Pemanfaatan Karbon Aktif dari Biji Alpukat (Persea americana Mill.) sebagai Adsorben Logam Besi dan Tembaga dalam Limbah Cair Sawit

(1)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alpukat

2.1.1 Sistematika Alpukat

Menurut Anonim (2000), klasifikasi tanaman alpukat adalah sebagai berikut:

Divisio : Spermatophyta Sub divisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Ranales

Familia : Lauraceae Genus : Persea

Species : Persea americana Mill. Gambar 2.1 Buah Alpukat 2.1.2 Nama Lain

Berbagai daerah di Indonesia menyebut buah ini dengan nama yang berbeda, yaitu Jawa Barat (alpuket atau alpukat); Jawa Timur/Jawa Tengah (alpokat); Batak (boah pokat, jamboo pokat); dan Lampung (advokat, jamboo mentega , ja mboo pooa n, pooka t). Nama asing buah alpukat pun berbeda-beda. Di Inggris disebut Avocado; Belanda (Advocaat); Spanyol (Ahuaca -te atau Agua ca te), Perancis (Avocat, Avocatier, Poire, d’avocat); dan Jerman (Aba kato, Advoga to-birne, Agna ca teba um, Avoca to-birne, Avoga te-birne) (Indriani dan Sumiarsih, 1993).


(2)

7 2.1.3 Daerah Asal dan Penyebaran Alpukat

Tanaman alpukat bukan tanaman asli Indonesia. Lahan pusat penyebarannya jauh di belahan bumi sebelah barat, menyebar di dataran rendah dan dataran tinggi Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Pada abad ke-14 dan ke-15 awal pembudidayaan dan pengembangan tanaman ini telah dilakukan oleh dua suku Indian kuno, suku Aztek di Meksiko dan suku Inca di Peru. Diperkirakan tanaman ini telah berada di Indonesia sekitar abad ke-18, yang di bawa oleh para pengelana. Mereka telah menanam biji atau secara tak sengaja mendatangkan bibit atau biji alpukat ke bumi Nusantara (Kalie, 1997).

Di Indonesia tanaman alpukat tumbuh menyebar di dataran rendah sampai ketinggian 1.500 m dpl atau lebih inggi lagi, dengan iklim basah merata sepanjang tahun sampai tipe iklim yang mencapai 1-6 bulan kering. Pada wilayah-wilayah yang memiliki iklim 1-6 bulan kering ini air lahan memegang peranan utama dan merupakan faktor penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pada wilayah ini tanaman alpukat hanya akan tumbuh bila air lahan berada di sekitar 2 m di bawah permukaan tanah, selebihnya tanaman tidak akan tumbuh. Luasnya daerah penyebaran tumbuh alpukat disebabkan oleh sifat genetis masing-masing varietas yang berasal dari leluhurnya pada habitat tumbuh asalnya. Ada varietas alpukat yang cocok untuk dataran rendah, dataran tinggi, dan ada yang untuk dataran lebih tinggi lagi (Kalie, 1997).

2.1.4 Biji Alpukat

Buah alpukat mempunyai biji yang berkeping dua, sehingga termasuk dalam kelas Dicotyledoneae. Kepingan ini mudah terlihat apabila kulit bijinya


(3)

8

dilepas atau dikuliti. Kulit biji umumnya mudah lepas dari bijinya. Pada saat buah masih muda, kulit biji ini menempel pada daging buahnya. Bila buah telah tua, biji akan terlepas dengan sendirinya. Umumnya sifat ini dijadikan salah satu tanda kematangan buah (Indriani dan Sumiarsih, 1993).

Menurut Weatherby (1934), komposisi biji alpukat dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi Biji Alpukat

Air 50,4%

Berat Basah Berat Kering

Abu 1,3% 2,7%

Protein 2,5% 5,0%

Gula Pereduksi 1,6% 3,2%

Gula Non Pereduksi 0,6% 1,2%

Pati 29,6% 60,0%

Pentosa 1,6% 3,3%

Arabinosa 2,0% 4,1%

Ekstrak Eter 1,0% 2,0%

Serat 3,7% 7,2%

Senyawa lain 5,6% 11,3%

Adapun 5,6% senyawa lain adalah fenol dan tanin yang merupakan senyawa alkohol.

2.2 Karbon Aktif

Arang merupakan suatu padatan berpori yang mengandung 85-95% karbon, dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon dengan pemanasan pada suhu tinggi. Ketika pemanasan berlangsung, diusahakan agar tidak terjadi kebocoran udara didalam ruangan pemanasan sehingga bahan yang mengandung karbon tersebut hanya terkarbonisasi dan tidak teroksidasi (Sembiring dan Sinaga, 2003).


(4)

9

Arang selain digunakan sebagai bahan bakar, juga dapat digunakan sebagai adsorben (penyerap). Daya serap ditentukan oleh luas permukaan partikel dan kemampuan ini dapat menjadi lebih tinggi jika terhadap arang tersebut dilakukan aktivasi dengan bahan-bahan kimia ataupun dengan pemanasan pada temperatur tinggi. Dengan demikian, arang akan mengalami perubahan sifat-sifat fisika dan kimia. Arang yang demikian disebut sebagai karbon aktif (Sembiring dan Sinaga, 2003).

Karbon aktif merupakan karbon amorf, yang dapat dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon atau dari arang yang diperlakukan dengan cara khusus untuk mendapatkan permukaan yang lebih luas. Luas permukaan karbon aktif berkisar antara 300-3500 m2/gram dan ini berhubungan dengan struktur pori internal yang menyebabkan karbon aktif mempunyai sifat sebagai adsorben. Karbon aktif dapat mengadsorpsi gas dan senyawa-senyawa kimia tertentu atau sifat adsorpsinya selektif, tergantung pada besar atau ukuran pori-pori dan luas permukaan. Daya serap karbon aktif sangat besar, yaitu 25- 1000% terhadap berat karbon aktif (Sembiring dan Sinaga, 2003).

Karbon aktif dibagi atas 2 tipe, yaitu karbon aktif sebagai pemucat dan sebagai penyerap uap. Karbon aktif sebagai pemucat, biasanya berbentuk serbuk yang sangat halus, diameter pori mencapai 1000A0, digunakan dalam fase cair, berfungsi untuk menghilangkan zat-zat penganggu yang menyebabkan warna dan bau yang tidak diharapkan, membebaskan pelarut dari zat-zat penganggu dan kegunaan lain yaitu pada industri kimia (Sembiring dan Sinaga, 2003).

Karbon aktif sebagai penyerap uap, biasanya berbentuk granular atau pellet yang sangat keras diameter pori berkisar antara 10-200 A0, tipe pori lebih


(5)

10

halus, digunakan dalam fase gas, berfungsi untuk memperoleh kembali pelarut, katalis, pemisahan dan pemurnian gas. Diperoleh dari tempurung kelapa, tulang, batu bara. Arang tulang dibuat dalam bentuk granular dan digunakan sebagai pemucat larutan gula. Demikian juga dengan karbon aktif yang digunakan sebagai penyerap uap dapat diperoleh dari bahan yang mempunyai densitas kecil, seperti serbuk gergaji (Sembiring dan Sinaga, 2003).

Proses pembuatan arang aktif menurut Sembiring dan Sinaga (2003) terdiri dari tiga tahap yaitu:

a. Dehidrasi: proses penghilangan air.

Bahan baku dipanaskan sampai temperatur 170°C.

b. Karbonisasi: pemecahan bahan-bahan organik menjadi karbon.

Temperatur diatas 170°C akan menghasilkan CO, CO2 dan asam asetat. Pada temperatur 275°C, dekomposisi menghasilkan tar, metanol dan hasil sampingan lainnya. Pembentukan karbon terjadi pada temperatur 400–600 0C c. Aktivasi: dekomposisi tar dan perluasan pori-pori.

Dapat dilakukan dengan uap atau CO2 sebagai aktivator

Proses aktivasi merupakan hal yang penting diperhatikan disamping bahan baku yang digunakan. Aktivasi adalah suatu perlakuan terhadap arang yang bertujuan untuk memperbesar pori yaitu dengan cara memecahkan ikatan hidrokarbon atau mengoksidasi molekul-molekul permukaan sehingga arang mengalami perubahan sifat, baik fisika maupun kimia, yaitu luas permukaannya bertambah besar dan berpengaruh terhadap daya adsorpsi (Sembiring dan Sinaga, 2003).


(6)

11

Menurut Sembiring dan Sinaga (2003), metode aktivasi yang umum digunakan dalam pembuatan karbon aktif adalah:

a. Aktivasi kimia: proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan pemakaian bahan-bahan kimia

b. Aktivasi fisika: proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan bantuan panas, uap dan CO2.

Untuk aktivasi kimia, aktivator yang digunakan adalah bahan-bahan kimia seperti: hidroksida logam alkali, garam-garam karbonat, klorida, sulfat, fosfat dari logam alkali tanah dan khususnya ZnCl2, asam-asam anorganik seperti H2SO4 dan H3PO4. Untuk aktivasi fisika, biasanya arang dipanaskan didalam furnace pada temperatur 800-900°C. Oksidasi dengan udara pada temperatur rendah, merupakan reaksi eksoterm sehingga sulit untuk mengontrolnya. Sedangkan pemanasan dengan uap atau CO2 pada temperatur tinggi merupakan reaksi endoterm, sehingga lebih mudah dikontrol dan paling umum digunakan (Sembiring dan Sinaga, 2003).

Karbon aktif sebagai pemucat, dapat dibuat dengan aktivasi kimia. Bahan baku dicampur dengan bahan-bahan kimia, kemudian campuran tersebut dipanaskan pada temperatur 500-900°C. Selanjutnya didinginkan, dicuci untuk menghilangkan dan memperoleh kembali sisa-sisa zat kimia yang digunakan. Akhirnya, disaring dan dikeringkan. Bahan baku dapat dihaluskan sebelum atau setelah aktivasi (Sembiring, 2003).

Karbon aktif sebagai penyerap uap, juga dapat dibuat dengan aktivasi kimia. Sebagai contoh, digunakan serbuk gergaji sebagai bahan dasar dan H3PO4, ZnCl2, K2S atau KCNS sebagai aktivator. Biasanya, seratus bagian


(7)

12

bahan baku yang telah dihaluskan dicampur dengan larutan yang mengandung 50-100 bagian aktivator. Kemudian dipanaskan dalam pencampur mekanik untuk menguapkan air, selanjutnya campuran yang masih panas tersebut dibentuk menjadi blok blok, dihancurkan kembali dan dikarbonisasi pada 500-900°C, didinginkan, dicuci untuk menghilangkan dan memperoleh kembali bahan-bahan kimia yang digunakan untuk selanjutnya dikeringkan (Sembiring dan Sinaga, 2003).

Sifat karbon aktif yang paling penting adalah daya serap. Menurut Sembiring dan Sinaga (2003), ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya serap adsorpsi, yaitu :

a. Sifat Adsorben

Karbon aktif yang merupakan adsorben adalah suatu padatan berpori, yang sebagian besar terdiri dari unsur karbon bebas dan masing- masing berikatan secara kovalen. Dengan demikian, permukaan karbon aktif bersifat non polar. Selain kompisisi dan polaritas, struktur pori juga merupakan faktor yang penting diperhatikan. Struktur pori berhubungan dengan luas permukaan, semakin kecil pori-pori karbon aktif, mengakibatkan luas permukaan semakin besar. Dengan demikian kecepatan adsorpsi bertambah. Untuk meningkatkan kecepatan adsorpsi, dianjurkan agar menggunakan karbon aktif yang telah dihaluskan. Jumlah atau dosis karbon aktif yang digunakan, juga diperhatikan. b. Sifat Serapan

Banyak senyawa yang dapat diadsorpsi oleh karbon aktif, tetapi kemampuannya untuk mengadsorpsi berbeda untuk masing- masing senyawa. Adsorpsi akan bertambah besar sesuai dengan bertambahnya ukuran molekul


(8)

13

serapan dari struktur yang sama, seperti dalam deret homolog. Adsorpsi juga dipengaruhi oleh gugus fungsi, posisi gugus fungsi, ikatan rangkap, struktur rantai dari senyawa serapan.

c. Temperatur

Dalam pemakaian karbon aktif dianjurkan untuk menyelidiki temperatur pada saat berlangsungnya proses. Karena tidak ada peraturan umum yang bisa diberikan mengenai temperatur yang digunakan dalam adsorpsi. Faktor yang mempengaruhi temperatur proses adsorpsi adalah viskositas dan stabilitas termal senyawa serapan. Jika pemanasan tidak mempengaruhi sifat-sifat senyawa serapan, seperti terjadi perubahan warna mau dekomposisi, maka perlakuan dilakukan pada titik didihnya. Untuk senyawa volatil, adsorpsi dilakukan pada temperatur kamar atau bila memungkinkan pada temperatur yang lebih kecil. d. pH (Derajat Keasaman)

Untuk asam-asam organik, adsorpsi akan meningkat bila pH diturunkan yaitu dengan penambahan asam-asam mineral. Ini disebabkan karena kemampuan asam mineral untuk mengurangi ionisasi asam organik tersebut. Sebaliknya bila pH asam organik dinaikkan yaitu dengan menambahkan alkali, adsorpsi akan berkurang sebagai akibat terbentuknya garam.

e. Waktu Kontak

Bila karbon aktif ditambahkan dalam suatu cairan, dibutuhkan waktu untuk mencapai kesetimbangan. Waktu yang dibutuhkan berbanding terbalik dengan jumlah karbon aktif yang digunakan. Seisin ditentukan oleh jumlah karbon aktif, pengadukan juga mempengaruhi waktu singgung. Pengadukan dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada partikel karbon aktif untuk


(9)

14

bersinggungan dengan senyawa serapan. Untuk larutan yang mempunyai viskositas tinggi, dibutuhkan waktu singgung yang lebih lama.

2.3 Limbah

Limbah dalam konotasi sederhana dapat diartikan sebagai sampah. Limbah atau dalam bahasa ilmiahnya disebut juga dengan polutan, dapat digolongkan atas beberapa kelompok berdasarkan pada jenis, sifat dan sumbernya. Berdasarkan pada jenis, limbah dikelompokkan atas golongan limbah padat dan limbah cair. Berdasarkan pada sifat yang dibawanya, limbah dikelompokkan atas limbah organik dan limbah an-organik. Sedangkan bila berdasarkan pada sumbernya, limbah dikelompokkan atas limbah rumah tangga atau limbah domestik dan limbah industri (Palar, 2008).

Pencemaran yang dapat ditimbulkan oleh limbah ada bermacam-macam bentuk. Ada pencemaran berupa bau, warna, suara, dan bahkan pemutusan mata rantai dari suatu tatanan lingkungan hidup atau penghancuran suatu jenis mikroorganisme yang pada tingkat akhirnya akan menghancurkan tatanan ekosistemnya. Pencemaran yang dapat menghancurkan tatanan lingkungan hidup, biasanya berasal dari limbah-limbah yang sangat berbahaya dalam arti memiliki daya racun (toksisitas) yang tinggi. Limbah-limbah yang sangat beracun pada umumnya merupakan limbah kimia, apakah itu berupa persenyawaan-persenyawaan kimia atau hanya dalam bentuk unsur atau ionisasi. Biasanya senyawa kimia yang sangat beracun bagi organisme hidup dan manusia adalah senyawa-senyawa kimia yang mempunyai bahan aktif dari logam-logam berat. Daya racun yang dimiliki oleh bahan aktif dari logam berat akan bekerja sebagai penghalang enzim dalam proses fisiologis atau


(10)

15

metabolisme tubuh, sehingga proses metabolime terputus. Di samping itu bahan beracun dari senyawa kimia juga dapat terakumulasi atau menumpuk dalam tubuh, akibatnya timbul masalah keracunan kronis (Palar, 2008).

Bentuk dari pencemaran akibat buangan industri adalah pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah industri yang mengandung logam berat. Sebagai contoh adalah terjadinya peningkatan kadar merkuri (Hg) dalam perairan Teluk Jakarta (Palar, 2008).

Limbah utama dari industri pengolahan kelapa sawit adalah limbah padat dan limbah cair. Limbah cair industri pengolahan kelapa sawit mempunyai potensi untuk mencemarkan lingkungan karena mengandung parameter bermakna yang cukup tinggi. Salah satu parameter yang dapat digunakan sebagai tolak ukur penilaian kualitas air adalah kandungan logam berat (Manurung, 2004).

Menurut Ngan (2000), kandungan mineral dalam limbah cair sawit dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Kandungan mineral limbah cair sawit

Mineral Konsentrasi (mg/L)

Fosfor 180

Kalium 2.270

Magnesium 615

Kalsium 439

Besi 46,5

Mangan 2

Tembaga 0,89

Menurut Ditjen PPHP (2006), pengolahan limbah cair sawit bertujuan untuk menurunkan kadar limbah agar memenuhi baku mutu lingkungan yang disyaratkan. Proses pengolahan Limbah Pabrik Kelapa Sawit (LPKS) terdiri dari


(11)

16

perlakuan awal dan pengendalian lanjutan. Perlakuan awal meliputi segregasi aliran, pengurangan minyak di tangki pengutipan minyak (fat-pit), penurunan suhu limbah dari 70-80˚C menjadi 40-45˚C melalui menara atau bak pendingin. Setelah segregasi aliran limbah pada PKS kapasitas olah 60 ton TBS/jam, volume air limbah yang diolah berkurang menjadi 700-750 m3/hari.

2. 4 Logam Berat

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak terpisahkan dari benda-benda yang berasal dari logam. Logam digunakan untuk membuat alat perlengkapan rumah tangga, seperti sendok, garpu, pisau, dan berbagai jenis peralatan rumah tangga lainnya. Pesatnya pembangunan dan penggunaan berbagai bahan baku logam bisa berdampak negatif, yaitu munculnya kasus pencemaran yang melebihi batas sehingga mengakibatkan kerugian dan meresahkan masyarakat yang tinggal di daerah perindustrian maupun masyarakat pengguna produk industri tersebut. Hal ini dapat terjadi karena sangat besarnya resiko terpapar logam berat maupun logam transisi yang bersifat toksik dalam dosis atau konsentrasi tertentu (Widowati, et al., 2008).

Logam berat masih termasuk golongan logam dengan kriteria-kriteria yang sama dengan logam-logam lain. Perbedaannya terletak dari pengaruh yang dihasilkan bila logam berat ini berikatan dan atau masuk ke dalam tubuh organisme hidup. Berbeda dengan logam biasa, logam berat biasanya menimbulkan efek-efek khusus pada makhluk hidup. Dapat dikatakan bahwa semua logam berat dapat menjadi bahan racun yang akan meracuni tubuh makhluk hidup. Namun demikian, meski semua logam berat dapat mengakibatkan keracunan atas makhluk hidup, sebagian dari logam-logam berat


(12)

17

tersebut tetap dibutuhkan oleh makhluk hidup. Kebutuhan tersebut berada dalam jumlah yang sangat sedikit. Tetapi bila kebutuhan dalam jumlah yang sangat kecil itu tidak terpenuhi, maka dapat berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup dari setiap makhluk hidup (Palar, 2008).

Menurut Widowati, et al. (2008), berdasarkan tingkat kebutuhannya, logam berat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu:

1. Logam berat esensial; yakni logam dalam jumlah tertentu yang sangat dibutuhkan oleh organisme. Dalam jumlah yang berlebihan, logam tersebut bisa menimbulkan efek toksik. Contohnya adalah Zn, Cu, Fe, Co, Mn, dan lain sebagainya.

2. Logam berat tidak esensial; yakni logam yang keberadaannya dalam tubuh masih blom diketahui manfaatnya, bahkan bersifat toksik seperti Hg, Cd, Pb, Cr, dan lain-lain.

Logam berat dapat menimbulkan efek gangguan terhadap kesehatan manusia, tergantung pada bagian mana dari logam berat tersebut yang terikat dalam tubuh serta besarnya dosis paparan. Efek toksik dari logam berat mampu menghalangi kerja enzim sehingga mengganggu metabolisme tubuh, menyebabkan alergi, bersifat mutagen, teratogen, atau karsinogen bagi manusia maupun hewan (Widowati, et al., 2008).

Kegiatan manusia yang bisa menambah polutan bagi lingkungan berupa kegiatan industri, pertambangan, pembakaran bahan bakar, serta kegiatan domestik lain yang mampu meningkatkan kandungan logam di lingkungan udara, air, dan tanah. Pencemaran logam, baik dari industri, maupun kegiatan domestik, akhirnya sampai ke sungai/laut dan selanjutnya mencemari manusia


(13)

18

melalui ikan, air minum, atau air sumber irigasi lahan pertanian sehingga tanaman sebagai sumber pangan manusia tercemar logam (Widowati, et al., 2008).

2.4.1 Besi (Fe)

Besi adalah logam dalam kelompok makromineral di dalam kerak bumi, tetapi termasuk kelompok mikro dalam sistem biologi. Pada sistem biologi seperti hewan, manusia, dan tanaman, logam ini bersifat esensial, kurang stabil, dan secara perlahan berubah menjadi fero (FeII) atau feri (FeIII) (Darmono, 2010).

Tempat pertama dalam tubuh yang mengontrol pemasukan Fe ialah di dalam usus halus. Bagian usus ini berfungsi untuk absorpsi dan sekaligus juga sebagai eksresi Fe yang tidak diserap. Besi dalam usus diabsorpsi dalam bentuk feritin, dimana bentuk fero lebih mudah diabsorpsi daripada bentuk feri. Feritin masuk ke dalam darah dan berubah bentuk menjadi senyawa transferin. Dalam darah tersebut besi mempunyai status sebagai besi trivalen yang kemudian ditransfer ke hati atau limfa yang kemudian disimpan dalam organ tersebut dalam bentuk feritin dan hemosiderin. Toksisitas terjadi bilamana terjadi kelebihan Fe (kejenuhan) dalam ikatan tersebut (Darmono, 2010).

Keracunan Fe ini dapat menyebabkan permeabilitas dinding pembuluh darah kapiler meningkat sehingga plasma darah merembes keluar. Akibatnya, volume darah menurun, dan hipoksia jaringan menyebabkan asidosis. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa toksisitas akut dari Fe ini menyebabkan lamanya proses koagulasi darah (Darmono, 2010).


(14)

19 2.4.2 Tembaga (Cu)

Tembaga dengan nama kimia cupprum dilambangkan dengan Cu. Unsur logam ini berbentuk kristal dengan warna kemerahan. Dalam tabel periodik unsur-unsur kimia, tembaga menempati posisi dengan nomor atom (NA) 29 dan mempunyai bobot atau berat molekul (BA) 63,546 (Palar, 2008).

Secara alamiah, Cu dapat masuk ke dalam suatu tatanan lingkungan sebagai akibat dari berbagai peristiwa alam. Unsur ini dapat bersumber dari peristiwa pengikisan (erosi) dari batuan mineral. Sumber lain adalah debu-debu atau partikulat-partikulat Cu yang ada dalam lapisan udara, yang di bawa turun oleh air hujan. Melalui jalur non-alamiah, Cu masuk ke dalam suatu tatanan lingkungan aktivitas manusia. Jalur dari aktivitas manusia ini untuk memasukkan Cu ke dalam tatanan lingkungan ada bermacam-macam pula. Sebagai contoh adalah buangan industri yang memakai Cu dalam proses produksinya, industri galangan kapal karena digunakannya Cu sebagai campuran bahan pengawet, industri pengelolaan kayu, buangan rumah tangga, dan lain sebagainya (Palar, 2008).

Gejala yang timbul pada keracunan Cu akut adalah mual, muntah-muntah, mencret, sakit perut hebat, hemolisis darah, hemoglobinurua, nefrosis, kejang dan akhirnya mati. Pada keracunan kronis, Cu tertimbun dalam hati dan dapat menyebabkan hemolisis. Kejadian hemolisis ini disebabkan oleh tertimbunnya H2O2 dalam sel darah merah sehingga terjadi oksidasi dari lapisan sel dan akibatnya sel menjadi pecah (Darmono, 2010).


(15)

20 2.5 Spektrofotometer Serapan Atom

Spektrofotometri serapan atom didasarkan pada penyerapan energi sinar oleh atom-atom netral, dan sinar yang diserap biasanya sinar tampak atau sinar ultraviolet (Gandjar dan Rohman, 2007).

Spektrofotometri serapan atom digunakan untuk analisis kuantitatif unsur-unsur mineral dalam jumlah sekelumit (trace) dan sangat sekelumit (ultratrace). Cara analisis ini memberikan kadar total unsur mineral dalam suatu sampel dan tidak tergantung pada bentuk molekul mineral dalam sampel tersebut. Cara ini cocok untuk analisis sekelumit mineral karena mempunyai kepekaan yang tinggi (batas deteksi kurang dari 1 ppm), pelaksanaanya relatif sederhana, dan interferensinya sedikit (Gandjar dan Rohman, 2007).

Metode spektrofotometri serapan atom berprinsip pada absorpsi cahaya oleh atom. Atom-atom menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Cahaya pada panjang gelombang ini mempunyai cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik suatu atom. Transisi elektronik suatu unsur bersifat spesifik. Dengan absorpsi energi, berarti memperoleh lebih banyak energi, suatu atom pada keadaan dasar dinaikkan tingkat energinya ke tingkat eksitasi (Khopkar, 1985).

Menurut Gandjar dan Rohman (2007), bagian instrumentasi spektrofotometer serapan atom adalah sebagai berikut:

a. Sumber Sinar

Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga (hollow ca thode la mp). Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutup yang mengandung


(16)

21

suatu katoda dan anoda. Katoda berbentuk silinder berongga yang dilapisi dengan mineral tertentu.

b. Tempat Sampel

Dalam analisis dengan spektrofotometer serapan atom, sampel yang akan dianalisis harus diuraikan menjadi atom-atom netral yang masih dalam keadaan azas. Ada berbagai macam alat yang digunakan untuk mengubah sampel menjadi uap atom-atom, yaitu:

1. Dengan nyala (Flame)

Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa cairan menjadi bentuk uap atomnya dan untuk proses atomisasi. Suhu yang dapat dicapai oleh nyala tergantung pada gas yang digunakan, misalnya untuk gas asetilen-udara suhunya sebesar 22000C. Sumber nyala yang paling banyak digunakan adalah campuran asetilen sebagai bahan pembakar dan udara sebagai pengoksidasi. 2. Tanpa nyala (Flameless)

Pengatoman dilakukan dalam tungku dari grafit. Sejumlah sampel diambil sedikit (hanya beberapa µL), lalu diletakkan dalam tabung grafit, kemudian tabung tersebut dipanaskan dengan sistem elektris dengan cara melewatkan arus listrik pada grafit. Akibat pemanasan ini, maka zat yang akan dianalisis berubah menjadi atom-atom netral dan pada fraksi atom ini dilewatkan suatu sinar yang berasal dari lampu katoda berongga sehingga terjadilah proses penyerapan energi sinar yang memenuhi kaidah analisis kuantitatif .


(17)

22 c. Monokromator

Monokromator merupakan alat untuk memisahkan dan memilih spektrum sesuai dengan panjang gelombang yang digunakan dalam analisis dari sekian banyak spektrum yang dihasilkan lampu katoda berongga.

d. Detektor

Detektor digunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui tempat pengatoman.

e. Readout

Rea dout merupakan suatu alat penunjuk atau dapat juga diartikan sebagai pencatat hasil. Hasil pembacaan dapat berupa angka atau berupa kurva yang menggambarkan absorbansi atau intensitas emisi.

Gambar 2.2 Komponen Spektrofotometer Serapan Atom (Harris, 2007)

Gangguan-gangguan (interference) pada Spektrofotometri Serapan Atom adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan pembacaan absorbansi unsur yang dianalisis menjadi lebih kecil atau lebih besar dari nilai yang sesuai dengan konsentrasinya dalam sampel (Gandjar dan Rohman, 2007). Secara luas dapat

Lampu Katoda Berongga

Monokromator Detektor Amplifier

Rea dout

Analit sampel dalam beker Nyala

Bahan Pembakar

Udara


(18)

23

dikategorikan menjadi dua kelompok, yakni interferensi spektral dan interferensi kimia (Khopkar, 1985).

Interferensi spektral disebabkan karena tumpangasuh absorpsi antara spesies pengganggu dan spesies yang diukur, karena rendahnya resolusi monokromator. Interferensi kimia dapat mempengaruhi jumlah atau banyaknya atom yang terjadi di dalam nyala. Gangguan kimia disebabkan karena adanya reaksi kimia selama atomisasi, sehingga mengubah sifat absorpsi (Khopkar, 1985).

2.6 Validasi Metode Analisis

Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu berdasarkan percobaan laboratorium untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita, 2004).

Beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi metode analisis adalah sebagai berikut:

a. Kecermatan

Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Kecermatan ditentukan dengan dua cara, yaitu metode simulasi dan metode penambahan baku (Harmita, 2004).

Metode simulasi (Spiked-placebo recovery) merupakan metode yang dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah analit bahan murni ke dalam suatu bahan pembawa sediaan farmasi (plasebo), lalu campuran tersebut


(19)

24

dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan (kadar yang sebenarnya) (Harmita, 2004).

Metode penambahan baku (standard addition method) merupakan metode yang dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi tertentu pada sampel yang diperiksa, lalu dianalisis dengan metode yang akan divalidasi. Hasilnya dibandingkan dengan sampel yang dianalisis tanpa penambahan sejumlah analit. Persen perolehan kembali ditentukan dengan menentukan berapa persen analit yang ditambahkan ke dalam sampel dapat ditemukan kembali (Harmita, 2004).

b. Keseksamaan (presisi)

Keseksamaan atau presisi diukur sebagai simpangan baku relatif atau koefisien variasi. Keseksamaan atau presisi merupakan ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual ketika suatu metode dilakukan secara berulang untuk sampel yang homogen. Keseksamaan dapat

dinyatakan sebagai keterulangan (repeatability) atau ketertiruan

(reproducibility) (Harmita, 2004). c. Selektivitas (Spesifisitas)

Selektivitas atau spesifisitas suatu metode adalah kemampuannya yang hanya mengukur zat tertentu secara cermat dan seksama dengan adanya komponen lain yang ada di dalam sampel (Harmita, 2004).

d. Linearitas dan rentang

Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon baik secara langsung maupun dengan bantuan transformasi matematika,


(20)

25

menghasilkan suatu hubungan yang proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel (Harmita, 2004).

e. Batas deteksi (Limit of detection) dan batas kuantitasi (Limit of qua ntita tion)

Batas deteksi merupakan jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan, sedangkan batas kuantitasi merupakan kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama (Harmita, 2004).


(1)

20 2.5 Spektrofotometer Serapan Atom

Spektrofotometri serapan atom didasarkan pada penyerapan energi sinar oleh atom-atom netral, dan sinar yang diserap biasanya sinar tampak atau sinar ultraviolet (Gandjar dan Rohman, 2007).

Spektrofotometri serapan atom digunakan untuk analisis kuantitatif unsur-unsur mineral dalam jumlah sekelumit (trace) dan sangat sekelumit (ultratrace). Cara analisis ini memberikan kadar total unsur mineral dalam suatu sampel dan tidak tergantung pada bentuk molekul mineral dalam sampel tersebut. Cara ini cocok untuk analisis sekelumit mineral karena mempunyai kepekaan yang tinggi (batas deteksi kurang dari 1 ppm), pelaksanaanya relatif sederhana, dan interferensinya sedikit (Gandjar dan Rohman, 2007).

Metode spektrofotometri serapan atom berprinsip pada absorpsi cahaya oleh atom. Atom-atom menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Cahaya pada panjang gelombang ini mempunyai cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik suatu atom. Transisi elektronik suatu unsur bersifat spesifik. Dengan absorpsi energi, berarti memperoleh lebih banyak energi, suatu atom pada keadaan dasar dinaikkan tingkat energinya ke tingkat eksitasi (Khopkar, 1985).

Menurut Gandjar dan Rohman (2007), bagian instrumentasi spektrofotometer serapan atom adalah sebagai berikut:

a. Sumber Sinar

Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga (hollow ca thode la mp). Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutup yang mengandung


(2)

21

suatu katoda dan anoda. Katoda berbentuk silinder berongga yang dilapisi dengan mineral tertentu.

b. Tempat Sampel

Dalam analisis dengan spektrofotometer serapan atom, sampel yang akan dianalisis harus diuraikan menjadi atom-atom netral yang masih dalam keadaan azas. Ada berbagai macam alat yang digunakan untuk mengubah sampel menjadi uap atom-atom, yaitu:

1. Dengan nyala (Flame)

Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa cairan menjadi bentuk uap atomnya dan untuk proses atomisasi. Suhu yang dapat dicapai oleh nyala tergantung pada gas yang digunakan, misalnya untuk gas asetilen-udara suhunya sebesar 22000C. Sumber nyala yang paling banyak digunakan adalah campuran asetilen sebagai bahan pembakar dan udara sebagai pengoksidasi. 2. Tanpa nyala (Flameless)

Pengatoman dilakukan dalam tungku dari grafit. Sejumlah sampel diambil sedikit (hanya beberapa µL), lalu diletakkan dalam tabung grafit, kemudian tabung tersebut dipanaskan dengan sistem elektris dengan cara melewatkan arus listrik pada grafit. Akibat pemanasan ini, maka zat yang akan dianalisis berubah menjadi atom-atom netral dan pada fraksi atom ini dilewatkan suatu sinar yang berasal dari lampu katoda berongga sehingga terjadilah proses penyerapan energi sinar yang memenuhi kaidah analisis kuantitatif .


(3)

22 c. Monokromator

Monokromator merupakan alat untuk memisahkan dan memilih spektrum sesuai dengan panjang gelombang yang digunakan dalam analisis dari sekian banyak spektrum yang dihasilkan lampu katoda berongga.

d. Detektor

Detektor digunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui tempat pengatoman.

e. Readout

Rea dout merupakan suatu alat penunjuk atau dapat juga diartikan sebagai pencatat hasil. Hasil pembacaan dapat berupa angka atau berupa kurva yang menggambarkan absorbansi atau intensitas emisi.

Gambar 2.2 Komponen Spektrofotometer Serapan Atom (Harris, 2007)

Gangguan-gangguan (interference) pada Spektrofotometri Serapan Atom adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan pembacaan absorbansi unsur yang dianalisis menjadi lebih kecil atau lebih besar dari nilai yang sesuai dengan konsentrasinya dalam sampel (Gandjar dan Rohman, 2007). Secara luas dapat

Lampu Katoda Berongga

Monokromator Detektor Amplifier

Rea dout

Analit sampel dalam beker Nyala

Bahan Pembakar

Udara


(4)

23

dikategorikan menjadi dua kelompok, yakni interferensi spektral dan interferensi kimia (Khopkar, 1985).

Interferensi spektral disebabkan karena tumpangasuh absorpsi antara spesies pengganggu dan spesies yang diukur, karena rendahnya resolusi monokromator. Interferensi kimia dapat mempengaruhi jumlah atau banyaknya atom yang terjadi di dalam nyala. Gangguan kimia disebabkan karena adanya reaksi kimia selama atomisasi, sehingga mengubah sifat absorpsi (Khopkar, 1985).

2.6 Validasi Metode Analisis

Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu berdasarkan percobaan laboratorium untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita, 2004).

Beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi metode analisis adalah sebagai berikut:

a. Kecermatan

Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Kecermatan ditentukan dengan dua cara, yaitu metode simulasi dan metode penambahan baku (Harmita, 2004).

Metode simulasi (Spiked-placebo recovery) merupakan metode yang dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah analit bahan murni ke dalam suatu bahan pembawa sediaan farmasi (plasebo), lalu campuran tersebut


(5)

24

dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan (kadar yang sebenarnya) (Harmita, 2004).

Metode penambahan baku (standard addition method) merupakan metode yang dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi tertentu pada sampel yang diperiksa, lalu dianalisis dengan metode yang akan divalidasi. Hasilnya dibandingkan dengan sampel yang dianalisis tanpa penambahan sejumlah analit. Persen perolehan kembali ditentukan dengan menentukan berapa persen analit yang ditambahkan ke dalam sampel dapat ditemukan kembali (Harmita, 2004).

b. Keseksamaan (presisi)

Keseksamaan atau presisi diukur sebagai simpangan baku relatif atau koefisien variasi. Keseksamaan atau presisi merupakan ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual ketika suatu metode dilakukan secara berulang untuk sampel yang homogen. Keseksamaan dapat

dinyatakan sebagai keterulangan (repeatability) atau ketertiruan

(reproducibility) (Harmita, 2004). c. Selektivitas (Spesifisitas)

Selektivitas atau spesifisitas suatu metode adalah kemampuannya yang hanya mengukur zat tertentu secara cermat dan seksama dengan adanya komponen lain yang ada di dalam sampel (Harmita, 2004).

d. Linearitas dan rentang

Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon baik secara langsung maupun dengan bantuan transformasi matematika,


(6)

25

menghasilkan suatu hubungan yang proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel (Harmita, 2004).

e. Batas deteksi (Limit of detection) dan batas kuantitasi (Limit of qua ntita tion)

Batas deteksi merupakan jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan, sedangkan batas kuantitasi merupakan kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama (Harmita, 2004).