KESEHATAN MENTAL PERSPEKTIF PSIKOLOGI IS

KESEHATAN MENTAL PERSPEKTIF PSIKOLOGI ISLAMI
DALAM LINGKUNGAN ‘KELUARGA’
Oleh Lukmanul Hakim
Kesehatan mental menjadi salah hal penting dalam kehidupan setiap orang, termasuk
dalam komunitas paling bernama bernama “keluarga”. Keluarga memiliki peran
strategis dalam membentuk mental anak. Padanya, mewadahi kebutuhan insani dalam
hal pengembangan keperibadian dan pengembangan ras manusia. Melalui perawatan,
perlakuan yang baik dan pendampingan yang kontinyu terhadap anak serta pemenuhan
unsur biologis dan sosipsikologisnya, anak-anak tumbuh dengan sesuai dengan
fitrahnya. Hal ini sesuai dengan tuntunan hadis Nabi Muhammad “Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah, karena orang tuanya anak itu menjadi Yahudi,
Nasrani, atau Majusi” (H.R. Bukhari & Muslim).
Kesehatan mental anak menjadi prioritas utama karena berpengaruh besar terhadap cara
hidup dan sikap ketika dewasa. Keluarga adalah aset penting, yang setiap individu tidak
bisa hidup dengan sendirinya tanpa orang lain (keluarga). Keluarga memberi pengaruh
besar terhadap semua anggotanya karena di dalamnya terajalin interaksi yang
berlagnsung secara terus menerus – melahirkan nilai-nilai kehidupan yang bermakna
dan sangat privat (Syamsu, 2011). Karena itu, lingkungan seperti keluarga adalah
tonggak dasar dalam menumbuhkan dan mengembangan kesehatan mental sebagai
pondasi pembangunan masyarakat yang berakhlak mulia (beradap).
Penyakit mental merupakan sebuah prilaku yang fungsi psikis tidak stabil dan tidak

lazim menurut ketentuan agama Islam dan masyarakat pada umumnya. Kesehatan
mental dalam persepktif Islami adalah perwujudan dari pribadi seorang muslim. Hal ini
karena penyakit mental menjadi satu bagian yang dapat merusak citra diri (self image)
dan merusak hubungan komunikasi dengan orang lain. Melalui citra yang positif,
mental yang sehat akan menjadi cerminan setiap individu.
Bastaman (1997) pada bukunya Integrasi Psikologi dengan Islam menyebut citra diri
sebagai gambaran seorang tentang dirinya. Citra diri atau konsep diri (self concept) akan
membentuk mental positif dan dapat pula negatif. Citra diri yang positif akan mewarnai
pola mental yang sehat, cara berpikir, corak penghayatan dan ragam aktivitas positif
lainnya yang dapat tumbuh dan berkembang ke arah produktif lainnya, demikian pula
sebaliknya. Seorang muslim, citra dirinya akan menjadi cerminan atas kemusliman,
keimanan, dan kemuhsininannya dalam menjalan ajaran agama. Mengamalkan apa yang
menjadi kewajiban agama dan menjauhi apa yang dilarang agama. Dengan begitu,
cerminan dari dirinya sebagai muslim adalah bukti dari keimanannya.
Peran agama menjadi penting dalam penanaman mental yang sehat dalam lingkungan
keluarga. Hal itu sebagai pesan inti dari Q.S. At-Tahrim ayat 6 agar mawas diri
sehingga terhindar dari berbagai macam bahaya yang sebenarnya datang dari diri setiap

pribadi berupa mental yang sakit – yang berakibat pada datangnya murka dari Allah Swt,
baik di dunia maupun akhirat.

Dalam Islam berbagai penyakit mental disebutkan Mujtaba (1993) dalam bukunya
Psikologi Islam misalnya dapat berupa menyekutukan Allah Swt, pengingkaran,
bermuka dua, riya, berbohong, rasa amarah, putus asa, lupa diri, munafik, sombong,
kikir, tamak dan perbuatan-perbuatan tercela lainnya dan tentunya tidak dikehendaki
Allah untuk dilakukan. Jenis-jenis penyakit mental tersebut menjadi tantangan setiap
pribadi untuk menjaga diri agar tidak terjerumus dan menyebabkan eksistensi diri tidak
diakui dalam kehidupan bermasyarakat. Penyakit mental itu pula yang melahirkan
keperibadian tidak terpuji, tidak baik secara horizontal (sesama manusia) maupun
vertikal (dengan Allah Swt).
Pendidikan Islam dalam perspeksif Psikologi Islami
Islam memandang bahwa keluarga adalah prioritas utama pendidikan. Prioritas yang
dimaksud adalah bahwa pendidikan keluarga harus berlandasarkan pada maksud dan
tujuan yang ingin dicapai dari keluarga menurut ajaran Islam. Sebuah tatanan keluarga
yagn berlandaskan pada nilai-nilai Islami, yakni nilai-nilai Qurani yang terdeskripsikan
melalui hadist dan sunnah rasul Muhammad Saw. Pendidikan keluarga dalam
pengertian yang lebih luas dari sekedar definisi pendidikan yang digemboskan oleh para
ahli Barat – yang hanya berorientasi pada kehidupan dunia semata. Pendidikan Islami
adalah pendidkan yang mengarahkan pada pengenalan sang pencipta, yakni Allah Swt.
Pengenalan kepada Allah akan melahirkan ketindihan dan kesalehan hidup, baik dalam
lingkungan keluarga, lebih-lebih dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu, arah

pengembangan pendidikan Islami dalam psikologi adalah setiap orang dapat mengenal
secara utuh akan pencipta-Nya dan penciptaannya serta bagaimana memaksimalkan
potensi itu untuk kemaslahatan, baik pribadi maupun antarsesama.
Psikologi sebagai sebuah ilmu yang membahas secara rinci unsur penting kejiwaan
manusia harus disingkronisasikan dengan semangat pengembangan potensi manusia
secara Islami, di mana unsur-unsur jiwa harus sesuai dengan nilai-nilai dalam
pendidikan Islami. Fungsi jiwa dan tuntunan pengobatan/ pencegahan berlandaskan
pada prinsip-prinsip Islam. Mengedepankan cara-cara Islam dalam setiap pendidikannya.
Melalui pendidikan Islam, perwujudan mental yang sehat mulai dikenalkan. Dengan
demikian, tujuan utama pendidikan Islam dalam Psikologi Islami adalah pengenalan
fungsi mental sesuai dengan tuntunan Al Quran guna mewujudkan jiwa yang sehat.
Aspek Penting Manusia dalam Psikologi Islami
Dalam psikologi Islami, keseluruhan dari diri manusia dipandang secara utuh –
pembedaannya dapat dilihat secara jelas, dapat dibedakan, namun tetap
berkesinambungan (Bastaman, 1997). Aspek-aspek tersebut meliputi: aspek jismiah
(fisik-biologis), nafsiah (psikis-psikologis), dan ruhanniah (spiritual-transendental).

Pada aspek jismiah, organ-organ fisik manusia menjadi seperangkat pembentuknya.
Organ-organ fisik pada diri manusia yang memiliki tingkat sempurna dibandingkan
dengan makhluk lainnya. Hal tersebut tergambarkan dalam Al-Quran surat At-Tin ayat

4 “Sungguh aku telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk”. Karena itu,
manusia dengan aspek jismiah-nya melekat dua (2) sifat dasar, yakni: fisik berupa tubuh
yang dapat dilihat dengan kasat nyata dan ruh/nyawa yang bersifat abstrak. Kedua aspek
dasar ini senantiasa bersama dalam kondisi apa pun. Dan dari kedua aspek tersebut,
hanya aspek pertama itulah yang mampu berinteraksi dengan aspek nafsiah/psikis dan
ruhani manusia. Dalam aspek jasmani, lingkungan keluarga dapat memerhatikan
kesehatan fisik dengan berbagai kegiatan jenis olah fisik dan olahraga. Kesehatan tubuh
juga dapat dibentuk dengan memperhatikan makanan yang dikonsumsi, dengan begitu
fisik akan menjadi sehat. Sehat secara jasmani dan sehat pula ruhani.
Selain aspek jismiah, ada aspek nafsiah (psikis-psikologis), yakni keseluruhan dari ciri
khas rasa kemanusian, seperti: pikiran, perasaan, kemauan, dan kebebasan. Aspek ini
menjadi bagian yang terintegrasi pada jasmani dan ruhani serta menjadi wadah dari
yang berlawanan.
Sifat aspek jasmani dan ruhani bisa dilihat dari unsur inti yang tetap melekat pada
keduanya. Aspek jasmani lebih realitas, emperis, konkret indrawi, sedangkapan pada
aspek ruhani bersifat spiritual, transendental, suci, dan bebas serta tidak terikat pada
hukum dan prinsip alam – yang cenderung pada unsur kebaikan. Artinya, aspek jasmani
akan hilang maknanya ketika sifat ruhaninya kosong. Demikian pula dengan aspek
ruhani tidak tinggin rasainya tanpa aspek jasmani. Di sinilah aspek nafsiah memiliki
perbedaan penting dengan aspek-aspek jismiah dan ruhaniah. Ada nafsu, aql, dan qalb

menjadi inti utama dalam aspek nafsiah yang mengikat keseluruhan fungsi dan
perannya.
Setelah kedua aspek jismiah dan nafsiah, ada aspek ruhani menjadi lebih luhur nilainya,
karena bersifat spritual dan transedental. Hal ini karena menjadi isi batin manusia.
Aspek ruhani ini yang mengatur pola hubungan manusia dengan yang kekuatan di luar
dirinya, yaitu Allah. Aspek ini terdapat hal yang lebih suci, yakni ruh dan fitrah.
Kesehatan Mental dalam Ranah Keluarga
Lingkungan keluarga adalah lini kecil dari masyarakat. Di dalamnya interaksi dan
komunikasi intens terjalin. Bersama dengan itu, pembinaan mental harus menjadi spirit
utama keluarga. Hal itu perlu digalakkan sejak dini karena pola asuh yang tidak tepat
dan salah akan berdampak pada kesehatan mental keluarga, khususnya anak. Pola asuh
orang tua kepada anak-anak akan sangat mempengaruhi psikologis anak menuju remaja
dan dewasa – bisa sementara ataupun mengakar. Kesalahan bisa terjadi karena
ketidakpahaman dalam pola pengasuhan, pendidikan, karena tatacara dalam pembinaan.
Satu rumpun keluarga yang hubungannya terjalin haromonis, memahami setiap fungsi
keluarga, tumbuhnya kasih sayang, penuh perhatian dan respek terhadap anak, akan

melahirkan mental yang sehat bagi anak-anaknya. Sebaliknya, keluarga yang
anggotanya penuh konflik, tidak harominis dapat melahirkan dengan apa yang disebut
gejala mental illnes – berbagai masalah kesehatan mental.

Pada lingkungan keluarga, mengarahkan agar anak-anak dapat mengikuti tuntunan
Islam menjadi tuntunan dari pendidikan Islami. Dalam pendidikan Islam, contoh terbaik
orang tua mendapat peranan penting agar diikuti oleh sang anak. Anak-anak diajarkan
untuk memahami dirinya, memahami potensi yang melekat dalam dirinya, didorong
agar dapat memahami hakekat keberadaannya sebagai makhluk yang paling sempurna
penciptaanya. Tujuan hidup dengan mengenal penciptannya. Pembinaan secara kontinu
urgen dilakukan sejak awal karena lingkungan keluarga adalah mini pembangunan
masyarakat madani.
Keluarga yaang sehat mentalnya, akan hidup dalam keharmonisan dan tuntunan Allah
dan Rasulnya. Sehat mental karena pikiran disandarkan pada dzat Yang Maha Pencipta.
Sehat pikirannya karena hadir pada dirinya tubuh yang kebutuhan diproleh dari yang
halal. Sehat tubuh dan sehat pikiran sebagai pribadi yang kuat, menjadi tonggak
keluarga yang kokoh.
Menumbuhkan Mental yang Sehat
Mental yang sehat adalah cerminan pribadi yang kuat. Sehat dalam berpikir, kuat dalam
berprinsip dan tumbuh berkembang menjadi pribadi prima. Kategori prinadi “prima”
dalam bahasa Islam disebut dengan ‘ihsan’ atau sebutan ‘ampahum linnas’ manusia
yang bermanfaat bagi orang lain.
Kesehatan mental adalah faktor penentu kecerdasan. Kecerdasan dalam bahasa Inggris
disebut dengan intelligence; al-dzaka (bahasa Arab) yang bermakna pemahaman,

kesempurnaan atau kecepatan. Kecerdasan dihasilkan dari tiga (3) komponen penting
manusia, berupa aql, nafs dan qalb.
Manusia dengan tiga komponen tersebut melahirkan kecerdasan yang tidak sekedar
pada strukur kecerdasan kognitif (al-majal al-ma’rifi) semata, tetapi sampai pada
kecerdasan qalbu dengan komponen-komponen yang melekat padanya, seperti:
kecerdasan intelektual (intuitif), kecerdasan moral, emosi, dan kecerdasan spiritual,
serta kecerdasan yang lebih esensial, yaitu kecerdasan beragama atau bertuhan.
Dalam perpsektif psikologi Islami, menumbuhkan mental yang sehat sama dengan
membangun sebuah kecerdasan, kecerdasan qalbu. Kecerdasan qalbu dapat
digambarkan pada kemampuan hati untuk menerima dan membenarkan wahyu/ilham,
dan firasat dari Allah Swt. Karena itu, ciri-cirinya adalah intuitif-ilahiah –
mendahulukan nilai-nilai ketuhanan (teosentris) yang universal daripada nilai-nilai
kemunsiaan (antroposentris) yang temporer. Kecerdasan qalbu inilah terlihat dalam
makna quran surat Al-Hajj ayat 46.

Membangun mental yang sehat akan melahirkan pikiran yang sehat pula. Pikiran yang
sehat adalah ‘pribadi prima’ yang menjauhi sifat-sifat buruk yang dengannya
mendatangkan kebimbangan dan perasaan bersalah, digantikan dengan menghadirkan
sikap mental diajarkan Islam, seperti: menerima apa adanya (qanaah), merasakan
kehadiran Allah Swt (al-muraqabah), meninggalkan yang sia-sia (al-zuhud), syukur (alsyukr); malu (al-haya), jujur (al-shidq), sabar (al-shabr); kerelaan sepenuh hati untuk

menerima takdir (al-ridha), ikhlas (al-ikhlash), kontinuitas/keberlanjutan (al-istiqamah),
penyerahan diri (al-tawakkal), berharap baik (al-raja’) dan sifat-sifat baik lainnya.
Pada lingkungan keluarga, menumbuhkan mental yang sehat harus terus ditradisikan
dengan nilai-nilai dan prinsip Islam sebagai satu keyakinan utuh terhadap pembentukan
pribadi prima. Dalam siklus waktu misalnya, melalui manajemen sholat lima waktu
dalam durasi 24 jam dapat melaksanakan berbagai kegiatan, seperti: aktivitas ibadah
yaumiyah (ibadah mahdah dan ghairu mahdah), aktivitas fisik (olahfisik dan olahraga),
kegiatan sosial kemasyarakatan, kegiatan kekeluargaan dan aktivitas-aktivitas lainnya.
Selain pengelolaan waktu, langkah-langkah pembentukan mental yang sehat dalam
prilaku Islami di lingkungan keluarga dapat dibiasakan, seperti: 1) Aktivitas hubungan
suami istri (jima’) harus dimaknai dalam rangka menunaikan ibadah, di mana berdoa
sebelum dan sesudah berhubungan sebagai wujud syukur; 2) Tidak melakukan
hubungan (jima) pada saat istri sedang menstruasi dan menggantinya dengan ibadahibadah lainnya; 3) Membuat suasana keluarga yang damai, tenang dan harmonis dengan
terus saling menasehati dalam kebaikan (Q.S. Al Asr: 3) Pada saat wanita melahirkan,
keluarga mengucapkan kalimat toyyibah (lafaz-lafazd Allah) dan bayi dikumandangkan
azdan’ 4) Ketika anak sudah berusia tujuh tahun, keluarga melaksanakan aqiqah dengan
penyembelihan seekor kambing untuk dimasak dan dibagikan kepada sanak kerabat;
dan 5) Mengajarkan anak melafazkan nama-nama Allah sambil mengajarkan membaca
Al Quran dalam sejak dini. Melalui pola-pola tersebut, mental yang sehat dengan
penerapan prinsip Islami akan dapat diwujudkan.

Referensi
Hanna Djumhana Bastaman. 1997. Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi
Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mujtaba, Sayyid Musayi. L. 1993. Psikologi Islam. Bandung: Pustaka Hidayah

Dokumen yang terkait

AN ALIS IS YU RID IS PUT USAN BE B AS DAL AM P E RKAR A TIND AK P IDA NA P E NY E RTA AN M E L AK U K A N P R AK T IK K E DO K T E RA N YA NG M E N G A K IB ATK AN M ATINYA P AS IE N ( PUT USA N N O MOR: 9 0/PID.B /2011/ PN.MD O)

0 82 16

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

HUBUNGAN ANTARA LOCUS OF CONTROL DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI PADA MAHASISWA S1–KEPERAWATAN DI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

9 108 28

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN DENGAN PEMBENTUKAN CITRA POSITIF RUMAH SAKIT Studi pada Keluarga Pasien Rawat Jalan RSUD Dr. Saiful Anwar Malang tentang Pelayanan Poliklinik

2 56 65

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN SIKAP REMAJA TERHADAP HUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH(PREMARITAL INTERCOURSE)

0 18 2

PELATIHAN KESEHATAN REPRODUKSI UNTUK MENINGKATKAN KOMUNIKASI EFEKTIF ORANG TUA KEPADA ANAK

8 135 22

ALIANSI RS MUHAMMADIYAH DAN FK PT MUHAMMADIYAH DALAM PERTEMUAN APKKM (ASOSIASI PENDIDIKAN KEDOKTERAN KESEHATAN MUHAMMADIYAH)

0 40 1

KAJIAN PSIKOLOGI ANAK DALAM NOVEL SINAR KARYA AGUK IRAWAN MN

4 53 10

PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH PADA SEKTOR PENDIDIKAN DAN KESEHATAN TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA PROVINSI SUMATERA SELATAN

3 52 68