BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebutuhan Spiritual Pasien - Jefri Januanto BAB II
1. Konsep Spiritual
a. Definisi Spiritual adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Yang
Maha Kuasa dan Maha pencipta, sebagai contoh seseorang yang percaya kepada Allah sebagai Pencipta atau sebagai Maha Kuasa.
Spiritualitas mengandung pengertian hubungan manusia dengan Tuhannya dengan menggunakkan instrumen (medium) sholat, puasa, zakat, haji, doa, dan sebagainya (Hawari, 2002).
Spiritualitas mengandung pengertian hubungan manusia dengan Tuhannya dengan menggunakan instrument (medium) sholat, puasa, zakat, haji, doa, dan sebagainya (As‟ad & Al Rosyid, 1994).
b. Aspek Spiritual Kebutuhan spiritual adalah harmonisasi dimensi kehidupan.
Dimensi ini termasuk menemukan arti, tujuan, menderita, dan kematian, kebutuhan akan harapan dan keyakinan hidup, dan kebutuhan akan keyakinan pada diri sendiri, dan Tuhan. Ada 5 dasar kebutuhan spiritual manusia yaitu: arti dan tujuan hidup, perasaan misteri, pengabdian, rasa percaya dan harapan di waktu kesusahan (Hawari, 2002).
8 Spiritualitas meliputi aspek sebagai berikut: 1) Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian alam kehidupan.
2) Menemukan arti dan tujuan hidup. 3) Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri.
4) Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Maha Tinggi (Burkhardt dalam Hamid, 2000)
c. Dimensi Spiritual Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang mendapati stress emosional, penyakit fisik, atau kematian. Dimensi spiritual juga dapat menumbuhkan kekuatan yang timbul diluar kekuatan manusia (Kozier, 2004).
Spiritual sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi eksistensial dan dimensi agama, dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa.
Spiritual sebagai konsep dua dimensi. Dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan lingkungan. Terdapat hubungan yang terus menerus antara dua dimensi tersebut (Hawari,2002).
2. Kebutuhan Spiritual Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Apabila seseorang dalam keadaaan sakit, maka hubungan dengan Tuhannya pun semakin dekat, mengingat seseorang dalam kondisi sakit menjadi lemah dalam segala hal, tidak ada yang mampu membangkitkannya dari kesembuhan, kecuali Sang Kholiq. Dalam pelayanan kesehatan, perawat sebagai petugas kesehatan harus memiliki peran utama dalam memenuhi kebutuhan spiritual. Perawat dituntut mampu memberikan pemenuhan spiritualnya pada saat pasien akan dioperasi, pasien kritis atau menjelang ajal. Dengan demikian, terdapat keterkaitan antara keyakinan antara keyakinan dengan pelayanan kesehatan dimana kebutuhan dasar manusia yang diberikan melalui pelayanan kesehatan tidak hanya berupa aspek biologis, tetapi juga aspek spiritual. Aspek spiritual dapat membantu membangkitkan semangat pasien dalam proses penyembuhan (Asmadi, 2008).
Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubunganpenuh rasa percaya dengan Tuhan. Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk memberikan dan mendapatkan manfaat (Kozier, 2004).
Menginventarisasi 10 butir kebutuhan dasar spiritual manusia (Cineball dalam Hawari, 2002), yaitu:
1. Kebutuhan akan kepercayaan dasar (basic trust), kebutuhan ini secara terus menerus diulang guna membangkitkan kesadaran bahwa hidup ini adalah ibadah.
2. Kebutuhan akan makna dan tujuan hidup, kebutuhan untuk menemukan makna hidup dalam membangun hubungan yang selaras dengan Tuhannya (vertikal) dan sesama manusia (horizontal) serta alam sekitarnya.
3. Kebutuhan akan komitmen peribadatan dan hubungannya dengan keseharian, pengalaman agama integratif antara ritual peribadatan dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.
4. Kebutuhan akan pengisian keimanan dengan secara teratur mengadakan hubungan dengan Tuhan, tujuannya agar keimanan seseorang tidak melemah.
5. Kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah dan dosa. Rasa bersalah dan berdosa ini merupakan beban mental bagi seseorang dan tidak baik bagi kesehatan jiwa seseorang. Kebutuhan ini mencakup dua hal yaitu pertama secara vertikal adalah kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah, dan berdosa terhadap Tuhan. Kedua secara horizontal yaitu bebas dari rasa bersalah kepada orang lain.
6. Kebutuhan akan penerimaan diri dan harga diri (self acceptance dan
self esteem ), setiap orang ingin dihargai, diterima, dan diakui oleh
lingkungannya.7. Kebutuhan akan rasa aman, terjamin dan keselamatan terhadap harapan masa depan. Bagi orang beriman hidup ini ada dua tahap yaitu jangka pendek (hidup didunia) dan jangka panjang (hidup diakhirat). Hidup di dunia sifatnya sementara yang merupakan persiapan bagi kehidupan yang kekal diakhirat nanti.
8. Kebutuhan akan dicapainya derajat dan martabat yang makin tinggi sebagai pribadi yang utuh. Di hadapan Tuhan, derajat atau kedudukan manusia didasarkan pada tingkat keimanan seseorang. Apabila seseorang ingin agar derajatnya lebih tinggi di hadapan Tuhan maka dia senantiasa menjaga dan meningkatkan keimanannya.
9. Kebutuhan akan terpeliharanya interaksi dengan alam dan sesama manusia. Manusia hidup saling tergantung satu sama lain. Oleh karena itu, hubungan dengan orang disekitarnya senantiasa dijaga. Manusia juga tidak dapat dipisahkan lingkungan alamnya sebagai tempat hidupnya. Oleh karena itu manusia mempunyai kewajiban untuk menjaga dan melestarikan alam ini.
10. Kebutuhan akan kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan nilai- nilai religius. Komunitas keagamaan diperlukan oleh seseorang dengan sering berkumpul dengan orang yang beriman akan mampu meningkatkan iman orang tersebut.
3. Pola Norma Spiritual Dimensi spiritual adalah sesuatu yang terintegrasi dan berhubungan dengan dimensi yang lain dalam diri seorang individu.
Spiritualitas mewakili totalitas keberadaan seseorang dan berfungsi sebagai perspektif pendorong yang menyatukan berbagai aspek individual.
Dimensi spiritual merupakan salah satu dimensi penting yang perlu diperhatikan oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada seorang pasien. Keimanan atau keyakinan religius adalah sangat penting dalam kehidupan personal individu. Keyakinan tersebut diketahui sebagai suatu faktor yang kuat dalam penyembuhan dan pemulihan fisik (Hamid, 2000). Oleh karena itu, menjadi suatu hal penting bagi perawat untuk meningkatkan pemahaman tentang konsep spiritual agar dapat memberikan asuhan spiritual dengan baik kepada pasien. Setiap individu memiliki definisi dan konsep yang berbeda mengenai spiritualitas. Kata- kata digunakan untuk menjabarkan spiritualitas termasuk makna, transeden, harapan, cinta, kualitas, hubungan, dan eksistensi (Potter & Perry, 2005). Setiap individu memiliki pemahaman tersendiri mengenai spiritualitas karena masing-masing memiliki cara pandang yang berbeda mengenai hal tersebut. Perbedaan definisi dan konsep spiritualitas dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup seseorang, serta persepsi mereka tentang hidup dan kehidupan. Pengaruh tersebut nantinya dapat mengubah pandangan seseorang mengenai konsep spiritualitas dalam dirinya sesuai dengan pemahaman yang ia miliki dan keyakinan yang ia pegang teguh (Hawari, 2002).
Konsep spiritualitas memiliki arti yang berbeda dengan konsep religius. Banyak perawat dalam praktiknya tidak dapat membedakan kedua konsep tersebut karena menemui kesulitan dalam memahami keduanya. Kedua hal tersebut memang sering digunakan secara bersamaan dan saling berhubungan satu sama lain. Konsep religius biasanya berkaitan dengan pelaksanaan suatu kegiatan atau proses melakukan suatu kegiatan.
Konsep religius merupakan suatu sistem penyatuan yang spesifik mengenai praktik yang berkaitan bentuk ibadah tertentu. Emblen dalam Potter dan Perry mendefinisikan religi sebagai suatu sistem keyakinan dan ibadah terorganisasi yang dipraktikan seseorang secara jelas menunjukkan spiritualitas mereka (Hawari, 2002). Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa religi adalah proses pelaksanaan suatu kegiatan ibadah yang berkaitan dengan keyakinan tertentu. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menunjukan spiritualitas diri mereka. Sedangkan spiritual memiliki konsep yang lebih umum mengenai keyakinan seseorang. Terlepas dari proses ibadah yang dilakukan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan tersebut (Hawari, 2002). Konsep spiritual berkaitan dengan nilai, keyakinan, dan kepercayaan seseorang. Kepercayaan itu sendiri mremiliki cakupan mulai dari atheisme (penolakan terhadap keberadaan Tuhan) hingga agnotisme (percaya bahwa Tuhan ada dan slalu mengawasi) atau theism (Keyakinan akan Tuhan dalam bentuk personal tanpa bentuk fisik) seperti dalam Kristen dan Islam.
Keyakinan merupakan hal yang lebih dalam dari suatu kepercayaan seorang individu. Keyakinan mendasari seseorang untuk bertindak atau berfikir sesuai dengan kepercayaan yang ia ikuti (Hawari, 2004). Keyakinan dan kepercayaan akan Tuhan biasanya dikaitkan dengan istilah agama. Di dunia ini, banyak agama yang dianut oleh masyarakat sebagai wujud kepercayaan mereka terhadap keberadaan Tuhan. Tiap agama yang ada di dunia memeiliki karakteristik yang berbeda mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan dan keyakinan sesuai dengan prinsip yang mereka pegang teguh. Keyakinan tersebut juga mempengaruhi seseorang individu untuk menilai suatu yang ada sesuai dengan makna dan filosofi yang diyakininya.Sebagai contoh, persepsi seorang Muslim mengenai perawatan kesehatan dan respon penyakit tentunya berbeda dengan persepsi seorang Budhis. Semua itu tergantung konsep spiritual yang dipahami sesuai dengan keyakinan dan keimanan seorang individu. Konsep spiritual yang dianut atau dipahami olehseorang pasien dapat mempengaruhi cara pandang pasien mengenai segala sesuatunya, tak terkecuali dalam bidang kesehatan. Paradigma mengenai sakit, tipe-tipe pengobatan yang dilakukan, persepsi mengenai kehidupan dan makna yang terkandung di dalamnya adalah contoh penerapan konsep spiritual secara normal pada diri seorang individu. Ada beberapa agama yang menerapkan pola normal spiritualnya dengan cara: a. Beberapa orang menjadi spiritual setelah usia 40 tahun. Pada satu tingkat pergi ke kuil, menghadiri wacana-wacana dan membaca buku- buku atau kitab-kitab dianggap sangat spiritual. b. Tingkat kedua orang memiliki seorang guru mengikuti tradisi maka mereka. Ini adalah zaman modern gaya.
c. Ada tingkat ketiga orang yang mempunyai dewa. Beberapa praktik seni seperti astrologi atau obat atau tari atau musik dan kemudian mereka menggunakan waktu luang ada dalam sadhana spiritual.
d. Beberapa orang menghadiri perkulpulan dan kemudian melakukan pelayanan sosial yang juga baik seperti pelayanan kesehatan.
Pola normal spiritual sangat erat hubungannya dengan kesehatan, karena dari pola tersebut dapat menciptakan suatu bentuk perilaku adaptif ataupun maladaptif berhubungan dengan penerimaan kondisi diri. Dimensi spiritual merupakan dimensi yang sangat penting diperhatikan oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada semua pasien. Carson (2002) menyatakan bahwa keimanan atau keyakinan religius adalah sangat penting dalam kehidupan personal individu. Lebih lanjut dikatakannya bahwa keimanan bahwa diketahui sebagai suatu faktor yang sangat kuat (powerful) dalam menyembuhkan dan pemulihan fisik, yang tidak dapat diukur. Mengingat pentingnya peranan spiritual dalam penyembuhan dan pemulihan kesehatan maka penting bagi perawat untuk meningkatkan pemahaman tentang konsep spiritual agar dapat memberikan asuhan spiritual dengan baik kepada semua pasien.
4. Perkembangan Aspek Spiritual Perawat yang bekerja di garis terdepan harus mampu memenuhi semua kebutuhan manusia termasuk juga kebutuhan spiritual pasien.
Berbagai cara dilakukan perawat untuk memenuhi kebutuhan pasien mulai dari pemenuhan makna dan tujuan spiritual sampai dengan memfasilitasi pasien untuk mengekspresikan agama dan keyakinannya. Pemenuhan aspek spiritual pada pasien tidak terlepas dari pandangan terhadap lima dimensi manusia yang harus diintegrasikan dalam kehidupan. Lima dimensi tersebut yaitu dimensi fisik, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual. Dimensi-dimensi tersebut berada dalam suatu sistem yang saling berinteraksi, intrrelasi, dan interdependensi, sehingga adanya gangguan pada suatu dimensi dapat mengganggu dimensi lainnya (Carson, 2002) Perawat harus mengetahui tahap perkembangan spiritual dari manusia, sehingga perawat dapat memberikan asuhan keperawatan dengan tepat dalam rangka memenuhi kebutuhan spiritual pasien. Tahap perkembangan pasien dimulai dari lahir sampai pasien meninggal dunia.
Perkembangan spiritual manusia dapat dilihat dari tahap perkembangan mulai dari bayi, anak-anak, pra sekolah, usia sekolah, remaja, dewasa, muda, dewasa muda, dewasa pertengahan, dewasa akhir, dan lanjut usia. Secara umum tanpa memandang aspek tumbuh-kembang manusia proses perkembangan aspek spiritual dilihat dari kemampuan kognitifnya dimulai dari pengenalan, internalisasi, peniruan, aplikasi dan dilanjutkan dengan intropeksi. Namun, berikut akan dibahas pola perkembangan aspek spiritual berdasarkan tumbuh-kembang manusia (Carson, 2002). Perkembangan spiritual pada anak sangatlah penting untuk diperhatikan. Manusia sebagai pasien dalam keperawatan anak adalah individu yang berusia 0-18 bulan, yang sedang dalam proses tumbuh- kembang, yang mempunyai kebutuhan spesifik (fisik, psikologis, sosial, dan spiritual) yang berbeda dengan orang dewasa. Anak adalah individu yang masih tergantung pada orang dewasa dan lingkungan, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri (Larson, 2009).
Tahap awal perkembangan manusia dimulai dari masa perkembangan bayi. Hamid (2000) menjelaskan bahwa perkembangan spiritual bayi merupakan dasar untuk perkembangan spiritual selanjutnya. Bayi memang belum memiliki moral untuk mengenal arti spiritual. Keluarga yang spiritualnya baik merupakan sumber dari tebentuknya perkembangan spiritual yang baik pada bayi. Oleh karena itu, perawat dapat menjalin kerjasama dengan orang tua bayi tersebut untuk membantu pembentukan nilai-nilai spiritual pada bayi.
Dimensi spiritual dimulai menunjukkan perkembangan pada masa kanak-kanak awal (18 bulan-3 tahun). Anak sudah mengalami peningkatan kemampuan kognitif. Anak dapat belajar membandingkan hal yang baik dan buruk untuk melanjuti peran kemandirian yang lebih besar. Tahap perkembangan ini memperlihatkan bahwa anak-anak mulai berlatih untuk berpendapat dan menghormati acara-acara ritual dimana mereka merasa tinggal dengan aman. Observasi kehidupan spiritual anak dapat dimulai dari kebiasaan yang sederhana seperti cara berdoa sebelum tidur dan berdoa sebelum makan, atau cara anak memberi salam dalam kehidupan sehari-hari. Anak akan merasa lebih senang jika menerima pengalaman- pengalaman baru, termasuk pengalaman spiritual (Hamid, 2000).
Perkembangan spiritual pada anak masa pra sekolah (3-6 tahun) berhubungan erat dengan kondisi psikologis dominannya yaitu super ego.
Anak usia pra sekolah mulai memahami kebutuhan sosial, norma, dan harapan, serta berusaha menyesuaikan dengan norma keluarga. Anak tidak hanya membandingkan sesuatu benar atau salah, tetapi membandingkan norma yang dimiliki keluarganya dengan norma keluarga lain. Kebutuhan anak pada masa pra sekolah adalah mengetahui filosofi yang mendasar tentang isu-isu spiritual. Kebutuhan spiritual ini harus diperhatikan karena anak sudah mulai berfikir konkrit. Mereka sedang sulit menerima penjelasan mengenai Tuhan yang abstrak, bukan mereka masih kesulitan membedakan Tuhan dan orang tuanya (Hamid, 2000). Usia sekolah merupakan masa yang paling banyak mengalami peningkatan kualitas kognitif pada anak. Anak usia sekolah (6-12 tahun) berfikir secara konkrit, tetapi mereka sudah dapat menggunakan konsep abstrak untuk memahami gambaran dan makna spiritual dan agama mereka. Minat anak sudah mulai ditunjukan dalam sebuah ide, dan anak dapat diajak diskusi dan menjelaskan apakah keyakinan. Orang tua dapat mengevaluasi pemikiran sang anak terhadap dimensi spiritual mereka (Hamid, 2000).
Remaja (12-18 tahun). Pada tahap ini individu sudah mengerti akan arti dan tujuan hidup. Menggunakan pengetahuan misalnya untuk mengambil keputusan saat ini dan yang akan datang. Kepercayaan berkembang dengan mencoba dalam hidup. Remaja menguji nilai dan kepercayaan orang tua mereka dan dapat menolak atau menerimanya. Secara alami, mereka dapat bingung ketika menemukan perilaku dan role model yang tidak konsisten. Pada tahap ini kepercayaan pada kelompok paling tinggi perannya dari pada keluarga. Tetapi keyakinan yang diambil dari orang lain biasanya lebih mirip dengan keluarga, walaupun mereka protes dan membrontak saat remaja. Bagi orang tua ini merupakan tahap paling sulit karena orang tua melepas otoritasnya dan membimbing anak untuk bertanggung jawab. Seringkali muncul konflik orang tua dan ramaja (Hamid, 2000).
Dewasa muda (18-25 tahun). Pada tahap ini individu menjalani proses perkembangan dengan melanjutkan pencarian identitas spiritual, memikirkan untuk memilih nilai kepercayaan mereka yang dipelajari saat kanak-kanak dan berusaha melaksanakan sistem kepercayaan mereka sendiri. Spiritual bukan merupakan perhatian utama pada usia ini, mereka lebih banyak memudahkan hidup walaupun mereka tidak memungkiri bahwa mereka sudah dewasa (Hamid, 2000). Dewasa pertengahan (25-38 tahun). Dewasa pertengahan merupakan tahap perkembangan spiritual yang sudah benar-benar mengetahui konsep yang benar dan yang salah, mereka menggunakan keyakinan moral, agama dan etik sebagai dasar dari sistem nilai. Mereka sudah merencanakan kehidupan, mengevaluasi apa yang sudah dikerjakan terhadap kepercayaan dan nilai spiritual (Hamid, 2000).
Dewasa akhir (38-65 tahun). Periode perkembangan spiritual pada tahap ini digunakan untuk intropeksi dan mengkaji kembali dimensi spiritual, kemampuan intraspeksi ini sama baik dengan dimensi yang lain dari diri individu tersebut. Biasanya kebanyakan pada tahap ini kebutuhan ritual spiritual meningkat (Hamid, 2000). Lanjut usia (65 tahun sampai kematian). Pada tahap perkembangan ini, pada masa ini walaupun membayangkan kematian mereka banyak menggeluti spiritual sebagai isu yang menarik, karena mereka melihat agama sebagai faktor yang mempengaruhi kebahagiaan dan rasa berguna bagi orang lain. Riset membuktikan orang yang agamanya baik, mempunyai kemungkinan melanjutkan kehidupan lebih baik. Bagi lansia yang agamanya tidak baik menunjukkan tujuan hidup yang kurang , rasa tidak berharga, tidak dicintai, ketidakbebasan dan rasa takut mati.
Sedangkan pada lansia yang spiritualnya baik ia tidak takut mati dan dan dapat lebih mampu untuk menerima kehidupan. Jika merasa cemas terhadap kematian disebabkan cemas pada proses bukan pada kematian itu sendiri (Hamid, 2000).
Dimensi spiritual menjadi bagian yang kompeherensif dalam kehidupan manusia. Karena setiap individu pasti memiliki aspek spiritual, walaupun dengan tingkat pengalaman dan pengalaman yang berbeda-beda berdasarkan nilai dan keyakinan mereka yang mereka percaya. Setiap fase dari tahap perkembangan individu menunjukan perbedaan tingkat atau pengalaman spiritual yang berbeda (Hamid, 2000).
5. Faktor Yang Mempengaruhi Kebutuhan Spiritual Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan spiritual antara lain :
1) Perkembangan Usia perkembangan dapat menentukan proses pemenuhan kebutuhan spiritual, karena setiap tahap perkembangan memiliki cara meyakini kepercayaan terhadap Tuhan. 2) Keluarga
Keluarga memiliki peran yang cukup strategis dalam memenuhi kebutuhan spiritual, karena keluarga memiliki ikatan emosional yang kuat dan selalu berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. 3) Ras/Suku
Ras/Suku memiliki keyakinan/kepercayaan yang berbeda, sehingga proses pemenuhan kebutuhan spiritual pun berbeda sesuai dengan keyakinan yang dimiliki. 4) Agama yang dianut
Keyakinan pada agama tertentu yang dimiliki oleh seseorang dapat menentukan arti kepentingan kebutuhan spiritual.
5) Kegiatan Keagamaan Adanya kegiatan keagamaan dapat selalu mengingatkan keberadaan dirinya dengan Tuhan dan selalu mendekatkan diri kepada PenciptaNYA (Asmandi, 2008).
6. Masalah Kebutuhan Spiritual Masalah yang sering terjadi pada pemenuhan kebutuhan spiritual adalah distress spiritual, yang merupakan suatu keadaan ketika individu atau kelompok mengalami atau beresiko mengalami gangguan dalam kepercayaan atau sistem nilai yang memberikannya kekuatan, harapan dan arti kehidupan, yang ditandai dengan pasien meminta pertolongan spiritual, mengungkapkan adanya keraguan dalam sistem kepercayaan, adanya keraguan yang berlebihan dalam mengartikan hidup, mengungkapkan perhatian yang lebih pada kematian dan sesudah hidup, adanya keputusan menolak kegiatan ritual dan terdapat tanda-tanda seperti menangis, menarik diri, cemas dan marah, kemudian ditunjang dengan tanda-tanda fisik seperti nafsu maka terganggu, kesulitan tidur dan tekanan darah meningkat (Hidayat, 2006). Beberapa orang yang membutuhkan bantuan spiritual 1) Pasien kesepian
Pasien dalam keadaan sepi dan tidak ada yang menemani akan membutuhkan bantuan spiritual karena mereka merasakan tidak ada kekuatan selain kekuatan Tuhan, tidak ada yang menyertainya selain Tuhan.
2) Pasien ketakutan dan cemas Adanya ketakutan atau kecemasan dapat menimbulkan perasaan kacau, yang dapat membuat pasien membutuhkan ketenangan pada dirinya dan ketenangan yang paling besar adalah bersama Tuhan.
3) Pasien menghadapi pembedahan Menghadapi pembedahan adalah sesuatu yang sangat menghawatirkan karena akan timbul perasaan antara hidup dan mati. Pada saat itulah keberadaan pencipta dalam hal ini adalah Tuhan sangat penting sehingga pasien selalu membutuhkan bantuan spiritual.
4) Pasien yang harus mengubah gaya hidup Perubahan gaya hidup dapat membuat seseorang lebih membutuhkan keberadaan Tuhan (kebutuhan spiritual). Pola gaya hidup dapat membuat kekacauan keyakinan bila ke arah yang lebih buruk, maka pasien akan lebih membutuhkan dukungan spiritual (Asmandi, 2008).
Dukungan keluarga adalah sikap atau tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggota keluarga. Dan anggota keluarga memandang bahwa orang yang mendukung akan selalu siap memberikan pertolongan atau bantuan (Friedman, 1998).
Keluarga mempunyai berbagai jenis dukungan yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda, yaitu:
1. Dukungan Informasional berfungsi sebagai kolektor dan desiminator (penyebab) informasi berbagai hal. Manfaat dari dukungan ini adalah sebagai masukan atau penjelasan kepada anggota lain atas informasi atau pengetahuan yang di dapat. Sehingga masalah yang sedang dialami dapat segera diatasi. Jenis informasi ini dapat berupa nasehat, saran, petunjuk, ataupun kritikan.
2. Dukungan penilaian merupakan bimbingan umpan balik, bimbingan, dan menengahi pemecahan masalah serta sebagai sumber dan validator identitas anggota keluarga. Bentuk dukungan ini yaitu support, penghargaan ataupun perhatian terhadap sesuatu yang telah dicapai oleh angggota keluarga.
3. Dukungan Instrumental berfungsi sebagai pertolongan praktis dan konkrit.
Dalam hal ini keluarga sebagai pengambil keputusan terhadap penanganan yang harus segera diberikan baik di dalam rumah ataupun tempat pelayanan kesehatan (Klinik, Puskesmas dan Rumah Sakit). Selain itu keluarga merupakan penyedia kebutuhan utama seperti makan, minum, tempat tinggal bagi anggota keluarga lainnya.
4. Dukungan Emosional bahwa keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk beristirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Dengan adanya dukungan ini diharapkan akan bermanfaat bagi seseorang yang sedang mengalami tekanan atau ketegangan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental. Bentuk dukungan ini seperti, rasa suka, cinta, empati, dan perhatian (Friedman, 1998).
Dukungan sosial keluarga bersifat rekroksitas yaitu adanya timbal balik (kuantitas dan kualitas komunikasi) dan adanya keterlibatan emosional (penghargaan, perhatian, dan kepercayaan). Adanya keterlibatan keluarga dalam perawatan anak diharapkan akan mempengaruhi proses penyembuhan pada anak yang sakit. Selain itu dengan adanya dukungan dan keterlibatan keluarga (Hidayat, 2005).
a. Pengertian Kecemasan adalah respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, interval, samar-samar atau konfliktual. Kondisi seseorang yang preoperasi menunjukan suatu kejadian yang dirasakan penuh ketidakpastian sehingga menimbulkan perasaan cemas,bahkan ada yang berlanjut sampai panik, karena pembedahan dapat memeunculkan reaksi psikologis pada pasien (Stuart & Sandeen, 1995). Penelitian Perdana & Niswah Z (2011) Pembedahan adalah suatu stressor yang dapat menimbulkan stres fisiologis dan stres psikologis. Permasalahan keperawatan yang berhubungan dengan klien yang menjalani prosedur pembedahan yaitu kecemasan. Cemas merupakan respon adaptif yang normal terhadap stres terhadap pembedahan. Pada saat mengalami kecemasan, individu akan mencari dukungan dari keyakinan agama.
Dukungan tersebut dapat berupa bimbingan spiritual doa. Sehingga dapat diketahui pengaruh bimbingan spiritual terhadap tingkat kecemasan pada paisen pre operatif.
Perbedaan tingkat kecemasan dapat mempengaruhi persiapan operasi. Tingkat kecemasan sedang merupakan waktu yang optimal untuk mengembangkan mekanisme strategi koping pada pasien yang bersifat konstuktif. Perawatan dalam melakukan tindakan proses keperawatan komunikasi terapeutik tetap harus berpegang pada konsep bahwa pasien adalah manusia yang bersifat unik dan kompleks yang dipengaruhi oleh faktor biopsikososial dan spiritual (Sawitri & Sudaryanto, 2004) Cemas sebagai esmosi tanpa objek yang spesifik, cemas merupakan respon emosi terhadap penilaian stimulus yang mengancam, dapat dikomunikasikan dan menular. Cemas adalah respon emosi dan merupakan pengalaman subjektif individual, mempunyai kekuatan tersendiri dan sulit untuk diobservasikan secara langsung. Perawat dapat mengidentifikasi cemas lewat perubahan tingkah laku klien (Stuart & Sundeen, 1998). Kecemasan adalah suatu kondisi yang menandakan suatu keadaan yang mengancam keutuhan serta keberadaan dirinya dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku seperti rasa tak berdaya, rasa tidak mampu, rasa takut, phobia tertentu (Hamid, 2000).
b. Sebab Cemas Penyebab cemas tidak diketahui, dan biasanya didahului oleh pengalaman baru. Beberapa teori penyebab cemas (Stuart & Sundeen, 1998) : 1) Teori psikoanalisa
Kecemasan merupakan konflik emosional yang terjadi antara 2 elemen kepribadian diri dan superego. Fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada dan bahaya.
2) Teori interpersonal Kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal.
3) Teori Perilaku Kecemasan merupakan frustasi, yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
4) Teori keluarga Kecemasan sering timbul pada kehidupan keluarga (Stuart & Sundeen, 1998).
Stressor sebagai faktor presipitasi kecemasan adalah bagaimana individu berhadapan dengan kehilangan dan bahaya yang mengancam.
Bagaimana mereka menerimanya tergantung kebutuhan, keinginan, konsep diri, dukungan keluarga, pengetahuan, kepribadian dan kedewasaan (Bostrom dalam trismiati, 2006).
c. Jenis kecemasan Kecemasan dibagi menjadi 3 macam yaitu : 1) Kecemasan realitas atau objektif (Reality or Objektive Anxiety)
Suatu kecemasan yang bersumber dari adanya ketakutan terhadap bahaya yang mengancam didunia nyata. Kecemasan seperti ini misalnya ketakutan terhadap kebakaran, angin tornado, gempa bumi, atau binatang buas. Kecemasan ini menuntut kita untuk berperilaku bagaimana menghadapi bahaya. Tidak jarang ketakutan yang bersumber kepada realitas ini menjadi ekstrim. Seseorang dapat menjadi sangat takut untuk keluar rumah karena takut terjadi kecelakaan pada dirinya atau takut menyalakan korek api karena takut terjadi kebakaran (Freud, 2009). 2) Kecemasan Neurosis (Neurotic Anxiety)
Kecemasan ini mempunyai dasar pada masa kecil, pada konflik antara pemuasan instingual dan realitas. Pada masa kecil, terkadang beberapa kali seorang anak mengalami hukuman dari orang tua akibat pemenuhan kebutuhan id yang implusif terutama yang berhubungan dengan insting seksual atau agresif. Anak biasanya dihukum karena secara berlebihan mengekspresikan impuls seksual atau agresifnya itu.
Kecemasan atau ketakutan untuk itu berkembang karena adanya harapan untuk memuaskan impuls Id tertentu (Freud, 2009).
Kecemasan neurotik yang muncul adalah ketakutan akan terkena hukuman karena memperlihatkan perilaku impulsive yang didominasi oleh Id. Hal yang perlu diperhatikan adalah ketakutan terjadi bukan karena ketakutan terhadap insting tersebut tapi merupakan ketakutan atas apa yang akan terjadi bila insting tersebut dipuaskan. Konflik yang terjadi adalah diantara Id dan Ego yang kita ketahui mempunyai dasar dalam realitas (Freud, 2009). 3) Kecemasan moral (Moral Anxiety)
Kecemasan ini merupakan hasil dari konflik antara Id dan superego. Secara dasar merupakan ketakutan akan suara hati individu sendiri. Ketika individu termotivasi untuk mengeskpresikan impuls instingual yang berlawanan dengan nilai moral yang termaksud dalam superego individu itu maka ia akan merasa malu atau bersalah. Pada kehidupan sehari- hari ia akan menemukan dirinya sebagai “conscience
stricken”. Kecemasan moral menjelaskan bagaimana berkembangnya
superego biasanya individu dengan kata hati yang kuat dan puritan akan mengalami konflik yang lebih hebat daripada individu yang mempunyai kondisi toleransi moral yang lebih longgar. Seperti kecemasan neurosis, kecemasan moral juga mempunyai dasar dalam kehidupan nyata. Anak-anak akan dihukum bila melanggar aturan yang ditetapkan orang tua mereka. Orang dewasa juga akan mendapatkan hukuman jika melanggar norma yang ada dimasyarakat. Rasa malu dan perasaan bersalah menyertai kecemasan moral. Dapat dikatakan bahwa yang menyebabkan kecemasan adalah kata hati individu itu sendiri (Freud, 2009). Superego dapat memberikan balasan yang setimpal karena pelanggaran terhadap aturan moral. Apapun tipenya, kecemasan merupakan suatu tanda peringatan kepada individu. Hal ini menyebabkan tekanan pada individu dan menjadi dorongan pada individu termotivasi untuk memuaskan. Tekanan ini harus dikurangi. Kecemasan memberikan peringatan kepada individu bahwa ego sedang dalam ancaman dan oleh karena itu apabila tidak ada tindakan maka ego akan terbuang secara keseluruhan. Ada berbagai cara ego melindungi dan mempertahankan dirinya. Individu akan mencoba lari dari situasi yang mengancam serta berusaha untuk membatasi kebutuhan impuls yang merupakan sumber bahaya. Individu juga dapat mengikuti kata hatinya. Atau jika tidak ada teknik rasional yang bekerja, individu dapat memakai mekanisme pertahanan (defence
mechanism) yang non-rasional untuk mempertahankan ego (Freud, 2009).
d. Tanda Gejala Cemas Manifestasi kecemasan terwujud dalam empat hal berikut ini:
1) Manifestasi kognitif Tanda terwujud dalam pikiran seseorang, seringkali memikirkan tentang malapetaka atau kejadian buruk yang akan terjadi, seperti kematian, tak berdaya, cacat, jatuh miskin. Tanda lain seperti konsentrasi menurun, pelupa, raung persepsi berkurang atau menyempit, takut, kehilangan kontrol, obyektifitas hilang. 2) Perilaku motorik
Kecemasan seseorang terwujud dalam gerakan tidak menentu seperti gemetar, gerakan tak beraturan tanpa tujuan, meremas tangan, bermain pensil dan lain-lain. 3) Perubahan somatik
Muncul dalam keadaan mulut kering, tangan dan kaki dingin, diare, sering kencing, ketegangan otot, peningkatan tekanan darah dan lain-lain. Hampir semua penderita kecemasan menunjukkan peningkatan detak jantung, respirasi, ketegangan otot dan perubahan tekanan darah. Kardiovaskular : palpitasi berdebar, tekanan darah meningkat/menurun, nadi meningkat/menurun. Saluran pernafasan : nafas cepat dangkal, rasa tertekan didada, rasa seperti tercekik. Gastrointestinal : hilang nafsu makan, mual, rasa tak enak pada epigastrium, diare. Neuromuskular : peningkatan refleks, wajah tegang, insomnia, gelisah, kelelahan secara umum, ketakutan, tremor. Saluran kemih : tak dapat menahan buang air kecil. Sistem kulit : muka pucat, perasaan panas/dingin, pada kulit, rasa terbakar pada muka, berkeringat setempat atau seluruh tubuh dan gatal-gatal. 4) Afektif
Diwujudkan dalam perasaan gelisah, dan perasaan tegang yang berlebihan.
5) Emosi Kewaspadaan meningkat, tidak sadar, takut, gelisah, pelupa, cepat marah, kecewa, menangis dan rasa tidak berdaya (Sue dalam
Trismiati, 2006).
e. Tingkat Kecemasan Kecemasan menjadi 4 tingkatan yaitu : 1) Kecemasan ringan
Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa kehidupan sehari-hari. Pada tingkat ini lahan persepsi melebar dan individu akan berhati-hati dan waspada. Individu terdorong untuk belajar yang akan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. Cemas ringan ditandai dengan sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, gejala ringan pada lambung, muka berkerut dan bibir bergetar. Pada kognitif akan dijumpai perubahan lapang persepsi meluas, mampu menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif. Pada perilaku dan emosi tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan, suara kadang-kadang meninggi.
2) Kecemasan sedang Pada tingkat ini lahan persepsi terhadap lingkungan menurun/individu lebih memfokuskan pada hal penting saat itu dan mengesampingkan hal lain. Perubahan respon fisiologi sering nafas pendek, nadi ekstra systole dan tekanan darah naik, mulut kering, anorexia, diare/konstipasi, gelisah, sedang pada respon kognitif ditemukan lapang persepsi menyempit, rangsang luar tidak mampu diterima, berfokus dan emosi berupa gerakan tersental-sentak (meremas tangan), bicara banyak dan lebih cepat, perasaan tidak nyaman.
3) Kecemasan berat Pada kecemasan berat lahan persepsi menjadi sempit. Individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal-hal yang lain. Individu tidak mampu berfikir berat lagi dan membutuhkan banyak pengarahan/tuntutan. Perubahan psikologis nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringat dan sakit kepala, penglihatan kabur. Respon kognitif berupa lapang persepsi sangat menyempit, tidak mampu menyelesaikan masalah. Respon perilaku dan emosi, perasaan ancaman meningkat, verbalisasi meningkat, blocking. 4) Panik
Pada tingkat ini persepsi sudah terganggu sehingga individu sudah tidak dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat melakukan apa-apa walaupun sudah diberi pengarahan/tuntutan. Terdapat respon fisiologis berupa nafas pendek, rasa tercekik dan berdebar, sakit kepala, hipotensi, perubahan kognitif ditandai lapang persepsi menyempit, tidak dapat berfijir lagi, respon perilaku dan emosi berupa sagitasi, mengamuk dan marah, ketakutan, berteriak-berteriak, blocking, persepsi kacau (Stuart & Sundeen, 1995).
f. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan
1. Faktor internal
a) Pengalaman Sumber-sumber ancaman yang dapat menimbulkan kecemasan tersebut bersifat lebih umum. Penyebab kecemasan menurut Horney, dapat berasal dari berbagai kejadian didalam kehidupan atau dapat terletak di dalam diri seseorang, misalnya seseorang yang memiliki pengalaman dalam menjalani suatu tindakan maka dalam dirinya akan lebih mampu beradaptasi atau kecemasan yang timbul tidak terlalu besar (Horney dalam Trismiati, 2006) b) Respon terhadap stimulus Kemampuan seseorang menelaah rangsangan atau besarnya rangsangan yang diterima akan mempengaruhi kecemasan yang timbul (Trismiati, 2006).
c) Usia Pada usia yang semakin tua maka seseorang semakin banyak pengalamannya sehingga pengetahuannya semakin bertambah.
Karena pengetahuannya banyak maka seseorang akan lebih siap dalam menghadapi sesuatu (Notoatmojo, 2003).
d) Gender Berkaitan dengan kecemasan pada pria dan wanita, Myers (dalam Trismiati, 2006) mengatakan bahwa perempuan lebih cemas terhadap ketidakmampuannya dibanding dengan laki-laki, laki-laki lebih aktif, eksploratif, sedangkan perempuan lebih sensitif. Penelitian lain menunjukkan bahwa laki-laki lebih rileks dibanding perempuan.
2. Faktor eksternal
a) Dukungan keluarga
b) Adanya dukungan keluarga akan menyebabkan seseorang lebih siap dalam menghadapi permasalahan hal ini dinyatakan oleh Kasdu (dalam Rohman, 2009).
c) Kondisi lingkungan Kondisi lingkungan sekitar dapat menyebabkan seseorang dapat menyebabkan lebih kuat dalam menghadapi permasalahan, misalnya lingkungan pekerjaan atau lingkungan bergaul yang tidak memberikan cerita negatif suatu permasalahan menyebabkan seseorang lebih kuat dalam menghadapi permasalahan hal ini dinyatakan oleh Baso (dalam Rohman, 2009).
g. Skala Kecemasan Kecemasan dapat diukur dengan pengukuran tingkat kecemasan menurut alat ukur kecemasan yang disebut HARS (Hamilton Anxiety
Rating Scale ). Skala HARS merupakan pengukuran kecemasan yang
didasarkan pada munculnya symptom pada individu yang mengalami kecemasan. Menurut skala HARS terdapat 14 tanda yamg nampak pada individu yang mengalami kecemasan. Setiap item yang diobservasi diberi 5 tingkatan skor antara 0 (No Present) sampai dengan 4 (severe).
Skala HARS pertama kali digunakan pada tahun 1959, yang diperkenalkan oleh Max Hamilton dan sekarang telah menjadi standar dalam pengukuran kecemasan terutama pada penelitian trial clinic. Skala HARS telah dibuktikan memiliki faliditas dan reliabilitas cukup tinggi untuk melakukan pengukuran kecemasan pada penelitian. Kondisi ini menunjukan bahwa pengukuran kecemasan dengan menggunakan skala HARS akan diperoleh hasil yang valid dan reliable. Skala HARS menurut
Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) yang dikutip (Nursalam, 2003)
penilaian kecemasan terdiri dari 14 item, meliputi : 1) Perasaan cemas : firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah tersinggung.
2) Ketegangan : merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah terganggu dan lesu.
3) Ketakutan : takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal sendiri dan takut pada binatang.
4) Gangguan tidur : sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak pulas dan mimpi buruk.
5) Gangguan kecerdasan : penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit konsentrasi.
6) Perasaan depresi : hilangnya minat, hilangnya kesenangan pada hobby, sedih, perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari.
7) Gejala somatic : nyeri pada otot-otot dan kaku, gertakan gigi, suara tidak stabil dan kedutan otot.
8) Gejala sensorik : perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka merah dan pucat serta merasa lemah.
9) Gejala kardiovaskuler : takikardi, nyeri didada, denyut nadi mengeras dean detak jantung hilang sekejap.
10) Gejala pernapasan : rasa tertekan didada, perasaan tercekik, sering menarik nafas panjang dan merasa napas pendek.
11) Gejala gastrointestinal : sulit menelan, obstipasi, berat badan menurun, mual dan muntah, nyeri lambung sesudah dan sebelum makan, perasaan panas diperut. 12) Gejala urogenital : sering kencing, tidak dapat menahan kencing, amenorea, ereksi lemah dan impotensi.
13) Gejala vegetative : mulut kering, mudah berkeringat, muka merah, bulu roma berdiri, pusing atau sakit kepala.
14) Perilaku sewaktu wawancara : gelisah, jari-jari gemetar, mengkerutkan dahi atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat dan napas pendek dan cepat. Cara Penilaian Kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan kategori 0 = tidak ada gejala sama sekali, 1 = Satu dari gejala yang ada, 2 = Sedang/separuh dari gejala ada, 3 = berat/lebih dari gejala yang ada, 4 = sangat berat semua gejala ada. Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlahkan nilai skordam item 1-14 dengan hasil :
1. Skor 1
- – 14 = kecemasan ringan
2. Skor 15
- – 28 = kecemasan sedang 3. Skor lebih dari 28 = kecemasan berat.
h. Mekanisme Pertahanan Terhadap Kecemasan Kecemasan berfungsi sebagai tanda adanya bahaya yang akan terjadi, suatu ancaman terhadap ego yang harus dihindari atau dilawan.
Dalam hal ini ego harus mengurangi konflik kemauan Id dan Superego. Konflik ini akan selalu ada dalam kehidupan manusia karena insting akan mencari pemuasan, sedangkan lingkungan sosial dan moral membatasi pemuasan tersebut. Sehingga menurut Freud suatu pertahanan akan selalu beroperasi secara luas dalam segi kehidupan manusia.
Layaknya semua perilaku dimotivasi oleh insting, begitu juga semua perilaku mempunyai pertahanan secara alami, dalam hal untuk melawan kecemasan Freud membuat postulat tentang beberapa mekanisme pertahanan namun mencatat bahwa jarang sekali individu menggunakan hanya satu pertahanan saja. Biasanya individu akan menggunakan beberapa mekanisme pertahanan pada satu saat yang bersamaan. Ada dua karakteristik penting dari mekanisme pertahanan. Pertama adalah bahwa mereka merupakan bentuk penolakkan atau gangguan terhadap realitas.
Kedua adalah bahwa mekanisme pertahanan berlangsung tanpa disadari. Kita sebenarnya berbohong pada diri kita sendiri namun tidak menyadari telah berlaku demikian. Tentu saja jika kita mengetahui bahwa kita berbohong maka mekanisme pertahanan tidak akan efektif. Jika mekanisme pertahanan bekerja dengan baik, pertahanan akan menjaga segala ancaman tetap berada di luar kesadaran kita. Sebagai hasilnya kita tidak dapat mengetahui kebenaran tentang diri kita sendiri. Kita telah terpecah oleh gambaran keinginan, ketakutan, kepemilikan dan segala macam lainnya.
Beberapa mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melawan kecemasan antara lain adalah : 1) Represi
Represi adalah pelepasan tanpa sengaja sesuatu dari kesadaran (conscious). Pada dasarnya merupakan upaya penolakan secara tidak sadar terhadap sesuatu yang membuat tidak nyaman atau menyakitkan.
Konsep tentang represi merupakan dasar dari sistem kepribadian Freud dan berhubungan dengan semua perilaku neurosis.
2) Reaksi formasi Reaksi formasi adalah bagaimana mengubah suatu impuls yang mengancam dan tidak sesuai serta tidak dapat diterima norma sosial diubah menjadi suatu bentuk yang lebih dapat diterima. Misalnya seorang yang mempunyai impuls seksual yang tinggi menjadi seorang yang dengan gigih menentang pornografi. Lain lagi misalnya seseorang yang mempunyai impuls agresif dalam dirinya berubah menjadi orang yang ramah dan sangat bersahabat. Hal ini bukan berarti bahwa semua orang yang menentang, misalnya peredaran film porno adalah seorang yang mencoba menutupi impuls seksualnya yang tinggi. Perbedaan antara perilaku yang diperbuat merupakan dengan benar-benar dengan yang merupakan reaksi formasi adalah intensitas dan keekstrimannya.
3) Proyeksi Proyeksi adalah mekanisme pertahanan dari individu yang menganggap suatu impuls yang tidak baik, agresif dan tidak dapat diterima sebagai bukan miliknya melainkan milik orang lain. Misalnya seseorang berkata “Aku tidak benci dia dialah yang benci padaku”.
Pada proyeksi impuls itu masih dapat bermanifestasi namun dengan cara yang lebih dapat diterima oleh individu tersebut.