BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Membangun Kecerdasan Spiritual 1. Pengertian kecerdasan Spiritual - BAB II PRIHARTINI AULIA RAHMAWATI PAI'18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Membangun Kecerdasan Spiritual 1. Pengertian kecerdasan Spiritual Kecerdasan berasal dari kata cerdas, secara etimologi cerdas yaitu

  sempurna perkembangan akal budi untuk berfikir dan mengerti (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 186). Menurut kamus Webster (Gunawan, 2005: 152) mendefinisikan kecerdasan sebagai: a) kemampuan untuk mempelajari atau mengerti pengalaman, kemampuan untuk mendapatkan dan mempertahankan pengetahuan, kemampuan mental, b) kemempuan untuk memberikan respon secara cepat dan berhasil pada situasi baru, kemempuan untuk menggunakan nalar dalam memecahkan masalah.

  Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain (Agustian, 2016: 14).

  Dapat dipahami bahwa kecerdasan spiritual lebih merupakan sebuah konsep yang berhubungan dengan bagaimana seseorang cerdas dalam mengelola dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai, dan kualitas-kualitas kehidupan spiritualnya. Kehidupan spiritual disini meliputi hasrat untuk hidup bermakna the will to meaning yang

  

9 memotivasi kehhidupan manusia untuk senantiasa mencari makna hidup

  the meaning of life dan mendambakan hidup bermakna the meaningful life (Mujib dan Mudzakir, 2001: 324-325).

  Di sisi lain, kecerdasan spiritual adalah kemampuan individu untuk memaknai setiap perilaku dan kegiatan sebagai ibadah melalui langkah- langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah menuju tauhid (integralistik) serta berprinsip hanya karena Allah Swt. (Agustian, 2001: 57). Menurut Ahmad Taufik (2005: 57), kecerdasan spiritual adalah sebuah semangat untuk memaknai hidup dengan nilai-nilai normatif Islam yang terkandung di dalam wahyu Al-

  Qur’an dan As-Sunnah yang kemudian menjadi acuan dalam aktifitas kehidupan.

  Adapun kecerdasan spiritual dalam pandangan (ESQ) adalah kemampuan untuk memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku dan kegiatan, serta mampu menyinergikan (IQ), (EQ) dan (SQ) secara komperhensif (Agustian, 2001; 130).

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan alam sadar. Hal ini menjadikan kita kreatif ketika kita dihadapkan pada masalah pribadi, mencoba melihat makna yang terkandung didalamnya, serta menyelesaikannya dengan baik agar memperoleh ketenangan hati. Kecerdasan spiritual membuat individu mampu memaknai mozaik kehidupannya dalam setiap kegiatan sebagai ibadah.

2. Pengertian Membangun Kecerdasan Spiritual

  Proses terbangunnya dan berkembangnya kecerdasan spiritual dimulai sejak adanya kesadaran spiritual. Kemudian kesadaran secara spiritual ini mendorong munculnya pemahaman spiritual pada anak melalui bimbingan orang tua dan ligkungannya. Dengan munculnya pemahaman spiritual ini, seseorang akan mampu melakukan penghayatan spiritual secara mendalam, sehingga mampu mencapai kebermaknaan spiritual. Kebermaknaan spiritual itulah yang menjadi sumber utama terbentuknya kecerdasan spiritual (Simanjorang, 2012).

  Mengembangkan atau membangun kecerdasan spiritual dapat diartikan dengan segala usaha, langkah, kegiatan yang dilakukan baik secara sendiri maupun bantuan orang lain dalam rangka untuk menumbuhkembangkan kecerdasan spiritual. Pengembangan aspek spiritual ini tidak harus merupakan satu program atau mata pelajaran yang secara khusus memberikan materi tentang spiritual. Akan tetapi aspek spiritual ini dapat dikembangkan lebih luas dan di integrasikan melalui kegiatan apapun.

  Dengan demikian pengembangan kecerdasan spiritual adalah upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak manusia lebih maju dalam hal yang berkaitan kejiwaan, rohani, mental, moral, ataupun yang berkaitan dengan spirit atau jiwa, serta bekerja dengan usahanya ataupun asumsi mengenai nilai-nilai transedental (nilai illahiyyah), dengan pola pikir secara tauhidi (integralistik) serta berprinsip hanya karena Allah SWT (Ulfa Rahmawati: Jurnal Penelitian).

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa membangun kecerdasan spiritual adalah upaya yang dilakukan dalam membangun, mengembangkan serta mendorong manusia untuk melakukan penghayatan spiritual secara mendalam baik dilakukan secara sendiri maupun dengan bantuan orang lain. Kecerdasan sprirituan dapat dibangun, dikembangkan dan dilatih. Kemudian untuk menjadi orang cerdas secara spiritual, kita harus secara konstan menempatkan tujuan dan strategi kita dalam konteks yang lebih luas dalam makna dan nilai.

3. Ciri-ciri Kecerdasan Spiritual

  Menurut Tebba (2005), kecerdasan spiritual ditandai dengan ciri- ciri, yaitu: a. Mengenal motif yang paling dalam Motif yang paling dalam berkaitan erat dengan motif kreatif.

  Motif kreatif adalah motif yang menghubungkan kita dengan kecerdasan spiritual. Ia tidak terletak pada kreatifitas, tidak bisa dikembangkan lewat IQ. IQ hanya akan membantu untuk menganalisis atau mencari pemecahan soal secara logis. Sedangkan EQ adalah kecerdasan yang membantu untuk bisa menyesuaikan diri dengan orang-otang di sekitar. b. Memiliki tingkat kesadaran yang tinggi Kesadaran yang tinggi memiliki arti tingkat kesadaran bahwa tidak mengenal diri sendiri lebih, karena ada upaya untuk mengenal diri sendiri lebih dalam. Misalnya, selalu bertanya siapa diriku ini? Sebab dengan mengenal diri, maka dapat mengenal tujuan dan misi hidupnya.

  c. Bersikap responsif pada diri yang dalam Melakukan intropeksi diri, refleksi diri dan mau mendengarkan suara hati nurani ketika ditimpa musibah. Keadaan seperti itu mendorong kita untuk melakukan intropeksi diri dengan melihat ke dalam hati yang paling dalam.

  d. Mampu memanfaatkan dan mentransenden kesulitan Melihat ke hati yang paling dalam ketika ketika menghadapi musibah disebut menyransenden kesulitan. Orang yang cerdas secara spiritual tidak mencari kambing hitam atau menyalahkan orang lain sewaktu menghadapi kesulitan atau musibah, tetapi menerima kesulitan itu dan meletakkannya dalam rencana hidup yang lebih besar.

  e. Sangggup diri, menentang dan berbeda dengan orang banyak Manusia mempunyai kecenderungan untuk ikut arus atau

  

trend . Orang yang cerdas secara spiritual mempunyai pendirian dan

  pandangan sendiri walaupun harus berbeda dengan pendirian dan pandangan umum. f. Enggan mengganggu dan menyakiti orang dan makhluk lain Merasa bahwa alam semesta ini adalah sebuah kesatuan, sehingga kalau mengganggu apapun dan siapapun pada akhirnya akan kembali kepada diri sendiri. Orang yang cerdas secara spiritual tidak akan menyakiti orang lain dan alam sekitarnya.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual mempunyai ciri sebagai berikut mengenal motif yang paling dalam, memiliki tingkat kesadaran yang tinggi, bersikap responsif pada diri yang dalam, mampu memanfaatkan dan mentransenden kesulitan, sangggup diri, menentang dan berbeda dengan orang banyak, enggan mengganggu dan menyakiti orang dan makhluk lain.

4. Aspek-Aspek Kecerdasan Spiritual

  Menurut Clinebell dalam bukunya Hawari (1999: 493-497) mengemukakan pada dasarnya setiap diri manusia memiliki sepuluh aspek kemampuan dasar kecerdasan spiritual, diantaranya:

  a. Kemampuan akan kepercayaan dasar (Basic Trust), kepercayaan dasar berguna untuk membangkitkan kesadaran bahwa hidup ini adalah ibadah. Karena hidup ini adalah ibadah, maka manusia tidak perlu risau manakala suatu saat mengalami kesusahan, kesedihan atau kehilangan sesuatu yang dicintai karena semua itu adalah cobaan keimanan, sementara kalau diberi kenikmatan hendaknya manusia mensyukuri

  “Basic Trust”kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, Penyayang lagi Maha Pengampun amat pentinga hingga manusia tidak perlu merasa stres, depresi atau cemas.

  b. Kemampuan untuk mengerti akan makna hidup, tujuan hidup dalam membangun hubungan yang selaras, serasi, dan seimbang dengan Tuhannya dan dengan sesama manusia serta alam sekitarnya.

  c. Kemampuan untuk melakukan komitmen peribadatan dan hubungannya dalam kehidupan keseharian. Pengalaman agama hendaknya seimbang anatara praktek dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.

  d. Kemampuan pengisian keimanan secara teratur mengadakan hubungan dengan Tuhan. Hal ini dimaksudkan agar kekuatan iman dan takwa senantiasa tidak melemah.

  e. Kemampuan akan bebas dari rasa bersalah dan berdosa. Rasa bersalah dan berdosa ini merupakan beban mental bagi seseorang dan tidak baik bagi kesehatan jiwa.

  Adanya perasaan bersalah adalah hal yang bagus dan istimewa. Tidak semua orang mampu memilikinya. Adanya perasaan bersalah dan berdosa menunjukkan kalau seseorang masih memiliki perasaan malu dan takut. Itu juga berarti masih ada keimanan dalam hatinya. Adanya perasaan bersalah dan berdosa yang berlebihan juga dapat menjadi tekanan batin yang justru akan membuat orang tidak bahagia, putus asa. Karena itu perasaan bersalah dan berdosa pun harus dapat dikendalikan jangan sampai menjadi sebuah keputusasaan. Dengan demikian dapat diartikan pula sebagai kemempuan untuk bangkit dari keterpurukan serta keputusaan.

  f. Kemampuan akan penerimaan diri dan harga diri (Self Acceptance and

  

Self System ). Dua hal tersebut amat penting bagi kesehatan jiwa

  seseorang. Setiap diri ingin diterima dan dihargai oleh lingkungannya tidak ingin dilecehkan atau dipinggirkan. Sehingga dalam setiap pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang akan mendapat penghargaan dan pengakuan dari orang lain, yang akan membuat orang tersebut merasa bangga akan hasil kerjanya.

  g. Kebutuhan akan rasa aman. Bagi orang yang beriman akan memperoleh rasa aman (Security Feeling) sementara bagi orang yang tidak beriman akan mengalami kecemasan menghadapi masa depan (hari kemudian).

  h. Kemampuan untuk mencapainya derajat dan martabat yang semakin tinggi sebagai pribadi yang utuh. Bagi orang yang beriman akan senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhannya, sehingga diharapkan derajat dan martabatnya di mata sesama manusia akan lebih tinggi. i. Kemampuan untuk memelihara interaksi dengan alam dan sesama manusia. Orang tidak dapat hidup seorang diri, melainkan sering ketergantungan dengan orang lain. j. Kemampuan untuk melakukan hidup bermasyarakat yang syarat dengan nilai-nilai religiusitas. Komunitas keagamaan merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi kehidupan seseorang.

  Dikutip dari Putra (2014: 31) dalam bukunya Sinetar (2001) menuliskan beberapa aspek dalam kecerdasan spiritual, yaitu: 1) Kemampuan seni untuk memilih. Kemampuan untuk memilih dan menata hingga kebagian-bagian terkecil ekspresi hidupnya berdasarkan visi batin yang tetap dan kuat yang memungkinkan hidup mengorganisasikan bakat.

  2) Kemampuan seni untuk melindungi diri. Individu mempelajari keadaan dirinya, baik bakat maupun keterbatasannya untuk menciptakan dan menata pilihan terbaiknya. 3) Kedewasaan yang diperlihatkan. Kedewasaan berarti kita tidak menyembunyikan kekuatan-kekuatan kita dan ketakutan serta sebagai konsekuensinya memilih untuk menghindari kemampuan terbaik kita. 4) Kemampuan untuk mengikuti cinta. Memilih antara harapan-harapan orang lain di mata kita penting atau kita cintai, yaitu kemampuan untuk mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Sang kekasih sejati Allah Swt, yaitu melalui syariat-Nya dengan melakukan ketakwaan kepada Yang di cintai.

  5) Disiplin-disiplin pengorbanan diri. Mau berkorban untuk orang lain, pemaaf, mudah memberi kepada orang lain dan selalu ingin membuat orang lain bahagia.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual terdiri dari lima belas aspek yaitu kemampuan dasar, makna hidup, komitmen peibadatan, keimanan, bebas dari rasa bersalah dan berdosa, penerimaan diri dan harga diri, kebutuhan akan rasa aman, pribadi yang utuh, interaksi dengan alam dan manusia, hidup bersosial, kemampuan seni untuk memilih, kemampuan seni untuk melindungi diri, kedewasaan yang diperlihatkan, kemampuan untuk mengikuti cinta, disiplin-disiplin pengorbanan diri.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Spiritual

  Ada banyak sekali faktor yang bisa mempengaruhi kecerdasan seseorang. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila kecerdasan yang dimiliki setiap individu akan berbeda antara individu satu dengan yang lainnya. Berikut akan dijelaskan mengenai beberapa faktor yang bisa mempengaruhi kecerdasan menurut Shaleh (2009: 260-262) yaitu:

  a. Pembawaan Pembawaan ditentukan oleh sifat dan ciri-ciri yang dibawa sejak lahir. Secara hakiki perbedaan manusia dengan binatang adalah manusia mempunyai fitrah beragama. Oleh sebab itu manusia disebut juga dengan homo religius. Fitrah beragama ini tidak memilih kapan manusia tersebut itu berada dan dilahirkan. Dari zaman yang masih primitif sampai modern, bahkan sejak nabi Adam sampai akhir zaman, maupun setiap anak yang lahir dari rahim orang tua yang baik ataupun jahat, bahwasanya secara kodrati setiap manusia memiliki kepercayaan terhadap sesuatu yang berada di luar kekuasaannya yang memilki kekuatan untuk mengatur kehidupan alam semesta. b. Kematangan Tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ (fisik dan psikis) dapat dikatakan telah matang, jika dapat mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. Kemampuan untuk mampu atau tidak menerima apa yang telaah ditakdirkan oleh Allah Swt, bagaimana mampu bersyukur dengan apapun pemberian Allah Swt.

  c. Pembentukan Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi kecerdasan.dapat kita bedakan pembentukan sengaja

  (seperti yang dilakukan di sekolah-sekolah) dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar).

  d. Minat dan Pembawaan yang Khas Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan (motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar.

  e. Kebebasan Kebebasan berarti bahwa manusia itu bebas memilih berbagai metode yang tertentu dalam memecahkan masalah (Rizky

  Setiyanawati: 2016).

  Zohar dan Marshall (2001) membagi beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan spiritual yaitu:

  1) Motif yang paling dalam, yaitu motif dimana kita dapat bertindak di dunia dan mencari realita dibalik setiap hasrat permulaan.

  2) Kesadaran diri yang tinggi, untuk menyadari segala permasalahan dan menyadari keadaan dirinya.

  3) Tanggap terhadap diri yang dalam, kecerdasan spiritual yang tinggi menuntut seseorang untuk mengabdi pada diri dengan penuh kesadaran agar dapat merasakan apa yang benar-benar memotivasi untuk mengetahui nilai dan makna hidup yang tinggi.

  4) Kemampuan untuk memanfaatkan dan mengatasi kesulitan, agar dapat memegang tanggung jawab terhadap kehidupan sehari-hari.

  5) Berdiri menentang orang banyak. Seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual dapat menjadi seseorang yang mandiri dan orang tersebut mampu berdiri menentang orang banyak yang memilliki ego fungsionalperan serta yang sehat dalam kelompok, namun keduanya harus berakar dari dalam diri sendiri. 6) Keengganan untuk menyebabkan kerusakan, seseorang yang tinggi kecerdasan spiritualnya mengetahui bahwa ketika dia merugikan orang lain maka dia merugikan diri sendiri. 7) Menjadi cerdas spiritual dalam agama, adanya titik Tuhan dalam susunan syaraf otak yang menunjukan bahwa kemampua untuk menjalani pengalaman dan keyakinan memberikan suatu keuntungan evolusioner pada individu. Menghubungkan individu dengan makna dan nilai dengan cara yang dapat individu ikuti, mendorong individu berjuang juga memberikan individu suatu tujuan.

  8) Memiliki kesadaran diri yang positif. Seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi maka benar-benar jujur pada diri sendiri,sadar diri dan memuntut diri untuk menghadapi pilihan, terkadang pilihan yang tepat merupakan pilihan yang sulit.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan antara lain: pembawaan, kematangan, pembentukan, minat dan kebebasan dalam memecahkan masalah serta terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan spiritual antara lain: motif yang paling mendalam, kesadaran diri yang tinggi, tanggap terhadap diri, kemampuan untuk memanfaatkan dan mengatasi kesulitan, berdiri menentang orang banyak, keengganan untuk menyebabkan kerusakan, menjadi cerdas spiritual dalam agama, dan memiliki kesadaran diri yang positif.

6. Manfaat Kecerdasan Spiritual

  Banyak sekali manfaat yang diperoleh, apabila memiliki kecerdasan spiritual. Adapun manfaat dari kecerdasan spiritual diantaranya:

  a. Kecerdasan spiritual dapat menjadikan kreatif yang mampu menghadirkan kecerdasan spiritual ketika ingin menjadi luwes, berwawasan luas, atau spontan secara kreatif. b. Dapat menggunakan kecerdasan spiritual untuk berhadapan dengan masalah eksistensial, yaitu saat kita secara pribadi merasa terpuruk, terjebak oleh kebiasaan, kekhawatiran dan masalah masa lalu akibat penyakit dan kesedihan.

  c. Kecerdasan spiritual adalah pedoman saat kita berada di ujung. Ujung adalah suatu tempat bagi kita untuk menjadi sangat kreatif.

  Kecerdasan spiritual, pemahaman kita yang dalam dan intuitif akan makna dan nilai,merupakanpetunjuk bagi kita saat berada di ujung.

  Kecerdasan spiritual adalah hati nurani kita.

  d. Kecerdasan mpiritual menjadikan kita lebih cerdas secara spiritual beragama.

  e. Kecerdasan spiritual memungkinkan kita untuk menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta menjembatani kesenjangan antara diri dan orang lain.

  f. Menggunakan kecerdasan spiritual untuk mencapai perkembangan diri yang lebih utuh karena kita memiliki potensi untuk itu.

  g. Kecerdasan spiritual dapat membantu di dalam menghadapi masalah baik dan buruk, hidup dan mati, dan asal-usul sejati dari penderitaan dan keputusasaan manusia (Zohar dan Marshal, 2000: 12-13).

  Sedangkan menurut Agustian (2001: 14-15) manfaat dari kecerdasan spiritual untuk seseorang diantaranya: Menjadikan etos kerja yang tidak terbatas, menjadikan manusia peduli terhadap sesama, tidak mudah terpengaruh oleh lingkungannya, dan mendapatkan kebahagiaan serta kedamaian dalam diri.

  Jadi dari berbagai manfaat kecerdasan spiritual tersebut, tentu saja akan menjadikan manusia menjadi insan kamil yang sesuai dengan ajaran Agama Islam. Akhlakul karimah akan dimiliki olehnya yang mampu mengaplikasikan kecerdasan spiritual dalam kehidupannya. Baik dalam kehidupan pribadi, sosial, maupun dalam masyarakat. (Wahyu Afirina. 2014: 27-28).

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual memiliki manfaat diantaranya memberikan potensi untuk terus berkembang, lebih kreatif dalam artian memiliki wawasan yang luas, dapat menerima atas cobaan yang dihadapinya serta bisa mengatasinya dengan baik, lebih dapat memaknai kehidupan dengan baik, serta mampu menghargai diri sendiri dan orang lain.

B. Kegiatan Pada Bulan Ramadhan 1. Pengertian Bulan Ramadhan

  Allah SWT memotivasi umatnya untuk banyak melakukan amal saleh atau dalam istilah lain disebut dengan kesalehan sosial. Ramadhan sesungguhnya, bukan hanya untuk memupuk kesalehan individu tetapi lebih penting adalah meningkatkan kuantitas dan kualitas kesalehan sosial.

  Allah SWT menjanjikan pahala yang berlipat ganda, tetapi lebih dari itu harus menyadari prestasi spiritual (kedekatan dengan Allah SWT) hanya dapat diraih jika kita memiliki prestasi sosial yang kita persembahkan kepada Allah SWT.

  Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya melatih untuk meningkatkan kecerdasan emosional. Beberapa penelitian menunjukkan untuk menjadi sukses dan bahagia di dalam hidup, tidak cukup hanya dengan kecerdasan intelektual. Diperlukan kecerdasan lain yang belakangan disebut dengan ESQ (emotional, spiritual quetion). Selama Ramadhan perlu melatih untuk bersikap sabar, jujur terhadap diri sendiri dan merasakan kehadiran Allah SWT yang Maha Hadir (omnipresent).

  (Tarigan, 2008: 5) Bulan Ramadhan sesungguhnya adalah bulan yang paling baik untuk mempererat silaturrahmi. Di dalam khotbahnya Rasul SAW melambangkan silaturrahmi dengan kesediaan berbagi perbukaan puasa. Ketika kita membagi sebagian rezeki kepada orang lain, kendatipun hanya sebiji kurma, seteguk air, atau sepotong kue, pada saat itu kita sesungguhnya merajut silaturrahmi. Dalam makna yang lebih luas, kegiatan buka bersama adalah media silaturrahmi yang paling efektif.

  Tentu saja yang diinginkan bukan hanya sekedar berkumpul dan makan bersama. Momen/silaturrahmi itu harus dimanfaatkan untuk membicarakan persoalan keumatan. Akhirnya silaturrahmi yang terbangun selama Ramadhan menjadi produktif dan memberi efek buat kemaslahatan umat (Ahmad Rifa’i Rif’an. 2010).

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bulan Ramadhan bisa disebut juga bulan ibadah karena pada bulan tersebut dianjurkan untuk melakukan ibadah-ibadah sunnah disamping ibadah wajib seperti sunnah dhuha, rawatib dan tarawih ataupun qiyamullail serta tadarusan Al-

  Qur’an. Semua aktivitas jasmani dsn rohani di bulan Ramadhan dilatih untuk selalu melaksanakan kebiasaan-kebiasaan luhur bahwa semua aktivitas kehidupan kita sejatinya adalah ibadah kepadaNya.

2. Keutamaan Bulan Ramadhan

  Sesungguhnya pada tiap tahun terdapat hari-hari agung yang selalu datang berkunjung

  “bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau yang ingin bersyukur” (Al-Furqan: 62).

  Allah SWT juga mengkhususkan bagi mereka di dalam bulan tersebut pahala yang tidak Allah berikan pada bulan-bulan yang lain.

  Bahkan Dia menjadikan pahala orang yang shaum (pada bulan itu) setara dengan 10 kali lipat, 700 kali lipat, bahkan lebih dari itu sampai tidak terbatas dan tidak terhitung. Rasulullah SAW. menyebutkan hadits qudsi tentang firman Allah SWT. (hadits qudsi):

  

َلاَق , ِفْع ِض ُةَناِمَعْبَس ىَلِإ اَهِلاَثْمَا ُرْشَع ُةَنَسَحْلا , ُفَعاَضُي َمَدآ ِنْبا ِلَمَع ُّلُك

ُهَماَعَط َو ُهَت َوْهَش ُعَدَي , ِهِب ْي ِزْجَأ اَنَأ َو ىِل ُههنِإَف ,َم ْوهصلا هلاِإ : هلَج َو هزَع ُالله

ْيِلْجَأ ْنِم

  “Setiap perbuatan anak Adam itu untuk dirinya, setiap satu

perbuatan baik dia akan mendapat pahala yang setara dengan (pahala)

  

10 perbuatan yang sepadan, sampai 700 kali lipatnya. Allah SWT.

berfirman (yang terjemahan maknanya): ‘Kecuali shaum, karena

  sesungguhnya shaum itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya’.” (HR. Bukhari dan Muslim). (Kamil. 2008: viii) Ramadhan adalah bulan yang dipilih oleh Allah SWT. sebagai waktu diturunkannya kitab-kitab dan risalah-risalah-Nya. Ia adalah bulan penyambung antara langit dan bumi. Pada bulan ini, Allah SWT. menurunkan firman-Nya.

  Allah SWT. menyeru makhluk-Nya, menyebarkan cahaya-Nya, menurunkan wahyu kepada hamba-Nya yang suci. Sungguh bulan yang agung. Bulan sebab kebaikan, sumber cahaya, titik tolak rahmat, waktu turunnya keberkahan dari langit ke bumi.

  Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan ampunan, pada bulan tersebut pintu-pintu surga dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup, keistimewaan ini tidak terdapat pada bulan-bulan yang lain. Setan dibelenggu, jin yang murtad diikat, gerak langkahnya tertahan oleh rantai dan belenggu (Ya’kub. 2008: 22-33).

  ٢ (

ِهِبْنَذ ْنِم َمهدَقَت اَم ُهَل َرِفُغ , اًباَسِتْحا َو اًناَمْيِإ , َناَضَمَر َماَص ْنَم )

٣ ( ِراهنلا ُّا َوْبَأ ْتَقِلُغ َو ِةهن َجْلا ُّا َوْبَأ ْتَحِتُف َناَضَمَر َءاَج اَذِإ )

  ْيِط اَيهشلا ِت َذِفُص َو

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keutamaan bulan Ramadhan sangat banyak sekali untuk seluruh setiap muslim di seluruh dunia karena di bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh berkah, ampunan dan banyak sekali pahala. Sehingga sangat baik untuk memperbanyak ibadah dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT. serta memohon ampunan atas segala dosa yang telah kita perbuat.

3. Kegiatan pada Bulan Ramadhan

  a. Puasa Di dalam buku panduan Ramadhan (JSIT wilayah jateng periode 2013-2017). Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan

  “shaum”. Shaum secara bahasa bermakna imsak (menahan diri) dari mkan, minum, berbicara, nikah dan berjalan. Sedangkan menurut istilah syara’ atau istilah, shaum adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan mulai dari terbit fajar hingga matahari terbenam, karena semata perintah Allah SWT., dengan disertai niat dan syarat tertentu.

  Puasa Ram adhan pertama kali disyari’atkan adalah pada tanggal 10 Sya’ban di tahun kedua setelah hijrah Nabi SAW ke Madinah. Sesudah diturunkannya perintah penggantian kiblat dari masjidil Al-Aqsha ke Msjidil Al-Haram. Semenjak itulah Rasulullah SAW. menjalankan puasa Ramadhan hingga akhir hayatnya sebanyak sembilan kali dalam sembilan tahun.

  Berpuasa adalah salah satu pondasi dasar agama. Ketentuan berpuasa terkandung dalam Al- Qur’an surah Al-Baqarah ayat 183:

  ٱ ٱ ٱ نِم َنيِذهل َنيِذهل َأَٰٓ َي ىَلَع َبِتُك َبِتُك

  اَمَك ُماَي ِ صل ُمُكۡيَلَع ْاوُنَماَء اَهُّي ١٨٣ َنوُقهتَت ۡمُكِلۡبَق ۡمُكهلَعَل

  Artinya:

  “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan, atas kamu

berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orag sebelum kamu

agar kamu bertaqwa”.

  Puasa tidak hanya berfungsi untuk menahan dan mengendalikan hawa nafsu seperti makan dan minum atau nafsu amarah saja, tetapi juga pengendalian pikiran dan hati agar tetap berada pada jalur yang telah “digariskan” di dalam prinsip berpikir berdasarkan Rukun Iman. Di sinilah sesungguhnya letak keunggulan puasa yang tertinggi, yaitu pengendalian diri agar selalu berada pada jalur fitrah, supaya selalu memiliki tingkat kecerdasan emosi yang tinggi (Agustian. 2001: 223).

  Puasa Ramadhan dan puasa sunnah dapat meningkatkan kemampuan pengendalian diri . Saat berpuasa, melakukan pekerjaan seperti biasa. Tidak menggunakan puasa sebagai dalih untuk bermalas- malasan dengan alasan lapar dan haus. Justru disinilah tantangannya, bekerja maksimum sambil menahan lapar dan haus serta emosi.

  Saat berpuasa, kedepankanlah sifat fitrah seperti sikap pengasih, penyayang, sabar, mencipta, adil, memberi, sungguh- sungguh, konsisten dan sifat- sifat mulia lainnya. “Tarikan ke atas” mengarah ke fitrah saat itu harus didahulukan, sementara “Tarikan ke bawah” berupa ego harus ditahan. Sehingga yang akan muncul adalah pribadi luhur dan tinggi, yang berhati emas dan bermental baja atau Idul Fitri (Agustian. 2016: 317).

  Puasa yang benar bermanfaat untuk menjadi metode pelatihan pengendalian diri, meraih kemerdekaan sejati, pembebasan dari belenggu yang tak terkendali, dan memelihara aset kita yang paling berharga, yaitu kemenangan fitrah (Agustian. 2016: 315).

  b. Shalat Tarawih Pada buku kegiatan Ramadhan (JSIT Indonesia.1434 H: 6),

  Sholat tarawih adalah sholat sunnah malam yang dikerjakan di malam bulan Ramadhan sesudah sholat isya hingga menjelang waktu shubuh.

  Sholat tarawih tidak berbeda dengan sholat sunnah lainnya, seperti sholat sunnah tahajud dan sholat sunnah witir hanya saja shalat tarawih dikerjakan di malam bulan Ramadhan serta dapat dikerjakan secara berjamaah maupun sendiri di rumah. Terdapat beberapa praktek tentang jumlah raka’at dan jumlah salam pada sholat tarawih, pada masa Rasulullah SAW. Jumlah raka’atnya adalah 8 raka’at dengan dilanjutkan 3 raka’at witir. Pada jama’ah khalifah Umar menjadi 20 raka’at dilanjutkan dengan 3 raka’at witir.

  Adapun keutamaan sholat tarawih yaitu: 1) Akan mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu

  Dari Abu Huroiroh, Rasulullah SAW. bersabda,

  “Barangsiapa melakukan qiam Ramadhan karena iman dan

  

mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan

diampuni .”

  2) Sholat tarawih bersama imam seperti sholat semalam penuh Dari Abu Dzar, Nabi SAW. pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya, lalu ia bersabda:

  “Siapa yang sholat

bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala

qiam satu malam penuh.”

  Mempelajari makna sholat secara mendalam sebelum melakukannya. Setiap kata yang diucapkan saat sholat akan membangkitkan kembali suara-suara hati fitrah manusia, yang mungkin sudah agak memudar. Kecerdasan emosi dan spiritual akan meningkat muncul ketika akan mengucapkan setiap kata dalam sholat.

  Ketika melafadzkan

  “Bismillaahirrahmaanirrahiim”,

  ingatlah bahwa bekerja keras atas nama Allah SWT. yang bersifat Rahman dan Rahim tanamkan sifat mulia itu dalam dada, maka akan bersikap rahman dan rahim. Ketika mengucapkan

  “Allahu

Akbar”ingatlah akan kebesaran Allah SWT., sehingga akan

  berpikir besar.

  Takbiratul ihram akan membangun kekuatan prinsip kita untuk hanya berpegang kepasa Alla Yang Mha Esa. Wawasan kita dibangun ketika membaca Al-Faatihah, maka pahamilah makna surah itu ayat demi ayat. Itulah kunci kehidupan manusia yang sempurna. Landasan sikap, visi integritas, komitmen, keikhlasan, hinggakecerdasan sosial ada di sana.

  Kegiatan fisik yang dilakukan saat sholat akan menciptakan paradigma yang cerdas karena sholat yang benar bisa menghapus dan meredam kejadian sehari-hari yang mungkin telah membelenggu pikiran positif kita. Sholat adalah kunci yang penting untuk memelihara dan meningkatkan “level” kecerdasanemosi dan spiritual (ESQ) secara keseluruhan dan berkelanjutan (Agustian, 2016: 316-317)

  c. Membaca Al- Qur’an

  Ramadhan adalah bulan Al- Qur’an. Jika amal perbuatan di bulan Ramadhan dilipatgandakan balasannya, bukankah kita sudah selayaknya melipatgandakan bacaan Al-

  Qur’an? Hubungan antara Ramadhan dan Al-

  Qur’an sangat kuat, ikatannya amat erat. Sebagaimana yang ketahui, Al- Qur’an adalah kitab Allah SWT. yang abadidengannya Allah SWT. mengeluarkan umat ini dari kegelapan menuju cahaya.Keutamaan-keutamaan Al- Qur’an:

  1) Al- Qur’an adalah rahmat

  2) Al- Qur’an adalah ketentraman

  3) Al- Qur’an adalah pencetak para tokoh

  4) Al- Qur’an adalah keembuhan 5) Al-

  Qur’an adalah pemberi petunjuk sekaligus pelindung manusia

6) Al- Qur’an adalah kehidupan hati (Muhammad Husain Ya’kub.

  2008: 185-195) Ramadhan memiliki keterkaitan dengan Al-

  Qur’an karena bulan Ramadhan merupakan bulan di mana kitab suci yang agung itu pertama kali diturunkan.

  “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan Al- Qur’an)”. (Al-Baqarah: 185).

  Keterkaitan Ramadhan dengan Al- Qur’an juga berhubungan dengan kewajiban shaum di dalamanya. Shaum adalah sarana paling kuat untuk menghilangkan gangguan nafsu-nafsu kemanusiaan yang menjadi penghalang untuk melihat cahaya-cahaya ilahiah yang tersebar di dalam Al- Qur’an. Karena inilah, katerkaitan antara shaum dengan turunnya Al-

  Qur’an sangat besar. Jadi jika Ramadhan itu teristimewakan oleh turunnya Al- Qur’an sudah seharusnya pula

  Ramadhan teristimewakan sebagai momen untuk shaum, karena shaum adalah kondisi yang paling sesuai bagi manusia untuk memperoleh petunjuk dari Allah SWT. yang diturunkan di dalam Al- Qur’an.

  Al- Qur’an pun mengisyaratkan bahwa tujuan yang paling agung dari ibadah sahaum adalah membersihkan pikiran agar dapat memahami Al-

  Qur’an. Karena itu, setelah Allah SWT. membicarakan kewajiban shaum dalam firman-Nya (Al-Baqarah: 183), datanglah pembicaraan mengenai turunnya Al-

  Qur’an pada bulan Ramadhan

  (Al-Baqarah: 185). Sehingga pengkhususan Ramadhan sebagai bulan shaum itu adalah demi Al- Qur’an. Dan dari sisnilah, dapat dipahami eksistensi bulan Ramadhan dan bahwa shaum itu demi Al-Qur

  ’an sehingga tidak mengherankan bila Ramadhan juga disebut sebagai “Bulan Al-Qur’an”.

  Orang saleh terdahulu telah memahami dan menyadari makna ini secara baik dan mengerti bahwa fungsi Ramadhan yang paling besar adalah memperhatikan Al-

  Qur’an dan melaksanakan ajarannya, serta menjalankan ibadah shaum demi membersihkan hati dan pikiran untuk mereguk hikmah Al- Qur’an.

  Az-Zuhri pernah ditanya mengenai ibadah pada bulan Ramadhan. lantas beliau pun menjawab, “sesungguhnya hal itu adalah dengan membaca Al-

  Qur’an dan memberi makan orang”. Abdurrazaq juga menceritakan bahwa jika Sufyan Ats-Tsauri memasuki bulan Ramadhan, beliau meninggalkan semua ibadah lainnya yang tidak wajib, dan konsentrasi penuh untuk menekuni ibadah membaca Al- Qur’an.

  Ada cerita dari Ibnu Abdil Hakam mengenai Imam Malik, bahwa apabila Imam Malik memasuki bulan Ramadhan, beliau tidak lagi menghadiri majelis-majelis keilmuan dan beliau berkonsentrasi untuk menekuni tilawah Al-

  Qur’an. Poin yang harus senantiasa kita camkan kuat-kuat dalam hati ketika berbicara menegenai membaca Al-

  Qur’an pada bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya adalah hendaknya meyakini bahwa tujuan utama dari kegiatan membaca Al- Qur’an ini adalah untuk merenungkan dan memahami makna-makna firman Allah SWT (Kamil. 2008: 78-79).

  d. Berdzikir Iman dapat berkurang dan bertambah di hati seorang mukmin bertambah dengan banyaknya ibadah-ibadah dan berkurang dengan terjadinya kemaksiatan dan tidak ada amalan ibadah yang lebih utama dibanding dzikrullah (berdzikir kepada Allah SWT. dengan mengingat dan menyebut).

  Rasulullah SAW. bersabda,

  “Maukah jika aku kabarkan pada

kalian suatu amalan yang paling baik dan paling suci di sisi

penguasamu? Yang dapat menaikkan derajat kalian? Yang lebih baik

daripada infak berupa emas dan perak? Serta juga lebih baik

daripada pertemuan kalian kalian (di medan jihad) dengan musuh-

musuh kalian, yang di sana kalian memenggal leher-leher mereka dan

merekapun memenggal leher- leher kalian?” Para sahabat menjawab,

“Ya, kami mau!” Rasulullah SAW. lantas menyatakan, “Yaitu zikir

kepada Allah Ta’ala” (HR At-Turmudzi dan Ibnu Majah).

  Jadi berdzikir kepada Allah SWT. Dapat memperbarui dan menambah keimanan serta menerangi hati dan mengembalikannya pada lubuk sanubari sebelum malapetaka datang menerpanya ataupun sebelum ia mulai berkarat (Kamil, 2008: 69).

  Zikir di siang dan malam hari Ramadhan memiliki keistimewaan yang benar, dapat menghasilkan cita rasa yang mungkin berbeda dari pada zikir di bulan yang lain dari segi kejernihan,ketenangan,dan kekhusyukannya. Terasa semakin dahsyat karena masih ditambah lagi dengan kenyataan bahwa zikir pada saat Ramadhan tidak sama dengan dzikir pada bulan lainnya dari segi keutamaan dan pahalanya (Kamil, 2008: 74).

  e.

  Berdo’a Menurut Kamil (2008: 176-177)salah satu aspek kemuliaan bulan ini adalah Allah SWT yang berkenan mengabulkan doa di dalamnya karena kemuliaan Allah SWT telah menyandingkannya dengan Ramadhan. Di sela-sela pembicaraan mengenai shaum beserta hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya, Allah SWT berfirman:

  ٱ يِ نَع يِداَبِع َكَلَأَس ِناَعَد اَذِإ ُبي ِجُأ بي ِرَق يِ نِإَف َة َوۡعَد

  اَذِإ َو ِعاهدل ١٨٦ يِل

  َنوُدُش ۡرَي ۡمُههلَعَل يِب ْاوُبي ِجَت ۡسَيۡلَف ْاوُنِم ۡؤُيۡل َو

  “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,

maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan

permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku,

maka hendaklah mereka itu memenuhi (Segala perintah-Ku) dan

hendaklah mere ka selalu berada dalam kebenaran” (Al-Baqarah:

  186).

  Pengabulan doa adalah sebuah kemuliaan di atas kemuliaan, apalagi bila berlangsungan pada bulan yang juga sangat mulia, dan memang

  “tidak ada yang lebih mulia di sisi Allah SWT. selain doa” (HR Ahmad dan At-Turmudzi).

  Pada bulan kemuliaan ini, beribadah kepada Rabb Yang Maha Mulia. Rasulullah SAW bersabda:

  “Sesungguhnya Rabb kalian Tabaraka wa Ta’ala itu

Mahamalu dan Mahamulia. Dia malu untuk mengembalikan hamba-

Nya yang sudah menengadahkan tangan kepada-Nya dalam keadaan

tangan kosong” (HR. Abu Dawud, At-Turmudzi, dan Ibnu Majah).

  Jadi Allah SWT sangat menyukai orang yang berdoa kepada- Nya, karena itulah Allah SWT memerintahkan untuk berdoa, sebab Allah SWT tidak akan memerintahkan sesuatu yang tidak Dia sukai.

  f. I’tikaf Seluruh kehidupan Rasulullah SAW adalah ibadah kepada

  Allah SWT, Beliau memiliki amalan ibadah harian, baik wajib maupun sunnah yang beliau kerjakan secara rutin.

  Demikian juga pada bulan Ramadhan, beliau berpuasa, shalat malam dan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.

  Berbagai amal ibadah, yang beliau jalankan mengandung hikmah yang tidak terhitung banyaknya arahan kehidupan seorangmuslim dalam meniti jalan Allah SWT. Rasulullah SAW memberi teladan dalamsyari’at i’tikaf karena dalam hati manusia ada kekusutan, kefakiran, dan kerusakan yang tidak bisa diatasi, kecuali dengan menghadapkan diri kepada Allah SWT. Ketika manusia mengalami berbagai kesulitan hidup di dunia ini, mereka merindukan kesunyian yang di dalamnya dia menyepi bersama Rabb dan Ilah-nya, kekasihnya, dan Dzat yang diibadahinya, penolong, dan Dzat yang dimintainya.

  I’tikaf adalah sebuah ibadah yang tidak sama dengan ibadah lainnya. I’tikaf berarti memfokuskan diri kepada Allah SWT secara total, dan meninggalkan berbagai kesenangan dunia yang dapat menghalangi kebiasaan ruhani manusia yang luhur.

  I’tikaf juga melambangkan bentuk hubungan yang sempurna dengan Allah SWT., demi mewujudkan kejernihan ruhani dalam interaksi insan muslim dengan Allah SWT.

  Syari’at Islam memiliki tugas utama, yaitu mewujudkan hubungan ruhani yang berkelanjutan anatara hamba dan sang Pencipta SWT, melalui wilayah ibadah yang luas dan mencakup kehidupan manusia secara keseluruhan, demi menggapai keridhaan Allah SWT. dan mengikuti sy ari’at Yang Maha Benar (Ya’kub. 2008: 261-262).

  g. Zakat Fitrah Kewajiban mengeluarkan zakat. Sabda Rasulullah SAW.

  

“Dari Ibnu Umar dia berkata: “Rasulullah SAW. telah mewajibkan

zakat fitrah satu sha’ dari kurma atau satu sha’ syair (gandum) atas

hamba (budak) dan orang yang merdeka, dan laki-laki, perempuan,

yang besar dan kecil, muslimin dan beliau memerintahkan untuk

  menunaikannya sebelum manusia menuju shalat Idul Fitri.”. (Muttafaqun ‘Alaihi)

  Zakat adalah megeluarkan sebagian harta menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. yang berfungsi sebagai pembersih baik harta maupun jiwa. Zakat fitrah adalah zakat yang dikeluarkan berupa makanan pokok di daerah tertentu dan diberikan sebelum shalat Idul Fitri, sebagai pembersih jiwa orang ang menjalankan ibadah puasa Ramadhan. (JSIT Indonesia: 1434 H)

  Memahami perasaan, motivasi serta keinginan orang lain, sesungguhnya mengacu pada pemahaman suara hati diri sendiri atau fitrah. Zakat juga sebuah latihan untuk berusaha memahami, “apa tangisan dan impian orang lain.” Anda berusaha massuk ke dalam hati dan perasaan orang lain untuk memberi bantuan agar mereka berhenti “menangis”, sekaligus membantu mereka mencapai impiannya (Agustian, 2016: 337).

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa kegiatan atau amaliah yang biasa dilakukan pada saat bulan Ramadhan yaitu puasa, shalat tarawih, membaca Al-

  Qur’an, berdzikir, berdo’a, i’tikaf dan zakat fitrah.

C. Pondok Pesantren 1. Pengertian Pondok Pesantren

  Menurut Soegarda Poerbakawatja, Pesantren berasal dari kata santri yaitu seseorang yang belajar agama Islam, sehingga dengan demikian pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul umtuk belajar agama Islam. Ada juga yang mengartikan pesanteren adalah suatu lembaga pendidika Islam di Indonesia yang bersifat “tradisional” untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian (Daulay. 2004: 27)

  Menurut Sudjoko Prasodjo, pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan pedan akhiran an yang menunjukkan tempat, dengan demikian , pesantren adalah tempat para santri. Secara istilah pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. Dengan demikian, dalam lembaga pendidikan Islam yang disebut pesantren tersebut sekutang- kurangnya memiliki unsur-unsur sebagai berikut: kiai, santri, masjid sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan dan pondok atau asarama sebagai tempat tinggal para sntri serta kitab-kitab klasik sebagai sumber atau bahan pelajaran (Nizar, 2009: 286).

  Pesantren diartikan sebagai asrama, tempat santri, atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, dimana santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab klasik dan kitab umum, bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail, serta mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat (Kamus Besar Bahasa indonesia).

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pesantren adalah tempat tinggal para santri (asrama) serta suatu lembaga pendidikan Islam yang mendidik para santrinya dalam belajar ilmu agama Islam secara mendetail.

2. Tipologi atau Model Pendidikan di Pondok Pesantren

  Model pendidikan di pondok pesantren memiliki beberapa pola, diantaranya: a. Pesantren Pola I

  Pesantren Pola I adalah pesantren yang masih terikat kuat dengan sistem pendidikan Islam sebelum zaman pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Ciri-ciri dari pesantren ini adalah pengkajian