Gambaran Darah Tepi pada Penderita Karsinoma Nasofaring Sebelum dan Sesudah Kemoradioterapi di RSUP.H.Adam Malik tahun 2015

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nasofaring
Nasofaring terletak di belakang rongga hidung, di atas palatum molle. Bila
palatum molle diangkat dan dinding posterior faring di tarik kedepan seperti
waktu menelan, maka nasofaring tertutup dari orofaring. Nasofaring mempunyai
atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior dan dinding lateral. Atap dibentuk
oleh corpus ossis spenoidalis dan pars basilaris ossis occipitalis. Kumpulan
jaringan limfoid yang disebut tonsila faringeal, terdapat di dalam submukosa.
Dasar dibentuk oleh permukaan atas palatum molle yang miring. Isthmus
faringeus adalah lubang di dasar nasofaring diantara pinggir bebas palatum molle
dan dinding posterior faring. Selama menelan, hubungan antara naso dan
orofaring tertutup oleh naiknya palatum molle dan tertariknya dinding posterior
faring

ke depan. Dinding anterior dibentuk oleh apertur nasalis posterior,

dipisahkan oleh pinggir posterior septum nasi. Dinding posterior membentuk

permukaan miring yang berhubungan dengan atap.Dinding ini ditunjang oleh
arcus anterior atlantis. Dinding lateral pada tiap-tiap sisi mempunyai muara tuba
auditiva ke faring. Pinggir posterior tuba membentuk elevasi yang disebut elevasi
tuba.M.Salfingofaringeus yang melekat pada pinggir bawah tuba, membentuk
lipatan vertical pada membrane mukosa yang disebuat plika salphingofaringeus.
Recessus faringeus adalah lekukan kecil pada dinding lateral di belakang elevasi
tuba. Kumpulan jaringan limfoid di dalam submukosa di belakang muara tuba
auditiva disebut tonsila tubaria.5

2.2. Karsinoma Nasofaring
2.2.1 Definisi
Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang muncul pada daerah
nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung). Karsinoma ini
terbanyak merupakan keganasan tipe sel skuamosa. KNF terutama ditemukan

Universitas Sumatera Utara

5

pada pria usia produktif (perbandingan pasien pria dan wanita adalah 2,18:1) dan

60% pasien berusia antara 25 hingga 60 tahun.6

2.2.2. Tipe-Tipe Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring di klasifikasikan berdasarkan pengamatan histologi
menjadi beberapa sub-tipe.:
Tipe1 (I) keratinizing nasopharyngeal carcinoma Tipe2 (II) Non-keratinizing cell
carcinoma dan Type 3 (III) Undifferentiated cell carcinoma. World Health
Organization (WHO) III subtype adalah bentuk karsinoma nasofaring yang paling
sering dijumpai di daerah endemis dan bentuk yang berbeda dari tipe squamous
karsinoma nasofaring itu berhubungan dengan Epstein barr virus (EBV) dan
sensitifitas terhadap kemoterapi dan radioterapi(RT).7

Stadium TNM karsinoma nasofaring berdasarkan American Joint Committee on
Cancer 2010:
Tumor Primer (T)
TX
Tumor primer tidak dapat dinilai
T0

Tidak terbukti adanya tumor primer


Tis

Karsinoma in situ

T1

Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring
dan/kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring.

T2

Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring.

T3

Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau sinus
paranasal.

T4


Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya syaraf
kranial, hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa
infratemporal/ruang mastikator.

KGB Regional (N)
NX
KGB regional tidak dapat dinilai.
N0

Tidak ada metastase ke KGB regional.

N1

Metastase kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter
terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular, dan/atau
unilateral atau bilateral kelenjar getah bening retrofaring dengan
diameter terbesar 6 cm atau kurang.

Universitas Sumatera Utara


6

N2

Metastase kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar
6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular.

N3

Metastase pada kelenjar getah bening diatas 6 cm dan/atau pada
fossa supraklavikular.

N3a

Diameter terbesar lebih dari 6 cm.

N3b

Meluas ke fossa supraklavikular, Metastase Jauh (M)


M0

Tanpa metastase jauh

M1

Metastase jauh
Tabel 2.1 Stadium TNM Karsinoma Nasofaring

Stadium

T

N

M

I


T1

N0

M0

II

T1

N1

M0

T2

N0-1

M0


T1,2

N2

M0

T3

N0-2

M0

IV A

T4

N0-2

M0


IV B

Semua T

N3

M0

IV C

Semua T

Semua N

M1

III

2.2.3. Faktor Resiko Karsinoma Nasofaring
Kanker yang berbeda memiliki faktor risiko yang berbeda pula. Faktor risiko

adalah segala sesuatu yang mempengaruhi peluang seseorang terkena penyakit.
Dari beberapa penelitian (case control dan cross sectional) dengan pemanfaatan
regresi logisik maupun chi-square mengenai KNF, terdapat faktor-faktor
risikonya antara lain perilaku merokok, jenis kelamin, umur, paparan debu,
paparan asap rokok, sosial ekonomi, pola hidup tidak sehat, paparan asap kayu
bakar, konsumsi ikan asin dibawah umur 10 tahun karena mengandung
nitrosamine volatile terutama N-nitrosodimethylamine dan infeksi virus EpsteinBarr, konsumsi alkohol, dan genetik8,24,26 .
Faktor risiko yang paling banyak diperbincangkan ialah pengaruh asap, baik
itu asap mobil, asap pabrik, debu, radioaktif dalam tambang dan asap rokok. Asap
rokok dikaitkan dengan perokok pasif yang terkena paparan asap rokok dari

Universitas Sumatera Utara

7

perokok aktif. Dalam sebuah penelitian menyatakan bahwa perokok pasif wanita
berpengaruh pada kejadian KNF.

2.3. Diagnosis
Sekitar 3 dari 4 penderita karsinoma nasofaring mengeluhkan dengan adanya

benjolan di leher. Benjolan tersebut bisa berada pada kedua sisi leher hingga ke
daerah belakang dari leher. Benjolan tersebut tidak lunak ataupun sakit. Ini
disebabkan karena kanker tersebut menyebar hingga ke kelenjar getah bening di
daerah leher. Gejala lain dari karsinoma nasofaring adalah :18
1.

Gangguan pendengaran, rasa penuh di telinga, tinitus, infeksi telinga yang
berulang

2.

Hidung tersumbat

3.

Epistaksis

4.

Sakit kepala

5.

Nyeri pada daerah wajah

6.

Kesulitan untuk membuka mulut

7.

Diplopia atau pengelihatan kabur

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa
dari karsinoma nasofaring adalah biopsi.19

Gambar 2.1. Karsinoma Nasofaring Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Universitas Sumatera Utara

8

Gambar 2.2. Karsinoma Nasofaring Non-Keratinizing Carcinoma

2.4. Penatalaksanaan
Radioterapi masih merupakan terapi utama, pengobatan tambahan yang
diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, factor transfer,
interferon, kemoterapi dan seroterapi. Berbagai kombinasi kemoterapi yang
dikembangkan sejauh ini masih yang terbaik adalah cis-platinum. Pengobatan
diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak hilang saat
kemoradioterapi.9
Radioterapi
Radioterapi sebagai pengobatan terpilih yang berdiri sendiri pada karsinoma
nasofaring telah diakui sejak lama dan banyak dilakukan di berbagai sentra dunia.
Radiasi diberikan dengan sasaran radiasi tumor primer dan KGB leher dan
supraklavikula kepada seluruh stadium (I, II, III, IV lokal) tanpa metastasis jauh
(M1) radiasi dapat diberikan dalam bentuk: Radiasi eksterna yang mencakup
nasofaring beserta kelenjar getah bening leher, dengan dosis 66 Gy pada T1-2 atau
70 Gy pada T3-4; disertai penyinaran kelenjar supraklavikula dengan dosis 50 Gy.
Radiasi intrakaviter sebagai radiasi booster pada tumor primer diberikan dengan
dosis (4x3 Gy), sehari 2 x .Bila diperlukan booster pada kelenjar getah bening
diberikan penyinaran dengan elektron. Radiasi bertujuan paliatif diberikan pada
stadium IV dengan metastasis tulang atau otak.

Universitas Sumatera Utara

9

Kemoterapi
Kombinasi radiokemoterapi sebagai radiosensitizer terutama diberikan pada
pasien dengan T2-T4 dan N1-N3. Kemoterapi sebagai radiosensitizer diberikan
preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali 2,5
sampai 3 jam sebelum dilakukan radiasi. Pada kasus N3 > 6 cm, diberikan
kemoterapi dosis penuh neo adjuvant atau adjuvan . Kombinasi kemoradioterapi
dengan mitomycin dan 5-fluorouracil oral setiap sebelum diberikan radiasi
memperlihatkan harapan akan kesembuhan total penderita.

2.5. Efek Kemoradioterapi
Kemoradioterapi sendiri dapat mempengaruhi hematopoesis. Salah satunya
kadar hemoglobin dalam darah. Pada 87% penderita mengalami penurunan kadar
hemoglobin dalam darah setelah diberikan kemoterapi. Dan pada pemberian
terapi radioterapi sebagian besar mengalami peningkatan kadar hemoglobin dalam
darah dan sebagian kecil mengalami penurunan kadar hemoglobin dalam darah.10
Pada penelitian lain, pemeriksaan darah dilakukan pada penderita saat dua
minggu sebelum terapi dan paling sedikit satu kali dalam seminggu saat
pengobatan. Dan juga dinyatakan bahwa, ada perbedaan signifikan kadar leukosit
sebelum pengobatan, jenis kemoterapi, siklus kemoterapi, tipe radioterapi, jenis
kelamin, dan pengunaan paclitaxel (ya atau tidak) pada kelompok tertentu.
Penderita yang mengalami leukopenia saat pengobatan memiliki kadar leukosit
yang lebih rendah sebelum pengobatan. Penderita wanita lebih sering mengalami
leukopenia.11

2.6. Hemopoiesis
Hemopoiesis adalah proses pembuatan sel darah merah. Hemopoiesis terjadi
di dalam lingkungan mikro sumsum tulang tempat sel stem hemopoiesis
mengalami kontak dengan banyak jenis sel lain. Komunikasi antar sel adalah
pengikatan, melalui reseptor permukaan sel, ke molekul adhesi dan ke sitokin dan
faktor pertumbuhan yang difiksasi atau disekresi. Pengikatan ini mencetuskan

Universitas Sumatera Utara

10

transduksi sinyal yang mengatur transkripsi gen yang menyebabkan proliferasi,
diferensiasi, dan apoptosis.
Sel stem primitif yang umum dalam sumsum memiliki kemampuan untuk
bereplikasi, berproliferasi dan berdiferensiasi sendiri menjadi sel progenitor yang
semakin terspesialisasi, setelah mengalami banyak pembelahan sel dalam
sumsum, membentuk sel matur ( sel darah merah, granulosit, monosit, trombosit,
dan limfosit) darah perifer.12
Tabel .2.2. Nilai Normal Darah Tepi
Perempuan
Hb
Leukosit
Laju endap darah
Trombosit
Hematokrit
Eritrosit
Eosinofil
Basofil
Neutrofil
Limfosit
Monosit

11.5-16.5
4.0-11.0