Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mempertanyakan Doktrin Kristen Anti Perceraian di GMIST Mahanaim dari Perspektif Hermeneutik Poskolonial Terhadap Matius 19:1-12 T2 752012023 BAB IV

BAB IV
Analisa Kritis Terhadap Penafsiran Teks Matius 19:1-12 dalam Perspektif Perempuan di
GMIST Mahanaim yang Mengalami Diskriminasi Akibat Perceraian
dalam Konteks Keluarga, Gereja dan Masyarakat

4.1 Pendahuluan
Pengalaman diskriminasi yang terjadi dalam konteks gereja, masyarakat, keluarga
terhadap perempuan yang bercerai dan konteks Matius serta dominasi Romawi telah dijabarkan
dalam Bab II dan Bab III. Pada Bab IV sebagai kelanjutan dari tulisan ini penulis akan
melakukan analisa kritis terhadap tafsiran teks Matius 19:1-12 dengan berpijak pada perspektif
perempuan yang mengalami diskriminasi dalam konteks keluarga, gereja dan masyarakat. Dalam
proses analisa kritis terhadap teks Matius 19:1-12 maka penulis akan mengawalinya dengan dua
pertanyaan penuntun yaitu apakah teks Matius 19:1-12 memunculkan konsep Tuhan yang
menyatakan kasihNya melalui perceraian? dan apakah teks Matius 19:1-12 dapat memberikan
keadilan dan kemerdekaan bagi para korban yang mengalami diskriminasi dan kekerasan.

4.2 Tatanan Nilai Baru dalam Matius 19: 1-12 Merupakan Resistensi terhadap Tatanan
Nilai dalam Dominasi Romawi.
Teks Matius merupakan bentuk perlawanan dari konteks subordinasi terhadap kekuasaan
Romawi.1 Dalam pencapaian tujuan itu Matius mengangkat konsep tatanan hidup manusia yang
berada dalam kekuasaan Kerajaan Allah yang memberikan pembebasan dari keterikatan berdasar


1

R. S. Sugirtharajah, A Postcolonial Commentary On the New Testament Writing, 70-73.

109

pengaruh konsep tatanan hidup masyarakat dalam tirani kekaisaran Romawi yang lebih
menunjukkan dominasi pejuratif. Matius mengkontekstualisasikan pentingnya silsilah Yesus
pada bagian awal yang tidak menampilkan kekayaan konvensional, kekuasaan dan status sosial
tetapi dalam kaitan dengan tujuan Allah. Yesus sebagai pribadi yang hadir dalam ketertindasan
umat mengungkapkan tiga hal yang berkaitan dengan nubuat pembebasan dalam Perjanjian
Lama yang bersifat anti terhadap dominasi pejuratif:2
1. Yesus dalam bahasa Ibrani Yosua berarti membawa pembebasan terhadap umat dari
perbudakan di Mesir menuju tanah perjanjian Allah.
2. Penjajahan merupakan bentuk hukuman atas dosa Israel, namun loyalitas Allah terhadap
janji penyertaan terhadap umat akan membawa pembebasan dari bentuk penjajahan, seperti yang
diungkapkan pemazmur dalam Mazmur 130: 8.
3. Yesus adalah Immanuel, merupakan kutipan dari Yesaya 7-9 yang menggambarkan
keberpihakkan Allah terhadap Israel yang akan mendapatkan pembaharuan hidup yaitu

pembebasan dari penderitaan akibat kesewenangan kekuasaan kekaisaran.
Uraian ketiga hal ini mengarah pada dimensi utama yaitu kehadiran Yesus merupakan
manifestasi dari tujuan Allah, kebesaranNya tidak berdasar pada kekuatan militer, kekayaan,
kepentingan pribadi yang eksploitatif melainkan kebesarannya terletak pada penyelamatan dari
beragam bentuk dominasi pejuratif yang selama ini telah dilakukan oleh kekaisaran Roma.
Narasi Matius memperkenalkan Yesus sebagai seseorang yang membangun komunitas
dengan mengutamakan kehidupan dan kesejahteraan bersama. Yesus memperkenalkan sistem
yang tidak bergantung pada status dari kekuasaan dan kekayaan, melainkan sistem yang
melahirkan tindakan-tindakan yang memberikan kesejahteraan bagi manusia. Yesus berkata

2

Sugirtharajah, A Postcolonial Commentary On the New Testament Writing, 78-80.

110

kepada para murid "kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah
rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas
mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu,
hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu,

hendaklah ia menjadi hambamu."3
Perjalanan dari Galilea ke Yudea (ayat 1) merupakan bagian dari proses perwujudan misi
pemerintahan Allah yang akan memunculkan kesejahteraan terhadap manusia melalui jalan salib.
Tema sentral pemerintahan Allah yang memproklamirkan kesiapan diri melalui penderitaan
dengan misi penyelamatan manusia karena dosa sehingga mereka harus mengalami penaklukan
Yerusalem oleh Roma pada tahun 70 ZB, memunculkan perbedaan signifikan dengan pusat
kekuasaan pemerintahan elit di Yudea dan Galilea yang berada di bawah dominasi Roma. Jalan
salib yang menggambarkan keadaan Yesus sebagai manusia yang siap menderita menunjukkan
sikap intoleran terhadap setiap bentuk ketidakadilan, kekerasan, kepentingan akan tirani
kekuasaan kekaisaran Roma dan memunculkan pemahaman baru yang lebih memberikan tempat
kepada setiap individu memiliki harapan untuk hidup sebagai pribadi yang merdeka terlepas
dari beragam bentuk penindasan, penganiayaan. Pemerintahan Allah meniadakan strukturstruktur kolonial, memunculkan compassion menuju pada kebebasan dan kemerdekaan yang
menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, kesederajatan, dan penyelamatan universal menyentuh
setiap aspek yang meliputi kosmik, politik, sosial dan individu.4
Gundry memaparkan bahwa kehadiran Yesus di Galilea dan Yudea merupakan persiapan
perwujudan nubuatan berakhirnya masa-masa kegelapan hidup tergantikan dengan hidup yang

3
4


Warren Carter, Matthew and Empire: Initial Exploration, 10.
Sugirtharajah, A Postcolonial Commentary On the New Testament Writing, 80-82.

111

dipenuhi kesejahteraan (Mat 4: 12-17) melalui penderitaan, kematian dan kebangkitan yang akan
dialami oleh Yesus.5 Menurut Riyadi Yesus kembali ke Yudea merupakan rancangan Tuhan
sehingga Yudea dapat menerima Yesus sebagai raja orang Yahudi.6
Kemampuan Yesus memulihkan mereka yang sakit berimplikasi pada kekuatan dan
kekuasaan pemerintahan Allah yang tidak terbatas. Yesus sebagai representasi kehadiran Allah
telah memproklamirkan compassion dalam kedaulatan Allah melalui tindakan-tindakan konkrit
dan praktis seperti, kepedulian terhadap mereka yang terbelenggu penyakit. Terlihat pada ayat 2
aktivitas Yesus saat di Perea adalah memberikan kesembuhan bagi orang-orang yang sakit.
Tindakan Yesus memberikan mujizat penyembuhan merupakan bagian dari hadirnya kerajaan
Allah.7 Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam Bab III bahwa tema sentral dalam Matius
adalah hadirnya Kerajaan Allah, maka tindakan-tindakan penyembuhan yang dilakukan oleh
Yesus memperlihatkan keaktifan Allah untuk menjangkau dan memberkati umatNya.8
Kemampuan berempati pada pengalaman hidup manusia yang menderita karena kelemahan fisik
memberikan penegasan dalam pemerintahan Allah tidak berlaku kekuasaan yang otoriter,
kekuasaan yang berdiri atas dasar asas kepentingan elit penguasa Romawi melainkan meletakkan

dasar kesejahteraan dalam keutuhan jati diri setiap individu yang layak hidup merdeka, sejahtera
tanpa terpasung oleh otoritas para elit penguasa. Kuasa penyembuhan yang diangkat oleh Matius
menjadi peneguhan identitas Yesus sebagai pembebas dari setiap penderitaan sehingga
memberikan kepastian bagi setiap orang untuk menata hidupnya sesuai dengan tatanan hidup

5

Robert H. Gundry, Commentary on Matthew: Commentary on the New Testament Book (Michigan: Baker
Academic, 2010), 112. Robert H. Gundry, Matthew: A Commentary on His Handbook for a Mixed Church under
Persecution (Michigan: Wm. B. Eerdmans, 1994), 375.
6
Riyadi, Matius: Sungguh Ia ini adalah Anak Allah, 171.
7
Gundry, Matthew: A Commentary on His Handbook for a Mixed Church under Persecution, 376.
8
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2, 34.

112

yang diajarkan Yesus. Tatanan hidup dalam pengajaran Yesus memperlihatkan perbedaan

signifikan dengan tatanan hidup yang diatur sesuai kepentingan penguasa Romawi.
Tatanan hidup masyarakat yang berada dalam kekuasaan Romawi terpusat pada aturanaturan yang diberlakukan oleh kaisar sebagai representasi dari kehadiran dewa, yang selalu
berpihak dan memberikan profit bagi kekaisaran atau pun para elit penguasa. Kaisar Domitianus
mewajibkan setiap orang yang berada di bawah kekuasaan Romawi termasuk orang Kristen
untuk tunduk terhadap aturan-aturannya seperti menyembah dirinya sebagai dewa dan membayar
pajak. Ketaatan terhadap aturan kaisar Domitianus bersifat mutlak, konsekuensi yang harus
diterima seseorang atas ketidaktaatannya adalah dieksekusi. Pengalaman penganiayaan pernah
dialami oleh orang-orang Kristen pada masa Kaisar Domitianus pada tahun 91-96 ZB.
Tindakan-tindakan anarkis, radikal

ataupun sporadis dari kekaisaran dilakukan untuk

mempertahankan kekuasaan. Intimidasi terhadap stuktur sosial, agama dan kesewenangan politik
seringkali terjadi, sehingga perlakuan kejam dan penganiayaan menjadi model konkrit dalam
kontruksi sosial masyarakat. Pola hidup yang dianut oleh kekaisaran menjadi pola hidup yang
wajib dianut oleh masyarakat. Pola hidup yang pada umumnya menggambarkan kemewahan,
hedonisme, mengumbar nafsu seksual seperti gaya hidup kaisar Domitianus, huru-hara dan
tindakan-tindakan diskriminatif bagi masyarakat kelas bawah.
Dalam Bab III telah diuraikan dominasi pemerintahan Romawi disetiap daerah jajahan,
termasuk setting penulisan Injil Matius tidak terlepas dari dominasi Romawi. Romawi

merupakan kerajaan adikuasa yang menjalankan politik pemerintahan dengan cara-cara
eksploitatif dan anarkis. Cara-cara eksploitatif, tindakan-tindakan anarkis sarat dengan
kekejaman penguasa telah menindas daerah dan masyarakat di daerah koloni. Bahkan agama
menjadi kendaraan politik untuk mempertahankan kekuasaannya. Legalitas nilai religius
113

terhadap tindakan kekaisaran diperoleh dari nilai yang ditanamkan dalam agama bahwa kaisar
merupakan representasi kehadiran dewa, sehingga para kaisar dapat memiliki keleluasaan dalam
menjalankan pemerintahan sesuai kehendak hatinya. Hal ini menanamkan pandangan bahwa
tindakan kaisar berdampak negatif tetap dipahami sebagai tindakan yang dikehendaki oleh dewa
terhadap umat. Dari faktor ekonomi, ekspresi eksploitatif pemerintah Romawi berwujud pada
pemberlakuan pajak yang sangat tinggi bagi masyarakat koloni untuk menunjang perekonomian
Romawi. Penindasan semakin merajalela, saat praktik korupsi dilakukan oleh para masyarakat kelas
atas yang bertugas menarik pajak dari masyarakat kelas bawah. Penolakan pemberian pajak akan
berdampak buruk untuk masyarakat koloni yang berada dalam yuridiksi umum pemerintah Romawi,
mengingat pemberontakan terhadap ketetapan Romawi akan mendatangkan konsekuensi hukum.
Konsekuensi hukum yang diberikan untuk setiap bentuk pemberontakan tergantung dari setiap
keputusan peradilan yang mengadili. Hukuman yang akan diberikan dari setiap bentuk pelanggaran
aturan pemerintah Romawi mulai dari hukuman denda, dijual sebagai budak, kerja paksa seumur
hidup, hukuman cambuk, penyaliban, seorang perawan “vestal” yang mengingkari sumpah untuk

hidup suci menerima konsekuensi hukum dengan cara dikubur saat masih hidup.9 Dari faktor
sosial, terdapat kesenjangan sosial yang sangat signifikan antara masyarakat kelas atas dan kelas
bawah. Masyarakat kelas atas hidup makmur, sementara masyarakat kelas bawah harus hidup
dengan makanan murah dengan gizi yang sangat kurang sehingga seringkali rentan dengan
penyakit. Kondisi diatas menunjukkan penindasan, kemiskinan, diskriminatif nampak menjadi
bagian yang signifikan dalam kehidupan masyarakat koloni yang berada di bawah dominasi
Romawi.
Selain mendapatkan tekanan dari dominasi Romawi, kekristenan juga menghadapi
tekanan dari umat Yahudi. Orang-Orang Yahudi Kristen yang telah hidup dalam pengajaran
9

Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula, 28.

114

Yesus dengan konsep kasih universal, menolak memberikan dukungan pemberontakan terhadap
dominasi Romawi kepada para kaum Zelot. Hal ini berdampak pada keretakan hubungan sosial
antara umat Yahudi dan orang-orang Kristen Yahudi. Permusuhan dikumandangkan oleh para
pemimpin agama yang menyebarkan isu bahwa kekristenan merupakan ajaran sesat.
Pemerintahan Allah yang ditampilkan oleh penulis Matius merupakan antitesis dari

pemerintahan Romawi yang bersifat destruktif dan sikap permusuhan yang disebarkan oleh para
pemimpin Yahudi kepada umat Yahudi terhadap kekristenan.
Dalam kepentingan ini maka Matius pada ayat 1 memperlihatkan adanya keterkaitan teks
Matius 19:1-12 dengan perikop-perikop sebelumnya. Matius 19:1-12 merupakan kesatuan dari
bagian ajaran-ajaran Yesus yang terdapat dalam pasal sebelumnya. Pasal 5-7 (khotbah di bukit),
pasal 10 (pengutusan para rasul) dan pasal 18 (kesatuan dalam berjemaat) tentang peraturanperaturan yang terfokus pada tatanan hidup bersama dalam berjemaat.10 Hal ini terlihat dari
penggunaan kalimat yang khas dalam penulisan Matius saat memperlihatkan keterkaitan antara
beberapa perikop dengan perikop berikutnya, seperti yang terdapat dalam Matius 19: 1 dimulai
dengan kata Kai evge,neto (dan terjadilah) kemudian diikuti dengan kata tou.j lo,gouj tou,touj(
lo,gouj (perkataan-perkataan).11 Nilai-nilai yang ditanamkan oleh Yesus adalah nilai-nilai yang
terorientasi pada kepentingan bersama, dan kesetaraan diantara relasi yang terbangun antar
sesama manusia. Nilai-nilai yang dibangun oleh Matius melalui

figur Yesus merupakan

resistensi terhadap nilai-nilai yang dianut oleh penguasa Romawi.

10

Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian

Baru, 128-140.
11
BGM Morph + Barclay-Newman, BibleWorks 6.

115

Penulis Matius ingin menunjukkan pengajaran Yesus tentang tanggung jawab orang
beriman pada pasal 18 berlanjut pada pasal 19 yang lebih khusus menyoroti tentang tanggung
jawab suami atau istri dalam pernikahan (Matius 19). Tanggung jawab manusia dalam tulisan
Guthrie mengarah pada ketaatan terhadap peraturan Allah, seperti yang ada dalam ketetapan
Perjanjian Lama tentang janji kesetiaan antara suami dan istri. Janji kesetiaan ini harus bersifat
universal karena berkaitan dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah bagi manusia,
dengan demikian kesuciaan keluarga merupakan perintah dan ketetapan Allah yang harus ditaati.
Pandangan ini menuntut totalitas dalam mengemban tanggung jawab, jika manusia hidup hanya
terorientasi pada kepentingan diri sendiri maka ia tidak dapat menjalankan tuntutan ini. Ketaatan
yang diberlakukan bukan bentuk pembelengguan terhadap kemerdekaan manusia tetapi
menuntun manusia untuk memiliki penyerahan sepenuh hati kepada Allah.12
Tatanan nilai yang dibangun oleh Matius melalui figur Yesus merupakan resistensi
terhadap tatanan nilai yang dianut oleh penguasa Romawi. Tatanan nilai dalam pengajaran Yesus
berporos pada kasih universal yang terarah pada kontruksi relasi antar manusia dengan Allah dan

sesamanya (Khotbah di bukit pasal 5-7; 22: 37-40). Pelayanan kasih secara universal menyentuh
setiap pribadi yang tersisih dan terdiskriminasi karena situasi politik dan sosial pada masa
imperialisme Romawi.
Tindakan Yesus di Perea yang memberikan kuasa pemulihan, memperlihatkan
pemerintahan Kerajaan Allah sebagai pembebas, memberikan harapan hidup, dan menghadirkan
suasana yang penuh dengan kesejahteraan. Pemerintahan Allah memiliki perbedaan signifikan
dengan pemerintahan di bawah sistem imperialisme Romawi dan pembebasan dari aturan-aturan
para pemimpin Yahudi yang lebih bersifat diskriminatif seperti diuraikan dalam Bab III.

12

Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1 (Jakarta: Gunung Mulia, 2013), 153-154.

116

Sementara pemerintahan Allah memunculkan nilai-nilai hidup baru dengan mengedepankan
kasih secara universal tanpa batasan-batasan yang dibuat oleh manusia dan menjadi dasar
konstrukstif dalam interaksi antara Allah dan sesama manusia, secara khusus kontruksi relasi
antara suami dan istri yang seimbang.

4.3 Salah Satu Wujud Kasih Allah adalah Perceraian
Kasih Allah yang universal berarti menjangkau setiap pribadi yang berbeda status sosial,
berbeda jenis kelamin, berbeda budaya ataupun agama. Hal ini juga merupakan kritik terhadap
pemberlakukan khusus atau istimewa terhadap orang-orang tertentu dalam masyarakat YunaniRomawi. Kehidupan yang layak, kasih, penghormatan, penghargaan hanya nampak pada
masyarakat yang memiliki status sosial yang tinggi seperti, kaisar beserta dengan para pejabat
kekaisaran, para bangsawan, para pemimpin agama, dan berjenis kelamin laki-laki. Sementara
masyarakat yang berasal dari status sosial rendahan, atau berjenis kelamin perempuan seringkali
mendapat perlakuaan yang semena-mena. Kasih yang universal melampaui batasan status sosial
dan jenis kelamin, oleh sebab itu tidak ada perlakuan-perlakuan khusus terhadap orang-orang
tertentu. Semua orang mendapatkan perlakuan yang sama karena kasih Tuhan tertuju kepada
setiap manusia. Dengan demikian seorang suami harus dapat memperlakukan istri dengan penuh
kasih dan begitu pula sebaliknya. Kasih dalam pernikahan terwujud dalam penerimaan terhadap
pasangan sebagaimana adanya, perceraian yang berdasarkan kehendak hati suami secara pribadi
dalam praktik pernikahan Romawi dengan alasan-alasan yang sederhana mengungkapkan
kelunturan kasih karena lebih terfokus pada kecintaan terhadap diri sendiri.

117

Wujud dari kasih secara universal dimunculkan Matius dalam keseimbangan kontruksi
relasi antara suami istri pada ayat 3-12, Yesus memberi respon pertanyaaan orang Farisi dan
tanggapan dari para murid dengan mendekonstruksi pola rumah tangga yang diadopsi dari
aturan-aturan imperialisme Romawi serta tradisi Yahudi. Dalam bab III telah diinformasikan
bahwa sebelum akhir periode republik dalam pernikahan Romawi tidak memperkenankan
perceraian. Namun sejak awal periode kekaisaran, perceraian dapat dengan mudah dilakukan.
Seseorang dapat menceraikan istri atau suami secara bebas, bahkan tindakan bercerai tidak
mendapatkan konsekuensi hukum ataupun stigma moral dari masyarakat. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa dalam realitas hidup berkeluarga, perceraian tidak dipandang sebagai
persoalan yang mendapatkan perhatian signifikan, nikah-cerai adalah hal biasa dalam masyarakat
Romawi. Namun hal ini tidak berarti menggambarkan kontruksi relasi yang setara antara lakilaki dan perempuan dalam keluarga Romawi.
Konsep rumah tangga Romawi ataupun Yahudi tidak dibangun atas dasar kemitraan
setara antara laki-laki dan perempuan. Dari pemaparan Bab III nampak bahwa suami memiliki
kekuasaan mutlak terhadap istri, anak bahkan para budak, bahkan suami memiliki hak untuk
membunuh istri dan anaknya tanpa guguatan hukum. Istri dalam hal ini hanya dipandang sebagai
properti suami, perantara penghasil keturunan. Konsep ini mengikat istri, anak dan para budak
untuk tunduk terhadap aturan ataupun keputusan suami yang diabsahkan oleh para elit penguasa,
sehingga perempuan dalam konsep rumah tangga Romawi ataupun Yahudi mengalami
ketertindasan, dan menjadi korban dari ketidakadilan. Konsep hierarki, patriakhi dan yang lebih
dominan dalam imperialisme Romawi menunjukkan ketidakadilan, bias gender.13
Konsep hierarkis, patriakhi dalam aturan Yahudi tidak jauh berbeda dengan Romawi.
Terdapat ketimpangan-ketimpangan peran antara suami-istri dalam rumah tangga Yahudi, seperti
13

Sugirtharajah, A Postcolonial Commentary On the New Testament Writing, 89.

118

suami lebih memiliki peran yang dominan dalam pengambilan keputusan dalam rumah tangga.
Kekuasaan dan keputusan suami yang dijadikan parameter dalam kehidupan rumah tangga.
Dalam rumah tangga kedudukan istri berada pada kekuasaan suami, pandangan ini berkaitan
dengan pandangan Yahudi tentang perempuan. Perempuan dipandang hanya sebagai perantara
penghasil keturunan, tidak heran jika fenomena poligami merebak dalam Yahudi. Untuk
kepentingan menghasilkan keturunan maka suami diberikan kebebasan untuk berpoligami
sementara istri tidak diizinkan untuk memiliki suami lebih dari satu (Kej 4:19, 29:23.30 36:2; 1
Sam.1:2), nampak bahwa posisi istri dinilai lebih rendah dari suami. Perempuan juga
digambarkan sebagai mahkluk yang lemah, pasif, bahkan perempuan sangat berkonotasi negatif
karena dianggap sebagai kaum yang mudah untuk dirayu dan penggoda laki-laki.14
Pada konteks keagamaan, kekudusan dan kemurnian perempuan dalam relasi dengan
Allah dikategorikan lebih rendah daripada laki-laki. Dalam hal kultus persembahan, maka
persembahan kurban dari laki-laki dipandang lebih bernilai daripada persembahan kurban dari
perempuan. Persembahan kurban dari laki-laki merupakan jantung dari kultus peribadatan secara
umum, sementara persembahan kurban dari perempuan hanya digunakan sebagai kurban
penghapus dosa pribadi. Dengan demikian, relasi kultus yang terbangun dengan Allah pada awal
Yudaisme di mediasi oleh unsur laki-laki. Kesetaraan yang timpang dalam konteks Yahudi
dilatarbelakangi dari pandangan kisah Allah menciptakan manusia muncul norma interpretatif
dan pembenaran bahwa perempuan memiliki nilai dan tugas yang lebih rendah dari laki-laki. Hal
ini menyimpulkan bahwa perempuan secara implisit dianggap tidak diciptakan menurut gambar
Allah.15

14

Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian
Baru, 34-46.
15
Anders Hultgard, “God and Image of Woman in Early Jewish Religion” in Kari Elisabeth Borresen (ed.),

119

Pemaparan tentang rumah tangga Romawi atau pun Yahudi memperlihatkan posisi
perempuan dalam konteks sosial Romawi ataupun Yahudi. Menurut penulis dari dua konteks
Romawi dan Yahudi, citra perempuan sangat berkonotasi negatif yang berwujud dalam bentuk
subordinatif dan eksploitatif. Ekspresi subordinasi dan eksploitasi semakin mengokohkan
ketimpangan peran dan kedudukan antara suami dan istri dalam konteks Romawi ataupun
Yahudi, hal ini berarti pengabaian terhadap eksistensi kemanusiaan seorang perempuan.
Seperti telah diuraikan dalam Bab III bahwa suami atau para laki-laki Romawi ataupun
Yahudi dalam rumah tangga selalu dipandang dalam tatanan hierarkis bahwa suami memiliki
kendali mutlak terhadap istri dan anak yang disebut dalam budaya Yunani-Romawi pater
familias. Status istimewa yang melekat pada suami menjadi parameter bagi mereka untuk
bertindak sesuai keinginan pribadi termasuk dalam hal memutuskan ikatan pernikahan sepihak.
Loyalitas atau kesetiaan yang pudar telah menghancurkan ikatan pernikahan yang eksklusif,
dengan demikian setiap pribadi yang mengkhianati pernikahan karena percabulan juga telah
memberontak terhadap titah Tuhan.
Respon Yesus melalui larangan perceraian merupakan reaksi terhadap bentuk
diskriminasi terhadap perempuan yang terjadi dalam lingkup keluarga Yunani-Romawi dan
Yahudi, sehingga dimunculkan rekonstruksi pola rumah tangga yang melarang

perceraian,

didahului dengan percakapan yang terjadi antara Yesus dan orang Farisi (ayat 3-6). Nampaknya
percakapan Yesus dengan orang Farisi dimunculkan Matius untuk menekankan perbedaan
signifikan pengajaran dari para kaum Farisi dengan pengajaran Yesus. Pengajaran Yesus yang
memberikan nilai baru terhadap ketentuan pernikahan merupakan resistensi terhadap pengajaran
para pemimpin agama yang didominasi oleh kaum Farisi. Mengingat pada Bab III dipaparkan

The Image of God (Minneapolis: Fortress Press,1995), 41-44.

120

bahwa kaum Farisi adalah para pemimpin agama yang memanfaatkan kedudukan untuk
memprovokasi bangsa Yahudi untuk membenci orang-orang Kristen. Pengajaran Yesus yang
mengumandangkan kerajaan Allah menekankan kehidupan yang dipenuhi dengan loyalitas,
terbebas dari beragam bentuk diskriminasi terhadap istri. Sementara kaum Farisi lebih
memberikan penekanan terhadap eksklusivitas kesucian pribadi sehingga memperbesar jurang
perbedaan dan berakibat pada perlakuan diskriminatif terhadap komunitas yang berbeda dengan
mereka dan kebencian dalam pengajarannya (ayat 3-6).
Oleh sebab itu dalam pengajaranNya Yesus menjelaskan tentang pengertian dasar
pernikahan dengan menggunakan Perjanjian Lama. J.J. de Heer memaparkan Kej 1: 27 dan Kej
2: 24 merupakan dasar tentang arti nikah yang dikutip oleh Yesus. Nikah menurut Kej 2: 24
adalah suatu ikatan antara suami-istri yang kekuatannya melebihi ikatan keluarga, dan keduanya
menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan kalimat “menjadi satu daging.”16
Daging pada umumnya memang memiliki konotasi yang negatif. Daging dalam
pandangan Yesus memang mengindikasikan kelemahan karena seringkali melayani pikiran
manusia (Mat 26:41; Mrk 14:38) dan sering juga digunakan untuk menyebut manusia tanpa
berkaitan dengan moral.17 Pandangan Paulus tentang daging atau sarx juga tidak jauh berbeda,
daging merupakan materi jasmani yang menunjuk pada manusia alami yang duniawi. Aktivitas
yang dilakukan daging dapat mengakibatkan dosa atau merangsang kegiatan dosa berikutnya,
sehingga daging seringkali identik dengan hawa nafsu. Paulus mengungkapkan keinginan daging
dalam Gal 5:16, dan daftar perbuatan daging yang patut dihindari (Gal 5: 19). Tetapi daging
berkaitan erat dengan akal budi, keduanya menjadi satu bagian utuh dalam diri manusia.18

16

De Heer, Tafsiran Alkitab: Injil Matius pasal 1-22, 375.
Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1, 152
18
Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1, 177-180.

17

121

Dengan demikian daging yang adalah satu kesatuan dengan manusia secara utuh menunjuk pada
keberadaan diri manusia yang lemah namun tidak terlepas sebagai insan yang memiliki tanggung
jawab dihadapan Allah. Oleh karena itu penyatuan daging berarti terjadinya lebur diri dua
pribadi dalam penanaman nilai dan tanggung jawab kepada Allah.
Kutipan dari Perjanjian Lama yang di gunakan Yesus untuk menggambarkan dasar dari
pernikahan, menunjukkan bahwa Yesus tetap memakai hukum Yahudi. Budaya hibriditas
nampak muncul dalam pengajaran Yesus yang memandang hukum pernikahan Yahudi dengan
cara pandang baru untuk kepentingan jemaat, khususnya para perempuan yang termarginalkan.
Yesus memulai pengajaran tentang pernikahan dengan memberikan gambaran awal tentang
relasi umat Allah dalam Perjanjian Lama dan keberimanan manusia berkaitan erat dengan
pengalaman kebahagiaan. Allah menciptakan manusia dengan kasih untuk menjadi model kasih
Allah dalam pengalaman hidup bersama dengan sesamanya. Oleh sebab itu kebahagiaan dapat
diwujudkan melalui relasi akrab dengan sesama manusia.
Pernikahan antara laki-laki dan perempuan merupakan bentuk dari relasi akrab yang
terbina satu dengan yang lain. Berarti pernikahan dapat dikatakan sebagai representasi kasih
Allah terhadap manusia dan wadah dimana kedua pribadi dapat mengembangkan potensi yang
ada didalam diri masing-masing. Allah

membahasakan kasih terhadap manusia secara

manusiawi melalu pernikahan.19
Kalev menguraikan penggunaan Matius terhadap Kejadian 1: 27, 2: 24 sebagai penegasan
bahwa relasi keutuhan antara laki-laki dan perempuan dalam kepelbagaiannya merupakan hasil
ciptaan Allah. Oleh sebab itu Yesus dengan jelas menyatakan penciptaan laki-laki dan
R. Harmani Arioso, “Pelaksanaan Pencatatan Perkawinan Antar Agama Pada Kantor Catatan Sipil
Propinsi DKI Jakarta,” dalam Weinata Sairin, J.M Pattiasina, (ed.), Pelaksanaan Undang-Undang Pernikahan
Dalam Perspektif Kristen (Jakarta: Gunung Mulia, 1994), 113.
19

122

perempuan sebagai satu kesatuan yang adalah rencana Allah merupakan dasar dari pemisahan
seorang laki-laki dari orang tuanya dan menyatu dengan istrinya (Mat 19: 4-5). Dengan demikian
menunjukkan sikap Yesus yang melarang perceraian karena pernikahan diciptakan oleh Allah.20
Menurut Gundry, Matius mengutip kata penciptaan dari Markus dan membuatnya menjadi
pencipta untuk memperjelas bahwa subjek dari kata kerja berikut adalah Allah, bukan Musa.
Dengan demikian makna yang muncul

tidak hanya berupa klarifikasi gramatikal, tetapi

mengarah pada penekanan pernikahan adalah kehendak Allah.

21

Kasih Allah yang telah menyatukan laki-laki dan perempuan dalam pernikahan
merupakan prinsip dan kekuatan dalam persekutuan rumah tangga. Menghayati persekutuan
yang telah diciptakan Allah maka model kasih Allah ditunjukkan dengan usaha untuk
menjungjung tinggi kesetiaan. Laki-laki dan perempuan memiliki peran dan tuntutan yang sama
menjaga kesetiaan, keutuhan cinta untuk menghadirkan kasih Allah dan melestarikannya dalam
lingkup keluarga. Sebaliknya jika peran dan tuntutan kesetiaan timpang, hanya diberlakukan dan
dibebani pada satu pihak maka pernikahan akan terpenjara dengan status quo dan tindakan
eksploitatif dari salah satu pihak yang lebih dominan dan merugikan pihak yang lain.
Larangan perceraian dengan pengecualian percabulan bagi para suami Yahudi yang
diutarakan Yesus merupakan bentuk peneguhan terhadap kesetiaan dalam rumah tangga.
Pengecualian jika terjadi percabulan merupakan penegasan Yesus terhadap loyalitas yang
sepatutnya dimiliki oleh para suami dalam konteks jemaat Matius. Dapat disimpulkan bahwa
larangan perceraian merupakan media

ataupun cara yang digunakan agar suami tidak

melanjutkan warisan dominasi pejuratif dalam keluarga khususnya terhadap istri, selain itu
20

Yordan Kalev Zhekov, Defining the New Testement Logia on Divorce and Remarriage in a Pluralistic
Context (Eugene: Pickwick, 2008), 119-122.
21
Gundry, Matthew: A Commentary on His Handbook for a Mixed Church under Persecution, 378.

123

memberikan penekanan terhadap loyalitas pasangan dalam membangun kehidupan rumah
tangga. Yesus menunjukkan sikap yang berpihak kepada perempuan karena minimnya loyalitas
dari pihak suami dalam pola kehidupan rumah tangga Romawi. Sikap Yesus terhadap perceraian
adalah tidak anti perceraian, namun Yesus anti terhadap beragam bentuk diskriminasi dan
tindakan kekerasan. Setiap kekuasaan yang membentuk, mengontrol dan menentukan
kenikmatan individu merupakan bentuk pengingkaran diri.
Pada ayat 6, kembali ditegaskan kesatuan antara suami-istri dan oleh sebab itu tidak
boleh diceraikan oleh manusia. Pada ayat 6b kata Yunani sune,zeuxen (menghubungkan bersama
di bawah satu kuk) dalam teks Indonesia diterjemahkan dipersatukan. Menurut Schafer lebih
tepat menggunakan kata dihubungkan.22 Selain itu teks Indonesia menggunakan manusia,
sementara kata Yunani a;nqrwpoj artinya manusia; seorang laki-laki; suami.23 Secara inklusif
memang dapat menggunakan manusia yang mengarah pada laki-laki dan perempuan, namun
dapat digunakan secara eksklusif memperhatikan konteks maka yang tepat adalah seorang lakilaki. Sementara kata Yunani mh. cwrize,tw (jangan dipisahkan) diterjemahkan dalam teks
Indonesia menjadi tidak boleh diceraikanÅ24 Dengan demikian formulasi kalimat pada ayat 6b,
Karena itu, apa yang telah dihubungkan Allah, jangan dipisahkan oleh seorang laki-laki. Ayat ini
menunjukkan jawaban Yesus terhadap pertanyaan orang Farisi pada ayat 3 yaitu tidak
mengizinkan seorang suami menceraikan istrinya dengan alasan apapun.
Tafsiran Gundry pada ayat 6-9 menunjukkan laki-laki dan perempuan diciptakan Allah
untuk berpasangan, oleh sebab itu pertanyaan orang Farisi bahwa dapat bercerai dengan alasan
22

Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian

Baru, 134.
23
24

BGM Morph + Barclay-Newman, BibleWorks 6.
Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian

Baru, 136.

124

apapun tidak relevan. Yesus memperluas hukum mengenai pernikahan dengan mengungkapkan
bahwa pernikahan kedua dengan perempuan lain merupakan bentuk perzinahan. Dengan
demikian jika terjadi perzinahan dalam pernikahan maka perceraian dapat dilakukan namun pada
prinsipnya Yesus tidak menghendaki perceraian.25
Harrington dalam tafsirannya memaparkan bahwa pernikahan diciptakan atas dasar
rencana Allah kepada manusia yaitu laki-laki dan perempuan untuk hidup berserikat. Kehidupan
berserikat tidak dapat terpisahkan oleh sebab itu tidak diperbolehkan terjadi perceraian dalan
kehidupan berserikat.26 Yesus memperlihatkan sikap yang berpihak pada istri yang mengalami
kesewenangan dari para suami, akibat status istimewa yang dimiliki oleh para suami Yahudi.
Seperti yang sudah dipaparkan dalam Bab III bahwa dalam praktik pernikahan Yahudi para
suami memiliki hak untuk menceraikan istri, sementara istri tidak dapat memiliki hak untuk
menceraikan. Keterikatan pernikahan diungkapkan oleh Yesus tidak hanya berlaku pada istri
tetapi berlaku juga pada suami.
Kesetiaan menjadi dasar utama dalam pernikahan, oleh karena itu saat pernikahan yang
disatukan oleh kasih Allah tercemarkan oleh ketidaksetiaan maka perceraian menjadi legal untuk
dilakukan. Pada ayat Ayat 7-9, merupakan kelanjutan percakapan antara Yesus dengan orang
Farisi, yang menunjuk pada respon yang diberikan orang Farisi kepada Yesus. Ayat 7 terdapat
perubahan kata Yunani ou=n (maka), diartikan dalam teks Indonesia jika demikian. Menurut
Schafer kata jika demikian mengarah kepada dampak yang akan diterima oleh seseorang jika
terjadi perceraian.27 Nampaknya orang Farisi menantang kembali argumen Yesus dengan

25

Gundry, Matthew: A Commentary on His Handbook for a Mixed Church under Persecution, 379.
Daniel J. Harington, “Matius,” dalam Dianne Bergant dan Robert.J. Karris (ed.), Tafsir Alkitab
Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius. 2002), 62.
27
Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian
Baru , 136.
26

125

menggunakan Ul 24:1-4 yang berisi izin dari Musa kepada laki-laki Israel untuk menceraikan
istrinya. Pemberian izin dari Musa berarti memperlihatkan bahwa hukum Taurat memungkinkan
terjadinya perceraian.28 Yesus menanggapi dengan mengungkapkan bahwa surat cerai yang
diberikan oleh Musa disebabkan ketegaran hati para suami. Dalam teks Indonesia menggunakan
kata ketegaran hati, namun dalam teks Yunani menggunakan kata sklhrokardi,an (sikap keras
kepala),29 sementara Schafer menterjemahkannya kekerasan hati (secara hurufiah jantung).30
Menurut Riyadi ketegaran hati berkaitan dengan praktik para suami Yahudi saat menceraikan
istrinya. Secara yuridis saat seorang istri diceraikan oleh suami maka seorang istri masih menjadi
milik suaminya. Keterikatan masih berlaku bagi sang istri dan kalau istri menikah lagi maka ia
dipandang telah melakukan perzinahan. Hal ini berkaitan dengan praktik perceraian Yahudi yang
lebih menguntungkan laki-laki, sehingga surat cerai yang diberikan oleh Musa bertujuan
memberikan kebebasan kepada para istri yang diceraikan sehingga mereka tidak dianggap
berzinah dan menanggung konsekuensi hukuman mati. Namun Riyadi menyimpulkan bahwa
Yesus melarang terjadinya perceraian.31 Sementara pada ayat 8b, menurut De Heer, Yesus
memperlihatkan sikapNya tentang perceraian bahwa perceraian tidak seharusnya terjadi.
Pernikahan yang dihadirkan Tuhan wajib dipelihara oleh suami-istri, perceraian hanya
memberikan dampak yang buruk bagi anak-anak. Walaupun terdapat pengecualian karena
perzinahan namun sejak semula Allah menghendaki pernikahan berjalan terus, bahkan
menurutnya Yesus hanya mengatakan kalau suami boleh menceraikan istrinya yang berzinah
tetapi tidak mengatakan harus menceraikan istri yang berzinah. 32

28

Riyadi, Matius: Sungguh Ia ini adalah Anak Allah, 173.
BGM Morph + Barclay-Newman, BibleWorks 6.
30
Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian
Baru , 148.
31
Riyadi, Matius: Sungguh Ia ini adalah Anak Allah, 172.
32
De Heer, Tafsiran Alkitab: Injil Matius pasal 1-22, 375-376.
29

126

Ayat 9, menjadi jawaban final Yesus terhadap isu perceraian yang diangkat oleh orang
Farisi. Hal ini agak berbeda dengan Markus, pada Markus 10: 11 jawaban final tentang isu
perceraian diperuntukkan bagi para murid sedangkan pada Matius 19: 9 diperuntukkan bagi
orang Farisi. Oleh sebab itu terjadi perubahan formulasi kalimat pendahuluan yang ada dalam
Markus 10: 11a “dan Ia berkata kepada mereka” menjadi “tetapi Aku berkata kepadamu”.
Kalimat pendahuluan ini memunculkan kewibawaan Yesus sebagai anak Allah, dan Yesus
mengemukakan ajaran baru yang berbeda dari perintah Musa dan mazhab Hillel. Yesus
nampaknya mengkritisi sikap kesewenangan para suami yang bebas menceraikan istri dan mulai
mengikis hak istimewa para suami. Ajaran baru ini menutup peluang suami menceraikan istri
semena-mena dan menikah dengan perempuan lain. Bahkan perceraian dapat disamakan dengan
perzinahan.33
Pernyataan ”kecuali karena zinah” menjadi materi debat dalam penafsiran. Kata pornei,a|
(percabulan) merupakan teks Yunani yang diterjemahkan dalam teks Indonesia menjadi
perzinahan.34 Menurut Harrington, pornei,a kemungkinan terarah pada pernikahan antar saudara
yang terlarang dalam Imamat 18: 6-18. Walaupun terdapat pengecualian terhadap perceraian
tetapi pernikahan pada prinsipnya berlaku seumur hidup. Hal ini seirama dengan pendapat
Riyadi, Kata pornei,a| dalam Yunani sering menunjuk pada sikap yang tidak sesuai dengan moral
dan lebih mengarah pada pernikahan yang melanggar hukum ikatan darah. Terdapat dua
pandangan dalam memahami pornei,a,, pertama dapat dipahami sebagai perzinahan dan kedua
dapat dipahami sebagai pernikahan yang bertentangan dengan hukum ikatan darah. Pandangan
pertama lebih familiar dikalangan masyarakat Yahudi karena sama dengan pandangan mazhab
Syammai. Sementara pandangan kedua terkait dengan ikatan darah. Dalam konteks jemaat
33
34

Raymond F Collins, Divorce in The New Testament (Minnesota: The Liturgical Press, 1992), 114-115.
BGM Morph + Barclay-Newman, BibleWorks 6.

127

Matius terdapat juga orang Kristen dari kalangan non-Yahudi, yang mungkin hidup dalam
pernikahan dengan orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat. Oleh
sebab itu untuk dapat berbaur dan diterima oleh komunitas Matius maka mereka harus
mengakhiri ikatan pernikahan. Namun belum ada pemecahan definitif perihal pengecualian bagi
para pembaca Matius.35 Schafer dalam penafsirannya terhadap teks Matius 19:9 lebih dominan
memandang hal pengecualian dari percabulan. Sesuai dengan pandangan dari mazhab Syammai
pada abad I ZB, suami dapat menceraikan istri yang tidak setia. Pandangan ini juga sesuai
dengan pandangan hukum Romawi dan dorongan dalam umat Yahudi, dimana mewajibkan
suami menceraikan istri yang mengkhianati ikatan pernikahan dan suami diberikan peluang
bebas untuk dapat menikah lagi.36
Pembaharuan pola ini memberikan peluang terhadap kemerdekaan perempuan untuk
keluar dari hegemoni kolonisasi laki-laki. Yesus menciptakan kemitraan setara dalam relasi
suami dan istri. Tidak ada legalitas terhadap kekerasan, eksploitasi, diskriminasi dalam
merancang bangun kehidupan rumah tangga. Keutuhan jati diri dalam awal penciptaan yang
melekat kepada perempuan dan laki-laki merupakan hakikat hidup yang setara, sehingga relasi
suami-istri yang terbangun berdasar pada ideologi, tindakan konkrit saling menghargai. Yesus
secara sistematis mendekontruksi pola rumah tangga elit untuk menciptakan pola yang kontras,
inklusif dan egaliter diantara para murid. Oleh karena itu suami dan istri berpartisipasi dalam
eksistensi “satu daging”.37
Tanggapan orang Farisi pada ayat 10-12 menunjukkan keberatan mereka terhadap
larangan perceraian yang diajarkan Yesus. Percakapan yang terjadi antara Yesus dan para murid.
Harington, “Matius,” dalam Dianne Bergant dan Robert.J. Karris (ed.), Tafsir Alkitab Perjanjian Baru
62. Riyadi, Matius: Sungguh Ia ini adalah Anak Allah,174-176.
36
Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian
Baru, 141-149 .
37
Sugirtharajah, A Postcolonial Commentary On the New Testament Writing, 89.
35

128

Menanggapi pernyataan Yesus pada ayat 9, para murid menyimpulkan pernikahan tidak
diperlukan. Teks Yunani menggunakan ouv sumfe,rei tidak bermanfaat untuk (+ infinitif:
menikah), sementara teks Indonesia menggunakan lebih baik jangan kawin.38 Tanggapan para
murid disebabkan materi pengajaran yang diungkapkan Yesus perihal larangan perceraian bagi
para suami Yahudi sepertinya tidak rasional, karena menuntut keterikatan dan kesetiaan bagi
para suami. Padahal tuntutan kesetiaan hanya diberlakukan bagi para istri. Hal ini berarti
mereduksi hak istimewa para suami dan dari sudut pandang laki-laki sangat merugikan.
Kesimpulan para murid bahwa pernikahan tidak bermanfaat

memperlihatkan keberpihakan

mereka terhadap status istimewa bagi para suami Yahudi. Manfaat sebuah pernikahan hanya
dipandang dari kacamata laki-laki, ketika aturan yang dikemukakan Yesus tidak berpihak pada
laki-laki dan nampaknya lebih mengedepankan hak perempuan maka solusi terbaik adalah tidak
menikah.
Dalam teks Indonesia pada ayat 11 salah satu kata yang digunakan adalah tidak mengerti,
teks Yunani cwre,w berarti membuat tempat untuk; menerima, menghayati.39 Teks Yunani
mengartikan tidak semua orang dapat menerima atau bersepaham dengan pernyataan untuk tidak
menikah. Hanya mereka yang menerima karunia Tuhan dapat memahami bahwa dirinya tidak
dapat menikah. Pada ayat 12 memperjelas maksud Yesus pada ayat 11 orang-orang yang
dimaksudkan menerima karunia Tuhan. Tiga kelompok orang dimunculkan pada ayat ini yaitu
orang yang terlahir dalam keadaan “kebiri” atau impoten, mereka memiliki kekurangan dalam
tubuhnya saat dilahirkan. Kelompok kedua adalah orang yang telah dikebiri orang lain, mereka
adalah para pelayan raja yang “dikebiri” sehingga tidak dapat merayu gundik-gundik raja.

38

Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian

Baru, 137.
39

BGM Morph + Barclay-Newman, BibleWorks 6.

129

Kelompok ketiga adalah orang yang memilih tidak menikah untuk memberikan segenap waktu
membaktikan diri kepada Allah.40
Tafsiran berdasarkan latar belakang teks yang telah dikemukakan oleh para ahli tafsir
konservatif Perjanjian Baru terhadap keutuhan pengajaran Yesus perihal perceraian dalam teks
Matius 19:1-12 menunjukkan beberapa hal: pertama, legitimasi status Yesus sebagai anak Allah
dengan kekuasaan yang melingkupiNya sehingga pengajaran Yesus tentang perceraian
merupakan cerminan dari aturan-aturan rumah tangga yang berasal dari Allah dan patut ditaati.
Kedua, Allah yang telah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk menjadi satu keutuhan
ditengah kepelbagaian mereka adalah dasar dari pernikahan, oleh sebab itu perceraian
merupakan bentuk pengingkaran terhadap kedaulatan Allah.
Beberapa teolog laki-laki turut andil dalam melestarikan tradisi patriakhi dalam
kehidupan masyarakat dan gereja. Salah satunya adalah Tertulianus, perempuan menurut
pandangannya adalah seorang penggoda. Ia menggambarkan perempuan sebagai pintu setan
yang membawa manusia sampai kepada dosa. Perempuan telah merusak citra manusia sebagai
gambar Allah ketika membujuk rayu Adam. Perempuan yang seharusnya mati bukan Anak Allah
untuk menanggung dosa yang merupakan hasil perbuatan perempuan.41 Tulisan-tulisan
Augustinus beberapa kali menunjukkan androsentrisme sebagai hukum alam. Ia menuliskan citra
Allah tidak terdapat dalam diri perempuan oleh sebab itu perempuan hanya berfungsi sebagai
pembantu, namun citra Allah secara utuh menjadi milik perempuan ketika terjadi penyatuan
antara laki-laki dan perempuan. Selain itu Aristoteles dan Thomas Aquinas pernah
mengemukakan pandangannya, secara biologis perempuan adalah laki-laki yang salah lahir.

40

De Heer, Tafsiran Alkitab: Injil Matius pasal 1-22, 376-377. Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai:
Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 151-153.
41
Elizabeth A. Johnson, Kristologi di Mata Kaum Feminis (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 124.

130

Pandangan-pandangan ini yang semakin memperkuat status perempuan sebagai masyarakat kelas
dua, yang selalu termarginalkan dalam dominasi laki-laki.42
Posisi perempuan yang dipandang berada dalam wilayah inferior membuat perempuan
rentan menjadi korban dari konflik, termasuk konflik yang terjadi dalam kehidupan rumah
tangga. Oleh sebab itu pemberlakuan surat cerai merupakan media yang memiliki legalitas
hukum untuk melepaskan perempuan dari dominasi pejuratif laki-laki yang dapat berperan
memerdekakan atau membebaskan perempuan dari dominasi laki-laki yang berkelanjutan.
Larangan perceraian dalam konteks Matius 19: 1-12 sarat dengan tujuan dan kepentingan
konteks sosial, politik masyarakat saat itu. Larangan perceraian yang ditujukan kepada laki-laki
merupakan resistensi politis dan konter dari kontruksi ketimpangan relasi antara suami-istri
dalam keluarga Romawi dan Yahudi yang mengusung tema kesetaraan dan keseimbangan
peran berasas keadilan antara laki-laki dan perempuan. Gaya hidup free sex Kaisar Domitianus,
yang memandang hubungan seks hanya sebagai “permainan gulat ditempat tidur” dan bebas
memilih setiap perempuan sebagai alat pelampiasan nafsu seksual semata, telah menempatkan
perempuan dalam konteks saat itu hanya menjadi obyek seks laki-laki, tidak memiliki privasi dan
kekuasaan untuk menolak berbagai jenis pelecehan seksual yang dilakukan para laki-laki.
Resistensi secara politik terangkat dengan konsep pemerintahan Allah yang lebih terorientasi
kepada pemerintahan yang menghadirkan kesejahteraan bagi setiap orang termasuk perempuan
yang telah termarginalkan. Kehadiran pemerintahan Allah menghilangkan ketakutan dan
melahirkan harapan baru, keadaan ini akan berdampak pada berkurangnya ketaatan dan
ketergantungan masyarakat pada pemerintah Romawi sehingga berimbas pada melemahnya
kekuatan imperialisme Romawi. Tujuan dari larangan perceraian adalah memberikan
42

Androsentrisme berasal dari kata Yunani Andros memiliki arti laki-laki dewasa; laki-laki menjadi
parameter pusat kemanusiaan, sementara perempuan memiliki kedudukan sebagai manusia kelas dua yang berasal
dan bergantung pada laki-laki. Johnson, Kristologi di Mata Kaum Feminis, 125.

131

pembebasan kepada perempuan dari setiap dominasi laki-laki ataupun imperialisme Romawi.
Oleh sebab itu tidak semua perceraian dapat dipahami sebagai bentuk pemberontakan terhadap
ketetapan Allah atau tindakan yang menghasilkan dosa. Perceraian dapat dipandang sebagai
pintu yang telah terbuka membawa setiap jiwa yang mengalami penindasan menemukan jalan,
tempat yang menghadirkan harapan dan pembebasan jiwa secara holistik dari setiap bentuk
dominasi.
Penulis Matius telah menulis kisah Yesus yang memberikan nilai baru mengenai relasi
antara suami istri dalam pernikahan. Jika pandangan pernikahan Yunani-Romawi ataupun
Yahudi sangat bersifat patriakhal, maka Yesus dengan pengajarannya telah menghadirkan
peluang bagi perempuan untuk mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki dalam menjalankan
peran dalam rumah tangga. Konsep dasar pernikahan dalam pandangan Yesus yang
menggunakan Perjanjian Lama pada ayat 4-5 menunjukkan pernikahan adalah tindakan yang
merupakan wujud kasih Allah terhadap manusia. Pernikahan dalam pengajaran Yesus tidak
hanya sekedar perihal surat kontrak antara dua pribadi seperti yang terdapat dalam konsep
pernikahan Yunani-Romawi ataupun Yahudi, yang lebih menekankan konsep pernikahan hanya
sebagai dasar dari prokreasi sehingga memperkenankan struktur poligami dalam masyarakatnya
dan mengikis unsur kesetiaan terhadap pribadi yang menikah. Pada ayat 4-5 Yesus memberikan
penekanan dalam pernikahan sebagai wadah yang dihadirkan Tuhan untuk mewujudkan cinta
kasih Tuhan didalamnya, sehingga pernikahan harus dipahami sebagai relasi antara manusia
dengan Allah serta relasi dengan pasangannya.
Konsep kerajaan Allah yang diperkenalkan melalui Yesus menanamkan unsur kesetiaan
untuk suami ataupun istri dalam pernikahan, khususnya penekanan kesetiaan tertuju pada suami.
Penekanan ini merupakan resistensi terhadap sikap suami dalam tradisi Yunani-Romawi maupun
132

Yahudi yang pada umumnya hanya menekankan kesetiaan pada pihak istri sementara pihak
suami terlepas dari tuntutan kesetiaan. Loyalitas terhadap pasangan merupakan respon sikap
hidup terhadap loyalitas kerajaan Allah bagi manusia. Hal ini juga berkaitan dengan
pengembalian identitas diri kekristenan dengan menampilkan gaya hidup yang menjaga
kecemaran tubuh.
Kasih Allah yang terwujud dalam pernikahan terlihat dalam tindakan yang menjunjung
tinggi loyalitas dan kasih yang tulus kepada istri ataupun suami. Oleh sebab itu ketika kesetiaan
dan kasih yang tulus telah luntur dan tertinggal beragam bentuk wujud dari kecintaan terhadap
diri sendiri dan mengakibatkan penganiayaan, maka perceraian dapat dilakukan. Perceraian
dalam situasi ketertindasan merupakan wujud kasih Allah yang membebaskan manusia dari
penindasan. Bebas dari segala bentuk penindasan menunjukkan situasi kehidupan orang-orang
yang berada dalam kerajaan Allah, sementara terkungkung dengan penindasan menunjukkan
situasi kehidupan orang-orang yang berada dalam dominasi Romawi.
Pengalaman dari lima responden perempuan yang bercerai telah diuraikan pada Bab II
menunjukkan bahwa mereka adalah korban tindakan eksploitatif dan diskriminatif dari suami,
keluarga, masyarakat bahkan gereja. Dalam pengalaman mereka sebagai korban kekerasan dan
diskriminatif karena kontruksi relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan, keyakinan
mereka bahwa keadilan dan kasih Tuhan termanifestasi dalam pembebasan dari tindak kekerasan
suami melalui perceraian.

Menurut para responden setiap manusia hasil ciptaan Allah sangat

berharga dihadapanNya, oleh sebab itu kewajiban dari manusia adalah menjaga, memelihara,
menghargai kreasi Allah. Kekudusan pernikahan yang dikumandangkan gereja mengartikan
realitas manusia yang menikah tersentuh kasih Allah, oleh karena itu dalam pernikahan realitas
manusia secara nyata menghadirkan kasih Allah. Namun jika intimidasi dan tindakan kekerasan

133

fisik dan psikis telah mendominasi relasi dalam rumah tangga, hal ini menunjukkan perbuatan
yang menghancurkan kreasi Allah.
Pemberlakuan kasih Allah pada manusia bersifat universal baik untuk laki-laki ataupun
perempuan. Kasih Allah tidak didasarkan pada batasan perbedaan jenis kelamin, antara laki-laki
sebagai superior dan perempuan sebagai inferior dalam bentukan tradisi pathriaki yang
dilestarikan dari masa ke masa. Allah yang menciptakan, maka Allah memperhatikan dan
mempedulikan kondisi kebahagiaan setiap manusia yang mengalami penderitaan, penganiayaan.
Saat cinta dan keadilan tidak lagi mengisi realita hidup rumah tangga, bahkan tubuh
tereksploitasi dalam pelestarian tradisi patriakhal yang berkolaborasi dengan kapitalisme global,
maka Allah dengan kasih dan keadilan adalah pribadi y

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Doktrin sebagai Sumber Hukum T2 322014015 BAB IV

0 1 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rekontruksi Identitas Perempuan dalam 1 Korintus 14 : 34 – 40 dari Perspektif Poskolonial Perempuan Kristen Jawa T2 752012003 BAB I

0 2 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rekontruksi Identitas Perempuan dalam 1 Korintus 14 : 34 – 40 dari Perspektif Poskolonial Perempuan Kristen Jawa T2 752012003 BAB II

0 2 48

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rekontruksi Identitas Perempuan dalam 1 Korintus 14 : 34 – 40 dari Perspektif Poskolonial Perempuan Kristen Jawa T2 752012003 BAB IV

0 2 24

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rekontruksi Identitas Perempuan dalam 1 Korintus 14 : 34 – 40 dari Perspektif Poskolonial Perempuan Kristen Jawa T2 752012003 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mempertanyakan Doktrin Kristen Anti Perceraian di GMIST Mahanaim dari Perspektif Hermeneutik Poskolonial Terhadap Matius 19:1-12 T2 752012023 BAB I

0 2 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mempertanyakan Doktrin Kristen Anti Perceraian di GMIST Mahanaim dari Perspektif Hermeneutik Poskolonial Terhadap Matius 19:1-12 T2 752012023 BAB II

0 1 37

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mempertanyakan Doktrin Kristen Anti Perceraian di GMIST Mahanaim dari Perspektif Hermeneutik Poskolonial Terhadap Matius 19:1-12 T2 752012023 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mempertanyakan Doktrin Kristen Anti Perceraian di GMIST Mahanaim dari Perspektif Hermeneutik Poskolonial Terhadap Matius 19:1-12

0 0 11

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Pembelajaran Berbasis Kontekstual Bidang Studi Pendidikan Agama Kristen di SMA Kristen Satya Wacana Salatiga T2 BAB IV

0 1 46