Pengaruh Pemakaian Helm Terhadap Derajat Cedera Kepala pada Pengendara Sepeda Motor yang Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas yang Dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2012

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Kecelakaan Lalu Lintas Kendaraan Bermotor

2.1.1. Definisi
a. Kecelakaan
Kecelakaan merupakan tindakan tidak direncanakan dan tidak terkendali,
ketika aksi dan reaksi objek, bahan, atau radiasi menyebabkan cedera atau
kemungkinan cedera (Heinrich, 1980 dikutip dari Jeffry, 2012).
b. Lalu Lintas
Lalu lintas adalah gerak kendaraan, orang dan hewan di jalan (UU.14,
Tahun 1992).
c. Kendaraan Bermotor
Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan
teknik yang berada pada kendaraan itu (UU.14, Tahun 1992).
d. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga
dan tidak disengaja yang melibatkan kendaraan dengan atau tanpa

pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau
kerugian harta benda (UU.22, Tahun 2009).
e. Sepeda Motor
Sepeda motor adalah kendaraan bermotor beroda dua dengan atau tanpa
rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau kendaraan
bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah (UU.22, Tahun 2009).

2.1.2. Klasifikasi Kecelakaan Lalu Lintas
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas
dan Angkutan Jalan, pada pasal 229 dijelaskan bahwa karakteristik kecelakaan
lalu lintas dapat dibagi kedalam 3 (tiga) golongan, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan
kerusakan kendaraan dan/atau barang.
b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan
luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang.
c. Kecelakaan Lalu Lintas berat, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan
korban meninggal dunia atau luka berat.


2.1.3. Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas pada Pengendara Sepeda Motor
Kecelakaan tidak terjadi kebetulan, melainkan ada sebabnya. Oleh karena
ada penyebabnya, sebab kecelakaan harus dianalisis dan ditemukan, agar tindakan
korektif kepada penyebab itu dapat dilakukan serta dengan upaya preventif lebih
lanjut kecelakaan dapat dicegah (Suma’mur P.K., 2009). Menurut Warpani (2002)
yang bersumber dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, besarnya persentase
masing-masing faktor penyebab kecelakaan lalu lintas di Indonesia yaitu faktor
manusia sebesar 93,52%, faktor kendaraan sebesar 2,76%, faktor jalan 3,23%, dan
faktor lingkungan sebesar 0,49%.

1.

Faktor Manusia
Faktor manusia seperti

pejalan kaki, penumpang sampai pengemudi.

Faktor manusia ini menyangkut masalah disiplin berlalu lintas.
a)


Faktor pengemudi
Faktor pengemudi dianggap sebagai salah

satu faktor utama yang

menentukan kecelakaan lalu lintas (KLL). Faktor pengemudi ditemukan
memberikan kontribusi 75-80% terhadap KLL. Faktor manusia yang berada
dibelakang kemudi ini memegang peranan penting. Karakteristik pengemudi
berkaitan dengan :






Keterampilan mengemudi
Gangguan kesehatan (mabuk, ngantuk, letih)
Surat Izin Mengemudi (SIM) yangmana tidak semua pengemudi memiliki
SIM.


Universitas Sumatera Utara

Terjadinya KLL di jalan juga dipengaruhi oleh faktor usia pengemudi.
Analisis data yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat
menunjukkan bahwa pengemudi berusia 16-30 tahun adalah penyebab terbesar
KLL di jalan (55,99%). Hal ini menunjukkan bahwa usia tersebut rawan akan
KLL. Kelompok pengemudi berusia 21 – 25 tahun adalah penyebab terbesar
kecelakaan dibanding dengan kelompok usia lainnya, sedangkan pada
kelompok usia 26 – 30 tahun, terdapat penurunan yang cukup tajam. Kelompok
usia diatas 40 tahun menjadi penyebab terbesar yang relatif paling kecil seiring
dengan kematangan dan tingkat kedisiplinan yang lebih baik dibandingkan
dengan mereka yang berusia muda.
Tabel 1 Usia pengemudi yang terlibat kecelakaan lalu lintas jalan

KELOMPOK USIA

%

16 – 20 tahun


19, 41

21 – 25 tahun

21, 98

26 – 30 tahun

14, 60

31 – 35 tahun

09, 25

36 – 40 tahun

07, 65

41 – 75 tahun


18, 91

Sumber : Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Dept. Perhubungan, 1996

Penelitian tentang penyebab kecelakaan yang melibatkan pengemudi yang
dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat tahun 1996 menemukan
bahwa kebanyakan pengemudi yang terlibat dalam kecelakaan adalah mereka
yang berpendidikan Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Atas
(SD 13,13%; SLP 25%; SLA 40,52%). Fakta ini menunjukkan adanya
hubungan yang erat antara usia dan tingkat pendidikan dengan KLL di jalan.

b)

Faktor penumpang
Faktor penumpang misalnya jumlah muatan yang berlebih, kemungkinan

penumpang mengganggu pengemudi.

Universitas Sumatera Utara


c)

Faktor pemakai jalanan.
Pemakai jalan di Indonesia bukan saja terjadi dari kendaraan. Disana ada

pejalan kaki atau pengendara sepeda. Selain itu jalan raya dapat menjadi
tempat numpang pedagang kaki lima, peminta-minta dan semacamnya. Hal ini
membuat semakin semrawutnya keadaan di jalanan. Jalan umum juga dipakai
sebagai sarana perparkiran. Tidak jarang terjadi, mobil terparkir mendapat
tabrakan.
Kesalahan para pejalan

umumnya karena kelengahan, ketidakpatuhan

pada perundang-undangan, dan mengabaikan sopan santun berlalu lintas.
Contohnya : menyebrang tidak pada tempatnya atau secara tiba-tiba, atau
berjalan menggunakan jalur kendaraan (karena lalai atau karena terpaksa), atau
karena kesalahan orang lain yang menyebabkan terjadinya kecelakaan. Pejalan
sering terpaksa menggunakan jalur kendaraan karena kaki lima (trotoar) yang

merupakan fasilitas pejalan justru digunakan oleh para pedagang (pedagang
kaki lima).

2.

Faktor Kendaraan
Kendaraan tercatat menjadi penyebab KLL yang berakibat parah. Menurut

DITLANTAS POLRI dalam Warpani (2002) bahwa keterlibatan sepeda motor
dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas menduduki angka tertinggi, disusul mobil
penumpang bukan umum. Karena kelincahan geraknya, sepeda motor mudah
menyalip kendaraan lain dalam kemacetan lalu lintas. Meskipun demikian
penyebab utamanya bukan karena kelincahan gerak kendaraan, melainkan
kembali pada kesalahan manusia itu sendiri. Upaya pencegahan kecelakaan
dapat dilakukan dengan penerapan jaluir khusus bagi sepeda motor dan jalur
khusus bagi kendaraan tidak bermotor.

3.

Faktor Jalanan

Termasuk disini adalah keadaan fisik jalanan dan rambu-rambu jalanan.

a)

Kelaikan jalan antara lain dilihat dari ketersediaan rambu-rambu jalan.

b)

Sarana jalanan

Universitas Sumatera Utara

 Panjang jalan yang tersedia dengan jumlah kendaraan yang tumpah di
atasnya. Di kota-kota besar tampak kemacetan terjadi dimana-mana,
memancing terjadinya kecelakaan. Dan sebaliknya, jalan raya yang
mulus memancing pengemudi untuk ‘balap’ juga memancing
kecelakaan.

 Keadaan fisik jalanan seperti pengerjaan jalanan atau jalan yang
fisiknya kurang memadai, misalnya berlubang-lubang dapat menjadi

pemicu terjadinya kecelakaan.

Keadaan jalan yang berkaitan dengan kemungkinan kecelakaan lalu lintas
berupa :




Struktur : datar/memadai/menurun ; lurus/berkelok-kelok



Luas

: lorong, jalan tol

Status

: jalan desa, jalan provinsi /Negara (Bustan, 2007).




4.

Kondisi : baik/berlubang-lubang

Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan baik lingkungan alam maupun lingkungan binaan ,

yakni hasil rekayasa manusia, sangat mempengaruhi keselamatan lalu lintas.
Pohon atau bukit yang menghalangi pandangan, tanjakan atau turunan terjal,
serta tikungan tajam merupakan faktor alam yang patut mendapat perhatian
dalam pengelolaan lalu lintas. Faktor alami lain seperti posisi matahari terhadap
pengemudi yang menyebabkan gangguan pandangan karena silau. Cuaca buruk
sangat mempengaruhi kelancaran arus lalu lintas, bahkan dalam berbagai
peristiwa, kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh cuaca buruk. Lingkungan
binaan kadang-kadang tanpa disadari dapat pula menjadi penyebab KLL.
Misalnya, pagar pekarangan atau bangunan pada tikungan jalan dapat
menghalangi pandangan, ruas jalan yang tiba-tiba menyempit, simpangan jalan
(bersudut kurang dari 90 derajat), papan iklan yang menutupi atau mengaburkan
arti rambu lalu lintas, adalah beberapa contoh lingkungan binaan yang dimaksud
(Warpani, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Pengendara sepada motor yang mengalami KLL pada malam hari juga
akan lebih mungkin menderita cedera kepala dibandingkan siang hari.
Kecelakaan di daerah pedesaan juga dikaitkan dengan meningkatnya risiko
cedera kepala (Rowland, 1996).

2.1.4. Sepeda Motor
Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sepeda motor adalah kendaraan bermotor
beroda dua dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta
samping atau kendaraan bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah. Pengendara
sepeda motor harus mematuhi hukum yang sama dengan pengemudi mobil yaitu
yang tercantum pada Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, yang diatur dalam undang-undang tersebut antara lain
adalah:
a.

Setiap pengendara sepeda motor di jalan harus memiliki SIM untuk sepeda
motor yang mampu mengemudikan kendaraannya dengan wajar.

b.

Pengendara sepeda motor wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki.

c.

Mengetahui tata cara berlalu lintas di jalan.

d.

Sepeda motor hanya diperuntukkan hanya untuk dua orang.

e.

Sepeda motor yang digunakan dijalan memenuhi persyaratan teknis dan
layak jalan.

f.

Pengemudi dan penumpang wajib menggunakan helm yang telah
direkomendasikan keselamatannya dan terpasang dengan benar.

Untuk mengendarai kendaraan bermotor jenis sepeda motor juga
diperlukan alat pelindung diri (APD) sepeda motor bagi pengendara sepeda motor
yang gunanya untuk meningkatkan keamanan dalam mengendarai sepeda motor.

Universitas Sumatera Utara

Alat-alat tersebut antara lain :
1.

Helm
Istilah helm berasal dari bahasa Belanda yang berarti adalah alat pelindung

anggota tubuh yang biasa digunakan di kepala. Fungsi utama helm adalah
pelindung kepala dari benturan yang bisa membuat kepala cedera. Di Indonesia,
helm biasa terbuat dari bahan kevlar, serat resin, acrylonitrile butadiene styrene (
ABS ), atau polypropylene. Struktur helm biasanya didesain untuk mampu

melindungi kepala secara optimal. Sebuah helm yang baik biasanya terdiri dari
empat struktur utama, yaitu :
-

Lapisan luar yang keras ( hard outer shell )

-

Lapisan dalam yang tebal ( inside shell or liner )

-

Lapisan dalam yang lunak ( comfort padding )

-

Tali pengikat ( Kusmagi, 2010 )

Walaupun kemampuan helm untuk melindungi kepala agak terbatas namun
penggunaanya jangan diremehkan. Helm didesain untuk mengurangi kekuatan
yang mengenai kepala dengan cara mengubah energi kinetik benturan malalui
kerja deformasi dari bantalannya dan diikuti dengan mendistribusikannya
(menyebarkannya) kekuatan yang menimpa tersebut melalui area yang seluasluasnya. Secara nyata helm mampu mengurangi energi transfer dengan cara
translasi. Secara umum dianggap bahwa yang sangat sering menyebabkan trauma
otak adalah aselerasi angular atau rotasional. Helm akan mengurangi gaya
rotasional pada benturan. Anggapan bahwa dengan makin banyaknya penggunaan
helm oleh pengendara sepeda atau motor akan secara relatif meningkatkan trauma
organ lain selain kepala, khususnya trauma servikal, belum terbukti (ATLS,
2008).
Pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm dan mengalami KLL
akan lebih mungkin dirawat di rumah sakit, tiga kali lebih mungkin untuk
menderita cedera kepala dan empat kali lebih mungkin menderita cedera kepala
yang berat. Pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm secara signifikan

Universitas Sumatera Utara

berisiko mengalami kecelakaan yang fatal. Laki-laki empat kali lebih sering
meninggal daripada perempuan, dan risiko kematian meningkat 0,7% pada
masing-masing umur (Rowland, 1996).

Dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
disebutkan

bahwa pengendara dan

penumpang sepeda motor wajib

menggunakan helm standar nasional Indonesia (SNI). Jenis helm berstandar
nasional Indonesia yang dapat melindungi pengendara sepeda motor dan disetujui
oleh pihak kepolisian lalu lintas terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
a)

Helm yang menutup keseluruhan wajah (full face), helm ini merupakan helm
yang memenuhi standar keselamatan bagi pengendara sepeda motor karena
memiliki tingkat keamanan yang tinggi.

b)

Helm yang menutup ¾ wajah (three-quarter open face), helm ini hampir
serupa dengan helm full face, namun memiliki perbedaan pada dagu
pengendara tidak tertutup. Helm ini tidak menutup sempurna seperti helm
full face dan memiliki tingkat keamanan sedikit lebih rendah dibawah helm

jenis full face.

Gambar 2.1. Helm full face (SNI,2007)

Universitas Sumatera Utara

Keterangan gambar:
1. sungkup
2. Lapisan pelindung
3. Tali pemegang
4. Lapisan kenyamanan.
5. Pelindung telinga
6. Kaitan kaca
7. Jaring helm
8. Rim (BSN, 2007)

Gambar 2.2. Helm three-quarter open face (SNI,2007)

Magnus Aare (2003) menjelaskan beberapa perbedaan penting dalam desain
helm, yaitu :
1)

Open versus full-face helmets

Beberapa tahun terakhir, full-face helmet (integral helmet) menjadi sangat
popular disebabkan kepercayaan masyarakat yang tinggi bahwa helm tersebut
memberikan proteksi yang lebih baik. Dari penelitian statistik, full-face helmet
diketahui memberikan proteksi yang lebih baik terhadap kepala dan wajah, namun
juga memberikan dampak yang buruk kepada cedera leher. Terdapat sedikit
peningkatan angka kejadian cedera leher yang mungkin disebabkan karena helm
ini terlalu berat. Juga terdapat sedikit peningkatan angka kejadian fraktur basis
kranii akibat pemakaian helm ini.
2)

Cangkang helm dan keketatannya
Hopes dan Chinn (1989) dalam Magnus (2003) meneliti efek cangkang helm

dan keketatannya pada kemampuannya untuk melindungi kepala. Pada penelitian
ini disimpulkan bahwa cangkang helm dan keketatannya berhubungan dengan
tingginya akselerasi dan nilai HIC pada kejadian terjatuh. Helm standard -dalam
kasus ini didesain sesuai dengan standard Inggris- terlalu keras dan berpegas.
Helm standard tidak menyerap energi secara efisien sementara tingkat

Universitas Sumatera Utara

keparahannya cukup rendah untuk pemakai helm agar dapat bertahan. Dengan
kata lain, helm yang tidak terlalu keras dan berpegas memberikan cedera kepala
yang lebih ringan. Karena dalam pembuatan helm standard digunakan test
penetrasi, maka diputuskan desain helm harus ketat sehingga dapat menyerap
energi yang diterima dan cedera kepala pun dapat dihindarkan. Beberapa
penelitian lain yang dilakukan Chang dkk. (1999), Gilchrist and Mills (1987),
Kostoupulus dkk. (2002) and Yettram dkk. (1994) memberikan hasil yang sama.
3)

Helm berbahan fiberglass dan berbahan plastik
Vallée dkk. (1984) dalam Magnus (2003) meneliti akibat

pecahnya

cangkang helm dan menyimpulkan bahwa terdapat risiko cedera yang sangat
besar ketika helm pecah. Helm berbahan fiber sangat jarang pecah, disisi lain
helm bercangkang plastik lebih sering pecah. Tetapi penelitian oleh Noél (1979)
dalam Magnus (2003) menunjukkan bahwa helm bercangkang plastik lebih baik
daripada yang berbahan fiber. Efek pantulan pada helm bercangkang plastik lebih
tinggi daripada helm berbahan fiberglass, sehingga kurang efisien. Helm berbahan
fiberglass lebih direkomendasikan dari sisi keamanannya.

Sebanyak 87,2% pengemudi dan 84,7% penumpang mengatakan bahwa
mereka memakai helm karena alasan keselamatan, 9,2% pengemudi dan 9,9%
penumpang memakai helm karena kewajiban atau takut denda. Penelitian di
Spanyol menyebutkan bahwa sebanyak 34,8% pengemudi dan 18,8% penumpang
tidak memakai helm karena alsan perjalanan yang singkat ataupun berkendara di
pedesaan, 30,5% pengemudi dan 65,2% penumpang mengatakan bahwa mereka
tidak memiliki helm (Fuentes, 2011).
Di Indonesia, pemakaian helm memiliki beberapa permasalahan, yaitu :
a)

Tidak semua pengendara mau memakai helm dengan berbagai alasan,
termasuk ketidakmampuan membeli.

b)

Token compliance (ketaatan semu), helm hanya dipakai karena takut polisi,

tidak memakai dengan benar (tidak diikat dan dipasang).

Universitas Sumatera Utara

c)

Pemilihan kualitas helm yang rendah atau tidak standar. Helm standard
tentu relatif lebih mahal, lebih berat, dan lebih besar dari sekadar topi helm
plastik.

d)

Alasan tidak memakai helm seperti : malas, discomfort/rasa tidak enak,
terlalu berat, ketat, mengganggu kepala, bikin sakit kepala, mengganggu
rambut, dan gatal (Bustan, 2007).

2.

Pelindung mata dan wajah
Mata dan wajah

membutuhkan perlindungan dari angin, debu, hujan,

binatang kecil dan bebatuan, pelindung wajah dapat memberi perlindungan dari
hal tersebut. Pelindung mata dan wajah harus memenuhi standar yang berlaku,
tidak tergores, tidak membatasi jarak atau sudut pandang pengendara, dan dapat
diikat erat agar tidak bergeser.

3.

Sarung tangan
Sarung tangan berfungsi untuk mengurangi efek langsung angin maupun

kondisi cuaca ketika berkendara dan meminimalkan dampak cedera pada saat
terjadi kecelakaan lalu lintas. Penahan benturan, goresan, dan berbahan yang
kuat merupakan standar dari sarung tangan untuk mengendarai sepeda motor.
Sarung tangan juga harus nyaman ketika digunakan dan memberi kemampuan
menggenggam setang dengan baik.

4.

Jaket
Jaket merupakan pakaian pelindung pengendara sepeda motor ketika terjadi

kecelakaan lalu lintas, selain itu jaket juga berfungsi untuk membantu pengendara
sepeda motor menghadapi kondisi cuaca ketika berkendara. Jaket yang baik
adalah tidak mudah sobek dan menggelembung ketika dipakai berkendara, jaket
harus menutupi seluruh lengan dan melekat erat pada leher, pergelangan tangan,
dan pinggang pada saat berkendara. Selain itu, warna jaket harus terang agar
dapat terlihat oleh pengendara lain ketika malam hari.

Universitas Sumatera Utara

5.

Sepatu
Sepatu berfungsi untuk

melindungi pergelangan kaki. Sepatu dapat

mengurangi efek langsung ke arah kaki pada pengendara sepeda motor ketika
terjadi kecelakaan lalu lintas. Sepatu harus didesain untuk berkendara sepeda
motor dan terbuat dari kulit atau bahan sintetis kuat lainnya. Dapat melindungi
pergelangan kaki, memiliki alas sepatu yang mampu menapak dengan baik dan
memiliki bagian yang diperkuat sebagai perlindungan tambahan. Sepatu tidak
boleh

memiliki anting-anting, tali-tali atau sisi yang elastis, karena dapat

menimbulkan masalah bagi pengendara dan dapat menyangkut pada motor atau
pada saat kecelakaan.

2.2.

CEDERA KEPALA

2.2.1. Anatomi Kepala
Berdasarkan ATLS (2008), anatomi dari kepala adalah :
1.

Kulit kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :

a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Perikranium.
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea apone urotika dari
perikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal).

Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan
akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama
pada bayi dan anak-anak.

2.

Tulang tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria

khususnya di bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporal. Basis kranii berbentuk tidak rata sehinga dapat melukai bagian dasar

Universitas Sumatera Utara

otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Akselerasi adalah
gerakan cepat yang terjadi mendadak, sedangkan de-akselerasi adalah
penghentian akselerasi secara mendadak (Mardjono, 2009). Lantai dasar rongga
tengkorak dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior, fosa media, dan fosa posterior.
Fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat lobus temporalis, dan fosa
posterior adalah ruang bagian bawah batang otak dan otak kecil (serebelum).

3.

Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3

lapisan yaitu : duramater, araknoid dan piamater. Duramater merupakan selaput
yang kuat, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan
dalam dari kranium. Pada beberapa tempat tertentu , duramater membelah
menjadi 2 lapis membentuk sinus venosus besar yang mengalirkan darah vena
otak.
Sinus sagitalis superior yang terletak di garis tengah mengalirkan darah
vena ke sinus transverses kanan dan kiri lalu ke sinus sigmoideus yang umumnya
sebelah kanan lebih besar. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat. Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan
dalam dari kranium (ruang epidural). Fraktur atau patah tulang diatasnya dapat
menyebabkan laserasi arteri-arteri itu dan dapat menyebabkan perdarahan
epidural. Perdarahan yang hebat dari cedera arteri ini dapat menyebabkan
perburukan yang sangat cepat bahkan kematian.
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan
tembus pandang disebut selaput arakhnoid. Karena duramater tidak melekat ke
arakhnoid, maka ada suatu rongga / space diantaranya yaitu rongga subdural yang
kedalamnya dapat berkumpul perdarahan. Pada cedera otak, vena-vena yang
berjalan dari permukaan otak ke sinus-sinus duramater dapat saja mengalami
robekan, menyebabkan terjadinya perdarahan subdural.

4.

Otak

Universitas Sumatera Utara

Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum
terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu
lipatan duramater yang merupakan lanjutan dari sinus sagitalis superior di garis
tengah. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia. Hemisfer otak
yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus
frontal mengontrol inisiatif, emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi dominan
mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses
penglihatan.
Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medula
oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular
yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata
terdapat pusat kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medulla spinalis.
Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis
yang berat. Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, membentuk hubungan dengan
medula spinalis, batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri.

Lobus parietalis

Korteks serebrum

serebrum

Lobus frontalis
Lobus oksipitalis

Korpus kalosum
Lobus temporalis

mesensefalon
Batang otak

serebellu
m

pons

serebellum
Medulla oblongata

Gambar 2.3. Bagian-bagian otak manusia (Aare,2003)

Universitas Sumatera Utara

5.

Cairan serebrospinal
Ventrikel-ventrikel adalah sistem berupa rongga yang berisi cairan serebro

spinal (CSS). Berlokasi dibagian atap ventrikel lateralis kanan dan kiri dan
ventrikel III terdapat Plexus Khoroideus yang menghasilkan CSS dengan
kecepatan kira-kira

20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral ke foramen

monro menuju ventrikel III lalu ke aquaductus sylvii menuju ventrikel IV di fossa

posterior. Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang
subarakhnoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS
akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio araknoid menuju
sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menggangu penyerapan
CSS, menyebabkan tekanan tinggi intracranial dan pembesaran ventrikel
(hidrosefalus komunikan paska trauma). Pembengkakan / edema dan lesi massa (
mis : perdarahan) dapat menyebabkan pergeseran ventrikel yang biasanya simetris
yang dengan mudah terlihat pada hasil CT scan otak.

6.

Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra

tentorial (terdiri dari fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang
infratentorial

(berisi

fosa

kranii

posterior).

Mesensefalon

(midbrain)

menghubungkan hemisfer serebri dengan batang otak (pons dan medulla
oblongata) dan berjalan melalui celah lebar tentorium serebelli yang disebut
insisura tentorial.
Bagian otak yang sering mengalami herniasi melalui insisura tentorial
adalah sisi medial lobus temporal yang disebut unkus. Herniasi unkus juga
menyebabkan penekanan trtaktus kortikospinalis (piramidalis) yang berjalan di
midbrain/otak tengah.

2.2.2. Patogenesis Cedera Kepala
Benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan :

Universitas Sumatera Utara

a)

Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak. Biasanya yang terjadi
hanyalah luka benturan karena kepala akan bergerak mengikuti arah gaya
benturan.

b)

Kepala yang bergerak membentur benda yang diam. Pada keadaan ini
benturan akan bekerja penuh pada kepala. Dalam hal ini dapat terjadi
macam-macam lesi

c)

Kepala yang tidak dapat bergerak karena menyender pada benda lain
dibentur oleh benda yang bergerak. Kepala tergencet. Pada keadaan ini
mula-mula ialah retak atau hancurnya tulang tengkorak . Bila gencetannya
hebat tentu saja otak pun akan hancur.

Ada beberapa hipotesis yang mencoba menerangkan terjadinya lesi pada
jaringan otak dan selaput otak pada trauma kapitis :
a)

Getaran otak
Trauma pada kepala menyebabkan seluruh tengkorak beserta isinya
bergetar. Kerusakan yang terjadi bergantung pada besarnya getaran.
Makin besar getarannya makin besar kerusakan yang timbul.

b)

Deformitas tengkorak
Benturan pada tengkorak menyebabkan menggepeng pada tempat
benturan itu. Tulang yang menggepeng ini akan membentur jaringan
dibawahnya dan menimbulkan kerusakan. Pada sisi diseberangnya
tengkorak bergerak menjauh dari jaringan otak dibawahnya sehingga
timbul ruangan vakum yang dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh
darah.

c)

Pergeseran otak
Benturan pada kepala menyebabkan otak bergeser mengikuti arah gaya
benturan. Gerakan geseran lurus ini disebut juga gerakan translasional.
Geseran ini dapat menimbulkan lesi bila permukaan dalam tengkorak
kasar seperti yang terdapat di dasar tengkorak. Kelambanan otak karena
konsistensinya yang lunak menyebabkan gerakannya tertinggal terhadap

Universitas Sumatera Utara

gerakan tengkorak. Di daerah seberang gerakan otak akan membentur
tulang tengkorak, dengan segala akibatnya.
d)

Rotasi otak
Pada tahun 1865 Alquie pada percobaanya pada mayat dan hewan telah
mengetahui bahwa pada benturan kepala otak mengalami rotasi sentrifugal
yang mengakibatkan benturan otak pada tabula interna tengkorak.
Holbourn (1943) mengatakan bahwa rotasi otak dapat terjadi pada bidang
sagital, horizontal dan koronal atau kombinasinya. Gerakan berputar ini
tampak di semua daerah kecuali di daerah frontal dan temporal. Di daerah
dimana otak dapat bergerak kerusakan yang terjadi sedikit atau tidak ada.
Kerusakan terbesar terjadi di daerah yang tidak dapat bergerak atau
terbatas gerakannya, yaitu daerah frontal di fossa serebri anterior dan
daerah temporal di fossa serebri media. Karena sulit bergerak ini, jaringan
otak di daerah ini mengalami regangan yang mengakibatkan kerusakan
pada pembuluh darah dan serat-serat saraf (Markam, 1999).

2.2.3. Patofisiologi Cedera Kepala
Tahap pertama cedera otak setelah trauma kepala dicirikan dengan
kerusakan langsung jaringan dan gangguan pada metabolism dan aliran darah
otak. Pola yang menyerupai ‘iskemia’ ini memicu penumpukan asam laktat akibat
glikolisis anaerob, meningkatnya permeabilitas membran, dan edema. Ketika
metabolism anaerob sudah tidak mampu lagi mempertahankan cadangan energi
sel, cadangan ATP akan menurun dan gangguan pompa ion yang bergantung ATP
pun terjadi. Disamping itu, terjadi juga pelepasan neurotransmitter eksitatorik
seperti glutamat dan aspartat, pengaktifan reseptor NMDA, dan masuknya
kalsium serta natrium ke dalam sel. Hal ini memicu ‘self-digesting’ pada sel.
Kalsium mengaktifkan lipid peroksidase, protease, phopolipase yangmana
meningkatkan konsentrasi asam lemak bebas dan radikal bebas. Pengaktifan
caspases (ICE-like protein), translocases, dan endonucleases memicu perubahan
struktur daripada membrane dan nukleosomal DNA (fragmentasi DNA dan
hambatan pada perbaikan DNA). Selanjutnya hal ini menimbulkan degradasi

Universitas Sumatera Utara

membran vaskuler dan struktur sel hingga akhirnya nekrosis maupun apoptosis
(Werner, 2007).

2.2.4. Klasifikasi
Menurut ATLS, secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu
berdasarkan (1) Mekanisme, (2) Berat-Ringannya, (3) Morfologi

1.

Mekanisme cedera kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul

biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan
benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak dan bacok.

2.

Beratnya Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan sebagai pengukur secara klinis

beratnya cedera otak. Penderita yang membuka kedua matanya secara spontan,
mematuhi perintah, dan berorientasi dengan baik mempunyai nilai GCS total
sebesar 15, sementara pasien yang lemah tidak dapat membuka mata sama sekali
atau tidak bersuara nilai GCS-nya minimal yaitu 3. Nilai GCS sama atau kurang
dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Pasien dengan nilai GCS
9-12 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS
13-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Dalam penilaian GCS, jika
terdapat asimetri ekstremitas kanan/kiri maka yang dipergunakan adalah angka
respon motorik terbaik sebagai pengukuran karena hal itu adalah alat prediksi
yang lebih cocok.

3.

Morfologi
Cedera kepala dapat meliputi fraktur tulang tengkorak, kontusio,

perdarahan, dan cedera difus.
a.

Fraktur kranium

Universitas Sumatera Utara

Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak. Fraktur
dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun
tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan
dengan teknik “bone window” untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tandatanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Fraktur kranium tidak selalu mengakibatkan gangguan neurologis. Tetapi,
ketika fragmen tulang menembus pembuluh darah atau jaringan otak, komplikasi
yang dapat terjadi mungkin ringan, sedang ataupun berat. Fraktur kranium dibagi
dua yaitu terbuka dan tertutup. Fraktur tertutup adalah fraktur tulang tanpa adanya
cedera yang substansial pada kulit. Disisi lain, fraktur terbuka lebih serius
daripada fraktur tertutup karena kemungkinan terjadinya infeksi disebabkan
rusaknya jaringan sekitar dan terpapar kepada pathogen-patogen (Aare, 2003).

b.

Lesi Intrakranial
1)

Cedera otak difus
Cedera otak difus mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT

scan normal sampai cedera iskemik-hipoksik yang berat. Pada konkusi,

penderita biasanya menderita kehilangan gangguan neurologis nonfokal
sementara , yang seringnya termasuk hilangnya kesadaran. Peregangan
menurut poros batang otak bisa menimbulkan blockade reversibel pada
lintasan

retikularis

asendens

difus,

sehinggaselama

blokade

itu

berlangsung, otak tidak mendapat “input” aferen, yang berarti bahwa
kesadaran menururn sampai derajat yang terendah (Mardjono, 2009).
Cedera otak difus berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi otak
karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera
setelah trauma. Pada kasus demikian, awalnya CT scan sering
menunjukkan gambaran normal, atau gambaran otak bengkak secara
merata dengan batas area substansia putih dan abu-abu hilang. Kelaianan
difus lainnya, sering terlihat pada cedera dengan kecepatan tinggi atau
deselerasi, yang dapat menunjukkan gambaran titik-titik perdarahan

Universitas Sumatera Utara

multiple di seluruh hemisfer otak yang terkonsentrasi di batas area putih
dengan abu-abu.
2)

Perdarahan Epidural
Hematoma epidural berbentuk bikonveks atau cembung sebagai

akibat dari pendorongan perdarahan terhadap duramater yang sangat
melekat di tabula interna tulang kepala. Sering terletak di area temporal
atau

temporoparietal

dan

biasanya

disebabkan oleh robeknya

arteri

meningea media akibat

fraktur tulang

tengkorak

Gambar 2.4. Epidural hematom, dengan pendarahan tampak pada sisi kanan
bawah

3)

Perdarahan Subdural
Perdarahan ini terjadi akibat robeknya pembuluh darah/vena-vena

kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya
mengikuti dan menutupi permukaan hemisfer otak. Kerusakan otak yang
berada dibawah perdarahan subdural biasanya

lebih berat dan

prognosisnya lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.5. Subdural hematom, dengan pendarahan tampak pada sisi kiri

4)

Kontusio dan Perdarahan Intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi di lobus frontal dan lobus temporal,

walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri
dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berkumpul menjadi
perdarahan intraserebral atau kontusio yang luas sehingga menyebabkan
lesi desak ruang yang membutuhkan tindakan operasi (ATLS, 2008).

2.2.5. Pemeriksaan
Japardi (2004) mengatakan bahwa pemeriksaan neurologis yang harus
segera dilakukan terhadap penderita cedera kepala setelah resusitasi meliputi :
1.

Tingkat kesadaran

2.

Pupil dan pergerakan bola mata, termasuk saraf cranial

3.

Reaksi motorik terhadap berbagai rangsang dari luar

4.

Reaksi motorik terbaik

5.

Pola pernapasan

2.2.6. Glasgow Coma Scale sebagai Indikator Dini dalam Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada

tahun 1974 (Jennet dan Teasdale, 1974 dalam Ilyas, 2010). Awalnya GCS
diciptakan untuk memberikan standardisasi temuan neurologis dan untuk
mengukur derajat kesadaran pasien. Saat ini, GCS merupakan instrumen yang
paling sering digunakan oleh klinisi untuk menilai derajat keparahan cedera
kepala melalui observasi yang sederhana tanpa disertai tindakan invasif (Gabbe,
2003). GCS juga memiliki peranan penting dalam memprediksi risiko kematian di
awal trauma. Dari GCS dapat diperoleh infomasi yang efektif mengenai pasien
trauma kepala, kemampuan GCS dalam menentukan kondisi yang membahayakan
jiwa adalah 74,8%. Suatu penelitian yang mengevaluasi penggunaan GCS untuk

Universitas Sumatera Utara

menilai prognosi jangka panjang menunjukkan validitas prediksi yang baik
dengan sensitivitas 79-97% dan spesifisitas 84-97% (Irawan dkk, 2010).
Terdapat tiga aspek yang dinilai dalam GCS yaitu reaksi membuka mata
(eye opening ), reaksi berbicara (verbal respons), dan reaksi lengan serta tungkai
(motor respons).
Glasgow Coma Scale (GCS) yang dimaksud adalah :
a. Membuka mata (Eye Open) Nilai
Membuka mata spontan

4

Membuka mata terhadap perintah

3

Membuka mata terhadap nyeri

2

Tidak membuka mata

1

b. Respon Verbal (Verbal Response)
Orientasi baik dan mampu berkomunikasi

5

Bingung (dapat bentuk kalimat, tetapi arti keseluruhan kacau)

4

Dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak berupa kalimat

3

Tidak mengucapkan kata, hanya suara mengerang (groaning)

2

Tidak ada suara

1

c. Respon motorik (Motoric Response)
Menurut perintah

6

Mengetahui lokasi nyeri

5

Menolak rangsangan nyeri pada anggota gerak

4

Menjauhi rangsangan nyeri (flexion)

3

Ekstensi spontan

2

Tidak ada gerakan

1

Skala dihitung dengan penjumlahan semua nilai respon.
E + M + V = 3 sampai dengan 15
Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan
menjadi:
a. Cedera kepala ringan, bila GCS 13-15
b. Cedera kepala sedang, bila GCS 9-12

Universitas Sumatera Utara

c. Cedera kepala berat, bila GCS 3-8

Glasgow Coma

Scale (GCS) memiliki kemampuan memprediksi

kemungkinan pasien pengendara sepeda motor yang mengalami kecelakaan lalu
lintas untuk dirawat di rumah sakit bila nila GCSnya rendah. Komponen motorik
GCS secara mandiri ternyata mampu memprediksi angka kematian setelah
trauma. Skor total GCS < 9 juga terbukti secara signifikan memberikan kerugian
yang lebih besar bila diukur dengan Dissability Rating Score (DRS) (Gabbe,
2003). Selain itu GCS juga berfungsi sebagai panduan dalam triase. Triase adalah
klasifikasi pasien di Unit Gawat Darurat (UGD) untuk menentukan prioritas
kebutuhan

dan

tempat

terbaik

dalam

perawatan

dan

pengobatannya

(Markam,2008).
Penentuan skor awal GCS yang dapat dipercaya dan belum diberi
pengobatan apapun atau sebelum tindakan intubasi mempunyai nilai yang sangat
penting (American Association of Neurological Surgeons, 2000 dalam Ilyas,
2007). Masalah yang berkembang sekarang ini adalah penggunaan GCS pada
pasien intubasi. (Budiman, 2010).

Skor GCS seharusnya telah diperiksa pada

penderita-penderita awal cedera terutama sebelum mendapat obat-obat paralitik
dan sebelum intubasi ( Alberico dkk, 1987 dalam Ilyas, 2010). Selain itu, GCS
juga memiliki kegagalan dalam mengukur refleks batang otak. Pengukuran ini
memiliki bias numerik dalam

menghitung respon motorik. Pada beberapa

penderita, skor mata dan skor verbal sulit ditentukan pada mata yang bengkak dan
setelah tindakan intubasi endotrakeal (Kelly dkk., 1996 dalam Kamal, 2010).
Kendati banyak kekurangannya, GCS masih digunakan secara luas untuk
mengukur ketidaksadaran (Budiman, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Insidensi Fraktur Maksilofasial Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Pada Pengendara Sepeda Motor Di RSUP H. Adam Malik Medan

5 71 79

Pengaruh Pemakaian Helm Terhadap Derajat Cedera Kepala pada Pengendara Sepeda Motor yang Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas yang Dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2012

4 18 74

GAMBARAN FRAKTUR MAKSILOFASIAL AKIBAT KECELAKAAN LALU LINTAS PADA PENGENDARA SEPEDA MOTOR YANG MENGGUNAKAN HELM.

0 1 3

Pengaruh Pelanggaran Lalu Lintas Terhadap Potensi Kecelakaan Pada Remaja Pengendara Sepeda Motor.

0 0 14

POLA PERLUKAAN PADA PENGENDARA SEPEDA MOTOR YANG MENGALAMI KECELAKAAN LALU LINTAS - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 14

Pengaruh Pemakaian Helm Terhadap Derajat Cedera Kepala pada Pengendara Sepeda Motor yang Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas yang Dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2012

0 0 12

Pengaruh Pemakaian Helm Terhadap Derajat Cedera Kepala pada Pengendara Sepeda Motor yang Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas yang Dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2012

0 2 2

Pengaruh Pemakaian Helm Terhadap Derajat Cedera Kepala pada Pengendara Sepeda Motor yang Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas yang Dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2012

0 0 4

Pengaruh Pemakaian Helm Terhadap Derajat Cedera Kepala pada Pengendara Sepeda Motor yang Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas yang Dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2012

0 0 4

Pengaruh Pemakaian Helm Terhadap Derajat Cedera Kepala pada Pengendara Sepeda Motor yang Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas yang Dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2012

0 0 8