BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori - RIZKA PURWI ASTUTI BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

  Penelitian tentang pengaruh profitabilitas, ukuran perusahaan, dan mekanisme corporate governance terhadap pengungkapan sukarela membutuhkan beberapa kajian teori yang mendasari antara lain:

2.1.1 Teori Agensi (Agency Theory)

  Jensen dan Meckling (dalam Wicaksono, 2011) menyatakan bahwa hubungan keagenan ialah hubungan kontrak antara seorang atau lebih (prinsipal) dengan orang lain (agen). Di dalam suatu perusahaan, pemegang saham adalah prinsipal dan para manajer adalah agen mereka. Para pemegang saham mempekerjakan dan berharap kepada manajer dapat bertindak atas kepentingan prinsipal terutama dalam pengambilan keputusan. Salah satu asumsi teori keagenan menurut Eisenhard (1989) adalah asumsi tentang sifat manusia, yaitu

  “asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan tidak menyukai resiko (risk

  aversion )

  ”. Prinsipal sebagai pemilik modal mempunyai akses informasi internal, sedangkan agen mempunyai informasi tentang operasi dan kinerja perusahaan. Keduanya saling membutuhkan informasi satu sama lain. Namun baik prinsipal maupun agen diasumsikan orang yang berperilaku ingin memaksimalkan kepentingan masing-masing, sehingga kepentingan pihak lain dikorbankan. Hal tersebut dapat terjadi karena manajer mempunyai informasi lengkap yang tidak dimiliki oleh pemilik perusahaan.

  Laporan keuangan dapat mengurangi konflik agensi karena menyediakan informasi kondisi keuangan suatu perusahaan tentang bagaimana manajemen perusahaan memepertanggungjawabkan pengelolaan kepada pemiliki (pemegang saham) atas sumber ekonomi yang dipercayakan kepadanya (SFAC No. 1 paragraf 50, dalam Wicaksono, 2011).

  Biaya agensi didefinisikan sebagai biaya yang ditanggung oleh pemegang saham untuk mendorong manajer dalam memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham daripada berperilaku mementingkan diri sendiri. Biaya agensi yang timbul diantaranya adalah biaya monitoring yang dilakukan oleh penganggaran, kontrol, dan sistem kompensasi agen. Karena adanya biaya agensi yang timbul, maka pihak manajemen harus dapat mengurangi biaya agensi untuk meningkatkan nilai perusahaan.

  Terdapat tiga macam biaya keagenan yaitu:

  a. Biaya Monitoring: biaya yang dikeluarkan oleh prinsipal untuk mengawasi aktivitas dan perilaku manajer antara lain membayar auditor untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan dan premi asuransi untuk melindungi aset perusahaan. b. Biaya Bonding: biaya yang ditanggung oleh manajer untuk memberi jaminan kepada pemilik bahwa manajer tidak melakukan tindakan yang merugikan perusahaan.

  c. Residual Loss: biaya yang ditanggung prinsipal untuk mempengaruhi keputusan manajer supaya meningkatkan kesejahteraan prinsipal. Untuk kinerja perusahaan tidak hanya berdasarkan kinerja keuangannya, tetapi juga berdasar kinerja nonkeuangan perusahaan.

  Oleh karena itu, ada persyaratan bagi pihak manajemen untuk mengungkapkan informasi nonkeuangan.

2.1.2 Teori Sinyal (Signalling Theory)

  Menurut Suwardjono (2008) dalam S. Pramunia (2010) teori sinyal (signalling theory) melandasi pengungkapan sukarela.

  Manajemen selalu berusaha untuk mengungkapkan informasi privat yang menurut pertimbangannya sangat diminati oleh investor dan pemegang saham khususnya jika informasi tersebut merupakan berita baik (good news). Di samping itu, manajemen berminat menyampaikan informasi yang dapat meningkatkan kredibilitas dan kesuksesan perusahaan meskipun informasi tersebut tidak diwajibkan. Teori sinyal menekankan kepada pentingnya informasi yang dikeluarkan oleh perusahaan yang akan mempengaruhi keputusan investor yang dambil oleh pihak di luar perusahaan. Bagi para investor dan pelaku bisnis lainnya, informasi dianggap sebagai suatu unsur yang amat penting karena informasi pada hakekatnya menyajikan keterangan, catatan atau gambaran perusahaan baik untuk keadaan masa lalu saat ini, maupun proyeksi keadaan dimasa mendatang. Informasi yang lengkap, relevan, akurat dan tepat waktu sangat diperlukan oleh investor dipasar modal sebagai alat analisis untuk mengambil keperluan investasi (Suta, 2012). Teori Sinyal mengemukakan tentang bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Sinyal ini berupa informasi mengenai apa yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan pemilik. Sinyal dapat berupa promosi atau informasi lain yang dapat menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih baik daripada perusahaan lain. Manajemen selalu berusaha untuk mengungkapkan informasi privat yang menurut pertimbangannya sangat diminati investor dan pemegang saham khususnya jika informasi tersebut merupakan berita baik (good news). Manajemen juga berminat menyampaikan informasi yang dapat meningkatkan kredibilitasnya dan kesuksesan perusahaan meskipun informasi tersebut tidak diwajibkan. Beberapa penelitian akademik menunjukkan semakin besar perusahaan makin banyak informasi sukarela yang disampaikan. Pengungkapan yang bersifat sukarela merupakan signal positif bagi perusahaan (Nuswandari, 2009).

2.1.3 Pengungkapan Sukarela

  Pengungkapan sukarela adalah praktik pengungkapan yang tidak diharuskan oleh standar akuntansi dan regulasi (Choi, 1999 dalam

  engungkapan sukarela yaitu pengungkapan butir-

  Nuryaman, 2009). P

  butir yang dilakukan secara sukarela oleh perusahaan tanpa diwajibkan oleh peraturan yang berlaku .

  (Haryanto, 2005) Pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) merupakan pilihan bebas manajemen perusahaan untuk memberikan informasi akuntansi dan informasi lainnya yang dipandang relevan untuk pembuatan keputusan oleh pemakai laporan tahunannya (Meek et. al., 1995 dalam Tristanti, 2010). Investor menggunakan pengungkapan-pengungkapan yang berasal dari perusahaan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan investasinya. Namun, informasi yang sifatnya wajib diungkapan kini dirasa kurang mencukupi, sehingga pengungkapan sukarela menjadi informasi yang sangat penting bagi investor untuk membut keputusan lebih baik (Wicaksono, 2011).

  Suatu perusahaan bebas untuk memilih akan memberikan informasi akuntansi atau informasi lainnya yang dianggap penting untuk membantu para pemakai laporan keuangan dalam mengambil keputusan. Meskipun semua perusahaan publik diwajibkan untuk memenuhi pengungkapan minimum, namun berbeda secara substansial dalam hal jumlah tambahan informasi yang diungkapkan ke pasar modal (Healy dan Palepu 1993 dalam Tristanti, 2010). Faktor biaya dan manfaat menjadi pertimbangan bagi manajer untuk mengungkapkan informasi. Apabila manfaat yang diperoleh lebih besar dari pada biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatakan manfaat tersebut, maka manajemen akan mengungkapkan informasi secara sukarela (Wijayanti, 2013).

2.1.4 Profitabilitas

  Profitabilitas merupakan suatu indikator kinerja yang dilakukan manajemen dalam rangka mengelola kekayaan perusahaan (Anggraeni, 2008). Sedangkan menurut wikipedia, profitablitas atau kemampuan memperolehadalah suatu ukuran dalam persentase yang digunakan untuk menilai sejauh mana perusahaan mampu menghasilkan laba pada tingkat yang dapat diterima. Profitabilitas suatu perusahaan menunjukkan perbandingan antara laba dengan aktiva atau modal yang menghasilkan laba tersebut. Dengan kata lain, profitabilitas adalah kemampuan suatu perusahaan untuk mencapai laba (kajian pustaka). Tingkat profitabilitas perusahaan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memperoleh keuntungan dari kegiatan operasional sehari-hari (Caroline dan Agaton, 2010 dalam Santioso dan Erline, 2012). Perusahaan akan mengungkapkan informasi lebih ketika kemampuan menghasilkan labanya berada di atas rata-rata industri agar investor dan kreditor yakin bahwa perusahaan berada dalam posisi persaingan yang kuat dan operasi perusahaan berjalan efisien (Singhvi dan Desai, 1971 dalam Anggraeni, 2008 ).

  Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam mengukur profitabilitas menurut Wijayanti (2013) , antara lain:

  1. Net Profit Margin (NPM)

  Net Profit Margin (NPM) merupakan rasio antara laba bersih

  setelah pajak dengan penjualan bersih. Rasio NPM mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba bersih dalam tingkat penjualan. Semakin tinggi NPM menunjukkan bahwa perusahaan mampu menghasilkan laba yang tinggi pula pada tingkat penjualan tertentu.

  2. Return On Assey (ROA)

  Return On Assey (ROA) merupakan asset yang menunjukkan

  kemampuan perusahaan menghasilkan laba terhadap total asset setelah dikurangi beban bunga dan pajak. ROA mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba di masa lalu. Semakin besar ROA menunjukkan kinerja perusahaan akan semakin baik karena tingkat pengembalian investasi (return) yang semakin besar.

  3. Return On Equity (ROE)

  Return On Equity adalah rasio yang menunjukkan ukuran

  profitabilitas dari sudut pandang pemegang saham. ROE merupakan rasio laba bersih setelah pajak terhadap modal sendiri yang dipergunakan untuk mengukur kemampuan laba yang tersedia bagi pemegang saham

  4. Gross Profit Margin

  Gross profit margin merupakan rasio profitabilitas yang mengukur laba kotor yang dihasilkan dari setiap penjualan.

  5. Operating Ratio

  Operating ratio merupakan rasio yang mengukur biaya operasi dari setiap penjualan yang dilakukan oleh perusahaan.

2.1.5 Ukuran Perusahaan

  Ukuran Perusahaan didefinisikan sebagai penentuan besaran, dimensi, atau kapasitas dari suatu perusahaan, sebagai penentuan sebuah perusahaan besar, atau kecil dapat dilihat dari nilai total aktiva, penjualan bersih, dan kapitalisasi pasar. Jadi semakin besar ukuran suatu perusahaan maka semakin besar pula modal yang ditanamnya pada berbagai jenis usaha, lebih mudah dalam memasuki pasar modal, memperoleh penilaian kredit yang tinggi dan sebagainya, yang kesemuanya ini akan mempengaruhi keberadaan total aktivanya (Daniel, 2013).

  Perusahaan yang berukuran besar akan lebih banyak mengungkapkan informasi dari perusahaan kecil. Pada perusahaan besar memerlukan banyak pengungkapan karena tuntutan para pemegang saham dan para analisis pasar modal. Semakin besar suatu perusahaan, maka perusahaan akan menghadapi biaya politik yang tinggi, perusahaan besar akan menghadapi tuntutan lebih besar dari para stakeholder untuk menyajikan laporan keuangan yang lebih transparan (Nuryaman, 2009). Ukuran perusahaan dapat dinyatakan dalam total aktiva, penjualan, dan kapitalisasi pasar. Semakin besar total aset, penjualan, dan kapitalisasi pasar maka semakin besar pula ukuran perusahaan itu. Ketiga variabel ini digunakan untuk menentukan ukuran perusahaan karena dapat mewakili seberapa besar perusahaan tersebut. Semakin besar aktiva maka semakin banyak modal yang ditanam, semakin banyak penjualan maka semakin banyak perputaran uang dan semakin besar kapitalisasi pasar maka semakin besar pula ia dikenal dalam masyarakat (Sudarmadji dan Lana, 2007).

2.1.6 Corporate Governance

2.1.6.1 Definisi Corporate Governance

  Di Indonesia aktifitas korporat ini dijalankan dan dikendalikan oleh 3 unsur yang secara UU/40 2008 disebut

  3 Organ Perseroan yaitu Rapat Umum Pemegang Saham, Dewan Komisaris, dan Direksi. Aktifitas ketiga Organ Perseroan inilah (dalam menjalankan dan mengendalikan korporat) yang dikenal dengan istilah Governance.

  Beberapa definisi mengenai Corporate Governance: a. The Cadbury Committe mendefinisikan corporate

  

governance sebagai suatu sistem yang mengarahkan

dan mengendalikan perusahaan.

  b. Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) dalam, mendefinisikan corporate governance sebagai seperangkat aturan yang menetapkan hubungan antara pemegang sahama, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.

  c. Corporate Governance dapat dipahami sebagai aktifitas organ perseroan dalam menjalankan aktifitas korporasi sebagai badan hukum, baik secara intern maupun dalam hubungannya dengan para pemangku kepentingan yang berada di luar korporat ”.

  d. Corporate governance adalah hubungan stakeholders yang digunakan untuk menentukan arah dan pengendalian kinerja suatu perusahaan. Bagaimana suatu perusahaan memonitor dan mengenalikan keputusan dan tindakan manajer puncak, yang disebut

  governance mechanism , mempengaruhi impelementasi strategi.

2.1.6.2 Prinsip-prinsip

  

Organization for Economic Cooporation and

Development mengadopsi sekumpulan Principles of

Corporate Governance yang mencakup lima area, yaitu:

  1. Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham Kerangka yang dibangun corporate governance harus dapat melindungi hak-hak pemegang saham yaitu, (1) metode yang aman dalam pencatatan kepemilikan, (2) mengalihkan atau pemindahan saham, (3) memperoleh informasi yang relevan tentang perusahaan pada waktu yang tepat dan berkala, (4) berpartisipasi dan memberi suara dalam rapat umum pemegang saham, (5) memilih anggota dewan komisaris, (6) mendapatkan pembagian laba perusahaan.

  2. Persamaan perlakuan terhadap seluruh pemegang saham Kerangka kinerja corporate governance harus memastikan perlakuan yang sama terhadap seluruh pemegang saham mencakup pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing. Semua pemegang saham harus mempunyai kesempatan untuk memperoleh ganti rugi pelanggan yang efektif atas hak- hak mereka.

  3. Peranan stakeholders yang terkait dengan perusahaan Kerangka kerja corporate governance harus mengakui hak-hak stakeholders seperti yang ditetapkan hukum dan mendorong kerjasama yang aktif antara perusahaan dan stakeholders dalam menciptakan kemakmuran, pekerjaan, dan kelangsungan dari perusahaan yang secara finansial sehat.

  4. Keterbukaan dan transparasi Kerangka kerja corporate governance harus memastikan bahwa pengungkapan yang tepat waktu dan akurat dilakukan terhadap semua hal yang material berkaitan dengan perusahaan, mencakup situasi keuangan kinerja, kepemilikan dan tata kelola perusahaan.

  5. Akuntanbilitas dewan komisaris Pedoman strategik perusahaan, manajemen yang efektif oleh dewan komisaris dan akuntabilitas dewan komisaris terhadap perusahaan dan pemegang saham.

  Prinsip-prinsip Good Corporate Governance yang dikembangkan oleh OECD:

  1. Fairness (Keadilan) Perlindungan kepentingan minority shareholders dari penipuan, kecurangan perdagangan dan penyalahgunaan oleh orang dalam. Keadilan adalah kesetaraan perlakuan dari perusahaan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan sesuai dengan kriteria dan proporsi yang seharusnya. Dalam hal ini ditekankan agar pihak-pihak yang berkepentingan tehadap perusahaan terlindungi dari kecurangan serta penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh orang dalam.

2. Transparency

  Dengan tranparansi pihak-pihak yang terkait akan dapat melihat dan memahami bagaimana dan atas dasar apa keputusan-keputusan tertentu dibuat serta bagimana suatu perusahaan dikelola.

  3. Accountability Akuntanbilitas adalah petanggungjawaban atas pelaksanaan fungsi dan tugas-tuga sesuai dengan wewenang yang dimiliki oleh seluruh organ perseroan.

  4. Responsibility Pertanggungjawaban perusahaan sebagai bagian dari masyarakat kepada stakeholders dan lingkungan dimana perusahaan itu berada.

  5. Disclosure (keterbukaan dalam informasi) Perusahaan harus dapat memberikan informasi atau laporan yang akurat dan tepat waktu mengenai kinerja Perusahaan.

  6. Independency/Kemandirian (bebas dari pengaruh pihak lain) Independensi adalah sebagai keadaan dimana perusahaan bebas dari pengaruh atau tekanan pihak lain yang tidak sesuai dengan mekanisme korporasi.

2.1.6.3 Mekanisme Corporate Governance

  Bentuk mekanisme yang diharapkan dapat mengontrol biaya keagenan adalah dengan menerapkan tatakelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).

  Corporate Governance adalah suatu mekanisme yang

  digunakan oleh organ perusahaan guna memberikan nilai tambah pada perusahaan secara berkesinambungan bagi pemegang saham, dengan tetap memperhatikan kepentingan

  stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku (Diyanti, 2010).

  Babic (2001) dalam Nuryaman (2009) menyatakan bahwa mekanisme corporate governance dapat berupa mekanisme internal, yaitu: struktur kepemilikan yang salah satu aspeknya adalah konsentrasi kepemilikan saham, struktur dewan komisaris yang salah satu aspeknya adalah komposisi dewan komisaris, dan mekanisme eksternal, yaitu: pengendalian oleh pasar, kepemilikan institusional, serta audit oleh auditor eksternal.

  Dennis dan McConnell (2003) dalam Diyanti (2010) mekanisme Good Corporate Governance dibedakan menjadi dua bagian yaitu internal dan eksternal. Mekanisme internal dilakukan oleh dewan direksi, dewan komisaris, komite audit serta struktur kepemilikan, sedangkan mekanisme eksternal lebih kepada pengaruh dari pasar untuk pengendalian pada perusahaan tersebut dan sistem hukum yang berlaku.

  Walsh dan Seward (1990) dalam Arifin (2010) menyatakan bahwa terdapat 2 mekanisme untuk membantu menyamakan perbedaan kepentingan antara pemegang saham dan manajer dalam rangka penerapan Corporate

  Governance, yaitu :

  1. Mekanisme pengendalian internal perusahaan yaitu pengendalian yang dilakukan dengan membuat seperangkat aturan yang mengatur tentang mekanisme bagi hasil, baik yang berupa keuntungan, return maupun resiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Salah satu pilihan mekanisme pengendalian internal adalah kontrak insentif jangka panjang. Kontrak jangka panjang ini dilakukan dengan memberikan insentif pada manajer apabila nilai perusahaan atau kemakmuran pemegang saham meningkat. Dengan demikian, manajer akan termotivasi untuk meningkatkan nilai perusahaan atau meningkatkan kemakmuran pemegang saham karena hal tersebut juga akan meningkatkan kekayaan manajer sendiri.

  2. Mekanisme pengendalian ekternal berdasarkan pasar adalah pengendalian perusahaan yang dilakukan oleh pasar. Menurut teori pasar untuk pengendalian perusahaan (market for corporate control), pada saat diketahui bahwa manajemen berperilaku menguntungkan diri sendiri kinerja perusahaan akan menurun yang direfleksikan oleh nilai saham perusahaan. Pada kondisi tersebut, kelompok manajer lain akan menggantikan manajer yang sedang memegang jabatan. Dengan demikian bekerjanya

  

market for corporate contol bisa menghambat tindakan menguntungkan diri manajer sendiri (Jensen dan Meckling, 1976).

2.1.7 Komposisi Dewan Komisaris Independen

  Dewan komisaris merupakan organ dalam perusahaan yang bertugas dan bertanggungjawab untuk memonitor dan mengendalikan tindakan manajemen, serta memberi nasihat kepada dewan direksi dan memastikan perusahaan telah menciptakan tata kelola perusahaan dengan baik. Dewan komisaris yang dimiliki perusahaan, terdiri dari komisaris utama, komisaris independen, dan komisaris. Kedudukan masing-masing anggota dewan komisaris, termasuk komisaris utama adalah setara (Suta dan Herry, 2012).

  Menurut pedoman komisaris independen yang dikeluarkan oleh

  Task Force KNKG, komisaris independen memiliki pengertian

  sebagai anggota dari dewan komisaris yang tidak memiliki hubungan dengan direksi, anggota dewan komisaris yang lain, dan majority

  stakeholder . Selain itu, komisaris independen juga harus terbebas

  dari hubungan bisnis maupun hubungan lain yang dapat mempengaruhi kapasitasnya untuk dapat melakukan tugasnya sebagai komisaris independen yang murni bekerja demi kepentingan perusahaan.

  Keberadaan dewan komisaris dimaksudkan untuk menciptakan iklim yang lebih objektif, independen dan untuk menjaga fairness serta memberikan keseimbangan antara kepentingan pemegang saham mayoritas dan perlindungan terhadap pemegang saham minoritas, bahkan kepentingan stakholder lainnya (Rifai, 2009).

  Fama dan Jensen (1983) dalam Susanti, dkk (2010) menyatakan bahwa non-executive director (komisaris independen) dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada manajemen. Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta perusahaan yang good corporate governance.

  Dewan komisaris mewakili mekanisme internal utama untuk mengontrol perilaku oportunistik manajemen sehingga dapat membantu menyelaraskan kepentingan pemegang saham dan manajer. Dewan komisaris independen memiliki peranan dalam proses pengawasan sehingga perusahaan akan cenderung untuk memberikan pengungkapan yang lebih luas dan dalam kaitannya dengan pengungkapan wajib yang telah diatur oleh BAPEPAM, maka dewan komisaris yang independen akan mendorong perusahaan untuk lebih patuh dalam menjalankan kewajiban pengungkapan informasi sesuai dengan semua item-item yang telah ditetapkan oleh peraturan BAPEPAM tersebut tanpa ada pengecualian (Diyanti, 2010).

2.1.8 Komite audit

  Komite audit merupakan komite yang ditunjuk oleh dewan direksi sebagai penghubung antara dewan komisaris dengan auditor eksternal. Kehadiran komite audit disadari sangat penting, sehingga regulator perusahaan negara maupun perusahaan publik mengharuskan pembentukan komite audit (Leo, 2012).

  Berdasarkan pedoman Good Corporate Governance Indonesia (2006) tugas komite audit adalah membantu Dewan Komisaris untuk memastikan bahwa: (i) laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, (ii) struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik, (iii) pelaksanaan audit internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang berlaku, dan (iv) tindak lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen.

  Berbagai ketentuan dan peraturan mengenai komite audit di Indonesia diantaranya adalah SE BAPEPAM no. 03 tahun 2000 mengenai pembentukan komite audit dan juga Kep. Direksi BEJ No.

  339 tahun 2001 mengenai peraturan pencatatan efek di Bursa yang mencakup komisaris Independen, komite audit, sekretaris perusahaan; keterbukaan; dan standar laporan keuangan per sektor. Tugas pokok dari komite audit pada prinsipnya adalah membantu Dewan Komisaris dalam melakukan fungsi pengawasan atas kinerja perusahaan. Hal tersebut terutama berkaitan dengan review sistem pengendalian intern perusahaan, memastikan kualitas laporan keuangan, dan meningkatkan efektivitas fungsi audit. Laporan keuangan merupakan produk dari manajemen yang kemudian diverifikasi oleh eksternal auditor. Dalam pola hubungan tersebut, dapat dikatakan bahwa komite audit berfungsi sebagai jembatan penghubung antara perusahaan dengan eksternal auditor. Tugas komite audit juga erat kaitannya dengan penelaahan terhadap resiko yang dihadapi perusahaan, dan juga ketaatan terhadap peraturan.

  Menurut Utama (2004), baik tidaknya pelaksanaan good

  corporate governance di dalam perusahaan salah satu diantaranya

  dipengaruhi oleh mekanisme disclosure informasi perusahaan yang memadai. Mekanisme pengungkapan informasi yang baik dipengaruhi oleh bagaimana keefektifan kinerja dari komite audit di dalam memantau kegiatan pemrosesan dan pengolahan informasi (keuangan) perusahaan sebagai salah satu fungsinya. Dimana pelaksanaan fungsi komite audit ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan tata kelola perusahaan yang ada.

2.2 Kerangka Pemikiran

  Beberapa penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi luas pengungkapan sukarela telah banyak dilakukan. Penelitian Wardani (2012) menyimpulkan bahwa profitabilitas berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan sukarela. Artinya, semakin tinggi profitabilitas suatu perusahaan, maka semakin luas pengungkapan sukarela yang dilakukan oleh perusahaan, begitu pula sebaliknya, semakin rendah profitabilitas suatu perusahaan, maka semakin sedikit pengungkapan sukarela yang dilakukan oleh perusahaan. Penelitian Permanasari (2012) menyimpulkan bahwa ukuran perusahaan yang dicerminkan dengaun total asset berpengaruh positif terhadap pengungkapan informasi. Besarnya ukuran perusahaan, akan mengakibatkan banyak sorotan baik oleh pasar maupun publik secara umum sehingga tuntutan untuk memenuhi kebutuhan informasi terhadap publik besar. Penelitian Daniel (2013) dan Wijayanti (2013) menyimpulkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela.

  Penelitian Leo (2012) tentang pengaruh konsentrasi kepemilikan, ukuran perusahaan dan mekanisme good corporate governance terhadap pengungkapan dalam laporan tahunan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa komisaris independen berpengaruh positif terhadap pengungkapan dalam laporan tahunan.

  Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wulan (2013) adalah komite audit berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan sukarela. Apabila koordinasi komite audit semakin baik, maka pelaksanaan pengawasan terhadap manajemen dengan lebih efektif dan diharapkan dapat mendukung peningkatan pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan.

  Berdasarkan penelitian terdahulu dan uraian di atas maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini sebagai berikut :

  Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

  Profitabilitas (H1)

  • Ukuran Perusahaan (H2) +

  Pengungkapan Sukarela

  Komposisi Dewan Komisaris Independen

  • (H3)

  Komite Audit (H4)

  • + 2.3 Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitan ini sebagai berikut:

  H : Profitabilitas berpengaruh positif terhadap pengungkapan

  1 sukarela. H 2 : Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela. H 3 : Komposisi dewan komisaris independen berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela. H 4 : Komite audit berpengaruh positif terhadap pengungkapan sukarela.