Pengaruh Pemakaian Helm Terhadap Derajat Cedera Kepala pada Pengendara Sepeda Motor yang Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas yang Dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2012

(1)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Andre Hutasoit

Tempat/Tgl Lahir : Pematangsiantar, 10 November 1991 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jl. Abdul Hakim, Perumahan Classic 1 Blok B no.6

Orangtua : Ungkap Hutasoit

Bangun Manurung

Status : Belum menikah

Riwayat Pendidikan : 1. TK Cinta Rakyat 2 Pematangsiantar 2. SD Swasta RK No. 2 Pematangsiantar 3. SMP Negeri 1 Pematangsiantar

4. SMA Swasta Budi Mulia Pematangsiantar Riwayat Pelatihan : 1. Penerimaan Mahasiswa Baru FK USU 2010

2. Bakti sosial Mahasiswa Kristen FK USU 2013 Riwayat Organisasi : 1. Ketua Komisi II MPMF FK USU


(2)

(3)

(4)

HASIL OUTPUT

jeniskelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid lakilaki 66 63.5 63.5 63.5

perempuan 38 36.5 36.5 100.0

Total 104 100.0 100.0

usia

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid <=25thn 66 63.5 63.5 63.5

>25thn 38 36.5 36.5 100.0

Total 104 100.0 100.0

pendidikan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid SD 19 18.3 18.3 18.3

SMP 21 20.2 20.2 38.5

SMA 60 57.7 57.7 96.2

PT 4 3.8 3.8 100.0

Total 104 100.0 100.0

sim

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 70 67.3 67.3 67.3

Tidak 34 32.7 32.7 100.0


(5)

cuaca

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid cerah 85 81.7 81.7 81.7

hujan 19 18.3 18.3 100.0

Total 104 100.0 100.0

konturjalan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid datar 77 74.0 74.0 74.0

naik 9 8.7 8.7 82.7

turun 18 17.3 17.3 100.0

Total 104 100.0 100.0

belokan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid belok 36 34.6 34.6 34.6

lurus 68 65.4 65.4 100.0

Total 104 100.0 100.0

lubang

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid berlubang 24 23.1 23.1 23.1

tidakberlubang 80 76.9 76.9 100.0


(6)

tipekendaraan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid honda 57 54.8 54.8 54.8

yamaha 26 25.0 25.0 79.8

suzuki 8 7.7 7.7 87.5

kawasaki 9 8.7 8.7 96.2

lainlain 4 3.8 3.8 100.0

Total 104 100.0 100.0

cckendaraan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid <125cc 42 40.4 40.4 40.4

>=125cc 62 59.6 59.6 100.0

Total 104 100.0 100.0

usiakendaraan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid <2009 53 51.0 51.0 51.0

>=2009 51 49.0 49.0 100.0

Total 104 100.0 100.0

pakehelmkel

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 52 50.0 50.0 50.0

berat 1 1.0 1.0 51.0

ringan 42 40.4 40.4 91.3

sedang 9 8.7 8.7 100.0


(7)

gapakehelmkel

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 52 50.0 50.0 50.0

berat 16 15.4 15.4 65.4

ringan 28 26.9 26.9 92.3

sedang 8 7.7 7.7 100.0

Total 104 100.0 100.0

helm * gcsterbarukel Crosstabulation Count

gcsterbarukel

Total ringan sedang-b

helm Ya 42 10 52

Tidak 28 24 52

Total 70 34 104

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 8.565a 1 .003

Continuity Correctionb 7.385 1 .007

Likelihood Ratio 8.759 1 .003

Fisher's Exact Test .006 .003

N of Valid Cases 104

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.00. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for helm (Ya /

Tidak)

3.600 1.495 8.672 For cohort gcsterbarukel =

ringan

1.500 1.129 1.994 For cohort gcsterbarukel =

sedang-b

.417 .222 .782


(8)

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Aare, M., 2003. Prevention of Head Injuries Focusing Specifically on Oblique Impacts. Stockholm : Royal Institute of Technology (KTH), 2-8.

American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008. Advanced Trauma Life Support. USA : American College of Surgeons, 167-184.

Badan Intelijen Negara, 2012. Kecelakaan lalu Lintas menjadi Pembunuh Terbesar Ketiga. Diambil dari : www.bin.go.id [diakses 10 April 2013]. Badan Pusat Statistik, 2012. Statistik Indonesia 2012. Diambil dari :

http://www.bps.go.id [diakses 18 April 2013].

Budiman, 2010. Penatalaksanaan Umum Koma. Dalam : Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus S.K., Setiati, S., 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing, 208-209.

Bustan, M.N., 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Edisi kedua. Jakarta : PT. Rineka Cipta, 198-203.

Cook, L.J., Kerns, T., Burch, C., Thomas, A., Bell, E., 2009. Motorcycle Helmet Use and Head and Facial Injuries: Crash Outcome in CODES-Linked data. U.S. Department of Transportation, National Highway Traffic Safety Administration.

Dahlan, M.S., 2009. Besar sampel dan Cara Pengambilan Sampel. Jakarta : Penerbit Salemba Medika, 43-44.

Fuentes, C. et al., 2011. Helmet Use for The Prevention of Brain Injuries in Motorcycle Accidents. Spain : University of Giroma, 222.

Gabbe, B.D. et al., 2003. The Status of The Glasgow Coma Scale. Emergency Medicine, 15: 353-360


(10)

Ilyas, K.K., 2010. Gambaran Glasgow Coma Scale pada Pasien Trauma Kapitis di RSUP HAM Medan Tahun 2009. Diambil dari : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21501 [diakses 02 Mei 2013] Irawan, H., Felicia, S., Dewi, Dewanto, G., 2010. Perbandingan Glasgow Coma Scale dan Revised Trauma Score dalam Memprediksi Disabilitas Pasien Trauma Kepala di Rumah Sakit Atma Jaya. Majalah Kedokteran Indonesia, 60 (10): 437-441

Japardi, I., 2004. Cedera Kepala. P.T. Jakarta Barat : Bhuana Ilmu Populer, 1-33. Kusmagi, M.A., 2010. Selamat Berkendara di Jalan Raya. Depok : Penerbit Raih

Asa Sukses (Penebar Swadaya Grup).

Manurung, J.R.H., 2012. Hubungan Faktor-faktor Penyebab dan Akibat Kecelakaan Lalu Lintas pada Pengendara Sepeda Motor di Kota Medan

Tahun 2008-2010. Diambil dari :

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/34939 [diakses 25 April 2013]

Mardjono, M., Sidharta, P., 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : PT. Dian Rakyat, 248-259.

Markam, S., Atmadja, D.S., Budijanto, A., 1999. Cedera Tertutup Kepala. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 24-61.

Markam, S., Laksman, H., Ganiswarna, S., 2008. Kamus Kedokteran. Edisi Kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Nasution, Efrika Susanti, 2008. Karakteristik Penderita Cedera Kepala Akibat Kecelakaan Lalu Lintas yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum

Padang Sidempuan 2005-2007. Diambil dari :

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/16495 [Diakses 2 Desember 2013]


(11)

Nurdjanah, N., 2009. Kajian Dampak Pertumbuhan Sepeda Motor Terhadap Kecelakaan lalu Lintas dan Konsumsi BBM. Warta Penelitian Perhubungan, 21 (9): 863-871.

Oktaviana, Firma, 2008. Pola Cedera Kecelakaan Lalu Lintas pada Kendaraan Bermotor Dua Berdasarakan Data RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Tahun 2003-2007. Diambil dari

http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/125891-S-5384-Pola cidera-Analisis.pdf [Diakses 3 Desember 2013]

Republik Indonesia, 1992. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Republik Indonesia, 2009. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Riyadina, W., 2009. Profil Cedera Akibat Jatuh, Kecelakaan Lalu Lintas dan Terluka Benda Tajam/Tumpul pada Masyarakat Indonesia. Jurnal Penyakit Tidak Menular Indonesia 1 (1): 1-11.

Rowland, J. et al., 1996. Motorcycle Helmet Use and Injury Outcome and Hospitalization Costs from Crashes in Washington State. American Journal of Public Health 86 (1): 43-44.

Sastroasmoro, S., 2011. Pemilihan Subyek Penelitian. Dalam : Sastroasmoro, S., Ismael, S., 2011. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi Keempat. Jakarta : CV. Sagung Seto, 99.

Simarmata, Y.W., 2008. Kecelakaan Lalu Lintas Pada Pengendara Sepeda Motor Tahun 2007 Di Wilayah Jakarta Timur. Skripsi. Fakultas kesehatan masyarakat. Universitas Indonesia, Jakarta.

Standar Nasional Indonesia. 2007. Helm Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional.

Suma’mur P.K., 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes). Jakarta : CV Sagung Seto, 405.


(12)

Suradi, Rulina dkk. Dalam : Sastroasmoro, S., Ismael, S., 2011. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi Keempat. CV. Jakarta : Sagung Seto, 132.

Sutarto, 2003. Pengaruh Pemakaian Helm dan Kecepatan Kendaraan Terhadap Tingkat Beratnya Trauma Akibat Kecelakaan Lalu Lintas pada Pengemudi Sepeda Motor. Diambil dari : http://eprints.undip.ac.id/13721 [ Diakses 2 Desember 2013 ]

Warpani, S.P., 2002. Pengelolaan lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Bandung : Penerbit ITB, 106-121.

Werner, C., Engelhard, K., 2007. Pathophysiology of Traumatic Brain Injury. British Journal of Anaesthesia, 99 (1): 4-9.


(13)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Secara garis besar terdapat empat faktor yang berpengaruh terhadap kejadian kecelakaan lalu lintas (KLL). Keempat faktor tersebut antara lain : faktor manusia, kendaraan, jalan, dan lingkungan. Faktor manusia dianggap sebagai faktor yang paling menentukan kejadian KLL. Faktor manusia tersebut seperti : jenis kelamin, kepemilikan SIM, usia, pendidikan, dll.

Akibat KLL dapat terjadi cedera pada tubuh, seperti cedera pada kepala. Terdapat beberapa faktor risiko yang mempengaruhi derajat cedera kepala, salah satunya adalah pemakaian helm pada pengendara sepeda motor. Derajat cedera kepala diklasifikasikan menjadi tiga yaitu cedera kepala ringan, sedang, dan berat yang diukur dengan Glasgow Coma Scale (GCS).

Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah pemakaian helm pada pengendara sepeda motor dan variabel terikat adalah derajat cedera kepala. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 3.1.

Gambar 3.1. Bagan kerangka konsep penelitian CEDERA KEPALA AKIBAT KECELAKAAN

LALU LINTAS

NILAI

GCS

FAKTOR PENYEBAB KECELAKAAN LALU LINTAS


(14)

3.2. Definisi Operasional

1. Pemakaian helm

Definisi : Dipakai atau tidaknya helm oleh pengendara sepeda motor pada saat mengalami kecelakaan lalu lintas

Alat ukur : Lembar pertanyaan wawancara

Cara ukur : Menghubungi pasien maupun keluarga pasien untuk mendapat data mengenai pemakaian helm. Data nomor telepon pasien diperoleh dari rekam medis pasien

Hasil ukur : Pengendara yang memakai helm dan tidak memakai helm Skala : Nominal

2. Derajat cedera kepala

Definisi : Tingkat beratnya cedera kepala yang dialami pengendara sepeda motor akibat kecelakaan lalu lintas.

Alat ukur : Rekam medis

Cara ukur : Melihat skor total GCS yang terdapat pada rekam medis pasien. Skor total GCS diperoleh dengan menjumlahkan 3 aspek, yaitu :

a. Membuka mata (Eye Open)

Membuka mata spontan 4

Membuka mata terhadap perintah 3 Membuka mata terhadap nyeri 2

Tidak membuka mata 1

b. Respon Verbal (Verbal Response)

Orientasi baik dan mampu berkomunikasi. 5 Bingung (mampu membentuk kalimat, tetapi arti

keseluruhan kacau) 4

Dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak berupa


(15)

Tidak mengucapkan kata, hanya suara mengerang

(groaning) 2

Tidak ada suara 1

c. Respon motorik (Motoric Response)

Menurut perintah 6

Mengetahui lokasi nyeri 5

Menolak rangsangan nyeri pada anggota gerak 4 Menjauhi rangsangan nyeri (flexion) 3

Ekstensi spontan 2

Tidak ada gerakan 1

Hasil ukur : Dengan menjumlahkan ketiga aspek diatas maka diperoleh skor total GCS 3-15. Lalu dilakukan klasifikasi derajat cedera kepala berdasarkan skor total GCS, yaitu :

a. Cedera kepala ringan, bila GCS 13-15 b. Cedera kepala sedang, bila GCS 9-12 c. Cedera kepala berat, bila GCS 3-8 Skala : Ordinal

3. Usia

Definisi : Jumlah tahun hidup korban/pengemudi, sejak dia dilahirkan hingga dia mengalami kecelakaan.

Alat ukur : Rekam medis

Cara ukur : Melihat data usia pada rekam medis Hasil ukur : Usia pengendara > 25 tahun dan ≤ 25 tahun Skala : Rasio

4. Jenis Kelamin

Definisi : Pengelompokan pengendara sepeda motor berdasarkan jenis kelaminnya.

Alat ukur : Rekam medis


(16)

Hasil ukur : Laki-laki dan perempuan Skala : Nominal

5. Pendidikan

Definisi : Pengelompokan pengendara sepeda motor berdasarkan tingkat pendidikan terakhirnya.

Alat ukur : Lembar pertanyaan wawancara

Cara ukur : Menghubungi pasien maupun keluarga pasien. Data nomor telepon diperoleh dari rekam medis pasien.

Hasil ukur : SD, SMP, SMA, Sarjana Skala : Ordinal

6. Kepemilikan SIM C

Definisi : Pengelompokan pengendara sepeda motor berdasarkan ada atau tidaknya SIM C.

Alat ukur : Lembar pertanyaan wawancara

Cara ukur : Menghubungi pasien maupun keluarga pasien. Data nomor telepon diperoleh dari rekam medis pasien.

Hasil ukur : Memiliki SIM C dan tidak memiliki SIM C Skala : Nominal

7. Kondisi kendaraan

Definisi : Kondisi kendaraan yang digunakan pasien sebelum terjadinya kecelakaan.

Alat ukur : Lembar pertanyaan wawancara

Cara ukur : Menghubungi pasien maupun keluarga pasien. Data nomor telepon diperoleh dari rekam medis pasien.

Hasil ukur : Jenis sepeda motor, besar cc kendaraan, usia kendaraan Skala : Nominal


(17)

8. Kondisi jalan

Definisi : Kondisi jalan yang dilalui pengendara saat terjadinya kecelakaan

Alat ukur : Lembar pertanyaan wawancara

Cara ukur : Menghubungi pasien maupun keluarga pasien. Data nomor telepon diperoleh dari rekam medis pasien.

Hasil ukur : Jalan datar, mendaki, menurun, berkelok, lurus, dan berlubang.

Skala : Nominal

9. Kondisi lingkungan

Definisi : Kondisi lingkungan pada saat terjadinya kecelakaan Alat ukur : Lembar pertanyaan wawancara

Cara ukur : Menghubungi pasien maupun keluarga pasien. Data nomor telepon diperoleh dari rekam medis pasien.

Hasil ukur : Cuaca cerah, mendung, hujan Skala : Nominal


(18)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemakaian helm terhadap derajat cedera kepala pada pengendara sepeda motor yang mengalami kecelakaan lalu lintas. Desain penelitian yang digunakan adalah kasus-kontrol (case control study) yaitu penelitian epidemiologis analitik observasional yang menelaah hubungan antara efek (penyakit atau kondisi kesehatan) tertentu dengan faktor risiko tertentu. Penelitian dimulai dengan identifikasi pasien dengan efek atau penyakit tertentu (yang disebut sebagai kasus) dan kelompok tanpa efek (disebut kontrol), kemudian secara retrospektif ditelusur faktor risiko yang dapat menerangkan mengapa kasus terkena efek sedangkan control tidak (Suradi, 2011).

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2013 – Desember 2013. Lokasi penelitian adalah di RSUP H. Adam Malik Medan.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas sepeda motor yang dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2012.

4.3.2. Sampel

Besar sampel pada penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus besar sampel penelitian analisis kategorik tidak berpasangan (Dahlan,2009) yaitu :


(19)

N =N = Zα√ + ��√P -P 2 + 2

Keterangan :

Zα = deviat baku alfa = 1,64

�� = deviat baku beta = 0,84

P2 = proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya = 0,12 (Cook, 2009)

Q2 = 1 – P2 = 0,88

P1 = proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement peneliti = 0,32

Q1 = 1 – P1 = 0,68

P1–P2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna = 0,20 P = proporsi total = (P1+P2)/2 = 0,22

Q = 1 – P = 0,78 (Dahlan, 2009)

Dengan memasukkan nilai-nilai ke dalam rumus, maka didapatkan besar sampel untuk tiap kelompok adalah 52 (pengendara yang memakai helm adalah 52, pengendara yang tidak memakai helm adalah 52).

Penelitian ini juga menggunakan kriteria inklusi dan ekslusi, antara lain : Kriteria Inklusi : a) Pasien cedera kepala akibat KLL

b) Data pasien lengkap Kriteria Ekslusi : a) Pasien meninggal

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

a) Data primer yang diperoleh melalui hasil wawancara tidak langsung via telepon kepada pasien maupun keluarga pasien.

b) Data sekunder dengan melihat isi rekam medis pasien.

Teknik pengumpulan data menggunakan metode consecutive sampling yaitu semua subjek yang datang secara berurutan dan memenuhi kriteria


(20)

pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 2011).

Gambar 4.1. Alur kerja penelitian

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data hasil penelitian dilakukan dengan menggunakan program komputer yang sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mengetahui pengaruh pemakaian helm terhadap derajat cedera kepala pada pengendara sepeda motor yang mengalami kecelakaan lalu lintas. Uji statistik yang digunakan untuk membantu analisis adalah Uji X² Chi Square dengan tabulasi silang untuk mencari RP (Risk Prevalent).

Rekam Medis Pasien RSUP H. Adam Malik Medan

Kriteria inklusi dan eksklusi

Pengendara sepeda motor yang memakai helm (n=52)

Pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm (n=52)

Karakteristik pasien :

Derajat cedera kepala(GCS) Usia

Kepemilikan SIM C Jenis Kelamin Pendidikan Kondisi Jalan Kondisi lingkungan Kondisi kendaraan


(21)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dibagian rekam medik RSUP. H. Adam Malik Medan. Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan terletak di Jalan Bungalow No. 17, Medan. Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik ini merupakan rumah sakit kelas A yang juga merupakan rumah sakit rujukan wilayah pembangunan meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat dan Riau. Selain itu rumah sakit ini juga merupakan rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

5.1.2 Deskripsi Sampel

Subjek yang menjadi sampel pada penelitian ini adalah rekam medik pasien rawat inap yang mengalami cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik tahun 2012.

Teknik pengambilan sampel menggunakan metode consecutive sampling. Dengan menggunakan rumus besar sampel penelitian analisis kategorik tidak berpasangan maka didapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 52 untuk tiap kelompok yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi ( pengendara yang memakai helm adalah 52, pengendara yang tidak memakai helm adalah 52 ).

5.1.2.1 Karakteristik Pasien Cedera Kepala Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Berdasarkan penelitian, pasien cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak adalah laki-laki yaitu 66 orang

(63,5%), berdasarkan usia yang paling banyak adalah ≤ 25 tahun sebanyak 66 pasien (63,5%), berdasarakan tingkat pendidikan terakhir yang paling banyak adalah SMA 60 pasien (57,7%), berdasarakan kepemilikan SIM C yang paling banyak adalah pengendara yang memiliki SIM C 70 pasien (67,3%).


(22)

Tabel 5.1. Karakteristik Pasien Cedera Kepala Akibat Kecelakaan Lalu Lintas

5.1.2.2 Karakteristik Kendaraan

Berdasarkan penelitian, kondisi kendaraan pada saat terjadinya kecelakaan lalu lintas secara garis besar dibagi menjadi tiga, yaitu jenis kendaraan, besar cc kendaraan dan usia kendaraan. Jenis kendaraan yang paling banyak adalah Honda 57 buah (54,8%), besar cc kendaraan yang paling banyak adalah ≥ 125 cc (59,6%), dan usia kendaraan yang paling banyak adalah > 5 tahun (49%). Dapat dilihat pada tabel 5.2. dibawah ini :

Variabel N %

1. Jenis kelamin

Laki-laki 66 63,5

Perempuan 38 36,5

2. Usia

≤ 25 tahun 66 63,5

> 25 tahun 38 36,5

3. Tingkat Pendidikan

SD 19 18,3

SMP 21 20,2

SMA 60 57,7

PT 4 3,8

4. Kepemilikan SIM

C

Memiliki SIM C 70 67,3

Tidak memiliki

SIM C 34 32,7


(23)

Tabel 5.2. Karakteristik Kendaraan pada Pasien Cedera Kepala Akibat Kecelakaan Lalu Lintas

5.1.2.3 Karakteristik Jalan

Berdasarkan penelitian, kondisi jalan pada saat terjadinya kecelakaan lalu lintas secara garis besar dibagi menjadi tiga, yaitu struktur jalan, kondisi fisik jalan, dan ada tidaknya belokan. Kecelakaan paling sering terjadi pada struktur jalan yang mendatar yaitu sebanyak 77 kasus (74%), dan paling jarang pada struktur jalan mendaki yaitu 9 kasus (8,7%). Berdasarkan kondisi fisik jalan, kecelakaan paling sering terjadi pada kondisi fisik jalan yang tidak berlubang yaitu 80 kasus (76,9%) dan pada kondisi fisik jalan yang berlubang yaitu 24 kasus (23,1%). Kecelakaan juga paling sering terjadi pada kondisi jalan yang lurus yaitu sebanyak 68 kasus (65,4%) dan pada jalan yang berkelok yaitu 36 kasus (34,6%). Dapat dilihat pada tabel 5.3. dibawah ini :

Kondisi Kendaraan N %

1. Jenis Kendaraan

Honda 57 54,8

Yamaha 26 25,0

Suzuki 8 7,7

Kawasaki 9 8,7

Lain-lain 4 3,8

2. Besar cc kendaraan

< 125 cc 42 40,4

≥ 125 cc 62 59,6

3. Usia Kendaraan

≤ 5 tahun 51 49

> 5 tahun 53 51


(24)

Tabel 5.3. Karakteristik Jalan pada Pasien Cedera Kepala Akibat Kecelakaan Lalu Lintas

5.1.2.4 Kondisi Cuaca

Berdasarkan penelitian, kondisi cuaca pada saat terjadinya kecelakaan lalu lintas yaitu pada kondisi cuaca cerah terdapat 85 kasus (81,7%) dan pada kondisi hujan terdapat 19 kasus (18,3%). Dapat dilihat pada tabel 5.4. dibawah ini :

Tabel 5.4. Kondisi Cuaca pada Pasien Cedera Kepala Akibat Kecelakaan Lalu Lintas

Kondisi Jalan N %

1. Gradien Jalan

Mendaki 9 8,7

Datar 77 74,0

Menurun 18 17,3

2. Kondisi Fisik Jalan

Berlubang 24 23,1

Tidak Berlubang 80 76,9

3. Alignment Jalan

Lurus 68 65,4

Belokan 36 34,6

Total 104 100

Cuaca N %

Cerah 85 81,7

Hujan 19 18,3


(25)

5.1.2.5 Deskripsi Derajat Cedera Kepala pada Kelompok Memakai Helm

Berdasarkan penelitian, derajat cedera kepala pada pengendara sepeda motor yang memakai helm dan mengalami kecelakaan lalu lintas adalah derajat ringan 42 kasus (40,4%), sedang 9 kasus (8,7%) dan berat 1 kasus (1,0%). Dapat dilihat pada tabel 5.5. dibawah ini :

Tabel 5.5. Distribusi Derajat Cedera Kepala pada Kelompok Memakai Helm

5.1.2.6 Deskripsi Derajat Cedera Kepala pada Kelompok Tidak Memakai Helm Berdasarkan penelitian, derajat cedera kepala pada pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm dan mengalami kecelakaan lalu lintas adalah derajat ringan 28 kasus (26,9%), sedang 8 kasus (7,7%) dan berat 16 kasus (15,4%). Dapat dilihat pada tabel 5.6. dibawah ini :

Tabel 5.6. Distribusi Derajat Cedera Kepala pada Kelompok Tidak Memakai Helm

Derajat Cedera Kepala N %

Ringan 42 40,4

Sedang 9 8,7

Berat 1 1,0

Total 52 100

Derajat Cedera Kepala N %

Ringan 28 26,9

Sedang 8 7,7

Berat 16 15,4


(26)

5.1.3 Hasil Analisis Data

Analisis data dilakukan melalui analisis bivariat, yaitu untuk melihat hubungan antara variabel independen yaitu pemakaian helm dengan variabel dependen yaitu derajat cedera kepala. Derajat cedera kepala dibagi menjadi dua yaitu derajat ringan (GCS 13-15) dan derajat sedang-berat (GCS 3-12) untuk mendapatkan nilai RP (Risk Prevalent).

Proporsi pengendara sepeda motor yang memakai helm dan mengalami kecelakaan lalu lintas lebih banyak mengalami cedera kepala ringan (42 kasus) daripada cedera kepala sedang-berat (10 kasus). Pada kelompok lain, proporsi pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm dan mengalami kecelakaan lalu lintas didapati yang mengalami cedera kepala ringan sebanyak 28 kasus dan cedera kepala sedang-berat 24 kasus. Adapun distribusi hubungan pemakaian helm dengan derajat cedera kepala dapat dilihat pada tabel 5.7

Tabel 5.7. Distribusi Hubungan Pemakaian Helm dengan Derajat Cedera Kepala

Pemakaian Helm

Derajat Cedera Kepala

p RP

Ringan

Sedang-Berat

Pakai Helm 42 10

.003 3.600

Tidak Pakai Helm 28 24

Total 70 34

Dari hasil uji statistik terlihat bahwa variabel helm secara statistik terbukti berhubungan dengan derajat cedera kepala pada pengendara sepeda motor yang mengalami kecelakaan lalu lintas. Baik nilai p maupun RP, kedua-duanya memiliki nilai yang signifikan yang menyatakan adanya hubungan pemakaian helm dengan derajat cedera kepala.


(27)

5.2. Pembahasan

5.2.1. Gambaran Umum Penelitian

Penelitian ini menganalisis hubungan pemakaian helm dengan derajat cedera kepala pada pengendara sepeda motor yang mengalami kecelakaan lalu lintas. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah univariat dan bivariat. Pada analisis univariat akan menggambarkan distribusi jumlah dan presentase dari masing-masing variabel yang berhubungan dengan kasus. Sedangkan pada analisis bivariat akan menjawab hipotesis yang diajukan yaitu menilai apakah ada hubungan pemakaian helm dengan derajat cedera kepala pada pengendara sepeda motor yang mengalami kecelakaan lalu lintas.

5.2.2. Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Dari tabel 5.1. dapat dilihat distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak adalah laki-laki, yangmana terdapat 66 orang laki-laki (63,5%), sedangkan perempuan lebih sedikit yaitu 38 kasus (36,5%). Berdasarkan penelitian ini, jumlah kasus kecelakaan sepeda motor pada laki-laki hampir mencapai dua kali lipat jumlah kasus yang terjadi pada perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Sutarto (2003) dengan menggunakan catatan rekam medik Rumah Sakit Umum Kabupaten Sragen dan catatan kepolisian Ressort Sragen juga menemukan bahwa korban kecelakaan/pengemudi sepeda motor yang mengalami kecelakaan proporsi terbesar adalah laki-laki yaitu sebesar 73,5%.

Hal ini juga sejalan dengan penelitian cross sectional yang dilakukan oleh Manurung (2012) mendapatkan bahwa jumlah pengendara sepeda motor yang mengalami kecelakaan lalu lintas di wilayah hukum Kepolisian Kota Besar Medan sekitarnya tahun 2008-2010 adalah laki-laki sebesar 755 kasus (88,7%) dan perempuan 96 kasus (11,3%). Hal ini wajar karena tingkat mobilitas laki-laki rata-rata lebih tinggi daripada perempuan. Disamping itu juga jumlah pengendara sepeda motor di jalan, laki-laki lebih banyak daripada perempuan.


(28)

5.2.3. Sampel Berdasarkan Usia

Dari tabel 5.2. dapat dilihat distribusi sampel berdasarkan usia yang paling

banyak adalah usia ≤ 25 tahun yaitu 66 kasus (63,5%) sedangkan usia > 25 tahun

sebanyak 38 kasus (36,5%).

Penelitian yang dilakukan oleh Nasution (2008) juga menemukan bahwa proporsi umur penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas dengan proporsi tertinggi pada kelompok umur ≤ 25 tahun yaitu 62,7% dan yang paling sedikit adalah pada kelompok umur > 25 tahun yaitu 37,3%. Hal ini berkaitan bahwa kelompok umur ≤ 25 tahun termasuk kelompok usia produktif yang lebih aktif menggunakan kendaraan dan jalan raya dalam melakukan aktivitas pekerjaannya, kelompok umur ini juga termasuk usia sekolah yang sering sekali kurang hati-hati atau sembrono dalam berlalu lintas di jalan raya.

Namun berbeda dengan data dari penelitian cross sectional Sutarto (2003) terhadap 68 pasien menemukan bahwa proporsi kecelakaan lalu lintas untuk usia

≤ 25 tahun sebesar 33 kasus (48,5%) dan untuk usia > 25 tahun sebesar 35 kasus (51,5%). Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian.

5.2.4. Sampel Berdasarkan Pendidikan

Dari tabel 5.3. dapat dilihat tingkat pendidikan yang paling banyak adalah SMA 60 pasien (57,7%) dan yang terendah adalah Perguruan Tinggi 4 pasien (3,8%).

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Nasution (2008) di Rumah Sakit Umum Padang Sidempuan dengan hasil proporsi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas paling banyak di tingkat pendidikan menengah (SMA) yaitu sebesar 26,9% dan terendah pada pendidikan Perguruan Tinggi yaitu sebesar 6,1%. Hal ini wajar sebab semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka kemampuannya untuk mengontrol emosi terutama ketika berkendara di jalan raya lebih terkendali sehingga angka kecelakaan lalu lintas lebih kecil pada sampel dengan tingkat pendidikan Perguruan Tinggi.


(29)

5.2.5. Sampel Berdasarkan Kepemilikan SIM C

Dari tabel 5.4. dapat dilihat distribusi sampel berdasarkan kepemilikan SIM C yang paling banyak adalah sampel yang memiliki SIM C yaitu sebanyak 70 sampel (67,3%) dan sampel yang tidak memiliki SIM C sebanyak 34 sampel (32,7%).

Hal ini berbeda dengan penelitian cross sectional terhadap 68 sampel oleh Sutarto tahun 2003, yang menemukan bahwa proporsi sampel yang tidak memiliki SIM C sebanyak 38 sampel (55,9%) dan yang memiliki SIM C sebanyak 30 sampel (44,1%). Penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Manurung tahun 2007 terhadap 851 sampel, yangmana ditemukan proporsi sampel yang memiliki SIM C hanya sebesar 164 sampel (19,3%) dibandingkan dengan sampel yang tidak memiliki SIM C sebesar 687 sampel (80,7%). Tingginya korban kecelakaan yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) menunjukkan masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat untuk mentaati peraturan atau dapat juga menunjukkan masih kurang terampilnya pengemudi dalam mengendarai sepeda motor sehingga mereka belum dapat memiliki SIM C. Namun pada penelitian ini yang justru menunjukkan hal sebaliknya yaitu kasus kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor lebih banyak terjadi pada kelompok yang memiliki SIM C. Hal ini mungkin juga disebabkan mudahnya mengurus SIM C secara illegal akhir-akhir ini melalui biro jasa yangmana sebenarnya individu tersebut belum layak untuk mendapatkan SIM C, sehingga terjadi bias data yang besar.

5.2.6. Sampel Berdasarkan Kondisi Kendaraan

Dari tabel 5.5. dapat dilihat jenis kendaraan yang paling banyak adalah jenis Honda 57 kendaraan (54,8%), besar cc kendaraan yang paling banyak adalah

≥ 125 cc (59,6%), dan usia kendaraan yang paling banyak adalah lebih dari 5

tahun (49%).

Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Sutarto (2003) yang menemukan bahwa jenis Honda merupakan jenis kendaraan paling banyak mengalami


(30)

kecelakaan lalu lintas yaitu sebanyak 38 kendaraan (55,9%). Hal ini mungkin dipengaruhi oleh jumlah sepeda motor jenis Honda yang sangat banyak kita temukan di jalanan. Penelitian Nurdjanah (2009) mendapatkan bahwa sepeda motor jenis Honda menduduki peringkat pertama sebagai sepeda motor dengan penjualan tertinggi di tahun 2009 disusul oleh jenis Yamaha dan Suzuki. Selain itu, dalam penelitian Sutarto (2003), usia kendaraan lebih dari 5 tahun juga paling banyak terlibat dalam kecelakaan lalu lintas yaitu sebanyak 42 kasus (61,8%). Hal ini mungkin disebabkan semakin tingginya umur suatu kendaraan maka kemampuan kendaraan tersebut akan semakin menurun seperti fungsi rem, ban, lampu dan sebagainya, terlebih lagi bila tidak dilakukan pemeliharaan. Sutarto (2003) juga menemukan sepeda motor bermesin diatas 90 cc paling banyak mengalami kecelakaan lalu lintas yaitu sebesar 56 kasus (82,4%). Hal ini mungkin disebabkan semakin tingginya cc suatu kendaraan maka akan berpengaruh pada kecepatan maksimal yang dapat dihasilkan sepeda motor tersebut sehingga risiko untuk mengalami kecelakaan menjadi besar.

5.2.7. Sampel Berdasarkan Kondisi Jalan

Dari tabel 5.6. dapat dilihat kecelakaan paling sering terjadi pada struktur jalan yang mendatar yaitu sebanyak 77 kasus (74%), kondisi fisik jalan yang tidak berlubang yaitu 80 kasus (76,9%), kondisi jalan yang lurus yaitu sebanyak 68 kasus (65,4%).

Berdasarkan penelitian Manurung (2007) didapatkan bahwa proporsi terjadinya kecelakaan lalu lintas pada kondisi jalan yang tidak berlubang adalah sebesar 828 kasus (97,3%), dan pada kondisi jalan yang lurus atau tidak adanya tikungan sebesar 813 kasus (95,5%). Ketiga variabel diatas mungkin dipengaruhi oleh keadaan rata-rata jalanan yang terutama didominasi oleh struktur jalan yang mendatar, kondisi fisik jalan yang mulus serta jalan yang lurus. Menurut survey tahun 2010, kondisi jalan di kota Medan 75% dalam kondisi baik dan 25% dalam kondisi kurang baik. Kondisi jalan yang mulus ataupun tidak berlubang dapat memicu pengendara untuk berkendara dengan kecepatan tinggi, namun tidak menutup kemungkinan kecelakaan juga dapat terjadi pada kondisi jalan yang


(31)

berlubang. Begitu juga pada jalan yang lurus yangmana pengendara cenderung melaju dengan kecepatan tinggi.

5.2.8. Sampel Berdasarkan Kondisi Cuaca

Dari tabel 5.7. dapat dilihat kecelakaan paling sering terjadi pada kondisi cuaca cerah yaitu sebanyak 85 kasus (81,7%) sedangkan pada kondisi cuaca hujan sebanyak 19 kasus (18,3%).

Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Sutarto (2003) yang menemukan bahwa kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada kondisi cuaca cerah sebanyak 66 kasus (97,1%) dan pada kondisi cuaca mendung atau hujan sebanyak 2 kasus (2,9%). Hasil yang serupa juga terdapat pada penelitian oleh Manurung (2012) yang menemukan kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada kondisi hujan hanya sebanyak 28 kasus dari 851 kasus (3,3%). Simarmata (2008) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa jikalau terjadi hujan, pengendara cenderung akan menunda perjalanannya dan kejadian kecelakaan pada saat curah hujan rendah. Artinya, pengendara lebih berhati-hati ketika curah hujan tinggi, dan menganggap curah hujan rendah kurang berisiko.

5.2.9. Derajat Cedera Kepala pada Kelompok Pemakai Helm

Berdasarkan hasil penelitian dari 52 sampel pengendara sepeda motor yang memakai helm didapatkan jumlah sampel yang mengalami cedera kepala ringan adalah yang terbanyak yaitu 42 sampel (40,4%) dan yang terendah adalah cedera kepala berat yang hanya 1 sampel (1,0%). Hal ini logis sebab helm dapat mengurangi terjadinya risiko cedera pada bagian kepala (Kraus et al, 1994 dalam Oktaviana, 2008).

5.2.10. Derajat Cedera Kepala pada Kelompok Tidak Memakai Helm

Berdasarkan hasil penelitian dari 52 sampel pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm didapatkan jumlah sampel yang mengalami cedera kepala ringan adalah 28 sampel (26,9%) dan cedera kepala berat 16 sampel (15,4%). Hal ini logis sebab dengan tidak adanya helm, maka ketika terjadi


(32)

benturan pada kepala, gaya akselerasi/deselerasi maupun rotasional akan langsung diterima kepala tanpa ada yang meredam, sehingga dapat menggangu sistem saraf yang mengakibatkan terganggunya tingkat kesadaran korban.

5.2.11.Hasil Analisis Hubungan Pemakaian Helm dengan Cedera Kepala

Berdasarkan hasil penelitian dari 104 sampel, didapatkan bahwa pada kelompok pengendara sepeda motor yang memakai helm dan mengalami kecelakaan lalu lintas akan mengalami cedera kepala ringan sebesar 42 kasus dan cedera kepala sedang-berat 10 kasus. Pada kelompok lain, proporsi pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm dan mengalami kecelakaan lalu lintas akan mengalami cedera kepala ringan sebesar 28 kasus dan cedera kepala sedang-berat 24 kasus.

Dari hasil analisis bivariat menggunakan uji statistik chi square, maka didapatkan nilai p adalah 0,003 dan RP adalah 3,600. Hal ini membuktikan bahwa ada hubungan yang bermakna secara statistik antara pemakaian helm dengan tingkat derajat cedera kepala. Bila dilihat dari nilai RP nya, maka pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm berisiko 3,6 kali menyebabkan cedera kepala sedang-berat dibandingkan dengan pengendara sepeda motor yang memakai helm.

Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sutarto (2003) yangmana didapatkan nilai p adalah 0,004 dan RP adalah 2,120. Dengan kata lain, pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm berisiko 2,12 kali mengalami cedera kepala berat dibandingkan dengan pengendara sepeda motor yang memakai helm. Hal ini logis sebab helm dapat mengurangi akibat benturan pada kepala, dimana pusat kesadaran dikendalikan di otak (kepala). Gomez,Maria et al, 2003 dalam Oktaviana, 2008 menyatakan bahwa pengendara yang tidak pakai helm dua kali lebih berisiko mengalami cedera kepala berbagai tipe dan tiga kali lebih berisiko terkena cedera kepala yang fatal.


(33)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari hasil analisa deskritif maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Distribusi derajat cedera kepala pada pengendara sepeda motor yang memakai helm dan mengalami kecelakaan lalu lintas adalah cedera kepala ringan 42 kasus (40,4%), sedang 9 kasus (8,7%) dan berat 1 kasus (1,0%).

2. Distribusi derajat cedera kepala pada pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm dan mengalami kecelakaan lalu lintas adalah cedera kepala ringan 28 kasus (26,9%), sedang 8 kasus (7,7%) dan berat 16 kasus (15,4%).

3. Ada pengaruh pemakaian helm dengan derajat cedera kepala yangmana pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm berisiko 3,6 kali mendapat cedera kepala sedang-berat daripada pengendara sepeda motor yang memakai helm.

6.2. Saran

1. Untuk masyarakat agar selalu memakai helm pada saat mengendarai sepeda motor.

2. Untuk Kepolisian agar ditingkatkan penyuluhan kepada masyarakat tentang manfaat pemakaian helm

3. Untuk Rumah Sakit agar dilakukan pembenahan dalam pengisian rekam medik sehingga meningkatkan kualitas rekam medik dan mempermudah peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian.

4. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan untuk memperbanyak jumlah sampel dalam penelitian, menggunakan desain penelitian yang lebih baik serta menganalisis variabel-variabel yang lebih banyak lagi.


(34)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kecelakaan Lalu Lintas Kendaraan Bermotor 2.1.1. Definisi

a. Kecelakaan

Kecelakaan merupakan tindakan tidak direncanakan dan tidak terkendali, ketika aksi dan reaksi objek, bahan, atau radiasi menyebabkan cedera atau kemungkinan cedera (Heinrich, 1980 dikutip dari Jeffry, 2012).

b. Lalu Lintas

Lalu lintas adalah gerak kendaraan, orang dan hewan di jalan (UU.14, Tahun 1992).

c. Kendaraan Bermotor

Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu (UU.14, Tahun 1992).

d. Kecelakaan Lalu Lintas

Kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja yang melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda (UU.22, Tahun 2009).

e. Sepeda Motor

Sepeda motor adalah kendaraan bermotor beroda dua dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau kendaraan bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah (UU.22, Tahun 2009).

2.1.2. Klasifikasi Kecelakaan Lalu Lintas

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, pada pasal 229 dijelaskan bahwa karakteristik kecelakaan lalu lintas dapat dibagi kedalam 3 (tiga) golongan, yaitu:


(35)

a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan kendaraan dan/atau barang.

b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang.

c. Kecelakaan Lalu Lintas berat, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.

2.1.3. Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas pada Pengendara Sepeda Motor Kecelakaan tidak terjadi kebetulan, melainkan ada sebabnya. Oleh karena ada penyebabnya, sebab kecelakaan harus dianalisis dan ditemukan, agar tindakan korektif kepada penyebab itu dapat dilakukan serta dengan upaya preventif lebih lanjut kecelakaan dapat dicegah (Suma’mur P.K., 2009). Menurut Warpani (2002) yang bersumber dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, besarnya persentase masing-masing faktor penyebab kecelakaan lalu lintas di Indonesia yaitu faktor manusia sebesar 93,52%, faktor kendaraan sebesar 2,76%, faktor jalan 3,23%, dan faktor lingkungan sebesar 0,49%.

1. Faktor Manusia

Faktor manusia seperti pejalan kaki, penumpang sampai pengemudi. Faktor manusia ini menyangkut masalah disiplin berlalu lintas.

a) Faktor pengemudi

Faktor pengemudi dianggap sebagai salah satu faktor utama yang menentukan kecelakaan lalu lintas (KLL). Faktor pengemudi ditemukan memberikan kontribusi 75-80% terhadap KLL. Faktor manusia yang berada dibelakang kemudi ini memegang peranan penting. Karakteristik pengemudi berkaitan dengan :

 Keterampilan mengemudi

 Gangguan kesehatan (mabuk, ngantuk, letih)

 Surat Izin Mengemudi (SIM) yangmana tidak semua pengemudi memiliki SIM.


(36)

Terjadinya KLL di jalan juga dipengaruhi oleh faktor usia pengemudi. Analisis data yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat menunjukkan bahwa pengemudi berusia 16-30 tahun adalah penyebab terbesar KLL di jalan (55,99%). Hal ini menunjukkan bahwa usia tersebut rawan akan KLL. Kelompok pengemudi berusia 21 – 25 tahun adalah penyebab terbesar kecelakaan dibanding dengan kelompok usia lainnya, sedangkan pada kelompok usia 26 – 30 tahun, terdapat penurunan yang cukup tajam. Kelompok usia diatas 40 tahun menjadi penyebab terbesar yang relatif paling kecil seiring dengan kematangan dan tingkat kedisiplinan yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang berusia muda.

Tabel 1 Usia pengemudi yang terlibat kecelakaan lalu lintas jalan

KELOMPOK USIA %

16 – 20 tahun 21 – 25 tahun 26 – 30 tahun 31 – 35 tahun 36 – 40 tahun 41 – 75 tahun

19, 41 21, 98 14, 60 09, 25 07, 65 18, 91 Sumber : Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Dept. Perhubungan, 1996

Penelitian tentang penyebab kecelakaan yang melibatkan pengemudi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat tahun 1996 menemukan bahwa kebanyakan pengemudi yang terlibat dalam kecelakaan adalah mereka yang berpendidikan Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SD 13,13%; SLP 25%; SLA 40,52%). Fakta ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara usia dan tingkat pendidikan dengan KLL di jalan.

b) Faktor penumpang

Faktor penumpang misalnya jumlah muatan yang berlebih, kemungkinan penumpang mengganggu pengemudi.


(37)

c) Faktor pemakai jalanan.

Pemakai jalan di Indonesia bukan saja terjadi dari kendaraan. Disana ada pejalan kaki atau pengendara sepeda. Selain itu jalan raya dapat menjadi tempat numpang pedagang kaki lima, peminta-minta dan semacamnya. Hal ini membuat semakin semrawutnya keadaan di jalanan. Jalan umum juga dipakai sebagai sarana perparkiran. Tidak jarang terjadi, mobil terparkir mendapat tabrakan.

Kesalahan para pejalan umumnya karena kelengahan, ketidakpatuhan pada perundang-undangan, dan mengabaikan sopan santun berlalu lintas. Contohnya : menyebrang tidak pada tempatnya atau secara tiba-tiba, atau berjalan menggunakan jalur kendaraan (karena lalai atau karena terpaksa), atau karena kesalahan orang lain yang menyebabkan terjadinya kecelakaan. Pejalan sering terpaksa menggunakan jalur kendaraan karena kaki lima (trotoar) yang merupakan fasilitas pejalan justru digunakan oleh para pedagang (pedagang kaki lima).

2. Faktor Kendaraan

Kendaraan tercatat menjadi penyebab KLL yang berakibat parah. Menurut DITLANTAS POLRI dalam Warpani (2002) bahwa keterlibatan sepeda motor dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas menduduki angka tertinggi, disusul mobil penumpang bukan umum. Karena kelincahan geraknya, sepeda motor mudah menyalip kendaraan lain dalam kemacetan lalu lintas. Meskipun demikian penyebab utamanya bukan karena kelincahan gerak kendaraan, melainkan kembali pada kesalahan manusia itu sendiri. Upaya pencegahan kecelakaan dapat dilakukan dengan penerapan jaluir khusus bagi sepeda motor dan jalur khusus bagi kendaraan tidak bermotor.

3. Faktor Jalanan

Termasuk disini adalah keadaan fisik jalanan dan rambu-rambu jalanan. a) Kelaikan jalan antara lain dilihat dari ketersediaan rambu-rambu jalan. b) Sarana jalanan


(38)

 Panjang jalan yang tersedia dengan jumlah kendaraan yang tumpah di atasnya. Di kota-kota besar tampak kemacetan terjadi dimana-mana, memancing terjadinya kecelakaan. Dan sebaliknya, jalan raya yang mulus memancing pengemudi untuk ‘balap’ juga memancing kecelakaan.

 Keadaan fisik jalanan seperti pengerjaan jalanan atau jalan yang fisiknya kurang memadai, misalnya berlubang-lubang dapat menjadi pemicu terjadinya kecelakaan.

Keadaan jalan yang berkaitan dengan kemungkinan kecelakaan lalu lintas berupa :

 Struktur : datar/memadai/menurun ; lurus/berkelok-kelok  Kondisi : baik/berlubang-lubang

 Luas : lorong, jalan tol

 Status : jalan desa, jalan provinsi /Negara (Bustan, 2007).

4. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan baik lingkungan alam maupun lingkungan binaan , yakni hasil rekayasa manusia, sangat mempengaruhi keselamatan lalu lintas. Pohon atau bukit yang menghalangi pandangan, tanjakan atau turunan terjal, serta tikungan tajam merupakan faktor alam yang patut mendapat perhatian dalam pengelolaan lalu lintas. Faktor alami lain seperti posisi matahari terhadap pengemudi yang menyebabkan gangguan pandangan karena silau. Cuaca buruk sangat mempengaruhi kelancaran arus lalu lintas, bahkan dalam berbagai peristiwa, kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh cuaca buruk. Lingkungan binaan kadang-kadang tanpa disadari dapat pula menjadi penyebab KLL. Misalnya, pagar pekarangan atau bangunan pada tikungan jalan dapat menghalangi pandangan, ruas jalan yang tiba-tiba menyempit, simpangan jalan (bersudut kurang dari 90 derajat), papan iklan yang menutupi atau mengaburkan arti rambu lalu lintas, adalah beberapa contoh lingkungan binaan yang dimaksud (Warpani, 2002).


(39)

Pengendara sepada motor yang mengalami KLL pada malam hari juga akan lebih mungkin menderita cedera kepala dibandingkan siang hari. Kecelakaan di daerah pedesaan juga dikaitkan dengan meningkatnya risiko cedera kepala (Rowland, 1996).

2.1.4. Sepeda Motor

Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sepeda motor adalah kendaraan bermotor beroda dua dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau kendaraan bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah. Pengendara sepeda motor harus mematuhi hukum yang sama dengan pengemudi mobil yaitu yang tercantum pada Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang diatur dalam undang-undang tersebut antara lain adalah:

a. Setiap pengendara sepeda motor di jalan harus memiliki SIM untuk sepeda motor yang mampu mengemudikan kendaraannya dengan wajar.

b. Pengendara sepeda motor wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki. c. Mengetahui tata cara berlalu lintas di jalan.

d. Sepeda motor hanya diperuntukkan hanya untuk dua orang.

e. Sepeda motor yang digunakan dijalan memenuhi persyaratan teknis dan layak jalan.

f. Pengemudi dan penumpang wajib menggunakan helm yang telah direkomendasikan keselamatannya dan terpasang dengan benar.

Untuk mengendarai kendaraan bermotor jenis sepeda motor juga diperlukan alat pelindung diri (APD) sepeda motor bagi pengendara sepeda motor yang gunanya untuk meningkatkan keamanan dalam mengendarai sepeda motor.


(40)

Alat-alat tersebut antara lain : 1. Helm

Istilah helm berasal dari bahasa Belanda yang berarti adalah alat pelindung anggota tubuh yang biasa digunakan di kepala. Fungsi utama helm adalah pelindung kepala dari benturan yang bisa membuat kepala cedera. Di Indonesia, helm biasa terbuat dari bahan kevlar, serat resin, acrylonitrile butadiene styrene ( ABS ), atau polypropylene. Struktur helm biasanya didesain untuk mampu melindungi kepala secara optimal. Sebuah helm yang baik biasanya terdiri dari empat struktur utama, yaitu :

- Lapisan luar yang keras ( hard outer shell ) - Lapisan dalam yang tebal ( inside shell or liner ) - Lapisan dalam yang lunak ( comfort padding ) - Tali pengikat ( Kusmagi, 2010 )

Walaupun kemampuan helm untuk melindungi kepala agak terbatas namun penggunaanya jangan diremehkan. Helm didesain untuk mengurangi kekuatan yang mengenai kepala dengan cara mengubah energi kinetik benturan malalui kerja deformasi dari bantalannya dan diikuti dengan mendistribusikannya (menyebarkannya) kekuatan yang menimpa tersebut melalui area yang seluas-luasnya. Secara nyata helm mampu mengurangi energi transfer dengan cara translasi. Secara umum dianggap bahwa yang sangat sering menyebabkan trauma otak adalah aselerasi angular atau rotasional. Helm akan mengurangi gaya rotasional pada benturan. Anggapan bahwa dengan makin banyaknya penggunaan helm oleh pengendara sepeda atau motor akan secara relatif meningkatkan trauma organ lain selain kepala, khususnya trauma servikal, belum terbukti (ATLS, 2008).

Pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm dan mengalami KLL akan lebih mungkin dirawat di rumah sakit, tiga kali lebih mungkin untuk menderita cedera kepala dan empat kali lebih mungkin menderita cedera kepala yang berat. Pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm secara signifikan


(41)

berisiko mengalami kecelakaan yang fatal. Laki-laki empat kali lebih sering meninggal daripada perempuan, dan risiko kematian meningkat 0,7% pada masing-masing umur (Rowland, 1996).

Dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan bahwa pengendara dan penumpang sepeda motor wajib menggunakan helm standar nasional Indonesia (SNI). Jenis helm berstandar nasional Indonesia yang dapat melindungi pengendara sepeda motor dan disetujui oleh pihak kepolisian lalu lintas terbagi menjadi dua jenis, yaitu:

a) Helm yang menutup keseluruhan wajah (full face), helm ini merupakan helm yang memenuhi standar keselamatan bagi pengendara sepeda motor karena memiliki tingkat keamanan yang tinggi.

b) Helm yang menutup ¾ wajah (three-quarter open face), helm ini hampir serupa dengan helm full face, namun memiliki perbedaan pada dagu pengendara tidak tertutup. Helm ini tidak menutup sempurna seperti helm full face dan memiliki tingkat keamanan sedikit lebih rendah dibawah helm jenis full face.


(42)

Keterangan gambar: 1. sungkup

2. Lapisan pelindung 3. Tali pemegang 4. Lapisan kenyamanan. 5. Pelindung telinga

6. Kaitan kaca 7. Jaring helm 8. Rim (BSN, 2007)

Gambar 2.2. Helm three-quarter open face (SNI,2007)

Magnus Aare (2003) menjelaskan beberapa perbedaan penting dalam desain helm, yaitu :

1) Open versus full-face helmets

Beberapa tahun terakhir, full-face helmet (integral helmet) menjadi sangat popular disebabkan kepercayaan masyarakat yang tinggi bahwa helm tersebut memberikan proteksi yang lebih baik. Dari penelitian statistik, full-face helmet diketahui memberikan proteksi yang lebih baik terhadap kepala dan wajah, namun juga memberikan dampak yang buruk kepada cedera leher. Terdapat sedikit peningkatan angka kejadian cedera leher yang mungkin disebabkan karena helm ini terlalu berat. Juga terdapat sedikit peningkatan angka kejadian fraktur basis kranii akibat pemakaian helm ini.

2) Cangkang helm dan keketatannya

Hopes dan Chinn (1989) dalam Magnus (2003) meneliti efek cangkang helm dan keketatannya pada kemampuannya untuk melindungi kepala. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa cangkang helm dan keketatannya berhubungan dengan tingginya akselerasi dan nilai HIC pada kejadian terjatuh. Helm standard -dalam kasus ini didesain sesuai dengan standard Inggris- terlalu keras dan berpegas. Helm standard tidak menyerap energi secara efisien sementara tingkat


(43)

keparahannya cukup rendah untuk pemakai helm agar dapat bertahan. Dengan kata lain, helm yang tidak terlalu keras dan berpegas memberikan cedera kepala yang lebih ringan. Karena dalam pembuatan helm standard digunakan test penetrasi, maka diputuskan desain helm harus ketat sehingga dapat menyerap energi yang diterima dan cedera kepala pun dapat dihindarkan. Beberapa penelitian lain yang dilakukan Chang dkk. (1999), Gilchrist and Mills (1987), Kostoupulus dkk. (2002) and Yettram dkk. (1994) memberikan hasil yang sama. 3) Helm berbahan fiberglass dan berbahan plastik

Vallée dkk. (1984) dalam Magnus (2003) meneliti akibat pecahnya cangkang helm dan menyimpulkan bahwa terdapat risiko cedera yang sangat besar ketika helm pecah. Helm berbahan fiber sangat jarang pecah, disisi lain helm bercangkang plastik lebih sering pecah. Tetapi penelitian oleh Noél (1979) dalam Magnus (2003) menunjukkan bahwa helm bercangkang plastik lebih baik daripada yang berbahan fiber. Efek pantulan pada helm bercangkang plastik lebih tinggi daripada helm berbahan fiberglass, sehingga kurang efisien. Helm berbahan fiberglass lebih direkomendasikan dari sisi keamanannya.

Sebanyak 87,2% pengemudi dan 84,7% penumpang mengatakan bahwa mereka memakai helm karena alasan keselamatan, 9,2% pengemudi dan 9,9% penumpang memakai helm karena kewajiban atau takut denda. Penelitian di Spanyol menyebutkan bahwa sebanyak 34,8% pengemudi dan 18,8% penumpang tidak memakai helm karena alsan perjalanan yang singkat ataupun berkendara di pedesaan, 30,5% pengemudi dan 65,2% penumpang mengatakan bahwa mereka tidak memiliki helm (Fuentes, 2011).

Di Indonesia, pemakaian helm memiliki beberapa permasalahan, yaitu : a) Tidak semua pengendara mau memakai helm dengan berbagai alasan,

termasuk ketidakmampuan membeli.

b) Token compliance (ketaatan semu), helm hanya dipakai karena takut polisi, tidak memakai dengan benar (tidak diikat dan dipasang).


(44)

c) Pemilihan kualitas helm yang rendah atau tidak standar. Helm standard tentu relatif lebih mahal, lebih berat, dan lebih besar dari sekadar topi helm plastik.

d) Alasan tidak memakai helm seperti : malas, discomfort/rasa tidak enak, terlalu berat, ketat, mengganggu kepala, bikin sakit kepala, mengganggu rambut, dan gatal (Bustan, 2007).

2. Pelindung mata dan wajah

Mata dan wajah membutuhkan perlindungan dari angin, debu, hujan, binatang kecil dan bebatuan, pelindung wajah dapat memberi perlindungan dari hal tersebut. Pelindung mata dan wajah harus memenuhi standar yang berlaku, tidak tergores, tidak membatasi jarak atau sudut pandang pengendara, dan dapat diikat erat agar tidak bergeser.

3. Sarung tangan

Sarung tangan berfungsi untuk mengurangi efek langsung angin maupun kondisi cuaca ketika berkendara dan meminimalkan dampak cedera pada saat terjadi kecelakaan lalu lintas. Penahan benturan, goresan, dan berbahan yang kuat merupakan standar dari sarung tangan untuk mengendarai sepeda motor. Sarung tangan juga harus nyaman ketika digunakan dan memberi kemampuan menggenggam setang dengan baik.

4. Jaket

Jaket merupakan pakaian pelindung pengendara sepeda motor ketika terjadi kecelakaan lalu lintas, selain itu jaket juga berfungsi untuk membantu pengendara sepeda motor menghadapi kondisi cuaca ketika berkendara. Jaket yang baik adalah tidak mudah sobek dan menggelembung ketika dipakai berkendara, jaket harus menutupi seluruh lengan dan melekat erat pada leher, pergelangan tangan, dan pinggang pada saat berkendara. Selain itu, warna jaket harus terang agar dapat terlihat oleh pengendara lain ketika malam hari.


(45)

5. Sepatu

Sepatu berfungsi untuk melindungi pergelangan kaki. Sepatu dapat mengurangi efek langsung ke arah kaki pada pengendara sepeda motor ketika terjadi kecelakaan lalu lintas. Sepatu harus didesain untuk berkendara sepeda motor dan terbuat dari kulit atau bahan sintetis kuat lainnya. Dapat melindungi pergelangan kaki, memiliki alas sepatu yang mampu menapak dengan baik dan memiliki bagian yang diperkuat sebagai perlindungan tambahan. Sepatu tidak boleh memiliki anting-anting, tali-tali atau sisi yang elastis, karena dapat menimbulkan masalah bagi pengendara dan dapat menyangkut pada motor atau pada saat kecelakaan.

2.2. CEDERA KEPALA 2.2.1. Anatomi Kepala

Berdasarkan ATLS (2008), anatomi dari kepala adalah : 1. Kulit kepala (Scalp)

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu : a. Skin atau kulit

b. Connective Tissue atau jaringan penyambung c. Aponeurosis atau galea aponeurotika

d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar e. Perikranium.

Jaringan penunjang longgar memisahkan galea apone urotika dari perikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal). Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.

2. Tulang tengkorak

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria khususnya di bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporal. Basis kranii berbentuk tidak rata sehinga dapat melukai bagian dasar


(46)

otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Akselerasi adalah gerakan cepat yang terjadi mendadak, sedangkan de-akselerasi adalah penghentian akselerasi secara mendadak (Mardjono, 2009). Lantai dasar rongga tengkorak dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior, fosa media, dan fosa posterior. Fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah ruang bagian bawah batang otak dan otak kecil (serebelum).

3. Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu : duramater, araknoid dan piamater. Duramater merupakan selaput yang kuat, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Pada beberapa tempat tertentu , duramater membelah menjadi 2 lapis membentuk sinus venosus besar yang mengalirkan darah vena otak.

Sinus sagitalis superior yang terletak di garis tengah mengalirkan darah vena ke sinus transverses kanan dan kiri lalu ke sinus sigmoideus yang umumnya sebelah kanan lebih besar. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Fraktur atau patah tulang diatasnya dapat menyebabkan laserasi arteri-arteri itu dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Perdarahan yang hebat dari cedera arteri ini dapat menyebabkan perburukan yang sangat cepat bahkan kematian.

Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus pandang disebut selaput arakhnoid. Karena duramater tidak melekat ke arakhnoid, maka ada suatu rongga / space diantaranya yaitu rongga subdural yang kedalamnya dapat berkumpul perdarahan. Pada cedera otak, vena-vena yang berjalan dari permukaan otak ke sinus-sinus duramater dapat saja mengalami robekan, menyebabkan terjadinya perdarahan subdural.


(47)

Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan duramater yang merupakan lanjutan dari sinus sagitalis superior di garis tengah. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus frontal mengontrol inisiatif, emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan.

Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medulla spinalis. Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat. Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, membentuk hubungan dengan medula spinalis, batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri.

Gambar 2.3. Bagian-bagian otak manusia (Aare,2003) Lobus frontalis

Lobus parietalis

Lobus temporalis

serebellu pons

mesensefalon Korpus kalosum

serebellum serebrum Korteks serebrum

Batang otak

Medulla oblongata Lobus oksipitalis


(48)

5. Cairan serebrospinal

Ventrikel-ventrikel adalah sistem berupa rongga yang berisi cairan serebro spinal (CSS). Berlokasi dibagian atap ventrikel lateralis kanan dan kiri dan ventrikel III terdapat Plexus Khoroideus yang menghasilkan CSS dengan kecepatan kira-kira 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral ke foramen monro menuju ventrikel III lalu ke aquaductus sylvii menuju ventrikel IV di fossa posterior. Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subarakhnoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio araknoid menuju sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menggangu penyerapan CSS, menyebabkan tekanan tinggi intracranial dan pembesaran ventrikel (hidrosefalus komunikan paska trauma). Pembengkakan / edema dan lesi massa ( mis : perdarahan) dapat menyebabkan pergeseran ventrikel yang biasanya simetris yang dengan mudah terlihat pada hasil CT scan otak.

6. Tentorium

Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial (terdiri dari fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior). Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dengan batang otak (pons dan medulla oblongata) dan berjalan melalui celah lebar tentorium serebelli yang disebut insisura tentorial.

Bagian otak yang sering mengalami herniasi melalui insisura tentorial adalah sisi medial lobus temporal yang disebut unkus. Herniasi unkus juga menyebabkan penekanan trtaktus kortikospinalis (piramidalis) yang berjalan di midbrain/otak tengah.

2.2.2. Patogenesis Cedera Kepala


(49)

a) Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak. Biasanya yang terjadi hanyalah luka benturan karena kepala akan bergerak mengikuti arah gaya benturan.

b) Kepala yang bergerak membentur benda yang diam. Pada keadaan ini benturan akan bekerja penuh pada kepala. Dalam hal ini dapat terjadi macam-macam lesi

c) Kepala yang tidak dapat bergerak karena menyender pada benda lain dibentur oleh benda yang bergerak. Kepala tergencet. Pada keadaan ini mula-mula ialah retak atau hancurnya tulang tengkorak . Bila gencetannya hebat tentu saja otak pun akan hancur.

Ada beberapa hipotesis yang mencoba menerangkan terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada trauma kapitis :

a) Getaran otak

Trauma pada kepala menyebabkan seluruh tengkorak beserta isinya bergetar. Kerusakan yang terjadi bergantung pada besarnya getaran. Makin besar getarannya makin besar kerusakan yang timbul.

b) Deformitas tengkorak

Benturan pada tengkorak menyebabkan menggepeng pada tempat benturan itu. Tulang yang menggepeng ini akan membentur jaringan dibawahnya dan menimbulkan kerusakan. Pada sisi diseberangnya tengkorak bergerak menjauh dari jaringan otak dibawahnya sehingga timbul ruangan vakum yang dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah.

c) Pergeseran otak

Benturan pada kepala menyebabkan otak bergeser mengikuti arah gaya benturan. Gerakan geseran lurus ini disebut juga gerakan translasional. Geseran ini dapat menimbulkan lesi bila permukaan dalam tengkorak kasar seperti yang terdapat di dasar tengkorak. Kelambanan otak karena konsistensinya yang lunak menyebabkan gerakannya tertinggal terhadap


(50)

gerakan tengkorak. Di daerah seberang gerakan otak akan membentur tulang tengkorak, dengan segala akibatnya.

d) Rotasi otak

Pada tahun 1865 Alquie pada percobaanya pada mayat dan hewan telah mengetahui bahwa pada benturan kepala otak mengalami rotasi sentrifugal yang mengakibatkan benturan otak pada tabula interna tengkorak. Holbourn (1943) mengatakan bahwa rotasi otak dapat terjadi pada bidang sagital, horizontal dan koronal atau kombinasinya. Gerakan berputar ini tampak di semua daerah kecuali di daerah frontal dan temporal. Di daerah dimana otak dapat bergerak kerusakan yang terjadi sedikit atau tidak ada. Kerusakan terbesar terjadi di daerah yang tidak dapat bergerak atau terbatas gerakannya, yaitu daerah frontal di fossa serebri anterior dan daerah temporal di fossa serebri media. Karena sulit bergerak ini, jaringan otak di daerah ini mengalami regangan yang mengakibatkan kerusakan pada pembuluh darah dan serat-serat saraf (Markam, 1999).

2.2.3. Patofisiologi Cedera Kepala

Tahap pertama cedera otak setelah trauma kepala dicirikan dengan kerusakan langsung jaringan dan gangguan pada metabolism dan aliran darah otak. Pola yang menyerupai ‘iskemia’ ini memicu penumpukan asam laktat akibat glikolisis anaerob, meningkatnya permeabilitas membran, dan edema. Ketika metabolism anaerob sudah tidak mampu lagi mempertahankan cadangan energi sel, cadangan ATP akan menurun dan gangguan pompa ion yang bergantung ATP pun terjadi. Disamping itu, terjadi juga pelepasan neurotransmitter eksitatorik seperti glutamat dan aspartat, pengaktifan reseptor NMDA, dan masuknya kalsium serta natrium ke dalam sel. Hal ini memicu ‘self-digesting’ pada sel. Kalsium mengaktifkan lipid peroksidase, protease, phopolipase yangmana meningkatkan konsentrasi asam lemak bebas dan radikal bebas. Pengaktifan caspases (ICE-like protein), translocases, dan endonucleases memicu perubahan struktur daripada membrane dan nukleosomal DNA (fragmentasi DNA dan hambatan pada perbaikan DNA). Selanjutnya hal ini menimbulkan degradasi


(51)

membran vaskuler dan struktur sel hingga akhirnya nekrosis maupun apoptosis (Werner, 2007).

2.2.4. Klasifikasi

Menurut ATLS, secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan (1) Mekanisme, (2) Berat-Ringannya, (3) Morfologi

1. Mekanisme cedera kepala

Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak dan bacok.

2. Beratnya Cedera Kepala

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan sebagai pengukur secara klinis beratnya cedera otak. Penderita yang membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi dengan baik mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pasien yang lemah tidak dapat membuka mata sama sekali atau tidak bersuara nilai GCS-nya minimal yaitu 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Pasien dengan nilai GCS 9-12 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 13-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Dalam penilaian GCS, jika terdapat asimetri ekstremitas kanan/kiri maka yang dipergunakan adalah angka respon motorik terbaik sebagai pengukuran karena hal itu adalah alat prediksi yang lebih cocok.

3. Morfologi

Cedera kepala dapat meliputi fraktur tulang tengkorak, kontusio, perdarahan, dan cedera difus.


(52)

Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak. Fraktur dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik “bone window” untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda -tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.

Fraktur kranium tidak selalu mengakibatkan gangguan neurologis. Tetapi, ketika fragmen tulang menembus pembuluh darah atau jaringan otak, komplikasi yang dapat terjadi mungkin ringan, sedang ataupun berat. Fraktur kranium dibagi dua yaitu terbuka dan tertutup. Fraktur tertutup adalah fraktur tulang tanpa adanya cedera yang substansial pada kulit. Disisi lain, fraktur terbuka lebih serius daripada fraktur tertutup karena kemungkinan terjadinya infeksi disebabkan rusaknya jaringan sekitar dan terpapar kepada pathogen-patogen (Aare, 2003).

b. Lesi Intrakranial

1) Cedera otak difus

Cedera otak difus mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai cedera iskemik-hipoksik yang berat. Pada konkusi, penderita biasanya menderita kehilangan gangguan neurologis nonfokal sementara , yang seringnya termasuk hilangnya kesadaran. Peregangan menurut poros batang otak bisa menimbulkan blockade reversibel pada lintasan retikularis asendens difus, sehinggaselama blokade itu berlangsung, otak tidak mendapat “input” aferen, yang berarti bahwa kesadaran menururn sampai derajat yang terendah (Mardjono, 2009).

Cedera otak difus berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah trauma. Pada kasus demikian, awalnya CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran otak bengkak secara merata dengan batas area substansia putih dan abu-abu hilang. Kelaianan difus lainnya, sering terlihat pada cedera dengan kecepatan tinggi atau deselerasi, yang dapat menunjukkan gambaran titik-titik perdarahan


(53)

multiple di seluruh hemisfer otak yang terkonsentrasi di batas area putih dengan abu-abu.

2) Perdarahan Epidural

Hematoma epidural berbentuk bikonveks atau cembung sebagai akibat dari pendorongan perdarahan terhadap duramater yang sangat melekat di tabula interna tulang kepala. Sering terletak di area temporal

atau temporoparietal dan

biasanya disebabkan oleh robeknya

arteri meningea media akibat

fraktur tulang tengkorak

Gambar 2.4. Epidural hematom, dengan pendarahan tampak pada sisi kanan bawah

3) Perdarahan Subdural

Perdarahan ini terjadi akibat robeknya pembuluh darah/vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya mengikuti dan menutupi permukaan hemisfer otak. Kerusakan otak yang berada dibawah perdarahan subdural biasanya lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.


(54)

Gambar 2.5. Subdural hematom, dengan pendarahan tampak pada sisi kiri

4) Kontusio dan Perdarahan Intraserebral

Kontusio serebri sering terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berkumpul menjadi perdarahan intraserebral atau kontusio yang luas sehingga menyebabkan lesi desak ruang yang membutuhkan tindakan operasi (ATLS, 2008).

2.2.5. Pemeriksaan

Japardi (2004) mengatakan bahwa pemeriksaan neurologis yang harus segera dilakukan terhadap penderita cedera kepala setelah resusitasi meliputi : 1. Tingkat kesadaran

2. Pupil dan pergerakan bola mata, termasuk saraf cranial 3. Reaksi motorik terhadap berbagai rangsang dari luar 4. Reaksi motorik terbaik

5. Pola pernapasan

2.2.6. Glasgow Coma Scale sebagai Indikator Dini dalam Cedera Kepala

Glasgow Coma Scale (GCS) diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974 (Jennet dan Teasdale, 1974 dalam Ilyas, 2010). Awalnya GCS diciptakan untuk memberikan standardisasi temuan neurologis dan untuk mengukur derajat kesadaran pasien. Saat ini, GCS merupakan instrumen yang paling sering digunakan oleh klinisi untuk menilai derajat keparahan cedera kepala melalui observasi yang sederhana tanpa disertai tindakan invasif (Gabbe, 2003). GCS juga memiliki peranan penting dalam memprediksi risiko kematian di awal trauma. Dari GCS dapat diperoleh infomasi yang efektif mengenai pasien trauma kepala, kemampuan GCS dalam menentukan kondisi yang membahayakan jiwa adalah 74,8%. Suatu penelitian yang mengevaluasi penggunaan GCS untuk


(55)

menilai prognosi jangka panjang menunjukkan validitas prediksi yang baik dengan sensitivitas 79-97% dan spesifisitas 84-97% (Irawan dkk, 2010).

Terdapat tiga aspek yang dinilai dalam GCS yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor respons).

Glasgow Coma Scale (GCS) yang dimaksud adalah : a. Membuka mata (Eye Open) Nilai

Membuka mata spontan 4

Membuka mata terhadap perintah 3

Membuka mata terhadap nyeri 2

Tidak membuka mata 1

b. Respon Verbal (Verbal Response)

Orientasi baik dan mampu berkomunikasi 5

Bingung (dapat bentuk kalimat, tetapi arti keseluruhan kacau) 4 Dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak berupa kalimat 3 Tidak mengucapkan kata, hanya suara mengerang (groaning) 2

Tidak ada suara 1

c. Respon motorik (Motoric Response)

Menurut perintah 6

Mengetahui lokasi nyeri 5

Menolak rangsangan nyeri pada anggota gerak 4

Menjauhi rangsangan nyeri (flexion) 3

Ekstensi spontan 2

Tidak ada gerakan 1

Skala dihitung dengan penjumlahan semua nilai respon. E + M + V = 3 sampai dengan 15

Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi:

a. Cedera kepala ringan, bila GCS 13-15 b. Cedera kepala sedang, bila GCS 9-12


(56)

c. Cedera kepala berat, bila GCS 3-8

Glasgow Coma Scale (GCS) memiliki kemampuan memprediksi kemungkinan pasien pengendara sepeda motor yang mengalami kecelakaan lalu lintas untuk dirawat di rumah sakit bila nila GCSnya rendah. Komponen motorik GCS secara mandiri ternyata mampu memprediksi angka kematian setelah trauma. Skor total GCS < 9 juga terbukti secara signifikan memberikan kerugian yang lebih besar bila diukur dengan Dissability Rating Score (DRS) (Gabbe, 2003). Selain itu GCS juga berfungsi sebagai panduan dalam triase. Triase adalah klasifikasi pasien di Unit Gawat Darurat (UGD) untuk menentukan prioritas kebutuhan dan tempat terbaik dalam perawatan dan pengobatannya (Markam,2008).

Penentuan skor awal GCS yang dapat dipercaya dan belum diberi pengobatan apapun atau sebelum tindakan intubasi mempunyai nilai yang sangat penting (American Association of Neurological Surgeons, 2000 dalam Ilyas, 2007). Masalah yang berkembang sekarang ini adalah penggunaan GCS pada pasien intubasi. (Budiman, 2010). Skor GCS seharusnya telah diperiksa pada penderita-penderita awal cedera terutama sebelum mendapat obat-obat paralitik dan sebelum intubasi ( Alberico dkk, 1987 dalam Ilyas, 2010). Selain itu, GCS juga memiliki kegagalan dalam mengukur refleks batang otak. Pengukuran ini memiliki bias numerik dalam menghitung respon motorik. Pada beberapa penderita, skor mata dan skor verbal sulit ditentukan pada mata yang bengkak dan setelah tindakan intubasi endotrakeal (Kelly dkk., 1996 dalam Kamal, 2010). Kendati banyak kekurangannya, GCS masih digunakan secara luas untuk mengukur ketidaksadaran (Budiman, 2010).


(57)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keselamatan lalu lintas merupakan topik yang menarik untuk dibicarakan sebab menyangkut nilai kemanusiaan dan nilai ekonomi. Bila dipandang dari segi kemanusiaan, kecelakaan lalu lintas menewaskan hampir 1,2 juta jiwa dan menyebabkan cedera sekitar 6 juta orang setiap tahunnya di seluruh dunia (Kemenkes RI,2011 dalam Manurung,2012). Hingga saat ini kecelakaan jalan

raya masih memegang predikat ”pembunuh” terbesar ketiga di dunia, setelah

penyakit jantung dan Tuberculosis / TBC (BIN, 2012). Kerugian akibat cedera khususnya untuk kecelakaan lalu lintas di Indonesia diperkirakan sebesar 2,9% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia (Riyadina,2009).

Medan yang merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia memiliki aktivitas lalu lintas cukup tinggi dan termasuk kedalam golongan kota raya (metropolitan city). Pada tahun 2010 jumlah kendaraan bermotor di kota Medan mencapai 4.036.502 unit, jenis kendaraan terbanyak adalah jenis sepeda motor yang mencapai 3.476.263 unit atau 86 % dari total semua unit kendaraan bermotor di kota Medan (BPS, 2012).

Pertumbuhan sepeda motor yang sangat pesat tentu saja menimbulkan permasalahan, salah satunya adalah meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas. Menurut data Polresta Medan, pada tahun 2009 terjadi 1.055 kasus kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pengendara sepeda motor dengan korban meninggal dunia sejumlah 227 jiwa. Tingginya angka kecelakaan lalu lintas ini menunjukkan masih rendahnya budaya keselamatan di Indonesia (Nurdjanah, 2010).

Komisi Keamanan Produk Pelanggan ( Consumer Product safety Commision ) memasukkan sepeda motor dalam daftar produk yang membahayakan. Hal ini disebabkan pengendara maupun penumpangnya dapat mengalami kompresi, akselerasi/deselerasi dan trauma tipe robekan (shears). Mereka hanya dilindungi oleh pakaian dan perlengkapan pengamanan yang


(1)

7. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

8. Seluruh teman-teman angkatan 2010 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu dalam penyelesaian karya tulis ini.

Penulis menyadari dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini masih banyak hal yang harus disempurnakan. Untuk itu, penulis mengharapkan masukan berupa saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini.

Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan karuniaNya kepada kita semua, dan penulis berharap semoga karya tulis ilmiah ini dapat diterima dan memberikan informasi serta sumbangan pemikiran yang berguna bagi semua pihak. Terima kasih.

Medan, Desember 2013 Penulis,

( Andre Hutasoit )


(2)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Hipotesis ... 3

1.4. Tujuan Penelitian ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Kecelakaan Lalu Lintas Kendaraan Bermotor ... 5

2.1.1. Definisi ... 5

2.1.2. Klasifikasi Kecelakaan Lalu Lintas ... 5

2.1.3. Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas ... 6

2.1.4. Sepeda Motor ... 10

2.2. Cedera Kepala ... 16

2.2.1. Anatomi Kepala ... 16

2.2.2. Patogenesis Cedera Kepala ... 19

2.2.3. Patofisiologi Cedera Kepala ... 21

2.2.4. Klasifikasi ... 21

2.2.5. Pemeriksaan ... 25

2.2.6. Glasgow Coma Scale ... 25

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 28

3.1.Kerangka Konsep Penelitian ... 28

3.2.Definisi Operasional ... 29

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 33

4.1.Jenis Penelitian ... 33


(3)

4.3.Populasi dan Sampel Penelitian ... 33

4.4.Teknik Pengumpulan Data ... 35

4.5.Pengolahan dan Analisis Data ... 35

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 36

5.1. Hasil Penelitian ... 36

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 36

5.1.2. Deskripsi Sampel ... 36

5.1.2.1. Karakteristik Pasien Cedera Kepala Akibat Kecelakaan Lalu Lintas ... 36

5.1.2.2. Karakteristik Kendaraan ... 37

5.1.2.3. Karakteristik Jalan ... 38

5.1.2.4. Kondisi Cuaca ... 39

5.1.2.5. Deskripsi Derajat Cedera Kepala pada Kelompok Memakai Helm ... 40

5.1.2.6. Deskripsi Derajat Cedera Kepala pada Kelompok Tidak Memakai Helm ... 40

5.1.3. Hasil Analisis Data ... 41

5.2. Pembahasan ... 42

5.2.1. Gambaran Umum Penelitian ... 42

5.2.2. Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin ... 42

5.2.3. Sampel Berdasarkan Usia ... 43

5.2.4. Sampel Berdasarkan Pendidikan ... 43

5.2.5. Sampel Berdasarkan Kepemilikan SIM C ... 44

5.2.6. Sampel Berdasarkan Kondisi Kendaraan ... 44

5.2.7. Sampel Berdasarkan Kondisi Jalan ... 45

5.2.8. Sampel Berdasarkan Kondisi Cuaca ... 46

5.2.9.Derajat Cedera Kepala pada Kelompok Pemakai Helm ... 46

5.2.10. Derajat Cedera Kepala pada Kelompok Tidak Memakai Helm ... 46

5.2.11. Hasil Analisis Hubungan Pemakaian Helm Dengan Cedera Kepala ... 47

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

6.1. Kesimpulan ... 48

6.2. Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49


(4)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1.

3.1.

Usia pengemudi yang terlibat kecelakaan lalu lintas jalan

Definisi operasional

7 29 5.1. Karakteristik Pasien Cedera Kepala Akibat

Kecelakaan Lalu Lintas 37

5.2. Karakteristik Kendaraan pada Pasien Cedera Kepala

Akibat Kecelakaan Lalu Lintas 38

5.3. Karakteristik Jalan pada Pasien Cedera Kepala Akibat

Kecelakaan Lalu Lintas 39

5.4. Kondisi Cuaca pada Pasien Cedera Kepala Akibat

Kecelakaan Lalu Lintas 39

5.5. Distribusi derajat cedera kepala pada kelompok

memakai helm 40

5.6. Distribusi derajat cedera kepala pada kelompok tidak

memakai helm 40

5.7 Distribusi hubungan pemakaian helm dengan derajat


(5)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 3.1. 4.1.

Helm full face

Helm three-quarter open face Bagian-bagian otak manusia Epidural hematom

Subdural henatom

Kerangka konsep penelitian Alur kerja penelitian

12 13 18 24 24 28 35


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Riwayat Hidup Peneliti 53

2 Ethical Clearance 54

3 Surat Izin Penelitian 55

4 Data Induk 56


Dokumen yang terkait

Insidensi Fraktur Maksilofasial Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Pada Pengendara Sepeda Motor Di RSUP H. Adam Malik Medan

5 71 79

GAMBARAN FRAKTUR MAKSILOFASIAL AKIBAT KECELAKAAN LALU LINTAS PADA PENGENDARA SEPEDA MOTOR YANG MENGGUNAKAN HELM.

0 1 3

Pengaruh Pelanggaran Lalu Lintas Terhadap Potensi Kecelakaan Pada Remaja Pengendara Sepeda Motor.

0 0 14

POLA PERLUKAAN PADA PENGENDARA SEPEDA MOTOR YANG MENGALAMI KECELAKAAN LALU LINTAS - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 14

Pengaruh Pemakaian Helm Terhadap Derajat Cedera Kepala pada Pengendara Sepeda Motor yang Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas yang Dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2012

0 0 12

Pengaruh Pemakaian Helm Terhadap Derajat Cedera Kepala pada Pengendara Sepeda Motor yang Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas yang Dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2012

0 2 2

Pengaruh Pemakaian Helm Terhadap Derajat Cedera Kepala pada Pengendara Sepeda Motor yang Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas yang Dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2012

0 0 4

Pengaruh Pemakaian Helm Terhadap Derajat Cedera Kepala pada Pengendara Sepeda Motor yang Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas yang Dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2012

0 0 23

Pengaruh Pemakaian Helm Terhadap Derajat Cedera Kepala pada Pengendara Sepeda Motor yang Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas yang Dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2012

0 0 4

Pengaruh Pemakaian Helm Terhadap Derajat Cedera Kepala pada Pengendara Sepeda Motor yang Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas yang Dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2012

0 0 8