Studi Regulasi Tegangan Menggunakan Step Voltage Regulator pada Jaringan Distribusi 20 kV yang Terhubung dengan Distributed Generation

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Distributed Generation
Distributed Generation adalah semua jenis pembangkit skala kecil yang
menghasilkan daya listrik di atau sekitar lokasi beban, baik terhubung langsung
kepada sistem distribusi, terhubung langsung kepada pelanggan, atau keduanya [2].
CIGRE juga mendefinisikan bahwa kata Distributed Generation merujuk kepada
semua pembangkit dengan kapasitas maksimum 50 MW hingga 100 MW yang
umunya dihubungkan ke jaringan distribusi. IEEE mendefinisikan Distributed
Generation sebagai pembangkitan listrik oleh fasilitas pembangkit yang lebih kecil
dari pembangkit utama sehingga memungkinkan interkoneksi pada setiap titik di
sistem kelistrikan [3]. Adapun pembagian jenis Distributed Generation
berdasarkan ukuran pembangkitan dapat dibedakan menjadi 4, yaitu [4]:
a. Micro yaitu Distributed Generation dengan ukuran ~ 1 Watt < 5 KW
b. Small yaitu Distributed Generation dengan ukuran 5 KW < 5 MW
c. Medium yaitu Distributed Generation dengan ukuran ~ 5 MW < 50 MW
d. Large yaitu Distributed Generation dengan ukuran ~ 50 MW < ~300
MW
2.1.1 Pengaruh Interkoneksi Distributed Generation Terhadap Jaringan
Distribusi

Dalam beberapa tahun terakhir, ketertarikan terhadap penggunaan
pembangkit skala kecil yang disebut dengan Distributed Generation untuk

4
Universitas Sumatera Utara

dihubungkan dengan jaringan distribusi telah mengalami peningkatan. Sumber
energi yang ramah lingkungan, kebebasan dalam menghasilkan energi listrik,
kebutuhan yang tinggi akan daya listrik, dan pengurangan dalam pemakaian bahan
bakar fosil, merupakan beberapa keuntungan yang diperoleh dari penggunaan
Distributed Generation.
Struktur sistem kelistrikan konvensional dan sistem kelistrikan dengan
Distributed Generation ditunjukkan pada Gambar 2.1. Kehadiran pembangkit lokal
dapat berakibat pada sistem distribusi. Sebagai contoh, Distributed Generation
akan merubah aliran daya pada sistem distribusi. Hal ini menyebabkan sistem
distribusi tidak dapat lagi ditinjau dengan sistem yang hanya menggunakan satu
arah aliran daya [5].
Selain itu, sistem kelistrikan dengan Distributed Generation yang menyebar
sepanjang jaringan dsitribusi tidak dapat lagi dilihat sebagai sebuah sistem yang
radial. Sedangkan hampir semua peralatan dalam sistem distribusi bekerja dengan

asumsi bahwa sistem bersifat radial, seperti pengatur tegangan dan peralatan
proteksi. Lebih lanjut lagi, gangguan hubung singkat pada sistem distribusi akan
meningkat dengan kehadiran Distributed Generation.

5
Universitas Sumatera Utara

(a)

(b)

Gambar 2.1 (a) Sistem Kelistrikan Tradisional dan (b) Sistem Kelistrikan dengan
Distributed Generation

2.2 Studi Aliran Daya
Studi aliran daya merupakan suatu bagian yang penting dalam analisis
sistem tenaga. Studi Aliran Daya diperlukan untuk tahap perencanaan, pengaturan
biaya, dan dapat menjadi peramalan untuk perencanaan pengembangan jaringan di
masa depan. Beberapa parameter yang perlu diperhatikan dalam aliran daya adalah
menentukan besar dan sudut fasa dari tegangan pada masing – masing bus, serta

daya aktif dan reaktif yang mengalir pada setiap penyulang.
Dalam penyelesaian sebuah aliran daya, sistem dioperasikan dalam keadaan
seimbang. Besaran – besaran yang menjadi parameter dalam studi aliran daya
adalah besar tegangan |� |, sudut fasa �, daya aktif P, dan daya reaktif Q.

6
Universitas Sumatera Utara

Setiap bus dalam sistem tenaga listrik dikelompokkan menjadi 3 tipe bus,
yaitu :
1.

Bus beban.
Bus beban adalah bus yang tidak memiliki unsur pembangkitan tenaga

listrik / generator, dan terhubung secara langsung dengan beban (konsumen). Bus
beban biasa disebut dengan P-Q bus, karena pada bus ini, yang dapat diatur adalah
kapasitas daya yang terpasang. P merupakan daya aktif terpasang dalam satuan
Watt (W), sedangkan Q merupakan daya reaktif terpasang dalam satuan Volt
Ampere Reaktif (VAR). Hubungan antara daya aktif dan daya reaktif terhubung

dengan nilai cos phi (cos φ).
2.

Bus generator
Bus generator atau biasa disebut bus voltage controlled. Disebut demikian,

karena tegangan pada bus ini biasanya dijaga konstan. Bus generator dihubungkan
dengan generator yang dapat dikontrol daya aktif dan tegangannya. Pengaturan
daya aktif pada bus ini diatur dengan mengontrol penggerak mula (prime mover),
sedangkan pengaturan tegangan pada bus ini diatur dengan mengontrol arus eksitasi
pada generator. Oleh karena daya aktif (P) dan tegangan (V) yang dapat dikontrol,
maka bus ini sering disebut sebagai P-V bus.
3.

Bus referensi
Pada bus referensi atau biasa disebut slack bus, adalah sebuah bus generator

yang dianggap sebagai bus utama karena merupakan bus yang memiliki kapasitas
daya yang paling besar. Oleh karena daya yang dapat disalurkan oleh bus ini besar,
maka dari itu, pada bus ini hanya nilai tegangan dan sudut fasa yang bisa diatur,

sedangakan besar daya aktif dan reaktifnya akan dicari dalam perhitungan.

7
Universitas Sumatera Utara

Dalam sistem pemrograman, tipe bus identik dengan kode angka. Dimana
kode untuk bus referensi adalah angka 1, kode untuk bus generator adalah angka 2,
dan kode untuk bus beban adalah angka 3. Untuk lebih jelasnya dari pembagian tipe
dan kode bus, dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini :
Tabel 2.1 Tipe Bus Dalam Sistem Tenaga Listrik
Tipe bus

Kode Bus

Nilai yang
diketahui

Nilai yang
dihitung


Bus beban

3

P, Q

V, δ

Bus generator

2

P, V

Q, δ

Bus referensi

1


V, δ

P, Q

Diagram satu garis beberapa bus dari suatu sistem tenaga diperlihatkan pada
Gambar 2.2

Gambar 2.2 Diagram Satu Garis dari N-bus dalam Suatu Sistem Tenaga

8
Universitas Sumatera Utara

Arus pada bus I dapat ditulis:
= � � + �

� −� + �

� − � + … + � � � − ��

= � + � + � + … + � � � − � � − � � − … − � ���


(2.1)

Kemudian, didefinisikan:
= � + � + � + …+ ��
= −�

= −�





= −� �

Dalam bentuk matriks admitansi dapat dinyatakan menjadi:

=[


















]

(2.2)

Sehingga Ii pada Persamaan (2.1) dapat ditulis menjadi:

=

�+

=

� + ∑��=

Atau dapat ditulis:

� +
�≠

Persamaan daya pada bus I adalah:


� + …+

� ��


� ��

(2.4)

= � ∗ ; dimana � ∗ adalah conjugate pada bus i
=



�∗

(2.3)

(2.5)

9
Universitas Sumatera Utara

Dengan melakukan substitusi Persamaan 2.5 ke Persamaan 2.4 maka
diperoleh:


�∗

� + ∑��=

=

�≠

� ��

(2.6)

Dari Persamaan 2.6 terlihat bahwa persamaan aliran daya bersifat tidak
linier dan harus diselesaikan dengan metode numerik.
2.2.1 Metode Newton Raphson
Kecepatan relatif dari bermacam-macam metode analisis aliran beban sukar
dipastikan. Salah satu metoda untuk menghitung aliran daya adalah metode
Newton-Raphson. Metode ini memiliki perhitungan lebih baik untuk sistem tenaga
yang lebih besar dan tidak linier. Metode ini juga memiliki keuntungan dalam hal
konvergensi yang jauh lebih cepat dan persamaan aluran daya yang dirumuskan
dalam bentuk polar. Dimana penurunan rumus nya dapat dilihat sebagai berikut [4]
Pada suatu bus dimana besarnya tegangan dan daya reaktif yang tidak
diketahui, nilai real dan imajiner tegangan untuk setiap iterasi didapatkan dengan
menghitung nilai daya reaktif terlebih dahulu. Dari Persamaan 2.5 diperoleh:


�∗

=

� + ∑��=

Dimana i = n, sehingga diperoleh:


= −

�≠

= � ∗ ∑��=
{ � ∗ ∑��=

� ��

� ��

� �� }

(2.7)

(2.8)
(2.9)

Untuk menerapkan metode Newton-Raphson pada penyelesaian persamaan
aliran kita menyatakan tegangan bus dan admitansi saluran dalam bentuk polar. Jika
kita pilih bentuk polar dan kita uraikan Persamaan 2.7 ke dalam unsur real dan
imajiner maka didapatkan:

10
Universitas Sumatera Utara

� = |� | ∠�

�� = |�� | ∠�� ;


Sehingga didapatkan:

=|

�|

= ∑��= | � ��



= ∑��= | � ��

�|

= − ∑��= | � ��

∠� �
�|

∠� � + �� − �

cos � � + �� − �

�|

sin � � + �� − �

(2.9)
(2.10)
(2.11)

Persamaan 2.10 dan Persamaan 2.11 merupakan langkah awal perhitungan
aliran daya dengan metode Newton-Raphson. Penyelesaian aliran menggunakan
proses iterasi (k+1). Untuk iterasi pertama menggunakan nilai k = 0 merupakan
nilai perkiraan awal yang diterapkan sebelum dimulai perhitungan aliran daya.
Hasil perhitungan daya menggunakan Persamaan 2.10 dan Persamaan 2.11
akan diperoleh nilai


dan ∆

dan

. Hasil ini digunakan untuk menghitung nilai

menggunakan persamaan berikut:




=

=








(2.12)
(2.13)

Hasil perhitungan Persamaan 2.12 dan Persamaan 2.13 digunakan untuk
membentuk matriks Jacobian. Persamaan matriks Jacobian disusun sebagai
berikut:

11
Universitas Sumatera Utara







[∆



:



:


:

��



]



��

=



:




:

��



[

:



��



��



:

��



��



:

��



�|� |



:

�|� |



�|� |



:

�|� |




:

�|� |









:

�|� |




:

�|� |

:

�|� | ]

∆�
:
∆�

∆|�� |
:
[∆|�� |]

(2.14)

Secara umum Persamaan 2.14 dapat disederhanakan ke dalam bentuk:
[




]=[

][

∆�
∆|� |

]

(2.15)

Unsur Jacobian diperoleh dengan membuat turunan parsial dari Persamaan
2.10 dan Persamaan 2.11 dan memasukkan nilai tegangan perkiraan pada iterasi
pertama. Dimana dalam menentukan matriks Jacobian adalah sebagai berikut:
Jumlah baris dan kolom matriks dibuat berdasarkan dengan [(2n-2-m) x (2n2-m)] dan jumlah baris dan kolom J1 dibuat berdasarkan [(n-1) x (n-1)], jumlah
baris dan kolom J2 dibuat berdasarkan [(n-1) x (n-1-m)], jumlah baris dan kolom
j3 dibuat berdasarkan [(n-1-m) x (n-1)], lalu jumlah baris dan kolom j4 dibuat
berdasarkan [(n-1-m) x (n-1-m)].
Komponen diagonal dan off diagonal dari J1 adalah :


��


��

= ∑��≠ | � ��
= −| � ��

�|

�|

cos � � + �� − �

cos � � + �� − �

(2.16)
j≠1

(2.17)

Komponen diagonal dan off diagonal dari J2 adalah :


��


��

= |�

= −| �

cos � + ∑��≠ | �
�|

cos � � + �� − �

| cos � � + �� − �
j≠1

(2.18)
(2.19)

Komponen diagonal dan off diagonal dari J3 adalah :

12
Universitas Sumatera Utara



��



��

= ∑��≠ | � ��

�|

cos � � − �� + �

= −| � ��

�|

cos � � − �� + �

= − |�

sin � − ∑��≠ | �

(2.20)
j≠1

(2.21)

Komponen diagonal dan off diagonal dari J4 adalah :


��


��

= −| �

�|

| sin � � + �� + �

sin � � + �� − �

j≠1

(2.22)
(2.23)

Setelah mendapatkan nilai matriks Jacobian selanjutnya dilakukan
dan ∆|� |

perhitungan pada nilai ∆�

dengan cara melakukan inverse matriks

Jacobian, sehingga diperoleh bentuk sebagai berikut:
∆�
[
∆|� |
Setelah nilai ∆�

]=[

]

dan ∆|� |



[




]

(2.24)

didapat, kita dapat menghitung nilai tersebut

untuk iterasi berikutnya, yaitu dengan menambahkan nilai ∆�

sehingga diperoleh persamaan berikut:


|� |

+
+

=�

dan ∆|� |

+ ∆�

= |� |

,

(2.25)

+ ∆| � |

(2.26)

Hasil perhitungan Persamaan 2.19 dan Persamaan 2.20 digunakan lagi
dalam proses iterasi selanjutnya, yaitu dengan memasukkan nilai hasil ke dalam
Persamaan 2.10 dan Persamaan 2.11 sebagai langkah awal perhitungan aliran daya.
Proses ini dilakukan secara terus menerus sampai diperoleh nilai yang konvergen.
Secara ringkas, metode penyelesaian aliran daya menggunakan metode
Newton-Raphson dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

13
Universitas Sumatera Utara

1. Tentukan nilai-nilai

dan

yang mengalir ke dalam sistem

pada setiap bus untuk nilai yang diperkirakan dari besar tegangan (V) dan
sudut fasanya (δ) untuk iterasi pertama atau nilai tegangan yang
ditentukan paling akhir untuk iterasi berikutnya
2. Hitung � pada setiap rel

3. Hitung nilai-nilai untuk Jacobian dengan menggunakan nilai-nilai
perkiraan atau yang ditentukan dari besar dan sudut fasa tegangan dalam
persamaan untuk turunan parsial yang ditentukan dengan persamaan
diferensial Persamaan 2.10 dan Persamaan 2.11
4. Inverse matriks Jacobian dan hitung koreksi-koreksi tegangan ∆� dan
∆|� | pada setiap rel

5. Hitung nilai yang baru dari |� | dan � dengan menambahkan nilai ∆�
dan ∆|� | pada setiap rel

6. Kembali ke langkah 1 dan ulangi proses tersebut dengan menggunakan
nilai besar dan sudut fasa tegangan yang ditentukan oleh nilai hasil
terakhir sehingga semua nilai yang diperoleh lebih kecil dari indeks
ketepatan yang dipilih.
2.2.2 Contoh Perhitungan Aliran Daya
Dilakukan perhitungan aliran daya menggunakan metode Newton-Raphson
seperti yang dijelaskan sebelumnya. Dimisalkan sebuah jaringan distribusi seperti
digambarkan pada Gambar 2.3 mempunyai satu slack bus, satu bus generator dan
satu bus beban.

14
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3 Single Line Diagram dengan 3 Bus

Didapatkan nilai matriks Y dari jaringan distribusi tersebut sebagai
berikut:

=

[




]

= [−



+
+



+
±
− +




+
+


]

Dengan menggunakan Persamaan 2.9, diperoleh:
= |� ||� ||

| cos �

+ |� | |

= −|� ||� ||

| sin �

− |� | |

= |� ||� ||

| cos �

+ |� | |

−� +�
| cos �

−� +�

| sin �

−� +�
| cos �

+ |� | |� | cos �

−� +�

− |� | |� | sin �

−� +�

+ |� | |� | cos �

−� +�

15
Universitas Sumatera Utara

Setelah didapatkan nilai P2 dan nilai Q2, dilakukan perhitungan untuk
mendapatkan nilai ∆

dan ∆

sebagai berikut:





sesuai Persamaan 2.12 dan Persamaan 2.13

=



=















Dimana matriks jacobian dibentuk dengan persamaan :

= |� ||� ||
��

= |� ||
��


= |� ||� ||
��

= |� ||� ||
��

| sin �

−� +�


= −|� | |� ||
��
| cos �

+ |� | |

| sin �

−� +�
| cos �


= −|� | |� | |
��
| sin �

| cos �

− |� | |

| cos �

−� +�


=-

−� +� |

| sin �

−� +�
| sin �

−� +� |

−� +�

− |� ||
+

−� +�

−� +�

+ |� | |� | |

−� +�

| sin �

| cos �

+ |� | |� | |

| cos �


= −|� | |� | |
��


= −|� ||
��

| sin �

−� +� |

| sin �

−� +�

+ |� ||

−� +�


= −|� | |
��

| cos �

+ |� | |� | |

| sin �

= − −

−� +�
. pu
16

Universitas Sumatera Utara





=





=





=



= 2 pu

=



= -4 - (-1,14) = -2,86



= 2 – 0,5616 = 1,4384



= -2,5-(-2,28) = -0,22

Lalu masukan semua nilai pada element matriks jacobian.
− ,
[ ,
− ,

]=[

,
,
,

,
,
,

,
,
,

∆�
] [ ∆� ]
∆�

Dimana, hasil perhitungan dari atas akan didapatkan :
∆� = − ,
∆� = ,

∆� = − ,

Lalu hasil selisih di atas ditambahkan dengan nilai awal
� = 0 + (-0,045263) = 0,045263
� =

� =

+ − ,

+ − ,

= ,

= ,

Lalu nilai yang didapatkan di atas, dimasukan lagi ke dalam matriks
jacobian untuk dilakukan perhitungan pada interasi ke 2, lalu dilanjutkan sampai
nilai menjadi konvergen. Lalu nilai ahkir yang akan didapatkan adalah sebagai
berikut :
� = 0,047058 + (-0,0000038) = 0,04706

� = ,

� = ,

+ − ,

+ − ,

= ,

= ,

17
Universitas Sumatera Utara

Lalu nilai di atas dimasukan ke dalam Persamaan 2.9 untuk mencari besar
daya aktif dan daya reaktif pada bus 3 dan bus 1
= −|� ||� ||

| sin �

− |� | |

= |� ||� ||

| cos �

+ |� | |

= −|� ||� ||

| sin �

− |�

||

−� +�

| sin �

−� +�
| cos �

−� +�
| sin �

− |� | |� | sin �

−� +�

+ |� | |� | cos �

−� +�

− |� | |� | sin �

−� +�

Maka hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut
= 1,4085 pu
= 2,1842 pu
= 1,4617 pu
Hasil perhitungan tersebut masih belum akurat sepenuhnya dan
dibutuhkan iterasi lanjutan untuk menghasilkan data yang konvergen. Perhitungan
iterasi yang terlalu banyak menjadi alasan digunakan simulasi menggunakan
program komputer dalam melihat aliran daya pada suatu sistem kelistrikan.

2.3 Pengaturan Tegangan
Tegangan yang konstan merupakan salah satu syarat utama yang harus
dipenuhi dalam penyediaan tenaga listrik bagi konsumen. Penurunan tegangan yang
besar pada sisi konsumen dapat menyebabkan kerusakan pada beberapa peralatan
listrik. Oleh karenanya, masalah pengaturan tegangan merupakan masalah operasi
sistem tenaga listrik yang perlu mendapat penanganan tersendiri.

18
Universitas Sumatera Utara

Berbeda dengan frekuensi yang sama dalam semua bagian sistem, tegangan
tidak sama dalam setiap bagian sistem sehingga pengaturan tegangan menjadi lebih
sulit dibandingkan dengan pengaturan frekuensi. Jika frekuensi hanya dipengaruhi
oleh daya nyata MW dalam sistem, di lain pihak tegangan dipengaruhi oleh [6]:
a. Arus penguat generator
b. Daya reaktif beban
c. Daya reaktif yang didapat dalam sistem, misalnya dari kondensator dan
dari reaktor
d. Posisi tap transformator
Pada sistem distribusi tanpa adanya Distirbuted Generation, variasi
tegangan pada jaringan umumnya disebabkan oleh kenaikan tegangan pada sisi
sumber atau disebabkan oleh variasi beban. Adanya Distributed Generation pada
suatu sistem radial dapat merubah keadaan. Sebuah Distributed Generation dengan
pembangkitan daya rendah/sedang menyuplai beberapa beban

lokal, tanpa

merubah arah dari aliran daya dan mengakibatkan kenaikan tegangan. Namun,
penambahan jumlah pembangkit lokal dapat menyebabkan perubahan arah aliran
daya di jaringan yang terhubung dengan Distributed Generation dan di
percabangan sistem distribusi lainnya. Di suatu titik percabangan dimana aliran
daya telah berbalik (reverted), tegangan akan meningkat daripada menurun [7].

19
Universitas Sumatera Utara

2.4 Profil Tegangan Pada Sistem Distribusi Tanpa Adanya Distributed
Generation
Pada suatu saluran kelistrikan selalu terdapat jatuh tegangan. Gambar 2.4
menunjukkan one line diagram distribusi tenaga listrik yang mempunyai jatuh
tegangan di sepanjang saluran tersebut. Arus I sebagai fungsi dari beban daya nyata
kompleks S = PL + jQL dan tegangan beban U2, sehingga:

I

S*
U2

*

.



( PL  jQ L )
U2

(2.27)

*

.

��

��

Gambar 2.4 One Line Diagram dan phasor diagram dari sebuah sistem distribusi
Drop tegangan pada saluran distribusi seperti ditunjukkan pada Gambar 2.4
diberikan sebagai berikut:

| U 1  U 2 || I ( RLN  JX LN ) |
| U 1  U 2 ||

( R LN PL  X LN QL )  j ( X LN PL  R LN QL )
|
U2

(2.28)

20
Universitas Sumatera Utara

Untuk aliran daya yang kecil, sudut tegangan � diantara V2 dan V1 juga

bernilai kecil, dan drop tegangan ∆� = |� − � | bisa dilakukan pendekatan

dengan:

V 

RLN PL  X LN QL
V2

(2.29)

Dengan semakin bertambahnya jarak dari sebuah jaringan listrik maka
semakin tinggi juga jatuh tegangan yang dihasilkan sehingga mengakibatkan
tegangan pada ujung kirim menjadi sangat rendah dan tidak sesuai dengan standar
kelistrikan. Pada Gambar 2.5 ditunjukkan profil tegangan pada awal pengirman dan
pada akhir pengiriman jaringan listrik.

Awal Penyulang

Akhir Penyulang

Gambar 2.5 Profil Tegangan

21
Universitas Sumatera Utara

2.5 Profil Tegangan Pada Sistem Distribusi Dengan Adanya
Distributed Generation
Distributed Generation bisa dihubungkan kepada jaringan secara langsung
menggunakan generator induksi atau melalui suatu interface elektronik.
Untuk sebuah sistem yang memiliki beban dan Distributed Generation
seperti yang ditunjukkan Gambar 2.6, drop tegangan pada feeder dapat dihitung
oleh:

V | V1  V2 |
V 

RLN ( PL  PDG )  X LN (QL  (QDG ))
V2

(2.30)

Persamaan 2.30 menunjukkan bahwa jika Distributed Generation
menghasilkan daya reaktif atau Distributed Generation tidak bertukar daya dengan
jaringan (grid), Distributed Generation selalu menurunkan drop tegangan
sepanjang feeder. Jika daya yang dibangkitkan lebih besar dari beban feeder, daya
akan mengalir dari Distributed Generation menuju gardu induk dan menyebabkan
kenaikan tegangan. Kemudian, Persamaan 2.30 menunjukkan bahwa jika
Distributed Generation menyerap daya reaktif, Distributed Generation bisa
meningkatkan atau menurunkan drop tegangan. Hal ini bergantung dari daya aktif
dan daya reaktif Distributed Generation yang berhubungan dengan beban daya
aktif dan daya reaktif serta rasio X/R jaringan.

22
Universitas Sumatera Utara

DG

U0

U1

I

U2

P DG
 Q

GRID

X TX
Gardu Induk

R LN , X LN
Penyulang

PL , Q

DG

L

LOAD

Gambar 2.6 One Line Diagram untuk mengilustrasikan drop tegangan di sistem
distribusi yang terdapat Distributed Generation

2.6 Standar yang Harus Dipenuhi Dalam Pemasangan Distributed
Generation ke Jaringan Distribusi
Ada beberapa hal yang harus dilihat dalam menghubungkan Distributed
Generation ke jaringan distribusi. Kisaran tegangan pada saat kondisi normal
berbeda untuk berbagai standar. Berdasarkan IEEE Std. 1159-1995 dan CENELEC
EN 50160 menyebutkan variasi tegangan sebesar ±10% dari tegangan normal tanpa
terhubung dengan Distributed Generation [2]. Sedangkan pada sebuah jaringan
yang terhubung dengan Distributed Generation, kapasitas maksimum yang
diizinkan dari sebuah Distributed Generation harus dibatasi untuk menjamin
keamanan sistem.

23
Universitas Sumatera Utara

Beberapa peraturan telah dibuat mengenai interkoneksi Dsitributed
Generator ke dalam sistem, yaitu [7]:
- Profil tegangan sepanjang feeder distribusi harus dijaga tidak melewati
kisaran ±5% dari tegangan nominal
- Power Faktor pada Distributed Generation harus dijaga pada kisaran
0,85 lagging dan 0,95 leading
Jika merujuk pada standar IEEE std. 1547, dinyatakan bahwa unit
Distributed Resources yang diparalelkan dengan daerah Electrical Power System
(Area EPS) tidak boleh menyebabkan fluktuasi tegangan pada titik sambungan
(PCC) dan harus berada pada range ±5% dari tegangan yang berlaku pada daerah
EPS di PCC dan memenuhi syarat dari tegangan flicker [7]. Dimana pada standar
IEC range tegangan harus berada pada rang -10% dan +5% dari tegangan standar
yang telah ditetapkan. Bagaimanapun, syarat tersebut berbeda-beda untuk setiap
negara.

24
Universitas Sumatera Utara

2.7 Pengaturan Tegangan Dengan Distributed Generation
Pengaturan tegangan pada jaringan distribusi yang terhubung dengan
Distributed Generation dapat dilakukan oleh Distributed Generation itu sendiri.
Tegangan pada sisi akhir dari gardu induk umumnya dilakukan regulasi sehingga
tegangan keluaran sepanjang feeder masih berada pada kisaran tegangan yang
sesuai dalam keadaan beban penuh. Tetapi, jika daya keluaran dari Distributed
Generation melebihi besar beban pada feeder, akan terjadi peningkatan tegangan
pada feeder. Dengan tegangan pada sisi akhir dari gardu induk yang masih dijaga
untuk dapat menahan tegangan pada kisaran maksimum, menyebabkan tegangan
dapat melebihi kisaran tegangan yang diizinkan [1]. Kenaikan tegangan ini dapat
diatasi dengan Distributed Generation yang menyerap daya reaktif dari jaringan
[2]. Generator sinkron dapat menyerap atau menghasilkan daya reaktif berdasarkan
eksitasi pada generator. Ketika terjadi over eksitasi, generator menyuplai daya
induktif. Dan ketika terjadi under eksitasi, generator meneyerap daya kapasitif [8].
Pengaturan tegangan lokal dengan menggunakan Distributed Generation
dapat meminimalkan atau menghilangkan masalah yang disebabkan oleh penetrasi
dari Distributed Generation [9].

25
Universitas Sumatera Utara

2.8 Step Voltage Regulator (SVR)
Jaringan distribusi harus didesain agar memiliki persen tegangan yang
sesuai dengan standar PLN yaitu 90%-105% dari tegangan nominal yang
ditetapkan. Untuk memenuhi standar tersebut maka dilakukan berbagai upaya
untuk memperbaiki tegangan yang tidak sesuai dengan standar tersebut salah
satunya adalah dengan memasang SVR pada jaringan distribusi primer.
Step Voltage Regulator (SVR) adalah sebuah peralatan listrik yang memiliki
fungsi yang sama dengan auto-transformator dan terdapat pada jaringan distribusi
primer. Step Voltage Regulator terbagi atas 2 yaitu : Step Voltage Regulator Tiga
Phasa dan Step Voltage Regulator Satu Phasa. Seperti Gambar 2.7 dapat dilihat
contoh pemasangan Step Voltage Regulator pada jaringan distribusi primer.

Gambar 2.7 Pemasangan SVR Pada Jaringan Distribusi Primer

Kombinasi penggunaan OLTC pada transformator dan SVR sering sekali
dilakukan untuk mengatasi tegangan yang tidak sesusai dengan standar PLN
26
Universitas Sumatera Utara

tersebut. Terutama untuk mengatasi rugi-rugi jaringan akibat terlalu panjangnya
konduktor untuk menyalurkan energi listrik. SVR sering sekali disebut-sebut
sebagai peralatan induksi yang memiliki belitan seri pada Pengatur Tegangannya
dan memiliki belitan shunt diantara sisi primer dengan sisi yang akan diperbaiki.
SVR yang paling banyak diproduksi dan sering digunakan di berbagai negara adalah
SVR yang memiliki 32 voltage step ataupun 5/8% tegangan yang diperbaiki di
setiap stepnya dimana SVR ini dapat memperbaiki tegangan sebesar ±10%.
Beberapa SVR juga memiliki batas untuk memperbaiki tegangan yang diakibatkan
karena besarnya rating dari SVR sehingga dapat mengurangi kemampuan SVR
untuk memperbaiki tegangan [12].
Step Voltage Regulator biasanya disebut sebagai autotransformator yang
memiliki tap. Untuk dapat memahami bagaimana SVR bekerja maka kita dapat
membayangkannya seperti transformator dengan 2 beltan.
Pada Gambar 2.8 kita dapat melihat rangkaian dasar dari sebuah trafo yang
memiliki perbandingan belitan 10:1. Jika belitan primernya memiliki tegangan
1000V maka belitan sekundernya akan menghasilkan tagangan sebesar 100V atau
sebesar 10% dari tegangan primer. Kedua belitan ini dapat digabungkan maka
tegangannya dapat dinaikkan ataupun diturunkan.Transformator tadi sekarang
akann berfungsi sebagai autotransformator yang memiliki kemampuan untuk
menaikkan tegangan seperti Gambar 2.9 ataupun menurunkan tegangan primer
seperti Gambar 2.10 sebesar 10%.

27
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.8 Transformator dengan perbandingan belitan 10 : 1

Gambar 2.9 Step-down autotransformator

Gambar 2.10 Step-up autotransformator
28
Universitas Sumatera Utara

Pada Voltage Regulator, belitan tegangan tinggi dari kedua belitan
transformator terhubung shunt(paralel), dan belitan tegangan rendah terhubung seri.
Belitan seri dihubungkan dengan belitan paralel dengan tujuan untuk meningkatkan
dan menurunkan tegangan primer sebesar 10%. Polaritas pada koneksi belitan
paralel ini dipasang sebuah motor pengatur tap yang dimana motor ini berguna
untuk dapat mengganti tap dari belitan paralel ini secara otomatis. Delapan tap
ditambahkan pada belitan seri untuk memperbaiki tegangan dalam skala kecil.
Untuk skala yang lebih baik maka tap pada belitan seri ini menjadi 16 step tap
sehingga terdapat 33 posisi termasuk netral, 16 posisi untuk menurunkan tegangan
dan 16 posisi untuk menaikkan tegangan. Dan posisi tap itu ditampilkan pada
indikator posisi yang terdapat pada SVR seperti Gambar 2.11

Gambar 2.11 Indikator Posisi Tap-Changer

29
Universitas Sumatera Utara

Pergerakan dari satu kontak menuju kontak yang lainnya akan menentukan
jumlah tap yang akan dihasilkannya, tap changer ini akan berpindah pindah dari
satu tap penghubung menuju kedelepan tap sesuai dengan tagangan yang akan
diregulasikan. Terdapat 3 tipe dari tap changer yaitu dua kontak bergerak pada tap
yang sama, satu kontak bergerak pada berbagai tap, dua kontak bergerak pada tap
yang berdekatan.
Untuk tipe dua kontak bergerak pada tap yang sama maka kedua kontak ini
akan bergerak secara bersamaan menuju tap yang sama. Keadaan ini sering disebut
sebagai kondisi yang simetris karena kedua kontak ini akan membentuk posisi yang
semetris. Keadaan ini dapat kita lihat pada Gambar 2.12

Gambar 2.12 Dua Kontak Bergerak pada Tap yang Sama
Untuk tipe satu kontak bergerak pada berbagai tap ini memiliki keadaan
dimana satu kontak akan tetap pada satu titik tap dan kontak yang lain yang akan
bergerak menuju tap yang lain. Keadaan ini sering disebut sebagai keadaan yang
tidak simetris karena kedua kontak akan membentuk posisi yang berbeda seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2.13

30
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.13 Satu Kontak Bergerak pada Berbagai Tap
Untuk dua kontak bergerak pada tap yang berdekatan adalah kondisi dimana
kedua tap akan bergerak bersama tetapi jarak antar satu kontak dan kontak lainnya
bergerak dalam tap yang berdekatan. Keadaan ini sering disebut sebagai posisi
penjembatan. Kondisi ini ditunjukkan pada Gambar 2.14

Gambar 2.14 Dua Kontak Bergerak pada Tap yang Berdekatan

31
Universitas Sumatera Utara

2.9 Step Voltage Regulator Tiga Phasa
Step Voltage Regulator tidak hanya memiliki regulator satu phasa tetapi
juga memiliki Regulator yang bekerja secara tiga phasa. Pemilihan antara regulator
3 phasa ataupun satu phasa dapat dipengaruhi dari berbagai aspek seperti aspek
ekonomi. Untuk keadaan seimbang lebih diutamakan untuk memakai regulator tiga
phasa karena regulator tiga phasa akan bekerja lebih baik dibangkan regulator satu
phasa apabila dalam keadaan seimbang. Dalam keadaan tak seimbang regulator
tiga phasa tidak dianjurkan untuk digunakan karena regulator tiga phasa tidak
memiliki kemampuan untuk mengkoreksi tegangan yang tidak seimbang.
Keseluruhan phasa pada regulator tiga phasa hanya dikontrol oleh satu panel.
Untuk tegangan yang besar yaitu diatas tegangan 20 kV disarankan untuk memakai
regulator tiga phasa dikarenakan apabila memakai regulator satu phasa maka rugi
rugi yang dihasilkan oleh regulator satu phasa akan sangat besar dibandingkan
dengan regulator tiga phasa.
Untuk pemasangan SVR tiga phasa ditunjukkan pada Gambar 2.15

Gambar 2.15 Pemasangan SVR Tiga Phasa

32
Universitas Sumatera Utara

2.10 Pengaturan

Tegangan

dengan

Step

Voltage

Regulator

Transformer
Step Voltage Regulator yang diaplikasikan pada sistem distribusi biasanya
merupakan sebuah automatic voltage regulator yang bekerja secara mekanis dan
berfungsi untuk mengatasi adanya tegangan kurang (under voltage) maupun
tegangan lebih (under voltage) [10]. Pada umumnya AVR pada jaringan distribusi
adalah sebuah trafo yang mempunyai kumparan tegangan tinggi dan mempunyai
kumparan tegangan rendah yang terhubung pada tap yang dapat dipindahkan untuk
menghasilkan tegangan yang diinginkan. Skematik diagram Step Voltage Regulator
ditunjukkan pada Gambar 2.16.

Gambar 2.16 Skematik Diagram Step Voltage Regulator

Step Voltage Regulator biasanya dipasang pada beberapa tempat, yaitu:
- Pada penyulang (Diletakkan sebelum titik yang mengalami drop
tegangan)
- Pada penyulang khusus

33
Universitas Sumatera Utara

Step Voltage Regulator biasanya hanya mengijinkan maksimal perbaikan
tegangan pada kisaran ± 10% dari tegangan primer dalam 32 step. Dimana 16 step
masing-masing buat menaikkan tegangan dan menurunkan tegangan. AVR dapat
dipasang pada penyulang ataupun pada gardu induk [7].
Pada Gambar 2.17 dapat dilihat bahwa Step Voltage Regulator dapat
dipasang lebih dari satu dalam sebuah jaringan untuk meperbaiki tegangan pada
jaringan distrbusi [11].

Gambar 2.17 Pemasangan SVR pada jaringan distribusi

34
Universitas Sumatera Utara

2.11 Aplikasi SVR Pada Sistem Tenaga
Beberapa tipe jaringan distribusi yang dapat diperbaii dengan SVR antara
lain adalah:
1. Jaringan Satu Phasa
2. Jaringan Tiga Phasa 4 Kawat
3. Jaringan Tiga Phasa 3 Kawat
2.11.1 Jaringan Satu Phasa
SVR juga dapat dipasang pada jaringan distribusi sekunder yaitu jaringan
distribusi satu pahasa yaitu dengan menggunakan 1(satu) buah SVR. Pemasangan
SVR pada jaringan distribusi sekunder ini biasanya digunakan untuk mengatasi
jaringan distribusi sekunder yang memiliki jarak kirim listrik yanng sangat jauh
biasanya ini pada pedesaan. Dikarenakan panjangnya konduktor yang dgunakan
untuk mengirim listrik maka rugi rugi jaringan pun akan semakin besar. Semakin
besarnya rugi-rugi maka voltage drop yang terjadi pada jaringan tersebut akan
semakin besar. Untuk mengatasi voltage drop yang terlalu besar maka digunakan
SVR untuk menaikkan tegangan yang akan dikirimkan. Memperbaiki tegangan
dengan menaikkan tegangan melalui OLTC pada Gardu Induk tidaklah
memungkinkan dikarenakan dapat membahayakan konsumen yang berada dekat
dengan Gardu Induk tesebut. Pada Gambar 2.18 dan Gambar 2.19 kita dapat
melihat pemasangan SVR pada jaringan distribusi satu phasa dan diagaram phasor
yang dihasilkannya.

35
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.18 Pemasangan SVR Pada Sirkuit 1 Phasa

Gambar 2.19 Diagram Phasor SVR pada sirkuit 1 Phasa

2.11.2 Jaringan Tiga Phasa 4 Kawat
SVR pada jaringan tiga phasa 4 kawat tidaklah jauh berbeda dengan pada
jarngan tiga phasa 3 kawat, hanya saja pada pemasangan SVR disini yaitu dengan
menggunakan 4 kawat yaitu menggunakan kawat netral. Dimana ketiga netral yang
keluar dari masing-masing SVR akan disatukan dengan kawat netral pada jaringann

36
Universitas Sumatera Utara

distribusi tersebut sehingga belitan primer pada ketiga SVR ini dikonfigurasikan
dengan belitan wye. Pada Gambar 2.20 dan Gambar 2.21 dapat dilihat pemasangan
SVR pada jaringan distribusi tiga phasa empat kawat dan gambar digaram
phasornya.

Gambar 2.20 Pemasangan SVR pada Jaringan 3 Phasa 4 Kawat

Gambar 2.21 Digram Phasor SVR Pada Jaringan 3 Phasa 4 Kawat

37
Universitas Sumatera Utara

2.11.3 Jaringan 3 Phasa 3 Kawat
Jaringan 3 phasa 3 kawat terbagi atas dua jenis yaitu
1) Dengan menggunakan 2 SVR
2) Dengan menggunakan 3 SVR
Apabila jaringan 3 phasa 3 kawat dipasang 2 buah SVR satu phasa maka
kedua SVR ini akan dikoneksikan hanya kepada kedua phasanya saja. Kedua phasa
ini akan diperbaiki tegangannya masing-masing, dimana phasa ketiga berfungsi
untuk membaca rata-rata dari kedua phasa tersebut. Kedua regulator ini akan
memiliki perbedaan phasa sebesar 30º. Jika dilihat dari rotasi phasanya pada
Gambar 2.23 maka salah satu SVR akan memiliki tegangan yang arusnya lagging
dari tegangannya, dan SVR lainnya akan memiliki arus leading dari tegangan.
Untuk pemasangan dari 2 SVR pada jaringan 3 phasa 3 kawat dapat dilihat dari
Gambar 2.22

Gambar 2.22 Pemasangan 2 SVR Pada Jaringan 3 Phasa 3 Kawat

38
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.23 Digaram Phasor 2 SVR pada Jaringan 3 Phasa 3 Kawat

Untuk Jaringan 3 Phasa 3 Kawat yang menggunakan 3 SVR adalah
pemasangan 3 buah SVR pada masing-masing phasanya. Koneksi yang dipakai
untuk 3 SVR ini adalah menggunakan hubungan delta. Untuk pemasangan 3 SVR
pada jaringan 3 phasa 3 kawat dan diagram phasornya dapat dilihat pada Gambar
2.24 dan Gambar 2.25

39
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.24 Pemasangan 3 SVR pada Jaringan 3 Phasa 3 Kawat

Gambar 2.25 Diagram Phasor 3 SVR pada Jaringan 3 Phasa 3 Kawat

2.11.4 Penentuan Rating SVR
Penentuan rating arus pada SVR ditunjukkan pada Persamaan 2.31:
=

� ∅

� − ×√

(2.31)

Penentuan rating SVR sama dengan penentuan rating pada transformator.
Apabila SVR yang dipasang adalah SVR satu phasa maka penentuan ratingnya
ditunjukkan pada Persamaan 2.32

40
Universitas Sumatera Utara

�� = �

×

/

(2.32)

Apabila SVR dipasang pada jaringan 3 phasa 4 kawat maka VRated yang
digunakan adalah VL-L/√ , jika dipasang pada jaringan 3 phasa 3 kawat maka VRated
yang digunakan adalah VL-L.
Apabila SVR yang dipasang adalah SVR tiga phasa maka penentuann rating
dari SVR dapat ditunjukkan pada persamaan 2.33
�� = �

×

×√ /

(2.33)

2.12 Penentuan Titik Optimasi Penempatan SVR
Langkah yang diambil dalam penempatan SVR diprioritaskan dengan
menggunakann perhitungan aliran daya sebelum dan sesudah terpasangnya SVR
dan juga dapat ditentukan dengan menggunakan metode “percentual factor” dalam
menghitung setiap konfigurasi untuk menentukan kandidat bus yang terbaik apabila
terpasang SVR dengan mempertimbangkan segala faktor. Percentual Factor
menggunakan prinsip dasar dari simpangan baku ataupun deviasi standar. Salah
satu faktor yang harus dipertimbangkan untuk pemasangan SVR ini adalah faktor
tegangan yang kurang ataupun melebihi tegangan nominal. Percentual Factor yang
mempertimbangkan keseluruhan tegangan bus disimbolkan dengan “Fatv%”
didefenisikan sebagai Persamaan 2.34 [13].


� � % = ∑=

=











Dimana :
N



(2.34)

= Jumlah Bus

41
Universitas Sumatera Utara

Vnom = Tegangan Nominal



= Tegangan pada setiap bus sebelum terpasang SVR



= Tegangan pada setiap bus setelah terpasang SVR

Jika Fatv% adalah faktor yang menghitung deviasi standar dari seluruh bus
yang ada, maka faktor lain yang diperhitungkan adalah dengan menghitung deviasi
standar dari setiap bus yang hanya mengalami tegangan kritis yaitu bus yang
memiliki tegangan diluar dari tegangan nominal jaringan distribusi PLN 20 kV.
Perhitungan menggunakan standart deviasi ini dapat menentukan peletakan SVR
terbaik untuk mencapai tegangan nominal jaringan distribusi. Semakin kecil nilai
stanndar deviasinya maka semakin baik tegangan yang dapat dihasilkan
Faktor kedua yang dapat mempengaruhi peletakkan SVR adalah faktor rugirugi daya (Power Loss). Faktor rugi-rugi ini dapat dirumuskan pada Persamaan 2.35

� �� % =

∑ =

∑ =











(2.35)

Dari kedua faktor tersebut maka untuk mempertimbangkan kandidat bus
yang terbaik dapat dilakukan dengan 3 cara, dan 3 faktor ini akan dipertimbangkan
dengan menggunakan rumus “Technical Factor” yang dapat dilihat pada
Persamaan 2.36, 2.37, 2.38


=

× � � % + × � �� %

(2.36)



= . × � � % + , × � �� %

(2.38)



=

× � � % + × � �� %

(2.37)

Perhitungan FT dilakukan di setiap kandidat bus selama proses penempatan
SVR berlangsung. Semakin kecil nilai dari FT maka semakin baiklah konfigurasi
dari penempatan SVR.

42
Universitas Sumatera Utara

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penempatan SVR adalah
sebagai berikut:
1) Jalankan aliran daya dan tentukan kandidat-kandidat bus yang akan
dipasang SVR
2) Letakkan SVR pada kandidat bus dimulai dari titik awal yang berada
didalam range 96-99%
3) Jalankan perhitungan aliran daya, setting tap position untuk
mendapatkan keseluruhan tegangan pada titik kandidat bus tersebut
4) Hitung nilai dari FT untuk konfigurasi ini
5) Ulangi langkah kedua sampai pada kandidat bus terakhir
6) Prosedur selesai sampai akhir dari titik didalam range 96-99%
7) Konfigurasi dengan nilai FT terkecil adalah konfigurasi terbaik

2.13 Peletakan dan Pengaturan Tap Pada Step Voltage Regulation
Step Voltage Regulator dapat diletakkan pada awal jaringan distribusi yang
mengalami tegangan ±5% dari standar tegangan. Step Voltage Regulator diletakkan
pada awal jaringan distribusi dikarenakan untuk mengatasi tegangan jatuh pada
akhir penyulang sehingga tegangan jatuh pada akhir penyulang tidak menjadi
terlalu tinggi.
Pada Gambar 2.26 merupakan contoh gambar peletakan dari Step Voltage
Regulator pada jaringan 20 KV di Thailand [14]

43
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.26 Contoh Peletakan SVR pada jaringan distribusi di Thailand
Step Voltage Regulator mempunyai 10 tap yang berguna untuk menaikkan
maupun menurunkan tegangan. Pada saat jaringan distribusi memiliki tegangan
diatas dari tegangan standar yang telah ditetapkan maka SVR berfungsi sama seperti
sebuah trafo step-down. Apabila jaringan distribusi memiliki tegangan dibawah
dari tegangan standar yang telah ditetapkan maka SVR berfungsi sama seperti
sebuah trafo step-up. Pengaturan Tap untuk SVR tidak dibahas didalam tugas akhir
ini dikarenakan Tap pada SVR bekerja secara otomatis.
Tap-Tap pada SVR dapat digunakan untuk menghasilkan meanaikkan
ataupun menurunkan tegangan sebesar ±5% dari tegangan masukkan, Tap pada
SVR dapat kita lihat pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Pengaturan Tap pada Step Voltage Regulator
Tap
Position

0

1

2

3

4

Tap
rate(%)

95

96.25

97.5

98.75

100

5

6

7

101.25 102.5 103.75

8

105

44
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Penentuan Titik Interkoneksi Distributed Generation Pada Jaringan Distribusi 20 Kv Dengan Bantuan Metode Artificial Bee Colony (Studi Kasus : Pltmh Aek Silau 2)

9 87 165

Studi Koordinasi Fuse Dan Recloser Pada Jaringan Distribusi 20 Kv Yang Terhubung Dengan Distributed Generation (Studi Kasus: Penyulang PM. 6 Gardu Induk Pematangsiantar)

3 8 220

Studi Regulasi Tegangan Menggunakan Step Voltage Regulator pada Jaringan Distribusi 20 kV yang Terhubung dengan Distributed Generation

1 7 161

Studi Koordinasi Fuse Dan Recloser Pada Jaringan Distribusi 20 Kv Yang Terhubung Dengan Distributed Generation (Studi Kasus: Penyulang PM. 6 Gardu Induk Pematangsiantar)

0 0 25

Studi Koordinasi Fuse Dan Recloser Pada Jaringan Distribusi 20 Kv Yang Terhubung Dengan Distributed Generation (Studi Kasus: Penyulang PM. 6 Gardu Induk Pematangsiantar)

0 0 25

Studi Regulasi Tegangan Menggunakan Step Voltage Regulator pada Jaringan Distribusi 20 kV yang Terhubung dengan Distributed Generation

0 0 14

Studi Regulasi Tegangan Menggunakan Step Voltage Regulator pada Jaringan Distribusi 20 kV yang Terhubung dengan Distributed Generation

0 0 1

Studi Regulasi Tegangan Menggunakan Step Voltage Regulator pada Jaringan Distribusi 20 kV yang Terhubung dengan Distributed Generation

0 0 3

Studi Regulasi Tegangan Menggunakan Step Voltage Regulator pada Jaringan Distribusi 20 kV yang Terhubung dengan Distributed Generation

0 1 2

Studi Regulasi Tegangan Menggunakan Step Voltage Regulator pada Jaringan Distribusi 20 kV yang Terhubung dengan Distributed Generation

0 0 56