Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rekontruksi Identitas Perempuan dalam 1 Korintus 14 : 34 – 40 dari Perspektif Poskolonial Perempuan Kristen Jawa T2 752012003 BAB II

(1)

BAB II

PERSPEKTIF PEREMPUAN JAWA TENTANG IDENTITAS PEREMPUAN

2.1. Pengertian Poskolonial

Studi Poskolonial (sering disebut dengan istilah Pascakolonial) merupakan sebuah studi yang relatife baru dalam perkembangan ilmu sosial di dunia. Studi ini menawarkan sebuah

perspektif “baru” dalam menganalisa dimensi Negara Barat atas kelompok Negara-negara Timur. Negara Barat diposisikan sebagai kelompok superior sedangkan Negara Timur diposisikan sebagai kelompok inferior yang tertindas. Studi poskolonial mencoba menganalisa posisi Negara Timur sebagai akibat dominasi budaya Barat.1

Studi Poskolonial yang relatife masih baru menimbulkan kegairahan, kebingunan serta skeptisme dari berbagai pihak yang mendalaminya. Untuk menjelaskan definisi poskolonial tidak bisa dipisahkan dengan istilah kolonialisme (penjajahan). Pada awalnya istilah colonial bermakna “pertanian” atau “pemukiman” ( dari Bahasa Latin “colonia”), yang kemudian

maknanya diperluas menjadi penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta penduduk asli oleh penduduk pendatang. Proses penaklukan untuk membangun daerah pemukiman baru muncullah hubungan yang cukup kompleks dan traumatik dalam sejarah manusia, antara penduduk lama dengan pendatang baru. Pembentukan komunitas baru ini ditandai oleh upaya membubarkan dan membentuk kembali komunitas-komunitas yang sudah ada dengan melibatkan praktik-praktik perdagangan, penjarahan, pembunuhnan massal, perbudakan, serta berbagai pemberontakan. 2

1 Nanang Martono,Sosiologi Perubahan Sosial, Perspektif Klasik, Modern,Posmodern dan Poskolonial,Ed.1

(Jakarta: Rajawali Pers, Cet.1.2012), 139.

2


(2)

Studi Poskolonial diharapkan mampu untuk mengadakan perubahan itu. Studi Poskolonial mendapat perhatian dengan cepat sebagai bagian dari kategori studi kritis yang menyangkut suara dari orang-orang minoritas dan tenggelam, diabaikan dan ditekan dalam sejarah dan narasi-narasi. Untuk mengangkat dan menghadirkan suara-suara kaum minoritas dan terabaikan serta yang telah hilang dalam sejarah. Poskolonial adalah teori yang memberikan kebebasan penafsir untuk mendekati teks-teks dari perspektif penafsir dalam konteks pengalaman sebagai orang yang mengalami kolonisasi bangsa-bangsa Barat dan dampak yang masih dirasakan sampai saat ini.3 Keterlibatan konteks melibatkan pengalaman pribadi, sosial, budaya dan politik. Dengan demikian diharapkan akan muncul asumsi-asumsi

yang mendobrak “penjajahan” dan menata hidup dalam kemerdekaan yang sesungguhnya.4

Moore dan Gilbert menjelaskan bahwa teori Poskolonial yang lahir pada paruh kedua abad ke-20 sering disebut sebagai metode dekontruksi terhadap model berpikir dualis (biner),

yang membedakan antara “Timur” dan “Barat”, meskipun mereka yang mengaku sebagai ahli

dengan perspektif poskolonial tidak benar-benar mampu lepas dari jerat ini. 5 Teori poskolonial juga menganalisis praktik-praktik “penjajahan” (kolonialisme) yang masih berlanjut sampai sekarang, di era modern. Penjajahan yang dilakukan kelompok mayoritas (Barat) terhadap kelompok minoritas (Timur) dalam struktur masyarakat (subaltern-dalam bahasa Gayatri Chakravort Spivak), termasuk di dalamnya penjajahan laki-laki atas perempuan. Edward William Said dan Bhabha lebih tertarik pada masalah percampuran unsur-unsur budaya sebagai dampak kolonialisme, yang ternyata ”bekas daerah jajahan” akan banyak mengadopsi unsur budaya bangsa penjajah. Pada akhirnya proses penjajahan ini akan melahirkan hibriditas.6

3Setyawan, “Tuhan Yesus Kristus” sebagai Diskursus Politik, (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW,2012), 3. 4Setyawan, “

Poskolonial Hermeneutic”, 7.

5

Martono, Sosiologi Perubahan, 140.

6


(3)

2.1.1.Edward William Said

Said menggunakan pemikiran Foucault untuk membongkar narsisme dan kekerasan epistemology Barat terhadap Timur dengan menunjukkan bias, kepentingan, kuasa yang terkandung dalam berbagai teori yang dikemukakan kaum kolonialisme dan orientalisme. Orientalisme mengadopsi gagasan Foucault dalam dua hal yaitu pertama, konsepsi menguraikan tentang apa itu kekuasaan dan bagaimana kekuasaan dijalankan. Kedua, bahwa

“wacana” sebuah media yang memunculkan kekuasaan melalui wacana “membentuk” objek pengetahuan. Bagi Said, rezim kekuasaan ini tertulis dalam tranformasi orientalisme Timur

secara nyata ke dalam diskursif “Orient” atau pengganti yang lebih baik daripada yang

lainnya. 7

Menurut Said, sejak jaman dulu, dunia Timur (Orient) memang sudah menjadi tempat yang indah, banyak mengandung kekayaan alam yang subur dan memiliki tradisi yang unik. Hal inilah yang mengundang keinginan orang-orang Barat (Eropa) untuk mempelajari dunia Timur. Kajian mengenai budaya Timur ini dalam perkembangannya berubah menjadi tempat kolonial dan hegemonisasi.8 Orientalisme adalah konstruksi historis terhadap masyarakat

dan budaya Timur sebagai “sesuatu yang asing”. Sering kali bahkan dilihat sebagai sejenis

alien atau objek yang indah dan eksotis. Menurut Said, penjajahan Barat atas timur melalui teks bahasa, budaya, serta citra negatif mengenai dunia Timur oleh dunia Barat. Menurut Said, dunia Timur masih menempatkan bahasa (teks) sebagai pusat kehidupan.9

2.1.2.Gayatri Chakravort Spivak

Spivak melakukan kajian kritis atas pengaruh kolonialisme dalam bidang budaya dan sastra. Ia menggunakan perspektif Marxisme, feminisme dan dekontruksi; ia banyak

7 Martono, Sosiologi Perubahan, 142-143. 8

Martono, Sosiologi Perubahan, 145.

9


(4)

mengkaji masalah yang dialami kaum perempuan dan pihak-pihak yang menjadi minoritas dan tertindas. Kelompok penjajah telah meninggalkan – mewarisi – nilai-nilai budaya kepada bangsa yang dijajahnya. Spivak melakukan dekontruksi terhadap struktur-struktur yang menindas sehingga pihak yang tadinya tertindas dapat bersuara.10 Spivak menggunakan istilah subaltern (menunjuk kelompok yang mengalami penindasan dari kelompok yang berkuasa). Petani, buruh, perempuan, kelas miskin dan kelompok-kelompok lain yang tidak

memiliki akses kepada kekuasaan “hegemonik” dapat disebut sebagai kelas subaltern.11 Spivak merupakan tokoh poskolonial yang mencoba memasukkan variable jenis kelamin sebagai objek kajiannya untuk melihat adanya hubungan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan yang kemudian dianalogikan dalam hubungan oposisi biner. Studi mengenai gender dan feminism menjadi sebuah isu yang cukup krusial dalam studi poskolonial.12

Pemikiran Poskolonial dalam perkembangan sejarah mencoba menempatkan masalah perempuan dalam sebuah bentuk kolonisasi. Perempuan dipandang mengalami kolonisasi ganda karena keberadaannya sebagai subjek yang dikuasai (colonial subject) dan diskriminasi umum yang dialami sebagai perempuan dalam budaya patriakhal. Dalam kolonisasi ganda tersebut, peran dan identitas perempuan cenderung direduksi pada tubuh dan fungsi reproduksi masyarakat. Sebenaranya perbedaan antara perempuan dan laki-laki berkaitan dengan konstruksi sosial yang merupakan hasil pertarungan ideologi antara kelas-kelas sosial dalam masyarakat.13

10 Martono, Sosiologi Perubahan, 148. 11 Martono, Sosiologi Perubahan, 149. 12

Martono, Sosiologi Perubahan, 150.

13


(5)

2.1.3.Hopmi K. Bhabha

Konsep utama dalam teori poskolonial Bhaba adalah mimikri (sebuah proses peniruan unsur budaya dari kelompok penjajah) dan hibriditas. Bhaba dalam teori-teorinya berupaya meluruskan pertentangan yang keliru antara teori dengan praktik politik dalam wacana kolonialisme. Bhaba kemudian mengajukan model liminalitas untuk menghidupkan ruang persinggungan antara teori dan praktik kolonialisasi dalam upaya menjembatani hubungan timbal balik antara keduanya. Teori dan praktik tidak dapat dipisahkan untuk dikritik, karena keduanya saling bersebelahan. Dengan menyejajarkan keduanya Bhaba berusaha menemukan pertalian dan ketegangan antara keduanya yang melahirkan hibriditas. Konsep “hybrid”

digunakan untuk menggambarkan bergabungnya dua bentuk yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari masing-masing bentuk dan sekaligus meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya. Poskolonialitas selain melahirkan hibriditas, juga menciptakan bentuk-bentuk resistensi dan negosiasi baru antar pelaku.14

Hibriditas adalah bentuk lain dari mimikri yaitu sebuah teks hibrid yang berbeda dari

teks “resmi” wacana kolonial yang merupakan produk tindakan meniru (mimikri). Hibriditas

merupakan produk konstruksi kultural kolonial yang ingin tetap membagi strata identitas murni asli penjajah dengan ketinggian budaya yang didiskriminasikan dengan kaum campuran. Mimikri dan hibriditas melahirkan keragaman budaya (cultural diversity) dan perbedaan budaya (cultural differences).15

Bhaba mengatakan bahwa pencarian identitas idealnya tidak pernah berhenti, identitas terus mengalir sebagai sesuatu yang senantiasa mengalami perubahan. Bhaba juga menawarkan teori yang menjelaskan bahwa ruang ketiga (teks) ini mampu berperan sebagai ruang interaksi simbolik. 16

14 Martono,Sosiologi Perubahan, 158. 15

Martono,Sosiologi Perubahan, 160.

16


(6)

Singkatnya, Bhaba menyoroti masalah identitas kelompok terjajah dengan kelompok penjajah. Akibat kolonisasi, bangsa terjajah seolah mengalami proses mimikri, mereka meniru budaya-budaya yang telah dibawa dan ditularkan bangsa penjajah, akibatnya budaya mereka mengalami hibridasi, budaya asli akan hilang secara perlahan akibat percampuran budaya mereka dengan budaya penjajah.17

2.2. Pengertian Gender / Perempuan

Secara fisik perempuan memang berbeda dengan laki-laki. Perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui.18 Kodrat perempuan adalah menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui. Masyarakat di mana disitu ada perempuan menciptakan ketentuan bagi perempuan berdasarkan kodratmya, terutama dua yang terakhir.19

Ketidakadilan gender menyentuh semua dimensi kehidupan manusia yaitu cultural, religious-institusional, ideologis politik, ekonomis, dan ekologis. Sehingga seluruh level kehidupan terkena yang meliputi pribadi, keluarga, masyarakat, lingkungan kerja, Negara, agama.20

Dalam dunia pendidikan teologi masih sangat kuat dipengaruhi oleh paradigma lama yang bercirikan didominasi kaum laki-laki terutama dalam hal kurikulumnya. Masih sangat sedikit Sekolah Teologi yang memiliki kurikulum dengan paradigma baru yang berorientasi kepada inklusif: laki-laki dan perempuan seimbang, memberi dorongan untuk menerima ajaran Gereja secara kritis, refleksi eksistensial dan inovatif kreatif.21

17 Martono, Sosiologi Perubahan, 163. 18 Kamus Besar Bahasa Indonesia , 856.

19 Perempuan Indonesia Berteologi Feminis, (Yogyakarta: Jurnal Pusat Studi Feminis Fakultas Teologi

UKDW,cet 1,2004), 63.

20 Perempuan Indonesia, 13. 21

Judo Purwowidagdo,Dr. Tantang Jawab Pendidikan Teologi Menjelang Abad 21, (Yogyakarta, Duta Wacana University Press,1994), 70-71.


(7)

Sebuah pengakuan dalam doa seorang laki-laki yang sadar akan keberadaan perempuan dibawah budaya patriarkal yaitu Ghaasan Rubeiz, seorang awam dari Gereja Ortodok mengatakan demikian:22

“ Ya Tuhan, hari ini kami sebagai laki-laki mengaku dosa yang kami lakukan terhadap kaum perempuan. Kami mengakui menindas para bayi perempuan, perempuan muda, perempuan dewasa, perempuan setengah tua, perempuan tua dan semua perempuan. Kami sering menganggap enteng kaum perempuan, memperlakukan mereka sebagai orang-orang yang selalu harus siap untuk melayani dengan penuh kerendahan hati, sabar dan patuh, siap berkorban. Ampuni kami, Tuhan, karena kecenderungan kami untuk menganggap kaum perempuan sebagai orang-orang yang tidak berubah, semacam formula, patung, boneka, sample, model.”

2.3. Peran Perempuan Indonesia

2.3.1. Gerakan Perempuan Indonesia Sebelum 1928

Secara umum dapat dikatakan bahwa Gerakan Perempuan Indonesia ciri utamanya ialah menekankan kepada pendidikan atau lebih khususnya pendidikan model barat, sebagai bekal untuk memajukan kaumnya dan bangsanya. Pejuang perintis saat itu diantaranya Kartini (Habis Gelap Terbitlah Terang), Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika dan Nyai Achmad Dahlan. Kartini menekankan bagaimana mengangkat kaum perempuan dari keterbelakangan dalam hal pendidikan dan membebaskan kaumnya dari kungkungan tradisi yang menindas terutama menyangkut masalah perkawinan dan perceraian, serta perempuan tidak mempunyai hak ikut menentukan.23

Pada periode Budi Utomo, warisan cita-cita Kartini untuk emansipasi perempuan berkumandang menembus batas-batas kamar pingitannya dan meningkatnya perhatian perjuangan perempuan. Pada tahun 1912 muncul organisasi perempuan pertama di Jakarta

yaitu “ Putri Mardika” atas bantuan Budi Utomo. Organisasi perempuan yang ada, bertujuan

untuk menggalakkan pendidikan dan pengajaran bagi perempuan dan perbaikan kedudukan sosial dalam perkawinan dan keluarga. Sebelum tahun 1920, Gerakan ini sangat lambat

22

Perempuan Indonesia, 56-57.

23


(8)

karena sedikitnya sekolah bagi perempuan, adat serta tradisi yang sangat menghambat kemajuan perempuan.24

Pada tahun 1920-1928, ada kemajuan pesat gerakan perempuan dengan makin banyaknya perkumpulan-perkumpulan perempuan kecil-kecil yang berdiri sendiri. Gerakan perempuan Indonesia fase ini sudah lebih matang untuk menyetujui anjuran dan panggilan

kebangsaan, faham “Indonesia bersatu”. Pokok permasalahan yang di bicarakan adalah kedudukan perempuan dalam perkawinan, poligami, pendidikan.25

2.3.2.Era Sumpah Pemuda – Kemerdekaan (1928 – 1945)

Gerakan perempuan dalam kurun waktu ini, berusaha mempertahankan persatuan yang dibangun dengan menempatkan sejumlah interest nasional diatas interest gender. Kaum perempuan Indonesia selalu berperan aktif diantaranya untuk menegakkan hak-hak kaum perempuan. Ketika perempuan berorganisasi secara masif dan memperjuangkan kepentingan membangun solidaritas diantara seluruh kaum perempuan.26

2.3.3.Era Soekarno ( 1945 – 1965 )

Kondisi masyarakat masa lalu yang patriakhal menempatkan perempuan pada posisi yang marjinal dalam pengambilan keputusan dan kepentingan perempuan ditundukkan. Gerakan Perempuan masih memperjuangkan kekerasan terhadap perempuan, isu poligami. Poligami Soekarno cukup kontroversial dan memicu pro dan kontra dikalangan masyarakat serta turut melemahkan perjuangan aktivis perempuan untuk mendapatkan undang-undang perkawinan yang adil.27

24 Perjuangan Perempuan, 10-11. 25 Perjuangan Perempuan, 13-14. 26

Perjuangan Perempuan, 18-22.

27


(9)

2.3.4.Era Soeharto 1966 – 1998

Pada masa Orde Baru, pergerakan perempuan sangat sulit untuk memberi inspirasi dan aspirasi. Perempuan yang selama ini dianggap sebagai obyek pelengkap dalam proses kapitalisasi sampai sebagai pemuas ”kebiadaban” kemanusiaan ternyata masih memiliki beban sejarah yang berat. Perempuan masih menjadi tenaga kerja dalam bidang pertanian dan industri sehingga berdampak ada ketergantungan baru perempuan kepada Negara. Organisasi

perempuan harus mau berada dibawah kekuasaan pemerintah untuk menjadi “agen” dalam

proses politik sentralistik. Efek dari kebijakan Orde Baru memberikan banyak bukti lahirnya berbagai kekerasan baik fisik dan non fisik, bahkan sampai pada saat reformasi 1998.28

Sejak Rezim Orde baru, keberagaman organisasi perempuan di papras habis kecuali organisasi perempuan yang mendukung kebijakan pemerintah. Organisasi perempuan yang mendukung kebijakan pemerintah diantaranya adalah Darma Wanita dan PKK.29

Tradisi Jawa, Ideologi Orde Baru (1966-1998) serta kekuatan dogma agama yang menekankan pentingnya kontrol dan hirarki, seringkali menimbulkan negosiasi yang tidak seimbang bagi perempuan. Perempuan jarang mendapatkan tawaran yang adil untuk segala

pekerjaan atau jasa lainnya. Tradisi Jawa yang mengagungkan “kodrat” untuk perempuan

telah dipertahankan oleh rezim Orde Baru, sehingga perempuan dituntut untuk pasrah dan mengabdi kepada keluarga dan suami.30 Hal ini menyiratkan betapa kuatnya cengkeraman ideologi dalam manipulasi perempuan.31

28 Perjuangan Perempuan, 40-44.

29 Soe Tjen Marching, Kisah Dibalik Pintu Identitas Perempuan Indonesia Antar Publik Dan Privat,

(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2011), 13.

30

Marching, Kisah Dibalik, 192.

31


(10)

2.3.5.Pasca Soeharto 1998 – Sekarang

Gerakan perempuan seluruh Indonesia menuntut kepada pemerintah atas kekejaman Mei 1988 untuk diselesaikan secara tuntas. Sistem patriarkal menjadi dasar sistem filsafat sosial dan politik dimana laki-laki dengan kekuatan, tekanan langsung atau melalui ritual, tradisi, hukum, bahasa, adat kebiasaan, etika, pendidikan dan pembagian kerja, menentukan peran apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh perempuan dan perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki. (Rich, Adrienne. Of Women Born.1977). Sistem ini melahirkan ideologi jender yaitu segala aturan, nilai, stereotip yang mengatur hubungan perempuan dan laki-laki terlebih dulu melalui pembentukan identitas feminine dan maskulin yang menjadi sifat dan struktur manusia di mana nilai-nilai tersebut dibentuk sejak masa kanak-kanak awal sehingga selalu konsevatif dan ketinggalan dibelakang perubahan.32

2.4. Pengertian Kebudayaan Jawa dan Perempuan Jawa

Pulau Jawa merupakan salah satu pulau dari kepulauan Indonesia, suatu kepulauan yang terbentang diantara 6° Lintang utara, 11° Lintang Selatan dan 95° Bujur timur, 141° Bujur Timur. Pulau Jawa terletak diantara 5° Lintang Selatan, 10° Lintang Selatan dan 105°Bujur Timur, 115° Bujur Timur. Secara antropologi budaya dapat dikatakan bahwa yang disebut suku bangsa Jawa adalah orang-orang yang secara turun temurun menggunakan budaya dan bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya dalam kehidupan sehari-hari, dan bertempat tinggal di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur serta mereka yang berasal dari kedua daerah itu. 33

Setiap bangsa atau suku bangsa memiliki kebudayaan sendiri-sendiri yang berbeda. Demikian pula dengan suku bangsa Jawa. Suku bangsa Jawa memiliki kebudayaan khas

32

Perjuangan Perempuan, 55-58.

33


(11)

dalam sistem atau metode budaya yang menggunakan simbol-simbol atau lambang-lambang sebagai sarana, media untuk menitipkan pesan-pesan atau nasehat-nasehatnya.

Kata simbol berasal dari kata Yunani symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta simbol atau lambang ialah sesuatu seperti tanda: lukisan, perkataan, lencana dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu; misalnya warna putih ialah lambang kesucian. Di dalam Kamus Logika menyebutkan bahwa simbol adalah tanda buatan yang bukan berujud kata-kata untuk mewakili atau menyingkat sesuatu artian apapun.34

Kata budaya menurut perbendaharaan bahasa Jawa berasal dari kata budi dan daya. Penyatuan dua kata menjadi satu kata baru yang membentuk satu pengertian baru. Kata budaya berasal dari kata Sansekerta buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi dan akal. Jadi kebudayaan bisa diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal budi.35

Kebudayaan adalah semua hal yang adalah kelakuan manusia. Kebudayaan adalah perilaku manusia yang diajarkan terus menerus dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Bahkan lebih terperinci lagi bahwa dalam hal menyangkut yang bersifat material maupun non material. Dengan demikian maka kebudayaan meliputi kelakuan-kelakuan manusia baik yang rohani maupun yang jasmaniah sifatnya. Itu berarti semua yang dilakukan manusia. Berdasarkan definisi tersebut maka bisa dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kebudayaan adalah kelakuan atau kebiasaan yang senantiasa diulang-ulang serta diajarkan sebagai yang baik dan yang patut diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya.36

34 Herusatoto,Simbolisme, 10-11. 35

Herusatoto,Simbolisme, 6.

36


(12)

Kebudayaan sebagai cara berpikir dan cara merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan dari segolongan manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam satu ruang dan suatu waktu.37

Budaya Jawa adalah pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin.38

Menurut Frans Magnis Suseno lebih mengkhususkan bahwa yang disebut dengan orang Jawa adalah yang bahasa Ibunya adalah bahasa Jawa.39Menurut Marbangun Hardjowirogo, semua orang Jawa itu berbudaya Jawa. Mereka berpikir dan berperasaan seperti nenek moyang mereka di Jawa Tengah yaitu Kota Yogyakarta dan Kota Surakarta sebagai pusat-pusat budaya.40

Filsafat hidup Jawa ini terbentuk karena perkembangan kebudayaan Jawa akibat pengaruh Filsafat Hindu dan Filsafat Islam. Orang Hindu yang datang ke Jawa menyebarkan agama Hindu membawa serta filsafat Hindu. Tradisi Jawa, kepercayaan Hindu, tasawuf/mistikisme Islam dan agama Islam melebur diri menjadi suatu alam pikir Jawa/filsafat Jawa.41

Sikap hidup orang Jawa yang etis dan taat kepada adat-istiadat warisan nenek moyangnya, selalu mengutamakan kepentingan umum atau masyarakat daripada pribadinya sendiri. Hal ini jelas tergambar dalam pedoman-pedoman hidup yang sangat popular yaitu

Aja Dumeh dan Aji mumpung. Aja Dumeh adalah pedoman mawas diri bagi orang Jawa yang sedang dikaruniai kebahagiaan dalam hidupnya. Aja dumeh juga merupakan peringatan agar selalu ingat kepada sesamanya. Sedangkan Aji Mumpung atau yang sekarang lebih dikenal

37 J.W.M Bakker, Filsafat kebudayaan: sebuah pengantar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cetakan 1,1984), 21. 38 Suwardi Endraswara, Buku pinter budaya Jawa : mutiara adiluhung orang Jawa, (Yogyakarta: Gelombang

Pasang,cetakan pertama 2005), 1.

39 Frans Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafati tentang kebijaksanaan Hidup Jawa , (Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 1999), 11.

40

Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa, (Semarang : CV Masa Agung,1989), 7.

41


(13)

dengan mumpungisme adalah salah satu pedoman mengendalikan diri dari sifat- sifat serakah

dan angkara murka apabila seseorang sedang diberi anugerah kesempatan hidup” diatas”.

Orang Jawa percaya kalau hidupnya itu ada yang mengatur yaitu Tuhan, sehingga putaran hidup manusia itu digambarkan seperti “roda kereta “ yang berputar pada asnya. 42

Sikap hidup seorang pemimpin Jawa hendaklah bersifat satria dan pandita. Seorang pemimpin yang rame ing gawe, sepi ing pamrih, sugih tanpa banda atau giat bekerja, jauh dari keserakahan dan selalu merasa kaya akan kebijakan dan selalu memberi siapa saja yang minta pertolongan kepadanya.43

2.4.1.Budaya Patriarkal

Masyarakat Jawa menganut sistem kekeluargaan Patriarkal. Istilah Patriarkal secara harafiah berarti kekuasaan berada di tangan laki-laki. Budaya Patriarkal menguasai dan mewarnai hidup laki-laki dan perempuan. Hampir segala bidang di dominasi dan di kontrol oleh laki-laki terhadap perempuan sangat terasa.44 Pada mulanya kata ini digunakan untuk

menyebut suatu jenis “keluarga yang dikuasai oleh kaum laki-laki” yaitu rumah tangga besar patriarkal yang terdiri dari kaum perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak, dan pelayan rumah tangga yang semuanya berada dibawah kekuasaan sang laki-laki penguasa. Sekarang istilah ini dipakai secara umum untuk menyebut kekuasaan laki-laki, suatu hubungan kuasa dengan apa laki-laki menguasai perempuan, dan untuk menyebut sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai melalui bermacam-macam cara.45 Banyak orang beranggapan bahwa laki-laki dilahirkan untuk berkuasa dan perempuan untuk dikuasai. Anggapan ini selalu ada dan terus akan ada, dan bahwa seperti tatanan alam lainnya Patriarkal tidak bisa

42 Herusatoto,Simbolisme, 81-82. 43 Herusatoto,Simbolisme, 83.

44 Asnath Niwa Natar, Ketika Perempuan berteologi : Berteologi Feminis Kontektual, (Yogyakarta: Taman

Pustaka Kristen, 2012), 25.

45


(14)

diubah.46 Budaya Patriarki mengakibatkan perempuan berada pada posisi tawar yang lemah, sementara suara perempuan dalam memperjuangkan kepentingannya tidak tersalurkan melalui mekanisme pengambilan keputusan formal.47

Secara historis, munculnya ideologi Patriarkhi berasal dari Mesopotamia Kuno pada zaman Neolitikum, seorang dengan munculnya negara-negara kota. Bahkan menurut para feminis, munculnya hegemoni laki-laki atas perempuan, sesungguhnya terjadi jauh sebelum era Neolitikum yang menandai lahirnya negara-negara kota tersebut.

Antara tahun 3500-3000 SZB, di Mesopatamia bermunculan negara-negara kota. Kondisi ini mengakibatkan adanya peranan militer dan politik terhadap hegemoni. Hal ini memperkuat dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga menimbulkan adanya stratifikasi sosial pada masyarakat. Sistem keluarga patriarkhi yang memastikan penyampaian warisan dari ayah kepada anak laki-laki, dan pengontrolan seksualitas perempuan menjadi melembaga. Hal ini kemudian terekam ke dalam hukum dan kemudian mendapat legitimasi dan dukungan dari institusi politik maupun negara.

Kemunculan negara-negara kota pada zaman Mesopotamia Kuno, menyebabkan ditinggalkannya perempuan sebagai pekerja. Akibatnya kondisi ini semakin menjauhkan

perempuan dalam “petualangan” publik, yang bisa dihargai secara ekonomis. Dengan demikian, pengisolasian perempuan dari bursa kerja negara-negara kota, mengurangi kontribusi mereka dalam akses ekonomi. Kondisi ini semakin memperkuat sekunderisasi perempuan, bahkan lebih jauh merendahkan status perempuan.

Kondisi pengotrolan dan pembatasan gerak perempuan dalam konteks masyarakat Mesopotamian, semakin ditopang oleh aturan negara, berupa Undang-undang Hamurabi

46

Natar, Ketika Perempuan, 26.

47


(15)

(1750 SZB), yang dibuat atas nama dewa Perang, Marduk. Sekali lagi perlu dipahami bahwa peperangan merupakan simbol hegemonik dari petualangan laki-laki.

Kendati dalam banyak hal merugikan perempuan, kode Hammurabi masih memberikan sedikit hak kepada perempuan. Misalnya dikatakan bahwa bagi laki-laki yang menceraikan isteri-isterinya, diharuskan membayar ganti rugi. Aturan ini berbeda dengan Undang-undang Assyiria (1200 SZB), yang membatalkan hak-hak perempuan sebagai ibu. Hak itu diberikan kepada suami, yang belum tentu ia berikan kepada isterinya yag dicerai. Misalnya dinyatakan dalam ayat 183, bahwa bila laki-laki menceraikan isterinya, ia bisa memberikan sesuatu kepada isterinya bila ia mau, jika ia tidak mau memberikan sesuatu kepada isterinya, maka isterinya pergi dengan tangan kosong.48

Pada jaman dulu perempuan Jawa terikat serta terkekang kebebasannya oleh budaya Patriarkal yang melekat dalam masyarakat tradisonal. Peran Perempuan Jawa dalam hidup bergerejapun mengalami hal yang demikian. Hal ini sudah dibahas dalam bab 1 tentang sedikitnya Perempuan Jawa dalam jabatan gerejawi.49

Menurut teolog feminis Kristen, Elizabeth Florenso, mengatakan bahwa di tengah belenggu patriarkal yang sangat kuat berbagai catatan sejarah menunjukkan bahwa kaum perempuan banyak berkontribusi terhadap transformasi masyarakat dan perkembangan peradaban manusia. Perempuan aktif berjuang mempertahankan bangsa dan menata bangsa yang baru saja merdeka, mulai dari ikut mengangkat senjata di medan perang sampai

mendukung seruan Soekarno “ merebut Irian Barat” dan “Ganyang Malaysia”.50

Ide Patriarkal adalah bahwa “tugas laki-laki untuk menjadi pemimpin dalam rumah tangga dan mengendalikan kekuasaan atas kaum perempuan”. Kaum laki-lakilah yang akan

48Fatmagul Berktay,” Ciri Khusus Patrarkhi: Kontrol Sosial terhadap Tubuh Perempuan”, dalam Suralaga &

Rosatria (ed.), Perempuan: dari Mitos, 1-39.

49

Himpunan Pokok-pokok Akta Sinode GKJ, 205-206.

50


(16)

mewariskan nama keluarga. Apalagi dalam hukum waris hak perempuan hanya separuh hak laki-laki atau tentang warisanpun anak laki-laki 2kg (1 pikul) dan untuk anak perempuan 1kg (1 gendongan). Laki-laki menjadi pemimpin unggul yang harus mengurus semua dan mengambil keputusan sangatlah tertanam dan diakui, bahkan dapat menjadi sistem keluarga yang disepakati. Pada zaman dahulu hal ini memang sangat dipegang teguh oleh semua orang dan mereka yakin bahwa laki-laki memang bertanggung jawab penuh sebagai seorang pemimpin. 51

Ada tiga asumsi dasar dalam struktur masyarakat patriarkal yaitu:52 Pertama, Manusia pertama adalah laki-laki dan perempuan diciptakan darinya, sehingga ia adalah mahkluk sekunder. Kedua, Walaupun perempuan adalah mahkluk kedua dalam penciptaan, tetapi ia adalah mahkluk pertama dalam perbuatan dosa. Ketiga, Perempuan diciptakan dari dan untuk laki-laki, sehingga tumbuh anggapan bahwa perempuan tidak mempunyai hak untuk mendefinisikan status, hak dan martabatnya.

2.4.2.Pengaruh Budaya Jawa

Dalam pandangan kejawen, kesatuan kosmis yang harmonis dilengkapi dengan sebuah tata pikir yang bersifat hierarkis. Setiap mahkluk dalam tatanan kosmos Jawa dipandang memiliki posisi yang tidak seimbang. Ketidakseimbangan ini tercermin dalam konsep kekuasaan Jawa yang bersifat memusat, dimana pusat mempresentasikan superioritas baik secara mistis maupun sosial. Sehingga model kekuasaan seperti ini mendasari dan mengatur segala bentuk hubungan dalam dunia kosmos Jawa, tak terkecuali hubungan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki sebagai pusat kekuasaan dan perempuan periperinya. Karena spiritualitas dinilai sebagai aspek superior dalam upaya pencpaian moralitas tertinggi dalam

51 Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013, pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat) 52

Wanita Dalam Masyarakat Indonesia Akses.,Pemberdayaan dan Kesempatan, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, Cet I, 2001), 283.


(17)

kosmos Jawa, maka jelaslah apabila perempuan cenderung ditempatkan sebagai kekuatan moral yang inferior. 53

Melihat fenomena budaya dalam kontek Jawa yang begitu hirarkis dan feudal, sepertinya sulit terjadi sebuah perubahan, apalagi perubahan budaya dan pemaknaan akan budaya itu. Masyarakat yang patriakhal mungkin cenderung menempatkan lawan jenis sebagai manusia kelas dua.54 Jika berbicara mengenai hirarki dan kelas maka akan bermuara pada struktur sosial menyangkut 2 konsep, yaitu status dan peran. Status merupakan sekumpulan hak dan kewajiban sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Seseorang yang menjalankan perannya ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Selain itu juga ada konsep ini menunjukkan bahwa dalam suatu struktur sosial terdapat ketidaksamaan posisi sosial antar individu.55 Status dan peran berbeda dengan apa yang disebut sebagai kedudukan. Kedudukan adalah tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Hal ini menyangkut kedudukan seseorang dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak serta kewajiban-kewajibannya.56 Individu – individu, termasuk individu-individu Jawa adalah agen kultural yang aktif dan kreatif dengan menggunakan berbagai sarana prasarana yang tersedia.57

2.4.3.Perempuan Jawa

Perempuan Jawa adalah seorang perempuan yang dilahirkan oleh orang tua, bapak ibu, orang yang tinggal di tanah Jawa dan menjunjung budaya Jawa yang menonjolkan kesopanan. Perempuan Jawa tentunya juga mengemban kodratnya sebagai seorang

53 Perempuan Indonesia, 143.

54 G, Moetjanto, Konsep kekuasaan Jawa , Penerapannya oleh raja raja mataram, (Yogyakarta: Kanisius, 1987),

121.

55 Meriam Budiharjo, Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa ,(Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,1991), 16. 56 Soerjono Soekamto, Suatu Pengantar ( Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2006), 7.

57

Moh. Roqid, Harmoni dalam Budaya Jawa ( Dimensi Edukasi dan Keadilan Gender), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 41.


(18)

perempuan Jawa yang nota bene dilahirkan untuk berbudi pekerti dalam setiap „solah bawa‟nya (bertingkah laku), sehingga mampu menempatkan dirinya sebagai „konco wingking‟. 58

Peran perempuan Jawa sebagai “konco wingking” mengandung nilai filosofi sebagai sebuah “ketulusan dan kebesaran jiwa”. Secara kosa kata Jawa “wingking” memiliki arti

tempat/ruang/area yang posisinya di bagian paling belakang. Kalau peran perempuan menduduki area belakang, maka laki-laki diposisikan di depan, sebagai khalifah yang harus menindak lanjuti apa yang sudah direncanakan di belakang. 59

Ruang bagian belakang (wingking) merupakan tempat/ruang untuk mempersiapkan segala solusi dari sebuah persoalan, di sanalah seluruh kerepotan-kerepotan teknis yang sebenarnya terjadi. Padahal untuk pekerjaan tersebut sangat membutuhkan waktu dan beragam ketrampilan. Pekerjaan di (wingking) ini akan sangat melelahkan. Perempuan Jawa dapat diibaratkan sebagai pondasi sebuah bangunan yang mampu menopang tegar tinggi bangunan di atasnya. Perempuan Jawa sebagai pondasi tidak lagi butuh berpongah diri.

Sebagai pondasi perempuan Jawa rela “dipendam” dalam tanah (tidak nampak) agar

bangunan diatasnya dapat berdiri elok dan mentereng. 60

Perempuan Jawa dalam posisi tawarnya seakan berada di pihak yang pasif, ia sering

dibilang “swarga nunut, neraka katut”. Perempuan Jawa rela menerima dikatakan “nunut”

ketika menapaki pintu surga, sikap ini dilakukan tanpa protes apalagi memberontak.

Kemudian dipertegas dengan statemen “neraka katut”, yang dapat diartikan sampai di belanga neraka-pun perempuan tetap bertanggung jawab dan tetap setia menemani laki-laki (suami). Pertanggung jawaban secara spiritual semacam ini telah diambil perempuan Jawa

58 Hasil wawancara dengan Ibu Ne, Ibu Wh, Ibu Hw, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ

Semarang Barat)

59

AW/IDD, Perempuan Jawa Perempuan Pekerja,(Malang: 18 September 2012), jam 6:28, 2. 60


(19)

dihadapan Tuhannya. Perempuan Jawa sejatinya telah berani mengambil sikap, sebagai perempuan pekerja, perempuan yang tulus dan iklas dalam memberikan bhaktinya kepada sang kalifah.

Sosok perempuan (istri) ideal diibaratkan seperti lima jari tangan manusia. Ibarat jempol, perempuan harus mengabdi kepada laki-laki (suami). Ibarat telunjuk, perempuan harus menuruti perintah laki-laki (suami). Ibarat penunjul (jari tengah), perempuan harus mengunggulkan laki-laki (suami) bagaimanapun keadaaannya. Ibarat jari manis, perempuan harus selalu bersikap manis. Ibarat jari jejenthik, perempuan harus berhati-hati, teliti, rajin, dan terampil melayani laki-laki (suami).61Fenomena ini memang seolah telah menjadi trend setter bagi kebanyakan anggota masyarakat. Perempuan Jawa dalam kenyataaannya harus mutlak berada dalam koridor domestik.62

Sikap hidup Perempuan Jawa dituntut untuk memiliki budi pekerti luhur, menjaga etika, tata krama, kehalusan budi, menerima kodratnya sebagai perempuan, penurut, bersedia

mengalah, lemah lembut, dituntut untuk menjadi anak “manis” tidak macam-macam dan menempatkan peran sentral sebagai istri dan ibu yang baik.63

Sebagai penyeimbang Perempuan Jawa lebih dikehendaki untuk berperan dari aspek feminim. Sebagai ibu dengan peran mengasuh dan mendidik anak, menyediakan kebutuhan rumah tangga sehari-hari, melayani suami dan anak, lebih halus dalam berkomunikasi, tidak agresif, tidak dituntut untuk tampil memimpin baik di rumah, di masyarakat maupun di organisasi, sehingga interaksi Perempuan lebih banyak di rumah. Perempuan Jawa umumnya mendedikasikan hidupnya untuk melayani suami, anak-anak dan keluarga. Sebagai seorang istri tidak boleh mempermalukan suami, Istri harus selalu menghormat suami, dan menghargai suami, menempatkan suami begitu tinggi, dan memenuhi segala kebutuhan

61 Elizabeth D. Inandiak, Chentini Kekasih yang tersembunyi ( terjemahan), (Yogyakarta: Babad Alas, 2006) 62

Hildred Geertz, Keluarga Jawa, (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), 129-134.

63


(20)

suami. Oleh karena itu pengabdian total perempuan Jawa merupakan strategi diplomasi untuk mempunyai otoritas dan mendapatkan apa yang menjadi harapannya.64

Dalam rangka memelihara kesimbangan, keselarasan dan keserasian hidup orang Jawa tersebut, maka ada pembagian peran antara laki-laki dan perempuan di Jawa. Laki-laki pada umumnya diberi peran yang lebih maskulin yaitu bekerja keras untuk menafkahi keluarga, bertanggungjawab pada keluarga, menjadi pemimpin dalam keluarga, pemimpin dalam masyarakat/oraganisasi, lebih ekspresif menyampaikan pendapat/ide dsb, sehingga lebih berkesempatan untuk berinteraksi di luar rumah.65

Namun sejalan dengan berjalannya waktu pembagian peran perempuan dan laki-laki di Jawa tidak lagi sepenuhnya berpatokan pada laki-laki maskulin dan perempuan feminim. Tuntutan kerasnya hidup khususnya kebutuhan ekonomi telah mendorong perempuan untuk menjalankan dua peran. Peran pencari nafkah dan peran ibu dalam rumah tangga. Masyarakatpun memahami dua peran dan memberikan ruang yang cukup bagi perempuan untuk melaksanakan dua peran tersebut. Sejarah mencatat bahwa masyarakat Jawa sebagai pencetus tumbuhnya emansipasi perempuan di Indonesia melalui peran ibu R.A Kartini. Maka peran perempuan dalam memimpin keluarga, masyarakat maupun organisasi saat ini sudah lumrah akibat perubahan, namun hal itu mereka lakukan dengan tetap berusaha menjaga terjadinya kesimbangan, keselarasan dan keserasian hidup sehari-hari.66

Berbeda dengan peranan perempuan sebagai ibu secara wajar menciptakan peranan pendidikan anak-anak serta segala pengaturan rumah tangga. Tidak mengherankan apabila peranan perempuan lebih pada lingkungan keluarga dan rumah tangga, sehingga ada istilah

“kanca wingking” bagi para laki-laki (suami). Perempuan tidak banyak bertindak ke luar, lebih statis dan pasif, tunduk dan taat kepada kepala keluarga. Fungsi sosial dan ekonomi

64Hasil wawancara dengan Ibu Hl Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

65

Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

66


(21)

perempuan berbeda dari laki-laki, dan secara keseluruhan status perempuan dianggap rendah.67

Pandangan mengenai anggapan rendahnya kedudukan perempuan disebabkan karena sejak awal menurut adat tradisi selalu ditekankan perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan, salah satunya dalam hal pendidikan. Pendidikan bagi kaum perempuan belum bisa dirasakan secara merata oleh masyarakat umum. Batu-batu yang berdiri di pekuburan menunjukkan nenek moyang laki-laki dan yang rebah menjadi alamat atau simbol nenek moyang perempuan yang terkubur didalamnya.68

Pemerintah Indonesia yang begitu ngotot dalam memilah, menciptakan, mendoktrinasi dan memaksakan konsep gender adalah Orde Baru. Gender dipandang sebagai hal yang biner (lelaki dan perempuan) dengan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan. Kepasrahan perempuan juga sering kali diartikan sebagai pengabadian budaya bangsa.69

Perempuan dalam hal ini, dituntut untuk tidak saja menjaga diri mereka sendiri, namun juga keluarga dan manusia-manusia disekitarnya. Karena itu pula, fungsi perempuan Indonesia adalah penanda dan penjaga batas dari kebudayaan Indonesia.70

2.4.4.Kedudukan Perempuan Jawa

Kedudukan dan peran perempuan dalam masyarakat tidak terlepas dari sistem sosial budaya. Dengan demikian, perubahan sosial budaya akan mempengaruhi kedudukan dan peran perempuan.71 Seberapa banyak uang yang didapat, tidak akan pernah dianggap sebagai

67 Herusatoto,Simbolisme, 119. 68 Herusatoto,Simbolisme, 119.

69 Soe Tjen Marching, Kisah Di balik, 13. 70 Marching, Kisah Dibalik Pintu, 15. 71

Budi Munawar-Rahman, Rekontruksi Figh Perempuan Dalam Peradaban Mayarakat Modern, (Yogyakarta: ababil,1996), 47-48.


(22)

pencari nafkah. 72 Pemaparan tentang ideal menurut berbagai karya sastra Jawa mencerminkan sebagaimana kedudukan dan peran perempuan keluarga dan masyarakat. Dalam kehidupan keluarga, perempuan berkedudukan sebagai istri (garwa), pendamping laki-laki dan sebagai ibu rumah tangga yang melahirkan, menjaga, dan memelihara anak. Secara lebih luas sesuai dengan perannya dalam keluarga, perempuan dalam surat Candrarini dilukiskan bisa macak, manak, dan masak.73 Sedangkan untuk mengetahui kedudukan perempuan dalam keluarga Jawa maka perlu diperhatikan dan diketahui dari ciri terpenting dalam hukum adat Jawa tentang ikatan keluarga.74

Masyarakat Jawa memandang perempuan sebagai mahkluk indah yang dengan kecantikkannya menunjukkan sisi keserasian dan keindahan. Menurut falsafah Jawa perempuan adalah bunga yang indah, bumi yang subur, yang siap menumbuhkan tanaman. Perempuan adalah bunga yang indah, menebarkan bau harum mewangi dan membuat senang siapa saja yang melihatnya.75 Perempuan ideal dalam budaya Jawa digambarkan penyandra. Penyandra merupakan lukisan keindahan, kecantikan dan kehalusan melalui ibarat.76

Peran Perempuan Jawa pada masa lalu, konon diyakini hanya sebatas lingkup dapur (memasak), sumur (mencuci), dan kasur (melayani suami). Meminjam istilah Emile Durkheim yang dikutip oleh Julia Cleves Mosse, kaum perempuan Jawa modern sedang berada dalam kondisi anomie, masih menaruh rasa hormat yang tinggi terhadap budaya Jawa, tetapi gaya hidupnya sudah universal dan modern.77 Hal ini menunjukkan betapa sempitnya ruang gerak dan pemikiran perempuan sehingga tidak memiliki cakrawala diluar tugas-tugas domestiknya. Dengan demikian perempuan bekerja dirumah digambarkan sebagai perempuan

72 Munawar Budi-Rahman, Rekontruksi, 67-68

73 Seri Dian IV, Kisah Dari Kampung Halaman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996), 276. 74 Hildred Geertz, Keluarga Jawa, 5.

75 Harwijaya, Seks Jawa Klasik, (Yogyakarta : Niagara Pustaka Sufi, 2004), 66-69. 76

Harwijaya, Seks Jawa, 66-69.

77


(23)

yang tidak dapat mengupayakan atau menciptakan kebahagiaan bagi diri maupun keluarganya.78

Hubungan antara laki-laki dan perempuan amat penting dalam menentukan posisi keduanya yang meliputi peranan, kedudukan, hubungan dan tanggungjawab perempuan dan laki-laki dalam keluaraga dan masyarakat.79Perempuan telah menjadi bagian dari sejarah tetapi perempuan hampir tidak dihadirkan dalam sejarah sosial. Sebelum tahun 1990an, perempuan tidak dianggap penting dalam sejarah perempuan. 80 Lebih tragis lagi, pengkotakan laki-laki pada sektor publik dan perempuan disektor domestik juga berdampak pada perolehan hak-hak perempuan. Dengan konsep sepikul-saghenddhongan sebagai hukum pembagian harta warisan, seorang perempuan hanya memperoleh setengah dari yang diterima laki-laki. Laki-laki memperoleh bagian dua kali lipat dibanding yang diterima perempuan. Laki-laki mendapat sepikul dan perempuan mendapat se-gendhongan.81

2.4.5.Perempuan Jawa Dalam Bidang agama

Agama sebagai sebuah sistem kebudayaan bukan berarti agama itu budaya, akan tetapi agama mempunyai peran dalam membentuk dan mewarnai tingkah laku manusia dan masyarakat. Menurut Clifford Geertz, agama adalah sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan merumuskan konsep-konsep ini dengan semacam faktualitas, sehingga suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak lebih realistis.82

Departemen Kehakiman menemukan bahwa dalam ketentuan tentang keagamanan masih ada perlakuan yang diskriminatif terhadap perempuan. Indikasi adanya diskriminasi

78 Sri Suhandjati Sukri dan Ridin Sofwan, Perempuan Dan Seksualitas Dalam Tradisi Jawa , (Yogyakarta:

Gama Media, 2001), 36.

79 Mosse, Gender dan Pambangunan, 8.

80 Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan,Mempersoalan pokok mengenai feminism dan relevansinya , (Jakarta:

Gramedia,1993), 35.

81

Seri Dian IV, Kisah Dari, 291.

82


(24)

tersebut dapat dilihat dalam UU No. 1 / 1974 tentang perkawinan, yaitu: Pasal 7 ayat (1) perkawinan hanya diijinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun. Peraturan ini tidak memberikan perlakuan yang sama antara laki-laki dan perempuan.83 Pasal 31 ayat (3), Suami adalah Kepala Keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Peraturan ini membedakan peran yang rigid antara laki- laki dan perempuan.84

Ajaran keagamaan yang meremehkan kaum perempuan berkembang disebabkan oleh satu kenyataan bahwa ajaran agama itu dirumuskan dan disebarluaskan dalam struktur masyarakat patriarkal. 85

Masalah kedudukan perempuan (istri) menurut ajaran Kristen Prostestan selalu mengacu kepada hubungan suami istri seperti: Efesus 5:22,23,25 (22.Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, 23. karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. 25 Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya. 1 Petrus 3:1 mengungkapkan Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya.86

Selama berabad, pada umumnya diberikan tekanan pada “kepala” dengan

mengartikannya sebagai pemimpin yang berkedudukannya lebih tinggi dari perempuan. Hal ini berdampak kepada diskriminasif terhadap perempuan dalam hubungannya dengan kekeluargaan maupun kepemimpinan dalam gereja. Apalagi kalau ditambah dengan ayat-ayat yang mengatakan bahwa laki-laki diciptakan pertama kali oleh Allah baru kemudian

83 Wanita Dalam, 152.

84 Riant Nugroho, Dr. Gender dan Administrasi Publik,studi tentang Kua litas kesetaraan Gender dalam

Administrasi Publik Indonesia Pasca Reformasi 1998-2002, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. 1.2008), 222- 223.

85

Wanita Dalam, 283.

86


(25)

perempuan, sehingga ada kesan “superior dan inferior.87 Di bawah laki-laki, perempuan tidak mempunyai otoritas dalam sistem politik dan hukum yang menentukan ukuran-ukuran sanksi bagi terdakwa dan juga korban.88

Kedatangan misionaris tidak hanya membawa Injil Yesus Kristus tetapi juga dengan kebudayaan patriarkalnya. Tidak dapat disangkal bahwa Injil dan kebudayaan telah diramu

dalam satu paket” firman Tuhan” dan di sampaikan kepada umat.89

Dalam Alquran menekankan logika yang berasal dari Tuhan, laki-laki dan perempuan diciptakan dari jiwa (nafz) yang sama. Namun demikian, masih banyak para ahli hukum yang membatasi persamaan antara kedudukan laki-laki dan perempuan hanya sampai pada batas spiritual saja, dan membiarkan masyarakat membuat herarki-herarki dan pembatasan tentang gender.90 Lebih lanjut dalam Alquran menyatakan dalam bagian pertamanya (Alquran 4:34 disebut P) bahwa kaum laki-laki adalah qawwamun bagi perempuan. Apabila diterjemahkan secara terpisah… (P) kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karenanya Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan arena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.91 Sehingga jelas bahwa perempuan tidak mempunyai kedudukan dalam Islam. Posisi perempuan pada masa pra Islam tidak memiliki tempat terhormat dihadapan laki-laki karena tidak adanya pengakuan atau sikap laki-laki terhadap peran perempuan dalam masyarakat. Perempuan tidak memiliki hak dalam persoalan waris dan pemilikan harta. 92

Kendala terhadap perkembangan jati diri perempuan di kalangan islam banyak terjadi hambatan terhadap munculnya dalam berbagai kegiatan keagamaan, sosial, ekonomi, budaya

87 Wanita Dalam, 71-72.

88 Jane C. Ollenburger dan Helen A. moore, Sosiologi Wanita, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2002), 234. 89 Perempuan Indonesia, 68.

90 Wanita Dalam, 19. 91

Wanita Dalam, 23.

92


(26)

dan politik. Adapaun hambatan tersebut diantaranya kuranngya dipahaminya ajaran agama dengan baik dan tepat, Pengaruh adat kebiasaan dan budaya setempat. 93

2.4.6. Gereja Kristen Jawa dan Perempuan

Gereja Kristen Jawa merupakan gereja suku Jawa yang tumbuh dan berkembang di pulau Jawa. Bermula dari sembilan orang dari kalangan terbawah masyarakat Jawa dengan profesi buruh miskin, tukang membatik yang bekerja pada Ny. Van oostrom Phillips di Banyumas, nekad berjalan kaki sejauh 300 Km. Suatu perjalanan panjang untuk sekedar mendapatkan tanda baptis dari Zendeling NZG W. Hoezoo pada tanggal 10 Oktober 1858. Mereka inilah cikal bakal pertama gereja yang nanti bernama Gereja Kristen Jawa. GKJ tumbuh pertama kali dikawasan Banyumas oleh golongan akar rumput, buta huruf, anggota masyarakat kelas bawah. 94

Tokoh Jawa yang sangat terkenal dalam memberitakan injil kepada masyarakat Jawa yaitu Kyai Sadrach. Semula Kyai Sadrach adalah seorang yang suka ngelmu (usaha manusia untuk mengetahui rahasia hidup). Ia bertemu dengan Kyai Tunggul Wulung, yang sudah menjadi Kristen karena pemberitaan injil dari Mr.FL Anthing. Akhirnya Kyai Sadrach bertemu dengan Mr.FL. Anthing dan mendapat pelajaran tentang Injil. Berbekal pelajaran yang diterima maka Kyai sadrach memberitakan injil dengan menggunakan bahasa Jawa dan adat Jawa yang tidak bertentangan dengan iman Kristen. Ia berkelana memberitakan Injil di daerah Jawa Tengah, dari daerah Purworejo ke utara terus ke timur sampai ke daerah Kendal.95

Seiring dengan perkembangan jaman, maka banyaklah orang Jawa yang menganut agama Kristen. Pertumbuhan jemaat yang ada di Pulau Jawa tidak terlepas dari pekabaran Injil dari Zending. Pada kenyataannya gereja Jawa tumbuh dalam ketergantungan yang akut

93 Wanita Dalam, 242. 94

Sejarah Singkat Sinode Gereja Kristen Jawa , (Salatiga: Agenda Sinode GKJ, 2014), 45-49.

95


(27)

pada Pendeta Missi dan zendingnya. Pendewasaan kelompok Gereja-gereja pertama kali terjadi atas gereja Purworejo (4 Februari 1900), disusul dengan pendewasaan gereja di kota-kota di Pulau Jawa. Sehingga 17 Pebruari 1931 berdirilah Gereja-gereja Kristen Jawa di Kebumen Jawa Tengah.96

GKJ yang sebagian besar Jemaatnya berkultur Jawa menganggap sebagai suatu hal yang wajar jika laki-laki diberi peran lebih dalam mengelola kehidupan berjemaat dibanding perempuan. Partisipasi perempuan dalam kehidupan GKJ juga masih tergantung pada kemampuan perempuan untuk melakukan manajemen waktu dengan tugas-tugas profesi dan keluarga. Terkadang kaum perempuan Jawa sendiri yang merasa dirinya kurang mampu dan kurang berani dalam mengambil keputusan sehingga tidak mau berperan sama dengan laki-laki.97

Peran perempuan dalam kehidupan Gereja Kristen Jawa masih sangat kurang. Hal ini didukung dengan adanya larangan melalui akta Sidang Sinode. (sudah tertuang dalam bab 1). Sebagai penyeimbang Perempuan Jawa lebih dikehendaki untuk berperan dari aspek feminim. Sebagai ibu dengan peran mengasuh dan mendidik anak, menyediakan kebutuhan rumah tangga sehari-hari, melayani suami dan anak, lebih halus dalam berkomunikasi, tidak agresif, tidak dituntut untuk tampil memimpin baik di rumah, di masyarakat maupun di organisasi, sehingga interaksi Perempuan lebih banyak di rumah.Perempuan Jawa umumnya mendedikasikan hidupnya untuk melayani suami, anak-anak dan keluarga. Sebagai seorang istri tidak boleh mempermalukan suami, Istri harus selalu menghormat suami, dan menghargai suami, menempatkan suami begitu tinggi, dan memenuhi segala kebutuhan

96 Sejarah Singkat, 45-49. 97

Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Ibu Vk, Ibu Wh, Ibu Srk, IbuHw, Minggu, 19 Januari 2014, pkl 19.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)


(28)

suami. Oleh karena itu pengabdian total perempuan Jawa merupakan strategi diplomasi untuk mempunyai otoritas dan mendapatkan apa yang menjadi harapannya.98

2.5. Perspektif Perempuan Jawa tentang identitas Perempuan

2.5.1.Bermartabat sebagai Ciptaan Tuhan

Sejak semula, Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan.Manusia diciptakan segambar dengan Allah, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia, laki-laki dan perempuan. Allah melihat untuk segala sesuatu yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Karena ia diciptakan menurut citra Allah, manusia memiliki martabat sebagai pribadi: ia bukan hanya sesuatu, melainkan seorang. Ia mampu mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas dirinya, mengabdikan diri dalam kebebasan dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain. Perempuan sebagai ciptaan Tuhan Allah yang sejajar dengan laki-laki. Masing-masing dilengkapi dengan kebaikannya dan keindahannya. Dan semuanya itu baik adanya. Allah memberkati dan mengasihi keduanya. Hal itu menandakan bahwa laki-laki maupun perempuan begitu berharga di mata Allah dan keberadaan perempuan dan laki-laki sangat berarti. Hidup sebagai perempuan atau laki-laki merupakan anugerah Allah. Allah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk saling melengkapi dan mengembangkan satu terhadap yang lain. Dengan kata lain, laki-laki dan perempuan bersifat komplementer (Kej 2 : 18-25). Mereka saling membutuhkan dan saling tergantung satu sama lain. Laki-laki tidak dapat hidup tanpa perempuan dan sebaliknya perempuan tidak bisa hidup tanpa laki-laki. Setiap laki-laki atau perempuan dipanggil untuk mengembangkan dirinya sebagai laki-laki dan sebagai perempuan menuju kesempurnaannya sebagaimana dikehendaki Allah.99

98 Hasil wawancara dengan Ibu Srk, Ibu Sr, Ibu Hl, Minggu, 29 Desember 2013, pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ

Semarang Barat)

99

Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Sp,Vk,Wh, Minggu,12 Jan 14. pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)


(29)

Manusia memiliki akal budi, kehendak bebas dan hati nurani. Dengan akal budinya, manusia dapat mengerti dan menyadari dirinya dan dunia sekitarnya, dapat mengembangkan hubungan yang khas antar manusia dan dapat membuat kemajuan. Dengan kehendak bebasnya, manusia dapat bertindak, yaitu melakukan sesuatu dengan sengaja dan bertanggung jawab. Ia dapat melakukan tindakan-tindakan moral. Dengan hati nurani manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik dalam kehidupan kita sehari-hari. Manusia dikaruniakan kemampuan untuk “berkuasa” oleh Allah. Ia diberi kuasa untuk memanfaatkan, menata, dan melestarikan ciptaan lainnya. Ia menjadi rekan sekerja dari Tuhan untuk mengembangkan alam ini. Karena semua manusia adalah citra Allah, berasal dari Allah, maka semua manusia mempunyai ikatan kesatuan. Mereka harus saling mengasihi, menghormati, tidak saling menghina dan merendahkan serta hidup sebagai saudara satu terhadap yang lain.100

Kesederajatan antara perempuan dan laki-laki lebih menyangkut pemberian kesempatan untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan diri seluas-luasnya tanpa kekangan. Hal itu berarti memberi kemungkinan yang sama kepada laki-laki dan perempuan untuk memiliki dan mengungkapkan ide, gagasan, dan kreatifitasnya demi pengembangan diri dan sesamanya. Perempuan mengungkapkan bermartabat untuk menyejajarkan identitas dalam budaya Jawa. Perempuan mendapatkan hak hidup yang sama dengan laki-laki. Kejadian 2:18, TUHAN Allah berfirman mengungkapkan bahwa posisi perempuan sebagai penolong laki-laki yang sepadan. "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan

penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” ( Kejadian 2:18).101

100

Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Sp,Vk,Wh, Minggu,12 Jan 14. pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

101


(30)

Responden menyampaikan bahwa Perempuan Jawa bukan hanya sekedar “ konco wingking” tetapi adalah pasangan yang sepadan dengan laki-laki. Sosok Perempuan sebagai ciptaan Tuhan merupakan pendamping bagi laki-laki, pendorong semangat bagi laki-laki dan

“sigaraning nyawa” atau belahan jiwa bagi laki-laki. Sehingga Perempuan Jawa dituntut sikap hidupnya untuk memiliki budi pekerti luhur, menjaga etika dan martabat suami serta keluarga.102

Perempuan Jawa harus ditumbuhkembangkan adanya pemahaman tentang kesetaraan gender di tengah kehidupan berjemaat. Idealnya antara laki-laki dan perempuan itu sepadan. Laki-laki harus memberi kesempatan kepada kaum perempuan untuk bisa tampil dan berprestasi. Ternyata kesadaran laki-laki dan perempuan dapat menjadi kekuatan untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan antara manusia laki-laki dan perempuan. Hal ini merupakan bukti sebagai ciptaan Tuhan yang segambar dengan Allah. Kaum perempuanpun juga harus semangat dan percaya diri supaya bisa mengembangkan potensi diri dalam bergereja, masyarakat, maupun dalam keluarga. Perempuan Jawa jangan dibeda-bedakan dengan pendeta laki-laki, untuk membuktikan perlu dicoba kemampuannya. 103

Menurut responden, Perempuan sudah mendapatkan kesempatan yang sama besarnya. Peluang untuk mengembangkan karier cukup terbentang luas tanpa ada batasan seperti dahulu lagi. Ini artinya perempuan sudah menemukan martabatnya sebagai ciptaan Tuhan, yaitu Perempuan mendapatkan kesempatan berkarya yang sama. Tugas-tugas antara laki-laki dan perempuan sudah tidak dibedakan. Perempuan mempunyai kesempatan yang sama dalam melakukan pekerjaan di tengah-tengah masyarakat, namun perempuan harus tetap ingat akan tugasa dan kodrat sebagai perempuan. Di tinjau dari berbagai kebijakan pemerintah diantaranya Garis Besar haluan Negara (GBHN) 1993, perempuan yang bermartabat di

102

Hasil wawancara dengan Ibu Wh, Ts, Senin, 2 Des 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

103

Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Sp,Vk,Wh, Minggu,12 Jan 14. pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)


(31)

Indonesia mendapat kesempatan yang sama seperti laki-laki untuk mengenyam pendidikan dan untuk bekerja.104

Perlu diingatkan kembali bahwa dihadapan Tuhan semua manusia baik laki-laki maupun perempuan adalah samaderajatnya, tidak ada warga Negara kelas 2. Dengan pemahaman yang demikian, diharapkan supaya kaum perempuan tergugah dan terbuka hatinya untuk sadar atas tanggungjawab gereja. Jika perempuan mampu melihat seseorang dari potensinya, karakternya, integritas orang tersebut dan komitmennya maka akan lebih adil dalam menilai seseorang tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, Pendeta perempuan harus diberi kepercayaan penuh.105

2.5.2.Identitas sebagai manusia berbudaya Jawa

Pandangan budaya Jawa tentang segala mitos Perempuan Jawa selalu diperhadapkan dengan konflik dalam keluarga, gereja dan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, Perempuan Jawa yang ideal adalah perempuan yang dapat menjalani hidup secara independen, percaya akan kemampuan dirinya, mampu menampilkan dirinya sebagai pribadi yang utuh, serta memiliki keberanian untuk melakukan protes terhadap tindakan yang merugikan kaumnya dalam hidup berkeluarga, bernegara maupun bergereja. Seorang perempuan Jawa yang ideal juga harus mampu berjuang menuntut hak-hak kaumnya yang selama ini terbelenggu oleh si perempuan sistem patriakal. Perempuan Jawa untuk turut terlibat dalam pekerjaan yang bernilai ekonomi karena itu satu-satunya jalan untuk dapat dihargai sebagai seorang pribadi yang utuh.106

Responden mengungkapkan bahwa Budaya Jawa adalah kebiasaan-kebiasaan hidup manusia yang dilakukan bersama oleh sekelompok masyarakat khususnya masyarakat yang

104

2012,Pengarusutamaan Jender Lingkup Departemen Kehutanan, (http://www.dephut.go.id/index.php/news/detail/269) Diakses pada tanggal 10 September 2014.pkl 21.12.

105

Hasil wawancara dengan Ibu Wh,Ts,Bl, Minggu,5 Jan 14. pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

106


(32)

berasal atau tinggal di pulau Jawa dan berbahasa Jawa. Masyarakat yang berbudaya Jawa percaya bahwa dalam kehidupan sehari-hari perlu mengutamakan keseimbangan, keselarasan dan keserasian. Hal ini tampak dalam keseharian hidup orang Jawa dari upaya mereka menjunjung tinggi kesopanan dan kesederhaaan.107

Perkembangan Jaman seperti sekarang ini, mendorong perempuan Jawa harus bisa mandiri dan tidak boleh bergantung pada laki-laki. Perempuan Jawa bukan berarti pembantah tetapi karena sudah adanya kemajuan dalam hal pendidikan maupun pengaruh luar, harus berani tampil dan juga bersaing dengan laki-laki. Perlawanan perempuan terhadap budaya ini sudah dibuktikan oleh R.A Kartini. Maka sudah saatnya peran perempuan dalam memimpin keluarga, masyarakat maupun organisasi. Perempuan Jawa sudah terbiasa hidup dalam perubahan dengan tetap berusaha menjaga terjadinya kesimbangan, keselarasan dan keserasian hidup sehari-hari.108

Responden mengungkapkan bahwa Perempuan Jawa lebih maju, pandai, bisa mencari nafkah sendiri, mampu menjadi seorang pemimpin. Perempuan Jawa semakin terangkat derajatnya dengan adanya kesamaan gender dan sudah dibuktikan dengan mempunyai Presiden Perempuan. Perempuan memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu, mendapatkan jabatan struktural, baik dalam bidang politik dan organisasi sosial. Sudah mulai diberi kesempatan, terbukti dengan adanya kuota-kuota yang di sediakan bagi perempuan dalam berbagai bidang untuk menduduki jabatan puncak. Sekarang saatnya perempuan Jawa mewujudkan Emansipasinya. Hal ini seharusnya membuat perempuan makin sadar untuk menumbuhkan kemauan dan kemampuan agar memiliki peran yang sama dengan laki-laki. Telah banyak bukti Perempuan Jawa kompeten sebagai pemimpin lokal,

107

Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

108

Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Sh,TFj,Hl, Minggu,2 Des 13.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)


(33)

nasional bahkan dunia. Bahkan di era Reformasi untuk pertama kalinya Indonesia memiliki pemimpin negara perempuan.109

Perempuan Jawa kini semakin aktif berpolitik dengan adanya ketentuan Caleg dari satu partai harus mencapai 30% dari seluruh calon. Peran perempuan Jawa dalam berpolitik sangat baik yaitu ada menteri perempuan, presiden perempuan. Bahkan ada perempuan Jawa mampu menjadi pemimpin bank dunia yaitu dalam diri Sri mulyani. Partisipasi perempuan Jawa sebagai pemimpin politik telah mengalami peningkatan. Perempuan Jawa yang sudah mempunyai wawasan yang luas dapat diandalkan dalam kancah politik. Kaum perempuan saat ini sudah pandai-pandai dan kuat serta mandiri.110

Perempuan Jawa sebenarnya lebih maju, pandai, bisa mencari nafkah sendiri, mampun menjadi seorang pemimpin. Pada masa Orde Baru kondisi perempuan Jawa terangkat derajatnya dengan adanya Undang-undang Perkawinan dan PNS harus hanya mempunyai satu istri. Kondisi perempuan Jawa dalam konteks orde baru, peran perempuan lebih meningkat hal ini terbukti dari beberapa perempuan yang tampil dalam jabatan politik, jabatan struktural maupun dalam organisasi sosial. Dan sebagai perempuan Jawa tetap menunjukkan ciri khas kejawaannya yang selalu andhap asor, walau perempuan Jawa tersebut menduduki jabatan sebagai ketua/kepala dalam unit kerja/aktifitasnya. Kaum perempuan lebih mempunyai peluang yang lebih besar dalam berperan, perempuan mulai berperan di gereja dan di masyarakat. Sudah mulai ada pejabat perempuan Jawa dalam pemerintahan, dalam perusahaan dan banyak juga jenis pekerjaan laki-laki yang mulai dikerjakan oleh perempuan. Perempuan Jawa mengalami perubahan, dengan adanya emansipasi perempuan maka sudah banyak yang berpendidikan tinggi dan bekerja

109

Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Ks,Nn,TFj, Minggu,28 Jan14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat

110

Hasil wawancara dengan Ibu Ks,Wh,Hl,Nn,Hs, Minggu,19 Jan14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)


(34)

sebagaimana laki-laki. Perempuan Jawa diberi kesempatan dalam berpendidikan, berkarya dan bekerja.111

Dalam menjalankan tugasnya, perempuan Jawa pasti tidak mau kalah dengan kaum laki-laki, terlebih lagi pendeta laki-laki bahkan lebih hebat. Untuk itulah, tuntutan pendeta perempuan harus profesional dan proporsional dalam tugas pelayanannya. Secara normative tidak ada aturan dari Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ yang membatasi dan mendiskriminasi. Perempuan Jawa jaman sekarang juga sudah banyak yang tampil sebagai pemimpin diberbagai lembaga/ instansi, perusahaan bahkan dikancah politik.112 Perempuan perkotaan dalam realitas banyak yang mandiri, aktif, kritis, keluar dari lingkungan domestiknya dan mampu memenuhi tuntutan perkembangan jaman. 113

Identitas merupakan konsep pemikiran klasik yang selalu mencari kesejatian pada yang identik. Segala suatu harus memiliki identitas, memiliki kategorisasi dan terumuskan secara jelas. Aristoteles yang dikatakan sebagai bapak identitas, menyatakan bahwa sesuatu tanpa identitas adalah mustahil.114 Identitas, dikhotomi dan kodrat, tidak lain adalah hasil dari proses hegemoni wacana budaya patriarkhi, yang dilanggengkan melalui sejumlah piranti sosial dan bahkan politik untuk mengokohkannya. Dalam konteks Indonesia misalnya bisa dilihat pendefinisian perempuan/isteri sebagai pendamping laki-laki/suami, dikokohkan oleh institusi sosial berupa Dharma wanita. Demikian juga wacana mengenai posisi laki-laki/suami sebagai pemimpin, juga ditopang kuat oleh institusi agama.115

Selama ini perempuan tersisihkan dikarenakan rangkaian konvensi yang sangat kuat mengatur perbedaaan antara peran privat dan peran publik perempuan. Pembedaan ini

111

Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Ks,Nn,Vk,Ews,Wh,Hw,DIk, Minggu,28 Jan 14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

112

Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Nn,Ts,Wh, Minggu,5 Jan14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

113 Einar M Sitompul, Agama-agama & Perjuangan Hak-hak Sipil, (Jakarta : Marturia, 2005), 160.

114Donny Gahral Adian,” Feminis Laki-laki Sebagai Seni Pengambilan Jarak”, dalam Nur Iman Subono (ed.)

Feminis Laki-laki: Solusi Atau Persoalan (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan- The Japan Foundation, 2001), 23-34.

115

Veven Sp. Wardhana, “ Puanografi dan Media: Yang Bukan perempuan (Tak) Ambil Bagian”, dalam Nur Iman Subono, Feminis Laki-laki, 90.


(35)

memotong akses perempuan dipatok terus pada kewajiban-kewajiban di lingkup privat yang menghabiskan hampir seluruh waktunya setiap hari, seperti yang ditekankan oleh Louise Ackers bahwa perempuan terperangkap dalam pekerjaan domestik yang membutuhkan full-time. Tanggung jawab domestik yang amat banyak ini membuat mereka sulit untuk

berpartisipasi sebagai warga negara yang „sesungguhnya‟ di ranah publik.116

Gambaran ideal perempuan Jawa harus mempunyai sifat gemi, ati-ati, nastiti, sebagai bentuk bakti kepada laki-laki.117 Ki Hajar dewantara mengatakan: “Inilah keadaan yang nyata, yang khas, dan tubuh-tubuh perempuan itu berbeda sekali dengan badan laki-laki, perbedaan itu berhubungan dengan kodrat perempuan, yaitu kewajibannya karena akan menjadi ibu, akan mengandung anak, melahirkan anak dan lain-lain”.118 Adapun fungsi sebuah peran merupakan aspek dinamis dari status tersebut. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peran. Peran sendiri adalah bagian yang dimainkan seseorang pada setiap keadaan dan disertai dengan cara tingkah laku untuk menyelaraskan diri dengan keadaan tersebut.119

Pada umumnya masyarakat Jawa masih menilai tinggi bahwa setelah menikah sebaiknya perempuan tinggal dirumah mengurus rumah tangga dan mendidik anak.120 Seorang laki-laki tidak pantas menyibukkan diri dengan seluk beluk rumah tangganya.121Dalam masyarakat Jawa, cerminan kepribadian perempuan Jawa akan terlihat dalam sistem sosialnya, yakni bersifat conform ( berusaha menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku supaya dapat memenuhi harapan lingkungan masyarakatnya, meskipun tindakan-tindakannya itu tidak sejalan dan sesuai dengan keinginannya), melalui proses sosialisasi dan

116 Louse Ackers,Shifting Space: Women, Citizenship and Migration within th European Union, 41. 117 Sri Suhandjati Sukri, Perempuan dalam Tradisi Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2001), 85.

118 J Raharjo, Wanita Kota Jakarta,Kehidupan Keluarga dan Keluarga Berencana (Yogyakarta: GajahMada

University Press, 1980), 16.

119 Brunetta R Wolfman, Peran Kaum Wanita, cet V (Yogyakarta: Kanisius,1994), 10.

120 Proyek Penelitian (Javanologi), Wanita Jawa dan Kemajuan Jaman, peny. Gandarsih M.R. Santosa

(Yogyakarta: ttp,1985), 5.

121


(36)

inkulturasi. Sosialisasi yang didapatkan perempuan adalah bahwa perempuan harus manis, diam, menurut, menerima dan mendengarkan serta selalu mendukung. Sebaliknya perempuan dilarang interupsi dan bertindak kompetitif.122

Dalam keseharian hidup orang Jawa mengutamakan hubungan baik seperti: kerukunan, tolong menolong, ramah, santun, tidak agresif, tidak suka berdebat, tidak menonjolkan emosi, tidak to the point, tidak suka mengkirik orang, Mikul dhuwur, mendhem jero artinya menghormati orang lain terutama kepada atasannya, orang tuanya atau suami/isterinya, serta menyimpan aib saudaranya didalam hatinya, dan sebagainya. Dalam berkomunikasi tingkat kesopanan, keseimbangan, keselarasan dan keserasian diperhatikan melalui penggunaan bahasa yaitu bahasa Jawa yang bertingkat dari ngoko, krama hingga krama inggil. Orang Jawa akan berusaha menggunakan tingkatan bahasa Jawa dan memperlihatkan bahasa tubuh yang akan menimbulkan kesopanan dan keselarasan hidup dengan orang lain. Budaya Jawa menjunjung tinggi derajat laki-laki dan seorang perempuan dianggap sebagai konco wingking.123

Nilai-nilai tradisional Jawa banyak dipengaruhi oleh ajaran Islam 124 yang menginterpretasikan laki-laki sebagai pemimpin perempuan mengharuskan perempuan untuk patuh kepada laki-laki. Pentingya kepatuhan perempuan itu direfleksikan dalam ungkapan

“swarga nunut neraka katut” yang artinya seorang perempuan harus mengikuti laki-laki dengan setia, apakah ia akan ke surga atau ke neraka.125

Budaya Jawa juga menghasilkan kepercayaan sendiri yaitu Kejawen. Kejawen itu sendiri berisikan seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa dalam menjalankan hidup mereka sehari-hari, dalam interaksi dengan Tuhan, alam dan sesama

122 Nasarudin Umar, Bias Jender dalam pemahaman Islam, (Yogyakarta: gama Media, cet I, 2002), 18. 123

Hasil wawancara dengan Ibu Hl,Ibu Ckb Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

124 Mark R Woodword, Islam Jawa; Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, alih bahasa hamus Salim HS,

(Yogyakarta: LKiS,1999), 89.

125


(37)

manusia. Kejawen ini semacam spiritualitasnya suku Jawa. Dulu masyarakat Jawa adalah penganut agama Hindu, Budha dan Kejawen. Peninggalan kehidupan sehari-hari serta kehidupan agama masa Hindu - Budha masih bisa kita temukan hingga sekarang. Namun mengingat mayoritas orang Jawa sekarang telah menganut agama Islam, Kristen atau Katholik, maka nilai Hindu, Budha atau Kejawen tidak lagi mendominasi budaya hidup mereka. Secara kelas sosial orang Jawa dapat dibagi dalam 3 kelas yaitu Abangan, Priyayi

dan Santri. Sejarah yang menunjukan bahwa di Jawa dapat menerima pengaruh masuknya berbagai agama, etnis, interaksi ekonomi ini sebenarnya telah membentuk masyarakat Jawa yang tidak suka konfrontasi, hidup harmonis dan toleran dengan perbedaan. 126

Dari uraian diatas, pandangan atau perspektif perempuan Jawa tentang identitas Perempuan adalah bahwa perempuan Jawa masih mengalami tekanan dalam hidupnya. Perempuan Jawa masih merasakan adanya pembedaan, martabatnya masih rendah, dianggap menjadi sumber masalah, tidak boleh interupsi, kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki, dan masih dimasih diperlakukan sebagai konco wingking. Perempuan Jawa masih dianggap sebagai pembantu penguasa dalam hal ini laki-laki. Perempuan Jawa menganggap bahwa perundang-undang yang bias, tidak menjamin akan hak-haknya dan Pemerintahpun belum mempunyai kepekaan akal hal ini.

2.5.3.Perempuan Jawa mengubah sistem Patriakal

Segala anggapan dan perlakuan perempuan dalam gereja, masyarakat, keluarga menimbulkan gerakan untuk melakukan sebuah perubahan. Demikian pula pemahaman responden, sangat diperlukan adanya rekontruksi atau perubahan cara pandang. Perubahan cara pandang harus dilakukan oleh semua pihak karena pada umumnya budaya tidak mudah

126


(38)

untuk diubah, butuh waktu untuk mengubah kebiasaan, dan butuh keterlibatan berbagai pihak. 127

Perempuan Jawa jaman sekarang sudah “dibebaskan” atau bebas dari penindasan, tidak merasa ditindas seiring kemajuan emansipasi perempuan dalam berbagai bidang. Pada saat ini perempuan sudah lebih dapat menikmati hak-haknya. Jika perempuan itu berpendidikan, berwawasan yang luas, beriman dan berkeinginan maju dan berkeinginan untuk bangkit dan maju maka akan sulit ditindas. Kesempatan perempuan Jawa untuk menuntut ilmu sama seperti laki-laki. 128

Untuk jaman sekarang ini, sudah banyak berubah dimana kaum perempuan mendapat hak yang sama dalam gereja, terlihat dengan banyak majelis perempuan, pendeta perempuan dan juga pelayan-pelayan gerejawi yang lainnya juga banyak yang perempuan. 129 Peran perempuan di luar kehidupan keluarga, bahan mulai dipandang sangat kompeten menjadi pemimpin. Perempuan pada masa ini diperbolehkan ikut partai politik melalui Partai Golkar yang dimotori oleh Kowani. Bahkan sebagai penghargaan beberapa pengurus Kowani disediakan kursi diadalam Parlemen (DPR dan MPR). Pada masa Orde Baru ini pemerintah membentuk organisasi perempuan yang diberi nama Komisi Nasional kedudukan Wanita Indonesia ( KNKWI ).130

Dalam kehidupan bergereja di GKJ, perempuan sudah banyak yang diangkat sebagai penatua dan diaken, bahkan dalam perkembangannya mampu menjadi ketua komisi, ketua panitia. Maka perempuan diperlukan juga agar dapat ambil bagian di kehidupan Gereja Kristen Jawa. Dan bukan hanya itu saja adanya masalah gender memang seharusnya perempuan juga ambil bagian di kehidupan Gereja Kristen Jawa. Gereja Kristen Jawa tidak

127

Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Minggu, 5 Januari 2014,pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

128

Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Nn,Ts,Wh, Ns, Minggu,21 Des13.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

129

Hasil wawancara dengan Ibu Hw, Minggu,21 Des 2013.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

130


(1)

secara lebih sempurna oleh laki yang baik dan bertanggung jawab dan bukan oleh laki-laki yang hanya ingin santai dan tidak mau bekerja keras atau dan hanya tinggal di rumah.144

Opini responden, budaya patriakal dapat dilakukan dalam keluarga sepanjang kondisi laki-laki memenuhi kriteria untuk berperan dalam aspek maskulinitas, sehingga perempuan bisa memilih fokus pada peran mengurus rumah tangga, mendidik dan menyertai agar anak anak dapat tumbuh dengan baik. Akan tetapi sejalan dengan tumbuhnya emansipasi yang menumbuhkan peluang perempuan makin terdidik, kesempatan dalam ikut berperan dalam ekonomi keluarga, maka meskipun pria mampu sebagai pemimpin keluarga, namun atas kemauan perempuan itu sendiri dan dukungan keluarga, perempuan tetap dapat berperan dan berkontribusi bagi masyarakatnya dalam berbagai bidang.145

Peran perempuan Jawa bahkan dapat lebih mendominasi dalam keluarga, akibat laki-laki memberikan peluang atau karena laki-laki-laki-laki tidak dalam kondisi mampu bertanggung jawab sepenuhnya dalam kehidupan keluarga.146 Hal inilah yang membuat sistem patriarkal masih diakui oleh banyak orang dan dilakukan sampai sekarang karena dapat membangun keseimbangan, keselarasan, keserasian hidup berkeluarga.147

Cara pandang seseorang memang tidak terlepas dari konsep budaya yang sudah ada khususnya budaya Jawa. Tetapi cara pandang yang sudah terpartri dapat diubah dengan memberikan masukan dan meyakinkan akan kemampuan Pendeta perempuan. Perubahan itu perlu dilakukan supaya perempuan-perempuan itu tergugah dan terbuka hatinya untuk sadar atas tanggungjawab gereja. Apalagi memiliki pendeta perempuan, kaum perempuan akan lebih leluasa untuk membicarakan masalah mereka secara pribadi.148 Kebudayaan bukanlah

144

Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

145

Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

146

Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

147

Hasil wawancara Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

148

Hasil wawancara dengan Ibu Ne, Ibu Wh, Ibu Hw, Minggu, 12 Januari 2014,pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)


(2)

sesuatu yang statis, tetapi berkembang seiring dengan berlakunya waktu dan berjalannya sejarah. Dengan berkembangnya masyarakat, peran-peran yang dijalani oleh perempuan dan laki-laki tidak lagi hanya ditentukan oleh kebudayaan, tetapi juga oleh ideologi yang dominan pada suatu masa dan oleh faktor-faktor sosial, politik dan ekonomi.149

Ternyata para responden menginginkan sesuatu yang ideal terlebih dalam era yang makin memberi ruang tumbuhnya kesamaan peran laki-laki dan perempuan, maka GKJ perlu memotivasi perempuan untuk tampil menjadi Pendeta perempuan atau pemimpin Jemaat. Gereja harus terbuka dengan perkembangan jaman, di mana kaum perempuan saat ini sudah pandai-pandai dan kuat serta mandiri. Hal ini perlu ditempuh dengan jalan melakukan sosialisasi dan menunjukkan jalur yang harus mereka tempuh untuk sampai kesana yaitu kompeten menjadi Pendeta Perempuan. Usaha yang harus ditumbuhkembangkan adalah adanya kesetaraan gender di tengah kehidupan berjemaat. Disamping itu kelompok laki-laki harus mau memberikan peluang, kesempataan kepada kaum perempuan agar dapat maju bersama membangun gereja bahkan membangun Negara. Alangkah indahnya kalau sesuai uu partai politik, sekurang-kurangnya representasi keterwakilan Pendeta perempuan di pelayanan jemaat minimal 30 %.150

Dalam rangka memelihara kesimbangan, keselarasan dan keserasian hidup orang Jawa tersebut, maka ada pembagian peran antara laki-laki dan perempuan di Jawa. Laki-laki pada umumnya diberi peran yang lebih maskulin yaitu bekerja keras untuk menafkahi keluarga, bertanggung jawab pada keluarga, menjadi pemimpin keluarga, pemimpin dalam

149Ivan A. Hadar, “Feminisme, Feminis Laki-laki dan Wacana Gender Dalam Upaya Pengembangan Masyarakat”, dalam Nur Iman Subono, Feminis Laki-laki, 93-111.

150

Hasil wawancara denganIbu Sp, Ibu Srt, Ibu Hl, Ibu Ts, Minggu, 12 Januari 2014,pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)


(3)

masyarakat/oraganisasi, lebih ekspresif menyampaikan pendapat/ide dsb, sehingga lebih berkesempatan untuk berinteraksi di luar rumah.151

Namun sejalan dengan berjalannya waktu pembagian peran perempuan dan laki-laki di Jawa tidak lagi sepenuhnya berpatokan pada laki-laki maskulin dan perempuan feminim. Tuntutan kerasnya hidup khususnya kebutuhan ekonomi telah mendorong perempuan untuk menjalankan dua peran. Peran pencari nafkah dan peran ibu dalam rumah tangga. Masyarakatpun memahami dua peran dan memberikan ruang yang cukup bagi perempuan untuk melaksanakan dua peran tersebut. Sejarah mencatat bahwa masyarakat Jawa sebagai pencetus tumbuhnya emansipasi perempuan di Indonesia melalui peran ibu R.A Kartini. Maka peran perempuan dalam memimpin keluarga, masyarakat maupun organisasi saat ini sudah lumrah akibat perubahan, namun hal itu mereka lakukan dengan tetap berusaha menjaga terjadinya kesimbangan, keselarasan dan keserasian hidup sehari-hari. 152

Berdasarkan pandangan tersebut diatas, maka perempuan Jawa perlu menyatukan kekuatan, menjalin kebersamaan untuk memerangi kondisi ini seperti tokoh pewayangan yaitu Srikandi. Srikandi adalah tokoh wayang yang cukup diidolakan. Srikandi dalam versi Mahabharata di India, lahir sebagai perempuan (titisan Amba). Sebagai istri Arjuna, Srikandi juga berperang, mempunyai beberapa kekasih dan mempunyai banyak ciri kemaskulinan: ia bisa mengubah dirinya menjadi lelaki.153 Perempuan Jawa menuntut kembali hak-haknya yang telah direnggut oleh laki-laki supaya didengar, dihargai. Sehingga perempuan Jawa bisa keluar dari tekanan sistem Patriakal. Cara yang harus ditempuh adalah dengan mengubah cara pandang terhadap perempuan Jawa.

Perempuan Jawa mengharapkan adanya perubahan pandangan yang mendasar. Perempuan Jawa harus melakukan rekontruksi identitas tentang status perempuan. Gereja Kristen Jawa yang bertumbuh dan berkembang di Pulau Jawa diharapkan juga mampu

151

Hasil wawancara dengan, Ibu Hl,Minggu,29 Desember 2013,pkl 10.00Wib.(Lokasi di GKJ Semarang Barat)

152

Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

153


(4)

melakukan perubahan dalam memandang perempuan. Oleh karena itu perlu adanya pemahaman dan pemikiran yang lebih mendalam agar suatu perubahan dapat terjadi. Perubahan-perubahan perlu diperhatikan oleh gereja dalam perjalanan menuju ke masa depan dan meninggalkan status quo yang begitu lama dipertahankan. Sehingga perempuan Jawa akan diterima menjadi pemimpin di Gereja Kristen Jawa sebagai pendeta jemaat. 154

2.6. Kesimpulan

Studi Poskolonial merupakan sebuah studi yang menawarkan sebuah perspektif “baru” dalam menganalisa dampak dari penjajahan (kolonialisme), yang menyangkut dari orang-orang minoritas dan tenggelam, diabaikan serta ditekan dalam sejarah. Studi poskolonial merupakan teori yang memberikan kebebasan penafsir dalam konteks pengalaman sebagai orang yang mengalami kolonialisasi bangsa-bangsa barat dan dampak yang masih dirasakan. Teori poskolonial juga menganalisis praktik-praktik”penjajahan” yang masih berlanjut hingga sekarang ini. Penjajahan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas (Barat) terhadap kelompok minoritas (Timur) dalam struktur masyarakat (subaltern-dalam bahasa Gayatri Chakravort Spivak), termasuk didalamnya penjajahan laki-laki atas perempuan. Sedangkan Edward William Said dan Bhaba sangat tertarik dengan masalah percampuran budaya sebagai kolonialisme. Dampak dari penjajahan tersebut adalah adanya adopsi unsur budaya para penjajah dan yang pada akhirnya melahirkan hibriditas. Menurut Gayatri, Pemikiran poskolonial dalam perkembangan sejarah mencoba menempatkan masalah perempuan dalam bentuk kolonialisasi. Perempuan mengalami kolonialisasi ganda yaitu sebagai yang dikuasai dan diskriminasi dalam budaya patriakal. Studi poskolonial diharapkan mampu untuk mengadakan perubahan dan menyuarakan dari kaum minoritas dan terabaikan tersebut.

154


(5)

Perempuan merupakan ciptaan Tuhan yang berbeda fisiknya dengan laki-laki. Perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak dan meyusui. Oleh karena itu, ketidakadilan gender menyentuh semua dimensi kehidupan manusia, misalnya dalam nidang budaya, religious, ideologi politik, dan ekologis. Perempuan Indonesia dari tahun ke tahun selalu menekankan hak dalam bidang pendidikan, mengangkat derajatnya, emansipasi perempuan, dan keadilan serta lepas dari cengkeraman budaya patriakal.

Budaya Jawa adalah pengejawantahan atau pancaran budi manusia Jawa yang mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin. Masyarakat Jawa menganut sistem kekeluargaan patriakal yang berarti kekuasaan berada ditangan laki-laki. Laki-laki dilahirkan untuk berkuasa dan perempuan untuk dikuasai. Bahkan responden Hl menyampaikan bahwa laki-laki diciptakan nomor satu dan perempuan nomor dua.

Perempuan Jawa adalah seorang manusia yang dilahirkan berjenis kelamin perempuan oleh orang tua, bapak ibu, orang yang tinggal dipulau Jawa yang menonjolkan kesopanan. Sikap perempuan Jawa dituntut untuk memiliki budi pekerti luhur, menjaga etika, tatakrama, kehalusan budi, melayani suami dan anak-anak. Perempuan Jawa terikat serta terkekang kebebasannya oleh budaya Patriakal yang melekat dalam tradisional sehingga mendapat predikat sebagai konco wingking. Konon, peran perempuan Jawa pada masa lalu diyakini hanya sebatas lingkup dapur (memasak), sumur (mencuci) dan kasur (melayani suami). Seorang perempuan Jawa dalam hal hukum pembagian warisan hanya menerima setengah dari yang diterima laki-laki.

Gereja Kristen Jawa merupakan gereja suku yang tumbuh dan berkembang di pulau Jawa. Jemaat Gereja Kristen Jawa menganggap wajar jika laki-laki diberi peran yang lebih tinggi dalam mengelola kehidupan berjemaat dibanding dengan perempuan. Gereja Kristen


(6)

Jawa juga mengembangkan sistem pemerintahan gereja yang patriakal sehingga peran perempuan masih sangat kurang.

Ada tiga perspektif perempuan Jawa tentang identitasnya yaitu Pertama, Perempuan Jawa bermartabat sebagai ciptaan Tuhan artinya perempuan sebagai ciptaan Tuhan Allah yang sejajar dengan laki-laki. Kedua, Perempuan Jawa yang beridentitas sebagai manusia berbudaya Jawa. Perempuan Jawa yang ideal adalah perempuan yang dapat menjalani hidup secara bebas, percaya akan kemampuan dirinya, mampu menampilkan dirinya pribadi yang utuh, serta memiliki keberanian untuk melakukan protes terhadap tindakan yang merugikan kaumnya dalam hidup berkeluarga, bernegara maupun bergereja. Dalam keseharian hidup perempuan Jawa diharapkan untuk bisa berkomunikasi dan mengutamakan hubungan baik sesuai dengan budaya Jawa. Ketiga, perempuan Jawa yang menjadi agen perubahan untuk mengubah sistem patriakal. Pemahaman responden sangat baik bahwa dalam situasi seperti ini dibutuhkan adanya cara pandang atau rekontruksi. Rekontruksi harus dilakukan oleh semua pihak walau membutuhkan waktu yang lama. Perempuan Gereja Kristen Jawa sangat menginginkan adanya perubahan cara pandang yang lebih positif terhadap identitas perempuan sehingga mungkinkan perempuan menjadi seorang pemimpin gereja.