EKONOMI POLITIK TEMBAKAU Intervensi Peru

EKONOMI POLITIK TEMBAKAU:
Intervensi Perusahaan Rokok dalam Regulasi Tembakau Nasional
dan Internasional serta Dampak terhadap masyarakat Indonesia
Riezky Ramadani: 1111004009
Program Studi Ilmu Politik
Universitas Bakrie
Riezkyramadani62@yahoo.com

Abstrak
Kehadiran Industri rokok merupakan anugrah sekaligus bencana bagi
Indonesia. Disuatu sisi industri tersebut sangat menguntungkan baik dari
segi pendapatan yang diperoleh negara maupun lapangan kerja yang
dapat menyerap tenaga kerja jutaan manusia. Disisi lainnya industri ini
juga merupakan bencana ketika asas globalisasi telah menerpa dunia
secara merata. Keterlibatan Indonesia terhadap lembaga keuangan
Internasional yang menuntun indonesia secara perlahan menuju sistem
neoliberalisme yang menghendaki adanya kebebasan penuh. Pasar bebas
membuat perusahaan Multinasional dapat bergerak bebas menanamkan
modalnya untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Sedangkan
negara hanya berperan sebagai alat untuk kaum kapitalis dan
masyararakat yang dijadikan korban. Tujuan dari studi ini adalah untuk

menganalisa mengenai intervensi yang dilakukan oleh Perusahaan rokok
terhadap regulasi yang dibuat oleh negara serta dampak yang
ditimbulkan dari hal tersebut. Dari hasil analisa dapat disimpulkan bahwa
sektor privat melakukan intervensi terhadap pembuatan regulasi
tembakau yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan tapa melihat
dampak eksternelitasnya yang berdampak terhadap masyarakat.
Kata Kunci: Perusahaan rokok, Negara, Regulasi, Masyarakat,
Neoliberalisme

Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara produsen tembakau di dunia.
Pada tahun 2007 Indonesia menempati urutan keenam negara produsen
daun tembakau di dunia (Kinasih dan Febriani, 2012, hal. 69). Industri ini
juga menyerap 10 juta tenaga kerja mulai dari petani, buruh linting,
pedagang, sampai dengan tenaga kreatif media dan periklanan (Chamim
dan Dhyatmika, 2011, hal.5). Diperkirakan pendapatan yang diperoleh
dari cukai kepada negara mencapai angka triliun rupiah. Meski banyak pro
dan kontra dari industri rokok, namun keberadaannya tetap dipertahankan
baik itu oleh negara maupun para pengusaha rokok kelas kakap. Secara
langsung/ tidak tingginya angka morbiditas atau penyakit yang berkaitan

dengan konsumsi rokok menelan sekitar 50% dari total PDB negara
Indonesia (Andalas, Jurnal Kesehatan Masyarakat (online)no. 2 september
2009: 93-96). Kehadiran Industri rokok merupakan polemik yang tiada
habisnya.
Globalisasi yang berarti hilangnya batas negara sehingga kita dapat
dengan mudah terhubung satu dengan yang lainnya. Hal itu memicu
adanya saling keterkaitan untuk menjalin kerjasama antara negara satu
dengan yang lainnya. Keterlibatan indonesia ke dalam lembaga keuangan
internasional menyebabkan Konsensus Washington diterapkan di
Indonesia. Hal itu merupakan keharusan bagi seluruh negara yang
meminjam uang terhadap lembaga tersebut lalu secara paksa untuk
menaati kebijakan yang telah dibuat lembaga keuangan internasional.
Akhirnya secara tidak langsung ekonomi indonesia yang beraliran
Ordoliberalisme yang menyebutkan bahwa dalam perekonomian Negara
sebagai prasarana publik bagi keadilan masyarakat. Teori ini memiliki
keseimbangan antara kebebasan dengan keadilan sosial (Deliarnov, 2006,
hal.163). hal tersebut tercantum ke dalam pancasila nomor lima yang
menyatakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun dengan

terpaksa Indonesia menganut asas Neoliberalisme. Kebijakan pasar bebas

merupakan salah satu kebijakan yang diusung lembaga keuangan
internasional tersebut.
Pasar bebas membuat para perusahaan Multinasional datang ke
indonesia. Sumber daya yang berlimpah kurangnya tenaga ahli, teknologi
dan modal menjadikan hal tersebut merupakan sasaran empuk bagi MNC
untuk mendirikan industri di Indonesia. Pangsa pasar rokok di Indonesia
dikuasai oleh tiga perusahaan yaitu Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk,
Gudang Garam Tbk, dan PT Djarum (kinasih dan febriani, 2012, Hal.75).
Tahun 2005 Philip Morris membeli saham HM Sampoerna sebesar 40%;.
Sekarang di Indonesia bukan hanya terdapat perusahaan rokok nasional
saja juga internasional ditambah lagi dengan kehadiran BAT. Kembali pada
teori Marx bahwa kaum kapitalis mengejar kepentingan profit semata
untuk itu banyak pertentangan dalam pembuatan regulasi tembakau.
Di mulai pembuatan regulasi tingkat nasional yaitu draft RUU 1992 yang
menyatakan nikotin adalah zat aditif. Para pengusaha rokok ini tidak diam
saja mereka melakukan politik lobi dan akhirnya teratifikasi dengan
catatan bahwa nikotin bukan termasuk zat aditif. Hal yang mudah bagi
pengusaha rokok untuk melakukan “kongkalingkong”. Perusahaan rokok
kelas kakap semakin mendominasi sehingga perusahaan rokok kecil pun
tertindas seiring waktu berjalan. Seperti kenaikan tarif cukai bagi

perusahaan rokok besar itu merupakan keuntungan mereka namun tidak
untuk industri rokok kecil.
Pemerintah seakan-akan condong kepada kelompok pengusaha. Padahal
kewajiban pemerintah yang utama ialah memenuhi seluruh kepentingan
masyarakat bukan hanya golongan saja. Untuk itu seharusnya negara
lebih bertindak tegas dan memberikan perhatiannya kepada masyarakat.
Juga menerapkan peraturan hukum yang tegas demi terciptanya
masyarakat yang adil dan sejahtera.

Objektivitas

Dalam penulisan jurnal ini menggunakan metode kualitatif yang terdiri
dari pembahasan mengenai teori dan konsep yang berasal dari berbagai
sumber melalui studi literatur dan pencarian dokumen secara online.
Sumber yang digunakan yaitu berupa buku, berbagai jurnal, video yang
terkait dengan tema pada jurnal ini yaitu ekonomi politik tembakau. Pada
jurnal ini hanya didukung dengan data sekunder saja.
Pasar bebas membuat tiap negara di dunia ini harus dapat menghadapi
segala bentuk realita. Dengan masuknya secara bebas perusahaan asing
yang ingin berinvestasi membuat tiap negara mau tidak mau harus siap

untuk bersaing dengan negara lainnya. Namun jika peran negara
terkontaminasi dengan kepentingan kaum borjuis maka negara akan
hancur. Dan yang menjadi korban ialah masyarakat. Begitu halnya dengan
industri rokok yang merupakan salah satu sektor ekonomi yang cukup
berpengaruh di pasar global. Untuk itu dibutuhkan peran pemerintah yang
kuat serta hukum yang tegas untuk dapat bersaing serta tidak mudah
utuk dihancurkan. Dan sangat tepat jika membicarakan mengenai
ekonomi politik Indonesia dengan menggunakan teori Ordo Liberalisme
Terdapat dua permasalahan pada jurnal ini ; 1) Bentuk intervensi
perusahaan rokok terhadap pembuatan kebijakan/ regulasi tembakau
tingkat nasional dan Internasional di Indonesia. 2) Dampak serta pengaruh
yang ditimbulkan akibat intervensi perusahaan rokok terhadap
pembuatan kebijakan regulasi tembakau terhadap masyarakat Indonesia
Literatur Review
Membicarakan mengenai ekonomi politik tembakau maka tidak akan lepas
dari ketiga unsur berikut yaitu; Perusahaan, Negara dan Masyarakat.
Sebelum membahasnya lebih lanjut ada baiknya untuk mengetahui
definisi dari ketiga unsur tersebut. Perusahaan adalah keseluruhan
perbuatan yang dilakukan secara berlanjut, bertindak keluar untuk
memperoleh penghasilan dengan cara memperdagangkan, menyerahkan

barang atau mengadakan perjanjian perdagangan (Molengraaff, dikutip
dalam Muhammad, 2002, hal. 7). Negara merupakan persekutuan dari

keluarga juga desa yang dibentuk dengan tujuan untuk mencapai
kehidupan yang lebih baik. Negara yang dimaksud ialah negara hukum
yang mana seluruh masyarakat diikutsertakan dalam permusyawaratan
negara serta menjamin keadilan terhadap warga negaranya (Aristoteles,
dikutip dalam Huda, 2010, hal. 8). Sedangkan masyarakat ialah suatu
sistem hubungan yang ditata (Robert M.McIver, dikutip dalam Budiardjo,
2008, hal. 46). Ketiga aktor tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain
dalam lingkup industri tembakau di Indonesia.

Negara, Industri serta Masyarakat memiliki fungsi serta tujuan yang tentu
saja berbeda baik itu seiring berjalan ataupun bertentangan. Masyarakat
(rakyat) merupakan kumpulan dari individu yang memiliki kepentingan,
keinginan serta kebutuhan berupa fisik atau pun mental yang tentu
sangat beragam dengan kepentingan individu atau kelompok lainnya.
Akan sulit untuk memenuhi semua itu jika dilakukan hanya seorang diri.
Maka dari itu diperlukan kerjasama dan adanya lembaga resmi untuk
dapat mewujudkan segala hal yang menjadi keinginan masyarakat

(Budiarjo, 2008, hal. 47). Dan lembaga resmi tersebut ialah Negara.
Negara memiliki fungsi yaitu keamanan dan ketertiban baik itu internal
maupun eksternal, kebebasan dan keadilan serta kesejahteraan umum
bagi seluruh rakyatnya (Charles E.Merriam, dikutip dalam Budiarjo,2008,
hal 56). Fungsi tersebut diselenggarakan oleh pemerintah untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan bersama antara negara dan masyarakat.
Berbeda halnya dengan Perusahaan yang berfungsi sebagai pengolah
bahan baku, setengah jadi, mentah kemudian diolah menjadi barang yang
memiliki nilai jual. Dengan kegiatan perusahaan yaitu memproduksi
barang tentu suatu perusahaan melakukan segala hal dengan berorientasi
pada profit yang memiliki tujuan utama yaitu memaksimalkan laba
(Deliarnov, 2006, hal. 57). Dengan kata lain negara hadir untuk memenuhi
kepentingan masyarakat serta mengatur mengenai pembuatan kebijakankebijakan demi keberlangsungan suatu industri. Diharapkan dengan
pengaturan yang telah dilakukan oleh Negara dapat mewujudkan suatu

kondisi yang kondusif yang mana kedua belah pihak baik itu individu
ataupun kelompok sama-sama berada pada posisi yang diuntungkan.
Namun nyatanya apa yang menjadi kewajiban dari masing-masing unsur
terkadang atau malah melanggar apa yang telah menjadi kewajibannya.
Negara yang seharusnya berfungsi sebagai pelindung rakyat justru

berpihak pada perusahaan yang menjadi kepentingannya padahal
rakyatlah yang merupakan kepentingan utama diatas segalanya.

Secara normatif-legal, sistem ekonomi politik di Indonesia berada dalam
kategori sosialisme. Naskah atau klausul ekonomi tersebut telah tertera
dalam Undang-Undang dasar 1945 dan sangat jelas dikatakan bahwa
perekonomian Indonesia mengutamakan kadilan serta kesejahteraan
sosial bagi masyarakat daripada kesejahteraan individu (Rachbini, 2006,
hal. 2). Hal itu bukan saja tertera dalam UUD 1945 juga tercantum dalam
pancasila yaitu pada sila ke lima yang menyatakan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Namun dalam praktiknya, apa yang dilakukan
oleh pemerintah sangat bertolak belaka dengan apa yang disebut
ekonomi keadilan dan kesejahteraan sosial. Hal itu menyebabkan adanya
pergeseran baik dalam segi ideologi yang cendrung berhaluan kiri
(otoriter/ diktaktor/ terpusat) sedangkan dalam praktik sistem ekonomi
cendrung berhaluan kanan (liberal kapitalis) (Rachbini, 2006, hal. 3).
Bukan hal yang tidak mungkin jika birokrat lebih mementingkan
kepentingan dirinya/ kelompoknya dibandingkan dengan kepentingan
yang seharusnya wajib ia penuhi yaitu kepentingan masyarakat. Sesuai
dengan teori Perilaku Birokratis Neoklasik memusatkan perhatian pada

tiap perilaku individu yang berada dalam birokrasi itu sendiri (Deliarnov,
2006, hal. 62). Walau bagaimanapun birokrat adalah individu yang juga
memiliki emosi serta tujuan masing-masing yang tentu tidak selamanya
sejalan dengan tujuan organisasi. Ada perbedaan yang sangat mendasar
antara birokrat dengan pembisis, “the bureaucrat, like the businessman, is
a self-interested rat, but his self-interest shows thought in different ways”
(William A.Niskanen di kutip dalam Deliarnov, 2006, hal 62). Pembisnis

atau pengusaha pada umumnya mereka berjuang untuk mencapai
keuntungan maksimum sedangkan birokrat atau pemerintah berusaha
untuk memenuhi kepentingannya sendiri dengan memaksimalkan
seperangkat variabel. Yang dimaksud seperangkat variabel ialah para
birokrat memaksimalkan keuntungan berupa perolehan uang yang
melebihi upah yng seharusnya diterima, perolehan kekuasaan, prestise,
peluang setelah pensiun dan masih banyak lagi (Buchholz, 1999, dikutip
didalam Deliarnov, 2006, hal. 62). Untuk memenuhi kepentingannya
tersebut, banyak dari para birokrat yang berpihak pada elite penguasa.
Begitu juga sebaliknya banyak dari pengusaha yang menjalin hubungan
dengan para birokrat untuk mencapai tujuannya yaitu mencapai laba
maksimum. Maka segala hal akan dilakukan para pengusaha walau

terkadang cara yang mereka lakukan tidak sama sekali dibenarkan.
Kerjasama yang terjalin diantara keduanya tentu akan menguntungkan
kedua belah pihak. Birokrat/ pemerintah/ politisi yang memiliki kuasa
dalam pembentukan kebijakan. Sedangkan pengusaha memiliki uang
yang berlimpah.

Apakah diperbolehkan negara berpihak pada kelompok kepentingan
(kelompok elite)? Kepada siapa seharusnya negara berpihak? Apakah
terhadap kelompok tertentu, masyarakat atau tidak sama sekali berpihak?
Berbagai macam teori yang ada mengenai keberpihakan negara. Secara
teoritis seharusnya negara tidak berpihak pada kelompok kepentingan
manapun dan negara harusnya berpihak kepada rakyat secara
menyeluruh. Negara adalah sebagai alat kelas yang dominan, alat bagi
para kapitalis untuk mengejar laba dan salah satu cara yang ditempuh
yaitu dengan menekan upah buruh seminim mungkin untuk memperoleh
laba yang maksimal (Marx di dalam Deliarnov, 2006, hal 41). Meskipun
negara terdiri dari masyarakat Pluralis serta mengeanut asas demokrasi
namun tetap saja kelompok elit yang terdiri dari kalangan politik, ekonomi
dan militer dapat menguasai negara (C. Wright Mills dikutip dalam
Budiman, 2002, hal 62). Hal tersebut menyatakan bahwa negara tidak


bersifat netral. Setelah mengetahui hal tersebut timbul pertanyaan
bagaimana cara negara berpihak? Pejabat dan kelompok elit pengusaha
tentu memiliki hubungan yang dekat, mereka sering bertemu pada pestapesta yang umumnya dihadiri para kaum elit. Sedikit banyak kebijakan
negara yang dibuat pemerintah akan berpihak pada kaum borjuis. Kaum
borjuis yang berusaha untuk meyakinkan kepada pejabat bahwa
kepentingannya sama dnegan kepentingan seluruh masyarakat. kaum
borjuis sebagai penggerak roda perekonomian jika mengalami
pertumbuhan perekonomian tentu rakyat jugayang akan diuntungkan.
Hubungan kedekatan psikologis membuat pandangan tersebut dapat
dengan mudah diterima (Ralph Miliband di kutip dalam Budiman, hal. 67).
Begitulah keterkaitan antara pejabat negara (birokrat/ pemerintah)
dengan kaum borjuis (pengusaha). Ilmu ekonomi dan ilmu politik
keduanya merupakan ilmu sosial yang memiliki konsep yang berbeda.
Ilmu ekonomi membahas mengenai manusia dengan institusi ekonomi
yaitu pasar. Sedangkan ilmu politik ialah ilmu yang mengkaji tentang
kekuasaan serta hubungan kekuatan politik dalam bentuk kekuasaan dari
institusi yang ada. Esensi dari ilmu politik sangat jauh dari kata
pemanfaatan serta permainan kekuasaan. Dapat disimpulkan bahwa ilmu
ekonomi adalah teori mengenai pasar sedangkan ilmu politik mengenai
kekuasaan dan pemerintahan. Keduanya memiliki konsep yang sangat
jauh berbeda antara konsep kekuasaan dan pasar. (Rachbini, 2006, hal.
5).

Jika sebelumnya telah membahas mengenai keberpihakan negara maka
berikutnya akan dibahas mengenai peran Negara seharusnya dalam
perekonomian di Indonesia. Teori Liberal memberikan kebebasan bagi
setiap individu untuk bertindak berdasarkan kepentingannya sendiri.
meminimalisir campur tangan pemerintah dan biarkan Invisible Hand
yang mengatur jalannya prekonomian (Adam Smith dikutip dari
Damanhuri, 2010, hal. 14). Mengutamakan rasa kebersamaan, hak milik
perorangan tidak diakui yang ada hanyalah kekayan bersama. Adanya

campur tangan pemerintah yang kuat yang mendominasi (Marx dikutip
dalam Damanhuri, 2010, hal. 43). Teori neoklasik menyebutkan campur
tangan pemerintah hanya diperlukan untuk memperbaki distorsi yang
terjadi dipasar buan menggantikan fungsi mekanisme pasar (Deliarnov,
2006, hal. 54). Teori ordo liberalisme adalah ekonomi pasar sosialis,
sistem ekonomi yang bebas yan dijaga dengan berbagai regulasi
pemerintah agar terhindar dari konsentrasi kekuasaan ekonomi sekaligu
menjaga keadilan dan efisiensi (Friedlich, 1955 dikutip dalam Deliarnov,
2006, hal. 163). Dan yang terakhir ialah teori neoliberalisme merupakan
kelanjutan dari teori liberal klasik peran negara harus berkurang drastis
dan digantikan oleh individu swasta seperti pasar, deregulasi,
debirokratisasi dan privatisasi (Deliarnov, 2006, hal.164). Dari beberapa
teori diatas Indonesia lebih condong pada teori Ordo liberalisme yang
mana
salah satu gagasan ekonomi sosial demokrat tersirat pada pasal 33, 34
dan 37 dalam UUD 1945. Didalamnya diatur tentang asas kekeluargaan,
besarnya peran negara untuk kemakmuran rakyat, penciptaan
kesempatan kerja penuh dan kehidupan yang layk bagi warga negara,
serta tanggung jawab negara terhadap fakir-miskin serta anak-anak
terlantar (Damanhuri, 2010, hal. 41).

Teori liberal dengan teori Marx tidak dapat diimplementasikan dalam
perekonomian di Indonesia sama halnya dengan teori neoklasik dan
neoliberalisme sebab teori tersebut bertentangan dengan apa yang telah
tertera di dalam Undang-undang Dasar 1945 yang merupakan nilai dasar
dari Indonesia. Teori yang paling tepat dengan asas perekonomian yang
dianut oleh Indonesia ialah teori Ordo liberalisme. Teori Ordo liberalisme
memiliki keseimbangan antara kebebasan dan keadilan sosial. Hal ini
sesuai dengan asas yang dianut oleh Indonesia yaitu Demokrasi serta
berkeadilan. Keterlibatan pemerintah dalam perekonomian masih
diperlukan seperti dalam pembuatan regulasi. Hal ini bertujuan untuk
menjaga keadilan, tidak ada kontrol terpusat, menghindari adanya sektor

publik atau privat atas pasar serta menentang adanya pasar bebas tanpa
aturan (Friedlich, 1955 di kutip dalam Deliarnov, 2006, hal. 163).
Kenyataannya perekonomian di Indonesia lebih condong pada
Neoliberalisme, apalagi semenjak keterlibatan Indonesia ke dalam
lembaga keuangan internasional akibat krisis 1997/1998 seperti IMF,
WTO, WB, AFTA dan lembaga lainnya yang secara tidak langsung
memaksa untuk menerapkan nilai-nilai neoliberalisme seperti Konsensus
Washington yang mengimplementasikan sepuluh nilai-nilai neoliberalisme
salah satunya ialah Pasar Bebas dan mewajibkan tiap negara peminjam
untuk menerapkan kebijakan tersebut di negaranya (Damanhuri, 2010,
hal. 25).
Bentuk intervensi perusahaan rokok terhadap pembuatan
kebijakan/ regulasi tembakau tingkat nasional dan Internasional
di Indonesia.
Telah banyak pembuatan regulasi serta kebijakan mengenai tembakau,
baik itu tingkat nasional maupun internasional. Di dalam pembuatan
beberapa kebijakan/regulasi mengenai tembakau dan rokok tersebut
bukan murni hanya buatan pemerintah saja melainkan dalam
pembuatannya juga melibatkan beberapa aktor lainnya seperti industri
rokok baik itu di tingkat Nasional dan Internasional. Hal tersebut dilakukan
untuk mencapai kepentingan dari masing-masing aktor. Di Indonesia
keberadaan mengenai kebijakan/ regulasi tembakau dan rokok telah
banyak diatur dalam Undang-undang dan peraturan lainnya. Berikut
beberapa peraturan dan regulasi mengenai tembakau dan rokok yang
terkait dengan adanya campur tangan yang dilakukan antara Pemerintah
dan produsen rokok di Indonesia baik tingkat Nasional maupun
Internasional ialah sebagai berikut;
Rancangan undang-undang kesehatan tahun 1992 yang berasal dari
Departemen Kesehatan. Isi dari draft tersebut ialah mewajibkan
perusahaan rokok untuk mengumumkan komposisi serta bahan yang
digunakan kemudian dicantumkan ke dalam kemasan rokok lengkap
dengan pencantuman tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsanya (Chamim

dan Dhyatmika, 2011, hal. 117). Tentu dengan adanya draft RUU tersebut
membuat cemas para industri rokok.
“dalam ukuran yang paling sederhana dan jamak diyakini orang, rokok
pemicu sejumlah penyakit serius. Tidak ada yang namanya rokok itu
aman” (Payne dikutip dalam Chamim dan Dhyatmika, 2011, hal. 117)
Tidak ada yang dapat menjamin kandungan yang ada dalam tiap satu
batang rokok terdiri dari bahan yang tidak berbahaya atau memenuhi
standar kesehatan. Di tambah lagi dengan kehadiran rokok dengan
berbagai varian seperti rokok menthol, aroma capuccino serta tambahan
zat lainnya. Kecemasan tentu dirasakan oleh para produsen rokok di
Indonesia saat itu, dengan lugas mereka para produsen rokok baik
nasional ataupun Internasional segera bersatu untuk menghadapi
permasalahan tersebut. Para produsen rokok tersebut beraliansi serta
memina bantuan terhadap rekan sejawatnya. Seperti industri rokok
sekelas Philip Morris dan BAT, menyodorkan kedutaan Amerika, Inggris
dan Jepang sebagai tamengnya. Para produsen tersebut baik berskala
nasional dan Internasional berencana untuk mencari peluang serta
bernegosiasi untuk dapat mempengaruhi draft legislasi tersebut.
Negosiasi yang dilakukan Industri rokok dengan pemerintah berjalan
dengan sukses hal ini ditandai dengan draft RUU yang telah diajukan oleh
Departemen kesehatan telah resmi untuk disahkan dengan catatan bahwa
nikotin bukan termasuk kedalam kategori zat aditif Chamim dan
Dhyatmika, 2011 hal. 118)
Peraturan Pemerintah 81/1999, yang membahas mengenai pengamanan
penggunaan rokok untuk kesehatan. Peraturan tersebut mengalami dua
kali revisi yaitu PP 38/2000 dan PP 19/2003. Namun yang diherankan
semakin direvisi peraturan tersebut menjadi semakin longgar atau
berkurang isi dari peraturannya. Hal ini terbukti ketika revisi pertama
yang memberikan keringanan target waktu implementasi ketentuan
mengenai kandungan tar dan nikotin yang tidak didasarkan pada jenis
perusahaan tapi jenis produk. Sedangkan revisi kedua memaparkan
bahwa ketetuan mengenai kadar nikotin dan tar dihapus kemudian diganti

dengan kewajiban uji laboratorium bagi produsen rokok yang terkreditasi
untuk dapat mengetahui kandungan nikotin dan tar yang terkandung di
dalamnya serta yang mengherankan ialah dalam peraturan tersebut
menganjurkan untuk mencantumkan kemasan produk rokok sebagai
informasi publik. (Pinanjaya dan Giri S, 2012, hal. 145).
Peraturan Gubernur no.75 tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok
serta menetapkan tempat-tempat yang harus dijadikan kawasan bebas
rokok (Achadi, Jurnal Kesehatan Masyarakat [online], no.4, Februari 2008:
163-165). Selanjutnya digantikan dengan Peraturan Gubernur Provinsi Dki
Jakarta Nomor 88 Tahun 2010, peraturan tersebut berisi mengenai
penghapusan secara signifikan mengenai kawasan tanpa rokok yang telah
tercantum pada Peraturan Gubernur sebelumnya yaitu Pergub no.75
tahun 2005 (Pinanjaya dan Giri S, 2012, hal. 162).
Ketentuan Undang-undang no.36 tahun 2009 mengenai UU Kesehatan
yang mengatur tembakau serta produk turunannya tercantum dalam
ketentuan beberapa pasal yaitu pasal 113 yang meyatakan pengamanan
penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif, klasifikasi tembakau
serta turunannya ke dalam zat adiktif, penetapan standar produksi,
peredaran bahan yang mengandung zat adiktif. Pasal 114 mewajibkan
untuk menyertakan peringatan kesehatan kepada para produsen rokok/
memasukkan rokok ke wilayah Indonesia. Pasal 115 berisikan mengenai
kewajian pemerintah daerah untuk menetapkan kawasan bebas rokok di
wilayahnya. Dan terakhir pasal 116 yang mengatur lebih lanjut mengenai
pengamanan bahan yang mengandung zat aditif melalui peraturan
Pemerintah (Daeng dan Hadi, 2011, hal. 103-104). Dalam UU tersebut
secara implisit mengubah paradigma seseorang yang membacanya
bahwa tembakau bukan merupakan zat aditif yang membahayakan. Jika
sebelumnya telah dipaparkan mengenai kebijakan dan regulasi ditingkat
Nasional, kini akan dipaparkan mengenai keterkaitan regulasi yang di buat
ditingkat Internasional serta pengaruhnya terhadap Indonesia.
Sekilas mengenai Michael Bloomberg, ia merupakan walikota New York
sekaligus pemilik dari jaringan bisinis Bloomberg. Peran Bloomberg

sangatlah menonjol melalui lembaganya sebagai donatur dari kampanye
anti tembakau di seluruh dunia. Bloomberg Initiative telah beroperasi di
lebih dari 50 negara dan temasuk Indonesia di dalamnya. Agenda utama
dari BI (Bloomberg Initiative) adalah memaksimalkan gerakan anti
tembakau. Namun bukan hanya itu saja yang menjadi tujuan Bloomber
ada tujuan lain dibalik kampanyenya tersebut yaitu mengintervensi
kebijakan pengendalian tembakau di negara sasaran sesuai dengan
Konvensi Kerangka Pengendalian Tembakau (FCTC) . (Pinanjaya dan Giri S,
2012, hal. 64). Bukan hal yang mustahil jika di balik gerakan anti
tembakau Bloomberg memiliki misi khusus untuk mencapai
kepentingannya. Produk terapi pengganti Nikotin (dikenal dengan sebutan
NRT) yang dirilis pada 2 april 2003 di New York merupakan langkah
strategi yang dilakukan Bloomberg. Ia membawa kepentingan industri
farmasi yang tentu saja dari hal tersebut Bloomberg memperoleh
keuntungan. Bloomberg merupakan salah satu orang paling kaya di dunia
(menurut majalah Forbes) ia terkenal dengan kedermawanannya hal itu
dapat dilihat dari berdirinya lembaga riset dan pendidikan dalam bidang
medis dan kesehatan publik yang memiliki tujuan untuk mendukung
kampanye anti global yang diusungnya. Bloomberg sangat pandai dalam
mengemas suatu kepentingan kapitalis global melalui isu kesehatan
masyarakat seperti gerakan anti tembakau. Dengan didukung oeh
lembaga riset yang ia dirikan untuk meyakinkan kepada khalayak
masyarakat mengenai bahaya merokok, Bloomberg dapat memperoleh
keuntungan dari hasil penjualan Produk terapi pengganti nikotin yang ia
miliki. Dan WHO yang meresmikan serta mengakui adanya penjualan
bentuk NRT. Tidak tanggung-tanggung hal tersebut diimplementasikan
dalan pasal 14 FCTC (Daeng dan Hadi, 2011, hal. 71). Hal itu menunjukan
bahwa WHO sebagai alat bagi kepentingan industri farmasi. Who bukanlah
organisasi yang bebas kepentingan, dibalik mejalankan misi kesehatan
dunianya itu terdapat kepentingan lainnya. WHO sebagai alat konsolidasi
kepentingan para kapitalis farmasidan FCTC sebagai senjatanya.
FCTC (Framework Convention of Tobacco Control) dalam bahasa
Indonesianya yang berarti Konvensi Kerangka Pengendalian Tembakau

merupakan hukum internasional yang tela diresmikan pada tanggal 27
Februari 2005. Yang merupakan perjanjian kesehatan internasional
pertama yang diprakarsai oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Tujuan dari
pembentukan konvensi ini ialah untuk mencegah serta melindungi
generasi mendatang dari dampak kesehatan, lingkungan, ekonomi serta
konsekuensi sosial akibat mengkonsumsi tembakau. Negara yang
tergabung dalam FCTC telah terikat dalam hukum Internasional
sedangkan isu yang diangkat dalam konvensi ini ialah berkaitan dengan
peningkatan cukai rokok, promosi serta sponsor yang dilakukan oleh
rokok, pengaturan iklan secara komperhensif, rokok ilegal dan masih
banyak lagi (Hadi dan Friyatno, Jurnal Agro Ekonomi [online], no.1, Mei
2008: 90-121). Mengenai ketidak ikut sertaan Indonesia yang belum
meratifikasi FCTC bukanlah suatu masalah karena melalui kampanye anti
tembaku para kapitalis farmasi masih dapat mengontrol negara ini melalui
pesan-pesan yang disampaikan melalui kampanye tersebut. intervensi
yang dilakukan perusahaan internasional secara eksplisit tidak disadari
oleh kebanyakan negara termasuk di Indonesia.

Negara sudah seharusnya berpihak terhadap masyarakat dan tidak
mementingkan kepentingan kelompok. Sesuai dengan teori Ordo
Liberalisme yang menyebutkan bahwa dalam perekonomian Negara
sebagai prasarana publik bagi keadilan masyarakat. Teori ini memiliki
keseimbangan antara kebebasan dengan keadilan sosial (Deliarnov, 2006,
hal.163). Namun dalam praktiknya para pejabat negara yang memiliki
kekuasaan lebih berpihak pada kaum elit (para pengusaha). Kepentingan
kaum borjuis lebih diutamakan dibandingkan dengan rakyat yang
seharusnya menjadi prioritas utama. Pejabat negara malah
menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya serta memanfaatkannya
untuk mencapai kepentingannya. Hal itu tentu menguntungkan bagi para
kaum borjuis dengan begitu ia leluasa untuk memaksimalkan perolehan
keuntungannya.

Pengaruh intervensi perusahaan rokok dalam pembuatan
kebijakan regulasi tembakau serta dampak yang ditimbulkan
terhadap masyarakat Indonesia
Negara merupakan alat bagi kelas yang dominan. Negara juga
diumpamakan sebagai panitia yang mengelola kepentingan kaum borjuis
secara menyeluruh (Marx dalam kutipan Budiman, 2002, hal. 57). Apa
yang dinyatakan Marx memang ada benarnya, dalam kasus ekonomi
politik tembakau Negara yaitu pejabat negara berpihak pada masyarakat
kaum Kapitalis (pemilik modal) dan mengabaikan masyarakat di dalam
konteks ini khususnya para petani tembakau di Indonesia.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai draft RUU Kesehatan
1992, PP 81/ 1999, Pergub 75 tahun 2005, UU 36 tahun 2009, gerakan
anti tembakau dan FCTC merupakan regulasi yang dipengaruhi oleh
campur tangan perusahaan rokok baik industri nasional ataupun industri
internasional. Kebijakan tersebut tidak lepas dari tangan-tangan para
produsen rokok tersebut. Semenjak krisis yang melanda di Indonesia
tahun 1997/1998 memaksa Indonesia tergabung dalam organisasi
keuangan Internasional seperti IMF, WB, WTO dan sebagainya.
Keikutsertaan negara berkembang, negara dunia ketiga, negara yang
mengalami krisis mengharuskan anggotanya yang mendapat bantuan dari
organisasi tersebut untuk menerakan 10 butir Kebijakan Pembangunan
yang kita kenal sebagai Washington Konsensus (Damanhuri, 2010, hal.
25). Saat itu banyak negara yang meminjam uang kepada lembaga
keuangan internasional tersebut termasuk Indonesia. Secara tidak
langsung kebijakan yang diberikan oleh lembaga keuangan internasional
tersebut memaksa kita untuk menerapkan Neoliberalisme. Salah satu
produk dari neoliberalisme ialah Free Trade yaitu perdagangan bebas yaitu
segala hambatan tarif atau pun nontarif disingkirkan untuk
mempermudah Perdagangan Internasional antar sesama negara. Dari
situlah muncul perusahaan Multinasional bebas berdatangan ke negaranegara berkembang untuk berinvestasi dan mengeruk semua keuntungan
yang ia peroleh dari hasil investasinya di suatu negara. Dan lebih

parahnya jika negara yang menjadi tujuan perusahaan Multinasional
tersebut sangat lemah dalam penegakan hukum sehingga akan sangat
mudah untuk di lobi dan akan menyengsarakan rakyat. Hal itulah yang
terjadi di Indonesia saat ini.
Berbeda dengan negara-negara lainnya dimana Negara sangat berperan
bagi kelanjutan Industri tembakau. Seperti Amerika Serikat yang memiliki
peraturan yang sangat ketat mengenai kebijakan impor. Kebijakan
tersebut berupa pembatasan produk tembakau yang mengandung rasa
alami seperti rokok kretek. Hal itu membuat Indonesia sulit menembus
pasar rokok Amerika (Kinasih dan Febriani, 2012, hal. 43). China
mengontrol penuh untuk mengendalikan industri tembakau di negaranya.
Petanitembakau China mendapatkan Subsidi penuh dari pemerintah. Jika
di negara lain merokok dibatasi lain halnya dengan China yang
menganjurkan rakyatnya untuk mengkonsumsi rokok (Kinasih Febriani,
2012, hal. 52). Jepang menerapkan sistem monopoli, pemerintah membeli
100%hasil petani tembakau dengan harga yang berkali-kali lipat dan
pemerintah merupakan satu-satunya pemegang saham (Kinasih dan
Febriani, 2012 hal.60). India mebeikan dukungan penuh terhadap petani
tembakau, intervensi langsung melalui pemerintah. Pemerintah india
melarang adanya impor tembakau (Kinasih dan Febriani, 2012 hal. 98).
Kebijakan yang dilakukan Singapura yaitu standar ganda, kebijakan untuk
menghentikan rokok dan tembakau di dorong. Namun Singapura hidup
dari industri tembakau (Kinasih dan Febriani, 2012 hal. 106). Bisa saja jika
Indonesia menerapkan kebijakan yang sama dengan negara-negara yang
telah disebutkan sebelumnya. Indonesia lebih condong pada sektor
industri dan jasa sedangkan sektor pertanian dinomor duakan. Disadari
atau tidak bahwa peekonomian nasional masih bertumpu pada sektor
pertanian. Pertanian domestik menopang sebanyak 60% hidup
masyarakat Indonesia. Namun hal tersebut sama sekali tidak diperhatikan
oleh negara. Pertanian harus kembali dibangun karena sektor pertanian
sangat bagus bagi perekonomian negara. Apalagi jika para petani
tembakau disubsidi seperti layaknya di jepang dan di China maka
perekonomian di Indonesia akan semakin baik lagi. sektor pertanian

dianggap sebagai sesuatu hal yang kuno maka jarang dari generasi
penerus yang mau menjadi petani. Padahal jika dilihat dari
perekonomiannya dan bila Indonesia menerapkannya hal tersebut akan
berdampak baik bagi perekonomian negara dan kita tidak perlu untuk
mengimpor bahan pokok dari negara lain sehingga menghemat biaya kas
yang dimiliki negara.
Pro dan kontra selalu menyelimuti industri rokok baik itu berupa
kebijakannya maupun produk dari Industri tembakau itu sendiri. Apalagi
jika menyangkut mengenai kesehatan, berikut pro kontra dari tembakau
dan penemuan baru dari rokok. Riset WHO tahun 2002 menunjukan
bahwa perokok pasif terkena Carcinogens sama halnya dengan perokok
aktif (Suroso, jurnal Litbang (online)no.12, April 2010: 71-75), WHO 2008
bahwa dalam abad 20 sekitar 100 juta penduduk meninggal karena rokok
(Rachmat, analisis kebijakan pertanian (online)no.1, Maret 2010: 67-80),
hasil estimasi juga membuktikan bahwa rokok merupakan produk yang
menyebabkan kecanduan (Hidayat dan Thabrany, Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional [online]no.3 Desember 2008: 99-108), tingkat
kematian akibat tembakau jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan
angka kematian seperti TBC,HIV/AIDS dan Malaria (Rachmat dan Aldilah,
forum penelitian agro ekonomi (online)no. 1 juli 2010: 69-80), secara
langsung ataupun tidak tingginya angka morbiditas atau penyakit yang
berkaitan dengan konsumsi rokok menelan sekitar 50% dari total PDB
negara Indonesia (Andalas, Jurnal Kesehatan Masyarakat (online)no. 2
september 2009: 93-96), penyakit lainnya yang berkaitan dengan
kebiasaan merokok salah satunya ialah kanker paru, penyakit
kardiovaskuler, komplikasi kehamilan, osteoporosis, kanker Oral dan
Periodontal (Daliemunthe, M.I Kedokteran Gigi (online)no.3 September
2008: 143-151), Di suatu sisi terdapat penemuan-penemuan yang
merupakan dampak positif yang ada pada rokok ataupun tembakau;
Profesor Pezzoti berhasil melalui rekayasa genetika yang menyatakan
tembakau dapat menghasilkan obat anti radang juga dapat mencegah
diabetes melitus tipe 1 (Suroso, jurnal Litbang (online)no.12, April 2010:
71-75), cukai yang diperoleh hasil tembakau merupakan sumber

penerimaaan negara dalam negeri (Hadi dan Friyatno, Jurnal Agro
Ekonomi (online)no.1 Mei 2008: 90-121), penyerapan tenaga kerja dari
industri rokok dalam kurun 1997 sampai 2002 mengalami pertumbuhan
signifikan (wibowo, kajian ekonomi dan keuangan (online)no.2 juni 2003:
83-107). Beberapa pernyataan di atas merupakan beberapa contoh dari
pertentangan yang ada pada industri tembakau. Industri tembaka beserta
produk turunannya akan selalu menjadi perdebatan yang tiada akhirnya.
Disuatu sisi beranggapan bahwa rokok itu tidak baik namun disisi lain
ditemukan bahwa rokok memiliki senyawa protein yang baik untuk tubuh.
Hal tersebut tentu sangat membingungkan. Apakah rokok baik untuk
kesehatan atau tidak?
Dalam pembuatan regulasi tembakau yang biasa diikutsertakan ialah
perusahaan rokok kelas atas. Perusahaan rokok besar seperti Philip Morris,
BAT, Sampoerna, Gudang Garam, Djarum memiliki pengaruh yang besar
terhadap industri tembakau di Indonesia. Maka tidak heran ketika
permasalahan mengenai regulasi tembakau muncul maka akan
berhadapan dengan perusahaan rokok besar seperti yang telah
disebutkan. Peraturan mengenai kenaikan cukai terhadap rokok bukan hal
yang berarti bagi industri rokok tersebut. Namun hal itu menjadi bencana
bagi industri rokok kecil lainnya. Regulasi internasional sengaja diterapkan
pada negara berkembang hal itu bertujuan untuk memusnahkan
perusahaan-perusahaan kecil sehingga hanya pemilik kapital lah yang
dapat bertahan.
Regulasi yang bersifat internasional dan masuk ke Indonesia akan sulit
dibendung karena regulasi tersebut sifatnya mendunia. Untuk itu satusatunya harapan untuk membendung atau mencegah ialah Negara.
mungkin perusahaan yang sudah taraf internasional dapat menjalani
peraturan yang diselenggarakan oleh lembaga internasional namun
bagaimana dengan halnya para pengusaha kecil? Bisa-bisa mereka
tertindas dengan produk yang sudah go International. Hanya negara yang
dapat membantu para produsen kecil untuk dapat bertahan. Negara dapat
melakukan itu semua melalui kekuasaan yang ia miliki. Dengan membuat

peraturan atau regulasi yang bertaraf nasional. Seperti yang dilakukan
oleh negara Amerika serikat yang melarang produk tertentu masuk ke
negerinya. Bisa juga menggunakan hambatan tarif atau non tarif dengan
mengenakan pajak yang tinggi pada barang impor atau dapat dilakukan
hambatan non tarif. Akan lebih baik jika pemerintah mendukung penuh
usaha yang ada di dalam negeri dengan memberikan subsidi atau
bantuan lainnya. atau dapat juga dilakukan dengan memonopoli
seluruhnya namun rasanya hal itu tidak mungkin diterapkan di indonesia
mengingat Indonesia merupakan negara yang menganut asas demokrasi
dan berkeadilan sosial. pada intinya hanya negaralah yang dapat
melakukan perlindungan terhadap industri nasional karena negara
memiliki kekuasaan yang penuh.

Simpulan
Kebijakan atau deregulasi tembakau yang dibuat baik di tingkat nasional
maupun Internasional terlihat selalu berpihak kepada perusahaan rokok.
Kembali lagi ke teori Marx yang mengatakan bahwa kaum kapitalis selalu
berorientasi terhadap profit yang tentunya kebijakan yang ada harus
menguntungkan bagi pihak pengusaha rokok (tidak berlaku bagi
pengusaha rokok kecil). Maka apa pun akan dilakukan oleh para kapitalis

untuk memperoleh laba tanpa melihat keadaan sekelilingnya. Disini
peran industri rokok sangatlah besar jika dibandingkan negara. Negara
lebih terlihat sebagai perpanjangan tanah dari kaum kapitalis. Inilah efek
dari neoliberalisme industri skala besar menekan industri kecil lainnya,
sehingga beresiko gulung tikar. Untuk itu negara harus bersikap tegas
dengan membuat beberapa kebijakan serta peraturan yang pro terhadap
rakyat yang tentunya tanpa ada campur tangan dari industri rokok besar .
Negara seharusnya memberi perhatian lebih terhadap nasib para petani
tembakau, buruh dan pengusaha rokok berskala kecil lainnya. Diharapkan
perekonomian nasional dapat mendominasi perekonomian di negara
sendiri.

Daftar Pustaka
Achadi, Anhari. (2008) regulasi pengendalian masalah rokok di Indonesia.
(online). Available from: isjd.pdii.lipi.go.id (akses 8 desember 2012)
Andalas. (2009) Problematika dan alternatif solusi pengaturan industri rokok dan
perilaku merokok. (online), . Available from: isjd.pdii.lipi.go.id (akses 8 desember
2012)
Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008.

Budiman, Arief. Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Jakarta: Gramedia
Pustaka, 2002.
Chamim, Mardiyah. Et.al. A Giant Pack of Lies Bongkah Raksasa Kebohongan:
menyorot kedigdayaan Industri Rokok di Indonesia. Jakarta: Koji Communication
bekerjasama dengan TEMPO Institute, 2011.
Daeng, Salamuddin, et. Al. Kriminalisasi berujung monopoli: industri tembakau
Indonesia di tengah pusaran kampanye regulasi anti rokok internasional. Jakarta:
Indonesia Berdikari, 2011.
Daliemunthe, Saldina Hamzah. (2008) Mengapa hentikan merokok dianjurkan:
Suatu tinjauan dari aspek kesehatan Periodontal. (online). Available from:
isjd.pdii.lipi.go.id (akses 8 desember 2012)
Damanhuri, Didin S. Ekonomi Politik dan pembangunan: teori, kritik, solusi, bagi
Indonesia dan negara sedang berkembang. Bogor: IPB Press, 2010.
Deliarnov. Ekonomi Politik. Jakarta: Erlangga, 2006
Hadi, Prajogo U. Suprena Priyatno. (2008) Perana sektor tembakau dan industri
rokok dalam perekonomian indonesia: analisis tabel i-o table. (online). Available
from: isjd.pdii.lipi.go.id (akses 8 desember 2012)
Hidayat, Budi. Hasbullah Thabrany. (2008) model spesifikasi dinamis permintaan
rokok: rasionalkah perokok indonesia?. (online). Available from: isjd.pdii.lipi.go.id
(akses 8 desember 2012)
Huda, Ni’matul. Ilmu Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Kinasih, Herjuno Ndaru, Rika Febriani, Sulistyoningsih. Tembakau, Negara dan
keserakahan Modal Asing. Jakarta: indonesia Berdikari, 2012.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2002.
Pinanjaya, Okta., Waskito Giri S. Muslihat Kapitalis Global: Selingkuh Industri
Farmasi dengan Perusahaan Rokok AS. Jakarta: Indonesia Berdikari, 2012.
Rachbini, Didik J. Ekonomi Politik dan teori pilihan publik. Bogor: Ghalia
Indonesia, 2006.

Rachmat, Muchjidin. Rizma Aldillah. (2010) Agribisnis tembakau di indonesia:
kontroversi dan prospek. (online). Available from: isjd.pdii.lipi.go.id (akses 8
desember 2012)
Rachmat, Muchidin. (2010) pengembanganekonomi tembakau nasional:
kebijakan negara maju dan pembelajaran bagi Indonesia. (online). Available
from: pse.litbang.deptan.go.id (akses 8 desember 2012)
Saputra, Murry Hermawan. (2009) Analisis Industri Rokok Kretek di Indonesia.
(online). Available from: repository.ipb.ac.id (8 Desember 2012)
Sumarno, Simon Bambang. Mundrajad Kuncoro (2002) Struktur Kinerja dan
Kluster Industri rokok Kretek: Indonesia, 1996-1999. (online),. Available from:
repository.ipb.ac.id (akses 8 desember 2012)
Suroso. (2010) Harapan baru ditengah pro dan kontra merokok haram. (online).
Available from: isjd.pdii.lipi.go.id (akses 8 desember 2012)
Wibowo, tri. (2003) Potret industri rokok di Indonesia. (online) .Available from:
www.fiskal.depkeu.go.id (8 desember 2012).