshore, education

  Penjelasan mengenai Civics mempunyai kesamaan yaitu membahas mengenai government, hak dan kewajiban sebagai warga Negara. Akan tetapi, arti

  

Civics dalam perkembangan selanjutnya bukan hanya meliputi government saja,

  kemudian dikenal istilah Community Civics, Economic Civics, dan Vocational .

  Civics

  Gerakan Community Civics pada tahun 1970 dipelopori oleh W.A. Dunn adalah untuk menghadapkan pelajar pada lingkungan atau kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan ruang lingkup lokal, nasional maupun internasional. Gerakan Community Civics disebabkan pula karena pelajaran Civics pada waktu itu hanya mempelajari konstitusi dan pemerintahan saja, akan tetapi kurang memperhatikan lingkungan sosial.

  Selain gerakan Community Civics, timbul pula gerakan Civic Education atau banyak disebut sebagai Citizenship Education. Ruang lingkaup Civic

  Education (Somantri, 1975: 33), antara lain: a. Civic Education meliputi seluruh program dari sekolah.

  b. Civic Education meliputi berbagai macam kegiatan belajar mengajar, yang dapat menumbuhkan hidup dan tingkah laku yang lebih baik dalam masyarakat demokratis.

  c. Dalam civic Education termasuk pula hal-hal yang menyangkut pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi dan syarat-syarat obyektif hidup bernegara.

  NCSS (Somantri, 1975: 33) merumuskan mengenai Citizenship Education sebagai berikut:

  Citizenship Education is a process comprising all the positive influences which are intended to shape a citizens view to his role in society. It comes partly from formal schooling, partly from learning outside the classroom and the home.

  Trough Citizenship Education, ouryouth are helped to gain an understanding of our national ideas, the common good and the process of self government.

  Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan cakupan PKn lebih luas, karena selain mencakup program sekolah juga meliputi pengaruh belajar di luar kelas, dan pendidikan di rumah. Selanjutnya PKn digunakan untuk membantu generasi muda memperoleh pemahaman cita-cita nasional atau tujuan negara dan dapat mengambil keputusan-keputusan yang bertanggung jawab dalam menyelesaikan masalah pribadi, masyarakat dan Negara. Unsur-unsur Civic

  

Education yang dapat menjadi acuan bagi para pelajar, antara lain: mengetahui,

  memahami dan mengapresiasikan cita-cita nasional, dan dapat membuat keputusan-keputusan yang cerdas.

  Kuhn (Winataputra dan Budimansyah, 2007: 71) mengemukakan bahwa, perkembangan istilah Civics dan Civic Education di Indonesia terjadi pada tahun:

  1. Kewarganegaraan (1957), membahas cara memperoleh dan kehilangan kewargaan Negara.

  2. Civics (1962), tampil dalam bentuk indoktrinasi politik.

  3. Pendidikan Kewargaan Negara (1968) sebagai unsur dari pendidikan kewargaan Negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial.

  4. Pendidikan Kewargaan Negara (1969) tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS.

  5. Pendidikan Kewargaan Negara (1973) yang diidentikkan dengan pengajaran IPS.

  6. Pendidikan Moral Pancasila (1975 dan 1984) tampil menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4.

  7. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (1994) sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari Pancasila dan P4.

4. Karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan

  Sebagaimana layaknya suatu bidang studi yang diajarkan di sekolah, materi Pendidikan Kewarganegaraan menurut Branson (1999: 4) harus mencakup tiga komponen, yaitu Civic Knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), Civic

  Skills (keterampilan kewarganegaraan), dan Civic Disposition (watak

  kewarganegaraan). Komponen pertama, civic knowledge “berkaitan dengan kandungan atau nilai apa yang seharusnya diketahui oleh warga Negara”

  (Branson, 1999: 8). Aspek ini menyangkut kemampuan akademik-keilmuan yang dikembangkan dari berbagai teori atau konsep politik, hukum dan moral. Dengan demikian, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bidang kajian multidisipliner. Secara lebih rinci, materi pengetahuan kewarganegaraan meliputi pengetahuan tentang hak dan tanggung jawab warga Negara, hak asasi manusia, prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan non pemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasar hukum (rule of law) dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, serta nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat.

  Kedua, Civic Skills meliputi keterampilan intelektual (intellectual skills) dan keterampilan berpartisipasi (participatory skills) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh: keterampilan intelektual yaitu keterampilan dalam merespon berbagai persoalan politik, misalnya merancang dialog dengan DPRD.

  Contoh : keterampilan berpartisipasi adalah keterampilan menggunakan hak dan kewajibannya di bidang hukum, misalnya segera melapor kepada polisi atas terjadinya kejahatan yang diketahui.

  Ketiga, Civic Disposition (watak-watak kewarganegaraan), komponen ini sesungguhnya merupakan dimensi yang paling substantive dan esensial dalam mata pelajaran PKn. Dimensi watak kewarganegaraan dapat dipandang sebagai “muara” dari pengembangan kedua dimensi sebelumnya. Dengan memperhatikan visi, misi, dan tujuan mata pelajaran PKn, karakteristik mata pelajaran ini ditandai dengan penekanan pada dimensi watak, karakter, sikap dan potensi lain yang bersifat afektif.

  Berdasarkan rumusan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan antara lain menyatakan bahwa kurukulum untuk jenis pendidikan umum, pada jenjang pendidikan menengah, terdiri atas lima kelompok mata pelajaran. PKn termasuk dalam kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan Kepribadian. Kelompok mata pelajaran ini dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia.

  Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

5. Kurikulum dan Bahan Ajar Pendidikan Kewarganegaraan Persekolahan

  Kurikulum sebagai salah satu substansi pendidikan perlu didesentralisasikan terutama dalam pengembangan silabus dan pelaksanaannya yang disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan kondisi sekolah atau daerah. Dengan demikian, sekolah atau daerah mempunyai cukup kewenangan untuk merancang dan menentukan materi ajar, pengalaman belajar, dan penilaian hasil pembelajaran.

  Untuk itu, banyak hal yang perlu dipersiapkan oleh daerah karena sebagian besar kebijakan yang berkaitan dengan implementasi Standar Nasional Pendidikan dilaksanakan oleh sekolah atau daerah. Sekolah harus menyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) atau silabusnya dengan cara melakukan penjabaran dan penyesuaian Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan.

  Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah kurukulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dijelaskan:

  1. Kurukulum dan silabus SD/MI/SLB/Paket A, atau bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis, kecakapan berhitung serta kemampuan berkomunikasi (Pasal 6 ayat 6).

  2. Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan di bawah supervise Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota yang bertanggungjawab terhadap pendidikan untuk TK, SMP, SMA, dan SMK, serta Departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK (Pasal 17 Ayat 2).

  3. Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran,materi ajar, metode pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar (Pasal 20).

  Bahan ajar memiliki peran yang penting dalam pembelajaran termasuk dalam pembelajaran PKn. Ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan meliputi aspek-aspek sebagai berikut (Winataputra, 2007: 103): a. Persatuan dan kesatuan bangsa, meliputi: hidup rukun dalam perbedaan, cinta lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partsisipasi dalam pembelaan Negara, sikap positif terhadap Negara Kesatuan Negara Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan.

  b. Norma, hukum dan peraturan,yang meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, tatatertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat, peraturan-peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sistem hukum dan peradilan nasional, hukum dan peradilan internasional.

  c. Hak asasi manusia, meliputi: Hak dan kewajiban anak, hak dan kewajiban anggota masyarakat, instrument nasional dan internasional HAM, pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.

  d. Kebutuhan warga Negara, melipiti: Hidup gotong royong, harga diri sebagai warga masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan mengeluarkan pendapat, menghargai keputusan bersama, prestasi diri, persamaan kedudukan warga Negara.

  e. Konstitusi Negara, meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, hubungan dasar Negara dengan konstitusi.

  f. Kekuasaan dan politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, pemerintahan daerah dan otonomi, pemerintah pusat, demokrasi dan sistem politik, budaya politik, budaya demokrasi menuju masyarakat madani, sistem pemerintahan, pers dalam masyarakat demokrasi.

  g. Pancasila, meliputi: Kedudukan Pancasila sebagai dasar Negara dan ideologi Negara, proses perumusan Pancasila sebagai dasar Negara, pengamalan nilai- nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka.

  h. Globalisasi, meliputi: Globalisasi di lingkungannya, politik luar negari Indonesia di era globalisasi, dampak globalisasi, hubungan internasional dan organisasi internasional, dan mengevaluasi globalisasi.

B. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan 1. Prinsip Dasar Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

  Prinsip dasar pembelajaran PKn mengacu pada sejumlah prinsip dasar pembelajaran. Menurut Budimansyah (2002: 8) prinsip-prinsip pembelajaran tersebut adalah prinsip belajar siswa aktif (student active learning), kelompok belajar kooperatif (cooperative learning), pembelajaran partisipatorik, dan mengajar yang reaktif (reactive learning). Keempat prinsip tersebut dijelaskan sebagai berikut (Budimansyah, 2002: 8-13). a. Prinsip Belajar Siswa Aktif Model ini menganut prinsip belajar siswa aktif. Aktifitas siswa hampir di seluruh proses pembelajaran, dari mulai fase perencanaan di kelas, kegiatan lapangan, dan pelaporan. Dalam fase perencanaan aktifitas siswa terlihat pada saat mengidentifikasi masalah dengan menggunakan teknik bursa ide (brain storming).

  Setiap siswa boleh menyampaikan masalah yang menarik baginya, tentu saja yang berkaitan dengan materi pelajaran. Setelah masalah terkumpul, siswa melakukan voting untuk memilih satu masalah untuk kajian kelas.

  Dalam fase kegiatan lapangan, aktifitas siswa lebih tampak. Dengan berbagai teknik (misalnya dengan wawancara, pengamatan, kuisioner, dan lain-lain) mereka mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan untuk menjawab permasalahan yang menjadi kajian kelas mereka. Untuk melengkapi data dan informasi tersebut, mereka mengambil foto, membuat sketsa, membuat kliping, bahkan ada kalanya mengabadikan peristiwa penting dalan video.

  b. Kelompok Belajar Kooperatif Proses pembelajaran PKn juga menerapkan prinsip belajar kooperatif, yaitu proses pembelajaran yang berbasis kerjasama. Kerjasama yang dimaksud adalah kerjasama antar siswa dan antar komponen-komponen lain di sekolah, termasuk kerjasama sekolah dengan orang tua siswa dan lembaga terkait. Kerjasama antar siswa jelas terlihat pada saat kelas sudah memilih satu masalah untuk bahan kajian bersama.

  Dengan komponen-komponen sekolah lainnya juga seringkali harus dilakukan kerjasama. Misalnya pada saat para siswa hendak mengumpulkan data dan informasi lapangan sepulang dari sekolah, bersamaan waktunya dengan jadwal latihan olah raga yang diundur atau kunjungan lapangan yang diubah.

  Kasus seperti itu memerlukan kerjasama, walaupun dalam lingkup kecil dan sederhana. Hal serupa juga seringkali terjadi dengan pihak keluarga. Orang tua perlu juga diberi pemahaman, manakala anaknya pulang agak terlambat dari sekolah karena melakukan kunjungan lapangan terlebih dahulu. Sekali lagi, dari peristiwa ini pun tampak perlunya kerjasama antara sekolah dengan orang tua dalam upaya membangun kesepahaman.

  Kerjasama dengan lembaga terkait diperlukan pada saat para siswa merencanakan mengunjungi lembaga tertentu atau meninjau suatu kawasan yang menjadi tanggung jawab lembaga tertentu. Misalnya mengunjungi dinas peparkiran, mengunjungi kantor bupati atau wali kota untuk mengetahui kebijakan mengenai penertiban pedagang kaki lima. Mengamati dampak pembuangan limbah pabrik pada suatu kawasan tertentu, dan sebagainya. Kegiatan para siswa tentu saja perlu dibekali surat pengantar dari kepala sekolah selaku penanggungjawab kegiatan sekolah.

  c. Pembelajaran Partisipatorik Selain prinsip pembelajaran di atas, PKn juga menganut prinsip dasar pembelajaran partisipatorik, sebab melalui model ini siswa belajar sambil melakoni (learning by doing). Salah satu bentuk pelakonan itu adalah siswa belajar hidup berdemokrasi. Sebab dalam tiap langkah model ini memiliki makna yang ada hubungannya dengan praktik hidup berdemokrasi.

  Sebagai contoh pada saat memilih masalah untuk kajian kelas memilih makna bahwa siswa dapat mengahargai dan menerima pendapat yang didukung suara terbanyak. Pada saat berlangsungnya perdebatan, siswa belajar mengemukakan pendapat, mendengarkan pendapat orang lain, menyampaikan kritik dan sebaliknya belajar menerima kritik, dengan tetap berkepala dingin. Proses ini mendukung Adagium yang menyatakan bahwa democracy is not in

  (demokrasi itu tidak diwariskan, tetapi dipelajari dan

  heredity but learning

  dialami). Oleh karena itu, mengajarkan demokrasi itu harus dalam suasana yang demokratis (teaching democracy in and for democracy). Tujuan ini hanya dapat dicapai dengan belajar sambil melakoni atau dengan kata lain harus menggunakan prinsip belajar partisipatorik.

  d. Reactive Teaching Prinsip ini lebih menekankan bagaimana guru menciptakan strategi agar murid mempunyai motivasi belajar. Oleh karena itu, guru memahami situasi sehingga materi pembelajaran menarik, tidak membosankan, guru harus mempunyai sensitivitas yang tinggi untuk segera mengetahui apakah kegiatan pembelajaran sudah membosankan siswa, jika hal ini terjadi maka guru harus segera mencari cara untuk menanggulanginya. Inilah tipe guru yang reaktif itu.

  Ciri guru yang reaktif itu diantaranya adalah sebagai berikut: a) Menjadikan siswa sebagai pusat kegiatan belajar.

  b) Pembelajaran dimulai dengan hal-hal yang sudah diketahui dan dipahami siswa. c) Selalu berupaya membangkitkan motivasi belajar siswa dengan membuat materi pelajaran sebagai sesuatu hal yang menarik dan berguna bagi kehidupan siswa.

  d) Segera mengenali materi atau metode pembelajaran yang membuat siswa bosan. Bila hal ini ditemui, ia segera menanggulanginya.

  Samana (1994: 30) menjelaskan bahwa guru professional dituntut memiliki 10 hal, yaitu: 1) Menguasai bahan ajar. 2) Mampu mengelola program belajar mengajar. 3) Mampu mengelola kelas. 4) Mampu menggunakan media dan sumber pengajaran. 5) Menguasai landasan-landasan kependidikan. 6) Mampu mengelola interaksi belajar mengajar. 7) Mampu menilai prestasi belajar siswa untuk kepentingan pengajaran. 8) Mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan. 9) Mengenal dan mampu ikut menyelenggarakan administrasi sekolah. 10) Memahami prinsip-prinsip penelitian pendidikan dan mampu menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan pengajaran.

2. Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

  Menurut Sudjana (1989: 147), strategi mengajar adalah “ tindakan guru melaksanakan rencana mengajar, artinya usaha guru dalam menggunakan beberapa variabel pengajaran (tujuan, bahan, metode dan alat serta evaluasi) agar dapat mempengaruhi para siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan”. Dengan demikian, strategi mengajar pada dasarnya adalah tindakan nyata dari guru atau praktek guru melaksanakan pengajaran melalui cara tertentu yang dinilai lebih efektif dan lebih efisien. Secara umum, strategi pembelajaran merupakan cara- cara, ilmu, maupun rencana pembelajaran yang akan digunakan oleh pengajar dalam proses belajar mengajar dengan memperhatikan tujuan, bahan, metode, dan alat, serta evaluasi, agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik dan maksimal.

  Selain itu, dalam belajar mengajar juga terdapat empat strategi dasar seperti yang dikemukakan Djamarah dan Zain (2010:5) yaitu: a. Mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku dan kepribadian anak didik sebagaimana yang diharapkan.

  b. Memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat.

  c. Memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar yang paling tepat dan efektif sehingga dapat dijadikan pegangan oleh guru dalam menunaikan kegiatan mengajarnya.

  d. Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam melakukan evaluasi hasil belajar mengajar yang selanjutnya akan dijadikan umpan balik buat penyempurnaan sistem instruksional yang bersangkutan secara keseluruhan.

  Berdasarkan hal tersebut di atas, maka seorang guru khususnya guru PKn harus mampu merencanakan atau mempersiapkan strategi pembelajaran secara cermat sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai sesuai dengan hasil yang diharapkan.

3. Materi Pembelajaran

  Materi pembelajaran merupakan substansi yang akan disampaikan dalam proses pembelajaran (Djamarah dan Zain, 2002: 50).Guru mempunyai tugas yang penting dalam mengembangkan dan memperkaya materi pembelajaran, karena hal tersebut merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan pembelajaran. Menurut Djamarah dan Zain (2002: 51). Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan materi pembelajaran, yaitu: 1) Materi pembelajaran hendaknya sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai. 2) Materi pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa pada umumnya.

  3) Materi pembelajaran hendaknya terorganisasi secara sistematik dan berkesinambungan. 4) Meteri pembelajaran hendaknya mencakup hal-hal yang bersifat tekstual maupun kontekstual.

  Berdasarkan hal tersebut, maka materi pembelajaran PKn harus berdasarkan pada kompetensi yang ingin dicapai. Materi yang dibelajarkan harus bermakna bagi siswa dan merupakan hal yang benar-benar penting, baik dilihat dari kompetensi yang ingin dicapai maupun fungsinya untuk menentukan materi pada proses pembelajaran selanjutnya.

  Print dalam Sunarso (2006:11) berpendapat bahwa isi Pendidikan Kewarganegaraan yang prinsip adalah: 1) hak dan tanggung jawab warga negara, 2) pemerintah dan lembaga-lembaga, 3) sejarah dan konstitusi, 4) identitas nasional, 5) sistem hukum dan rule of law, 6) hak asasi manusia, hak-hak politik, ekonomi dan sosial, 7) proses dan prinsip-prinsip demokrasi, 8) wawasan internasional, 9) nilai-nilai kewarganegaraan demokrasi.

4. Metode Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

  Djahiri (1995/1996: 28) dalam bukunya “Strategi Pengajaran Afektif-Nilai- Moral VCT dan Games dalam VCT”, bahwa metode merupakan kumpulan sejumlah teknik. Terdapat beberapa metode dalam pembelajaran PKn yang dikemukakan Djahiri (1985: 36), antara lain: a.

   Ceramah (lecturing)

  Pada umumnya metode pembelajaran memerlukan ceramah, sehingga tidaklah benar pernyataan bahwa metode ini jelek dan harus dibuang. Akan tetapi, yang harus dihindari adalah penggunaan metode ceramah selama satu jam pelajaran penuh terus menerus dengan memakai pola ceramah murni yang naratif, monoton dan bersifat normatif imperatif.

  Beberapa keunggulan dari metode ceramah, antara lain: 1) Setiap orang memiliki potensi dan kemahiran untuk ceramah (lepas dari benar-salah). 2) Merupakan kiprah umum bahkan

  “membudaya” di kalangan perguruan/sekolah. 3) Bersifat praktis, mudah, murah dan cepat menyampaikan substansi sehingga target waktu bisa dikejar. 4) Mampu menyelaraskan ketimpangan waktu dengan banyaknya bahan. 5) Tidak membutuhkan persiapan pengembangan media. 6) Mampu mengungkap dan mengklarifikasi isi atau pesan dalam bahasa yang komunikatif dan cepat. Hampir semua hal mampu diungkap secara verbal. 7) Mampu menguasai kelas dalam ukuran bagaimanapun juga. 8) Bila ada kekeliruan bisa segera diperbaiki. 9) Sejumlah hasil pengiring yang dapat dihasilkan dari metode ini adalah: a) Melatih daya tangkap dan analitis ucapan orang lain.

  b) Latihan sosial untuk tatap muka dan etika dengan bicara.

  c) Mampu mengangkat hal yang tidak ada dalam buku atau belum diungkap sumber atau pihak lain. Sedangkan kelebihan metode ceramah menurut Suryosubroto (dalam

  Taniredja, dkk 2011: 48) adalah: 1) Guru dapat menguasai seluruh arah kelas. 2) Organisasi kelas sederhana.

  Kelemahan metode ceramah antara lain: 1) Guru sukar mengetahui sampai dimana murid-murid telah mengerti pembicaraannya. 2) Murid sering kali memberi pengertian lain dari hal yang dimaksud guru.

b. Ekspositorik

  Ekspositorik berasal dari kata „eksposeā€Ÿ yang berarti menunjukkan, memperagakan dan atau memperlihatkan. Metode belajar ekspositorik adalah metode belajar yang memperagakan sesuatu untuk menciptakan KBM yang terarah dan terkendali menuju target sasaran guru atau pengajar.

c. Metode Pengajaran Konsep (teaching konsep)

  Sebelum menggunakan metode pengajaran konsep, seorang pengajar terlebih dahulu harus memahami pengertian data dan fakta. Djahiri (1995/1996) mengungkapkan bahwa: 1) Data adalah realita yang ada, kejadian, atau hal baik fisik-non fisik, materiil- immateriil, dan personal-kondisional. 2) Fakta adalah sejumlah data yang memiliki keterkaitan menunjuk kepada suatu konsep. 3) Konsep adalah label/nama/istilah yang merupakan rangkaian sejumlah fakta menuju suatu pengertian/makna isi pesan dan atau fungsi peran atau harga/nilai. Jadi, konsep merupakan sesuatu yang memiliki ciri esensial tertentu.

d. Metode Tanya Jawab

  Metode Tanya jawab ini dianggap memiliki kadar CBSA yang tinggi, karena pertanyaan akan menggugah dan mengundang potensi diri siswa.

e. Partisipatorik

  Partisipatorik sebagai metode dalam kegiatan belajar mengajar, membelajarkan siswa mengenai kehidupan atau kegiatan nyata ataupun yang simulatif. Sarana untuk berpartisipatorik adalah kehidupan keluarga atau masyarakat, instansi kedinasan atau kemasyarakatan, laboratorium, atau pusat modeling. Jenis partisipatorik antara lain studi lapangan, kegiatan bakti sosial, magang, modeling atau simulasi, dan studi proyek.

f. Diskusi dan Kelompok Belajar

  Ciri khas dari diskusi sebagai pola kegiatan belajar mengajar yakni demokratis. Metode diskusi mengundang dan melibatkan banyak orang serta tidak ada dominasi seseorang, memiliki indikator CBSA yang tinggi karena meminta daya analisis dan evaluatif terhadap masalah yang dilontarkan atau tanggapan dan sanggahan terhadap orang lain. Djahiri (1995/1996: 53) mengungkapkan bahwa diskusi adalah kegiatan belajar siswa dialogistik sacara intra potensi diri antar potensi orang lain serta potensi dunia keilmuan dan kehidupan.

  Ciri esensial dari diskusi antara lain: 1) Adanya proses dialogistik, yakni interaksi antara struktur kognitif dengan afektif dan psikomotor, antara potensi diri kita dengan orang lain atau dengan dunia nyata serta keilmuan. 2) Adanya sharing ideas (pertukaran pikiran/pendapat, berargumentasi yang benar dan memiliki landasan), ada proses bereproduksi dan berekspresi. 3) Adanya arahan inkuiri/mencari/meneliti dan mendapatkan sesuatu. 4) Adanya proses sosialisasi diri. Bentuk-bentuk diskusi menurut Djahiri (1995/1996 :58) antara lain:

  1) Diskusi kelas 2) Diskusi kelompok 3) Diskusi panel 4) Seminar 5) Lokakarya 6) Diskusi penjaring Kelompok belajar adalah kelompok sejumlah siswa untuk melakukan kegiatan belajar bersama secara terarah dan teratur. Djahiri (1995/1996: 20) mengemukakan bahwa “kelompok belajar yang sesuai dengan pembelajaran PKn adala h kelompok belajar kooperatif”.

  Kelompok belajar kooperatif merupakan perpaduan antara kelompok belajar dan pola kegiatan kooperatif. Kooperatif di sini ialah kebersamaan kebersamaan dan kesetiakawanan social yang tinggi. Kelompok belajar kooperatif merupakan kegiatan belajar yang dapat menciptakan persaingan yang sehat, artinya tidak mendidik siswa untuk bersifat individualis.

g. Metode Inkuiri dan Pemecahan masalah

  Kedua metode ini pada dasarnya sama, tetapi dalam metode pemecahan masalah hanya sampai pada proses penentuan alternatif pemecahan/keputusan, sedangkan dalam inkuiri sampai pada tahapan penetapan yang terbaik.

  Keunggulan kedua metode ini menurut Djahiri (1995/1996: 58) antara lain: 1) Meningkatkan keterampilan dan kualitas hasil belajar. 2) Menuntun siswa akrab dengan kehidupan nyata. 3) Membakukan kemahiran analisis dan argumentasi rasional/berlandas. 4) Mensosialisasikan siswa . 5) Mendayagunakan aneka sumber dan lingkungan belajar. Jenis inkuiri ini adalah inkuiri sederhana, lengkap dan nilai. Inkuiri sederhana tidak memerlukan keseluruhan proses dilaksanakan, hanya hakekat dasarnya saja yakni mengkaji, mencari, dan menentukan pilihan. Inkuiri yang lengkap merupakan metode khusus yang langkah dan prosesnya telah baku, sedangkan inkuiri nilai adalah pola inkuiri sederhana yang fokus substansinya pada nilai moral.

5. Media Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

  Media pengajaran harus dibedakan dengan sumber pengajaran. Djahiri (1995/1996: 31) mengemukakan bahwa sumber pembelajaran merupakan tempat di mana butir mata pelajaran dan media bisa dilihat, diperoleh dan dikaji seperti buku, perpustakaan, media cetak, kehidupan nyata, dan lain-lain. Sedangkan media pembelajaran lebih diutamakan pada fungsi dan perannya.

  Djahiri (1995/1996) mengemukakan bahwa dengan adanya media pembelajaran diharapkan dapat berperan untuk:

  1) Menjadi fasilitator proses Kegiatan Belajar Siswa dan peningkatan Hasil Belajar Real. 2) Meningkatkan kadar proses CBSA atau proses Kegiatan Mengajar Guru interaktif-reaktif. 3) Meningkatkan motivasi belajar atau suasana belajar yang baik. 4) Meringankan beban tugas guru tanpa mengurangi kelancaran dan keberhasilan pengajaran. 5) Meningkatkan proses KBM secara efektif, efisien dan optimal. 6) Menyegarkan KBM.

  Terdapat berbagai jenis media belajar, diantaranya (Harmianto, tt : 26): 1. Media visual : grafik, diagram, chart, bagan, poster, kartun, dan komik.

  2. Media Audial : radio, tape recorder, laboratorium bahasa, dan sejenisnya.

  3. Projected still media : slide, over head projektor ( OHP), in focus dan sejenisnya.

  4. Projected motion media : film, televisi, video (VCD, DVD, VTR) komputer dan sejenisnya.

  Penggunaan media dalam KBM hendaknya memperhatikan kualifikasi standar kompetensi, kompetensi dasar dan metode pembelajaran yang akan digunakan.

6. Sumber Belajar

  Menurut Winataputra dan Ardiwinata (Djamarah dan Zain, 2010 : 48) sumber belajar adalah sebagai “sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat dimana bahan pengajaran terdapat atau asal untuk belajar seseorang”. Dengan demikian, sumber belajar juga diartikan sebagai segala tempat atau lingkungan sekitar, benda, dan orang yang mengandung informasi dapat digunakan sebagai wahana peserta didik untuk melakukan proses perubahan tingkah laku.

  Roestiyah (Djamarah dan Zain, 2010: 48-49) mengatakan bahwa sumber- sumber belajar itu adalah: a. Manusia ( dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat).

  b. Buku/Perpustakaan. c. Media Massa (majalah, surat kabar, radio, televisi, dan lain-lain).

  d. Dalam Lingkungan.

  e. Alat pengajaran ( buku pelajaran, peta, gambar, kaset, tape, papan tulis, kapur, spidol dan lain-lain).

  f. Museum ( tempat penyimpanan benda-benda kuno).

  Sumber belajar akan menjadi bermakna bagi peserta didik maupun guru apabila sumber belajar diorganisir melalui satu rancangan yang memungkinkan seseorang dapat memanfaatkan sumber belajar.

7. Evaluasi Pembelajaran

  Menurut Wand and Brown (Djamarah dan Zain, 2010: 50), evaluasi adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Berkaitan dengan evaluasi pembelajaran, evaluasi dilakuakn pada kegiatan akhir dalam bentuk refleksi dan praktek pembelajaran. Dalam mengevaluasi pembelajaran guru sebaiknya mengadakan berbagai macam penilaian. Mulai dari ulangan harian, ulangan tengah semester dan ulangan akhir semester.

  Pasaribu dan Simanjuntak (Djamarah dan Zain, 2010 : 50-51), menegaskan bahwa tujuan evaluasi dapat dilihat dari dua segi yaitu: a. Tujuan umum dari evaluasi adalah:

  1) Mengumpulkan data-data yang membuktikan taraf kemajuan murid dalam mencapai tujuan yang diharapkan.

  2) Memungkinkan pendidik/guru menilai aktivitas/pengalaman yang didapat. 3) Menilai metode mengajar yang dipergunakan.

  b. Tujuan khusus dari evaluasi adalah:

  1) Merangsang kegiatan siswa 2) Menemukan sebab-sebab kemajuan atau kegagalan 3) Memberikan bimbingan yang sesuai dengan kebutuhan, perkembangan dan bakat siswa yang bersangkutan.

C. Materi Hukum 1. Pengertian Hukum Hukum adalah keseluruhan peraturan yang harus dipatuhi oleh masyarakat.

  Hukum sebagai jaminan kepentingan bersama (Suparmin dan Cahyo, 2012: 9). Hukum dibuat oleh badan-badan resmi dalam masyarakat atau negara. Pengertian hukum menurut para ahli hukum terkemuka yaang dikutip oleh Suparmin dan Cahyo (2012: 9): 1) Leon Dagait Hukum adalah aturan tingkah laku anggota masyarakat. Aturan tersebut daya penggunaannya pada saat tertentu dipatuhi oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama. Pelanggaran terhadapnya akan menimbulkan reaksi bersama terhadap pelakunya. 2) Utrecht Hukum adalah himpunan peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat. Hukum harus ditaati oleh masyarakat itu. 3) Prof. Mr. E.M. Meyers Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan.

  Hukum ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat. Hukum menjadi pedoman bagi penguasa negara dalam melaksanakan tugasnya. 4) S.M. Amin, S.H Hukum merupakan kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi tujuannya mewujudkan ketertiban dalam pergaulan manusia.

  Menurut Mertokusumo (2005: 40) menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.

  Sedangkan pengertian hukum menurut para ahli lain yang dikutip oleh Tim Edukatif (2012: 27-28):

  a. J.C.T Simorangkir,S.H dan Woerjono Sastropranoto Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan- badan resmi yang berwajib.

  b. MH Tirtaamidjaja, S.H Hukum adalah semua aturan yang harus diturui dalam tingkah laku tindakan- tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian.

  c. Immanuel Kant Hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain, menuruti aturan hukum tentang kemerdekaan.

  Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian hukum adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia dalam masyarakat, dibuat oleh badan-badan yang berwenang, bersifat memaksa dan memiliki sanksi yang tegas.

2. Tujuan Hukum

  Tujuan hukum, antara lain (Suparmin dan Cahyo, 2012: 11): a) Menjamin kepastian hukum bagi setiap orang di dalam masyarakat.

  b) Menjamin ketertiban, ketentraman, kedamaian, kemakmuran, keadilan, dan kebenaran.

  c) Menjaga jangan sampai terjadi perbuatan main hakim sendiri dalam pergaulan masyarakat. Tujuan Hukum menurut para ahli yang dikutip oleh Kansil (1989:40):

  1. Prof. Lj. Van Apeldorn: Tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil. Demi mencapai kedamaian hukum harus diciptakan masyarakat yang adil dengan mengadakan perimbangan antara kepentingan yang bertentangan satu sama lain, dan setiap orang harus memperoleh (sedapat mungkin) apa yang menjadi haknya. Pendapat Apeldorn ini dapat dikatakan jalan tengah antara dua teori tujuan hukum, teori etis dan utilitis.

  2. Aristoteles: Tujuan hukum menghendaki keadilan semata-mata dan isi dari hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang tidak adil.

  3. Prof. Soebekti: Tujuan hukum adalah melayani kehendak negara yakni mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyat. Dalam melayani tujuan negara, hukum akan memberikan keadilan dan ketertiban bagi masyarakatnya.

  4. Geny (Teori Ethic): Menurut Geny dengan teori etisnya, bahwa tujuan hukum adalah untuk keadilan semata-mata. Tujuan hukum ditentukan oleh unsur keyakinan seseorang yang dinilai etis. Adil atau tidak, benar atau tidak, berada pada sisi batin seseorang, menjadi tumpuan dari teori ini. Kesadaran etis yang berada pada tiap-tiap batin orang menjadi ukuran untuk menentukan warna keadilan dan kebenaran.

  5. Jeremy Bentham (Teori Utility): Menurut Bentham dengan teori utilitasnya, bahwa hukum bertujuan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang. Pendapat ini dititik beratkan pada hal-hal yang berfaedah bagi orang banyak dan bersifat umum tanpa memperhatikan soal keadilan. Maka teori ini menetapkan bahwa tujuan hukum ialah untuk memberikan faedah sebanyak-sebanyaknya.

  6. Prof. J. Van Kan: Tujuan hukum adalah menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingannya tidak dapat diganggu.

  Dengan tujuan ini, akan dicegah terjadinya perilaku main hakim sendiri terhadap orang lain, karena tindakan itu dicegah oleh hukum. Sedangkan Menurut Soeroso (2004:8) fungsi hukum dalam perkembangan masyarakat dapat terdiri dari: a) Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat: dalam arti, hukum berfungsi menunjukkan manusia mana yang baik, dan mana yang buruk, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan teratur.

  b) Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin: dikarenakan hukum memiliki sifat dan ciri-ciri yang telah disebutkan, maka hukum dapat memberi keadilan, dalam arti dapat menentukan siapa yang salah, dan siapa yang benar, dapat memaksa agar peraturan dapat ditaati dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya.

  c) Sebagai sarana penggerak pembangunan: daya mengikat dan memaksa dari hukum dapat digunakan atau didayagunakan untuk menggerakkan pembangunan. Di sini hukum dijadikan alat untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju.