Renstra--BAB III-IV Isu_
BAB III
ISU DI BIDANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT, PEREMPUAN DAN
KELUARGA BERENCANA DI KOTA SEMARANG
Penyusunan Rencana Strategis BAPERMAS PEREMPUAN & KB Kota Semarang sangat
terkait erat dengan isu yang muncul di bidang pengembangan sumber daya alam (SDA),
lingkungan dan teknologi tepat guna (TTG); pengembangan ekonomi masyarakat;
kelembagaan dan sosial budaya masyarakat serta pemberdayaan perempuan dan keluarga
berencana di Kota Semarang. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi isu beserta faktafakta pendukungnya pada masing-masing bidang tersebut. Berikut ini beberapa isu bidang
pemberdayaan masyarakat, perempuan dan keluarga berencana (KB) di Kota Semarang yang
berhasil diidentifikasi beserta fakta-faktanya:
3.1 ISU BIDANG PENGEMBANGAN SUMBER DAYA ALAM (SDA), LINGKUNGAN DAN
TEKNOLOGI TEPAT GUNA (TTG)
Keberlanjutan dan pengembangan SDA, lingkungan dan penerapan teknologi tepat
guna dipengaruhi oleh peran serta dari masyarakat dan perempuan sebagai pihak yang
terkait langsung yakni sebagai pengguna maupun sebagai pihak yang terkena dampak dari
ketiga hal tersebut. Oleh karena itu diperlukan pengidentifikasian isu yang terkait dengan
pengembangan sumber daya alam (SDA), lingkungan dan teknologi tepat guna, sebagai
pertimbangan dan masukan dalam menetapkan Renstra BAPERMASPER & KB Kota
Semarang. Isu-isu tersebut diantaranya sebagai berikut:
3.1.1 Masih Rendahnya Partisipasi Masyarakat Kota Semarang dalam Penggalian Potensi
SDA dan Penerapan TTG
Masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam penggalian potensi SDA salah satunya
dapat dilihat pada pemanfaatan lahan. Lahan di Kota Semarang sebagian masih berupa
lahan pertanian, terutama lahan yang terdapat di daerah pinggiran seperti daerah
Gunungpati, Mijen, Ngaliyan, Tembalang, Pedurungan dan Genuk. Lahan-lahan tersebut
sebagian masih menghasilkan beberapa komoditas pertanian. Dimana komoditas pertanian
tersebut merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
Kota Semarang. Sumber daya tersebut jika diolah akan turut berkontribusi pada tingkat
51
kesejahteraan masyarakat. Komoditas pertanian di Kota Semarang antara lain mencakup
tanaman bahan makanan seperti, padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah,
sayur-sayuran, buah-buahan, kacang hijau dan tanaman pangan lainnya. Berikut ini adalah
penjelasan singkat atas beberapa komoditas pertanian yang masih terdapat di Kota
Semarang:
Produksi Jagung
Secara umum komoditas jagung di Kota Semarang hanya dihasilkan oleh beberapa
kecamatan. Pada tahun 2003 Kota Semarang menghasilkan komoditas jagung sebanyak
271 ton. Adapun kecamatan yang menghasilkan komoditas jagung di Kota Semarang
pada tahun 2003 adalah Kecamatan Mijen (13 ton), Kecamatan Gunungpati (108 ton),
Kecamatan Tembalang (60 ton) dan Kecamatan Ngaliyan (1 ton). Untuk daerah lainnya
di Kota Semarang tidak menghasilkan komoditas jagung. Hal ini dikarenakan adanya
keterbatasan lahan pertanian di daerah-daerah lainnya di Kota Semarang. Adapun
rincian daerah pengahsil komoditas jagung di Kota Semarang Tahun 2003 dapat dilihat
pada Tabel III.1
Tabel III.1
Produksi Jagung di Kota Semarang Tahun 2003
No
Kecamatan
Kelurahan
Produksi (ton)
1
Gunungpati
Pakintelan
Kalisegoro
Sekaran
Rowosari
Jatibarang
Bubakan
Polaman
Ngaliyan
108
24
10
60
10
2
1
1
216
2
3
Tembalang
Mijen
4
Ngaliyan
Jumlah
Persentase
Kecamatan
65,74
27,78
6,02
0,46
100
(%)
Persentase (%)
Kelurahan
50,00
11,11
4,63
27,78
4,63
0,93
0,46
0,46
100
Sumber: Potensi Desa Provinsi Jawa Tengah, 2003
65,74%
Gunungpati
Tembalang
Mijen
Ngaliyan
27,78%
0,46% 6,02%
Gambar 3.1
Prosentase Produksi Komoditas Jagung Di Kota Semarang Tahun 2003
Sumber: Analisis Penyusun, 2009
52
Produksi Kedelai
Sama halnya dengan komoditas jagung, komoditas kedelai hanya dihasilkan oleh
beberapa kelurahan di beberapa kecamatan di Kota Semarang. Produksi kedelai di Kota
Semarang pada tahun 2003 mencapai 684 ton. Produksi kedelai di Kota Semarang
antara lain dihasilkan oleh Kecamatan Mijen (324 ton), Kecamatan Gungungpati (167
ton), Kecamatan Semarang Timur (108 ton), Kecamatan Ngaliyan (11 ton), Kecamatan
Tembalang (51 ton), dan Kecamatan Banyumanik (23 ton). Sedangkan pada daerah lain
di Kota Semarang, komoditas kedelai tidak dihasilkan karena minimnya ketersediaan
lahan untuk area pertanian
Tabel III.2
Produksi Kedelai di Kota Semarang Tahun 2003
No
1
2
3
4
5
Kecamatan
Gunungpati
Semarang Timur
Mijen
Ngaliyan
Tembalang
6
Banyumanik
Jumlah
Kelurahan
Sukorejo
Kalisegoro
Sadeng
Purwosari
Jatibarang
Purwosari
Bubakan
Gondoriyo
Rowosari
Meteseh
Bulusan
Banyumanik
Produksi (ton)
34
108
25
108
108
108
108
11
42
5
4
23
684
Persentase (%)
Kecamatan
24,42
15,79
47,37
1,61
7,46
3,36
100
Persentase (%)
Kelurahan
4,79
15,79
3,65
15,79
15,79
15,79
15,79
1,61
6,14
0,73
0,58
3,36
100
Sumber: Potensi Desa Provinsi Jawa Tengah, 2003
15,79%
47,37%
24,42%
3,36%
7,46% 1,61%
Gunungpati
Semarang Timur
Mijen
Ngaliyan
Tembalang
Banyumanik
Gambar 3.2
Prosentase Produksi Komoditas Kedelai Di Kota Semarang Tahun 2003
Sumber: Analisis Penyusun, 2009
Produksi Ketela Pohon
Produksi ketela pohon di Kota Semarang pada tahun 2003 mencapai 548 ton. Produksi
komoditas ketela pohon diantranya dihasilkan di Kecamatan Gunungpati (318 ton),
53
Kecamatan Tembalang (120 ton), Kecamatan Mijen (109 ton), Kecamatan Ngliyan (1
ton).
Tabel III.3
Produksi Ketela Pohon di Kota Semarang Tahun 2003
No
Kecamatan
Kelurahan
Produksi (ton)
1
Gunungpati
Pakintelan
Sekaran
Bubakan
Gondoriyo
Rowosari
256
62
109
1
120
548
3
Mijen
4
Ngaliyan
5
Tembalang
Jumlah
Persentase (%)
Kecamatan
58,03
19,89
0,18
21,90
100
Persentase
Kelurahan
46,72
11,31
19,89
0,18
21,90
100
(%)
Sumber: Potensi Desa Provinsi Jawa Tengah, 2003
58,03
Gunungpati
Mijen
Ngaliyan
Tembalang
21,90
19,89%
0,18%
Gambar 3.3
Prosentase Produksi Komoditas Ketela Pohon Di Kota Semarang Tahun 2003
Sumber: Analisis Penyusun, 2009
Produksi Ketela Rambat
Produksi ketela rambat di Kota Semarang pada tahun 2003 mencapai 378 ton, yang
tersebar di Kecamatan Mijen (113 ton), Kecamatan Ngaliyan (106 ton), Kecamatan
Gunungpati, (103 ton) Kecamatan Banyumanik (38 ton), Kecamatan Tembalang (106
ton) dan Kecamatan Semarang Utara (116 ton).
Tabel III.4
Produksi Kedelai di Kota Semarang Tahun 2003
No
Kecamatan
Kelurahan
Produksi (ton)
1
Gunungpati
Pakintelan
Nongkosawit
Sadeng
Kalisegoro
Jatirejo
Cepoko
Jatibarang
Purwosari
Bubakan
70
15
6
5
3
4
6
1
106
3
Mijen
Persentase (%)
Kecamatan
27,84
30,54
Persentase
Kelurahan
18,92
4,05
1,62
1,35
0,81
1,08
1,62
0,27
28,65
(%)
54
No
Kecamatan
Kelurahan
Produksi (ton)
4
5
Ngaliyan
Tembalang
Ngaliyan
Bulusan
Rowosari
Purwosari
Banyumanik
106
6
3
1
38
370
6
Semarang Utara
7
Banyumanik
Jumlah
Persentase (%)
Kecamatan
28,65
2,43
0,27
10,27
100
Persentase
Kelurahan
28,65
1,62
0,81
0,27
10,27
100
(%)
Sumber: Potensi Desa Provinsi Jawa Tengah, 2003
30,54%
27,84%
1,270% 027% 2,43%
28,65%
Gunungpati
Mijen
Ngaliyan
Tembalang
Semarang Utara
Banyumanik
Gambar3.4
Prosentase Produksi Komoditas Ketela Rambat Di Kota Semarang Tahun 2003
Sumber: Analisis Penyusun, 2009
Produksi Padi
Produksi padi di Kota Semarang pada tahun 2003 mencapai 4441 ton. Produksi padi di
Kota Semarang sendiri tersebar di beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Gunung Pati
sebanyak 2358 ton (52,52%), Kecamatan Mijen sebanyak 1113 ton (27,9%), Kecamatan
Tembalang sebanyak 358 ton (8,80%), Kecamatan Ngaliyan sebanyak 381 ton (8,48%),
Kecamatan Semarang Utara sebanyak 131 ton (2,92%), Kecamatan Banyumanik
sebanyak 89 ton (1,98%) dan Kecamatan Semarang Barat sebanyak 2 ton (0,04%).
Adapun riciannya adalah sebagai berikut:
Tabel III.5
Produksi Padi di Kota Semarang Tahun 2003
No
1
Kecamatan
Gunungpati
2
Mijen
4
Ngaliyan
5
Tembalang
6
Semarang Barat
7
Semarang Utara
8
Banyumanik
Jumlah
Kelurahan
Pakintelan, Sadeng, Sekaran, Pongangan,
Jatirejo, Ngijo, Patemon, Nongkosawit, Cepoko,
Mangunsari, Kandri, Sumurejo, Kalisegoro
Jatibarang, Polaman, Jatisari, Purwosari,
Tambangan, Cangkiran dan Bubakan
Ngaliyan
Meteseh
Banyumanik
2358
Produksi (ton)
Persentase (%)
53,10
1113
25,06
381
8,58
8,06
0,05
2,95
2,21
100
358
2
131
89
4441
Sumber: Potensi Desa Provinsi Jawa Tengah, 2003
55
8,58%
25,06%
53,10%
8,06%
2,95%
0,05%
Gunungpati
Mijen
Ngaliyan
Tembalang
Semarang Utara
Banyumanik
Semarang Barat
2,21%
Gambar 3.5
Prosentase Produksi Komoditas Padi Di Kota Semarang Tahun 2003
Sumber: Analisis Penyusun, 2009
Produksi Kacang Tanah
Produksi komoditas kacang tanah di Kota Semarang pada tahun 2003 mencapai 124
ton. Produksi komoditas tersebut tersebar di beberapa kecamatan yaitu Kecamatan
Gunungpati (81 ton), Kecamatan Mijen (2 ton) dan kecamatan Tembalang (41 ton).
Sedangkan untuk daerah lainnya di Kota Semarang tidak mengahsilkan komoditas
kacang tanah. Untuk lebih detailnya dapat dilihat pada Tabel III.6
Tabel III.6
Produksi Kacang Tanah di Kota Semarang Tahun 2003
No
Kecamatan
Kelurahan
Produksi (ton)
1
Gunungpati
Pakintelan
Sekaran
Polaman
Rowosari
63
18
2
41
124
2
Mijen
3
Tembalang
Jumlah
Persentase (%)
Kecamatan
65,32
1,31
33,06
100
Persentase
Kelurahan
50,8
14, 52
1,61
33, 06
100
(%)
Sumber: Potensi Desa Provinsi Jawa Tengah, 2003
65,32%
33,06%
Gunungpati
Mijen
Tembalang
1,31%
Gambar 3.6
Prosentase Produksi Komoditas Kacang Tanah Di Kota Semarang Tahun 2003
Sumber: Analisis Penyusun, 2009
Berdasarkan data beberapa komoditas pertanian di atas dapat diketahui bahwa pada
tahun 2003 produksi komoditas pertanian Kota Semarang sebanyak 6383 ton yang tersebar
di beberapa kecamatan. Dimana sebagian besar kecamatan penghasil komoditas pertanian
tersebut berada di daerah pinggiran Kota Semarang. Adapun komoditas pertanian terbesar
56
yang dihasilkan adalah padi sebanyak 69,58% dari total komoditas pertanian yang dihasilkan,
kemudian disusul oleh komoditas kedelai sebesar 10,72 % dan yang paling sedikit adalah
komoditas kacang tanah yang hanya 1,94 % dari total komoditas yang dihasilkan di Kota
Semarang.
Tabel III.7
Produksi Pertanian Tanaman Pangan di Kota Semarang Tahun 2003
No
1
Komoditas
Jagung
2
Kedelai
3
Ketela Pohon
4
Ketela Rambat
5
Padi
6
Kacang Tanah
Jumlah
Kecamatan
Gunungpati, Tembalang, Mijen,
Ngaliyan
Gunungpati, Semarang Timur, Mijen
Ngaliyan, Tembalang, Banyumanik
Gunungpati, Mijen, Ngaliyan,
Tembalang
Gunungpati, Mijen, Ngaliyan,
Tembalang, Semarang Utara,
Banyumanik
Gunungpati, Mijen, Ngaliyan,
Tembalang, Semarang Barat,
Semarang Utara, Banyumanik
Gunungpati, Mijen, Tembalang
Produksi (ton)
Persentase (%)
216
3,38
684
10,72
548
8,59
370
5,80
4441
69,58
124
6383
1,94
100
Jumlah
Sumber: Potensi Desa Provinsi Jawa Tengah, 2003 & analisis penyusun
4500
4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
Jagung
Kedelai
Ketela
Pohon
Ketela
Rambat
Komoditas
Padi
Produksi (ton)
Gambar 3.7
Jumlah Produksi Komoditas Pertanian Tanaman Pangan Di Kota Semarang Tahun 2003
Sumber: Analisis Penyusun, 2009
Dengan jumlah penduduk yang tinggi dan membutuhkan ketersediaan pangan yang
cukup besar, sebenarnya pertanian tanaman pangan di Kota Semarang sangat berpotensi
untuk dikembangkan. Walapun jumlah produksi pertanian yang dihasilkan tidak terlalu besar
jika dibandingkan dengan produksi pertanian tanaman pangan di daerah sekitarnya seperti
Kabupaten Semarang yang mencapai 223.797 ton (www.semarangkab.go.id, diakses tanggal
17 Juni 2009), namun ada peluang yang bisa dijadikan sebagai media pemberdayaan
masyarakat dalam pengelolaan SDA.
57
Potensi ini dapat dimanfaatkan menjadi kemampuan riil melalui penerapan teknologi
tepat guna dan ramah lingkungan untuk pemanfaatan sumber daya alam tersebut.
Pemanfaatan potensi ini dapat dilaksanakan dengan optimal melalui keterlibatan
masyarakat dan dunia usaha. Akan tetapi hal ini terkendala dengan rendahnya partisipasi
masyarakat untuk mengembangkan pertanian Kota Semarang yang ditunjukkan dengan
sedikitnya penduduk Kota Semarang yang bermata pencaharian sebagai petani yakni hanya
2% (Podes Jawa Tengah Tahun 2003).
3.1.2 Masih Rendahnya Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan dan
Penerapan TTG
Masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dapat dilihat
dari kondisi lingkungan dan sarana prasarana Kota Semarang. Partisipasi dan pemberdayaan
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan penerapan TTG akan menetukan
keberlanjutannya lingkungan itu sendiri. Oleh karena itu uraian berikut akan memaparkan
sejumlah fakta yang terkait dengan kondisi lingkungan dan sarapras di Kota Semarang.
Kondisi Sanitasi (Jamban)
Sebagian besar kelurahan di Kota Semarang (92 %) telah memiliki sistem pembuangan
limbah yang berupa jamban sendiri, sedangkan lainnya menggunakan sistem pembuangan
bukan jamban (1%), jamban bersama (2 %), dan jamban umum (5 %). Penggunaan jamban
individu tersebar dan mendominasi hampir di setiap kecamatan di Kota Semarang,
sedangkan pengguna sistem pembuangan lain dirinci sebagai berikut :
Tabel III.8
Sistem Pembuangan di Kota Semarang
No Jenis sistem pembuangan
1
2
3
Kecamatan
Kelurahan
Mijen
Karangmalang
Sistem pembuangan bukan jamban
Banyumanik
Jabungan
Mijen
Jatibarang
Gunungpati
Mangungsari
Sistem jamban bersama
Semarang Utara
Kuningan
Tugu
Randugarut , Mangunharjo
Ngaliyan
Bamban Kerep
Mijen
Kedungpane
Gunungpati
Kandri
Semarang Timur
Karangturi
Sistem jamban umum
Semarang Utara
Dadapsari, Tanjungsari, dan Bandarharjo
Semarang Tengah
Kembangsari
Ngaliyan
Podorejo
Sumber: www.semarang.go.id, Diakses 17 Juni 2009
58
Berdasarkan data diatas, dapat diketahui bahwa sebagian besar lingkungan tempat
tinggal masyarakat di Kota Semarang sudah memiliki saluran pembuangan (jamban) sendiri.
Akan tetapi sebagian juga masih ada yang menggunakan sistem pembuangan bukan jamban,
sistem jamban bersama dan sistem jamban umum sebanyak 8 %. Kota Semarang yang
notabennya merupakan kota metropolitan seharusnya seluruh masyarakatnya sudah
menggunakan jamban sendiri. Angka 8% tersebut menjadi perhatian BAPERMASPER & KB
bersama dengan instansi terkait lainnya agar hal tersebut tidak menimbulkan pemasalahan,
khususnya yang terkait dengan kebersihan dan kesehatan lingkungan tempat tinggal
masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan memberdayakan masyarakat setempat dalam
menjaga lingkungannya.
Kondisi Saluran Drainase
Sebagian besar kelurahan di Kota Semarang memiliki drainase dengan kondisi lancar
(86 %), sedangkan lainnya memiliki kondisi yang tergenang (2 %), tidak ada saluran (1 %) dan
tidak lancar (11%). Kondisi drainase lancar mendominasi sebagian besar kelurahan di Kota
Semarang, sedangkan kondisi drainase lainnya tersebar sebagai berikut :
Tabel III.9
Kondisi Drainase di Kota Semarang
No
Kondisi Drainase
1
Tergenang
2
Tidak ada saluran
3
Tidak lancar
Kecamatan
Semarang Selatan
Semarang Utara
Mijen
Banyumanik
Ngaliyan
Pedurungan
Genuk
Gayamsari
Semarang Timur
Semarang Timur
Semarang Tengah
Semarang Barat
Tugu
Kelurahan
Bulustalan
Kuningan, Tanjungmas
Polaman
Jabungan
Ngadirgo
Tlogosari Kulon
Karangroto
Siwalan, Sambirejo, Kaligawe, Tambakrejo
Kebonagung, Mlatibaru, Rejomulyo, Kemijen
Bulu Lor, Plombokan, Panggung Lor, Dadap Sari
Karang Kidul
Karang Ayu, Tawang Mas
Randugarut
Sumber: www.semarang.go.id, Diakses 17 Juni 2009
Sama halnya dengan kondisi sanitasi, kondisi saluran drainase di Kota Semarang
sebagian juga masih bermasalah. Terutama pada daerah semarang bawah yang dekat
dengan daerah pesisir seperti yang diterangkan pada Tabel III.10 di atas. Kondisi kelancaran
dan opimalnya fungsi drainase di Kota Semarang erat kaitannya dengan prilaku masyarakat
59
Kota Semarang itu sendiri. Dalam hal ini prilaku sebagian masyarakat yang masih membuang
sampah di sungai dan semakin bayaknya konversi lahan dari lahan non terbangun menjadi
terbangun di daerah Semarang atas seperti Gunungpati, Mijen dan daerah Kabupaten
Semarang, yang pada dasarnya sebagai daerah penyangga.
Pada sisi lain walaupun teknologi tepat guna dalam pengelolaan lingkungan sudah
banyak ditemukan, misalnya teknologi penjernihan air, komposting sampah, sumur resapan,
biopori, dan lain sebagainya; namun penerapannya di tingkat komunitas masih relatif minim.
Terkait dengan hal tersebut, maka keberadaan BAPERMASPER & KB memiliki peran yang
strategis untuk mengambil bagian dalam memberdayakan dan membangun perilaku
masyarakat yang sadar lingkungan.
3.2 ISU BIDANG PENGEMBANGAN EKONOMI MASYARAKAT
Ketidakberdayaan menjadi permasalahan klasik dalam pengembangan ekonomi
masyarakat. Sedangkan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan menjadi tujuan dari
pengembangan ekonomi masyarakat. Ketidakberdayaan secara ekonomi masyarakat dapat
ditinjau dari rendahnya tingkat pendapatan setiap rumah tangga. Pendapatan perkapita Kota
Semarang secara umum sebesar Rp 19 juta/tahun atau Rp 1,6 juta/bulan. Ini berarti
pendapatan rata-rata perkeluarga adalah Rp. 6,4 juta/bulan dengan asumsi keluarga terdiri 4
(empat) orang. Namun, pada kenyataannya sangat banyak keluarga yang hanya mempunyai
pendapatan Rp 640 ribu perbulan. Hal tersebut tentu saja merupakan suatu hal yang sangat
ironis.
Pada tahun 2003, 93% kelurahan di Kota Semarang memiliki jumlah persebaran
keluarga sejahtera dan prasejahtera yang relatif sedikit (0-210 keluraga/ kelurahan). Adapun
5% kelurahan memiliki jumlah persebaran keluarga sejahtera dan prasejahtera sedang (211685 keluraga/ kelurahan). Sedangkan kelurahan dengan jumlah persebaran keluarga
sejahtera dan prasejahtera kategori tinggi (686- 1626 keluraga/ kelurahan) masih 2 %.
Adapun pada tahun yang sama, persebaran masyarakat Kota Semarang yang menerima
surat miskin dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) kelompok yakni kelurahan dengan jumlah
penerima surat miskin rendah (0-28 orang/kelurahan), sedang (29-269 orang/kelurahan) dan
tinggi (270-562 orang/kelurahan). Terdapat beberapa kelurahan yang sebagian besar
masyarakatnya masih menerima surat miskin. Kelurahan yang tingkat penerimaan surat
miskinnya termasuk kategori sedang diantaranya sebagai berikut:
60
Kecamatan Ngaliyan terdapat di Kelurahan Bamban Kerep
Kecamatan Gajahmungkur terdapat di Kelurahan Bendungan dan Kelurahan
Gajahmungkur
Kecamatan Banyumanik terdapat di Kelurahan Ngesrep
Kecamatan Semarang Selatan terdapat di Kelurahan Barusari, Kelurahan Mugasari,
Kelurahan Peterongan dan Kelurahan Lamper Tengah
Kecamatan Semarang Tengah terdapat di Kelurahan Kranggan, Kelurahan
Purwodinatan dan Kelurahan Kauman
Kecamatan Genuk terdapat di Kelurahan Terboyo Wetan, Kelurahan Trimulyo,
Kelurahan Genuksari, Kelurahan Penggaron Lor, dan Kelurahan Kudu
Sedangkan kelurahan yang tingkat penerimaan surat miskinnya termasuk kategori tinggi
hanya terdapat di empat kelurahan yang lokasinya berada di daerah pinggiran. Kelurahan
tersebut yakni:
Kelurahan Plalangan di Kecamatan Gunungpati,
Kelurahan Lamper Lor di Kecamatan Semarang Selatan,
Kelurahan Karangroto dan Kelurahan Bangetayu Wetan di Kecamatan Genuk.
Bidang pengembangan ekonomi masyarakat merupakan bidang yang menangani halhal yang terkait dengan isu, permasalahan dan upaya-upaya bagaimana menumbuhkan
prakarsa khususnya masyarakat ekonomi lemah di bidang perekonomian. Dari sudut
pandang ini terdapat kaitan yang erat antar bidang pemberdayaan ekonomi masyarakat dan
bidang pemberdayaan perempuan. Upaya pengembangan ekonomi masyarakat ini salah
satunya dapat dilakukan dengan cara memberdayakan masyarakat secara umum ataupun
perempuan. Oleh karena itu perlu digali isu-isu yang terkait dengan bidang pengembangan
ekonomi masyarakat di Kota Semarang sebagai pertimbangan dan masukan dalam
menetapkan Renstra BAPERMASPER & KB Kota Semarang. Isu-isu tersebut diantaranya
sebagai berikut:
3.2.1 Rendahnya Kapasitas Sumber Daya Manusia untuk Pengembangan Ekonomi
Rendahnya kapasitas SDM untuk pengebangan ekonomi diakibatkan oleh berbagai
faktor diantaranya faktor struktural yakni masih rendahnya tingkat pendidikan, pendapatan
keluarga dan tetap eksisnya kemiskinan di Kota Semarang. Besarnya upah atau gaji yang
diterima dari suatu mata pencaharian ini sangat menentukan tingkat kesejahteraan
61
masyarakat. Pada tahun 2003 sekitar 49% masyarakat Kota Semarang yang bekerja sebagai
buruh mendapatkan gaji sesuai batas UMR. Dimana dengan penghasilan sebesar itu dengan
kondisi harga yang terus meningkat, tentu saja sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
mulai dari makan, pendidikan dan kesehatan.
Buruh sebagai jenis mata pencaharian tergolong sebagai mata pencaharian yang
rentan dari berbagai macam ketidakpastian seperti PHK, eksploitasi hak buruh, dan
terjebaknya buruh dalam kemiskinan. Telah banyak usaha yang telah dilakukan oleh
masyarakat secara individual maupun berkelompok untuk keluar dari perangkap kemiskinan
namun mengalami kegagalan. Keinginan masyarakat secara umum untuk keluar dari jebakan
kemiskinan tersebut sulit dilakukan karena rendahnya kapasitas masyarakat yang
bersangkutan. Kegagalan-kegalan tersebut selanjutnya menciptakan sikap apatis yang ada
dimasyarakat. Oleh karena itu keberadaan BAPERMASPER & KB Kota Semarang diharapkan
mampu turut menyelesaikan permasalah ini dengan menumbuhkan dan meningkatkan
kapasistas ekonomi masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat dapat meningkat.
3.2.2 Masih Lemahnya Jejaring Pengembangan Ekonomi Masyarakat
Problem lain sebagai pemicu kegagalan masyarakat untuk keluar dari jebakan
kemiskinan dan menuju kemandirian ekonomi yaitu karena kurangnya kemampuan
masyarakat dalam mengakses faktor-faktor ekonomi terutama seperti bantuan modal,
teknis, peralatan, dan informasi. Kemampuan akses tersebut akan optimal jika jejaring
pengembangan ekonomi masyarakat sudah terbangun dengan baik dan mantap. Jejaring
tersebut akan mempermudah bertemunya kelompok masyarakat atau kelompok usaha
sebagai beneficaries, pemerintah sebagai fasilitator, maupun donor serta pihak-pihak
berkepentingan lainnya. Jejaring akan memberikan keuntungan bagi pengembangan
ekonomi masyarakat karena mampu mempercepat arus informasi dan pengetahuan,
disamping memudahkan dalam upaya mengalokasikan berbagai macam bantuan modal,
bantuan teknis, maupun peralatan. Oleh karena itu BAPERMASPER & KB memberikan
perhatian dalam rangka menanggulangi kemiskinan dengan cara melakukan pemberdayaan
ekonomi masyarakat terutama pada daerah-daerah yang masih tinggi angka kemiskinannya
dan membangun serta memperkuat jejaring pengembangan ekonomi lokal.
62
3.3 ISU BIDANG KELEMBAGAAN DAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT
Isu di bidang kelembagaan dan sosial budaya ini dapat dikaitakan dengan besar
kecilnya tingkat partisipasi masyarakat Kota Semarang. Adapun beberapa isu permasalahan
yang dapat diidentifikasi dari bidang kelembagaan dan sosial di Kota Semarang diantaranya
sebagai berikut:
3.3.1. Masih
Rendahnya
Partisipasi
Kelembagaan
Masyarakat
dalam
Proses
Pembangunan
Sejauh ini ditengarai bahwa kelembagaan masyarakat yang ada di tingkat kelurahan
seperti (RT/RW) masih bersifat administratif saja. Peran kelembagaan tersebut selalu
diasosiasikan dengan lembaga yang membantu penerbitan surat pengantar bagi mereka
yang akan memproses permohonan KTP, Kartu Keluarga, dan mengorganisasikan keamanan
lingkungan secara swadaya. Jika diasumsikan terdapat hubungan yang korelatif antara
partisipasi kelembagaan masyarakat dengan keamanan lingkungan maka sejauh ini peran
kelembagaan masyarakat dapat dikatakan menurun karena berdasarkan data yang ada
tingkat kriminalitas di Kota Semarang cenderung mengalami kenaikan setiap tahunnya.
Kasus kriminalitas dari tahun 2002 hingga tahun 2006 mengalami kenaikan yang cukup
signifikan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.10 berikut:
900
777
800
697
700
652
693
600
500
456
400
300
200
100
0
2002
2003
2004
2005
2006
Gambar 3.8
Tingkat Kriminalitas Kota Semarang Tahun 2002-2006
Sumber : BPS Kota Semarang, 2006
Indikasi lain dari belum optimalnya partisipasi kelembangaan lokal dapat di lihat ketika
bantuan-bantuan atau stimulan yang diberikan oleh pemerintah belum bisa ditangkap
dengan baik dan teralokasikan sesuai kepada target sasaran program. Sehingga seringkali
63
kita jumpai program-program bantuan yang tujuannya secara filosofis sangat ideal, namun
dalam implementasinya di lapangan tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan
karena rendahnya kapasistas dan partisipasi kelembagaan lokal. Fenomena lain yang dapat
kita lihat sebagai indikasi dari menurunnya peran kelembangaan lokal adalah belum
maksimalnya partisipasi masyarakat dalam forum-forum seperti Musrenbang yang pada
hakikatnya adalah proses untuk menentukan usulan-usulan dan prioritas pembangunan bagi
masyarakat di tingkat lokal.
Peran kelembagaan masyarakat yang ada (RT/RW) tersebut dapat ditingkatkan untuk
menumbuhkembangan partisipasi masyarakat dalam berbagai bidang pembangunan yang
terkait dengan pengelolaan dan perlindungan SDA, penerapan TTG, penggalakan budaya KB
serta hidup sehat, dan lain sebagainya. Dari perspektif ini terlihat keterkaitan yang erat
diantara bidang kelembagaan dan bidang-bidang lainnya dalam rangka pemberdayaan
masyarakat.
3.3.2. Lunturnya Nilai-Nilai Budaya Masyarakat dalam Pembangunan
Partisipasi masyarakat di Kota Semarang yang belum optimal terkait erat dengan
lunturnya nilai-nilai budaya masyarakat yang merupakan esensi dari partisipasi itu sendiri.
Nilai-nilai budaya masyarakat seperti gotong royong, kerjasama, kepedulian, dan toleransi
semakin redup dan berganti dengan nilai-nilai seperti individualisme dan egoisme. Sejumlah
indikasi yang dapat dilihat diantaranya adalah semakin jarang dijumpainya kegiatan gotong
royong di lingkungan masyarakat, khususnya di daerah perkotaan, dalam rangka
pemeliharaan kebersihan, kesehatan, dan keamanan lingkungan. Bahkan sudah terdapat
anggapan bahwa urusan tersebut menjadi tanggung jawab aparatur pemerintah dan mulai
munculnya kecenderungan bahwa masyarakat menyerahkan urusan-urusan tersebut secara
komersial kepada pihak yang lain. Keakraban dan jiwa kerjasama diantara masyarakat
dengan demikian juga sedikit demi sedikit akan hilang.
Sebagai akibatnya terjadi sekat-sekat diantara masyarakat berdasarkan status sosialekonomi. Kepedulian sosial kepada masyarakat lain semakin pudar dan jika kepedulian
tersebut masih ada hanya berlaku bagi mereka yang memiliki kepentingan yang sama. Sekatsekat diantara masyarakat berdasarkan status sosial-ekonomi ini makin jelas dan
menciptakan gated community. Keadaan ini tidak kondusif bagi pembangunan karena
menciptakan kecemburuan dan tensi sosial di masyarakat. Dari uraian diatas dapat
64
disimpulkan bahwa upaya untuk menghidupkan kembali nilai-nilai budaya sangat diperlukan
dan menjadi salah satu isu dalam upaya pemberdayaan masyarakat.
3.4 ISU BIDANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK
Salah satu bidang yang terdapat di BAPERMASPER & KB adalah bidang pemberdayaan
perempuan dan perlindungan anak. Hal ini terkait dengan masih banyaknya permasalahan
perempuan dan anak di Kota Semarang yang belum tertangani secara tuntas dan bahkan
belum semua permasalahan tersebut dapat terungkap. Perempuan dan anak merupakan
salah satu bagian penting yang harus ditangani terkait dengan adanya upaya pemberdayaan
perempuan dan anak di Kota Semarang. Beberapa isu dan permasalahan yang terkait dengan
keduanya, yaitu:
3.4.1. Rendahnya Kemandirian dan Pelecehan Terhadap Harkat Martabat Perempuan
Rendahnya kemandirian dan pelecehan terhadap harkat dan martabat perempuan di
Kota Semarang pada dasarnya saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan
lainnya. Beberapa indikasinya adalah dengan tingginya angka kekerasan terhadap
perempuan dan anak-anak di Kota Semarang. Permasalahan tingginya angka kekerasan
terhadap perempuan dan anak-anak di Kota Semarang terkait dengan masih sedikitnya
permasalahan-permasalahan terkait yang berhasil ditangani secara tuntas. Hal ini
disebabkan masih sedikitnya pihak-pihak yang dapat menyampaikan dan mewakili
permasalahan tersebut. Masih sedikit pihak yang mau peduli terhadap permasalah
perempuan dan anak. Hal ini dibuktikan dengan adanya catatan bahwa angka tertinggi
kekerasan terhadap perempuan di Provinsi Jawa Tengah terjadi di Kota Semarang, yaitu
sebanyak 150 kasus (Kompas, 2007). Selain itu juga menurut hasil kajian yang dilakukan
Legal Resources Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia Semarang, sepanjang
tahun 2007 terdapat rata-rata empat sampai lima perempuan meninggal perbulannya akibat
kekerasan berbasis gender (Kompas, 2007).
Melihat fakta di atas, maka kasus-kasus seperti di atas dan kasus-kasus lainnya yang
terkait dengan perempuan dan anak hendaknya dapat ditangani dan diminimalisir oleh
BAPERMASPER & KB Kota Semarang. Penempatan perempuan pada kursi parlemen dan
melibatkannya dalam organisasi-organisasi masyarakat merupakan suatu hal penting yang
harus dipertimbangkan. Dengan demikian, kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan
65
dapat sedikit banyak diatasi. Selain itu, dengan memberikan proporsi kursi parlemen bagi
perempuan, maka isu mengenai adanya ketidaksetaraan gender dapat juga dihindari.
Indikasi kedua ditunjukan dengan rendahnya partisipasi perempuan dalam Organisasai
Masyarakat (ORMAS) dan aktivitas perekonomian. Rendahnya partisipasi perempuan dalam
ORMAS dan aktivitas perekonomian berhubungan dengan adanya isu gender. Permasalahan
gender muncul sebagai salah satu permasalahan perkotaan di Kota Semarang dikarenakan
adanya rasa ketidakadilan dari sebagian perempuan dalam memperoleh hak-hak mereka. Di
Kota Semarang sendiri permasalahn gender ini dapat terlihat dari komposisi jumlah
perempuan di DPRD Kota Semarang 2004-2009 yakni hanya sebanyak 6 (enam) orang sekitar
13,33% dari 45 orang anggota DPRD Kota Semarang. Dimana jumlah tersebut belum
merepresentasikan partisipasi sesuai undang-undang. Rendahnya partisipasi perempuan ini
nantinya akan terkait dengan banyaknya permasalahan perempuan dan anak di Kota
Semarang yang dapat terungkap dan terselesiakan. Jadi peran serta perempuan dalam suatu
pemerintahan maupun ORMAS akan sangat membantu dalam pengungkapan dan
penyelesaian permasalahan perempuan dan anak di Kota Semarang, sehingga permasalahan
ini dapat diminimalisir dan bahkan teratasi semua.
3.4.2. Belum Terpenuhinya Hak-Hak Dasar Anak
Anak-anak memiliki setidaknya 5 (lima) hak dasar diantaranya hak untuk mendapatkan
pendidikan dasar hingga tingkat sekolah menengah pertama, berhak bebas dari kekerasan
dan eksploitasi yang dilakukan oleh pihak manapun, dan hak mendapatkan kehidupan yang
layak. Walaupun angka partisipasi sekolah (APS) pada tingkat SD hingga SMP di Kota
Semarang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain, namun di sisi lain masih
sering kita jumpai fenomena-fenomena yang dapat dikategorikan sebagai eksploitasi anak.
Pada sudut-sudut kota dan kawasan strategis perkotaan sering kita temui anak-anak balita
ya g digu aka sebagai alat u tuk
e arik si pati para pe ge is. Belu
lagi anak-anak
jalanan dengan berbagai profesi seperti pengemis, pengamen, penyemir sepatu, dan penjaja
koran tidak sedikit kita temukan di berbagai penjuru kota.
Belum terpenuhinya hak anak juga dapat dilihat dari hak untuk mendapatkan hidup
yang layak.
Kalau kita lihat saat ini di Kota Semarang masih terdapat permasalahan gizi buruk pada anak
balita. Hal ini umumnya terjadi pada balita di keluarga dengan tingkat kesejahteraan yang
66
rendah.
Permasalahan gizi buruk pada balita ini dapat diindikasikan melalui indikator
Human Development Index (HDI). Berdasarkan profil kesehatan Kota Semarang (2005),
terdapat kecenderungan peningkatan jumlah balita penderita gizi buruk selama lima tahun
terakhir. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2003 hingga 2005 terjadi fluktuasi jumlah
penderita gizi buruk, dari 0,63 pada tahun 2003 meningkat menjadi 1,23 pada tahun 2004
dan mengalami penurunan pada tahun 2005 menjadi 0,94. Demikian juga dengan jumlah
balita penderita gizi kurang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel III.1 berikut ini:
Tabel III.10
Prevalensi Status Gizi Balita Kota Semarang Tahun 2003-2005
Status Gizi
Gizi buruk
Gizi kurang
Gizi baik
Gizi lebih
2003
0,63
9,75
86,65
2,97
Prevalensi (Kasus)
2004
1,23
11,56
83,68
3,53
2005
0,94
11,09
85,98
1,99
Sumber: Profil Kesehatan Kota Semarang, 2005
Adapun data yang diperoleh dari Harian Suara Merdeka, disebutkan bahwa pada tahun
2005, Dinas Kesehatan Kota Semarang mencatat dari 109.025 balita terdapat 530 anak yang
berat badannya di bawah garis merah, dan 17 di antaranya positif menderita gizi buruk Pada
tahun 2006, dari 121.215 balita di Kota Semarang, 776 balita atau 0,64% diantaranya
berberat badan BGM. Namun dari 776 balita tersebut, 80 diantaranya paling rentan menjadi
gizi buruk. Hal tersebut dapat diindikasikan dari berat badan yang jauh dari rata-rata (Suara
Merdeka, 2006).
3.5 ISU BIDANG KELUARGA BERENCANA DI KOTA SEMARANG
Pada Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Berencana
(BAPERMASPER & KB) salah satu bidang yang penting yaitu bidang keluarga berencana. Hal
ini terkait dengan masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat mengenai pentingnya
turut serta mensukseskan program KB. Selain itu juga masih terdapat beberapa
permasalahan yang terkait dengan KB di Kota Semarang sebagai berikut:
3.5.1 Rendahnya Kesejahteraan dan Ketahanan Keluarga
Ketahanan dan pemberdayaan keluarga berhubungan dengan bagaimana suatu
keluarga dapat melangsungkan hidupnya, dan bertahan pada kondisi yang baik dari segala
67
bentuk permasalahan kehidupan keluarga. Ketahanan dan pemberdayaan ini dapat dikaitkan
dengan bagaimana suatu keluarga dapat memenuhi kebutuhan kesehatan dan gizi keluarga
serta bekerja.
Akan tetapi secara umum sebagian besar keluarga di Kota Semarang
kesadaran mengenai pemenuhan gizi dan kebutuhan kesehatan masih relatif rendah.
Hal ini dibuktikan dengan Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS)
di Kota Semarang pada tahun 2008 yang hanya berjumlah 1066 kelompok dengan jumlah
anggota UPPKS sebanyak 23.345 orang. Dari angka tersebut sekitar 17.392 orang (74,50%)
merupakan anggota penerima bantuan modal, 10.888 orang (46,64%) anggota yang
berusaha dan 12.475 (56,36%) merupakan anggota yang tidak berusaha. Selain itu, jika
ditinjau dari beberapa aspek peran serta masyarakat untuk ikut dalam UPPKS sebagian
mengalami kenaikan dan penurunan dari 2007 ke 2008. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel berikut ini:
Tabel III.11
Peranserta Masyarakat dalam Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS)
di Kota Semarang Tahun 2007-2008
No
1
2
3
4
Uraian
Perbandingan keluarga Prasejahtera dan Sejahtera 1
a. Jumalah anggota
b. Anggota berusaha
c. Pesentase
Perbandingan Bina Keluarga Balita
a. Jumlah kelompok BKB
b. Jumlah Kelompok BKB aktif
c. Jumlah keluarga aktif
d. Rata-Rata Keluarga/Kelompok
Perbandingan Bina Keluarga Remaja (BKR)
a. Jumlah kelompok BKR
b. Jumlah Kelompok BKR aktif
c. Jumlah keluarga aktif
d. Rata-Rata Keluarga/Kelompok
Perbandingan Bina Keluarga Lansia (BKL)
a. Jumlah kelompok BKL
b. Jumlah Kelompok BKL aktif
c. Jumlah keluarga aktif
d. Rata-Rata Keluarga/Kelompok
2007
2008
Perkembangan
25.904
12.511
48,30 %
23.345
10.888
46,64 %
Turun
Turun
Turun
289
278
5.350
19-20
288
285
5882
22-23
Turun
Naik
Naik
Naik
157
149
3.096
20-221
148
143
3.345
24-25
Turun
Turun
Naik
Naik
178
173
4.175
20-21
211
206
6.196
29-30
Naik
Naik
Naik
Naik
Sumber: BKB Kota Semarang, 2008
Berdasarkan pada kondisi tersebut maka dapat disimpulkan beberapa permasalahan yang
muncul yakni sebagai berikut: (1) Keterbatasan kader yang mampu dan bersedia, (2)
Keterbatasan sarana (APE, Kartu Kembang Anak, Buku Pedoman Kader), (3) Keterbatasan
dana operasional untuk pembinaan, pelatihan dan pelaporan, (4) Keterbatasan modal pada
68
bunga rendah, dan (5) Keterbatasan kemampuan anggota kelompok dalam mengelola,
memasarkan, menjaga mutu produksi dan pengelolaan keuangan
Tingkat kesejahteraan masyarakat Kota Semarang terkait juga dengan kondisi
kesehatan ibu dan anak. Kualitas kesehatan ibu dan anak dalam suatu keluarga berhubungan
dengan kemampuan suatu keluarga dalam mengakses kesehatan yang berkualitas.
Permasalahan gizi buruk pada anak balita sebagaimana telah diuraikan diatas erat kaitannya
dengan tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dikarenakan pada balita
pada keluarga dengan tingkat kesejahteraan rendah biasanya asupan gizi dan kondisi
kesehatannya kurang diperhatikan.
Kurangnya berat badan balita di Kota Semarang dapat disebabkan oleh banyak hal,
antara lain kurangnya gizi atau adanya kemungkinan menderita penyakit lain. Kekurangan
gizi sangat dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan masyarakat, kontaminasi makanan dan
minuman balita akibat lingkungan yang tidak sehat dan prioritas hidup lainnya selain
makanan bergizi. Di sisi lain, anggaran khusus untuk mengantisipasi bergesernya kasus BGM
menjadi gizi buruk belum maksimal. Oleh karenanya, diperlukan suatu tindakan tegas dari
semua pihak untuk mengurangi jumlah balita penderita gizi kurang dan buruk demi
peningkatan kualitas sumber daya manusia Kota Semarang yang lebih baik.
Indikasi lain dari rendahnya kesejahteraan dan ketahanan keluarga adalah tingginya
angka kematian ibu melahirkan. Hal ini didasarkan pada profile kesehatan Kota Semarang
bahwa pada tahun 2005 angka kematian ibu melahirkan di Kota Semarang mencapai 449
jiwa dan cenderung berfluktuasi dari tahun ke tahun. Apabila dibandingkan dengan angka
kematian ibu di tingkat nasional (307 jiwa), angka tersebut dinilai lebih tinggi, walaupun jika
dibandingkan dengan angka kematian ibu melahirkan di tingkat Jawa Tengah (509 jiwa)
masih lebih rendah (Kartu Penilaian Pengentasan Kemiskinan Kota Semarang, 2005 dan
Profil Kesehatan Kota Semarang, 2005).
69
Gambar 3.9
Perkembangan Jumlah Kematian Ibu di Kota Semarang Tahun 2002-2005
Sumber: Profil Kesehatan Kota Semarang Tahun 2005
Gambar 3.10
Perbandingan Jumlah Kematian Ibu
Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah dan Indonesia Tahun 2005
Sumber: Kartu Penilaian Pengentasan Kemiskinan Kota Semarang, 2005
3.5.2. Pertumbuhan Penduduk yang Relatif Tinggi
Tingginya pertumbuhan penduduk diakibatkan salah satunya oleh angka pertumbuhan
alamiah dimana tingkat fertilitas yang masih relatif tinggi. Hal ini disebabkan karena tingkat
kesadaran masyarakat di Kota Semarang untuk mengikuti program keluarga berencana (KB)
masih sangat rendah. Pada tahun 2008 pencapaian peserta KB baru Kota Semarang adalah
PB 39.286 jiwa atau 117,57% dari jumlah PPM yakni 33.414 jiwa. Sedangkan pencapaian
peserta KB baru adalah 196.876 jiwa atau 79,63% dari total pasangan usia subur (PUS)
sebanyak 247.228 jiwa.
Disamping itu partisipasi pria dalam Berpartisipasi dalam KB masih rendah.
Berdasarkan data dari badan KB Kota Semarang partisipasi pria dalam pemakaian alat
70
kontrasepsi sebsar 14.337 jiwa (7,28%) dari total peserta KB aktif (196.876 jiwa). Keaktifan
tersebut dapat dirinci dengan penggunaan MOP sebanyak 2.484 (17,32%) dan Kondom
sebanyak 11.853 jiwa (82.67%).
Partisipasi dalam mengadopsi IUD juga sangat rendah. Hal ini dapat ditunjukkan
dengan data penggunaan IUD tahun 2008 bagi peserta KB baru sebanyak 2.235 (5,69%) yang
mengalami kenaikan dari tahun 2007 sebanyak 1.724 jiwa. Sedangkan untuk peserta KB lama
penggunaan IUD mengalami penurunan pada tahun 2008 sebanyak 15.346 jiwa (6,21%) dan
2007 sebanyak 15.403 jiwa.
Masih adanya kasus komplikasi kegagalan KB diduga menjadi penyebab lain belum
optimalnya pembudayaan KB guna menekan pertumbuhan penduduk. Pada tahun 2008
kasus komplikasi dan kegagalan KB mengalami kenaikan. Dimana untuk kasus komplikasi KB
pada tahun 2007 sebanyak 6 kasus dan pada 2008 menjadi 12 kasus. Sedangkan untuk
kegagalan KB pada tahun 2007 sebanyak 10 kasus dan 2008 menjadi 15 kasus.
Permasalahan tingginya laju pertumbuhan alami penduduk terkait juga dengan tidak
berfungsinya secara optimal kelembagaan dan jejaring KB. Program Penguatan Kelembagaan
dan jaringan KB di Kota Semarang, erat kaitannya dengan Institusi Masyarakat Perkotaan
(IMP). Institusi ini merupakan institusi di tingkat lini lapangan (kelurahan ke bawah) sebagai
tenaga relawan yang mempunyai peran bantu pelaksanaan program keluarga berencana,
sehingga mempunyai peran yang sangat strategis serta sebagai ujung tombak suksesnya
program KB Nasional. IMP ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Tabel III.12
Klasifikasi IMP di Kota Semarang
No
1
2
3
Uraian
Dasar
Berkembang
Mandiri
PPKBD
Jumlah
%
0
0
25
14,12
152
87,88
Sub PPKBD
Jumlah
%
176
12,12
593
43,62
595
43,62
KLP. KS
Jumlah
%
1.789
20,79
3.374
43,40
3.080
38,80
Sumber: BKB Kota Semarang, 2008
Berdasarkan beberapa data di atas maka dapat disimpulkan permasalahan bidang
Program Penguatan Kelembagaan dan jaringan KB adalah sebagai berikut: (1) Keterbatasan
kuantitas dan kulitas Kader terkait dengan adanya kesulitan pengkaderan; (2) Dana
Operasional bari sampai di tingkat PPKBD/ SKD; dan (3) Pemahaman Program KB Sebagai
investasi jangka panjang belum dipahami masyarakat luas.
71
Terkait permasalahan bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera, tentu saja
keberadaan BAPERMASPER & KB di Kota Semarang diharapkan dapat menjembatani dalam
penetapan kebijakan yang terkait dan penyelesaian permasalahan di atas. Teratasinya
permasalahan di atas, diharapkan tingkat kesejahteraan masyarakat di Kota semarang dapat
meningkat.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi juga terkait dengan kurang efektifnya
penanganan permasalahan keseharan dan reproduksi remaja (KRR). Pada kenyataannya
masih sedikit masyarakat Kota Semarang yang memahami pengetahuan dan permasalahan
yang terkait dengan reproduksi remaja. Akibatnya muncul permasalahan terkait dengan
reproduksi remaja yakni masih sangat terbatasnya akses informasi tentang KRR di
masyarakat. Hal ini mendorong ketidaktahuan remaja yang memasuki usia perkawinan pada
usia yang belum matang. Di Kota Semarang jumlah PUS yang berada di bawah usia 20 tahun
yakni sebesar 1 %. Kondisi ini juga didukung dengan masih sedikitnya Pusat Informasi dan
Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK KRR) yang hanya berjumlah 19 kelompok di
Kota Semarang.
3.6 REKAPITULASI ISU DI BIDANG PEMBERDAYAAN MASAYARAKAT, PEREMPUAN DAN
KELUARGA BERENCANA DI KOTA SEMARANG
Berdasarkan pada uraian di atas maka isu dan permasalahn yang muncul tiap bidang di
atas yang terkait dengan bidang pemberdayaan perempuan dan anak, masyarakat dan
kelurga berencana dapat diringkas dalam tabel berikut ini:
TABEL III.13
Isu Bidang Perempuan dan Anak, Pemberadayaan Masyarakat dan Keluarga Berencana
di Kota Semarang
No
1
ISU
Masih Rendahnya
Partisipasi Masyarakat Kota
Semarang dalam Penggalian
Potensi SDA dan Penerapan
TTG
FAKTA
Belum dikembangkannya potensi pertanian tanaman pangan di Kota
Semarang:
Jumlah produksi beberapa komoditas tanaman pangan mencapai 6.383
ton pada tahun 2003 dengan luas lahan pertanian 27.093,84 Ha yang
terdiri dari lahan sawah 3.976,03 ha dan lahan ladang 23.117,81 ha
(www.semarang.go.id, diakses tanggal 17 Juni 2009).
Rendahnya partisipasi masyarakat untuk mengembangkan pertanian
Kota Semarang yang ditunjukkan dengan sedikitnya penduduk Kota
Semarang yang bermata pencaharian sebagai petani yakni hanya 2%
(Podes Jawa Tengah Tahun 2003).
Kecenderungan penduduk Kota semarang lebih memilih bekerja di luar
bidang peternakan dan pertanian
72
No
2
ISU
Masih Rendahnya
Partisipasi Masyarakat
dalam Pengelolaan
Lingkungan dan Penerapan
TTG
FAKTA
Belum semua keluarga di Kota Semarang sudah memiliki sistem
pembuangan limbah berupa jamban sendiri:
92 % Kelurahan di Kota Semarang telah memiliki sistem pembuangan
limbah berupa jamban sendiri, 1% menggunakan sistem pembuangan
bukan jamban, 2 % menggunakan jamban bersama, dan 5 %
menggunakan jamban umum
Beberapa lokasi di Kota Semarang
masih memiliki beberapa
permasalahan saluran drainase:
Sebagian besar kelurahan di Kota Semarang memiliki drainase dengan
kondisi lancar (86 %), sedangkan lainnya memiliki kondisi yang tergenang
(2%), tidak ada saluran (1 %) dan tidak lancar (11%).
Saluran drainase pada daerah Semarang bawah yang dekat dengan
daerah pesisir masih bermasalah
Minimnya Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Penerapan TTG:
Teknologi tepat guna dalam pengelolaan lingkungan sudah banyak
ditemukan, misalnya teknologi penjernihan air, komposting sampah,
sumur resapan, biopori, dan lain sebagainya; namun penerapannya di
tingkat komunitas masih relatif minim.
3
Rendahnya Kapasitas
Sumber Daya Manusia
untuk Pengembangan
Ekonomi
Sebagian besar masyarakat di Kota Semarang bermata pencaharian
sebagai buruh
Mata pencaharian yang mendominasi di sebagian besar kelurahan di Kota
Semarang adalah buruh sebesar 49%, kemudian disusul oleh mata
pencaharian sebagai PNS sebesar 7%, petani sebesar 2%, pedagang
sebesar 2%, pengusaha sebesar 2% dan pensiunan 1%. Sedangkan
sisanya sebesar 38% yang bermata pencaharian lain-lain
Di Kota Semarang terdapat beberapa daerah yang masyarakatnya masih
miskin:
Masih terdapat beberapa kelurahan yang tingkat penerimaan surat
miskinnya masuk kategori tinggi yakni Kelurahan Plalangan di Kecamatan
Gunungpati, Kelurahan Lamper Lor di Kecamatan Semarang Selatan,
serta Kelurahan Karangroto dan Bangetayu Wetan di Kecamatan Genuk
Rendahnya pendapatan rumah tangga per bulan:
Pendapatan perkapita Kota Semarang Rp 19 juta/tahun (Rp 1,6
juta/bulan)
Pendapatan perkeluarga adalah Rp. 6,4 juta/bulan dengan asumsi
keluarga terdiri empat orang
Pada kenyataannya sangat banyak keluarga yang hanya mempunyai
pendapatan Rp 640 ribu perbulan (www. berpolitik.com, 2008)
4
Masih Lemahnya Jejaring
Pengembangan Ekonomi
Masyarakat
Kegagalan masyarakat untuk keluar dari jebakan kemiskinan dan menuju
kemandirian ekonomi:
Kurangnya kemampuan masyarakat dalam mengakses faktor-faktor
ekonomi terutama seperti bantuan modal, teknis, peralatan, dan
informasi.
Kemampuan akses tersebut akan optimal jika jejaring pengembangan
ekonomi masyarakat sudah terbangun dengan baik dan mantap.
Jejaring tersebut akan mempermudah bertemunya kelompok masyarakat
atau kelompok usaha sebagai beneficaries, pemerintah sebagai
fasilitator, maupun donor serta pihak-pihak berkepentingan lainnya.
Jejaring akan memberikan keuntungan bagi pengembangan ekonomi
masyarakat karena mampu mempercepat arus informasi dan
73
No
ISU
FAKTA
pengetahuan, disamping memudahkan dalam upaya mengalokasikan
berbagai macam bantuan modal, bantuan teknis, maupun peralatan.
5
Masih Rendahnya
Partisipasi Kelembagaan
Masyarakat dalam Proses
Pembangunan
Peran kelembagaan masih bersifat administratif saja:
Ditengarai bahwa kelembagaan masyarakat yang ada di tingkat kelurahan
seperti (RT/RW) masih bersifat administratif saja. Peran kelembagaan
tersebut selalu diasosiasikan dengan lembaga yang membantu
penerbitan surat pengantar bagi mereka yang akan memproses
permohonan KTP, Kartu Keluarga, dan mengorganisasikan keamanan
lingkungan secara swadaya.
Indikasi lain dari belum optimalnya partisipasi kelembangaan lokal dapat
di lihat ketika bantuan-bantuan atau stimulan yang diberikan oleh
pemerintah belum bisa ditangkap dengan baik dan teralokasikan sesuai
kepada target sasaran program. Sehingga seringkali kita jumpai programprogram bantuan yang tujuannya secara filosofis sangat ideal, namun
dalam implementasinya di lapangan tidak membawa hasil sebagaimana
yang diharapkan.
Peran kelembagaan masyarakat yang ada (RT/RW) tersebut dapat
ditingkatkan untuk menumbuhkembangan partisipasi masyarakat dalam
berbagai bidang pembangunan yang terkait dengan pengelolaan dan
perlindungan SDA, penerapan TTG, penggalakan budaya KB serta hidup
sehat, dan lain sebagainya. Dari perspektif ini terlihat keterkaitan yang
erat diantara bidang kelembagaan dan bidang-bidang lainnya dalam
rangka pemberdayaan masyarakat.
6
Lunturnya Nilai-Nilai
Budaya Masyarakat dalam
Pembangunan
Nilai-nilai budaya masyarakat semakin redup dan berganti dengan nilainilai seperti individualisme dan egoisme:
Semakin jarang dijumpainya kegiatan gotong royong di lingkungan
masyarakat, khususnya di daerah perkotaan, dalam rangka pemeliharaan
kebersihan, kesehatan, dan keamanan lingkungan.
Anggapan bahwa urusan tersebut menjadi tanggung jawab aparatur
pemerintah dan mulai munculnya kecenderungan bahwa masyarakat
menyerahkan urusan-urusan tersebut secara komersial kepada pihak
yang lain. Keakraban dan jiwa kerjasama diantara masyarakat dengan
demikian juga sedikit demi sedikit akan hilang.
Terjadi sekat-sekat diantara masyarakat berdasarkan status sosialekonomi. Kepedulian sosial kepada masyarakat lain semakin pudar
menciptakan gated community.
Keadaan ini tidak kondusif bagi pembangunan karena menciptakan
kecemburuan dan tensi sosial di masyarakat.
Kasus lingkungan dan pelanggaran hak kaum miskin kota sebagai akibat
lunturnya nilai budaya masyarakat:
Berdasar catatan LBH Kota Semarang terjadi kasus-kasus lingkungan
sebagian besar terjadi dan 60% kasus pelanggaran hak kaum miskin kota
(Suara Merdeka, 2004)
7
Rendahnya Kemandirian
dan Pelecehan Terhadap
Harkat Martabat
Perempuan
Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak:
Angka tertinggi kekerasan terhadap perempuan di Provinsi Jawa Tengah
terjadi di Kota Semarang, yaitu sebanyak 150 kasus (Kompas, 2007)
Sepanjang tahun 2007 terdapat rata-rata empat sampai lima perempuan
meninggal perbulannya akibat kekerasan berbasis jender berdasarkan
Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia
Semarang, (Kompas, 2007)
74
No
ISU
FAKTA
Rendahnya partisipasi perempuan dalam ORMAS dan perekonomian:
Jumlah anggota DPRD perempuan Kota Semarang 2004-2009 sebanyak 6
orang, sekitar 13,33% dari 45 orang anggota DPRD Kota Semarang
Rendahnya partisipasi perempuan dalam Pilkada:
Rendahnya partisipasi perempuan dalam pilkada merepresentasikan
tingkat kesetaraan gender dan etnis, di Kota Semarang
Berdasar hasil pilkada putaran pertama di 160 daerah, masih sedikitnya
jumlah kepala daerah perempuan yang terpilih Dari 160 kepala daerah
yang terpilih, hanya ada 6 perempuan yang menjadi kepala daerah dan
wakil kepala daerah (1,8%) (
ISU DI BIDANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT, PEREMPUAN DAN
KELUARGA BERENCANA DI KOTA SEMARANG
Penyusunan Rencana Strategis BAPERMAS PEREMPUAN & KB Kota Semarang sangat
terkait erat dengan isu yang muncul di bidang pengembangan sumber daya alam (SDA),
lingkungan dan teknologi tepat guna (TTG); pengembangan ekonomi masyarakat;
kelembagaan dan sosial budaya masyarakat serta pemberdayaan perempuan dan keluarga
berencana di Kota Semarang. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi isu beserta faktafakta pendukungnya pada masing-masing bidang tersebut. Berikut ini beberapa isu bidang
pemberdayaan masyarakat, perempuan dan keluarga berencana (KB) di Kota Semarang yang
berhasil diidentifikasi beserta fakta-faktanya:
3.1 ISU BIDANG PENGEMBANGAN SUMBER DAYA ALAM (SDA), LINGKUNGAN DAN
TEKNOLOGI TEPAT GUNA (TTG)
Keberlanjutan dan pengembangan SDA, lingkungan dan penerapan teknologi tepat
guna dipengaruhi oleh peran serta dari masyarakat dan perempuan sebagai pihak yang
terkait langsung yakni sebagai pengguna maupun sebagai pihak yang terkena dampak dari
ketiga hal tersebut. Oleh karena itu diperlukan pengidentifikasian isu yang terkait dengan
pengembangan sumber daya alam (SDA), lingkungan dan teknologi tepat guna, sebagai
pertimbangan dan masukan dalam menetapkan Renstra BAPERMASPER & KB Kota
Semarang. Isu-isu tersebut diantaranya sebagai berikut:
3.1.1 Masih Rendahnya Partisipasi Masyarakat Kota Semarang dalam Penggalian Potensi
SDA dan Penerapan TTG
Masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam penggalian potensi SDA salah satunya
dapat dilihat pada pemanfaatan lahan. Lahan di Kota Semarang sebagian masih berupa
lahan pertanian, terutama lahan yang terdapat di daerah pinggiran seperti daerah
Gunungpati, Mijen, Ngaliyan, Tembalang, Pedurungan dan Genuk. Lahan-lahan tersebut
sebagian masih menghasilkan beberapa komoditas pertanian. Dimana komoditas pertanian
tersebut merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
Kota Semarang. Sumber daya tersebut jika diolah akan turut berkontribusi pada tingkat
51
kesejahteraan masyarakat. Komoditas pertanian di Kota Semarang antara lain mencakup
tanaman bahan makanan seperti, padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah,
sayur-sayuran, buah-buahan, kacang hijau dan tanaman pangan lainnya. Berikut ini adalah
penjelasan singkat atas beberapa komoditas pertanian yang masih terdapat di Kota
Semarang:
Produksi Jagung
Secara umum komoditas jagung di Kota Semarang hanya dihasilkan oleh beberapa
kecamatan. Pada tahun 2003 Kota Semarang menghasilkan komoditas jagung sebanyak
271 ton. Adapun kecamatan yang menghasilkan komoditas jagung di Kota Semarang
pada tahun 2003 adalah Kecamatan Mijen (13 ton), Kecamatan Gunungpati (108 ton),
Kecamatan Tembalang (60 ton) dan Kecamatan Ngaliyan (1 ton). Untuk daerah lainnya
di Kota Semarang tidak menghasilkan komoditas jagung. Hal ini dikarenakan adanya
keterbatasan lahan pertanian di daerah-daerah lainnya di Kota Semarang. Adapun
rincian daerah pengahsil komoditas jagung di Kota Semarang Tahun 2003 dapat dilihat
pada Tabel III.1
Tabel III.1
Produksi Jagung di Kota Semarang Tahun 2003
No
Kecamatan
Kelurahan
Produksi (ton)
1
Gunungpati
Pakintelan
Kalisegoro
Sekaran
Rowosari
Jatibarang
Bubakan
Polaman
Ngaliyan
108
24
10
60
10
2
1
1
216
2
3
Tembalang
Mijen
4
Ngaliyan
Jumlah
Persentase
Kecamatan
65,74
27,78
6,02
0,46
100
(%)
Persentase (%)
Kelurahan
50,00
11,11
4,63
27,78
4,63
0,93
0,46
0,46
100
Sumber: Potensi Desa Provinsi Jawa Tengah, 2003
65,74%
Gunungpati
Tembalang
Mijen
Ngaliyan
27,78%
0,46% 6,02%
Gambar 3.1
Prosentase Produksi Komoditas Jagung Di Kota Semarang Tahun 2003
Sumber: Analisis Penyusun, 2009
52
Produksi Kedelai
Sama halnya dengan komoditas jagung, komoditas kedelai hanya dihasilkan oleh
beberapa kelurahan di beberapa kecamatan di Kota Semarang. Produksi kedelai di Kota
Semarang pada tahun 2003 mencapai 684 ton. Produksi kedelai di Kota Semarang
antara lain dihasilkan oleh Kecamatan Mijen (324 ton), Kecamatan Gungungpati (167
ton), Kecamatan Semarang Timur (108 ton), Kecamatan Ngaliyan (11 ton), Kecamatan
Tembalang (51 ton), dan Kecamatan Banyumanik (23 ton). Sedangkan pada daerah lain
di Kota Semarang, komoditas kedelai tidak dihasilkan karena minimnya ketersediaan
lahan untuk area pertanian
Tabel III.2
Produksi Kedelai di Kota Semarang Tahun 2003
No
1
2
3
4
5
Kecamatan
Gunungpati
Semarang Timur
Mijen
Ngaliyan
Tembalang
6
Banyumanik
Jumlah
Kelurahan
Sukorejo
Kalisegoro
Sadeng
Purwosari
Jatibarang
Purwosari
Bubakan
Gondoriyo
Rowosari
Meteseh
Bulusan
Banyumanik
Produksi (ton)
34
108
25
108
108
108
108
11
42
5
4
23
684
Persentase (%)
Kecamatan
24,42
15,79
47,37
1,61
7,46
3,36
100
Persentase (%)
Kelurahan
4,79
15,79
3,65
15,79
15,79
15,79
15,79
1,61
6,14
0,73
0,58
3,36
100
Sumber: Potensi Desa Provinsi Jawa Tengah, 2003
15,79%
47,37%
24,42%
3,36%
7,46% 1,61%
Gunungpati
Semarang Timur
Mijen
Ngaliyan
Tembalang
Banyumanik
Gambar 3.2
Prosentase Produksi Komoditas Kedelai Di Kota Semarang Tahun 2003
Sumber: Analisis Penyusun, 2009
Produksi Ketela Pohon
Produksi ketela pohon di Kota Semarang pada tahun 2003 mencapai 548 ton. Produksi
komoditas ketela pohon diantranya dihasilkan di Kecamatan Gunungpati (318 ton),
53
Kecamatan Tembalang (120 ton), Kecamatan Mijen (109 ton), Kecamatan Ngliyan (1
ton).
Tabel III.3
Produksi Ketela Pohon di Kota Semarang Tahun 2003
No
Kecamatan
Kelurahan
Produksi (ton)
1
Gunungpati
Pakintelan
Sekaran
Bubakan
Gondoriyo
Rowosari
256
62
109
1
120
548
3
Mijen
4
Ngaliyan
5
Tembalang
Jumlah
Persentase (%)
Kecamatan
58,03
19,89
0,18
21,90
100
Persentase
Kelurahan
46,72
11,31
19,89
0,18
21,90
100
(%)
Sumber: Potensi Desa Provinsi Jawa Tengah, 2003
58,03
Gunungpati
Mijen
Ngaliyan
Tembalang
21,90
19,89%
0,18%
Gambar 3.3
Prosentase Produksi Komoditas Ketela Pohon Di Kota Semarang Tahun 2003
Sumber: Analisis Penyusun, 2009
Produksi Ketela Rambat
Produksi ketela rambat di Kota Semarang pada tahun 2003 mencapai 378 ton, yang
tersebar di Kecamatan Mijen (113 ton), Kecamatan Ngaliyan (106 ton), Kecamatan
Gunungpati, (103 ton) Kecamatan Banyumanik (38 ton), Kecamatan Tembalang (106
ton) dan Kecamatan Semarang Utara (116 ton).
Tabel III.4
Produksi Kedelai di Kota Semarang Tahun 2003
No
Kecamatan
Kelurahan
Produksi (ton)
1
Gunungpati
Pakintelan
Nongkosawit
Sadeng
Kalisegoro
Jatirejo
Cepoko
Jatibarang
Purwosari
Bubakan
70
15
6
5
3
4
6
1
106
3
Mijen
Persentase (%)
Kecamatan
27,84
30,54
Persentase
Kelurahan
18,92
4,05
1,62
1,35
0,81
1,08
1,62
0,27
28,65
(%)
54
No
Kecamatan
Kelurahan
Produksi (ton)
4
5
Ngaliyan
Tembalang
Ngaliyan
Bulusan
Rowosari
Purwosari
Banyumanik
106
6
3
1
38
370
6
Semarang Utara
7
Banyumanik
Jumlah
Persentase (%)
Kecamatan
28,65
2,43
0,27
10,27
100
Persentase
Kelurahan
28,65
1,62
0,81
0,27
10,27
100
(%)
Sumber: Potensi Desa Provinsi Jawa Tengah, 2003
30,54%
27,84%
1,270% 027% 2,43%
28,65%
Gunungpati
Mijen
Ngaliyan
Tembalang
Semarang Utara
Banyumanik
Gambar3.4
Prosentase Produksi Komoditas Ketela Rambat Di Kota Semarang Tahun 2003
Sumber: Analisis Penyusun, 2009
Produksi Padi
Produksi padi di Kota Semarang pada tahun 2003 mencapai 4441 ton. Produksi padi di
Kota Semarang sendiri tersebar di beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Gunung Pati
sebanyak 2358 ton (52,52%), Kecamatan Mijen sebanyak 1113 ton (27,9%), Kecamatan
Tembalang sebanyak 358 ton (8,80%), Kecamatan Ngaliyan sebanyak 381 ton (8,48%),
Kecamatan Semarang Utara sebanyak 131 ton (2,92%), Kecamatan Banyumanik
sebanyak 89 ton (1,98%) dan Kecamatan Semarang Barat sebanyak 2 ton (0,04%).
Adapun riciannya adalah sebagai berikut:
Tabel III.5
Produksi Padi di Kota Semarang Tahun 2003
No
1
Kecamatan
Gunungpati
2
Mijen
4
Ngaliyan
5
Tembalang
6
Semarang Barat
7
Semarang Utara
8
Banyumanik
Jumlah
Kelurahan
Pakintelan, Sadeng, Sekaran, Pongangan,
Jatirejo, Ngijo, Patemon, Nongkosawit, Cepoko,
Mangunsari, Kandri, Sumurejo, Kalisegoro
Jatibarang, Polaman, Jatisari, Purwosari,
Tambangan, Cangkiran dan Bubakan
Ngaliyan
Meteseh
Banyumanik
2358
Produksi (ton)
Persentase (%)
53,10
1113
25,06
381
8,58
8,06
0,05
2,95
2,21
100
358
2
131
89
4441
Sumber: Potensi Desa Provinsi Jawa Tengah, 2003
55
8,58%
25,06%
53,10%
8,06%
2,95%
0,05%
Gunungpati
Mijen
Ngaliyan
Tembalang
Semarang Utara
Banyumanik
Semarang Barat
2,21%
Gambar 3.5
Prosentase Produksi Komoditas Padi Di Kota Semarang Tahun 2003
Sumber: Analisis Penyusun, 2009
Produksi Kacang Tanah
Produksi komoditas kacang tanah di Kota Semarang pada tahun 2003 mencapai 124
ton. Produksi komoditas tersebut tersebar di beberapa kecamatan yaitu Kecamatan
Gunungpati (81 ton), Kecamatan Mijen (2 ton) dan kecamatan Tembalang (41 ton).
Sedangkan untuk daerah lainnya di Kota Semarang tidak mengahsilkan komoditas
kacang tanah. Untuk lebih detailnya dapat dilihat pada Tabel III.6
Tabel III.6
Produksi Kacang Tanah di Kota Semarang Tahun 2003
No
Kecamatan
Kelurahan
Produksi (ton)
1
Gunungpati
Pakintelan
Sekaran
Polaman
Rowosari
63
18
2
41
124
2
Mijen
3
Tembalang
Jumlah
Persentase (%)
Kecamatan
65,32
1,31
33,06
100
Persentase
Kelurahan
50,8
14, 52
1,61
33, 06
100
(%)
Sumber: Potensi Desa Provinsi Jawa Tengah, 2003
65,32%
33,06%
Gunungpati
Mijen
Tembalang
1,31%
Gambar 3.6
Prosentase Produksi Komoditas Kacang Tanah Di Kota Semarang Tahun 2003
Sumber: Analisis Penyusun, 2009
Berdasarkan data beberapa komoditas pertanian di atas dapat diketahui bahwa pada
tahun 2003 produksi komoditas pertanian Kota Semarang sebanyak 6383 ton yang tersebar
di beberapa kecamatan. Dimana sebagian besar kecamatan penghasil komoditas pertanian
tersebut berada di daerah pinggiran Kota Semarang. Adapun komoditas pertanian terbesar
56
yang dihasilkan adalah padi sebanyak 69,58% dari total komoditas pertanian yang dihasilkan,
kemudian disusul oleh komoditas kedelai sebesar 10,72 % dan yang paling sedikit adalah
komoditas kacang tanah yang hanya 1,94 % dari total komoditas yang dihasilkan di Kota
Semarang.
Tabel III.7
Produksi Pertanian Tanaman Pangan di Kota Semarang Tahun 2003
No
1
Komoditas
Jagung
2
Kedelai
3
Ketela Pohon
4
Ketela Rambat
5
Padi
6
Kacang Tanah
Jumlah
Kecamatan
Gunungpati, Tembalang, Mijen,
Ngaliyan
Gunungpati, Semarang Timur, Mijen
Ngaliyan, Tembalang, Banyumanik
Gunungpati, Mijen, Ngaliyan,
Tembalang
Gunungpati, Mijen, Ngaliyan,
Tembalang, Semarang Utara,
Banyumanik
Gunungpati, Mijen, Ngaliyan,
Tembalang, Semarang Barat,
Semarang Utara, Banyumanik
Gunungpati, Mijen, Tembalang
Produksi (ton)
Persentase (%)
216
3,38
684
10,72
548
8,59
370
5,80
4441
69,58
124
6383
1,94
100
Jumlah
Sumber: Potensi Desa Provinsi Jawa Tengah, 2003 & analisis penyusun
4500
4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
Jagung
Kedelai
Ketela
Pohon
Ketela
Rambat
Komoditas
Padi
Produksi (ton)
Gambar 3.7
Jumlah Produksi Komoditas Pertanian Tanaman Pangan Di Kota Semarang Tahun 2003
Sumber: Analisis Penyusun, 2009
Dengan jumlah penduduk yang tinggi dan membutuhkan ketersediaan pangan yang
cukup besar, sebenarnya pertanian tanaman pangan di Kota Semarang sangat berpotensi
untuk dikembangkan. Walapun jumlah produksi pertanian yang dihasilkan tidak terlalu besar
jika dibandingkan dengan produksi pertanian tanaman pangan di daerah sekitarnya seperti
Kabupaten Semarang yang mencapai 223.797 ton (www.semarangkab.go.id, diakses tanggal
17 Juni 2009), namun ada peluang yang bisa dijadikan sebagai media pemberdayaan
masyarakat dalam pengelolaan SDA.
57
Potensi ini dapat dimanfaatkan menjadi kemampuan riil melalui penerapan teknologi
tepat guna dan ramah lingkungan untuk pemanfaatan sumber daya alam tersebut.
Pemanfaatan potensi ini dapat dilaksanakan dengan optimal melalui keterlibatan
masyarakat dan dunia usaha. Akan tetapi hal ini terkendala dengan rendahnya partisipasi
masyarakat untuk mengembangkan pertanian Kota Semarang yang ditunjukkan dengan
sedikitnya penduduk Kota Semarang yang bermata pencaharian sebagai petani yakni hanya
2% (Podes Jawa Tengah Tahun 2003).
3.1.2 Masih Rendahnya Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan dan
Penerapan TTG
Masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dapat dilihat
dari kondisi lingkungan dan sarana prasarana Kota Semarang. Partisipasi dan pemberdayaan
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan penerapan TTG akan menetukan
keberlanjutannya lingkungan itu sendiri. Oleh karena itu uraian berikut akan memaparkan
sejumlah fakta yang terkait dengan kondisi lingkungan dan sarapras di Kota Semarang.
Kondisi Sanitasi (Jamban)
Sebagian besar kelurahan di Kota Semarang (92 %) telah memiliki sistem pembuangan
limbah yang berupa jamban sendiri, sedangkan lainnya menggunakan sistem pembuangan
bukan jamban (1%), jamban bersama (2 %), dan jamban umum (5 %). Penggunaan jamban
individu tersebar dan mendominasi hampir di setiap kecamatan di Kota Semarang,
sedangkan pengguna sistem pembuangan lain dirinci sebagai berikut :
Tabel III.8
Sistem Pembuangan di Kota Semarang
No Jenis sistem pembuangan
1
2
3
Kecamatan
Kelurahan
Mijen
Karangmalang
Sistem pembuangan bukan jamban
Banyumanik
Jabungan
Mijen
Jatibarang
Gunungpati
Mangungsari
Sistem jamban bersama
Semarang Utara
Kuningan
Tugu
Randugarut , Mangunharjo
Ngaliyan
Bamban Kerep
Mijen
Kedungpane
Gunungpati
Kandri
Semarang Timur
Karangturi
Sistem jamban umum
Semarang Utara
Dadapsari, Tanjungsari, dan Bandarharjo
Semarang Tengah
Kembangsari
Ngaliyan
Podorejo
Sumber: www.semarang.go.id, Diakses 17 Juni 2009
58
Berdasarkan data diatas, dapat diketahui bahwa sebagian besar lingkungan tempat
tinggal masyarakat di Kota Semarang sudah memiliki saluran pembuangan (jamban) sendiri.
Akan tetapi sebagian juga masih ada yang menggunakan sistem pembuangan bukan jamban,
sistem jamban bersama dan sistem jamban umum sebanyak 8 %. Kota Semarang yang
notabennya merupakan kota metropolitan seharusnya seluruh masyarakatnya sudah
menggunakan jamban sendiri. Angka 8% tersebut menjadi perhatian BAPERMASPER & KB
bersama dengan instansi terkait lainnya agar hal tersebut tidak menimbulkan pemasalahan,
khususnya yang terkait dengan kebersihan dan kesehatan lingkungan tempat tinggal
masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan memberdayakan masyarakat setempat dalam
menjaga lingkungannya.
Kondisi Saluran Drainase
Sebagian besar kelurahan di Kota Semarang memiliki drainase dengan kondisi lancar
(86 %), sedangkan lainnya memiliki kondisi yang tergenang (2 %), tidak ada saluran (1 %) dan
tidak lancar (11%). Kondisi drainase lancar mendominasi sebagian besar kelurahan di Kota
Semarang, sedangkan kondisi drainase lainnya tersebar sebagai berikut :
Tabel III.9
Kondisi Drainase di Kota Semarang
No
Kondisi Drainase
1
Tergenang
2
Tidak ada saluran
3
Tidak lancar
Kecamatan
Semarang Selatan
Semarang Utara
Mijen
Banyumanik
Ngaliyan
Pedurungan
Genuk
Gayamsari
Semarang Timur
Semarang Timur
Semarang Tengah
Semarang Barat
Tugu
Kelurahan
Bulustalan
Kuningan, Tanjungmas
Polaman
Jabungan
Ngadirgo
Tlogosari Kulon
Karangroto
Siwalan, Sambirejo, Kaligawe, Tambakrejo
Kebonagung, Mlatibaru, Rejomulyo, Kemijen
Bulu Lor, Plombokan, Panggung Lor, Dadap Sari
Karang Kidul
Karang Ayu, Tawang Mas
Randugarut
Sumber: www.semarang.go.id, Diakses 17 Juni 2009
Sama halnya dengan kondisi sanitasi, kondisi saluran drainase di Kota Semarang
sebagian juga masih bermasalah. Terutama pada daerah semarang bawah yang dekat
dengan daerah pesisir seperti yang diterangkan pada Tabel III.10 di atas. Kondisi kelancaran
dan opimalnya fungsi drainase di Kota Semarang erat kaitannya dengan prilaku masyarakat
59
Kota Semarang itu sendiri. Dalam hal ini prilaku sebagian masyarakat yang masih membuang
sampah di sungai dan semakin bayaknya konversi lahan dari lahan non terbangun menjadi
terbangun di daerah Semarang atas seperti Gunungpati, Mijen dan daerah Kabupaten
Semarang, yang pada dasarnya sebagai daerah penyangga.
Pada sisi lain walaupun teknologi tepat guna dalam pengelolaan lingkungan sudah
banyak ditemukan, misalnya teknologi penjernihan air, komposting sampah, sumur resapan,
biopori, dan lain sebagainya; namun penerapannya di tingkat komunitas masih relatif minim.
Terkait dengan hal tersebut, maka keberadaan BAPERMASPER & KB memiliki peran yang
strategis untuk mengambil bagian dalam memberdayakan dan membangun perilaku
masyarakat yang sadar lingkungan.
3.2 ISU BIDANG PENGEMBANGAN EKONOMI MASYARAKAT
Ketidakberdayaan menjadi permasalahan klasik dalam pengembangan ekonomi
masyarakat. Sedangkan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan menjadi tujuan dari
pengembangan ekonomi masyarakat. Ketidakberdayaan secara ekonomi masyarakat dapat
ditinjau dari rendahnya tingkat pendapatan setiap rumah tangga. Pendapatan perkapita Kota
Semarang secara umum sebesar Rp 19 juta/tahun atau Rp 1,6 juta/bulan. Ini berarti
pendapatan rata-rata perkeluarga adalah Rp. 6,4 juta/bulan dengan asumsi keluarga terdiri 4
(empat) orang. Namun, pada kenyataannya sangat banyak keluarga yang hanya mempunyai
pendapatan Rp 640 ribu perbulan. Hal tersebut tentu saja merupakan suatu hal yang sangat
ironis.
Pada tahun 2003, 93% kelurahan di Kota Semarang memiliki jumlah persebaran
keluarga sejahtera dan prasejahtera yang relatif sedikit (0-210 keluraga/ kelurahan). Adapun
5% kelurahan memiliki jumlah persebaran keluarga sejahtera dan prasejahtera sedang (211685 keluraga/ kelurahan). Sedangkan kelurahan dengan jumlah persebaran keluarga
sejahtera dan prasejahtera kategori tinggi (686- 1626 keluraga/ kelurahan) masih 2 %.
Adapun pada tahun yang sama, persebaran masyarakat Kota Semarang yang menerima
surat miskin dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) kelompok yakni kelurahan dengan jumlah
penerima surat miskin rendah (0-28 orang/kelurahan), sedang (29-269 orang/kelurahan) dan
tinggi (270-562 orang/kelurahan). Terdapat beberapa kelurahan yang sebagian besar
masyarakatnya masih menerima surat miskin. Kelurahan yang tingkat penerimaan surat
miskinnya termasuk kategori sedang diantaranya sebagai berikut:
60
Kecamatan Ngaliyan terdapat di Kelurahan Bamban Kerep
Kecamatan Gajahmungkur terdapat di Kelurahan Bendungan dan Kelurahan
Gajahmungkur
Kecamatan Banyumanik terdapat di Kelurahan Ngesrep
Kecamatan Semarang Selatan terdapat di Kelurahan Barusari, Kelurahan Mugasari,
Kelurahan Peterongan dan Kelurahan Lamper Tengah
Kecamatan Semarang Tengah terdapat di Kelurahan Kranggan, Kelurahan
Purwodinatan dan Kelurahan Kauman
Kecamatan Genuk terdapat di Kelurahan Terboyo Wetan, Kelurahan Trimulyo,
Kelurahan Genuksari, Kelurahan Penggaron Lor, dan Kelurahan Kudu
Sedangkan kelurahan yang tingkat penerimaan surat miskinnya termasuk kategori tinggi
hanya terdapat di empat kelurahan yang lokasinya berada di daerah pinggiran. Kelurahan
tersebut yakni:
Kelurahan Plalangan di Kecamatan Gunungpati,
Kelurahan Lamper Lor di Kecamatan Semarang Selatan,
Kelurahan Karangroto dan Kelurahan Bangetayu Wetan di Kecamatan Genuk.
Bidang pengembangan ekonomi masyarakat merupakan bidang yang menangani halhal yang terkait dengan isu, permasalahan dan upaya-upaya bagaimana menumbuhkan
prakarsa khususnya masyarakat ekonomi lemah di bidang perekonomian. Dari sudut
pandang ini terdapat kaitan yang erat antar bidang pemberdayaan ekonomi masyarakat dan
bidang pemberdayaan perempuan. Upaya pengembangan ekonomi masyarakat ini salah
satunya dapat dilakukan dengan cara memberdayakan masyarakat secara umum ataupun
perempuan. Oleh karena itu perlu digali isu-isu yang terkait dengan bidang pengembangan
ekonomi masyarakat di Kota Semarang sebagai pertimbangan dan masukan dalam
menetapkan Renstra BAPERMASPER & KB Kota Semarang. Isu-isu tersebut diantaranya
sebagai berikut:
3.2.1 Rendahnya Kapasitas Sumber Daya Manusia untuk Pengembangan Ekonomi
Rendahnya kapasitas SDM untuk pengebangan ekonomi diakibatkan oleh berbagai
faktor diantaranya faktor struktural yakni masih rendahnya tingkat pendidikan, pendapatan
keluarga dan tetap eksisnya kemiskinan di Kota Semarang. Besarnya upah atau gaji yang
diterima dari suatu mata pencaharian ini sangat menentukan tingkat kesejahteraan
61
masyarakat. Pada tahun 2003 sekitar 49% masyarakat Kota Semarang yang bekerja sebagai
buruh mendapatkan gaji sesuai batas UMR. Dimana dengan penghasilan sebesar itu dengan
kondisi harga yang terus meningkat, tentu saja sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
mulai dari makan, pendidikan dan kesehatan.
Buruh sebagai jenis mata pencaharian tergolong sebagai mata pencaharian yang
rentan dari berbagai macam ketidakpastian seperti PHK, eksploitasi hak buruh, dan
terjebaknya buruh dalam kemiskinan. Telah banyak usaha yang telah dilakukan oleh
masyarakat secara individual maupun berkelompok untuk keluar dari perangkap kemiskinan
namun mengalami kegagalan. Keinginan masyarakat secara umum untuk keluar dari jebakan
kemiskinan tersebut sulit dilakukan karena rendahnya kapasitas masyarakat yang
bersangkutan. Kegagalan-kegalan tersebut selanjutnya menciptakan sikap apatis yang ada
dimasyarakat. Oleh karena itu keberadaan BAPERMASPER & KB Kota Semarang diharapkan
mampu turut menyelesaikan permasalah ini dengan menumbuhkan dan meningkatkan
kapasistas ekonomi masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat dapat meningkat.
3.2.2 Masih Lemahnya Jejaring Pengembangan Ekonomi Masyarakat
Problem lain sebagai pemicu kegagalan masyarakat untuk keluar dari jebakan
kemiskinan dan menuju kemandirian ekonomi yaitu karena kurangnya kemampuan
masyarakat dalam mengakses faktor-faktor ekonomi terutama seperti bantuan modal,
teknis, peralatan, dan informasi. Kemampuan akses tersebut akan optimal jika jejaring
pengembangan ekonomi masyarakat sudah terbangun dengan baik dan mantap. Jejaring
tersebut akan mempermudah bertemunya kelompok masyarakat atau kelompok usaha
sebagai beneficaries, pemerintah sebagai fasilitator, maupun donor serta pihak-pihak
berkepentingan lainnya. Jejaring akan memberikan keuntungan bagi pengembangan
ekonomi masyarakat karena mampu mempercepat arus informasi dan pengetahuan,
disamping memudahkan dalam upaya mengalokasikan berbagai macam bantuan modal,
bantuan teknis, maupun peralatan. Oleh karena itu BAPERMASPER & KB memberikan
perhatian dalam rangka menanggulangi kemiskinan dengan cara melakukan pemberdayaan
ekonomi masyarakat terutama pada daerah-daerah yang masih tinggi angka kemiskinannya
dan membangun serta memperkuat jejaring pengembangan ekonomi lokal.
62
3.3 ISU BIDANG KELEMBAGAAN DAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT
Isu di bidang kelembagaan dan sosial budaya ini dapat dikaitakan dengan besar
kecilnya tingkat partisipasi masyarakat Kota Semarang. Adapun beberapa isu permasalahan
yang dapat diidentifikasi dari bidang kelembagaan dan sosial di Kota Semarang diantaranya
sebagai berikut:
3.3.1. Masih
Rendahnya
Partisipasi
Kelembagaan
Masyarakat
dalam
Proses
Pembangunan
Sejauh ini ditengarai bahwa kelembagaan masyarakat yang ada di tingkat kelurahan
seperti (RT/RW) masih bersifat administratif saja. Peran kelembagaan tersebut selalu
diasosiasikan dengan lembaga yang membantu penerbitan surat pengantar bagi mereka
yang akan memproses permohonan KTP, Kartu Keluarga, dan mengorganisasikan keamanan
lingkungan secara swadaya. Jika diasumsikan terdapat hubungan yang korelatif antara
partisipasi kelembagaan masyarakat dengan keamanan lingkungan maka sejauh ini peran
kelembagaan masyarakat dapat dikatakan menurun karena berdasarkan data yang ada
tingkat kriminalitas di Kota Semarang cenderung mengalami kenaikan setiap tahunnya.
Kasus kriminalitas dari tahun 2002 hingga tahun 2006 mengalami kenaikan yang cukup
signifikan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.10 berikut:
900
777
800
697
700
652
693
600
500
456
400
300
200
100
0
2002
2003
2004
2005
2006
Gambar 3.8
Tingkat Kriminalitas Kota Semarang Tahun 2002-2006
Sumber : BPS Kota Semarang, 2006
Indikasi lain dari belum optimalnya partisipasi kelembangaan lokal dapat di lihat ketika
bantuan-bantuan atau stimulan yang diberikan oleh pemerintah belum bisa ditangkap
dengan baik dan teralokasikan sesuai kepada target sasaran program. Sehingga seringkali
63
kita jumpai program-program bantuan yang tujuannya secara filosofis sangat ideal, namun
dalam implementasinya di lapangan tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan
karena rendahnya kapasistas dan partisipasi kelembagaan lokal. Fenomena lain yang dapat
kita lihat sebagai indikasi dari menurunnya peran kelembangaan lokal adalah belum
maksimalnya partisipasi masyarakat dalam forum-forum seperti Musrenbang yang pada
hakikatnya adalah proses untuk menentukan usulan-usulan dan prioritas pembangunan bagi
masyarakat di tingkat lokal.
Peran kelembagaan masyarakat yang ada (RT/RW) tersebut dapat ditingkatkan untuk
menumbuhkembangan partisipasi masyarakat dalam berbagai bidang pembangunan yang
terkait dengan pengelolaan dan perlindungan SDA, penerapan TTG, penggalakan budaya KB
serta hidup sehat, dan lain sebagainya. Dari perspektif ini terlihat keterkaitan yang erat
diantara bidang kelembagaan dan bidang-bidang lainnya dalam rangka pemberdayaan
masyarakat.
3.3.2. Lunturnya Nilai-Nilai Budaya Masyarakat dalam Pembangunan
Partisipasi masyarakat di Kota Semarang yang belum optimal terkait erat dengan
lunturnya nilai-nilai budaya masyarakat yang merupakan esensi dari partisipasi itu sendiri.
Nilai-nilai budaya masyarakat seperti gotong royong, kerjasama, kepedulian, dan toleransi
semakin redup dan berganti dengan nilai-nilai seperti individualisme dan egoisme. Sejumlah
indikasi yang dapat dilihat diantaranya adalah semakin jarang dijumpainya kegiatan gotong
royong di lingkungan masyarakat, khususnya di daerah perkotaan, dalam rangka
pemeliharaan kebersihan, kesehatan, dan keamanan lingkungan. Bahkan sudah terdapat
anggapan bahwa urusan tersebut menjadi tanggung jawab aparatur pemerintah dan mulai
munculnya kecenderungan bahwa masyarakat menyerahkan urusan-urusan tersebut secara
komersial kepada pihak yang lain. Keakraban dan jiwa kerjasama diantara masyarakat
dengan demikian juga sedikit demi sedikit akan hilang.
Sebagai akibatnya terjadi sekat-sekat diantara masyarakat berdasarkan status sosialekonomi. Kepedulian sosial kepada masyarakat lain semakin pudar dan jika kepedulian
tersebut masih ada hanya berlaku bagi mereka yang memiliki kepentingan yang sama. Sekatsekat diantara masyarakat berdasarkan status sosial-ekonomi ini makin jelas dan
menciptakan gated community. Keadaan ini tidak kondusif bagi pembangunan karena
menciptakan kecemburuan dan tensi sosial di masyarakat. Dari uraian diatas dapat
64
disimpulkan bahwa upaya untuk menghidupkan kembali nilai-nilai budaya sangat diperlukan
dan menjadi salah satu isu dalam upaya pemberdayaan masyarakat.
3.4 ISU BIDANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK
Salah satu bidang yang terdapat di BAPERMASPER & KB adalah bidang pemberdayaan
perempuan dan perlindungan anak. Hal ini terkait dengan masih banyaknya permasalahan
perempuan dan anak di Kota Semarang yang belum tertangani secara tuntas dan bahkan
belum semua permasalahan tersebut dapat terungkap. Perempuan dan anak merupakan
salah satu bagian penting yang harus ditangani terkait dengan adanya upaya pemberdayaan
perempuan dan anak di Kota Semarang. Beberapa isu dan permasalahan yang terkait dengan
keduanya, yaitu:
3.4.1. Rendahnya Kemandirian dan Pelecehan Terhadap Harkat Martabat Perempuan
Rendahnya kemandirian dan pelecehan terhadap harkat dan martabat perempuan di
Kota Semarang pada dasarnya saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan
lainnya. Beberapa indikasinya adalah dengan tingginya angka kekerasan terhadap
perempuan dan anak-anak di Kota Semarang. Permasalahan tingginya angka kekerasan
terhadap perempuan dan anak-anak di Kota Semarang terkait dengan masih sedikitnya
permasalahan-permasalahan terkait yang berhasil ditangani secara tuntas. Hal ini
disebabkan masih sedikitnya pihak-pihak yang dapat menyampaikan dan mewakili
permasalahan tersebut. Masih sedikit pihak yang mau peduli terhadap permasalah
perempuan dan anak. Hal ini dibuktikan dengan adanya catatan bahwa angka tertinggi
kekerasan terhadap perempuan di Provinsi Jawa Tengah terjadi di Kota Semarang, yaitu
sebanyak 150 kasus (Kompas, 2007). Selain itu juga menurut hasil kajian yang dilakukan
Legal Resources Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia Semarang, sepanjang
tahun 2007 terdapat rata-rata empat sampai lima perempuan meninggal perbulannya akibat
kekerasan berbasis gender (Kompas, 2007).
Melihat fakta di atas, maka kasus-kasus seperti di atas dan kasus-kasus lainnya yang
terkait dengan perempuan dan anak hendaknya dapat ditangani dan diminimalisir oleh
BAPERMASPER & KB Kota Semarang. Penempatan perempuan pada kursi parlemen dan
melibatkannya dalam organisasi-organisasi masyarakat merupakan suatu hal penting yang
harus dipertimbangkan. Dengan demikian, kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan
65
dapat sedikit banyak diatasi. Selain itu, dengan memberikan proporsi kursi parlemen bagi
perempuan, maka isu mengenai adanya ketidaksetaraan gender dapat juga dihindari.
Indikasi kedua ditunjukan dengan rendahnya partisipasi perempuan dalam Organisasai
Masyarakat (ORMAS) dan aktivitas perekonomian. Rendahnya partisipasi perempuan dalam
ORMAS dan aktivitas perekonomian berhubungan dengan adanya isu gender. Permasalahan
gender muncul sebagai salah satu permasalahan perkotaan di Kota Semarang dikarenakan
adanya rasa ketidakadilan dari sebagian perempuan dalam memperoleh hak-hak mereka. Di
Kota Semarang sendiri permasalahn gender ini dapat terlihat dari komposisi jumlah
perempuan di DPRD Kota Semarang 2004-2009 yakni hanya sebanyak 6 (enam) orang sekitar
13,33% dari 45 orang anggota DPRD Kota Semarang. Dimana jumlah tersebut belum
merepresentasikan partisipasi sesuai undang-undang. Rendahnya partisipasi perempuan ini
nantinya akan terkait dengan banyaknya permasalahan perempuan dan anak di Kota
Semarang yang dapat terungkap dan terselesiakan. Jadi peran serta perempuan dalam suatu
pemerintahan maupun ORMAS akan sangat membantu dalam pengungkapan dan
penyelesaian permasalahan perempuan dan anak di Kota Semarang, sehingga permasalahan
ini dapat diminimalisir dan bahkan teratasi semua.
3.4.2. Belum Terpenuhinya Hak-Hak Dasar Anak
Anak-anak memiliki setidaknya 5 (lima) hak dasar diantaranya hak untuk mendapatkan
pendidikan dasar hingga tingkat sekolah menengah pertama, berhak bebas dari kekerasan
dan eksploitasi yang dilakukan oleh pihak manapun, dan hak mendapatkan kehidupan yang
layak. Walaupun angka partisipasi sekolah (APS) pada tingkat SD hingga SMP di Kota
Semarang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain, namun di sisi lain masih
sering kita jumpai fenomena-fenomena yang dapat dikategorikan sebagai eksploitasi anak.
Pada sudut-sudut kota dan kawasan strategis perkotaan sering kita temui anak-anak balita
ya g digu aka sebagai alat u tuk
e arik si pati para pe ge is. Belu
lagi anak-anak
jalanan dengan berbagai profesi seperti pengemis, pengamen, penyemir sepatu, dan penjaja
koran tidak sedikit kita temukan di berbagai penjuru kota.
Belum terpenuhinya hak anak juga dapat dilihat dari hak untuk mendapatkan hidup
yang layak.
Kalau kita lihat saat ini di Kota Semarang masih terdapat permasalahan gizi buruk pada anak
balita. Hal ini umumnya terjadi pada balita di keluarga dengan tingkat kesejahteraan yang
66
rendah.
Permasalahan gizi buruk pada balita ini dapat diindikasikan melalui indikator
Human Development Index (HDI). Berdasarkan profil kesehatan Kota Semarang (2005),
terdapat kecenderungan peningkatan jumlah balita penderita gizi buruk selama lima tahun
terakhir. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2003 hingga 2005 terjadi fluktuasi jumlah
penderita gizi buruk, dari 0,63 pada tahun 2003 meningkat menjadi 1,23 pada tahun 2004
dan mengalami penurunan pada tahun 2005 menjadi 0,94. Demikian juga dengan jumlah
balita penderita gizi kurang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel III.1 berikut ini:
Tabel III.10
Prevalensi Status Gizi Balita Kota Semarang Tahun 2003-2005
Status Gizi
Gizi buruk
Gizi kurang
Gizi baik
Gizi lebih
2003
0,63
9,75
86,65
2,97
Prevalensi (Kasus)
2004
1,23
11,56
83,68
3,53
2005
0,94
11,09
85,98
1,99
Sumber: Profil Kesehatan Kota Semarang, 2005
Adapun data yang diperoleh dari Harian Suara Merdeka, disebutkan bahwa pada tahun
2005, Dinas Kesehatan Kota Semarang mencatat dari 109.025 balita terdapat 530 anak yang
berat badannya di bawah garis merah, dan 17 di antaranya positif menderita gizi buruk Pada
tahun 2006, dari 121.215 balita di Kota Semarang, 776 balita atau 0,64% diantaranya
berberat badan BGM. Namun dari 776 balita tersebut, 80 diantaranya paling rentan menjadi
gizi buruk. Hal tersebut dapat diindikasikan dari berat badan yang jauh dari rata-rata (Suara
Merdeka, 2006).
3.5 ISU BIDANG KELUARGA BERENCANA DI KOTA SEMARANG
Pada Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Berencana
(BAPERMASPER & KB) salah satu bidang yang penting yaitu bidang keluarga berencana. Hal
ini terkait dengan masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat mengenai pentingnya
turut serta mensukseskan program KB. Selain itu juga masih terdapat beberapa
permasalahan yang terkait dengan KB di Kota Semarang sebagai berikut:
3.5.1 Rendahnya Kesejahteraan dan Ketahanan Keluarga
Ketahanan dan pemberdayaan keluarga berhubungan dengan bagaimana suatu
keluarga dapat melangsungkan hidupnya, dan bertahan pada kondisi yang baik dari segala
67
bentuk permasalahan kehidupan keluarga. Ketahanan dan pemberdayaan ini dapat dikaitkan
dengan bagaimana suatu keluarga dapat memenuhi kebutuhan kesehatan dan gizi keluarga
serta bekerja.
Akan tetapi secara umum sebagian besar keluarga di Kota Semarang
kesadaran mengenai pemenuhan gizi dan kebutuhan kesehatan masih relatif rendah.
Hal ini dibuktikan dengan Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS)
di Kota Semarang pada tahun 2008 yang hanya berjumlah 1066 kelompok dengan jumlah
anggota UPPKS sebanyak 23.345 orang. Dari angka tersebut sekitar 17.392 orang (74,50%)
merupakan anggota penerima bantuan modal, 10.888 orang (46,64%) anggota yang
berusaha dan 12.475 (56,36%) merupakan anggota yang tidak berusaha. Selain itu, jika
ditinjau dari beberapa aspek peran serta masyarakat untuk ikut dalam UPPKS sebagian
mengalami kenaikan dan penurunan dari 2007 ke 2008. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel berikut ini:
Tabel III.11
Peranserta Masyarakat dalam Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS)
di Kota Semarang Tahun 2007-2008
No
1
2
3
4
Uraian
Perbandingan keluarga Prasejahtera dan Sejahtera 1
a. Jumalah anggota
b. Anggota berusaha
c. Pesentase
Perbandingan Bina Keluarga Balita
a. Jumlah kelompok BKB
b. Jumlah Kelompok BKB aktif
c. Jumlah keluarga aktif
d. Rata-Rata Keluarga/Kelompok
Perbandingan Bina Keluarga Remaja (BKR)
a. Jumlah kelompok BKR
b. Jumlah Kelompok BKR aktif
c. Jumlah keluarga aktif
d. Rata-Rata Keluarga/Kelompok
Perbandingan Bina Keluarga Lansia (BKL)
a. Jumlah kelompok BKL
b. Jumlah Kelompok BKL aktif
c. Jumlah keluarga aktif
d. Rata-Rata Keluarga/Kelompok
2007
2008
Perkembangan
25.904
12.511
48,30 %
23.345
10.888
46,64 %
Turun
Turun
Turun
289
278
5.350
19-20
288
285
5882
22-23
Turun
Naik
Naik
Naik
157
149
3.096
20-221
148
143
3.345
24-25
Turun
Turun
Naik
Naik
178
173
4.175
20-21
211
206
6.196
29-30
Naik
Naik
Naik
Naik
Sumber: BKB Kota Semarang, 2008
Berdasarkan pada kondisi tersebut maka dapat disimpulkan beberapa permasalahan yang
muncul yakni sebagai berikut: (1) Keterbatasan kader yang mampu dan bersedia, (2)
Keterbatasan sarana (APE, Kartu Kembang Anak, Buku Pedoman Kader), (3) Keterbatasan
dana operasional untuk pembinaan, pelatihan dan pelaporan, (4) Keterbatasan modal pada
68
bunga rendah, dan (5) Keterbatasan kemampuan anggota kelompok dalam mengelola,
memasarkan, menjaga mutu produksi dan pengelolaan keuangan
Tingkat kesejahteraan masyarakat Kota Semarang terkait juga dengan kondisi
kesehatan ibu dan anak. Kualitas kesehatan ibu dan anak dalam suatu keluarga berhubungan
dengan kemampuan suatu keluarga dalam mengakses kesehatan yang berkualitas.
Permasalahan gizi buruk pada anak balita sebagaimana telah diuraikan diatas erat kaitannya
dengan tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dikarenakan pada balita
pada keluarga dengan tingkat kesejahteraan rendah biasanya asupan gizi dan kondisi
kesehatannya kurang diperhatikan.
Kurangnya berat badan balita di Kota Semarang dapat disebabkan oleh banyak hal,
antara lain kurangnya gizi atau adanya kemungkinan menderita penyakit lain. Kekurangan
gizi sangat dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan masyarakat, kontaminasi makanan dan
minuman balita akibat lingkungan yang tidak sehat dan prioritas hidup lainnya selain
makanan bergizi. Di sisi lain, anggaran khusus untuk mengantisipasi bergesernya kasus BGM
menjadi gizi buruk belum maksimal. Oleh karenanya, diperlukan suatu tindakan tegas dari
semua pihak untuk mengurangi jumlah balita penderita gizi kurang dan buruk demi
peningkatan kualitas sumber daya manusia Kota Semarang yang lebih baik.
Indikasi lain dari rendahnya kesejahteraan dan ketahanan keluarga adalah tingginya
angka kematian ibu melahirkan. Hal ini didasarkan pada profile kesehatan Kota Semarang
bahwa pada tahun 2005 angka kematian ibu melahirkan di Kota Semarang mencapai 449
jiwa dan cenderung berfluktuasi dari tahun ke tahun. Apabila dibandingkan dengan angka
kematian ibu di tingkat nasional (307 jiwa), angka tersebut dinilai lebih tinggi, walaupun jika
dibandingkan dengan angka kematian ibu melahirkan di tingkat Jawa Tengah (509 jiwa)
masih lebih rendah (Kartu Penilaian Pengentasan Kemiskinan Kota Semarang, 2005 dan
Profil Kesehatan Kota Semarang, 2005).
69
Gambar 3.9
Perkembangan Jumlah Kematian Ibu di Kota Semarang Tahun 2002-2005
Sumber: Profil Kesehatan Kota Semarang Tahun 2005
Gambar 3.10
Perbandingan Jumlah Kematian Ibu
Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah dan Indonesia Tahun 2005
Sumber: Kartu Penilaian Pengentasan Kemiskinan Kota Semarang, 2005
3.5.2. Pertumbuhan Penduduk yang Relatif Tinggi
Tingginya pertumbuhan penduduk diakibatkan salah satunya oleh angka pertumbuhan
alamiah dimana tingkat fertilitas yang masih relatif tinggi. Hal ini disebabkan karena tingkat
kesadaran masyarakat di Kota Semarang untuk mengikuti program keluarga berencana (KB)
masih sangat rendah. Pada tahun 2008 pencapaian peserta KB baru Kota Semarang adalah
PB 39.286 jiwa atau 117,57% dari jumlah PPM yakni 33.414 jiwa. Sedangkan pencapaian
peserta KB baru adalah 196.876 jiwa atau 79,63% dari total pasangan usia subur (PUS)
sebanyak 247.228 jiwa.
Disamping itu partisipasi pria dalam Berpartisipasi dalam KB masih rendah.
Berdasarkan data dari badan KB Kota Semarang partisipasi pria dalam pemakaian alat
70
kontrasepsi sebsar 14.337 jiwa (7,28%) dari total peserta KB aktif (196.876 jiwa). Keaktifan
tersebut dapat dirinci dengan penggunaan MOP sebanyak 2.484 (17,32%) dan Kondom
sebanyak 11.853 jiwa (82.67%).
Partisipasi dalam mengadopsi IUD juga sangat rendah. Hal ini dapat ditunjukkan
dengan data penggunaan IUD tahun 2008 bagi peserta KB baru sebanyak 2.235 (5,69%) yang
mengalami kenaikan dari tahun 2007 sebanyak 1.724 jiwa. Sedangkan untuk peserta KB lama
penggunaan IUD mengalami penurunan pada tahun 2008 sebanyak 15.346 jiwa (6,21%) dan
2007 sebanyak 15.403 jiwa.
Masih adanya kasus komplikasi kegagalan KB diduga menjadi penyebab lain belum
optimalnya pembudayaan KB guna menekan pertumbuhan penduduk. Pada tahun 2008
kasus komplikasi dan kegagalan KB mengalami kenaikan. Dimana untuk kasus komplikasi KB
pada tahun 2007 sebanyak 6 kasus dan pada 2008 menjadi 12 kasus. Sedangkan untuk
kegagalan KB pada tahun 2007 sebanyak 10 kasus dan 2008 menjadi 15 kasus.
Permasalahan tingginya laju pertumbuhan alami penduduk terkait juga dengan tidak
berfungsinya secara optimal kelembagaan dan jejaring KB. Program Penguatan Kelembagaan
dan jaringan KB di Kota Semarang, erat kaitannya dengan Institusi Masyarakat Perkotaan
(IMP). Institusi ini merupakan institusi di tingkat lini lapangan (kelurahan ke bawah) sebagai
tenaga relawan yang mempunyai peran bantu pelaksanaan program keluarga berencana,
sehingga mempunyai peran yang sangat strategis serta sebagai ujung tombak suksesnya
program KB Nasional. IMP ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Tabel III.12
Klasifikasi IMP di Kota Semarang
No
1
2
3
Uraian
Dasar
Berkembang
Mandiri
PPKBD
Jumlah
%
0
0
25
14,12
152
87,88
Sub PPKBD
Jumlah
%
176
12,12
593
43,62
595
43,62
KLP. KS
Jumlah
%
1.789
20,79
3.374
43,40
3.080
38,80
Sumber: BKB Kota Semarang, 2008
Berdasarkan beberapa data di atas maka dapat disimpulkan permasalahan bidang
Program Penguatan Kelembagaan dan jaringan KB adalah sebagai berikut: (1) Keterbatasan
kuantitas dan kulitas Kader terkait dengan adanya kesulitan pengkaderan; (2) Dana
Operasional bari sampai di tingkat PPKBD/ SKD; dan (3) Pemahaman Program KB Sebagai
investasi jangka panjang belum dipahami masyarakat luas.
71
Terkait permasalahan bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera, tentu saja
keberadaan BAPERMASPER & KB di Kota Semarang diharapkan dapat menjembatani dalam
penetapan kebijakan yang terkait dan penyelesaian permasalahan di atas. Teratasinya
permasalahan di atas, diharapkan tingkat kesejahteraan masyarakat di Kota semarang dapat
meningkat.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi juga terkait dengan kurang efektifnya
penanganan permasalahan keseharan dan reproduksi remaja (KRR). Pada kenyataannya
masih sedikit masyarakat Kota Semarang yang memahami pengetahuan dan permasalahan
yang terkait dengan reproduksi remaja. Akibatnya muncul permasalahan terkait dengan
reproduksi remaja yakni masih sangat terbatasnya akses informasi tentang KRR di
masyarakat. Hal ini mendorong ketidaktahuan remaja yang memasuki usia perkawinan pada
usia yang belum matang. Di Kota Semarang jumlah PUS yang berada di bawah usia 20 tahun
yakni sebesar 1 %. Kondisi ini juga didukung dengan masih sedikitnya Pusat Informasi dan
Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK KRR) yang hanya berjumlah 19 kelompok di
Kota Semarang.
3.6 REKAPITULASI ISU DI BIDANG PEMBERDAYAAN MASAYARAKAT, PEREMPUAN DAN
KELUARGA BERENCANA DI KOTA SEMARANG
Berdasarkan pada uraian di atas maka isu dan permasalahn yang muncul tiap bidang di
atas yang terkait dengan bidang pemberdayaan perempuan dan anak, masyarakat dan
kelurga berencana dapat diringkas dalam tabel berikut ini:
TABEL III.13
Isu Bidang Perempuan dan Anak, Pemberadayaan Masyarakat dan Keluarga Berencana
di Kota Semarang
No
1
ISU
Masih Rendahnya
Partisipasi Masyarakat Kota
Semarang dalam Penggalian
Potensi SDA dan Penerapan
TTG
FAKTA
Belum dikembangkannya potensi pertanian tanaman pangan di Kota
Semarang:
Jumlah produksi beberapa komoditas tanaman pangan mencapai 6.383
ton pada tahun 2003 dengan luas lahan pertanian 27.093,84 Ha yang
terdiri dari lahan sawah 3.976,03 ha dan lahan ladang 23.117,81 ha
(www.semarang.go.id, diakses tanggal 17 Juni 2009).
Rendahnya partisipasi masyarakat untuk mengembangkan pertanian
Kota Semarang yang ditunjukkan dengan sedikitnya penduduk Kota
Semarang yang bermata pencaharian sebagai petani yakni hanya 2%
(Podes Jawa Tengah Tahun 2003).
Kecenderungan penduduk Kota semarang lebih memilih bekerja di luar
bidang peternakan dan pertanian
72
No
2
ISU
Masih Rendahnya
Partisipasi Masyarakat
dalam Pengelolaan
Lingkungan dan Penerapan
TTG
FAKTA
Belum semua keluarga di Kota Semarang sudah memiliki sistem
pembuangan limbah berupa jamban sendiri:
92 % Kelurahan di Kota Semarang telah memiliki sistem pembuangan
limbah berupa jamban sendiri, 1% menggunakan sistem pembuangan
bukan jamban, 2 % menggunakan jamban bersama, dan 5 %
menggunakan jamban umum
Beberapa lokasi di Kota Semarang
masih memiliki beberapa
permasalahan saluran drainase:
Sebagian besar kelurahan di Kota Semarang memiliki drainase dengan
kondisi lancar (86 %), sedangkan lainnya memiliki kondisi yang tergenang
(2%), tidak ada saluran (1 %) dan tidak lancar (11%).
Saluran drainase pada daerah Semarang bawah yang dekat dengan
daerah pesisir masih bermasalah
Minimnya Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Penerapan TTG:
Teknologi tepat guna dalam pengelolaan lingkungan sudah banyak
ditemukan, misalnya teknologi penjernihan air, komposting sampah,
sumur resapan, biopori, dan lain sebagainya; namun penerapannya di
tingkat komunitas masih relatif minim.
3
Rendahnya Kapasitas
Sumber Daya Manusia
untuk Pengembangan
Ekonomi
Sebagian besar masyarakat di Kota Semarang bermata pencaharian
sebagai buruh
Mata pencaharian yang mendominasi di sebagian besar kelurahan di Kota
Semarang adalah buruh sebesar 49%, kemudian disusul oleh mata
pencaharian sebagai PNS sebesar 7%, petani sebesar 2%, pedagang
sebesar 2%, pengusaha sebesar 2% dan pensiunan 1%. Sedangkan
sisanya sebesar 38% yang bermata pencaharian lain-lain
Di Kota Semarang terdapat beberapa daerah yang masyarakatnya masih
miskin:
Masih terdapat beberapa kelurahan yang tingkat penerimaan surat
miskinnya masuk kategori tinggi yakni Kelurahan Plalangan di Kecamatan
Gunungpati, Kelurahan Lamper Lor di Kecamatan Semarang Selatan,
serta Kelurahan Karangroto dan Bangetayu Wetan di Kecamatan Genuk
Rendahnya pendapatan rumah tangga per bulan:
Pendapatan perkapita Kota Semarang Rp 19 juta/tahun (Rp 1,6
juta/bulan)
Pendapatan perkeluarga adalah Rp. 6,4 juta/bulan dengan asumsi
keluarga terdiri empat orang
Pada kenyataannya sangat banyak keluarga yang hanya mempunyai
pendapatan Rp 640 ribu perbulan (www. berpolitik.com, 2008)
4
Masih Lemahnya Jejaring
Pengembangan Ekonomi
Masyarakat
Kegagalan masyarakat untuk keluar dari jebakan kemiskinan dan menuju
kemandirian ekonomi:
Kurangnya kemampuan masyarakat dalam mengakses faktor-faktor
ekonomi terutama seperti bantuan modal, teknis, peralatan, dan
informasi.
Kemampuan akses tersebut akan optimal jika jejaring pengembangan
ekonomi masyarakat sudah terbangun dengan baik dan mantap.
Jejaring tersebut akan mempermudah bertemunya kelompok masyarakat
atau kelompok usaha sebagai beneficaries, pemerintah sebagai
fasilitator, maupun donor serta pihak-pihak berkepentingan lainnya.
Jejaring akan memberikan keuntungan bagi pengembangan ekonomi
masyarakat karena mampu mempercepat arus informasi dan
73
No
ISU
FAKTA
pengetahuan, disamping memudahkan dalam upaya mengalokasikan
berbagai macam bantuan modal, bantuan teknis, maupun peralatan.
5
Masih Rendahnya
Partisipasi Kelembagaan
Masyarakat dalam Proses
Pembangunan
Peran kelembagaan masih bersifat administratif saja:
Ditengarai bahwa kelembagaan masyarakat yang ada di tingkat kelurahan
seperti (RT/RW) masih bersifat administratif saja. Peran kelembagaan
tersebut selalu diasosiasikan dengan lembaga yang membantu
penerbitan surat pengantar bagi mereka yang akan memproses
permohonan KTP, Kartu Keluarga, dan mengorganisasikan keamanan
lingkungan secara swadaya.
Indikasi lain dari belum optimalnya partisipasi kelembangaan lokal dapat
di lihat ketika bantuan-bantuan atau stimulan yang diberikan oleh
pemerintah belum bisa ditangkap dengan baik dan teralokasikan sesuai
kepada target sasaran program. Sehingga seringkali kita jumpai programprogram bantuan yang tujuannya secara filosofis sangat ideal, namun
dalam implementasinya di lapangan tidak membawa hasil sebagaimana
yang diharapkan.
Peran kelembagaan masyarakat yang ada (RT/RW) tersebut dapat
ditingkatkan untuk menumbuhkembangan partisipasi masyarakat dalam
berbagai bidang pembangunan yang terkait dengan pengelolaan dan
perlindungan SDA, penerapan TTG, penggalakan budaya KB serta hidup
sehat, dan lain sebagainya. Dari perspektif ini terlihat keterkaitan yang
erat diantara bidang kelembagaan dan bidang-bidang lainnya dalam
rangka pemberdayaan masyarakat.
6
Lunturnya Nilai-Nilai
Budaya Masyarakat dalam
Pembangunan
Nilai-nilai budaya masyarakat semakin redup dan berganti dengan nilainilai seperti individualisme dan egoisme:
Semakin jarang dijumpainya kegiatan gotong royong di lingkungan
masyarakat, khususnya di daerah perkotaan, dalam rangka pemeliharaan
kebersihan, kesehatan, dan keamanan lingkungan.
Anggapan bahwa urusan tersebut menjadi tanggung jawab aparatur
pemerintah dan mulai munculnya kecenderungan bahwa masyarakat
menyerahkan urusan-urusan tersebut secara komersial kepada pihak
yang lain. Keakraban dan jiwa kerjasama diantara masyarakat dengan
demikian juga sedikit demi sedikit akan hilang.
Terjadi sekat-sekat diantara masyarakat berdasarkan status sosialekonomi. Kepedulian sosial kepada masyarakat lain semakin pudar
menciptakan gated community.
Keadaan ini tidak kondusif bagi pembangunan karena menciptakan
kecemburuan dan tensi sosial di masyarakat.
Kasus lingkungan dan pelanggaran hak kaum miskin kota sebagai akibat
lunturnya nilai budaya masyarakat:
Berdasar catatan LBH Kota Semarang terjadi kasus-kasus lingkungan
sebagian besar terjadi dan 60% kasus pelanggaran hak kaum miskin kota
(Suara Merdeka, 2004)
7
Rendahnya Kemandirian
dan Pelecehan Terhadap
Harkat Martabat
Perempuan
Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak:
Angka tertinggi kekerasan terhadap perempuan di Provinsi Jawa Tengah
terjadi di Kota Semarang, yaitu sebanyak 150 kasus (Kompas, 2007)
Sepanjang tahun 2007 terdapat rata-rata empat sampai lima perempuan
meninggal perbulannya akibat kekerasan berbasis jender berdasarkan
Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia
Semarang, (Kompas, 2007)
74
No
ISU
FAKTA
Rendahnya partisipasi perempuan dalam ORMAS dan perekonomian:
Jumlah anggota DPRD perempuan Kota Semarang 2004-2009 sebanyak 6
orang, sekitar 13,33% dari 45 orang anggota DPRD Kota Semarang
Rendahnya partisipasi perempuan dalam Pilkada:
Rendahnya partisipasi perempuan dalam pilkada merepresentasikan
tingkat kesetaraan gender dan etnis, di Kota Semarang
Berdasar hasil pilkada putaran pertama di 160 daerah, masih sedikitnya
jumlah kepala daerah perempuan yang terpilih Dari 160 kepala daerah
yang terpilih, hanya ada 6 perempuan yang menjadi kepala daerah dan
wakil kepala daerah (1,8%) (