Insidensi Fraktur Maksilofasial Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Pada Pengendara Sepeda Motor Di RSUP H. Adam Malik Medan

(1)

INSIDENSI FRAKTUR MAKSILOFASIAL AKIBAT

KECELAKAAN LALU LINTAS PADA PENGENDARA

SEPEDA MOTOR YANG DIRAWAT DI

RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh :

MUCHLIS FAUZI .N NIM : 070600014

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Ilmu Bedah Mulut

Tahun 2010 Muchlis Fauzi .N

Insidensi Fraktur Maksilofasial Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Pada Pengendara Sepeda Motor Di RSUP H. Adam Malik Medan.

xii+ 64 halaman

Fraktur maksilofasial merupakan fraktur yang sering terjadi di kota-kota besar sebagai akibat dari faktor luar seperti kecelakaan lalu lintas (etiologi terbanyak), kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Fraktur maksilofasial ini terletak didaerah yang anatominya spesifik, sebagaimana yang kita ketahui bahwa kepala merupakan daerah tempat organ-organ penting seperti otak dan pusat persyarafan. Sehingga fraktur maksilofasial ini mewakili permasalahan terbesar bagi pelayanan kesehatan umum diseluruh belahan dunia karena tingginya insidensi dan kerugian finansial yang ditimbulkan dari fraktur maksilofasial ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor khususnya di kota Medan.

Penelitian ini dilakukan secara survei deskriptif pada 104 rekam medik pasien (85 orang laki-laki dan 19 orang perempuan) di RSUP H. Adam Malik Medan. Data diperoleh dari data sekunder berupa rekam medik bagian IGD dan Poli Bedah Mulut SMF Gigi dan Mulut RSUP. H. Adam Malik Medan.

Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan dan


(3)

lebih banyak dijumpai pada usia produktif (21-30 tahun). Fraktur mandibula merupakan fraktur yang paling banyak terjadi (57,69%), selanjutnya fraktur kombinasi maksilofasial (21,15%), fraktur maksila (13,46%), fraktur komplek nasal (3,85%), fraktur maksilofasial yang diikuti oleh jenis fraktur lainnya (1,92%) dan jenis fraktur maksilofasial yang paling sedikit sekali terjadi adalah fraktur komplek zigoma (0,96%) dan fraktur dentoalveolar (0,96%). Perawatan yang paling sering dilakukan pada pasien fraktur maksilofasial ini adalah Open Reduction and Internal

Fixation (98,08%). Selebihnya adalah perawatan Open Reduction and Internal Fixation beserta perawatan lainnya berupa craniotomy (0,96%) dan tracheostomy

(0,96%).

Prinsip perawatan fraktur yang diberikan bertujuan untuk mengembalikan fragmen-fragmen tulang pada hubungan anatomi semula (reduksi), mempertahankannya supaya terjadi proses penyembuhan luka pada tulang (fiksasi) serta lamanya waktu fiksasi (immobilisasi). Walaupun teknologi bedah memberikan hasil yang baik, pencegahan fraktur maksilofasial merupakan langkah yang bijak. Dengan keterlibatan berbagai pihak, Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor yang dapat mengakibatkan menurunnya kualitas hidup seseorang dapat dicegah dan angka dari insidensi fraktur akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor ini dapat dikurangi.


(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 8 Desember 2010

Pembimbing : Tanda tangan

Olivia Avriyanti Hanafiah ,drg., Sp.BM NIP : 19730422 199802 2001


(5)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim pengu ji pada tanggal 8 Desember 2010

TIM PENGUJI KETUA : Abdullah Oes, drg

ANGGOTA : 1. Eddy Anwar Ketaren, drg., Sp.BM 2. Indra Basar Siregar, drg., M.Kes


(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmatNya yang diberikan kepada penulis, sehingga skripsi ini telah selesai disusun dalam rangka memenuhi kewajiban penulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini penulis ingin mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga kepada Ibuku tercinta, Ibunda Nurhayati atas doa, cinta kasih dan dukungan, serta pengorbanannya demi kebaikan dan kebahagiaan penulis.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat:

1. Olivia Avriyanti Hanafiah, drg., Sp.BM selaku pembimbing yang telah banyak membantu meluangkan waktu, tenaga dan pikiran sehingga selesainya skripsi ini.

2. Eddy A.Ketaren., drg., Sp.BM selaku Ketua Departemen Bedah Mulut, seluruh staf pengajar dan laboran Departemen Bedah Mulut yang telah memberi masukan sehingga selesinya skripsi ini.

3. Dr. Ameta Primasari, drg., MDSc, M.Kes selaku pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjalankan pendidikan.

4. Yang tercinta Nenekku Maryam, Kakekku Suhada, Pamanku Rudi dan Alwan, Tanteku Eli dan Debi, serta sepupuku Piyan, Luthfi, dan Dila atas doa, cinta kasih dan dukungan, serta pengorbanan demi kebaikan dan kebahagiaan penulis.


(7)

5. Sahabat-sahabat terbaikku Sundut, Yaya, Yusuf, Febi, Resti, Febri, Rena, Ulfa, Dian, Ika, Mitha, Fauzan, Bobi, Uwi, Bunga, Trijayanti, Elin, Tasya, Nuria, Riza, Ona, Yuli, Maya, Lisa, Shinta, Dona, Lela, Rani, Friska, Sani, Lia, Ade, Evi, Sarinah, Utha, Tika, Depe, Hanifa, kakanda Noni, kakanda Ivana, kakanda Triani dan seluruh teman-teman stambuk 2007 atas dukungan dan semua hal yang telah diberikan kepada penulis selama menjalani perkuliahan.

6. Teman-teman seperjuangan skripsi di Departemen Bedah Mulut 2007 atas bantuan dan semangatnya, adinda stambuk 2008 dan kakanda-kakanda senior di FKG.

Dengan segala kerendahan hati penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangsih dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Semoga Allah selalu meridhoi kita semua. Selalu berusaha dan berdoa, insyaallah hasilnya berbuah manis.

Medan, 8 Desember 2010 Penulis,

NIM : 070600014 (Muchlis Fauzi .N)


(8)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah………..………... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian………... ... 4

BAB 2 INSIDENSI FRAKTUR MAKSILOFASIAL AKIBAT KECELAKAAN LALU LINTAS PADA PENGENDARA SEPEDA MOTOR YANG DIRAWAT DI RSUP. H.ADAM MALIK MEDAN... 6

2.1 Definisi ... 6

2.2 Etiologi ... 6

2.3 Klasifikasi fraktur maksilofasial………... 7

2.3.1 Fraktur Komplek Nasal ... 7

2.3.2 Fraktur Komplek Zigoma. ... 8

2.3.3 Fraktur Dentoalveolar……….……….. 10

2.3.4 Fraktur Maksila………. 12

2.3.4.1 Fraktur Le Fort I………..………….. 12

2.3.4.2 Fraktur Le Fort II………..…………. 12

2.3.4.3 Fraktur Le Fort III………..……… 13

2.3.5 Fraktur Mandibula………..…………... 13

2.4 Pemeriksaan Klinis………..………. 15

2.4.1 Fraktur Komplek Nasal ... 15


(9)

2.4.3 Fraktur Dentoalveolar……….………... 16

2.4.4 Fraktur Maksila………... 17

2.4.4.1 Fraktur Le Fort I………..……… 17

2.4.4.2 Fraktur Le Fort II………..…………... 18

2.4.4.3 Fraktur Le Fort III………..………. 18

2.4.5 Fraktur Mandibula………..……… 19

2.5 Perawatan ... 22

2.5.1 Fraktur Komplek Nasal ... 22

2.5.2 Fraktur Komplek Zigoma ... 22

2.5.3 Fraktur Dentoalveolar……….………... 24

2.5.4 Fraktur Maksila……….. 24

2.5.5 Fraktur Mandibula………..……… 25

BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP ... 26

3.1 Kerangka Teori ... 26

3.2 Kerangka Konsep ... 27

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ... 28

4.1 Jenis Penelitian ... 28

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 28

4.2.1 Waktu Penelitian………... 28

4.2.2 Tempat Penelitian……….………..…... 28

4.3 Alat dan Bahan Penelitian……...………. 28

4.3.1 Alat Penelitian ... 28

4.3.2 Bahan Penelitian ... 29

4.4 Populasi dan Sampel………...………….. 29

4.4.1 Populasi……….. ... 29

4.4.2 Sampel……… 29

4.4.3 Besar Sampel……… .... 30

4.5 Identifikasi Variabel Penelitian ... 31

4.6 Definisi Operasional ... 32

4.7 Teknik Pengumpulan Data ... 32

4.8 Pengolahan Data ... 33

4.9 Analisa Data ... 33

4.10 Cara Pengumpulan Data ... 33

4.11 Anggaran Penelitian ... 34

BAB 5 HASIL PENELITIAN ... 35

5.1 Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan ... 35

5.2 Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor berdasarkan jenis kelamin yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan ... 35


(10)

5.3 Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor berdasarkan usia yang dirawat di RSUP.

H. Adam Malik Medan ... 38

5.4 Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor berdasarkan jenis fraktur di RSUP. H. Adam Malik Medan ... . 41

5.5 Perawatan fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor di RSUP. H. Adam Malik Medan ... .. 44

BAB 6 PEMBAHASAN ... 47

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN... 57

7.1 Kesimpulan………...…………... 57

7.2 Saran………...………….. 58


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Fraktur Komplek Nasal……….……… 8

Gambar 2. Pandangan frontal fraktur Komplek Zigoma……….…… 9

Gambar 3. Pandangan submentoverteks fraktur Komplek Zigoma……….. 9

Gambar 4. Fraktur Dentoalveolar... 10

Gambar 5. Cedera tulang alveolar... 11

Gambar 6. Fraktur Le Fort I,II, dan III... 13

Gambar 7. Fraktur Mandibula………... 14

Gambar 8. Radiografi Fraktur Komplek Nasal akibat kecelakaan kendaraan bermotor... 19

Gambar 9. Proyeksi waters dari fraktur komplek zigoma... 20

Gambar 10. Radiografi fraktur Dentoalveolar... 20

Gambar 11. CT Koronal Le Fort I dan II... 21

Gambar 12. Proyeksi waters Le Fort III... 21

Gambar 13. Panoramik fraktur mandibula... 21

Gambar 14. Pendekatan Gillies untuk mengurangi fraktur arkus zigomatikus... 23

Gambar 15. Penanganan fraktur dentoalveolar... 24


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor berdasarkan jenis kelamin di RSUP. H.

Adam Malik Medan, Januari 2008 – September

2010... 36 Tabel 2. Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada

pengendara sepeda motor berdasarkan usia di RSUP. H. Adam Malik Medan... 39

Tabel 3. Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor berdasarkan jenis fraktur di RSUP. H. Adam Malik Medan... 42 Tabel 4. Perawatan fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada

pengendara sepeda motor di RSUP. H. Adam Malik Medan... 45


(13)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Ilmu Bedah Mulut

Tahun 2010 Muchlis Fauzi .N

Insidensi Fraktur Maksilofasial Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Pada Pengendara Sepeda Motor Di RSUP H. Adam Malik Medan.

xii+ 64 halaman

Fraktur maksilofasial merupakan fraktur yang sering terjadi di kota-kota besar sebagai akibat dari faktor luar seperti kecelakaan lalu lintas (etiologi terbanyak), kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Fraktur maksilofasial ini terletak didaerah yang anatominya spesifik, sebagaimana yang kita ketahui bahwa kepala merupakan daerah tempat organ-organ penting seperti otak dan pusat persyarafan. Sehingga fraktur maksilofasial ini mewakili permasalahan terbesar bagi pelayanan kesehatan umum diseluruh belahan dunia karena tingginya insidensi dan kerugian finansial yang ditimbulkan dari fraktur maksilofasial ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor khususnya di kota Medan.

Penelitian ini dilakukan secara survei deskriptif pada 104 rekam medik pasien (85 orang laki-laki dan 19 orang perempuan) di RSUP H. Adam Malik Medan. Data diperoleh dari data sekunder berupa rekam medik bagian IGD dan Poli Bedah Mulut SMF Gigi dan Mulut RSUP. H. Adam Malik Medan.

Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan dan


(14)

lebih banyak dijumpai pada usia produktif (21-30 tahun). Fraktur mandibula merupakan fraktur yang paling banyak terjadi (57,69%), selanjutnya fraktur kombinasi maksilofasial (21,15%), fraktur maksila (13,46%), fraktur komplek nasal (3,85%), fraktur maksilofasial yang diikuti oleh jenis fraktur lainnya (1,92%) dan jenis fraktur maksilofasial yang paling sedikit sekali terjadi adalah fraktur komplek zigoma (0,96%) dan fraktur dentoalveolar (0,96%). Perawatan yang paling sering dilakukan pada pasien fraktur maksilofasial ini adalah Open Reduction and Internal

Fixation (98,08%). Selebihnya adalah perawatan Open Reduction and Internal Fixation beserta perawatan lainnya berupa craniotomy (0,96%) dan tracheostomy

(0,96%).

Prinsip perawatan fraktur yang diberikan bertujuan untuk mengembalikan fragmen-fragmen tulang pada hubungan anatomi semula (reduksi), mempertahankannya supaya terjadi proses penyembuhan luka pada tulang (fiksasi) serta lamanya waktu fiksasi (immobilisasi). Walaupun teknologi bedah memberikan hasil yang baik, pencegahan fraktur maksilofasial merupakan langkah yang bijak. Dengan keterlibatan berbagai pihak, Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor yang dapat mengakibatkan menurunnya kualitas hidup seseorang dapat dicegah dan angka dari insidensi fraktur akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor ini dapat dikurangi.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fraktur Maksilofasial merupakan fraktur yang sering terjadi di kota-kota besar sebagai akibat dari faktor luar seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan.1,2

Penyebab terbanyak dari fraktur maksilofasial ini adalah kecelakaan lalu lintas.3 Kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu prioritas penanggulangan penyakit tidak menular berdasarkan Kepmenkes 116/Menkes/SK/VIII/2003. Kecelakaan lalu lintas menempati urutan ke 9 pada DALY (Disability Adjusted Life Year) dan diperkirakan akan menjadi peringkat ke-3 di tahun 2020, sedangkan di negara berkembang menempati urutan ke-2.4

Dari data penelitian retrospektif Sunarto Reksoprawiro tahun 2001-2005 pada penderita yang dirawat di SMF Ilmu Bedah RSU DR. Soetomo, Surabaya menunjukan bahwa penderita fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor ini lebih banyak dijumpai pada laki-laki usia produktif, yaitu usia 21-30 tahun, sekitar 64,38%. Kejadian fraktur mandibula dan maksila menempati urutan terbanyak yaitu masing-masing sebesar 29,85%, disusul fraktur zigoma 27,64% dan fraktur nasal 12,66%.3 Sedangkan menurut hasil penelitian SO.Ajike dan kawan-kawan (An epidemiologic survey of maxillofacial fractures and


(16)

concomitant injuries in Kaduna, Nigeria) didapat bahwa fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor ini lebih banyak dijumpai pada laki-laki daripada perempuan dengan rasio 3,7:1. Dengan insidensi terbanyak adalah fraktur mandibula sebesar 75%, fraktur sepertiga wajah tengah sebesar 25%, serta fraktur kombinasi maksilofasial 12%.5

Di Indonesia sendiri, khususnya di kota Medan tingkat kecelakaan lalu lintas pada pengguna sepeda motor ini sering terjadi, itu karena masih rendahnya pengetahuan masyarakat kota Medan tentang keselamatan jiwa mereka pada saat mengendarai sepeda motor di jalan raya, seperti penggunaan helm yang berfungsi untuk melindungi kepala6, kecepatan sewaktu mengemudi, dan rendahnya kesadaran tentang beretika lalu lintas. Sehingga fraktur maksilofasial ini tetap menjadi masalah klinis yang serius karena letak anatominya yang spesifik. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa kepala merupakan daerah tempat organ – organ penting seperti otak dan pusat persyarafan.7 Sehingga fraktur maksilofasial ini mewakili permasalahan terbesar bagi pelayanan kesehatan umum diseluruh belahan dunia karena tingginya insidens dan kerugian finansial yang ditimbulkan dari fraktur maksilofasial ini.8 Hal inilah yang mendorong peneliti untuk mengetahui insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor di kota Medan, khususnya di RSUP. H. Adam Malik Medan.

Tujuan utama perawatan fraktur maksilofasial adalah rehabilitasi penderita secara maksimal yaitu penyembuhan tulang yang cepat, pengembalian fungsi pengunyahan, perbaikan fungsi bicara, mencapai susunan wajah dan gigi-geligi yang


(17)

memenuhi estetis serta memperbaiki oklusi dan mengurangi rasa sakit akibat adanya mobilitas segmen tulang.9

1.2 Rumusan Masalah

Beberapa masalah yang hendak diamati antara lain :

1. Berapa jumlah pasien yang mengalami fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor.

2. Perawatan yang dilakukan pada pasien yang mengalami fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor di IGD dan Poli Bedah Mulut SMF Gigi dan Mulut dan RSUP. H. Adam Malik Medan dari bulan Januari 2008 hingga September 2010.

Adapun tujuan khusus penelitian ini antara lain :

1. Mengetahui insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor berdasarkan jenis kelamin.

2. Mengetahui insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor berdasarkan usia.

3. Mengetahui insidensi jenis fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor yang disertai jenis fraktur lainnya.


(18)

4. Mengetahui insidensi jenis fraktur kombinasi maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor.

5. Mengetahui perawatan yang dilakukan pada pasien fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor.

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan diketahuinya insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor yang dirawat di IGD dan Poli Bedah Mulut SMF Gigi dan Mulut RSUP H.Adam Malik Medan dari bulan Januari 2008 – September 2010 diharapkan dapat menjadi :

1. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)

Hasil penelitian untuk pengembangan IPTEK diharapkan dapat menjadi khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kesehatan.

2. Data awal bagi peneliti-peneliti lain untuk menelaah lebih lanjut mengenai fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor.

3. Bagi Penulis

Manfaat hasil penelitian ini bagi penulis sendiri diharapkan dapat menambah dan memperluas wawasan, serta pengetahuan penulis tentang fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor.

4. Bagi Pembaca

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberitahukan serta memberikan informasi kepada masyarakat tentang insidensi yang terjadi pada fraktur maksilofasial


(19)

akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor dan cara pencegahan serta perawatannya.


(20)

BAB II

INSIDENSI FRAKTUR MAKSILOFASIAL AKIBAT KECELAKAAN LALU LINTAS PADA PENGENDARA SEPEDA MOTOR

YANG DIRAWAT DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Tulang nasal, orbitozigomatikus, frontal, temporal, maksila dan mandibula merupakan tulang-tulang pembentuk wajah, sehingga apabila terjadi fraktur pada daerah tersebut dapat mengakibatkan suatu kelainan pada bentuk wajah yang menyebabkan wajah tersebut tidak terlihat estetis serta terjadinya gangguan pada proses pengunyahan makanan dan gangguan fonetik.

2.1Definisi Fraktur Maksilofasial

Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula.9

2.2Etiologi

Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial itu dapat terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja , kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tetapi penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas.3


(21)

Terjadinya kecelakaan lalu lintas ini biasanya sering terjadi pada pengendara sepeda motor. Hal ini dikarenakan kurangnya perhatian tentang keselamatan jiwa mereka pada saat mengendarai sepeda motor di jalan raya, seperti tidak menggunakan pelindung kepala (helm), kecepatan dan rendahnya kesadaran tentang beretika lalu lintas. Sosin, Sak dan Holmgreen (1990), dalam studi mortalitas Pusat Nasional Statistik Kesehatan data dari 1979-1986, menemukan bahwa 53% dari 28.749 pengendara sepeda motor yang tidak menggunakan helm meninggal karena cidera kepala yang mereka alami.10

2.3 Klasifikasi Fraktur Maksilofasial

Klasifikasi dari fraktur maksilofasial itu sendiri terdiri atas beberapa fraktur yakni fraktur kompleks nasal, fraktur kompleks zigomatikus - arkus zigomatikus, fraktur dento-alveolar, fraktur mandibula dan fraktur maksila yang terdiri atas fraktur le fort I, II, dan III. 11

2.3.1 Fraktur Komplek Nasal

Tulang hidung sendiri kemungkinan dapat mengalami fraktur , tetapi yang lebih umum adalah bahwa fraktur – fraktur itu meluas dan melibatkan proses frontal maksila serta bagian bawah dinding medial orbital.

Fraktur daerah hidung biasanya menyangkut septum hidung. Kadang – kadang tulang rawan septum hampir tertarik ke luar dari alurnya pada vomer dan plat tegak lurus serta plat kribriform etmoid mungkin juga terkena fraktur.


(22)

Perpindahan tempat fragmen – fragmen tergantung pada arah gaya fraktur. Gaya yang dikenakan sebelah lateral hidung akan mengakibatkan tulang hidung dan bagian-bagian yang ada hubungannya dengan proses frontal maksila berpindah tempat ke satu sisi.12 Dalam penelitian retrospektif Sunarto Reksoprawiro tahun 2001-2005, insidensi fraktur komplek nasal sebesar 12,66%.3

2.3.2 Fraktur Komplek Zigoma

Tulang zigomatik sangat erat hubungannya dengan tulang maksila, tulang dahi serta tulang temporal, dan karena tulang – tulang tersebut biasanya terlibat bila tulang zigomatik mengalami fraktur, maka lebih tepat bila injuri semacam ini disebut “fraktur kompleks zigomatik”.

Tulang zigomatik biasanya mengalami fraktur didaerah zigoma beserta suturanya, yakni sutura zigomatikofrontal, sutura zigomakotemporal, dan sutura zigomatikomaksilar. Suatu benturan atau pukulan pada daerah inferolateral orbita

Gambar 1. Fraktur Kompleks Nasal terdiri dari sebuah pertemuan beberapa tulang: (1) tulang frontal, (2) tulang hidung, (3) tulang rahang atas, (4) tulang lakrimal, (5) tulang ethmoid, dan (6) tulang sphenoid


(23)

atau pada tonjolan tulang pipi merupakan etiologi umum. Arkus zigomatik dapat mengalami fraktur tanpa terjadinya perpindahan tempat dari tulang zigomatik.12

Meskipun fraktur kompleks zigomatik sering disebut fraktur ”tripod”, namun fraktur kompleks zigomatik merupakan empat fraktur yang berlainan. Keempat bagian fraktur ini adalah arkus zigomatik, tepi orbita, penopang frontozigomatik, dan penopang zigomatiko-rahang atas.13

Arkus zigomatikus bisa merupakan fraktur yang terpisah dari fraktur zigoma kompleks. Fraktur ini terjadi karena depresi atau takikan pada arkus, yang hanya bisa dilihat dengan menggunakan film submentoverteks dan secara klinis berupa gangguan kosmetik pada kasus yang tidak dirawat, atau mendapat perawatan yang kurang baik.14 Insidensi fraktur komplek zigoma sendiri berbeda pada beberapa penelitian. Pada penelitian Hamad Ebrahim Al Ahmed dan kawan-kawan insidensi fraktur komplek zigoma sebesar 7,4%.15 Sedangkan hasil penelitian yang lain menunjukkan bahwa insidensi fraktur komplek zigoma sebesar 42% dan 7,9%.16,17

Gambar 2. Pandangan frontal dari fraktur zigomatik kompleks (www.emedicine.com) (20 September 2010).

Gambar 3. Pandangan submentoverteks dari

fraktur zigomatik kompleks


(24)

2.3.3 Fraktur Dentoalveolar

Injuri dento-alveolar terdiri dari fraktur, subluksasi atau terlepasnya gigi-gigi (avulsi), dengan atau tanpa adanya hubungan dengan fraktur yang terjadi di alveolus, dan mungkin terjadi sebagai suatu kesatuan klinis atau bergabung dengan setiap bentuk fraktur lainnya.

Salah satu fraktur yang umum terjadi bersamaan dengan terjadinya injuri wajah adalah kerusakan pada mahkota gigi, yang menimbulkan fraktur dengan atau tanpa terbukanya saluran pulpa.

Injuri fasial sering menekan jaringan lunak bibir atas pada gigi insisor,sehingga menyebabkan laserasi kasar pada bagian dalam bibir atas dan kadang-kadang terjadi luka setebal bibir. Sering kali injuri semacam ini menghantam satu gigi atau lebih,

Gambar 4. A. Infraksi Mahkota, B. Fraktur mahkota terbatas pada enamel dan dentin ( fraktur mahkota sederhana ), C.Fraktur mahkota langsung melibatkan pulpa (fraktur mahkota terkomplikasi), D. Fraktur akar sederhana, E. Fraktur mahkota-akar terkomplikasi, F.Fraktur akar Horizontal ( www.emedicine.com ) ( 19 September 2010 ).


(25)

sehingga pecahan mahkota gigi atau bahkan seluruh gigi yang terkena injuri tersebut tertanam di dalam bibir atas.

Pada seorang pasien yang tidak sadarkan diri pecahan gigi yang terkena fraktur atau gigi yang terlepas sama sekali mungkin tertelan pada saat terjadi kecelakaan, sehingga sebaiknya jika terdapat gigi atau pecahan gigi yang hilang setelah terjadinya injuri fasial agar selalu membuat radiograf dada pasien, terutama jika terjadi kehilangan kesadaran pada saat terjadinya kecelakaan.12,20

Fraktur pada alveolus dapat terjadi dengan atau tanpa adanya hubungan dengan injuri pada gigi-gigi. Fraktur tuberositas maksilar dan fraktur dasar antrum relatif merupakan komplikasi yang umum terjadi pada ilmu eksodonti.

Insidensi fraktur dentoalveolar sendiri juga berbeda persentasenya, pada beberapa penelitian, dimana masing-masing penelitian sebelumnya menunjukkan persentase sebesar 5,4%, dan 49.0%.5,18

Gambar 5. Cedera tulang alveolar. A. Fraktur dinding tunggal dari alveolus, B. Fraktur dari prosesus alveolar ( www.emedicine.com ) ( 19 September 2010 ).


(26)

2.3.4 Fraktur Maksila

Klasifikasi fraktur maksilofasial yang keempat adalah fraktur maksila, yang mana fraktur ini terbagi atas tiga jenis fraktur, yakni ; fraktur Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III. Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya, insidensi dari fraktur maksila ini masing-masing sebesar 9,2% dan 29,85%.3,19

2.3.4.1 Fraktur Le Fort I

Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau bergabung dengan fraktur – fraktur Le Fort II dan III.

Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur transverses rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur transmaksilari.12-15

2.3.4.2 Fraktur Le Fort II

Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris dan nasofrontalis merupakan sutura yang sering terkena.

Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas, bias merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat gerakan sering


(27)

tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I.12-15

2.3.4.3 Fraktur Le Fort III

Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah. Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis kranii.

Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan trauma intrakranial. 12-15

2.3.5 Fraktur Mandibula

Fraktur mandibula merupakan akibat yang ditimbulkan dari trauma kecepatan tinggi dan trauma kecepatan rendah. Fraktur mandibula dapat terjadi akibat kegiatan olahraga, jatuh, kecelakaan sepeda bermotor, dan trauma interpersonal. Di instalasi Gambar 6. Fraktur Le Fort I , Le Fort II, Le Fort III ( 2010 ).


(28)

gawat darurat yang terletak di kota-kota besar, setiap harinya fraktur mandibula merupakan kejadian yang sering terlihat.

Pasien kadang-kadang datang pada pagi hari setelah cedera terjadi, dan menyadari bahwa adanya rasa sakit dan maloklusi. Pasien dengan fraktur mandibula sering mengalami sakit sewaktu mengunyah, dan gejala lainnya termasuk mati rasa dari divisi ketiga dari saraf trigeminal. Mobilitas segmen mandibula merupakan kunci penemuan diagnostik fisik dalam menentukan apakah si pasien mengalami fraktur mandibula atau tidak. Namun, mobilitas ini bisa bervariasi dengan lokasi fraktur. Fraktur dapat terjadi pada bagian anterior mandibula ( simpisis dan parasimpisis ), angulus mandibula, atau di ramus atau daerah kondilar mandibula.

Kebanyakan fraktur simfisis, badan mandibula dan angulus mandibula merupakan fraktur terbuka yang akan menggambarkan mobilitas sewaktu dipalpasi.

Namun, fraktur mandibula yang sering terjadi disini adalah fraktur kondilus yang biasanya tidak terbuka dan hanya dapat hadir sebagai maloklusi dengan rasa sakit.13,14 Dalam beberapa penelitian sebelumnya, dikatakan bahwa fraktur mandibula


(29)

merupakan fraktur terbanyak yang terjadi akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor, dengan masing-masing persentase sebesar 51% dan 72,8%.5,19

2.4 Pemeriksaaan Klinis

Pemeriksaan klinis dari masing-masing fraktur maksilofasial dapat dilakukan dalam dua pemeriksaan, yakni pemeriksaan ekstra oral dan intra oral. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiografis yang dapat membantu dalam menegakkan diagnosa dari fraktur maksilofasial.

2.4.1 Fraktur Komplek Nasal

Pemeriksaan klinis pada fraktur kompleks nasal dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya deformitas pada tulang hidung, laserasi, epistaksis, bentuk garis hidung yang tidak normal. Sedangkan secara palpasi dapat terlihat adanya luka robek pada daerah frontal hidung, edema, hematom, dan tulang hidung yang bergerak dan remuk. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya deformitas yang berlanjut, deviasi pada tulang hidung, ekhimosis dan laserasi. Sedangkan secara palpasi terdapat bunyi yang khas pada tulang hidung. 12-14,16,25


(30)

Selanjutnya pemeriksaan fraktur nasal kompleks dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi Water, CT Scan, Helical CT dan pemeriksaan foto roentgen dengan proyeksi dari atas hidung. 12,14,17,38

2.4.2 Fraktur Komplek Zigoma

Pemeriksaan klinis pada fraktur kompleks zigoma dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya kehitaman pada sekeliling mata, mata juling, ekhimosis, proptosis, pembengkakan kelopak mata, perdarahan subkonjungtiva, asimetris pupil, hilangnya tonjolan prominen pada daerah zigomatikus. Sedangkan secara palpasi terdapat edema dan kelunakan pada tulang pipi. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya ekimosis pada sulkus bukal atas di daerah penyangga zigomatik, kemungkinan penyumbatan oklusi didaerah molar pada sisi yang terkena injuri. Sedangkan secara palpasi terdapat kelunakan pada sulkus bukal atas di daerah penyangga zigomatik, anestesia gusi atas. 12-16,25

Pemeriksaan fraktur komplek zigomatikus dilakukan dengan foto rontgen submentoverteks, proyeksi waters dan CT scan.1,12,38

2.4.3 Fraktur Dentoalveolar

Pemeriksaan klinis pada fraktur dentoalveolar dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan


(31)

dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya laserasi, edema dan ekimosisi pada daerah bibir. Sedangkan secara palpasi terdapat pecahan gigi pada jaringan bibir. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya laserasi pada permukaan lidah dan sulkus labial, avulsi dan subluksasi. Sedangkan secara palpasi terdapat deformitas tulang, krepitus. 12,14,20,25

Pemeriksaan fraktur dentoalveolar dilakukan dengan radiograf intra-oral dan panoramik.21

2.4.4 Fraktur Maksila

Fraktur maksila terbagi atas fraktur Le Fort I, Le Fort II dan Le Fort III, dimana pemeriksaan klinis pada masing-masing fraktur Le Fort tersebut berbeda.

2.4.4.1 Le Fort I

Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya edema pada bibir atas dan ekimosis. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri.12-14

Selanjutnya pemeriksaan fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi wajah anterolateral.14


(32)

2.4.4.2 Le Fort II

Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi, ekimosis, dan edema periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung bergerak bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. 12-14

Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan.13-14

2.4.4.3 Le Fort III

Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi. Secara visualisasi dapat terlihat pembengkakan pada daerah kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral. Usaha untuk melakukan tes mobilitas pada maksila akan mengakibatkan pergeseran seluruh bagian atas wajah.14

Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan.13-14


(33)

2.4.5 Fraktur Mandibula

Pemeriksaan klinis pada fraktur mandibula dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi terlihat adanya hematoma, pembengkakan pada bagian yang mengalami fraktur, perdarahan pada rongga mulut. Sedangkan secara palpasi terdapat step deformity. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi terlihat adanya gigi yang satu sama lain, gangguan oklusi yang ringan hingga berat, terputusnya kontinuitas dataran oklusal pada bagian yang mengalami fraktur. Sedangkan secara palpasi terdapat nyeri tekan, rasa tidak enak pada garis fraktur serta pergeseran.12-14,16,25

Pada fraktur mandibula dilakukan pemeriksaan foto roentgen proyeksi oklusal dan periapikal, panoramik tomografi ( panorex ) dan helical CT.13-14

Gambar 8. Fraktur nasal akibat kecelakaan kendaraan bermotor (www.emedicine.com) (19 September 2010).


(34)

Gambar 9. Pemeriksaan dengan proyeksi waters dari fraktur kompleks zigomatik yang (www.emedicine.com) (19 September 2010)

Gambar 10. Fraktur Dentoalveolar ( www.emedicine.com ) (17 September 2010).


(35)

Gambar 11. CT koronal menunjukkan fraktur Le Fort I (kanan) dan Le Fort II (kiri)

Gambar 12. Tampilan Waters menunjukkan fraktur Le Fort III (panah). Perdarahan terjadi di kedua antra (www.emedicine.com) ( 17 September 2010).

Gambar 13. Radiografi Panoramik menunjukkan fraktur sudut kiri yang meluas dan mencabut gigi molar 3. Gambar ini juga menunjukkan fraktur simphisis kanan. ( www.emedicine.com ) ( 17 September 2010 ).


(36)

2.5Perawatan

Perawatan pada masing-masing fraktur maksilofasial itu berbeda satu sama lain. Oleh sebab itu perawatannya akan dibahas satu per satu pada masing-masing fraktur maksilofasial. Tetapi sebelum perawatan defenitif dilakukan, maka hal yang pertama sekali dilakukan adalah penanganan kegawatdaruratan yakni berupa pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang dikenal dengan singkatan ABC. Apabila terdapat perdarahan aktif pada pasien, maka hal yang harus dilakukan adalah hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri maka dapat diberi analgetik untuk membantu menghilangkan rasa nyeri.31-33 Setelah penanganan kegawatdaruratan tersebut dilaksanakan, maka perawatan defenitif dapat dilakukan.

2.5.1 Fraktur Komplek Nasal

Pada fraktur komplek nasal, ada 2 cara perawatan yang dilakukan yakni reduksi dan fiksasi. Fraktur kompleks hidung dapat direduksi dibawah analgesia lokal, tetapi anestesia umum dengan pipa endotrakeal lewat mulut yang memadai lebih diminati karena mungkin terjadi perdarahan banyak. Kadang – kadang bila fraktur tidak begitu parah maka pemasangan splin setelah reduksi tidak perlu.

Pada beberapa kasus, pendawaian langsung antar tulang pada pertemuan dahi-hidung akan bermanfaat.12,17,23

2.5.2 Fraktur Komplek Zigoma

Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan secara elektif. Fraktur arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui pendekatan Gillies klasik.


(37)

Adapun langkah-langkah teknik Gillies yang meliputi : a. Membuat sayatan dibelakang garis rambut temporal,

b. Mengidentifikasi fasia temporalis,

c. Menempatkan elevator di bawah fasia mendekati lengkungan dari aspek dalam yakni dengan menggeser elevator di bidang dalam untuk fasia, cedera pada cabang frontal dari syaraf wajah harus dihindari. Sehingga arkus dapat kembali ke posisi anatomis yang lebih normal.

Bila hanya arkus zigoma saja yang terkena fraktur, fragmen – fragmen harus direduksi melalui suatu pendekatan memnurut Gillies. Fiksasi tidak perlu dilakukan karena fasia temporalis yang melekat sepanjang bagian atas lengkung akan melakukan imobilisasi fragmen-fragmen secara efektif.13,22-23

2.5.3 Fraktur Dento-alveolar

Gambar 14. Pendekatan Gillies untuk mengurangi fraktur arkus zigomatikus, A. Insisi temporal melalui fasia subkutan dan fasia superfisial dibawah fasia temporal bagian dalam, B. Reduksi fraktur dengan elevator (www.emedicine.com) (20 September 2010).


(38)

Ketika fragmen tulang dan gigi yang bergeser masih memiliki mukosa yang baik di sisi lingual, maka fragmen tulang dan gigi tersebut masih dapat dilestarikan.

Pergeseran dikurangi dan mukosa yang terjadi laserasi tersebut diperbaiki jika itu diperlukan. Pengurangan dari pergeseran tersebut bertujuan untuk menstabilkan, yakni dilakukan dengan cara mengetsa pilar ke mahkota, baik pada gigi yang terlibat maupun pada gigi yang berdekatan dengan batang akrilik atau bar yang cekat ,splint komposit atau splin ortodonsi selama 4 - 6 minggu.

Tetapi jika terdapat kominusi yang kotor, sebaiknya gigi dan tulang yang hancur tersebut dibuang dan dilakukan penjahitan pada mukosa yang berada diatas daerah tulang yang telah rata. 15,20-21,23

Gambar 15. Penanganan fraktur dentoalveolar. A, Gambaran intraoral dari pasien yang mengalami fraktur dentoalveolar pada bagian anterior mandibula. B, Arch bar yang dipasangkan untuk menstabilisasikan segmen tersebut. C, Oklusi yang diperoleh setelah arch bar dibuka (Baumann A, Troulis MJ, Kaban LB. Facial traumaII : dentoalveolar injuries and mandibular fractures. In: Kaban LB, Troulis MJ, Pediatric oral and maxillofacial surgery. USA: Elsevier Science, 2004 : 446).

2.5.4 Fraktur Maksila

Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yang didapatkan dari pengawatan sirkumzigomatik. Apabila segmen fraktur mengalami impaksi, maka dilakukan


(39)

pengungkitan dengan menggunakan tang pengungkit, atau secara tidak langsung dengan menggunakan tekanan pada splint/arch bar.12,14,23 Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le Fort I. Hanya perbedaannya adalah perlu dilakukan perawatan fraktur nasal dan dasar orbita juga. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan menggunakan molding digital dan splinting.12,14,23 Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular, pengawatan langsung bilateral, atau pemasangan pelat pada sutura zigomatikofrontalis dan suspensi kraniomandibular pada prosessus zigomatikus ossis frontalis.12,14,23

2.5.5 Fraktur Mandibula

Ada dua cara penatalaksanaan fraktur mandibula, yakni cara tertutup / konservatif dan terbuka / pembedahan. Pada teknik tertutup, reduksi fraktur dan imobilisasi mandibula dicapai dengan jalan menempatkan peralatan fiksasi maksilomandibular.14

Pada prosedur terbuka , bagian yang fraktur dibuka dengan pembedahan dan segmen direduksi dan difiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat atau plat. Terkadang teknik terbuka dan tertutup ini tidaklah selalu dilakukan tersendiri, tetapi juga dapat dikombinasikan.14,23


(40)

BAB III

KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Teori

Definisi

Fraktur Maksilofasial

Klasifikasi Fraktur Maksilofasial

Fraktur Kompleks nasal

Perawatan

Fraktur kompleks zigoma – arcus zigoma

Fraktur dento-alveolar

Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan Intra Oral

Pemeriksaan Ekstra oral

Fraktur Maksila ( Le Fort I , II , III )

Fraktur Mandibula Etiologi

Pemeriksaan Radiografis


(41)

3.2 Kerangka Konsep

Variabel tergantung Fraktur maksilofasial

• Umur

• Jenis Kelamin • Jenis Fraktur • Perawatan Variabel bebas

Kecelakaan Lalu lintas Etiologi :

• Pengaruh alkohol • Kecepatan mengemudi • Etika berlalu lintas

yang tidak baik • Penggunaan helm

standar


(42)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara deskriptif, yakni dengan mengambil data sekunder berupa rekam medik fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor di bagian rekam medik dan Poli Bedah Mulut SMF Gigi dan Mulut RSUP H.ADAM MALIK, Medan.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian

4.2.1 Waktu Penelitian

Waktu penelitian direncanakan dari bulan Oktober – November 2010.

4.2.2 Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di bagian rekam medik dan Poli Bedah Mulut SMF Gigi dan Mulut RSUP H.ADAM MALIK, Medan.

4.3 Alat dan Bahan Penelitian 4.3.1 Alat Penelitian

Alat penelitiannya berupa alat tulis, dan alat kalkulasi ( kalkulator ), buku catatan untuk mencatat data-data rekam medik.


(43)

4.3.2 Bahan Penelitian

Bahan penelitian berupa kartu status pasien yang berisikan data : nama pasien, no. telp / hp, alamat, jenis kelamin, usia, jenis fraktur maksilofasial yang tidak atau disertai jenis fraktur lain.

4.4 Populasi dan Sampel

4.4.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien fraktur akibat kecelakaan lalu lintas yang menjalani perawatan di RSUP. H. Adam Malik, Medan.

4.4.2 Sampel

Sampel penelitian adalah seluruh pasien fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor yang menjalani perawatan di RSUP. H. Adam Malik, Medan.

Kriteria Inklusi :

• Data rekam medis yang berisi data pasien fraktur maksilofasial akibat

kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor yang sedang ataupun telah menjalani perawatan di RSUP. H. Adam Malik, Medan.

• Data rekam medis yang berisi data pasien fraktur maksilofasial akibat

kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor mulai dari bulan Januari 2008 – September 2010.


(44)

pada pengendara sepeda motor yang sekurang – kurangnya berisi data berupa : umur, jenis kelamin, jenis fraktur maksilofasial yang tidak dan diikuti oleh fraktur lainnya serta perawatannya.

Kriteria Eksklusi

• Data rekam medis pasien fraktur maksilofasial yang bukan akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor.

• Data rekam medis pasien fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor yang menjalani perawatan selain bulan Januari 2008-September 2010.

4.4.3 Besar Sampel

Untuk mendapatkan besar sampel yang akan diambil dalam penelitian ini penulis menggunakan persentase dari data penelitian retrospektif SO. Ajike (An

epidemiologic survey of maxillofacial fractures and concomitant injuries in Kaduna, Nigeria) menunjukan bahwa penderita fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu

lintas pada pengendara sepeda motor yaitu sebesar 50,8%, diperoleh sampel dengan menggunakan rumus (Sudigdo, 2008):

Keterangan :

P = Proporsi penyakit atau keadaan yang akan dicari d = Tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki

2 2 a

d PQ z


(45)

Za = Tingkat kemaknaan Q = 1 – P

n = Besar sampel yang diperlukan

n

Dengan demikian, jumlah sampel minimal yang diperlukan adalah 96 orang pasien. Maka jumlah sampel yang akan diambil pada penelitian ini adalah 104 orang.

4.5 Identifikasi Variabel Penelitian 2 2 ) 1 , (0 0,492 0,508. . ) 96 , (1 = 96 = Variabel tergantung Fraktur maksilofasial

Variabel tidak terkendali • Pengaruh alkohol

• Kecepatan mengemudi • Etika berlalu lintas yang

tidak baik

• Penggunaan helm standar • Kondisi jalan raya

Variabel terkendali • Umur

• Jenis kelamin • Jenis fraktur • Perawatan Variabel bebas


(46)

4.6 Definisi Operasional

• Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula.

• Jenis kelamin adalah pasien RSUP. H. Adam Malik Medan dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang sedang ataupun yang telah mendapat perawatan.

• Jenis fraktur merupakan jenis fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu- lintas pada pengendara sepeda motor yang tidak dan disertai jenis fraktur lainnya.

• Fraktur kombinasi maksilofasial merupakan fraktur maksilofasial yang lebih dari 1 fraktur yang terjadi pada 1 pasien yang sama, misalnya fraktur mandibula disertai fraktur maksila, atau fraktur maksila disertai fraktur zigoma dan fraktur mandibula.

• Fraktur lainnya adalah fraktur yang menyertai fraktur maksilofasial pada 1 pasien, misalnya fraktur mandibula disertai fraktur tibia.

• Perawatan yang diberikan adalah perawatan yang diberikan oleh bagian IGD, Poli Bedah Mulut SMF Gigi dan Mulut dan Poli THT RSUP. H. Adam Malik Medan.

4.7 Tehnik Pengumpulan Data

Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data rekam medis di IGD dan Poli Bedah Mulut SMF Gigi dan Mulut RSUP. H. Adam Malik , Medan.


(47)

Data diolah secara manual dan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan diagram batang.

4.9 Analisa data

Dihitung persentase fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor dan frekuensinya berdasarkan umur, jenis kelamin, jenis fraktur maksilofasial yang disertai jenis fraktur lainnya dan jenis fraktur maksilofasial yang tidak dan disertai jenis fraktur lainnya.

4.10 Cara pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan di bagian rekam medik dan Poli Bedah Mulut SMF Gigi dan Mulut RSUP. H. Adam Malik Medan, data-data yang diambil adalah data pasien fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor. Kemudian dicatat data-data yang diinginkan melalui rekam medik pasien seperti: umur, jenis kelamin, jenis fraktur maksilofasial yang dan tidak disertai jenis fraktur lain serta terapi yang dilakukan. Kemudian dari data-data pasien yang ada dicatat dan diseleksi.


(48)

4.11 Anggaran Penelitian

1. Biaya Penyiapan Proposal Rp. 500.000,-

(ketikan, fotokopi, penelusuran literatur) 2. Biaya Registrasi Penelitian

- Penelitian di RSUP.H. Adam Malik Rp. 294.000 - Pengambilan sampel ( rekam medik ) Rp. 150.000 3. Bahan dan alat :

- Alat tulis dan buku catatan Rp. 20.000

- Kalkulator Rp. 100.000

4. Biaya kertas, printer, tinta printer Rp. 300.000 5. Biaya Transportasi selama 1 bulan Rp. 150.000 6. Biaya Penjilidan dan Pengadaan Skripsi Rp. 500.000

7. Biaya tak terduga Rp. 100.000 +


(49)

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan, Januari 2008 – September 2010

Dari data-data yang diperoleh di bagian rekam medik dan Poli Bedah Mulut SMF Gigi dan Mulut Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, diperoleh jumlah pasien yang didiagnosa fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor selama bulan Januari 2008 – September 2010 sejumlah 104 orang.

5.2 Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor berdasarkan jenis kelamin yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan, Januari 2008 – September 2010

Dari 104 orang yang mengalami kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor diperoleh total fraktur maksilofasial yang terjadi pada laki-laki sebanyak 85 orang dengan persentase sebesar 81,73 % dan pada perempuan sebanyak 19 orang dengan persentase sebesar 18,27 %. Diperoleh rasio terjadinya fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor pada laki-laki dan wanita sebesar 4:1.


(50)

Tabel 1: Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor berdasarkan jenis kelamin yang dirawat di bagian IGD dan Poli Bedah Mulut SMF Gigi dan Mulut RSUP H. Adam Malik Januari 2008 – September 2010.

Fraktur Maksilofasial

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan

f % f %

Fraktur Komplek Zigoma 0 0 1 0,96

Fraktur Komplek Nasal 4 3,85 0 0

Fraktur Dento-alveolar 0 0 1 0,96

Fraktur Maksila 9 8,65 5 4,81

Fraktur Mandibula 54 51,92 6 5,77

Fraktur Kombinasi Maksilofasial 16 15,39 6 5,77 Fraktur Maksilofasial dengan fraktur

lainnya

2 1,92 0 0


(51)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

P e r s e n t a s e (%)

Laki-laki Perempuan

Jenis kelamin

Diagram 1. Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor berdasarkan jenis

kelamin yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan, Januari 2008 - September 2010

Fraktur maksilofasial


(52)

5.3 Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor berdasarkan usia yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan, Januari 2008 – September 2010

Dari 104 kasus yang diperoleh, jumlah tertinggi dari insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor terjadi pada usia 21-30 tahun, yakni sebanyak 38 orang dengan persentase sebesar 36,54 %, pada usia 11-20 tahun sebanyak 31 orang dengan persentase sebesar 29,81 %, pada usia 31-40 tahun sebanyak 14 orang dengan persentase 13,46% , pada usia 41-50 tahun sebanyak 11 orang dengan persentase 10,58%, pada usia 1-10 tahun sebanyak 6 orang dengan persentase 5,77%, pada usia 51-60 tahun sebanyak 3 orang dengan persentase 2,88%, kemudian jumlah terendah dari insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor terjadi pada usia 61-70 tahun yakni sebanyak 1 orang dengan persentase sebesar 0,96%.

Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor dijumpai pada usia paling muda yakni pada usia 2 tahun dan paling tua pada usia 67 tahun.


(53)

Tabel 2: Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor berdasarkan usia yang dirawat di bagian IGD dan Poli Bedah Mulut SMF Gigi dan Mulut RSUP H. Adam Malik Januari 2008 – September 2010.

Fraktur Maksilofasial

Usia ( Tahun )

1-10 11-20 21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 Fraktur Komplek

Zigoma 0 0 1 0 0 0 0

Fraktur Komplek

Nasal 0 2 1 0 0 0 1

Fraktur

Dento-alveolar 1 0 0 0 0 0 0

Fraktur Maksila 1 6 7 1 1 0 0

Fraktur Mandibula 2 15 23 10 5 3 0

Fraktur Kombinasi

maksilofasial 2 7 5 3 5 0 0

Fraktur

Maksilofasial dengan

fraktur lainnya 0 1 1 0 0 0 0

Total 6 31 38 14 11 3 1


(54)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 P e r s e n t a s e (%) 1-10 tahun 11-20 tahun 21-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 51-60 tahun 61-70 tahun Usia

Diagram 2. Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor berdasarkan usia yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik

Medan, Januari 2008 - September 2010

Fraktur Maksilofasial


(55)

5.4 Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor berdasarkan jenis frakturnya yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan, Januari 2008 – September 2010

Dari 104 kasus yang diperoleh, jenis fraktur yang paling banyak terjadi dari insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor adalah fraktur mandibula sebanyak 60 orang dengan persentase sebesar 57,69%, selanjutnya fraktur kombinasi maksilofasial sebanyak 22 orang dengan persentase sebesar 21,15%, fraktur maksila sebanyak 14 orang dengan persentase sebesar 13,46%, fraktur komplek nasal sebanyak 4 orang dengan persentase 3,85%, kemudian fraktur maksilofasial yang diikuti oleh jenis fraktur lainnya sebanyak 2 orang dengan persentase sebesar 1,92% dan jenis fraktur maksilofasial yang paling sedikit sekali terjadi adalah fraktur komplek zigoma dan fraktur dento-alveolar yakni masing-masing sebanyak 1 orang dengan persentase masing-masing sebesar 0,96%.


(56)

Tabel 3: Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor berdasarkan jenis frakturnya yang dirawat di bagian IGD dan Poli Bedah- Mulut SMF Gigi dan Mulut RSUP H. Adam Malik Medan Januari 2008 – September 2010.

Fraktur Maksilofasial Frekuensi %

Fraktur Komplek Zigoma 1

0,96

Fraktur Komplek Nasal 4

3,85

Fraktur Dento-alveolar 1

0,96

Fraktur Maksila 14

13,46

Fraktur Mandibula 60

57,69

Fraktur Kombinasi Maksilofasial 22

21,15 Fraktur Maksilofasial dengan fraktur lainnya 2 1,92


(57)

Diagram 3. Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor berdasarkan jenis frakturnya

yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan, Januari 2008 - September 2010 0 10 20 30 40 50 60 70 Frak tur K

omple k Zig

oma

Frak tur K

ompl ek N

asal

Frak tur D

ent o-alve

olar

Frak tur M

aksila

Frak tur M

andi bula

Frak tur K

ombin asi M

aksilo fasia

l

Frakt ur M

aksilof asia

l de ngan f

rakt ur la

inny a p ers en tas e ( % )


(58)

5.5 Perawatan fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan, Januari 2008 – September 2010

Dari 104 orang pasien fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor, didapat bahwa perawatan yang diberikan kepada masing-masing pasien fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor pada prinsipnya adalah sama. Pada fraktur komplek nasal, fraktur komplek zigoma, fraktur mandibula, fraktur maksila, dan fraktur dentoalveolar, perawatan yang diberikan adalah ORIF ( Open Reduction and Internal Fixation ). Jumlah pasien yang mendapat perawatan ORIF adalah sebanyak 102 orang pasien, dengan persentase sebesar 98,08%. Sedangkan 2 orang pasien yang lainnya mendapat perawatan ORIF beserta perawatan lainnya yakni masing-masing sebesar 0,96%. Perawatan lainnya berupa Tracheostomy dan Craniotomy.


(59)

Tabel 4: Perawatan fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor di bagian IGD , Poli THT dan Poli Bedah- Mulut SMF Gigi dan Mulut RSUP H. Adam Malik Januari 2008 – September 2010.

Fraktur Maksilofasial

Jenis Perawatan

ORIF

ORIF + Craniotomy

ORIF + Tracheostomy

Fraktur Komplek Zigoma 1 0 0

Fraktur Komplek Nasal 4 0 0

Fraktur Dento-alveolar 1 0 0

Fraktur Maksila 14 0 0

Fraktur Mandibula 60 0 0

Fraktur Kombinasi Maksilofasial 21 0 1

Fraktur Maksilofasial dengan fraktur lainnya

1 1 0

Total 102 1 1


(60)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

p e r s e n t a s e ( % )

ORIF ORIF + Craniotomy ORIF + Tracheostomy

Jenis perawatan

Diagram 4. Perawatan fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor di bagian IGD , Poli THT dan Poli Bedah- Mulut SMF Gigi dan Mulut RSUP H. Adam Malik Januari 2008 – September 2010


(61)

BAB VI PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian didapatkan insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik di bagian IGD dan poli bedah mulut SMF gigi dan mulut dari bulan Januari 2008-September 2010 diperoleh 104 orang pasien.

Banyaknya pasien fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor ini disebabkan oleh penggunaan helm yang tidak memenuhi standar, jalur transportasi atau infrastruktur yang tidak memadai, pengaruh alkohol sewaktu mengemudi, memperoleh surat izin mengemudi tanpa tes yang ketat dan etika berlalu lintas yang tidak baik dari pengendara sepeda motor.24 Selain itu kecepatan mengemudi juga merupakan penyebab lain dari kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor. Dari penelitian Sarkar dan kawan-kawan menyatakan bahwa pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm memiliki risiko 5 sampai 9 kali lebih besar untuk terjadinya fraktur maksilofasial dibandingkan dengan pengendara sepeda motor yang memakai helm. Dalam sebuah penelitian juga dikatakan bahwa pengaruh alkohol atau etanol (etil alkohol) pada saat mengendarai sepeda motor dapat menyebabkan cedera ataupun fraktur pada bagian kepala dan wajah, hal ini dikarenakan pengaruh alkohol pada fungsi neuronal dan terutama pada fungsi-fungsi yang berhubungan dengan neurologis serta neuropsikologis. Penelitian tersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Borkeisten dan kawan-kawan


(62)

yang melakukan estimasi BAC (Blood Alcohol Consentration) secara acak pada pengendara di bagian Michigan. Dari penelitian case control tersebut menunjukkan bahwa risiko kecelakaan semakin meningkat cepat ketika BAC melebihi 100 mg/dl.10 Selanjutnya kendala utama yang dihadapi dalam peningkatan keselamatan jalan adalah rendahnya disiplin masyarakat dalam berlalu lintas, kurangnya kedisiplinan ini menjadi salah satu faktor yang mendukung terjadinya kecelakaan. Banyaknya peristiwa kecelakaan yang diawali dengan pelanggaran lalu lintas, terutama pelanggaran rambu dan lampu lalu lintas. Menurut data dari kepolisian faktor pelanggaran yang dilakukan oleh pengemudi yang kurang tertib berlalu lintas ini mencapai lebih dari 80% dari penyebab kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor.26

Dari 104 pasien fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan, maka diperoleh insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor berdasarkan jenis kelamin yang menunjukkan bahwa laki-laki lebih tinggi frekuensinya dibandingkan dengan perempuan (tabel 1). Dari data tersebut didapat rasio yang menunjukkan bahwa fraktur maksilofasial pada laki-laki dan perempuan berbeda yaitu 4:1. Hasil yang diperoleh sama dengan hasil penelitian retrospektif SO. Ajike dan kawan-kawan yang menyatakan bahwa laki-laki lebih tinggi frekuensinya dibandingkan dengan perempuan dengan rasio lebih kecil sedikit dari penelitian ini yakni 3,7:1.5 Hasil penelitian ini diperkuat dari data penelitian Jose Luiz Rodrigues LELES dan kawan-kawan (Risk factors for maxillofacial injuries in a


(63)

prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan perempuan dalam insidensi fraktur maksilofasial, dengan rasio 3:1.8 Tingginya frekuensi yang terjadi pada laki-laki dikarenakan di kota Medan sendiri, kebanyakaan pengguna sepeda motor dijalan raya didominasi oleh laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Serta peran pria yang lebih aktif didalam kegiatan masyarakat dibandingkan dengan perempuan yang kegiatannya terbatas.24

Didalam penelitian ini juga dibahas mengenai insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor berdasarkan umur. Dari 104 orang pasien yang dirawat di bagian IGD dan Poli Bedah Mulut SMF Gigi dan Mulut didapat bahwa insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor di RS. H. Adam Malik Medan terbanyak terjadi pada rentang usia 21-30 tahun dengan persentase sebesar 35,56%. Ini berarti fraktur maksilofasial terjadi pada rentang usia yang produktif, hasil yang diperoleh sama dengan hasil penelitian Hamad Ebrahim Al Ahmed dan kawan-kawan serta penelitian retrospektif Sunarto Reksoprawiro tahun 2001-2005 pada penderita yang dirawat di SMF Ilmu Bedah RSU DR. Soetomo, Surabaya menunjukan bahwa penderita fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor ini terjadi pada rentang usia produktif yakni 21-30 tahun.3,18 Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian Amir Dibaie dan kawan-kawan bahwa sebanyak 43,38% persen penderita fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor ini terjadi pada rentang usia yakni 21-30 tahun.27 Ini dikarenakan bahwa orang-orang yang berada pada rentang usia 21-30 tahun lebih banyak mengambil kegiatan ataupun aktifitas dalam kehidupan sehari-hari, termasuk mengendarai sepeda motor


(64)

dengan sembarangan.28 Dalam penelitian ini, insidensi terendah dari fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor terjadi pada rentang usia 61-70 tahun yakni sebesar 0,96%. Ini dikarenakan rentang usia tersebut sudah termasuk kedalam masa dewasa lanjut (usia lanjut). Masa dewasa lanjut atau usia lanjut dimulai pada umur 60 tahun sampai kematian. Pada masa ini baik kemampuan fisik maupun psikologis cepat menurun.29 Oleh karena kemampuan fisik dan psikologis yang menurun, maka sangat jarang sekali orang-orang pada rentang usia 61-70 tahun ini mengalami fraktur maksilofasial yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas khususnya sepeda motor.

Selain penggolongan berdasarkan jenis kelamin dan umur, insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor juga dapat digolongkan berdasarkan jenis frakturnya (tabel 3). Insidensi terbanyak dari fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan terjadi pada fraktur mandibula sebesar 57,69%. Ini dikarenakan mandibula merupakan tulang rahang yang paling menonjol dan satu-satunya tulang rahang yang dapat bergerak sehingga berpeluang untuk terjadinya fraktur pada tulang rahang tersebut. Alasan yang lain adalah karena pada pengendara sepeda motor di Indonesia khususnya di kota Medan masih belum menyadari bahwa pentingnya penggunaan helm yang berstandar nasional yang terdiri atas beberapa bagian yang dapat melindungi mandibula dari benturan yang keras ketika kecelakaan di jalan raya, seperti petutup dagu dan penutup wajah bagian bawah yakni suatu bagian yang terpisah, atau dapat dipindahkan, atau menyeluruh (dipasang secara pemanen) dari helm yang melindungi bagian bawah wajah.30 Berikut


(65)

Gambar 16.Contoh kontruksi dan bagian-bagian helm standar tertutup (full face) (Badan standardisasi nasional, Helm,2007;5).

adalah gambar dari bagian-bagian helm standar nasional di Indonesia yang dapat melindungi bagian kepala dan rahang dari benturan yang terjadi pada saat kecelakaan :

Selanjutnya, fraktur kombinasi maksilofasial merupakan fraktur terbanyak setelah fraktur mandibula dengan persentase sebesar 21,15 %, disusul oleh fraktur maksila 13,46 %, fraktur komplek nasal sebesar 3,85 %, fraktur maksilofasial yang diikuti oleh fraktur lainnya sebesar 1,92 %, dan di urutan terbawah adalah fraktur komplek zigoma dan fraktur dentoalveolar dengan persentase yang sama yakni 0,96%.


(66)

Hasil yang sama diperoleh dari penelitian retrospektif SO. Ajike dan kawan-kawan yang menyatakan bahwa fraktur mandibula merupakan jenis fraktur maksilofasial terbanyak akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor.5 Hasil penelitian yang sama juga dikemukakan oleh Hamad Ebrahim Al Ahmed dan kawan-kawan (The pattern of maxillofacial fractures in Sharjah, United Arab

Emirates: A review of 230 cases) bahwa fraktur mandibula merupakan fraktur

terbanyak dari kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor yakni sebesar 51%.18

Sedangkan hasil yang berbeda diperoleh dengan hasil penelitian retrospektif Sunarto Reksoprawiro tahun 2001-2005 pada penderita yang dirawat di SMF Ilmu Bedah RSU DR. Soetomo, Surabaya menunjukan bahwa fraktur mandibula dan fraktur maksila merupakan jenis fraktur maksilofasial yang terbanyak akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor yakni dengan persentase yang sama sebesar 29,85%. Selanjutnya disusul oleh fraktur komplek zigoma dengan persentase sebesar 27,64% dan yang terakhir adalah fraktur komplek nasal yakni dengan persentase sebesar 12,66%.3

Penatalaksanaan dari masing-masing fraktur maksilofasial di RSUP. H. Adam Malik Medan ini terdiri atas penanganan kegawatdaruratan dan perawatan definitif. Penanganan kegawatdaruratan berupa pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang dikenal dengan singkatan ABC. ABC pada trauma meliputi A untuk airway atau jalan napas yaitu pembebasan jalan napas. Bila penderita tidak bernafas maka bebaskan jalan nafasnya. Ada tidaknya nafas terbukti dengan tidak adanya hembusan


(67)

nafas dari hidung dan mulut. Biasanya jalan nafas tertutup oleh lidah dan mungkin oleh pangkal tenggorokan karena lidah jatuh ke belakang. B untuk breathing atau pernapasan yaitu dengan pemberian O2, memperhatikan adakah tanda-tanda hemothoraks, pneumothoraks, flail chest. C untuk circulation atau sirkulasi/fungsi jantung untuk mencegah atau menangani syok. D untuk disability yaitu mengevaluasi status neurologik secara cepat dan E untuk exposure/environment yaitu melakukan pemeriksaan secara teliti, pakaian penderita harus dilepas, selain itu perlu dihidari terjadinya hipotermi. Selanjutnya prinsip dalam penanganan pertama pada fraktur adalah jangan membuat keadaan lebih jelek (do no harm) dengan menghindari gerakan-gerakan/gesekan-gesekan pada bagian yang patah. Bila pada pasien terdapat perdarahan aktif, hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri maka dapat diberi analgetik untuk membantu menghilangkan rasa nyeri.31-33 Setelah itu penanganan pada fraktur maksilofasial ini dapat dilakukan. Pada prinsipnya penangganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi dan pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.34 Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode dalam reduksi adalah reduksi tertutup dan reduksi terbuka, yang masing-masing di pilih bergantung sifat fraktur. Reduksi tertutup dilakukan untuk mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujung saling berhubungan). Reduksi terbuka yakni dengan pendekatan pembedahan, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Imobilisai fraktur, setelah fraktur di reduksi, fragmen tulang harus di


(68)

imobilisasi atau di pertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal atau internal. Fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, dan teknik gips atau fiksator eksternal. Fiksasi internal dapat dilakukan implan logam yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.34

Dalam penelitian ini, perawatan yang diberikan pada 104 pasien fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor yang dirawat di RS. H. Adam Malik Medan adalah ORIF ( Open Reduction and Internal

Fixation ). Dengan kata lain perawatan yang diberikan pada pasien fraktur

maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor ini menggunakan reduksi terbuka yakni dengan pendekatan pembedahan, fragmen tulang dikembalikan pada hubungan anatomi semula. Selanjutnya menggunakan alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, dan plat untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai terjadinya proses penyembuhan luka pada tulang yang mengalami fraktur. Pada penelitian ini, alat fiksasi internal yang digunakan dalam perawatan fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan adalah mini plate. Pada reduksi terbuka yang menggunakan mini plate sebagai alat fiksasi internalnya mempunyai keuntungan berupa pengembalian fungsi pengunyahan lebih cepat, pasien lebih nyaman karena tidak dibutuhkan fiksasi intermaksilar, menghasilkan fiksasi yang kuat, memperpendek durasi penyembuhan tulang, menghindari trauma dental dan periodontal sehubungan dengan penggunaan arch bar.12,14


(69)

Dalam penelitian ini penggunaan ORIF lebih banyak dilakukan pada perawatan fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor. Karena fraktur yang terjadi tidak dapat direduksi kecuali dengan jalan operasi serta fraktur yang tidak stabil secara bawaan dan cenderung mengalami pergeseran kembali setelah direduksi. Tetapi, sebanyak 2 dari 104 orang pasien mendapatkan perawatan tambahan selain ORIF, yakni craniotomy dan tracheostomy (masing-masing sebesar 0,96%). Craniotomy adalah insisi bagian dari tengkorak kepala. Sedangkan tracheostomy adalah pembuatan lubang secara bedah pada bagian anterior trakea melalui leher untuk pemasangan tabung guna membebaskan obstruksi saluran napas bagian atas dan memudahkan ventilasi.35 Dalam penelitian ini tracheostomy ini dilakukan pada pasien fraktur maksilofasial karena pada pasien tersebut telah terjadi obstruksi jalan nafas atas akibat kecelakaan sepeda motor yang dialaminya. Sedangkan craniotomy dilakukan karena pada pasien fraktur maksilofasial telah terjadi kebocoran cairan serebrospinal.

Dalam penelitian ini, perawatan yang dilakukan pada pasien fraktur maksilofasial sama dengan penelitian Maj MG Venugopal dan kawan-kawan (Fractures in the

Maxillofacial Region: A Four Year Retrospective Study) yakni reduksi terbuka dan fiksasi internal.36 Penggunaan ORIF ini dipilih karena perawatan ORIF ini mempunyai keuntungan yakni reduksi lebih akurat, stabilitas reduksi yang tinggi, berkurangnya kebutuhan alat imobilisasi eksternal yang membuat pasien kurang nyaman, rawat inap lebih singkat serta penyembuhan yang cepat.37

Hasil yang kontras didapat pada penelitian Hamad Ebrahim Al Ahmed, DDS dan kawan-kawan (The pattern of maxillofacial fractures in Sharjah, United Arab


(70)

Emirates: A review of 230 cases). Dimana perawatan yang diberikan adalah reduksi

tertutup sebesar 67%. Ini dikarenakan keterbatasan plat dan skrup yang disediakan oleh rumah sakit tempat peneliti melakukan penelitian (Al Qassimi Hospital di Sharjah).18


(71)

BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan terjadi lebih banyak pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan yakni sebesar 81,11% pada laki-laki dan 18,89% pada perempuan dengan perbandingan rasio sebesar 4:1. Kemudian berdasarkan usia, fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor ini paling banyak terjadi pada usia produktif yakni 21-30 tahun yakni sebesar 35,56%, dan fraktur mandibula merupakan jenis fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas yang paling banyak terjadi pada pengendara sepeda motor yakni sebesar 56,67%. Ini karena masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat kota Medan dalam melindungi diri mereka dari terjadinya fraktur pada bagian tulang wajah, seperti etika berlalu lintas yang tidak baik dan penggunaan helm yang tidak memenuhi standar nasional, serta kurangnya perhatian pemerintah untuk memperbaiki jalur transportasi yang seharusnya dapat berfungsi dengan baik.

Perawatan yang dilakukan oleh Poli THT, IGD, dan Poli Bedah Mulut SMF Gigi dan Mulut RSUP. H. Adam Malik Medan terhadap pasien fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor adalah Open Reduction


(72)

and Internal Fixation yakni sebesar 98,08%, Tracheostomy dan ORIF-Craniotomy masing-masing sebesar 0,96%.

7.2 Saran

Walaupun teknologi bedah memberikan hasil yang baik, pencegahan trauma ataupun fraktur merupakan langkah yang bijak.

Pengendara sepeda motor yang berisiko tinggi terhadap terjadinya fraktur maksilofasial hendaknya lebih memperhatikan keselamatan jiwa mereka, terutama dibagian kepala. Oleh sebab itulah penggunaan alat pengaman berupa helm yang memenuhi standar sangat diperlukan untuk menghindari terjadinya fraktur maksilofasial. Selain itu kecepatan mengemudi, etika berlalu lintas yang baik serta tidak mengkonsumsi minuman yang berakohol pada saat mengendarai sepeda motor sangat diharapkan kepada masing-masing individu.

Pemerintah juga harus memperhatikan dan memperketat peraturan ataupun undang-undang lalu lintas bagi pengendara sepeda motor, seperti memperketat pembuatan SIM (Surat Izin Mengemudi). Ini bertujuan agar pengendara sepeda motor yang nantinya beraktifitas di jalan raya benar-benar sudah diseleksi pada saat ujian pembuatan SIM, baik secara tulisan maupun praktik. Sehingga para pengendara sepeda motor yang sudah memiliki SIM tersebut dapat mengetahui dan memahami tentang peraturan lalu lintas yang ada. Pemerintah juga harus mempertimbangkan pembagian jalur lalu lintas bagi pengguna roda dua dan roda empat. Dengan kata lain, jalur lalu lintas bagi pengendara mobil dan pengendara sepeda motor harus dipisah, sehingga angka kecelakaan lalu lintas dijalan raya dapat dikurangi.


(73)

Dari data rekam medik yang diambil, perawatan fraktur maksilofasial di rumah sakit tempat peneliti mengadakan penelitian seharusnya tidak selalu dilakukan dengan ORIF (reduksi terbuka), walaupun penggunaan ORIF tersebut dipilih karena kelebihannya dibandingkan dengan reduksi tertutup. Ini dikarenakan tidak semua pasien fraktur maksilofasial sama tingkat keparahannya. Pada pasien fraktur maksilofasial yang masih memiliki jumlah gigi yang cukup di kedua rahang, celah fragmen pada tulang yang mengalami fraktur tidak lebar, lokasi fraktur tidak didalam daerah tarikan otot yang kuat, serta pada fraktur yang mengalami sedikit pergeseran sebaiknya perawatan yang dilakukan adalah dengan reduksi tertutup, sehingga pasien fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor ini dapat dirawat dengan perawatan yang sesuai dengan keparahan frakturnya. Selanjutnya, untuk pihak rumah sakit sendiri seharusnya melakukan pencatatan rekam medik pasien dengan lengkap dan jelas, agar dokter yang akan ataupun sedang merawat pasien fraktur maksilofasial tersebut lebih jelas dalam melihat riwayat penyakit pasien atau kondisi pasien sebelumnya yang ditulis didalam rekam medis pasien yang bersangkutan. Sehingga dokter dapat menentukan perawatan yang lebih memungkinkan dan menguntungkan bagi pasien fraktur maksilofasial tersebut.

Dengan keterlibatan berbagai pihak, insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor yang dapat mengakibatkan menurunnya kualitas hidup seseorang dapat dicegah dan angka dari insidensi fraktur akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor ini dapat dikurangi.


(74)

Daftar Pustaka

1. Thomas DW, Hill CM. Etiology and changing patterns of maxillofacial trauma. In: Booth PW. Maxillofacial surgery. 2nd ed. China: Churchill Livingstone Elsevier, 2007: 3-8.

2. Simpson DA, McLean AJ. Epidemiology. In: David DJ, Simpson DA.

Craniomaxillofacial trauma a system of multidisciplinary management by members of the australian craniofacial unit. USA: Churchill Livingstone,

1995: 85-95.

3. Dwi. Bedah kepala leher XI.

4. Riyadina W. Pengembangan surveilans cedera akibat kecelakaan lalu lintas

pada pengendara sepeda motor. Majalah kesehatan perkotaan 2007: 14(1):

69-81.

5. Ajike SO, Adebayo ET, Amanyiewe EU. An epidemiologic survey of

maxillofacial fractures and concomitant injuries in kaduna, nigeria. Nigerian

J of Surgical research 2005: 251-55.

6. World Health Organization. Helmet: a road safety manual for

decision-makers and practitioners. Geneva 2006: 7-9.

7. Malara P, Malara B, Drugacz J. Characteristics of maxillofacial injuries


(1)

Daftar Pustaka

1. Thomas DW, Hill CM. Etiology and changing patterns of maxillofacial trauma. In: Booth PW. Maxillofacial surgery. 2nd ed. China: Churchill Livingstone Elsevier, 2007: 3-8.

2. Simpson DA, McLean AJ. Epidemiology. In: David DJ, Simpson DA.

Craniomaxillofacial trauma a system of multidisciplinary management by members of the australian craniofacial unit. USA: Churchill Livingstone,

1995: 85-95.

3. Dwi. Bedah kepala leher XI.

4. Riyadina W. Pengembangan surveilans cedera akibat kecelakaan lalu lintas

pada pengendara sepeda motor. Majalah kesehatan perkotaan 2007: 14(1):

69-81.

5. Ajike SO, Adebayo ET, Amanyiewe EU. An epidemiologic survey of

maxillofacial fractures and concomitant injuries in kaduna, nigeria. Nigerian

J of Surgical research 2005: 251-55.

6. World Health Organization. Helmet: a road safety manual for

decision-makers and practitioners. Geneva 2006: 7-9.

7. Malara P, Malara B, Drugacz J. Characteristics of maxillofacial injuries


(2)

from departemen of maxillofacial surgery in katowice, poland. Biomed 2006:

1-6.

8. Leles JLR ,Santos EJ, Jorge FD, Silva ET, Leles CR. Risk factors for

maxillofacial injuries in a brazillian emergency hospital sample. J Appl Oral

Sci 2010: 18(1): 23-9.

9. Dwidarto D. Pengelolaan deformitas dentofasial pasca fraktur

panfasial.<http://www.pdgi.online.com> (5 September 2010).

10.Fearnside MR, Simpson DA. Epidemiology. In: Reilly P, Bullock R. Head

injury. London: Chapman and Hall, 1997: 3-19.

11.Handayana Y. Fraktur maksilofasial.<http:dokteryudabedah.com/fraktur-maksilofasial> (6 Agustus 2010).

12.Banks P. Fraktur sepertiga tengah skeleton fasial menurut killey. Alih bahasa. Wahyono. Yogyakarta: Gadjah Mada University press, 1992: 34-9,55-69,70-87.

13.Murr AH. Maxillofacial trauma. In: Lalwani AK. Current diagnosis and

treatment in otolaryngology-head and neck surgery. USA: The Mc Graw Hill

Companies, 2008: 207-13.

14.Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut. Alih bahasa. Purwanto, Basoeseno. Jakarta: EGC, 1996: 230-63.

15.Norton NS. Netter’s head and neck anatomy for dentistry. China: Saunders Elsevier, 2007: 64-7.

16.Susanto I. Trauma muka. In: Ramli M, Umbas R, Panigoro SS. Kedaruratan


(3)

17.Abubaker AO, Benson KJ. Oral and maxillofacial surgery secrets. 2nd ed. USA: Mosby Elsevier, 2007: 262-79.

18.Al-Ahmed HE, et al. The pattern of maxillofacial fractures in sharjah, united

arab emirates: a review of 230 cases. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral

Radio Endod 2004: 98: 166-70.

19.Erol B, Tanrikulu R, Gorgon B. Maxillofacial fractures. Analysis of

demographic distribution and treatment in 2901 patients (25 years experience). J of cranio-maxillofacial Surg 2004: 32: 308-13.

20.Ellis E. Soft tissue and dentoalveolar injuries. In: Demas PN, eds.

Contemporary oral and maxillofacial surgery. 4th ed. India: Mosby Elsevier, 2003: 509-13.

21.Brown T, Abbott JR, Daenke LL. Dental injuries. In: David DJ, Simpson DA.

Craniomaxillofacial trauma a system of multidisciplinary management by members of the australian craniofacial unit. USA: Churchill Livingstone,

1995: 343-49.

22.Burkitt HG, Quick CRG, Reed JB. Essential surgery problems, diagnosis and

management. 4th ed. China: Churchill livingstone Elsevier, 2007: 249-252. 23.Trott JA, Moore MH, David DJ. Facial fractures. In: David DJ, Simpson DA.

Craniomaxillofacial trauma a system of multidisciplinary management by members of the australian craniofacial unit. USA: Churchill Livingstone,


(4)

24.Moesbar N. Pengendara dan penumpang sepeda motor terbanyak mendapat

patah tulang pada kecelakaan lalu lintas. Disertasi. Medan: Universitas

Sumatera Utara, 2007: 2-5.

25.Mattera CJ. Oral-maxillofacial trauma. 2008: 6-11.

26. Anonymus. Karakteristik pengguna dan pemodelan kecelakaan sepeda

motor. 2010: 7.

27.Dibaie A, Raissian S, Ghafarzadeh S. Evaluation of maxillofacial traumatic

injuries of forensic medical center of ahwaz, iran in 2005. Pak J Med Sci

2009: 25(1): 79-82.

28.Abbas I, et al. Demographic distribution of maxillofacial fractures in ayub

teaching hospital: 7-years review. J Ayub Med Coll Abbottabad 2009: 21(2):

110-12.

29.Hurlock EB. Psikologi perkembangan-suatu pendekatan sepanjang rentang

kehidupan. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga, 1990: 246.

30.Badan Standardisasi Nasional. Helm pengendara kendaraan bermotor roda

dua. SNI 2007: 1-5.

31.Hoyt DB, Coimbra R, Acosta J. Management of acute trauma. In: Townsend CM eds. Sabiston textbook of surgery the biological basis of modern surgical

practice. 18th ed. Canada: Saunders Elsevier, 2008: 483-85.

32.Kellman RM. Maxillofacial trauma. In: Flint PW eds. Otolaryngology head

and neck surgery. 4th ed. USA: Elsevier mosby, 2005: 602-10.

33.Hanako S. Fraktur. (15


(5)

34.Anonymus. Fraktur. 35.Dorland. Kamus kedokteran dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC. 2002: 513,2265. 36.Venugopal MMG, Sinha CR, Menon CPS, et al. Fractures in the

maxillofacial region: a four year retrospective study. MJAFI 2010: 66: 14-17.

37.Indracahyani A. Asuhan keperawatan fraktur.< http: nurseagustin.blogspot.com> (5 November 2010).

38.Sulaeman YF. Aetiology and mechanism of injury of midfacial fracture: a

prospective study of the johannesburg region. Dissertation. Johannesburg:

University of the Witwatersrand, 2008: 13-26.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Muchlis Fauzi .N

Tempat/ Tanggal Lahir : Medan/ 25 Februari 1989 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Alamat : Jl. Belat no.141 Medan Orangtua

Ibu : Nurhayati Ayah : Mutaki .N Riwayat Pendidikan

1. 1994-1995 : TK Lely, Medan

2. 1995-2001 : SD Swasta Pahlawan Nasional, Medan 3. 1997-2003 : Madrasah Diniyah Wustha, Medan 4. 2001-2004 : SLTP Swasta Pahlawan Nasional, Medan 5. 2004-2007 : MAN 1, Medan


Dokumen yang terkait

Pengaruh Kendaraan Sepeda Motor Terhadap Lalu Lintas Pada Ruas Jalan Arteri Sekunder

12 74 91

Pengaruh Pemakaian Helm Terhadap Derajat Cedera Kepala pada Pengendara Sepeda Motor yang Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas yang Dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2012

4 18 74

GAMBARAN FRAKTUR MAKSILOFASIAL AKIBAT KECELAKAAN LALU LINTAS PADA PENGENDARA SEPEDA MOTOR YANG MENGGUNAKAN HELM.

0 1 3

Pengaruh Pemakaian Helm Terhadap Derajat Cedera Kepala pada Pengendara Sepeda Motor yang Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas yang Dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2012

0 0 12

Pengaruh Pemakaian Helm Terhadap Derajat Cedera Kepala pada Pengendara Sepeda Motor yang Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas yang Dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2012

0 2 2

Pengaruh Pemakaian Helm Terhadap Derajat Cedera Kepala pada Pengendara Sepeda Motor yang Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas yang Dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2012

0 0 4

Pengaruh Pemakaian Helm Terhadap Derajat Cedera Kepala pada Pengendara Sepeda Motor yang Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas yang Dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2012

0 0 23

Pengaruh Pemakaian Helm Terhadap Derajat Cedera Kepala pada Pengendara Sepeda Motor yang Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas yang Dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2012

0 0 4

Pengaruh Pemakaian Helm Terhadap Derajat Cedera Kepala pada Pengendara Sepeda Motor yang Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas yang Dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2012

0 0 8

Penerimaan Tenaga Non PNS RSUP H. Adam Malik Semester I TA 2017

0 1 6