BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Kecerdasan Emosional Dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan Pt. Asuransi Ace Jaya Proteksi Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1. Uraian Teoritis

  2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional dalam Martin (2003:41) ialah “kemampuan untuk memahami diri sendiri, untuk berempati terhadap perasaan orang lain dan untuk mengatur emosi, yang secara bersama berperan dalam peningkatan taraf hidup seseorang”. Napoleon Hills dalam Agustian (2005:102) menamakan kecerdasan emosional atau EQ sebagai kekuatan berpikir alam bawah sadar yang berfungsi sebagai tali kendali atau pendorong. Ia tidak digerakkan oleh sarana logis.

  Sementara menurut Robbins dan Judge (2008:335) kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mendeteksi serta mengelola petunjuk-petunjuk dan informasi emosional. Orang-orang yang mengenal emosi-emosi mereka sendiri dan mampu dengan baik membaca emosi orang lain dapat menjadi lebih efektif dalam pekerjaan mereka.

  Emosi adalah suatu ketetapan sumber energi, kreativitas dan kekuatan pribadi (Malkani, 2001:79). Dalam Martin (2003:41) dikatakan dua jenis pikiran kita, yang rasional dan emosional, selalu bekerja bersama dalam menentukan masa depan kita. Yang dimaksud dengan kecerdasan emosi di dalamnya termasuk kemampuan mengontrol diri, tetap tekun, serta dapat memotivasi diri sendiri. Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dan dapat berubah-ubah setiap saat (Goleman, 2000:13).

  2.1.2 Peran Kecerdasan Emosional terhadap Karyawan Shapiro dalam Safaria dan Saputra (2009:8) menegaskan bahwa individu yang memiliki kemampuan mengelola emosi akan lebih cakap menangani ketegangan emosi, karena kemampuan mengelola emosi ini akan mendukung individu menghadapi dan memecahkan konflik interpersonal dan kehidupan secara efektif. Suatu penelitian menunjukkan bahwa individu dengan kecerdasan emosi akan cenderung berada dalam kondisi bahagia, lebih percaya diri, dan lebih sukses.

  Dalam Safaria dan Saputra (2009:8) disebutkan, masalah-masalah yang menjadi sumber konflik dapat bersifat emosional, yaitu berkaitan dengan perasaan seperti kemarahan, ejekan, penolakan atau perasaan takut. Individu yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi tentunya dapat mengendalikan emosinya dengan efektif. Individu yang memiliki kecerdasan dalam mengelola emosinya akan lebih obyektif dan realistis dalam menganalisis permasalahannya.

  Berdasarkan hasil penelitian Gohm dan Clore dalam Safaria dan Saputra (2009:14), kesejahteraan psikologis dan kebahagiaan seseorang lebih ditentukan oleh perubahan atau pengalaman emosional yang sering dialaminya. Hal ini disebut sebagai afek. Jika individu lebih banyak merasakan dan mengalami afek negatif seperti marah, benci, dendam, dan kecewa maka individu akan diliputi oleh suasana psikologis yang tidak nyaman dan tidak menyenangkan. Akibatnya, individu akan terasa sulit merasakan kepuasan hidup dan kebahagiaan.

  Individu yang ber-EQ tinggi menanggung stress yang lebih kecil karena biasa dengan leluasa mengungkapkan perasaan, bukan memendamnya. Mereka mampu memisahkan fakta dengan opini, sehingga tidak mudah terpengaruh. Selain itu, dengan kemampuan komunikasi dan hubungan interpersonal yang tinggi mereka selalu mudah menyesuaikan diri karena fleksibel dan mudah beradaptasi.

  2.1.3 Dimensi Kecerdasan Emosional Ada beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan kecerdasan emosional di tempat kerja. Dalam Martin (2003:27) terangkum lima dimensi kecerdasan emosional seperti berikut ini : 1.

  Kesadaran diri (self awarness) : kemampuan mengobservasi dan mengenali perasaan yang dimiliki diri sendiri.

  2. Mengelola emosi (managing emotions) : kemampuan mengelola emosi secara akurat, berikut memahami alasan dibaliknya.

  3. Memotivasi diri sendiri (motivating oneself) : kemampuan mengendalikan emosi guna mendukung pencapaian tujuan pribadi.

  4. Empati (empathy) : kemampuan untuk mengelola sensifitas, menempatkan diri pada sudut pandang orang lain sekaligus menghargainya.

  5. Menjaga relasi (handling relationship) : kemampuan berinteraksi dan menjaga hubungan yang sehat dengan orang lain, disebut juga kemampuan sosial atau interpersonal.

  Sedangkan menurut Goleman dalam Martin (2003:28), faktor-faktor kecerdasan emosional adalah : kesadaran diri (self awareness), pengaturan diri (self management), motivasi (self motivation), empati (empathy/social awareness ), dan keterampilan sosial (relationship management).

  2.1.4 Definisi Kecerdasan Spiritual Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Spiritual quotient (SQ) adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif.

  Bahkan, SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita (Zohar dan Marshall, 2001:4).

  IQ dan EQ terpisah atau bersama-sama tidak cukup untuk menjelaskan keseluruhan kompleksitas kecerdasan manusia dan juga kekayaan jiwa serta imajinasinya. SQ memberikan kemampuan membedakan antara yang baik dan yang tidak. SQ memberi rasa moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku dibarengi dengan pemahaman sampai pada batasannya. Setiap orang menggunakan SQ untuk membayangkan kemungkinan yang belum terwujud, untuk bermimpi, bercita-cita, dan mengangkat diri setiap individu dari kerendahan (Zohar dan Marshall, 2001:8).

  Menurut Safaria dan Saputra (2009:227), kecerdasan spiritual akan membawa individu dalam spiritualitas yang sehat, yaitu spiritualitas yang memberikan penghargaan terhadap kebebasan personal, otonomi, harga diri, termasuk juga di dalamnya mengajak individu untuk menjalankan tanggung jawab sosialnya. Spiritualitas yang sehat merupakan pengkristalan dari kebijaksanaan yang senantiasa menghargai perbedaan, dan membebaskan manusia dari kezaliman.

  Menurut Zohar dan Marshall (2001:3), SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. Bagi sebagian orang SQ mungkin menemukan cara pengungkapan melalui agama formal, tetapi beragama tidak menjamin SQ tinggi. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa. Ia adalah kecerdasan yang dapat membantu kita menyembuhkan dan membangun diri kita secara utuh. SQ adalah kecerdasan yang berada di bagian diri yang dalam, berhubungan dengan kearifan di luar ego atau pikiran sadar. SQ adalah kesadaran yang dengannya kita tidak hanya mengakui nilai-nilai yang ada, tetapi kita juga secara kreatif menemukan nilai-nilai baru. SQ tidak bergantung pada budaya maupun nilai. Ia tidak mengikuti nilai-nilai itu sendiri. Dengan demikian, SQ mendahului seluruh nilai- nilai spesifik dan budaya mana pun. SQ membuat agama menjadi mungkin, tetapi SQ tidak bergantung pada agama.

  2.1.5 Peran Kecerdasan Spiritual terhadap Karyawan Menurut Agustian (2005:47), karyawan yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi mampu memaknai pekerjaannya sebagai ibadah, demi kepentingan umat manusia dan Tuhan yang dicintainya. Karyawan tersebut mampu berpikir secara integralistik dengan memahami kondisi perusahaan secara keseluruhan, situasi ekonomi, dan masalah atasannya, dalam satu kesatuan yang integral. Karyawan yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi berprinsip dari dalam, bukan dari luar, ia tidak terpengaruh oleh lingkungannya. Sebuah penggabungan atau sinergi antara rasionalitas dunia (EQ dan IQ) dan kepentingan spiritual (SQ). Hasilnya adalah kebahagiaan dan kedamaian pada jiwa karyawan tersebut sekaligus etos kerja yang tinggi, yang membuat ia menjadi aset perusahaan yang sangat penting.

  Kecerdasan spiritual memberikan makna hidup terhadap diri seseorang. Jika keadaan hidup tanpa makna ini terjadi pada diri seorang karyawan secara berlarut-larut maka akan memunculkan gangguan psikis. Gangguan ini dapat dipahami dengan menyadari gejala-gejalanya, seperti timbulnya keluhan-keluhan, bosan, perasaan hampa, dan penuh keputusasaan. Individu tersebut akan kehilangan minat terhadap kegiatan yang sebelumnya menarik bagi dirinya, hilangnya inisiatif, merasa hidup tidak ada artinya, menjalani hidup tanpa tujuan.

  Gangguan ini akan mempengaruhi pekerjaan setiap karyawan, semangat kerja menghilang, timbul rasa malas yang hebat, dan kepuasan hidup yang semakin menipis (Safaria dan Saputra, 2009:267).

  Dengan demikian, kecerdasan spiritual penting karena akan mempengaruhi karyawan dal am menjalani kehidupan pekerjaan mereka, yaitu perasaan semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa, sehingga kegiatan yang dilakukan menjadi lebih terarah.

  2.1.6 Aspek Kecerdasan Spiritual Menurut Zohar dan Marshall (2001:14), tanda-tanda dari SQ yang telah berkembang dengan baik mencakup hal-hal berikut :

  1. Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif).

  2. Tingkat kesadaran yang tinggi (integritas diri).

  3. Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan.

  4. Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit.

  5. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.

  6. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu.

  7. Kecenderungan untuk bertanya ‘mengapa?’ atau ‘bagaimana jika’ untuk mencari jawaban-jawaban yang mendasar.

  8. Menjadi apa yang disebut oleh para psikolog sebagai ‘bidang mandiri’, yang berarti mampu berdiri menentang orang banyak, berpegang pada pendapat yang tidak populer jika itu benar-benar diyakininya. Sedangkan menurut Robbins dan Judge (2011:282), ada lima karakteristik kultur yang cenderung ada dalam organisasi spiritual, yaitu :

  1. Kesadaran akan tujuan yang kuat. Organisasi spiritual mendasarkan kultur mereka pada suatu tujuan yang bermakna. Setiap orang dapat terilhami oleh tujuan yang mereka yakini penting dan bermakna.

  2. Fokus terhadap pengembangan individual. Organisasi spiritual menyadari makna dan nilai setiap manusia. Organisasi tersebut menciptakan kultur dimana karyawan dapat belajar dan tumbuh.

3. Kepercayaan dan respek. Organisasi spiritual dicirikan oleh tumbuhnya sikap saling percaya, jujur, dan terbuka.

  4. Praktik kerja yang manusiawi. Praktik-praktik yang dianut oleh organisasi spiritual ini meliputi jadwal kerja yang fleksibel, imbalan berbasis kelompok dan organisasi, penyempitan kesenjangan gaji dan status, dan keamanan kerja.

  5. Toleransi bagi ekspresi karyawan. Organisasi spiritual memberi ruang bagi karyawan untuk menjadi diri mereka sendiri, untuk mengutarakan suasana hati dan perasaan mereka.

  2.1.7 Pengertian Kinerja Kinerja berasal dari kata performance. Ada pula yang memberikan pengertian performance sebagai hasil kerja atau prestasi kerja. Namun, sebenarnya kinerja mempunyai makna yang lebih luas, bukan hanya hasil kerja, tetapi termasuk bagaimana proses pekerjaan berlangsung. Lebih tegas lagi Sutrisno (2011:170), menyatakan bahwa kinerja adalah kesuksesan seseorang dalam melaksanakan tugas.

  Menurut Miner dalam Sutrisno (2011:170), kinerja adalah bagaimana seseorang diharapkan dapat berfungsi dan berperilaku sesuai dengan tugas yang dibebankan kepadanya. Menurut Wibowo (2012:7) kinerja adalah “tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya.”

  Setiap harapan mengenai bagaimana seseorang harus berperilaku dalam melaksanakan tugas, berarti menunjukkan suatu peran dalam perusahaan. Kinerja merupakan tanggung jawab setiap individu terhadap pekerjaan, membantu mendefinisikan harapan kinerja, mengusahakan kerangka kerja bagi supervisor dan pekerja saling berkomunikasi. Tujuan kinerja adalah menyesuaikan harapan kinerja individual dengan tujuan perusahaan. Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka ditarik kesimpulan bahwa kinerja adalah proses dalam melaksanakan tugas, dan hasilnya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh perusahaan.

  2.1.8 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kinerja Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan (Sutrisno,

  2011:177), yaitu : 1.

  Efektivitas dan Efisiensi Dikatakan efektif bila mencapai tujuan, sedangkan efisien berkaitan dalam upaya mencapai tujuan perusahaan.

2. Otoritas dan Tanggung Jawab

  Dalam perusahaan yang baik, wewenang dan tanggung jawab telah didelegasikan dengan baik, tanpa adanya tumpang tindih tugas. Masing- masing karyawan yang ada dalam perusahaan mengetahui apa yang menjadi haknya dan tanggung jawabnya dalam rangka mencapai tujuan perusahaan.

  3. Disiplin Secara umum, disiplin menunjukkan kondisi atau sikap hormat yang ada pada diri karyawan terhadap peraturan dan ketetapan perusahaan.

  4. Inisiatif Inisiatif berkaitan dengan daya pikir, kreativitas dalam bentuk ide untuk merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan tujuan perusahaan.

  2.1.9 Memperbaiki Kinerja Organisasi Menurut Wibowo (2012:310), untuk dapat memperbaiki kinerja organisasi ada beberapa hal yang diperlukan, yaitu :

  1. Mengetahui keterampilan yang diperlukan Faktor penting yang diperlukan untuk memaksimalkan kinerja adalah dengan memperbaiki bagaimana setiap individu mengelola dirinya sendiri dan hubungan kerja individu tersebut dengan orang lain. Penelitian John Seymor dan Martin Shervington dalam Wibowo (2012:310) menunjukkan bahwa keberhasilan kinerja ditentukan 15% oleh technical skills dan

  intelligence quotient dan sisanya 85% oleh emotional intelligence (EQ).

  2. Meningkatkan kepercayaan diri Kinerja tingkat tinggi memerlukan kepercayaan diri tinggi juga, terutama dalam kondisi yang menuntut banyak persyaratan. Keyakinan dan kemampuan pada diri sendiri diharapkan dapat menemukan solusi atas masalah yang dihadapi, dan merasa dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan.

  3. Menetapkan tujuan dan sasaran Proses menentukan tujuan dan sasaran membantu seseorang berpikir melalui situasi kompleks dan selalu berubah, sehingga dapat mengelola masalah dan perubahan tersebut dengan mudah.

  4. Mengelola fleksibilitas pribadi Hasil pekerjaan seseorang ditentukan oleh cara bagaimana ia mengelola dirinya sendiri secara internal. Untuk mencapai kinerja luar biasa diperlukan peningkatan kepedulian terhadap perubahan yang dapat dilakukan pada individu tersebut untuk mendekati situasi dengan maksud mengembangkan fleksibilitas dalam diri.

  2.1.10 Hubungan Kecerdasan Emosional dan Kinerja Menurut Martin (2003:23), realitas menunjukkan bahwa karyawan sering kali tidak mampu menangani masalah-masalah emosional di tempat kerja secara memuaskan. Bukan saja tidak mampu memahami perasaannya sendiri, melainkan juga perasaan orang lain yang berinteraksi dengan individu tersebut. Akibatnya sering terjadi kesalahpahaman dan konflik antar pribadi. Emosi di kantor dapat dikatakan baik atau buruk hanya tergantung pada akibat yang ditimbulkan, baik terhadap individu tersebut maupun orang lain yang berhubungan dengannya. Tantangan menonjol bagi pekerja saat ini terutama adalah bertambahnya jam kerja serta keharusan untuk mengelola hal-hal berpotensi stres dan berfungsi efektif di tengah kompleksitas bisnis.

  Emosi menjadi penting karena ekspresi emosi yang tepat terbukti bisa melenyapkan stres pekerjaan. Semakin tepat seseorang mengkomunikasikan perasaan, semakin nyaman perasaan individu tersebut. Bukti penting lainnya adalah karyawan yang berkemampuan tinggi dalam mengelola emosi ternyata jauh lebih cepat mendapatkan promosi dan kesempatan pengembangan karir dibanding rekan-rekannya yang memiliki kemampuan teknis semata. Di dunia kerja kelebihan orang dengan EQ tinggi adalah diantaranya adalah pada posisi yang berhubungan dengan banyak orang, mereka lebih sukses bekerja. Terutama karena mereka lebih berempati, komunikatif, lebih tinggi rasa humornya, dan lebih peka akan kebutuhan orang lain. Selain itu, orang dengan EQ tinggi menanggung stres yang lebih kecil, tidak mudah putus asa dan frustasi, bahkan menjaga motivasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Martin, 2003:26).

  2.1.11 Hubungan Kecerdasan Spiritual dan Kinerja Ketika seseorang dengan kemampuan teknis dan EQ-nya berhasil mencapai kesuksesan dalam karir, acapkali ia disergap oleh perasaan ‘kosong’ dan hampa dalam kehidupannya. Setelah prestasi diraih, pemuasan kebendaan telah didapat, dan uang jerih usaha dalam genggaman, ia tidak tahu apa lagi yang harus dilakukannya (Agustian, 2005:17). Kecerdasan spiritual dibutuhkan dalam hal ini untuk menjawab permasalahan tersebut.

  Motif, sebagian orang menyebutnya niat atau tujuan hidup, adalah energi jiwa yang sangat besar. Salah satu jalan untuk menjadi cerdas secara spiritual berkenaan dengan motivasi adalah mencari realitas di balik setiap hasrat. Kecerdasan spiritual membuat individu memikirkan lebih mendalam apa yang ia inginkan, untuk menempatkan keinginan itu ke dalam kerangka yang lebih mendalam dan lebih luas dari motivasi dan tujuan hidup yang paling dalam. SQ tinggi menuntut seseorang untuk memiliki peran yang sehat dalam kelompok, dan mengetahui bahwa ketika individu tersebut merugikan orang lain, ia merugikan dirinya sendiri. Karyawan dengan kecerdasan spiritual yang tinggi dapat mengendalikan sikapnya terhadap pekerjaan, dan mempengaruhi hubungannya dalam pekerjaan (Zohar dan Marshall, 2001).

  2.1.12 Indikator Kinerja Dalam Sutrisno (2011:169) terdapat enam indikator dari kinerja yakni: 1. Hasil kerja

  Merupakan proses kegiatan yang dilakukan setiap hari dalam mendukung operasional perusahaan.

  2. Pengetahuan pekerjaan Tingkat pengetahuan yang terkait dengan tugas pekerjaan yang akan berpengaruh langsung terhadap kuantitas dan kualitas dari hasil kerja.

  3. Inisiatif Merupakan pola pikir yang berbeda dalam setiap pengambilan keputusan kerja, misalnya mengetahui dan memahami persoalan di lingkungan kerja.

  4. Kecekatan Mental Tingkat kemampuan dan kecepatan dalam menerima instruksi kerja dan menyesuaikan dengan cara kerja serta situasi kerja yang ada.

  5. Sikap Tingkat semangat kerja serta sikap positif dalam melaksanakan tugas pekerjaan.

  6. Disiplin Menunjukkan suatu kondisi atau sikap hormat yang ada pada diri karyawan terhadap peraturan perusahaan.

  2.2 Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu yang terkait mengenai kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual adalah penelitian yang dilakukan oleh Sesilia

  Dwi Rini Waryanti pada tahun 2011 dengan judul “Analisis Pengaruh Kecerdasan Emosional Dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan (studi empiris pada rumah sakit umum daerah kota Semarang)”. Subjek penelitian adalah karyawan yang bekerja pada Rumah Sakit Umum Daerah kota Semarang dengan jabatan sebagai perawat sebanyak 209 orang. Penelitian menemukan bahwa kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Variabel yang memiliki pengaruh paling besar adalah kecerdasan spiritual. Implikasi pada penelitian ini adalah kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual memiliki peran yang sama penting baik secara individual maupun secara bersama-sama dalam meningkatkan kinerja karyawaan. Penelitian yang dilakukan oleh Cut Abigail Ode pada tahun 2011 dengan judul “Pengaruh Kecedasan Intelektual Dan Kecerdasan Emosional Terhadap Kinerja Karyawan”. Subjek penelitian adalah seluruh karyawan PT. BRI Cabang Binjai yang berjumlah 57 (lima puluh tujuh) orang karyawan tetap. Berdasarkan uji F variabel bebas (Kecedasan Intelektual dan Kecerdasan Emosional) secara bersama-sama memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap variabel terikat (Kinerja Karyawan). Melalui pengujian koefisien korelasi (R) diperoleh hasil sebesar 59,3% yang berarti kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional mempengaruhi kinerja karyawan pada PT. BRI Cabang Binjai. Beberapa hasil penelitian lain, yaitu Erisna (2012), Rahmasari (2012), Tarmizi (2012), Wijaya (2014), dan Supriyanto (2012) juga menemukan bahwa kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan baik bila itu diuji secara parsial ataupun diuji secara simultan.

  Sebagian besar penelitian menyatakan bahwa kecerdasan emosional dan spiritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja. Meskipun demikian, ada hasil penelitian yang menyatakan bahwa EQ dan SQ secara parsial tidak berhubungan dengan kinerja karyawan. Hasil penelitian Pande (2012), Trisnawati (2012), dan Wullur (2014) mengungkapkan bahwa kecerdasan spiritual tidak berpengaruh pada kinerja. Dalam hal EQ, hasil penelitian Hakim (2012), Yeni (2012), dan Ida (2013) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional tidak berpengaruh pada kinerja.

  2.3 Kerangka Konseptual Karyawan yang berkemampuan tinggi dalam mengelola emosi ternyata jauh lebih cepat mendapatkan promosi dan kesempatan pengembangan karir dibanding rekan-rekannya yang memiliki kemampuan teknis semata (Martin, 2003:27). Selain itu Agustian (2005:41) menjelaskan bahwa berdasarkan penelitian dan pengalamannya dalam memajukan perusahaan, keberadaan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang baik akan membuat seorang karyawan memiliki kinerja yang lebih baik. Sejalan dengan itu beberapa hasil penelitian lain, yaitu Waryanti (2011), Erisna (2012), Rahmasari (2012), Tarmizi (2012), Wijaya (2014), dan Supriyanto (2012) juga menemukan bahwa kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan baik bila itu diuji secara parsial ataupun diuji secara simultan.

  Walaupun sebagian besar penelitian menyatakan bahwa kecerdasan emosional dan spiritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja, ada hasil penelitian yang menyatakan bahwa EQ dan SQ secara parsial tidak berhubungan dengan kinerja karyawan. Hasil penelitian Pande (2012), Trisnawati (2012), dan Wullur (2014) mengungkapkan bahwa kecerdasan spiritual tidak berpengaruh pada kinerja. Dalam hal EQ, hasil penelitian Hakim (2012), Yeni (2012), dan Ida (2013) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional tidak berpengaruh pada kinerja. Penelitian mengenai pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap kinerja memiliki hasil yang beragam. Tetapi karena sebagian besar penelitian menyatakan bahwa kecerdasan emosional dan spiritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja, maka kerangka konseptual yang diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1 Kecerdasan Emosional (X )

  Kinerja Karyawan (Y)

2 Kecerdasan Spiritual (X )

  Sumber : (Martin, 2003:27), (Zohar dan Marshall, 2001), Agustian (2005:41)

Gambar 2.1 : Kerangka Konseptual

  2.4 Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara yang hendak diuji kebenarannya melalui penelitian (Suliyanto, 2006:53). Berdasarkan kerangka pemikiran teoritis di atas, maka hipotesis yang ada dalam penelitian ini, yaitu : “Kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan PT. Asuransi ACE Jaya Proteksi Medan.”

Dokumen yang terkait

Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan pada Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara

13 209 129

Pengaruh Kecerdasan Emosional Dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan Pt. Asuransi Ace Jaya Proteksi Medan

3 145 85

Pengaruh Kecedasan Intelektual dan Kecerdasan Emosional Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT. BRI Cabang Binjai

9 62 109

Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Intelektual Dampaknya Terhadap Kinerja Karyawan Di PT Akses Nusa Karya Infratek Bandung

1 6 1

Kecerdasan Emosional dan Spiritual Pengaruhnya Terhadap Kinerja Karyawan Pada Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Surapati Bandung

11 109 178

Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Pengaruhnya terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja Karyawan (Studi di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Nusa Tenggara Barat)

0 0 11

View of Pengaruh Kecerdasan Emosional Dan Kecerdasan Spiritual Pada Kepuasan Kerja Yang Berdampak Terhadap Kinerja Karyawan PT. Madu Baru Bantul, Yogyakarta

0 0 16

Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan pada Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara

1 2 38

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan Emosional 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosional - Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan pada Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara

0 0 23

Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan pada Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara

0 0 11