Universitas Katolik SOEGIJAPRANATA Kredi pdf

Universitas Katolik
SOEGIJAPRANATA
Kredit Mikro sebagai Faktor Penting
Pengembangan UKM:
Telaah Pustaka dan Permasalahan di
Indonesia
WORKING PAPER/156/e/fak/c1/2010

ANGELINA IKA RAHUTAMI
2010

Working Paper. Ika Rahutami

2010

Kredit Mikro sebagai Faktor Penting Pengembangan UKM:
Telaah Pustaka dan Permasalahan di I ndonesia
Angelina I ka Rahutami 1

Abstract


Small and medium enterprise is one of the pillars of economic development.
Although SMEs can be categorized as one of the pillars of the economy, but
SMEs have various limitations of both human resources, financial resources,
technology resources and other things that made it unable to compete with
large business groups. Existing data suggest that SMEs in I ndonesia
contributed to the GDP at current price of more than 50% . To encourage the
development of SMEs is the need for commitment lending to MSMEs. SME
credit is a loan that has a specific risk. To the bank or institution performing
certain incentive schemes need further credit as a reward for lending
undertaken. By doing the revitalization of micro-credit and SMEs in I ndonesia,
it was obvious the development of SME credit showed a significant increase.
Key Words: Small Medium Enterprises, Micro Credit
Usaha kecil menengah merupakan salah satu tiang dalam pembangunan
ekonomi. Meskipun UKM dapat dikategorikan sebagai salah satu tiang perekonomian,
namun UKM memiliki berbagai keterbatasan baik sumber daya manusia, sumber daya
finansial, sumber daya teknologi dan lain sebagainya yang membuatnya tidak mampu
bersaing dengan kelompok Usaha besar.
Kajian ini akan menunjukkan perkembangan kondisi UKM di I ndonesia dan
permasalahan yang dihadapi khususnya dalam Kredit Mikro, serta penelusuran kajian
teori dan pustaka mengenai kredit mikro.


Kondisi UKM di I ndonesia
Di I ndonesia, usaha kecil menengah (UKM) memiliki beragam definisi yang
berbeda antara satu institusi dengan institusi yang lain. Keberagaman definisi mengenai
UKM akan membawa berbagai konsekuensi yang strategis. Berdasarkan UU No. 9/ 1995,
yang dimaksud dengan Usaha Kecil adalah usaha yang memenuhi kriteria: (a) memiliki

1

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Soegijapranata

2

Working Paper. Ika Rahutami

2010

kekekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha; atau (b) memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Pp. 1 miliar; (c)
milik WNI ; (d) berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang

perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung, maupun tidak langsung
dengan usaha menengah atau besar; dan (e) terbentuk usaha orang perseorangan,
badan usaha yang tiduk berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum,
termasuk koperasi.
Sedangkan Usaha menengah (UM) didefinisikan tersendiri melalui I npres No.
10/ 1999. Menurut I npres tersebut, UM adalah entitas usaha dengan asset bersih Rp.
200 juta - Rp. 10 miliar termasuk tanah dan bangunan. Sedangkan Depperindag
mengeluarkan ketentuan sendiri tentang industri skala kecil menengah (I KM) yang
dituangkan

dalam

Keputusan

Menpperindag

(Kepmenpperindag)

No.257/ MPP/ Kep/ 7/ 1997. Di dalam Kepmenpperindag tersebut disebutkan bahwa yang
termasuk dengan I KM adalah usaha dengan nilai investasi maksimal Rp. 5 miliar

termasuk tanah dan bangunan. Definisi yang lain juga ditetapkan oleh BPS yang
membagi jenis I KM berdasarkan besarnya jumlah pekerja, yaitu: (a) kerajinan rumah
tangga, dengan jumlah tenaga kerja di bawah 3 orang termasuk tenaga kerja yang tidak
dibayar, (b) usaha kecil, dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 5 - 9 orang, (c) usaha
menengah, sebanyak 20-99 orang. Di luar kriteria tersebut, masih terdapat beberapa
kriteria yang digunakan BPPN, berbagai LSM, serta para peneliti. Mereka untuk
menggunakan definisi UKM dengan kriteria yang diciptakannya sendiri.
Dalam makalah ini, definisi UKM yang digunakan adalah definisi yang diacu oleh
BI dalam pemberian kredit. Bank I ndonesia cenderung untuk menggunakan kriteria
Usaha Kecil (UK) dengan merujuk pada UU No. 9/ 1995 yang termuat dalam Peraturan
Bank I ndonesia yang berkaitan dengan Pemberian Kredit Usaha Kecil (PBI No.
3/ 2/ PBI / 2001).
Penyaluran Kredit usaha kecil harus dihubungkan dengan perkembangan UKM di
I ndonesia. Dalam tabel 1 terlihat pangsa nilai Produk Domestik Bruto (PDB) yang
dihasilkan oleh UKM terhadap PDB secara keseluruhan. Data yang ada menunjukkan
bahwa UMKM di I ndonesia memberikan kontribusi kepada PDB harga berlaku lebih dari
50% , bahkan pada tahun 2010, kontribusi UMKM mencapai 57,12% sedangkan Usaha
Besar hanya mencapai 42,88% . Di antara UMKM, Usaha mikro memberikan kontribusi

3


Working Paper. Ika Rahutami

2010

terhadap PDB jauh lebih besar dibandingkan dengna usaha kecil dan usaha menengah.
Bila kontribusi usaha menengah dan mikro relatif konstan, maka sebaliknya kontribusi
usaha kecil semakin lama semakin menurun. Rata-rata pertumbuhan UMKM dari tahun
2005-2010 sebesar 18,37% , sedangkan usaha besar sebesaar 15,44% .

Tabel 1. Pangsa UMKM terhadap PDB Harga Berlaku dan Pertumbuhan UMKM
(dalam % )

Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010*


Usaha
Mikro
32,08
32,29
32,17
33,08
33,81

Usaha
Kecil
37,81
10,38
10,32
10,07
9,98
9,85

Proporsi
Usaha

Menengah
16,06
13,77
13,67
13,43
13,47
13,46

Keterangan: * angka sementara
Sumber: Kementrian Koperasi
I ndonesia, www.depkop.go.id

dan

UMKM
53,87
56,23
56,28
55,67
56,53

57,12
Usaha

Kecil

Usaha
Besar
46,13
43,77
43,72
44,33
43,47
42,88
dan

Pertumbuhan
Usaha
UMKM
Besar
19,32

18,19
23,97
14,54
15,81
Menengah

8,47
17,99
27,04
10,63
13,06
Republik

Gambar 1 berikut ini menunjukkan perkembangan investasi sektoral baik di
UMKM maupun di usaha besar.

Sumber: Statistik Usaha Kecil Menengah, Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Republik I ndonesia, www.depkop.go.id

Gambar 1. I nvestasi Sektoral UMKM dan Usaha Besar


4

Working Paper. Ika Rahutami

2010

Dalam gambar tersebut terliat bahwa baik pada tahun 2007 maupuan 2008
investasi sektoral di UMKM lebih besar dibandingkan dengan usaha besar. Pada tahun
2007 investasi di UMKM sebesar Rp 401.100,19 milyar rupiah sedangkan usaha besar
Rp 409.066,89 milyar rupiah. Pada tahun 2008 investasi di UMKM sebesar

Rp

640.375,04 milyar rupiah sedangkan usaha besar Rp 570.320,05 milyar rupiah. I nvestasi
tertinggi baik di UMKM maupun usaha besar terletak pada sektor pengangkutan dan
komunikasi dan sektor jasa.
Pertumbuhan dan proporsi investasi dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.
Pertumbuhan investasi di UMKM maupun di usaha besar pada tahun 2007-2008 hampir
sama yaitu masing-masing 38.88% dan 39,02% . I nvestasi sektoral di UMKM yang

mengalami pertumbuhan paling tinggi adalah sektor bangunan, sedangkan yang paling
rendah adalah sektor jasa.

Tabel 2. Pertumbuhan dan Proporsi I nvestasi UMKM dan Usaha Besar
( dalam % )
SEKTOR
PERTANIAN
PERTAMBANGAN
INDUSTRI PENGOLAHAN
LISTRIK GAS AIR BERSIH
BANGUNAN
PHR
PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI
KEUANGAN
JASA JASA
TOTAL

PERTUMBUHAN 2007-2008
UMKM
UB
56,23
54,32
26,38
29,80
46,48
46,72
28,93
32,22
61,23
60,91
41,78
35,28
54,11
57,58
28,18
28,13
20,21
15,11
38,88
39,42

PROPORSI 2007
UMKM
UB
5,65
2,95
0,30
5,98
9,21
15,33
0,71
17,70
1,07
1,19
19,81
6,39
23,97
23,16
16,25
20,98
23,02
6,32
100,00
100,00

PROPORSI 2008
UMKM
UB
6,35
3,27
0,27
5,57
9,72
16,14
0,66
16,78
1,25
1,37
20,23
6,20
26,60
26,18
15,00
19,28
19,93
5,22
100,00
100,00

Sumber: Statistik Usaha Kecil Menengah, Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Republik I ndonesia, www.depkop.go.id
Yang menjadi permasalahan utama sebenarnya dalam pengembangan UKM,
adalah justru pada sektor usaha kecil (UK). Pada sektor ini seperti diketahui secara
pengalaman dari beberapa negara lain menunjukkan bahwa sektor UK merupakan
sektor yang tidak mendapat kesempatan atau akses yang penuh dalam pembiayaan.

Permasalahan yang dihadapi UKM
Secara umum UKM menghadapi dua permasalahan utama, yaitu masalah
finansial dan masalah nonfinansial (organisasi manajemen). Masalah yang termasuk
dalam masalah finansial di antaranya adalah:

5

Working Paper. Ika Rahutami

2010

a) Kurangnya kesesuaian (terjadinya mismatch ) antara dana yang tersedia yang
dapat diakses oleh UKM
b) Tidak adanya pendekatan yang sistematis dalam pendanaan UKM
c) Biaya transaksi yang tinggi, yang disebabkan oleh prosedur kredit yang cukup
rumit sehingga menyita banyak waktu sementara jumlah kredit yang dikucurkan
kecil
d) Kurangnya akses ke sumber dana yang formal, baik disebabkan oleh ketiadaan
bank di pelosok maupun tidak tersedianya informasi yang memadai
e) Bunga kredit untuk investasi maupun modal kerja yang cukup tinggi
f)

Banyak UKM yang belum bankable, baik disebabkan belum adanya manajemen
keuangan yang transparan maupun kurangnya kemampuan manajerial dan
finansial
Tidak semua Usaha Kecil Menengah memiliki modal yang cukup untuk

mengembangkan usahanya. Upaya mengatasi masalah permodalan, salah satu dapat
dilakukan dengan mengajukan kredit kepada pihak lain, baik perbankan maupun
lembaga keuangan bukan bank. Salah satu fungsi perbankan adalah sebagai lembaga
intermediasi, sehingga perbankan seharusnya berperan besar dalam penyaluran kredit.
Kredit berasal dari bahasa Yunani ( credere) yang berarti kepercayaan, sehingga dasar
pemberian kredit adalah kepercayaan. Unsur-unsur yang terdapat dalam kredit adalah
(Suyatno, 1999):
a) Kepercayaan,

yaitu

keyakinan

si

pemberi

kredit

bahwa

prestasi

yang

diberikannya akan benar-benar diterima kembali dalam jangka waktu tertentu di
masa yang akan datang
b) Waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dan
kontraprestasi yang akan diterima pada masa yag akan datang
c) Degree of risk , yaitu suatu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari
adanya perbedaan jangka waktu tersebut
d) Prestasi, yaitu obyek kredit yang tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi
dapat juga dalam bentuk barang atau jasa.
Secara makro pengucuran kredit akan dapat meningkatkan daya guna uang,
meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang, meningkatkan daya guna dan peredaran
barang, sebagai salah satu alat stabilitas ekonomi, meningkatkan kegairahan berusaha,

6

Working Paper. Ika Rahutami

2010

meningkatkan pemerataan pendapatan, dan sebagai alat untuk meningkatkan hubungan
internasional (Suyatno, 1999). Tujuan dan fungsi kredit dapat dilihat dari dua sisi, yaitu
kreditur (lembaga keuangan) dan debitur (www.bi.go.id) . Bagi lembaga keuangan
kredit ini akan memberikan keuntungan berupa selisih bunga. Pemberian kredit
merupakan kegiatan menyalurkan dana masyarakat (deposito, tabungan, giro) bagi
dunia usaha. Pemberian kredit akan dilakukan berdasarkan unsur keamanan ( safety)
dan keuntungan ( profitability ) yang diharapkan. Maka dari sisi kreditur, pemberian kredit
bertujuan untuk (Suyatno, 1999) :
a) Meningkatkan aktivitas perusahaan agar dapat menjalankan fungsinya guna
menjamin terpenuhinya kebutuhan dana masyarakat
b) Memperoleh laba agar kelangsungan hidup perusahaan terjamin dan dapat
memperluas usahanya
Fungsi dan tujuan kredit bila dilihat dari sisi dunia usaha (debitur), maka kredit
akan memberikan tambahan modal yang dapat dimanfaatkan

bagi perkembangan

usaha, untuk keperluan konsumsi, dan untuk pembelian barang modal.
Jenis kredit menurut penggunaannya dapat dibedakan menjadi (Suyatno, 1999) :
a) Kredit ekspolitasi yaitu kredit berjangka waktu pendek yang diberikan suatu bank
kepada perusahaan untuk membiayai kebutuhan modal kerja perusahaan. Kredit
eksploitasi ini biasa disebut sebagai kredit modal kerja/ kredit produk karena
bantuan modal kerja digunakan untuk menutup biaya eksploitasi perusahaan
secara luas.kredit eksploitasi digunakan untuk pembelian bahan baku, bahan
penolong dan biaya-biaya produksi lainnya
b) Kredit investasi adalah kredit jangka waktu menengah atau jangka panjang yang
diberikan suatu bank kepada perusahaan untuk melakukan investasi atau
penanaman modal. Penanaman modal adalah pembeliaan barang-brang modal
serta jasa yang diperlukan untuk rehabilitasiu/ modernisasi maupun ekspansi
proyek yang sudah ada atau pendirian proyek baru, pembangunan pabrik
maupun pembelian mesin.
Dari sisi yang lain, apabila kita berbicara mengenai pengembangan UKM, maka
kredit mikro atau secara lebih luas kredit UKM merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dalam pengembangan tersebut. Kredit mikro secara luas tidak saja ditujukan
untuk

pengembangan

UKM

tetapi

juga

berguna

untuk

pembangunan

dan

7

Working Paper. Ika Rahutami

2010

pengembangan daerah pedesaan. Kredit mikro juga ditujukan untuk menjangkau
kelompok masyarakat miskin. Kredit mikro dapat dipandang sebagai salah satu
mekanisme utama dalam kehidupan yang berkelanjutan ( sustainable livelihoods) untuk
melindungi area dan lingkungan kelompok tertentu terutama di pedesaan. Pengucuran
kredit mikro dapat dianggap sebagai suatu bentuk intervensi bagi pembangunan baik
pedesaan, kelompok miskin maupun UKM.
Keterbatasan kredit mikro sebagai intervensi pembangunan muncul karena fokus
individualis

dalam

intervensi.

Kredit

mikro

sebagai

intervensi

pembangunan

membutuhkan lingkungan yang mendukung agar sukses. Provisi kredit mikro merupakan
faktor penting tapi bukan faktor cukup dalam menjamin kesuksesan perusahaan kecil.
I nfrastruktur yang mencukupi, kemampuan pengusaha, akses terhadap informasi dan
budaya yang kondusif untuk perusahaan kecil merupakan kondisi penting untuk
kesuksesan perusahaan kecil dan kredit mikro.
Kredit mikro selain dapat dikucurkan melalui lembaga kredit formal (misalnya
perbankan), juga dapat dilakukan melalui lembaga kredit informal. Lembaga Keuangan
Mikro atau Micro Finance I nstitution merupakan lembaga yang melakukan kegiatan
penyediaan jasa keuangan kepada pengusaha kecil dan mikro serta masyarakat
berpenghasilan rendah yang tidak terlayani oleh Lembaga Keuangan formal dan yang
telah berorientasi pasar untuk tujuan bisnis.

Ghate et al (1992) menunjukkan

perbedaan antara pembiayaan formal dan informal.

Perbedaan antara institusi

pembiayaan formal dan informal bersifat cukup fleksibel karena antar negara memiliki
definisi yang berbeda. Sebagian besar perbedaan antara institusi kredit formal dan
informal dapat dilihat dari cara mereka beroperasi. I nstitusi kredit informal memiliki
karakterisktik operasi yang kecil dan fleksibel. Mereka sebagian besar beroperasi pada
area yang terbatas atau pasar yang spesifik. Mereka cenderung

mengirimkan jasa

personal sangat dekat ke lokasi peminjam. Mereka cenderung tidak bersifat birokratis
dan lebih fleksibel dalam tujuan pinjaman, suku bunga, persyaratan kolateral, jangka
wajtu jatuh tempo dan penjadwalan ulang hutang.

Mekanisme Kredit Mikro
Adanya dua institusi yang mungkin menyelenggarakan kredit mikro menunjukkan
bahwa mekanisme kredit mikro selain menggunakan institusi perbankan juga dapat

8

Working Paper. Ika Rahutami

2010

menggunakan skema inovasi bukan bank yang tidak membutuhkan spesifikasi tertentu
dari organisasi kredit. Mekanisme kredit difokuskan pada penggunaan maksimal
infrastruktur

dan

spesialisasi

yang

ada.

Bila

mekanisme

kredit

informal

yang

dikembangkan maka skema kredit harus didisain secara murah dan bersahabat dengan
presepektif debitur.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, terlihat bahwa mekanisme kredit mikro
tidak hanya menaikkan jumlah pelaku bisnis swasta tetapi juga mempromosikan proses
berikut:
a) Pembangunan yang berkelanjutan untuk daerah pedesaan
b) Pembangunan kapasitas otoritas loka dan meningkatkan kemampuan suatu
negara
c) Pembangunan masyarakat sipil pada tingkat lokal
d) Kolaborasi produktif untuk organisasi komersial, non komersial dan pemerintah
Pengembangan skema kredit harus dipusatkan untuk mengimbangi kegagalan
pasar. Komitmen peminjam dan bank pelaksana akan memperbaiki kualitas proyek yang
didanainya. Untuk membatasi risiko distorsi pasar dan penyalahgunaan, maka subsidi
bunga haruslah dihindari.
Pengelolaan kredit program secara efisien memerlukan pertanggungjawaban-diri
dan komitmen pada semua tingkat pelaksanaan. Banyak negara telah mendirikan
lembaga keuangan secon d - t ier ( bank perantara, w h olesale b an k ) untuk mengelola
kredit program. Lembaga tersebut dapat membentuk modal sendiri, menghimpun dana
dari pasar modal, serta memperbaiki koordinasi antara donor, pemerintah, dan sektor
perbankan komersial. Rancangan skema kredit yang tepat, pemilihan bank pelaksana
yang diserahi tanggung jawab, bantuan teknis yang intensif, serta pemantauan dan
evaluasi kinerja yang teratur, merupakan faktor kunci yang mempengaruhi efisiensi dan
efektivitas program.
Dalam merancang skema kredit yang efektif, maka perlu adanya pemabatasan
intervensi pemerintah dalam mengimbangi ketidaksempurnaan pasar. Hal ini disebabkan
karena setiap kredit program yang didanai pemerintah merupakan intervensi terhadap
pasar

kredit.

Mekanisme

mendasar

dimana

pemerintah

dengan

tangan

kanan

mengambil uang dari pasar modal, lalu memberikan kembali kepada pasar modal
tersebut dengan tangan kirinya, hampir pasti pada akhirnya menimbulkan kerugian

9

Working Paper. Ika Rahutami

efisiensi (efficiency losses).

2010
Karena kelemahan itu, skema kredit yang dibiayai

pemerintah seharusnya baru dipertimbangkan kalau ketidaksempurnaan pasar jelasjelas menyebabkan alokasi modal yang kurang optimal.
Beberapa penelitian mengenai kredit mikro secara internasional mengungkapkan
bahwa secara umum ketidaksempurnaan pasar yang terkait dengan kredit UKM terdiri
dari tiga hal berikut:
a) Kekurangan pasokan kredit untuk investasi awal.
b) Kekurangan pasokan kredit investasi (jangka panjang) untuk UKM. Hal ini
disebabkan karena penilaian kredit proyek investasi lebih sulit, memakan waktu
lama, dan mahal, dibanding penilaian kredit modal kerja. Meskipun jumlah kredit
yang diminta agak kecil kalau dibandingkan dengan biaya penilaian, namun
kredit itu sering melibatkan agunan barang tidak bergerak, sehingga perlu
keluwesan dari pihak bank umum dalam hal agunan. Apabila bank tidak mampu
memperoleh pembiayaan jangka panjang yang memadai untuk kredit semacam
itu, misalnya karena dari pasar obligasi belum berkembang, maka mereka
mungkin akan menolak permohonan kredit sekalipun proyeknya menawarkan
arus kas yang baik. Akibatnya, di negara berpenghasilan rendah hingga
menengah, seperti I ndonesia, biasanya UKM sangat sulit memperoleh kredit
investasi
c) Biaya Eksternalitas. I nvestasi tertentu barangkali tidak menarik dari sudut
pandang

pengusaha,

namun

memberikan

manfaat

bagi masyarakat

dan

perekonomian secara keseluruhan.
Skema kredit yang mengikuti praktek baik mempunyai ciri, yang dianggap
merupakan prasyarat untuk menghindari penyelewengan serta menjamin kualitas
proyek dan pengembalian kredit yang wajar adalah:
a) Suku bunga untuk nasabah akhir di atas suku bunga deposito dan melebihi laju
inflasi;
b) Penyertaan dana dari bank umum sekurang-kurangnya 20% ;
c) Komitmen dari nasabah: tiada kredit tanpa agunan
Kredit UKM, merupakan kredit yang memiliki resiko spesifik. Untuk itu bank atau
lembaga yang melaksanakan skema kredit memerlu insentif tertentu sebagai reward
atas penyaluran kredit yang dilakukan. I nsentif itu bisa berbentuk:

10

Working Paper. Ika Rahutami

2010

a) Margin bunga yang menarik dalam skema kredit;
b) Perolehan fee dari skema kredit;
c) Meningkatnya citra, reputasi, dan basis nasabah;
d) Akses pembiayaan kembali (refinancing) yang membaik, langsung melalui skema
kredit, dan secara tidak langsung melalui posisi yang lebih baik pada pasar lokal,
dan terhadap kreditor atau penyedia dana pinjaman dalam maupun luar negeri.
e) Bantuan teknis, seperti pelatihan staf, dukungan pengembangan lembaga,
informasi dan acuan (benchmark) pasar, serta akses gratis atau murah ke
perangkat lunak perbankan.
I dealnya Kredit program memerlukan manajemen dan koordinasi pada dan
antara empat tingkat:
a) Penyedia dana (donor, pemerintah pusat, pemerintah daerah)
b) Lembaga manajemen (second-tier). Lembaga keuangan second-tier adalah suatu
lembaga non-bank atau bank “perantara” (wholesale), yang memobilisasi dana
dan menyalurkannya, dengan persyaratan tertentu, kepada bank. Lembaga ini
dapat memperoleh modal penyertaan, hibah, dan kredit dengan suku bunga
yang lebih rendah daripada yang harus dibayar oleh UKM. Keuntungan lembaga
non-bank sebagai lembaga second-tier adalah tidak terkena peraturan dan
ketentuan perbankan yang membatasi jumlah dana yang ditangani. Aturan itu
dibuat untuk melindungi deposan, dan tidak dimaksudkan untuk mengatur
lembaga keuangan second-tier. Bagi sebuah lembaga non-bank, akan lebih
mudah melakukan kegiatan lain, seperti perbankan syariah atau memberikan
bantuan

teknis

tanpa

harus

membentuk

perusahaan

baru.

Sedangkan

keuntungan suatu bank sebagai lembaga second-tier adalah akses lebih mudah
ke dana lebih murah, misalnya melalui obligasi atau transaksi di pasar uang
antar-bank.
c) Bank pelaksana (first-tier – seringkali terbagi atas kantor pusat dan kantor
cabang)
d) Nasabah akhir (implementasi proyek)
Secara umum, keberhasilan rancangan skema kredit mempunyai gambaran
sebagai berikut:

11

Working Paper. Ika Rahutami

2010

a) Operasi lembaga keuangan second-tier dan programnya didasarkan pada visi
dan misi yang jelas untuk pembangunan yang didukung dengan stafnya.
b) Bank pelaksana bertanggungjawab penuh dalam hal pengembalian kredit
c) Kredit

program

didasarkan

pada

pertimbangan

ekonomis

dan

bukan

pertimbangan politis.
d) Kredit program didasarkan pada permintaan yang kadangkala tersembunyi,
padahal sesungguhnya ada.
e) Bank harus bersaing mendapatkan dana dengan menggunakan prinsip “First

comes, first served”, sehingga hanya bank aktif yang dapat memperoleh pangsa
kredit lebih banyak.
f)

Suku bunga bagi UKM harus lebih rendah daripada prime rate yang diberlakukan
untuk kredit dengan jumlah dan masa pelunasan yang sama.

g) Berdasarkan komitmen dan tanggung-jawab masing-masing, dimungkinkan
untuk penyesuaian persyaratan kredit dan penggunaannya.
h) Pemrosesan pinjaman yang cepat dan keharusan memberi laporan berdasarkan
data yang tersedia, misalnya laporan kepada Bank I ndonesia, menyebabkan
program jadi efisien.
i)

Komponen bantuan teknis merupakan bagian dari keberhasilan program. Karena
itu, pemantauan harus meneliti juga perubahan organisasi dan personel dalam
lembaga ini.
Disamping persyaratan di atas, hal yang perlu diperhatikan oleh bank sebagai

lembaga kredit mikro adalah:
a) Bank harus memiliki dana dan produk tabungan yang cukup. Di samping itu
harus memperhatikan ukuran pinjaman, biaya per unit, biaya perukuran, periode
jatuh tempo, grace period, marjin dan lain sebagainya. Persyaratan ini
dimaksudkan untuk menyediakan fleksibilitas maksimum dalam pinjaman kredit
untuk kaum miskin dan disesuaikan dengan kondisi lokal.
b) Penyaluran kredit mungkin tidak hanya untuk pinjaman konsumsi dan produksi
saja namun juga perlu dipikirkan untuk perbaikan rumah kelompok miskin.
c) Kredit mikro harus menjadi bagian integral dari kredit perusahaan perbankan dan
harus direview secara berkala. Transparansi disain kredit mikro juga dibutuhkan
untuk memperoleh manfaat ayng optimal.

12

Working Paper. Ika Rahutami

d) Sistem

2010

sederhana

mengenai

prosedur

minimum

pengajuan

kredit

dan

dokumentasi kondisi awal merupakan persyaratan yang harus diperhatikan oleh
kredit mikro. Bentuk aplikasi pinjaman, prosedur dan dokumen harus dibuat
secara sederhana.

Hal ini dibutuhkan untuk membantu kelompok miskin agar

dalam mengakses kredit dengan mudah

Hasil Penelitian Terdahulu Mengenai Kredit Mikro
Beberapa

penelitian

mengenai

kredit

mikro

melihat

bahwa

masalah

pemberdayaan pembiayaan mikro dapat disarikan sebagai berikut:
a) Masalah insentif bagi agen peminjam: adverse selection terhadap kemampuan
dan kekayaan peminjam, moral hazard terhadap produktivitas peminjam dan
kemungkinan diversi penghasilan
b) Masalah insentif bagi institusi pembiayaan mikro: moral hazard terhadap usaha
untuk mengumpulkan informasi peminjam, monitoring produktivitas, usaha
mengumpulkan, kemungkinan kolusi pada skrining awal peminjam, tahap
pengumpulan pembayaran kembali pinjaman dan kemungkinan pencurian dakam
pembayaran pinjaman yang dikumpulkan
Literatur mengenai kredit mikro hanya sedikit yang membahas mengenai skrining
kesejahteraan/ kekayaan. hal ini sangat berbeda dengan praktisi kredit yang mengalami
kesulitan untuk mencapai tujuan kredit bagi kelompok miskin. Masalah moral hazard dan

adverse selection dilihat oleh Lewis dan Sappington (2001) dimana kekayaan
mendeterminasi jumlah maksimal yang bisa dibayar oleh peminjam. Lewis dan
Sappington

menunjukkan

bahwa

mekanisme

optimal

pemberian

kredit

adalah

menunjukkan adanya komplemetaritas antara kekayaan dan kemampuan. Malayolti
(2001) menunjukkan bagaimana tingkat kompetisi antara pemberi pinjaman uang yang
mempengaruhi skrining kontrak yang mereka tawarkan ke agen dengan moral hazard
dan tingkat kekayaan yang heterogen.
Hasil studi mengenai dampak dari 13 skema kredit mikro di Asia, Afrika dan
Amerika Selatan dalam menaikkan pendapatan

menunjukkan bahwa manfaat dari

skema kredit mikro tidak berada dalam skala netral. Golongan miskin dengan
pendapatan yang tinggi dan menengah cenderung mendapat manfaat yang lebih

13

Working Paper. Ika Rahutami

2010

dibandingkan dengan golongan termiskin. Beberapa faktor yang menyebabkan adalah
(Hulme and Mosley 1996, Johnson and Rogaly 1997):
a) Rumah tangga atau individu yang lebih sehat memiliki kesempatan investasi
yang lebih besar. Rumah tangga atau individu termiskin sering hanya dapat
melakukan investasi pada investasi yang kurang menguntungkan
b) Golongan dengan pendapatan yang lebih baik memiliki akses yang lebih banyak
akan informasi, sehingga miliki kemampuan yang lebih besar untuk membeli dan
mempelajari informasi pasar
c) Kelompok miskin terkaya memiliki kemampuan untuk mengambil resiko lebih
sehingga memperoleh pendapatan yang lebih tanpa membahayakan kebutuhan
minimal mereka untuk bertahan
d) Sehubungan dengan keterbatasan kesempatan investasi adalah pasar pedesaan
memiliki kapasitas yang terbatas untuk menyerap produk baru dan pasar dapat
dibanjiri dengan relatif cepat produk dan jasa baru. Wirausahawan yang sangat
miskin akan sering tidak dapat memperdagangkan barang atau jasa yang
mereka produksi di pasar kota atau internasional karena keterbatasan dana.
Osmani (dalam Hulme and Mosley 1996) melakukan riset di Banglades
menemukan bahwa sesaat setelah produksi baru distimulasi oleh kredit mikro,
tingkat pendapatan barang yang oversupplied akan lebih kecil dari tingkat
pembayaran pinjaman
e) Kelompok miskin terkaya mampu menginvestasikan lebih dalam nilai absolut
sehingga mengumpulkan pendapatan yang lebih besar dalam bentuk absolut
pula
f)

Jika penggunaan dana tidak spesifik, maka kelompok miskin termiskin akan
cenderung untuk menggunakan proporsi terbesar dari pinjaman untuk konsumsi
dibandingkan dengan kelompok miskin menengah atau kaya

g) Kelompok miskin termiskin sering mengeluarkan diri mereka dari pinjaman
terbesar, tidak ingin untuk mengambil resiko atas akses mereka terhadap kredit
di masa yang akan datang melalui pemenangan reputasi kredit (Johnson and
Rogaly, 1996)
Dalam upaya mengurangi kelemahan kelompok termiskin, studi Hulme and
Mosley (1996) mengenai institusi pembiayaan mikro menemukan hasil berikut:

14

Working Paper. Ika Rahutami

2010

a) Lebih dari setengah institusi pembiayaan mengeluarkan kelompok termiskin dari
skema kreditnya atau memberikan prosentase yang sangat kecil dari skema
kredit
b) I nstitusi yang berhubungan dengan kelompok termiskin, hasil dari pinjaman tidak
hanya menaikkan aset yang dipegang tetapi juga menaikkan tingkat kegagalan
perusahaan
c) Tidak satupun dari institusi mempengaruhi resiko investasi dengan mengurangi
aktivitas
d) Kurang dari sepertiga dari seluruh institusi menyediakan fasilitas tabungan atau
penyimpanan
e) Hanya dua institusi yang memberikan perlakukan khusus selama masa krisis

Kredit Mikro Dan Permasalahannya Di I ndonesia
Menurut

laporan dari Kantor Mentri Negara urusan Koperasi dan UKM,

Pemerintah I ndonesia telah mendukung pengembangan Usaha Kecil dan Menengah
(UKM) dengan kredit program sejak 1974. Kredit program pertama UKM adalah Kredit
I nvestasi Kecil (KI K) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), yang menyediakan
kredit investasi dan modal kerja permanen hingga $75.000 per nasabah, dengan masa
pelunasan kredit hingga 10 tahun, dengan suku bunga bersubsidi. Setelah deregulasi
perbankan pada 1988, kredit UKM dengan bunga bersubsidi secara berangsur dihentikan,
diganti kredit bank komersial. Ketentuan Kredit Usaha Kecil (KUK), yang mengharuskan
bank untuk mengalokasikan 20% portofolio kreditnya untuk kredit usaha kecil, dengan
plafon Rp 250 juta, mendukung proses ini.
Perkembangan berikutnya terjadi antara 1990 dan 2000, dimana Bank I ndonesia
mendanai berbagai kredit program dengan Kredit Likuiditas Bank I ndonesia (KLBI ), yang
dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu:
a) Kredit Usaha Tani (KUT);
b) Kredit Pemilikan Rumah Sederhana/ Sangat Sederhana (KPRS/ SS);
c) Kredit usaha kecil dan mikro yang disalurkan melalui koperasi dan bank
perkreditan rakyat.
Skema kredit yang diberikan oleh BI pada saat itu, tidak satu pun yang terfokus
khusus untuk UKM. Dalam periode ini tujuan sosial menjadi fokus pemberian kredit.

15

Working Paper. Ika Rahutami

2010

Kelompok sasaran utamanya adalah petani kecil dan rumah-tangga individual. Meskipun
demikian, program yang disalurkan melalui koperasi dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
dapat menjangkau usaha kecil.
Setelah krisis finansial tahun 1998, tatanan umum intervensi pemerintah dan
donor secara langsung dalam pembiayaan UKM telah berubah secara mendasar.
Perubahan tersebut dapat disarikan sebagai berikut:
a) Undang-undang No. 23/ 1999 melarang Bank I ndonesia untuk memberikan KLBI .
Sekarang, dana untuk kredit program dalam negeri harus disediakan dari
anggaran

belanja pemerintah. Bank I ndonesia juga kehilangan fungsi untuk

mengelola kredit program yang didukung dengan dana donor.
b) PT Permodalan Nasional Madani (PNM) sebagai lembaga second-tier yang baru,
mengambil alih fungsi Bank I ndonesia dalam menangani kredit program, dan
sedang dalam proses untuk menyederhanakan sejumlah kredit program yang
semula didanai KLBI . Dana pencicilan kredit program yang belum jatuh tempo,
digulirkannya ke bank pelaksana (relending), tetapi Pemerintah sejauh ini belum
menyediakan tambahan dana untuk kredit program. Akibat risiko meningkatnya
nilai tukar valuta asing, sebagian besar donor internasional telah menghentikan
pendanaan kredit program dalam Rupiah.
c) Sejak 1998, ketentuan mengenai KUK dilonggarkan. Pada 4 Januari 2001,
ketentuan tersebut dicabut dan diganti dengan keharusan bank umum untuk
melaporkan pangsa KUK-nya dalam portofolio mereka.
Pada dasarnya Kredit Usaha Kecil (KUK) tidak berbeda dengan kredit lainnya,
hanya pengelompokan kredit dilakukan menurut plafon kredit dan jumlah aset debitur
sesuai dengan ketentuan yang berlaku (www.bi.go.id). Dalam peraturan Bank I ndonesia
(PBI ) No. 3/ 2/ PBI / 2001, diatur pemberian KUK sebagai berikut (www.bi.go.id) :
a) Bank dianjurkan menyalurkan dananya melalui pemberian KUKbank wajib
mencantumkan rencana pemberian KUK dalam RKAT
b) Bank wajib melaporkan pelaksanaan pemberian KUK dalam Laporan Bulanan
Umum
c) Bank wajib mnegumumkan pencapaian pemberian KUK kepada masayarakat
melalui Laporan Keuangan Publikasi
d) Plafon KUK disesuaikan menjadi Rp 500 juta per nasabah

16

Working Paper. Ika Rahutami

2010

e) Bank yang menyalurkan KUK dapat meminta bantuan teknis dari Bank I ndonesia
f)

Pengenaan sanksi dan insentif dalam rangka pencapaian kewajiban KUK
dihapuskan
Gambar 2 berikut menunjukkan penyaluran kredit usaha kecil, mikro dan

menengah di I ndonesia pada bulan Januari 2011 – Februari 2012. Dari data yang ada
terlihat sebagian besar kredit UMKM yang ada terserap oleh usaha menengah, kemudian
diikuti oleh usaha kecil dan terakhir usaha mikro. Bila kredit usaha mikro dan kecil
mengalami pertumbuhan

yang

stabil maka kredit

usaha menengah

cenderung

mengalami pertumbuhan yang jauh lebih tinggi. Bila dilihat dari sisi proporsi kredit maka
pada Februari 2012, usaha mikro, kecil dan menengah berturut-turut memiliki proporsi
19,74% , 31,87% dan 48,39% .

Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan I ndonesia, Bank I ndonesia

Gambar 2. Nilai Kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Dengan dilakukannya revitalisasi kredit mikro dan UKM di I ndonesia, maka
berikut ini disajikan perkembangan kredit UKM berdasarkan jenis penggunaanya. Kredit
UMKM di I ndonesia dibedakan menjadi kredit modal kerja dan kredit investasi. Dari data
yang ada terlihat bahwa kredit UMKM lebih banyak digunakan untuk modal kerja
dibandingkan dengan investasi.

17

Working Paper. Ika Rahutami

2010

Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan I ndonesia, Bank I ndonesia

Gambar 3. Perkembangan kredit usaha kecil berdasarkan jenis penggunaan

Masalah utama pemberian kredit kepada UKM adalah sebagai berikut (Kantor
Mentri Negara urusan Koperasi dan UKM):
a) Masalah kelembagaan, termasuk akses ke bank yang tepat serta pemilihan
lembaha untuk memproses kredit UKM. Di beberapa negara, kredit program
disalurkan dan dikelola oleh second-tier bank . Urusan Kredit Bank I ndonesia
berfungsi sebagai second-tier bank hingga November 1999, ketika Bank
I ndonesia menghentikan pengelolaan kredit program UKM yang didanai
dengan KLBI dan penerusan dana dari donor (TSL = two-step-loans).
Pengelolaan kreditnya sebagian dialihkan ke PT PNM. Lembaga ini terus
melanjutkan administrasi kredit program yang lama. Lembaga ini kecewa
dalam hal mobilisasi dana: Selama 20 bulan terakhir, PNM tidak mendapat
dukungan

Pemerintah

kepercayaan

terhadap

untuk

menerbitkan

kemampuan

obligasi.

Pemerintah

dan

Masih

lemahnya

komitmen

untuk

memperbaiki situasi ekonomi dari dalam, telah diidentifikasi sebagai salah
satu alasan mengapa pasar gagal – atau bereaksi secara berbeda – kalau
dibandingkan dengan di negara lain.
b) Akses baru atau berlanjut terhadap produk yang tepat. Suku bunga pada
masa

yang

akan

datang

merupakan

masalah

yang

lebih

penting

dibandingkan dengan ketersediaan dana. Penerbitan obligasi dengan suku

18

Working Paper. Ika Rahutami

2010

bunga mengambang membuat UKM ragu-ragu untuk investasi mesin, kalau
mereka tidak dapat melunasi kredit dalam jangka waktu 3-5 tahun. Mereka
takut, beban bunga akan meningkat. Disarankan, Pemerintah menawarkan
fasilitas dalam bentuk jaminan untuk mengambil-alih risiko kenaikan suku
bunga. Hal ini akan memungkinkan UKM dan bank membiayai sebagian
investasi dengan dana bergulir jangka menengah. Pemerintah diharapkan
mampu mempengaruhi penurunan suku bunga dibandingkan unsur/ kekuatan
yang lain
c) Sampai tingkat tertentu untuk nasabah pemula: biaya transaksi. Biaya
transaksi akan muncul apabila disyaratkan adanya agunan sebagai salah satu
prasyarat pengambilan kredit. Agunan biasanya berupa sertifikat tanah.
Dengan persyaratan agunan ini dikawatirkan sertifikasi tanah akan mahal,
sehingga menghambat nasabah untuk mengajukan kreditnya
d) Belum terlihatnya transparansi alokasi dana kredit UKM dari pihak bank
e) UKM umumnya belum bankable, sehingga mereka tidak mengetahui secara
pasti

prosedur

pengajuan

kredit,

dan

menyebabkan

UKM

enggan

memanfaatkan fasilitas kredit perbankan

Kesimpulan
Kredit Mikro merupakan salah satu sarana untuk melakukan pembangunan
terutama bagi kelompok miskin, usaha kecil menengah dan masyarakat pedesaan.
Pengelolaan kredit mikro tidak semudah yang dibayangkan karena adanya berbagai
aspek yang harus diperhatikan. I nstitusi yang menyalurkan kredit mikro dapat dilakukan
oleh lembaga formal maupun informal. Skema kredit mikro yang efektif harus
memperhatikan masalah penetapan suku bunga dan adanya lembaga second-tier.
Dalam dunia nyata tidak seluruh upaya penyaluran kredit mikro memenuhi tujuan yang
diharapkan. Masih banyak kredit mikro yang tidak dapat mencapai sasaran obyek yang
telah ditetapkan. Kondisi di I ndonesia sendiri menunjukkan adanya perkembangan yang
pesat di sektor UKM, yang menjadi permasalahan adalah UKM di I ndonesia belum
semuanya mampu mengakses kredit secara sama. Untuk itu masih diperlukan berbagai
upaya dari sisi kebijakan, peraturan dan lembaga yang mampu menyalurkan kredit
secara lebih optimal.

19

Working Paper. Ika Rahutami

2010

Daftar Pustaka
Ghate P(editor) (1992), I nformal Finance, Oxford University Press: Hong Kong
Hulme, D. and P. Mosley (1996) Finance against Poverty, Vol I . Routledge,
Johnson, S. and B. Rogaly (1997) Microfinance and Poverty Reduction. Oxfam, Oxford.
Kementrian
Koperasi
dan
Usaha
Kecil
dan
Menengah
Republik
I ndonesia, www.depkop.go.id
Statistik Usaha Kecil Menengah, Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Republik I ndonesia, www.depkop.go.id
Suyatno, Thomas dkk. 1999. Dasar-Dasar Perkreditan Edisi kelima.PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta

www.bi.go.id

20

Dokumen yang terkait

ANALISIS ELEMEN-ELEMEN BRAND EQUITY PADA PRODUK KARTU SELULER PRABAYAR SIMPATI, IM3, DAN JEMPOL (Studi Kasus Mahasiswa Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Jember)

2 69 20

Hubungan Kualitas Tidur dan Kebiasaan Mengkonsumsi Kopi pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang

11 91 19

PENGARUH PENILAIAN dan PENGETAHUAN GAYA BUSANA PRESENTER TELEVISI TERHADAP PERILAKU IMITASI BERBUSANA (Studi Tayangan Ceriwis Pada Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang Jurusan Komunikasi Angkatan 2004)

0 51 2

PENGARUH TERPAAN LIRIK LAGU IWAN FALS TERHADAP PENILAIAN MAHASISWA TENTANG KEPEDULIAN PEMERINTAH TERHADAP MASYARAKAT MISKIN(Study Pada Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang Pada Lagu Siang Seberang Istana)

2 56 3

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENGGUNAAN HANDPHONE QWERTY DI KALANGAN MAHASISWA (Studi pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2008 Pengguna Handphone Qwerty)

0 37 44

Perilaku Konsumsi Serat pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Tahun 2012

21 162 166

Ketersediaan koleksi informasi primer pada perpustakaan Universitas Satyagama : analisis sitiran dalam skripsi dan tesis

2 58 95

Sistem Informasi Pendaftaran Mahasiswa Baru Program Beasiswa Unggulan Berbasis Web Pada Universitas Komputer Indonesia

7 101 1