Kualitas Tidur dan Faktor Gangguan Tidur pada Penderita Hipertensi di Wilayah Kerja Medan Teladan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1. Fisiologi Tidur
1.1 Definisi
Tidur merupakan keadaan seseorang saat berada pada keadaan bawah
sadar yang dapat dibangunkan kembali apabila orang tersebut mengalami
respon terhadap rangsangan dari luar seperti rangsangan sensorik ataupun
rangsangan lainnya (Guyton & Hall, 1997). Selain itu tidur memiliki urutan
siklus yang berulang-ulang selama periode tertentu (Potter & Perry, 2005).
Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur oleh adanya
hubungan mekanisme serebral yang secara bergantian untuk mengaktifkan dan
menekan pusat otak agar dapat tidur dan bangun.
Salah satu aktvitas tidur ini diatur oleh sistem pengaktivasi retikularis
yang merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan
saraf pusat termasuk pengaturan kewaspadaan dan tidur. Pusat pengaturan
kewaspadaan dan tidur terletak dalam mesensefalon dan bagian atas pons.
Selain itu, reticular activating system (RAS) dapat memberi rangsangan
visual, pendengaran, nyeri dan perabaan juga dapat menerima stimulasi dari
korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir.
Dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan

katekolamin seperti norepineprin. Demikian juga pada saat tidur, disebabkan
adanya pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan

Universitas Sumatera Utara

batang otak tengah, yaitu bulbar synchronizing regional (BSR), sedangkan
bangun tergantung dari keseimbangan impuls yang diterima di pusat otak dan
system limbik. Dengan demikian, system pada batang otak yang mengatur
siklus atau perubahan dalam tidur adalah RAS dan BSR (Hidayat, 2006).
1.2 Fungsi tidur

Siklus tidur-bangun akan mempengaruhi fungsi fisiologi, respons
perilaku, dan kemampuan seseorang untuk berkonsentrasi membuat keputusan
serta melakukan kegiatan sehari – harinya. (Potter & Perry, 2005). Saat sakit
kebutuhan tidur seseorang penting, hal ini disebabkan karena tidur merupakan
salah satu kebutuhan dasar manusia yang brfungsi untuk memulihkan
kesehatan seseorang (Tarwoto, 2006) agar dapat kembali pada keadaan yang
optimal (Priharjo, 1993). Selain itu tidur berfungsi untuk memulihkan
keseimbangan alami di antara pusat-pusat neuron (Guyton, 2007).
1.3 Tahapan tidur

Tahapan tidur dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu Non
Rapid Eye Movement (NREM) dan Rapid Eye Movement (REM). Tidur
NREM terdiri dari empat tahapan. Kualitas tidur akan semakin menjadi dalam
mulai dari tahap satu sampai tahap empat. Tidur yang dangkal terjadi pada
tahap satu dan tahap dua, pada tahap ini seseorang akan lebih mudah
terbangun. Sedangkan pada tahap tiga dan empat prroses melibatkan tidur
yang dalam disebut tidur gelombang rendah, dan seseorang sulit terbangun.
Tidur REM merupakan fase terakhir siklus tidur dan terjadi pemulihan
psikologis (Potter & Perry, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Tahapan tidur memiliki karakteristik tertentu yang dianalisis dengan
bantuan Electroencefalograph (EEG)

yang menerima dan merekam

gelombang otak, electrooculograph (EOG) yang merekam pergerakan mata
dan electromyograph (EMG) yang merekam tonus otot (Lilis, 2001).
Tidur Non Rapid Eye Movement (NREM). Tahapan tidur NREM

dibagi menjadi 4 tahap :
Tahap satu NREM merupakan tahap transisi antara bangun dan tidur
dimana seseorang masih sadar dengan lingkungannya, merasa mengantuk,
frekuensi nadi dan nafas sedikit menurun, dan berlangsung selama lima menit.
Kualitas tidur tahap ini sangat ringan, seseorang dapat mudah terbangun
karena stimulasi sensori seperti suara (Potter & Perry, 2003).
Tahap dua merupakan tahap tidur ringan dan proses tubuh terus
menurun yang ditandai dengan penurunan tanda-tanda vital, metabolisme
menurun dan tahap ini berlangsung selama 10-20 menit (Tartowo, 2004). Pada
tahap ini seseorang masih relative mudah untuk terbangun, dan berlangsung
selama 10-20 menit (Potter & Perry, 2003). Selain itu pada tahap ini,
hubungan seseorang dengan lingkungan terputus secara aktif dan hampir
seluruh menusia yang dibangunkan pada tahap ini mengatakan bahwa mereka
benar – benar tertidur (Maas, 2002). Menurut Potter & Perry (2003), 50% total
waktu tidur manusia dewasa normal dihabiskan pada tahap dua NREM.
Tahap tiga yaitu menunjukkan medium deep sleep yang merupakan
tahap awal dari tidur yang dalam. Pada tahap ini seseorang akan sulit untuk
dibangunkan dan jarang terjadi pergerakan tubuh dan mata, keadaan otot-otot

Universitas Sumatera Utara


mengalami relaksasi penuh, adanya dominasi sistem saraf parasimpatis
(Hidayat, 2006).
Tahap empat merupakan deep sleep yaitu tahap tidur terdalam yang
biasanya diperlukan rangsangan lebih kuat untuk membangunkan, sehingga
ketika bangun dari tidur yang dalam, seseorang tidak dapat langsung sadar
sempurna dan memerlukan waktu beberapa saat untuk memulihkan dari rasa
bingung dan disorientasi. Tahap ini mempunyai nilai dan fungsi perbaikan
yang sangat penting untuk penyembuhan fisik kebanyakan hormon
perkembangan manusia diproduksi malam hari dan puncaknya selama tidur
pada tahap ini (White, 2003).
Tidur Rapid Eye Movement (REM). Tahap tidur REM terjadi
setelah 90 – 110 menit setelah tertidur, pada tahap ini ditandai dengan
peningkatan denyut nadi, pernafasan dan tekanan darah, otot – otot relaksasi
(Maas, 2002) serta peningkatan sekresi gaster (Potter & Perry, 2003).
Seseorang akan mengalami mimpi selama tidur NREM maupun
REM, tetapi mimpi dari tidur REM lebih nyata dan diyakini penting secara
fungsional untuk konsolidasi memori jangka panjang (Potter & Perry, 2003).
1.4 Mekanisme tidur
Pengaturan mekanisme tidur dan bangun sangat dipengaruhi oleh

sistem yang disebut Reticular Activity System. Bila aktivitas Reticular Activity
System ini meningkat maka orang tersebut dalam keadaan sadar jika aktivitas
Reticular Activity System menurun, orang tersebut akan dalam keadaan tidur.
Aktivitas Reticular Activity System (RAS) ini sangat dipengaruhi oleh

Universitas Sumatera Utara

aktivitas neurotransmitter seperti sistem serotoninergik, noradrenergik,
kolinergik, histaminergik (Japardi, 2002).
Sistem serotoninergik. Hasil serotoninergik sangat dipengaruhi oleh
hasil metabolisme asam amino triptofan. Dengan bertambahnya jumlah
triptofan, maka jumlah serotonin yang terbentuk juga meningkat akan
menyebabkan keadaan mengantuk/ tidur. Bila serotonin dalam triptofan
terhambat pembentukannya, maka terjadi keadaan tidak bisa tidur/ jaga.
Menurut beberapa peneliti lokasi yang terbanyak sistem serotoninergik ini
terletak pada nucleus raphe dorsalis di batang otak, yang mana terdapat
hubungan aktivitas serotonis di nucleus raphe dorsalis dengan tidur REM.
Sistem adrenergik. Neuron-neuron yang terbanyak mengandung
norepinefrin terletak di badan sel nucleus cereleus di batang otak. Kerusakan
sel neuron pada lokus cereleus sangat mempengaruhi penurunan atau

hilangnya REM tidur. Obat-obatan yang mempengaruhi peningkatan aktivitas
neuron noradrenergik akan menyebabkan penurunan yang jelas pada tidur
REM dan peningkatan keadaan jaga.
Sistem kolinergik. Menurut Sitaram dkk, (1976) dalam (Japardi,
2002)

membuktikan

mempengaruhi

dengan

episode

tidur

pemberian
REM.

prostigimin


Stimulasi

jalur

intravena
kolinergik

dapat
ini,

mengakibatkan aktivitas gambaran EEG seperti dalam kedaan jaga. Gangguan
aktivitas kolinergik sentral yang berhubungan dengan perubahan tidur ini
terlihat pada orang depresi, sehingga terjadi pemendekan latensi tidur REM.
Pada obat antikolinergik (scopolamine) yang menghambat pengeluaran

Universitas Sumatera Utara

kolinergik dari lokus sereleus maka tampak gangguan pada fase awal dan
penurunan REM.

Sistem

histaminergik.

Pengaruh

histamin

sangat

sedikit

mempengaruhi tidur.
Sistem hormon. Siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormon
seperti Adrenal Corticotropin Hormone (ACTH), Growth Hormon (GH),
Tyroid Stimulating Hormon (TSH), Lituenizing Hormon (LH). Hormonhormon ini masing-masing disekresi secara teratur oleh kelenjar hipofisis
anterior melalui jalur hipotalamus. Sistem ini secara teratur mempengaruhi
pengeluaran neurotransmitter norepinefirn, dopamine, serotonin yang bertugas
mengatur mekanisme tidur dan bangun.


1.5 Faktor yang memepengaruhi tidur
Penyakit. Sakit dapat mempengaruhi kebutuhan tidur seseorang. Banyak
penyakit yang memperbesar kebutuhan tidur, misalnya : penyakit yang
disebabkan oleh infeksi (infeksi limfa) akan memerlukan lebih banyak waktu tidur
untuk mengatasi keletihan. Banyak juga keadaan sakit yang menjadikan pasien
kurang tidur, bahkan tidak bisa tidur (Mukhlidah, 2011).
Latihan dan Kelelahan. Keletihan akibat akivitas yang tinggi dapat
memerlukan lebih banyak tidur untuk menjaga keseimbangan energi yang telah
dikeluarkan. Hal ini terlihat pada seseorang yang telah melakukan aktivitas dan
mencapai kelelahan. Maka, orang tersebut akan lebih cepat untuk dapat tidur
karena tahap tidur gelombang lambatnya diperpendek.(widodo, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Stres Psikologis. Kondisi psikologis dapat terjadi pada seseorang akibat
ketegangan jiwa. Hal tersebut terlihat ketika seseorang yang memiliki masalah
psikologis mengalami kegelisahan sehingga sulit untuk tidur (Mukhlidah, 2011)

Obat. Gangguan tidur dapat disebabkan oleh penggunaan stimulan yang
kronik seperti kafein, amphetamin, nikotin. Ketika tidur, tubuh mulai

memetabolisme alkohol dan hal ini mempengaruhi aktivitas otak. Alkohol bagi
sebagian orang berhasil membuat tidur lebih cepat, namun di saat yang sama,
alkohol membuat tubuh mengalami dehidrasi. Ketika tubuh terbangun untuk
mencari air karena dehidrasi, tubuh tidak dapat kembali tidur tahap REM.
Pecandu alkohol aktif mengalami gangguan tidur yang spesifik, yakni
membutuhkan waktu

lebih banyak untuk jatuh tertidur, sering terbangun,

kekurangan tidur yang berkualitas, dan bahkan kelelahan di siang hari. Nikotin
dari rokok bersifat neurostimultan yang justru membangkitkan semangat. Rokok
meningkatkan tekanan darah, mempercepat denyut jantung, dan meningkatkan
aktivitas otak, membuat orang yang mengisapnya justru tak bisa relaks,
mendorong pelakunya tak bisa tidur. Kafein di dalam kopi membuat jantung dan
otak kita menjadi siaga. Akibatnya, kafein menghalangi tubuh untuk melepaskan
sebuah kimia alami tubuh yang dikenal sebagai adenosin merupakan senyawa
kimia yang menimbulkan efek penenang (Mukhlidah, 2011). Selain itu beberapa
golongan obat antihipertensi dapat menimbulkan gangguan tidur (Japardi, 2002)
seperti diuretik, betablocker, antagonis kalsium dan ACEI (Gray, 2003).


Universitas Sumatera Utara

Lingkungan. Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi
seseorang juga dapat mempercepat terjadinya proses tidur. Suara yang terlalu
keras, cahaya yang terlalu terang, tempat yang kondusif, suhu, dan kebiasaan
sebelum tidur yang dapat mengganggu konsentrasi tidur tentunya kana
mempengaruhi proses tidur (Mukhlidah, 2011).
Motivasi. Motivasi merupakan suatu dorongan atau keinginan seseorang
untuk tidur, yang dapat mempengaruhi proses tidur. Selain itu, adanya keinginan
untuk menahan tidak tidur dapat menimbulkan gangguan proses tidur. (Brandon,
2006).
1.6 Kualitas tidur
Kualitas tidur adalah perasaan segar dan siap mengahadapi hidup baru
setelah bangun tidur. Kualitas tidur bersifat subjektifitas yang hanya dapat dinilai
berdasarkan indikator kondisi tubuh saat bangun tidur (Mukhlidah, 2011). Konsep
ini meliputi beberapa karakteristik seperti waktu yang diperlukan untuk memulai
tidur, frekuensi terbangun pada malam hari, lama tidur, kedalaman tidur dan
ketenangan (Eser, 2007). Kualitas tidur menyangkut pengkajian subjektif yaitu
seberapa menyegarkan dan tenangnya tidur mereka dan pengkajian objektif yang
dapat diketahui dari rekaman poligrafi, gerakan pergelangan tangan, gerakan
kepala dan mata (Mac Arthur, 1997; Nisrina, 2008).
Data subjektif. Dapat dievaluasi dengan persepsi para penderita penyakit
tentang parameter tidur diantaranya adalah berapa lama waktu yang dibutuhkan
untuk tertidur, frekuensi terbangun pada malam hari, total waktu tidur di malam
hari dan kepulasan tidur (Kales & Kales, 1984; Lee, 1997; Suryani, 2004). Hanya

Universitas Sumatera Utara

para penderita penyakit saja yang dapat melaporkan apakah mereka mendapatkan
tidur yang baik atau buruk. Jika para penderita penyakit puas dengan kualitas dan
kuantitas tidurnya maka mereka mempunyai tidur yang baik (Potter & Perry,
2005).
Data objektif. Dapat dilihat melalui pengkajian fisik penderita penyakit
yaitu dengan mengobservasi lingkaran mata, adanya respon yang lamban,
ketidakmampuan/kelemahan, penurunan konsentrasi. Selain itu, data objektif
kualitas tidur penderita penyakit juga bisa dianalisa melalui pemeriksaan
laboratorium yaitu EEG, EMG, dan EOG sinyal listrik menunjukkan perbedaan
tingkat aktivitas yang berbeda dari otak, otot, dan mata yang berhubungan dengan
tahap tidur yang berbeda (Sleep Research Society, 1993; dikutip dari (Potter &
Perry, 2005).

2. Faktor-faktor gangguan tidur pada hipertensi
2.1 Faktor fisik
Keadaan sakit menjadikan seseorang kurang tidur, bahkan tidak bisa
tidur. Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan fisik, atau
masalah suasana hati, seperti kecemasan atau depresi dapat menyebabkan masalah
tidur. Penderita hipertensi pada umumnya mengalami sakit kepala selain itu
penderita juga mudah lelah, sulit bernafas, sukar tidur (Dalimartha, 2008). Gejalagejala tersebut dapat mengganggu tidur seseorang.
Pusing. Hal ini sering terjadi pada pasien dengan hipertensi. (Guyton &
Hall, 1997). Pada pasien hipertensi, pusing biasanya dikarenakan oleh manifestasi

Universitas Sumatera Utara

klinis yang dialami pasien.

Hal ini sejalan dengan Albertie (2006) yang

menyatakan bahwa pusing akan menyebabkan gangguan tidur dan apabila pusing
semakin parah maka akan semakin parah juga tingkat gangguan tidurnya. Selain
itu Rains (2006) juga menambahkan bahwa pusing dapat menyebabkan seseorang
terbangun dari tidurnya sehingga total jam tidur menjadi berkurang.
Batuk. Hal ini pada umumnya berhubungan dengan adanya efek samping
dari terapi pengobatan hipertensi dengan menggunakan penghambat renin
angiotensin (ACEI) yang diberikan pada penderita hipertensi.
Sesak nafas atau sulit bernafas. Menurut Boynton (2003), kesulitan
bernafas dapat menyebabkan seseorang sering terbangun dari tidurnya di malam
hari. Japardi (2002) menambahkan, kadang-kadang ada kesulitan untuk jatuh
tertidur lagi ketika sudah terbangun akibat kesulitan bernafas dan ini dapat
menyebabkan nyeri kepala dan perasaan tidak enak ketika bangun di pagi hari.
Gelisah. Martin (2000) menyatakan bahwa kesulitan tidur dapat
menyebabkan berbagai gangguan tidur dan ia juga menambahkan bahwa orang
yang kesulitan tidur biasanya tidak mendapatkan tidur yang cukup sehingga akan
mempengaruhi aktivitasnya di pagi hari.
Perasaan lelah. Kelelahan dapat menyebabkan gangguan tidur, dimana
biasanya seseorang yang kelelahan akan merasa seolah-olah mereka bangun
ketika tidur dan biasanya tidak mendapatkan tidur yang dalam (Shapiro et al,
1993).
Nokturia. Rains (2006) juga menyatakan bahwa nokturia pada penderita
hipertensi dapat menyebabkan seseorang terbangun berulang kali dari tidurnya

Universitas Sumatera Utara

(Mansoor, 2002) dan memerlukan waktu yang lama untuk mulai tertidur sehingga
akan berdampak pada total jam tidur yang berkurang dan tidak seperti orang
normal yang biasanya tertidur dalam waktu, 20 menit (Schachter, 2008)
2.2 Faktor lingkungan
Menurut Potter & Perry (2005) keadaan lingkungan dapat mempengaruhi
kemampuan untuk tertidur dan tetap tertidur di antaranya adalah suara/
kebisingan, suhu ruangan, dan pencahayaan. Keadaan lingkungan yang aman dan
nyaman bagi seseorang dapat mempercepat terjadinya proses tidur.
Suara bising. Kebisingan dapat menyebabkan tertundanya tidur dan juga
dapat membangunkan seseorang dari tidur (Hanning, 2009). WHO (2004) juga
menyatakan hal yang sama namun WHO menambahkan bahwa sebagian besar
orang tidak mengeluhkan kurang tidur karena kebisingan tetapi memiliki tidur
yang non-restoratif, mengalami kelelahan dan atau sakit kepala pada saat bangun
pagi dan kantuk yang berlebihan di siang hari.
Ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik adalah esensial untuk tidur
yang tenang (Potter & Perry, 2005). Kelembaban ruangan perlu diatur agar paruparu tidak kering karena apabila kelembaban ruangan tidak diatur maka seseorang
tidak akan dapat tidur, walaupun dapat tidur maka seseorang akan terbangun
dengan kerongkongan kering seakan-akan seseorang tersebut menderita radang
amandel (Septiyadi, 2005).
Ruang dan tempat tidur yang nyaman. Ruang tidur merupakan tempat
dimana seseorang melepaskan pikiran-pikiran yang penat / lelah setelah seharian
melakukan aktifitas. Apabila ruang tidur kotor ataupun bau maka bisa dikatakan

Universitas Sumatera Utara

itulah faktor utama dari susahnya tidur (Septiyadi, 2005). Ukuran, kekerasan dan
posisi tempat tidur mempengaruhi kualitas tidur (Potter & Perry, 2005).
Cahaya lampu yang terlalu terang. Menurut Lee (1997), Sorot lampu
yang terlalu terang dapat menyebabkan gangguan tidur dan dapat menghambat
sekresi melatonin pada tubuh. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya pergeseran
sistem sirkadian, dimana jadwal tidur maju secara bertahap (Sack et al, 2007).
Suhu ruangan. Suhu ruangan yang terlalu panas/ terlalu dingin
seringkali menyebabkan seseorang gelisah (Potter & Perry, 2005). Keadaan ini
akan mengganggu tidur seseorang, Lee (1997) juga menyatakan hal serupa, bahwa
seseorang akan mengalami gangguan tidur apabila tidur di ruangan yang terlalu
panas ataupun terlalu dingin.
Bau yang tidak nyaman. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suryani
(2004) melaporkan bahwa tidur responden terganggu akibat bau ruangan yang
tidak nyaman. Sementara hal yang sama juga dilaporkan oleh Karota-Bukit (2003)
bahwa 13% responden mengalami gangguan tidur pada tingkat sedang karena bau
yang tidak nyaman.

2.3

Faktor Psikososial
Gangguan tidur dilaporkan oleh 90% individu yang mengalami stres,

perasaan cemas, dan depresi (Chokroverty, 1999; Suryani, 2004). Hal ini terjadi
pada seseorang yang mempunyai penyakit(Potter & Perry, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Stres. Seseorang dapat mengalami stres emosional karena penyakit. Oleh
karena itu emosi seseorang dapat mempengaruhi kemampuan untuk tidur. Stres
emosional menyebabkan seseorang menjadi tegang dan seringkali mengarah frustasi
apabila tidak tidur. Stres juga menyebabkan seseorang mencoba terlalu keras untuk
tertidur, sering terbangun selama siklus tidur, atau terlalu banyak tidur. Stres yang
berlanjut dapat menyebabkan kebiasaan tidur yang buruk (Potter & Perry, 2005). Stres
dapat mengubah pola tidur seseorang dalam beberapa waktu. Selama adanya stres
psikologis, waktu yang dibutuhkan untuk memulai tidur dan tahap tidur NREM ke 1 dan
2 meningkat (Monroe, Simons, dan Thasle, 1992; Lee, 1997; Suryani, 2004).

Cemas. Penderita penyakit yang memiliki resiko terhadap kecemasan
adalah mereka yang takut dan khawatir akan penyakitnya, diisolasi dari keluarga
dan kerabat, dan tidak familiar dengan lingkungan (Webster & Thompson, 1986).
Perasaan cemas menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk memulai tidur sangat
lama, tahap tidur NREM ke 4 dan tidur REM menurun, serta pasien lebih sering
terbangun pada malam hari (Karacan et al, 1968, 1978; Closs, 1988; Suryani,
2004).
Depresi. Depresi merupakan suatu penyakit yang berpengaruh kepada
efek kejiwaan. Seseorang yang telah terkena depresi akan mengalami gangguan
tidur yang mana ciri khas seseorang yang terkena sindrome tersebut adalah susah
untuk tidur dan selalu murung (Septiyadi, 2005).
3.

Kualitas tidur pada penderita hipertensi
Menurut Buysse et al (2000), kualitas tidur dapat dinilai dengan melihat

masa laten tidur, lama waktu tidur, efisiensi kebiasaan tidur, gangguan tidur,
penggunaan obat tidur, gangguan di siang hari, dan kualitas tidur umum.

Universitas Sumatera Utara

Menurt Javaheri (2008), kualitas tidur yang buruk berhubungan dengan
meningkatnya resiko hipertensi, dan dengan demikian akan meningkatkan resiko
penyakit kardiovaskular. Begitu juga sebaliknya, orang yang menderita hipertensi
akan memiliki resiko mendapatkan kualitas tidur yang buruk (Potter & Perry,
2005).
Penderita hipertensi biasanya memerlukan waktu yang lebih lama untuk
mulai tertidur (Mansoor, 2002) tidak seperti orang normal yang biasanya tertidur
dalam waktu, 20 menit (Schachter, 2008). Selain itu, gejala-gejala yang biasa
dialami penderita hipertensi seperti pusing, sulit bernafas, sukar tidur dan mudah
lelah dapat membangunkan penderita dari tidurnya sehingga penderita tidak
mendapatkan tidur yang cukup yang nantinya akan berdampak pada aktivitas di
keesokan harinya (Potter & Perry, 2005).

4.

Hipertensi
4.1Definisi
Hipertensi adalah keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan
tekanan darah sistolik dan diastolik yang melebihi batas normal yaitu diatas
140/90 mmHg (Baradero, 2008). Hipertensi diakibatkan oleh peningkatan tekanan
darah yang yang melebihi batas normal (Murwani, 2009) dan terjadi secara terus
menerus (Brashers, 2008) sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan suatu
organ target yang lebih berat (Bustan,2007).
4.2 Klasifikasi

Universitas Sumatera Utara

Menurut The Seventh Report Of The Joint National Committee On
Prevention, Detection, Evaluation And Treatment Of High Blood Pressure (JNC
7) , tekanan darah dibagi menjadi normal, prehipertensi, hipertensi stage 1, dan
hipertensi stage 2.

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC 7
Kategori

Sistol (mmHg)

Diastole (mmHg)

Normal