Keseimbangan Kedudukan Hukum Para Pihak Pada Transaksi E-Commerce (Studi Pada PT. Bukalapak.Com) Chapter III V

BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM
TRANSAKSI E-COMMERCE

A.

Sejarah dan Perkembangan Perlindungan Konsumen Pada Transaksi
E-Commerce
Sejarah perkembangan perlindungan konsumen sejalan dengan perkembangan

perekonomian dunia. Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan
berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan/atau jasa yang dapat
dikonsumsi. Barang dan/atau jasa tersebut umumnya merupakan barang dan/atau jasa
yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap yang lainnya. Dengan
diversifikasi produk yang sedemikian luasnya dan dengan dukungan kemajuan teknologi
telekomunikasi dan informatika, dimana terjadi perluasan ruang gerak arus transaksi
barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, konsumen pada akhirnya
dihadapkan pada berbagai jenis barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif, baik
yang berasal dari produksi domestik dimana konsumen berkediaman maupun yang
berasal dari luar negeri. 29
Perkembangan hukum konsumen di dunia bermula dari Amerika Serikat yang

tercatat sebagai negara yang banyak memberikan sumbangan mengenai masalah
perlindungan konsumen. Secara historis, perlindungan konsumen diawali dengan adanya
gerakan-gerakan konsumen di awal abad ke-19. Pada tahun 1891 di New York terbentuk
Liga

Konsumen

29

yang

pertama

kali

dan

pada

tahun


1898

di

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grasindo, Jakarta, 2000, hlm.

47.

27
Universitas Sumatera Utara

28

tingkat nasional Amerika Serikat terbentuk Liga Konsumen Nasional (The National
Consumer’s League). Organisasi ini kemudian tumbuh dan berkembang secara pesat
sehingga pada tahun 1903. Liga Konsumen Nasional di Amerika Serikat telah
berkembang menjadi 6 cabang yang meliputi 20 Negara Bagian. 30
Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1914, dengan dibukanya
kemungkinan untuk terbentuknya komisi yang bergerak dalam bidang perlindungan

konsumen, yaitu FTC (Federal Trade Commision) pada tahun 1914. Selanjutnya, sekitar
tahun 1930-an (dapat dianggap era pergolakan konsumen) mulai dipikirkan urgensi dari
pendidikan konsumen dari pendidik yang dimulai dengan penulisan buku-buku konsumen
dan perlindungan konsumen disertai dengan riset-riset yang mendukungnya. 31
Era ketiga dari pergolakan konsumen terjadi dalam tahun 1960-an yang
melahirkan era hukum perlindungan konsumen dengan lahirnya satu cabang hukum baru,
yaitu hukum konsumen (Consumers Law). Pada tahun 1962 Presiden Amerika Serikat
John F. Kennedy menyampaikan consumers message dalam kongres dan kemudian
dianggap era baru gejolak konsumen. Era ketiga tersebut menyadarkan negara-negara lain
untuk membentuk undang-undang perlindungan konsumen. Beberapa undang-undang
perlindungan konsumen negara-negara di dunia adalah sebagai berikut:

1.

Singapura: The Consumer Protection (Trade Description and Safety
Requirement Act, Tahun 1975).

2.

Thailand: Consumer Act, Tahun 1979.


3.

Jepang: The Consumer Protection Fundamental, Tahun 1968.

4.

Australia: Consumers Affairs Act, Tahun 1978.

5.

Irlandia: Consumers Information Act, Tahun 1978.
30

Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis dan
Perkembangan Pemikiran, Nusa Media, Bandung, 2008, hlm. 7.
31
Ibid., hlm. 22.

Universitas Sumatera Utara


29

6.

Finlandia: Consumer Protection Act, Tahun 1978.

7.

Inggris: The Consumers Protection Act, Tahun 1970, kemudian
diamandemen pada Tahun 1971.

8.

Kanada: The Consumers Protection Act dan The Consumers Protection
Amandement Act, Tahun 1971.
Di Indonesia, masalah perlindungan konsumen baru mulai terdengar pada tahun

1970-an. Ini terutama ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI) pada bulan Mei 1973. Secara historis, pada awalnya yayasan ini berkaitan dengan

rasa mawas diri terhadap produksi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri.
Gerakan ini dimulai dari desakan masyarakat agar diadakannya pengawasan-pengawasan
sehingga masyarakat tidak dirugikan dalam kegiatan promosi ini. Atas dasar inilah
dimulai gerakan untuk merealisasikan cita-cita tersebut.
Setelah sekian lama suara-suara tersebut terdengar oleh pemerintah negara
Indonesia, akhirnya pasca reformasi mulailah dibentuk RUU yang mengacu kepada
perlindungan konsumen. Tidak lama RUU ini diajukan, Presiden Indonesia sendiri
langsung mengesahkan Undang-Undang yang termasuk salah satu aturan Nasional di
negara kita pada tanggal 20 April 1999 yang dinamakan dengan “Undang-Undang
Perlindungan Konsumen”. Aturan itupun berlaku efektif satu tahun kemudian.
Dalam pengaturan Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut juga
melibatkan empat pihak, yaitu konsumen yang baik, pelaku usaha yang baik, konsumen
yang nakal dan pelaku usaha yang nakal. Hal tersebut dapat dipahami, karena konsumen
dan pelaku usaha bukanlah lawan melainkan pasangan yang saling membutuhkan. Masa
depan dari pelaku usaha sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi dari konsumen. Jika
konsumen dan perekonomian dalam kondisi yang baik maka pelaku usaha juga memiliki
masa depan yang baik begitu pula sebaliknya. Apabila pelaku usaha berbuat curang maka

Universitas Sumatera Utara


30

yang dirugikan tidak hanya pihak konsumen saja tetapi juga pelaku usaha yang tersebut.
Demikian juga jika ada konsumen yang nakal, hal itu tidak hanya akan merugikan pelaku
usaha saja tetapi juga merugikan konsumen yang baik.
Proses lahirnya suatu undang-undang perlindungan konsumen yang terdiri dari
15 Bab dan 65 Pasal membutuhkan waktu 25 tahun. Sejarah pembentukannya dimulai
dari: 32

1.

Seminar pusat studi hukum dagang, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia tentang masalah perlindungan konsumen, pada tanggal 15-16
Desember 1975.

2.

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI,
penelitian tentang perlindungan konsumen di Indonesia (proyek tahun
1979-1980).


3.

DPHN – Departemen Kehakiman, naskah akademis peraturan perundangundangan tentang perlindungan konsumen (proyek tahun 1980-1981).

4.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tentang perlindungan
konsumen Indonesia, suatu sumbangan pemikiran tentang rancangan
Undang-Undang tentang perlindungan konsumen, pada tahun 1981.

5.

Departemen Perdagangan RI bekerja sama dengan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, RUU tentang Perlindungan Konsumen, pada tahun
1997.

32

Az. Nasution, “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen: Tinjauan Singkat UU No. 8

Tahun 1999-L.N. 1999 No. 42”, Artikel pada Teropong, Media Hukum dan Keadilan (Vol II, No.
8, Mei 2003), MaPPI-FH UI dan Kemitraan.

Universitas Sumatera Utara

31

6.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Rancangan Undangundang usulan inisiatif DPR tentang Undang-undang Perlindungan
Konsumen, pada 1998.
Selain pembahasan-pembahasan diatas, masih terdapat berbagai lokakarya,

penyuluhan, seminar, di dalam dan di luar negeri yang menelaah mengenai perlindungan
konsumen atau tentang produk konsumen tertentu dari berbagai aspek, serta berbagai
kegiatan perlindungan konsumen yang dilakukan oleh masyarakat kalangan pelaku usaha
dan pemerintah yang dijalankan oleh YLKI. Pada akhirnya, dengan didukung oleh
perkembangan politik dan ekonomi di Indonesia, semua kegiatan berujung pada
disetujuinya Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU PK) tersebut yang disahkan
oleh DPR RI dan Presiden RI.


B.

Dasar-dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Pengertian perlindungan konsumen secara yuridis dapat di temukan dalam Pasal

1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
yaitu “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen” 33. Sementara pada angka 2 yang
dimaksud dengan “Konsumen” adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Ada beberapa asas yang tercantum dalam upaya perlindungan hukum terhadap
konsumen sebagai usaha bersama pihak-pihak yang terkait, masyarakat, pelaku usaha,
dan pemerintah sebagaimana pasal 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu :

33

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op. Cit.,hlm. 38.


Universitas Sumatera Utara

32

1.

Asas kemanfaatan,

2.

Asas keadilan,

3.

Asas keseimbangan,

4.

Asas keamanan dan keselamatan konsumen, serta

5.

Asas kepastian hukum.
Asas kemanfaatan mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan

perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
Asas keseimbangan menghendaki agar kepentingan konsumen, produsen-pelaku
usaha, dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak
dan kewajibannya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Asas
keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadlian dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Kepastian hukum disebut juga
dengan istilah principle of legal security dan rechtszekerheid. Kepastian hukum adalah
perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak serta kewajiban setiap warga
negara. Kepastian hukum (rechtszekerheid) juga bisa diartikan dengan jaminan bagi

Universitas Sumatera Utara

33

warga masyarakat, bahwa semuanya akan diperlakukan sama oleh negara atau penguasa
berdasarkan peraturan hukum, tidak sewenang-wenang. 34
Dalam diberlakukannya Undang-undang Perlindungan Konsumen ini tidak
berarti mengabaikan hak-hak atau kepentingan pelaku usaha karena dalam undangundang ini selain hak konsumen juga diatur tentang kewajiban konsumen, hak dan
kewajiban pelaku usaha. Hak konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
diatur dalam Pasal 4 yang terdiri dari 10 (sepuluh) ayat, sedangkan kewajibannya diatur
dalam Pasal 5 yang terdiri dari 5 (lima) ayat. Sementara hak pelaku usaha diatur dalam
pasal 6 yang terdiri dari 5 (lima) ayat dan kewajiban pelaku usaha dalam Undang-Undang
ini diatur dalam Pasal 7 yang terdiri dari 6 (enam) ayat. Dapat disimpulkan bahwa
Undang-Undang Perlindungan Konsumen menghendaki terjadinya simbiosis mutualisme
antara konsumen dan pelaku usaha.
Dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang dimaksud
dengan transaksi elektronik adalah “perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya”. Saat ini
telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan Hukum Siber. Istilah “hukum
siber” diartikan sebagai padanan kata dari Cyber Law, yang saat ini secara internasional
digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. 35
Kegiatan siber meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan
dan perbuatan hukum yang nyata. Dengan demikian subjek pelakunya harus
dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata.

34

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2014, hlm. 26.
35

Ahmad M. Ramli, Cyber Law dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia, Refika
Aditama, Bandung, 2006, hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara

34

Dalam kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya dokumen-dokumen elektronik
yang kedudukannya disetarakan dengan dokumen-dokumen yang dibuat diatas kertas. 36
Oleh karena itu kewajiban perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi
elektronik baik dalam bentuk e-payment, card payment, maupun mobile payment harus
disamakan dengan perlindungan konsumen pada umumnya sebagaimana yang diatur
dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

C.

Bentuk-bentuk Kerugian Konsumen dalam Transaksi E-Commerce
Transaksi melalui internet memberikan kemudahan, kenyamanan dan kecepatan

dalam setiap transaksi yang dilakukan hal inilah yang mendorong pesatnya pertumbuhan
e-commerce di Indonesia. Namun terlepas dari kebaikan e-commerce, tidak menutup
kemungkinan timbulnya kerugian terhadap pihak konsumen. Kerugian yang diderita
konsumen dapat berupa :

Wanprestasi
Transaksi e-commerce merupakan perjanjian jual beli sebagaimana yang
dimaksud oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Karena merupakan suatu
perjanjian maka melahirkan juga apa yang disebut sebagai prestasi, yaitu kewajiban suatu
pihak untuk melaksanakan hal-hal yang ada dalam suatu perjanjian. Adanya prestasi
memungkinkan terjadinya wanprestasi atau tidak dilaksanakannya prestasi atau
kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak kepada para pihak.
Wanprestasi yang dilakukan oleh pihak penjual merupakan kerugian bagi pihak

36

Ibid., hlm. 2.

Universitas Sumatera Utara

35

konsumen. Bentuk-bentuk dari pada wanprestasi yang dilakukan oleh pelaku usaha ini
antara lain : 37

1.

Tidak Melakukan Apa Yang Disanggupi Akan Dilakukan
Dalam transaksi e-commerce, penjual mempunyai kewajiban untuk menyerahkan
barang yang dijual kepada pembeli dan kewajiban untuk menanggung
kenikmatan tenteram dan menanggung cacat-cacat tersembunyi. Jika penjual
tidak melaksanakan kedua kewajibannya tersebut, penjual dapat dikatakan
wanprestasi.

2.

Melaksanakan Apa Yang Dijanjikan Tetapi Terlambat
Bentuk kerugian model ini sebenarnya sama dengan bentuk kerugian pada
nomor “a”. jika barang yang dipesan datang terlambat, tetapi tetap dapat
dipergunakan, hal ini dapat digolongkan sebagai prestasi yang terlambat.
Sebaliknya jika prestasinya tidak dapat digunakan lagi, digolongkan
sebagai tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan.

3.

Melakukan Sesuatu Yang Menurut Perjanjian Tidak Boleh Dilakukan
Contoh aplikasi kerugian jenis ini adalah penyebaran informasi pribadi
konsumen yang dilakukan oleh penjual. Informasi yang disebarkan oleh
penjual tersebut dapat berasal dari form registrasi yang diisi oleh
konsumen sendiri dan cookies yang berasal dari situs penjual. Penyebaran
terhadap informasi pribadi ini tentu akan akan merugikan konsumen,
terlebih lagi terhadap informasi sensitif seperti nomor kartu kredit.

D.

Upaya Hukum Apabila Timbulnya Kerugian Konsumen
37

M. Arsyad Sanusi, E-Commerce: Hukum dan Solusinya, PT Mizan Grafika Sarana,
Jakarta, 2007, hlm. 34.

Universitas Sumatera Utara

36

Upaya hukum adalah keseluruhan upaya-upaya guna menyelesaikan suatu
masalah hukum. Dalam e-commerce terdapat dua macam upaya hukum yakni : 38

1.

Upaya hukum preventif
Upaya hukum preventif dapat diartikan sebagai segala upaya yang
dilakukan guna mencegah terjadinya suatu peristiwa atau keadaan
yang tidak diinginkan. Dalam transaksi e-commerce, keadaan yang
tidak diinginkan ini adalah terjadinya kerugian, khususnya
kerugian pada pihak konsumen.Upaya preventif perlu untuk
diterapkan mengingat penyelesaian sengketa e-commerce relatif
sulit, memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaiannya dan
tidak jarang memerlukan biaya yang tinggi. Sebagai contoh dua
orang Hongkong dan Austraia memerlukan waktu 5 bulan untuk
mendapatkan refund (pembayaran kembali) atas barang yang dibeli.
Maka dari itu, sengketa e-commerce sebisa mungkin harus dicegah.
Dalam usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kerugian langkahlangkah yang dapat ditempuh, yakni :
a.

Pembinaan Konsumen
Pembinaan konsumen terdapat dalam Pasal 29 ayat
1

Undang-Undang

Nomor

8

Tahun

1999

tentang

Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa:
“Pemerintah

bertanggung

jawab

atas

pembinaan

penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin
38

Happy Susanto, Op. Cit., hlm.63-69.

Universitas Sumatera Utara

37

diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta
dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha”.
Kemudian dalam ayat 4 disebutkan bahwa pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen bertujuan untuk :
1.

Terciptanya iklim usaha dan hubungan yang sehat
antara pelaku usaha dengan konsumen.

2.

Berkembangnya

lembaga

konsumen

swadaya

masyarakat.
3.

Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan
meningkatkan

kegiatan

penelitian

dan

pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
Pembinaan terhadap konsumen bertujuan agar konsumen
mengetahui hak-haknya sebagai konsumen dan mendorong
pelaku usaha agar berusaha secara sehat. Dalam era Informasi
Teknologi (IT) seperti saat ini, pembinaan konsumen harus
ditingkatkan mengingat bahwa edukasi adalah pertahanan terbaik
untuk mengatasi cybe rcrime, karena ancaman pelanggaran
terhadap hak-hak konsumen tidak hanya berasal dari pelaku
usaha saja tapi bisa juga datang dari pihak ketiga melalui
kejahatan-kejahatan internet (cybe rcrimes). Hal-hal yang perlu
diberikan dalam edukasi terhadap konsumen adalah :

1.

Hak, kewajiban dan tanggung jawab seluruh pihak
terkait. Baik konsumen, pelaku usaha, maupun bank
(dalam hal transaksi menggunakan kartu kredit)

Universitas Sumatera Utara

38

2.

Pentingnya menjaga keamanan password seperti
misalnya :
a.

Merahasiakan dan tidak memberitahukan
PIN/password kepada siapapun termasuk
kepada petugas penyelenggara.

b.

Menggunakan PIN/password yang tidak
mudah ditebak.

c.

Melakukan perubahan PIN/password secara
berkala.

d.

Tidak mencatat PIN/password dalam bentuk
fisik.

e.

PIN/password untuk satu akun hendaknya
berbeda dengan akun lainnya.

3.

Edukasi mengenai berbagai modus cyber crime
Pembinaan konsumen oleh pemerintah dilakukan oleh

menteri-menteri teknis terkait (Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Namun
dalam prakteknya, peranan pemerintah dalam melakukan
edukasi/pembinaan terhadap konsumen belum begitu maksimal,
hal ini dapat dilihat dari rendahnya kesadaran konsumen
mengenai hak-hak yang dimilikinya dan masih rendahnya
keberanian konsumen untuk menuntut pelaku usaha.

b.

Pengawasan dan Perlindungan Oleh Pemerintah Maupun
Badan Yang Terkait.

Universitas Sumatera Utara

39

Kewajiban pemerintah untuk melakukan pengawasan
dan perlindungan tercantum dalam Pasal 40 ayat 2 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dan Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana dalam Pasal 40
ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik disebutkan bahwa:
“Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala
jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi
Elektronik

dan

Transaksi

ketertiban

umum,

sesuai

Elektronik
dengan

yang

mengganggu

ketentuan

Peraturan

Perundang-undangan”.
Perlindungan oleh pemerintah terlihat dalam ayat 3, 4,
dan 5 dimana apabila disimpulkan bahwa instansi yang memiliki
data elektronik yang strategis wajib membuat cadangan (backup)
terhadap

data

elektronik

tersebut

dengan

tujuan

untuk

kepentingan perlindungan data apabila terjadi kerusakan,
kehilangan atau serangan terhadap data elektronik tersebut.
Pengawasan yang dilakukan pemerintah sudah terlaksana, hal ini
terlihat dalam :

1.

Dikeluarkannya
memblokir

kebijakan

konten-konten

pemerintah

yang

internet

yang

mengandung unsur pornografi dan konten yang
berbau SARA (implementasi Pasal 40 ayat 2

Universitas Sumatera Utara

40

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik).
2.

Pengawasan terhadap bank yang memiliki data
elektronik yang strategis dilakukan oleh Bank
Indonesia (implementasi Pasal 40 ayat 3, 4, dan 5
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik).
Kemudian dalam Pasal 30 ayat 1 UUPK disebutkan

bahwa “Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan
konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundangundangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat”.
Pelaksanaan terhadap ketentuan ini lebih banyak
dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat misalnya oleh
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Hal ini
disebabkan karena rendahnya kinerja badan pemerintah yang
bergerak dalam perlindungan konsumen, mulai dari kurangnya
sosialisasi dan edukasi kepada konsumen.

2.

Upaya hukum represif
Upaya hukum represif adalah upaya hukum yang dilakukan
untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum yang sudah terjadi.
Upaya hukum ini digunakan apabila telah terjadi sengketa antara pelaku
usaha dengan konsumen.
Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, salah satu
hak konsumen adalah mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya

Universitas Sumatera Utara

41

penyelesaian sengketa secara pantas (Pasal 4 butir e Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).
Selain itu, salah satu kewajiban pelaku usaha adalah memberikan
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan (Pasal 7 butir f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen).
Dalam

transaksi

e-commerce,

banyak

hal

yang

dapat

menimbulkan suatu sengketa sebagaimana disebutkan diatas yang dapat
menurunkan rasa kepercayaan konsumen terhadap sistem e-commerce,
sehingga diperlukan suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif
dan efisien.
Transaksi e-commerce dapat bersifat internasional maupun bersifat
nasional. Tranasksi e-commerce yang bersifat internasional artinya transaksi
dapat dilakukan dengan melintasi batas suatu negara, hal ini sesuai dengan
karakteristik e-commerce yang bersifat borderless.

Upaya hukum dalam hal transaksi e-commerce bersifat Internasional
Masalah yang muncul dalam hal terjadi sengketa pada transaksi e-commerce
yang bersifat internasional adalah menentukan hukum/pengadilan mana yang digunakan
untuk menyelesaikan sengketa. 39

39

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Dultom, Cyber Law : Aspek hukum teknologi
informasi, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 167.

Universitas Sumatera Utara

42

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, pengaturan mengenai transaksi e-commerce yang bersifat internasional
terdapat dalam Pasal 18. Menurut pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, para pihak berwenang untuk
menentukan hukum yang berlaku bagi transaksi e-commerce yang dilakukannya, maka
dalam hal ini para pihak sebaiknya menentukan hukum mana yang berlaku apabila terjadi
sengketa di kemudian hari (choice of law). Dalam menentukan pilihan hukum, ada
batasan-batasan dan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan yakni sebagai berikut : 40

1.

Partijautonomie
Menurut prinsip ini, para pihak merupakan pihak yang paling berhak menentukan
hukum yang hendak mereka pilih dan berlaku sebagai dasar penyelesaian
sengketa sekiranya timbul suatu sengketa dari kontrak transaksi yang dibuat.
Prinsip ini merupakan prinsip yang telah secara umum dan tertulis diakui oleh
sebagian besar negara, seperti Eropa, Eropa Timur, Negara-negara Asia-Afrika,
termasuk Indonesia.

2.

Bonafide
Menurut prinsip ini, suatu pilihan hukum harus didasarkan itikad baik, yaitu
semata-mata untuk tujuan kepastian, perlindungan yang adil, dan jaminan yang
lebih pasti bagi pelaksanaan akibat-akibat transaksi.

3.

Real Connection
Beberapa sistem hukum mensyaratkan keharusan adanya hubungan nyata antara
hukum

yang

dipilih

dengan

peristiwa

hukum

yang

hendak

ditundukkan/didasarkan kepada hukum yang dipilih.

40

Ida Bagus Wyasa Putra, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi
Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2000, hlm. 70-71.

Universitas Sumatera Utara

43

4.

Larangan Penyelundupan Hukum
Pihak-pihak yang diberi kebebasan untuk melakukan pilihan hukum, hendaknya
tidak menggunakan kebebasan itu untuk tujuan kesewenang-wenangan demi
keuntungan sendiri.

5.

Ketertiban Umum
Suatu pilihan hukum tidak boleh bertentangan dengan sendi-sendi asasi hukum
dan masyarakat, hukum para hakim yang akan mengadili sengketa bahwa
ketertiban umum merupakan pembatas pertama kemauan seseorang dalam
melakukan pilihan hukum.
Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa kebebasan para pihak dalam melakukan

pilihan hukum bukanlah tanpa batas tapi harus memperhatikan prinsip dan batasan
sebagaimana diuraikan diatas. Namun ada kalanya para pihak tidak mencantumkan
klausula pilihan hukum dalam kontrak elektronik yang dibuatnya maka berdasarkan Pasal
18 ayat (3) hukum yang berlaku bagi para pihak ditentukan berdasarkan pada asas
Hukum Perdata Internasional (HPI). Dalam HPI terdapat teori-teori untuk menentukan
hukum mana yang berlaku bagi suatu kontrak internasional, teori tersebut adalah : 41

1.

Teori Lex loci contractus
Hukum yang berlaku adalah hukum tempat dimana kontrak dibuat.Teori
ini merupakan teori klasik yang tidak mudah diterapkan dalam praktek
pembentukan kontrak internasional modern sebab pihak-pihak yang
berkontrak tidak selalu hadir bertatap muka membentuk kontrak di satu
tempat (contract between absent person).Dapat saja mereka berkontrak
melalui telepon atau sarana-sarana lainnya.Alternatif yang tersedia bagi

41

Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Alumni, Bandung, 1998,

hlm. 8-16.

Universitas Sumatera Utara

44

kelemahan teori ini adalah pertama, teori post box dan teori penerimaan.
Menurut teori post box, hukum yang berlaku adalah hukum tempat post
box di mana pihak yang menerima penawaran (offer) itu memasukkan
surat pemberitahuan penerimaan atas tawaran itu. Sementara itu, menurut
teori penerimaan, hukum yang berlaku adalah hukum tempat di mana
pihak penawar menerima menerima surat pernyataan penerimaan
penawaran dari pihak yang menerima tawaran.
2.

Teori Lex loci solutionis
Hukum

yang

berlaku

adalah

hukum tempat

dimana

perjanjian

dilaksanakan, bukan di mana tempat kontraknya ditandatangani.Kesulitan
utama kontrak ini adalah jika kontrak itu harus dilaksanakan tidak di satu
tempat, seperti kasus kontrak jual beli yang melibatkan pihak-pihak
(penjual dan pembeli) yang berada di negara berbeda, dan dengan sistem
hukum yang berbeda pula.
3.

Teori the proper law of contract
Hukum yang berlaku adalah hukum negara yang paling wajar berlaku bagi
kontrak itu, yaitu dengan cara mencari titik berat (center of gravity) atau
titik taut yang paling erat dengan kontrak itu.

4.

Teori the most characteristic connection
Hukum yang berlaku adalah hukum dari pihak yang melakukan prestasi
yang paling karakteristik.Kelebihan teori ini adalah bahwa dengan teori ini
dapat dihindari beberapa kesulitan, seperti keharusan untuk mengadakan
kualifikasi lex loci contractus atau lex loci solutionis, di samping itu juga
dijanjikan kepastian hukum secara lebih awal oleh teori ini.

Universitas Sumatera Utara

45

Upaya hukum Apabila Timbulnya Kerugian Konsumen

1.

Non Litigasi
Penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan diselenggarakan
untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau
mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadinya kembali
kerugian yang diderita oleh konsumen (Pasal 47 Undang-Undang No. 9 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen). Penyelesaian sengketa konsumen melalui
jalur non-litigasi digunakan untuk mengatasi keberlikuan proses pengadilan,
dalam Pasal 45 ayat 4 Undang-Undang No. 9 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen disebutkan bahwa:
“jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang
bersengketa”. Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dapat ditempuh
melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (YLKI), Direktorat Perlindungan
Konsumen Disperindag, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan
pelaku usaha sendiri. 42
YLKI merupakan lembaga swadaya masyarakat yang diakui oleh
pemerintah yang dapat berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan
konsumen (Pasal 44 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 9 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen). YLKI menyediakan sarana dengan bentuk pengaduan
terhadap transaksi yang bermasalah yaitu dengan membuka pengaduan dari

42

Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2005, hlm. 159.

Universitas Sumatera Utara

46

empat saluran yang ada yaitu telepon, surat, dengan datang langsung ke kantor
YLKI, dan email. 43
Adapun sistem yang digunakan adalah pertama, sistem fill up atau secara
tertulis. Bentuk pengaduan yang dilakukan oleh konsumen harus dalam bentuk
tertulis dengan disertai bukti-bukti yang cukup dan identitas konsumen yang
bersangkutan. Misalnya dalam kasus kegagalan pembayaran melalui ATM maka
konsumen dapat melampirkan “slip” tanda pembayaran dalam aduannya.
Kemudian YLKI akan mempelajari berkas perkara tersebut, selanjutnya YLKI
akan melayangkan surat kepada pelaku usaha untuk dimintai keterangannya.
Pihak YLKI kemudian melakukan surat-menyurat apabila pihak konsumen tidak
puas atas tanggapan dari pelaku usaha, dan YLKI juga dapat mengundang kedua
belah pihak yang bermasalah untuk didengar pendapatnya. Disini YLKI
bertindak sebagai mediator.
Sistem kedua yakni sistem non-full up, dalam sistem ini YLKI akan
memberikan konsultasi dan saran-saran yang dapat dilakukan konsumen, jika
konsumen merasa yakin dan perlu kasusnya untuk ditindaklanjuti, maka dapat
dilakukan sistem fill up.
Dari sisi pemerintah melalui Direktorat Perlindungan Konsumen
Disperindag, upaya konsumen yang dapat dilakukan hampir sama dengan YLKI,
yaitu melakukan pengaduan disertai dengan bukti kejadian.
Perbedaannya adalah pada saat pemanggilan pelaku usaha untuk dimintai
keterangan perihal masalah yang ada. Apabila ditemukan adanya hak-hak
konsumen yang dilanggar, pihak pelaku usaha dapat dengan cepat merespons dan
mematuhi ketentuan yang telah digariskan oleh Direktorat tersebut. Hal ini terkait
43

http://www.mediakonsumen.com/Kategori11.html, bahan diakses tanggal 20 Desember

2016.

Universitas Sumatera Utara

47

dengan ancaman pencabutan izin usaha yang dikeluarkan oleh Disperindag.
Terapi ini ampuh untuk menindaklanjuti permasalahan konsumen yang
mengemuka. Mekanisme pengaduan melalui lembaga pemerintah ini masih
jarang dilakukan konsumen karena ketidaktahuan terhadap bentuk penyaluran
pengaduan yang tenyata disediakan oleh Disperindag. 44
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen juga merupakan badan
bentukan pemerintah yang tugas utamanya adalah melaksanakan penanganan dan
penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi, arbitrase atau
konsiliasi. Penyelesaian masalah sengketa konsumen melalui badan ini sangat
murah, cepat, sederhana dan tidak berbelit-belit. Konsumen yang bersengketa
dengan pelaku usaha bisa datang ke badan ini dan mengisi formulir pengaduan,
nantinya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen akan mengundang para pihak
yang bersengketa untuk melakukan pertemuan pra-sidang. Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen berwenang untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran
laporan dan keterangan yang diadukan oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Dalam penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi konsumen sebaiknya
memilih menggunakan arbitrase, sebab hasil putusan arbitrase mengikat para
pihak dan mempunyai kekuatan hukum layaknya putusan pengadilan. Jangka
waktu penyelesaian sengketa oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
adalah 21 hari sejak pengaduan diterima (Pasal 55 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) dan pelaku usaha dalam waktu
paling lambat 7 hari sejak menerima putusan dari BPSK wajib melaksanakan
putusan tersebut. 45

44

Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2005, hlm. 45.
45
Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visi Media, Yogyakarta, 2008,
hlm. 3.

Universitas Sumatera Utara

48

Kemudian, dari sisi pelaku usaha, umumnya pengaduan yang ada dapat
berasal dari saluran telepon, surat, dan e-mail yang diterima oleh customer
service. Akan tetapi, terkadang penyaluran pengaduan melalui pelaku usaha tidak
dapat memuaskan konsumen.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa jalur-jalur penyelesaian sengketa yang
tersedia telah memberikan jalan bagi konsumen untuk menegakkan hak-haknya
yang dilanggar oleh pelaku usaha. Hal ini seharusnya dapat menimbulkan
kesadaran bagi konsumen untuk lebih berani mengadukan permsalahannya,
dimana dalam praktek konsumen masih enggan untuk melaporkan pelanggaran
terhadap hak-haknya.

2.

Litigasi
Dasar hukum untuk mengajukan gugatan di pengadilan terdapat dalam
Pasal 38 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik dan Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 38 ayat 1 Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan bahwa:
“Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang
menyelenggarakan

Sistem

Elektronik

dan/atau

menggunakan

Teknologi

Informasi yang menimbulkan kerugian”. Sedangkan gugatan yang diajukan
berupa gugatan perdata (Pasal 39 ayat 1).
Sedangkan dalam Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa:

Universitas Sumatera Utara

49

“Setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum”.
Dengan diakuinya alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah di
pengadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat 1, 2 dan 3 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
maka alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh konsumen di pengadilan adalah :

a.

Bukti transfer atau bukti pembayaran.

b.

SMS atau e-mail yang menyatakan kesepakatan untuk melakukan
pembelian.

c.

Nama, alamat, nomor telepon, dan nomor rekening pelaku usaha.
Pihak-pihak yang boleh mengajukan gugatan ke pengadilan dalam

sengketa konsumen menurut pasal 46 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen adalah :

a.

Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli warisnya.

b.

Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.

c.

Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang
tujuan didirikannya lembaga ini adalah untuk kepentingan
konsumen.

d.

Pemerintah atau instansi terkait.
Yang perlu diperhatikan konsumen dalam mengajukan gugatan ke

pengadilan dalam sengketa konsumen adalah :

Universitas Sumatera Utara

50

a.

Setiap bentuk kerugian yang dialami oleh konsumen bisa diajukan
ke pengadilan dengan tidak memandang besar kecilnya kerugian
yang diderita, hal ini diizinkan dengan memperhatikan hal-hal
berikut :46
1.

Kepentingan dari pihak penggugat (konsumen) tidak dapat
diukur semata-mata dari nilai uang kerugiannya.

2.

Keyakinan bahwa pintu keadilan seharusnya terbuka bagi
siapa saja, termasuk para konsumen kecil dan miskin, dan

3.

Untuk menjaga intregitas badan-badan peradilan.

4.

bahwa

pembuktian

ada

tidaknya

unsur

kesalahan

merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha, hal ini
karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menganut asas pertanggungan
jawab produk (product liability) sebagaimana diatur dalam
Pasal 19 juncto Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Ini berbeda dengan
teori beban pembuktian pada acara biasa, dimana beban
pembuktian
(konsumen)

merupakan
untuk

tanggung

membuktikan

jawab

penggugat

adanya

unsur

kesalahan.Dengan adanya prinsip product liability ini,
maka konsumen yang mengajukan gugatan kepada pelaku
usaha cukup menunjukkan bahwa produk yang diterima
dari pelaku usaha telah mengalami kerusakan pada saat
46

Janus Sidabalok, Op. Cit., hlm. 148.

Universitas Sumatera Utara

51

diserahkan oleh pelaku usaha dan kerusakan tersebut
menimbulkan

kerugian

atau

kecelakaan

bagi

si

konsumen. 47
Dengan berlakunya prinsip hukum bahwa setiap orang yang melakukan
suatu akibat kerugian bagi orang lain, harus memikul tanggung jawab yang
diperbuatnya. Maka dalam hal ini konsumen dapat mengajukan tuntutan berupa
kompensasi/ganti rugi kepada pelaku usaha, kompensasi tersebut menurut Pasal
19 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen meliputi pengembalian sejumlah uang, penggantian barang atau jasa
sejenis atau yang setara, perawatan kesehatan, dan pemberian santunan sesuai
ketentuan perundang-undangan.

47

N. H. T. Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab
Produk, Samitra Media Utama, Jakarta, 2005, hlm. 17.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
KESEIMBANGAN KEDUDUKAN HUKUM PARA PIHAK PADA TRANSAKSI
E-COMMERCE

A.

Legalitas Transaksi E-Commerce
E-Commerce lahir berdasarkan kontrak jual beli yang terjadi secara

elektronik antara penjual dan pembeli.Hingga saat ini masih terjadi kekosongan
hukum di Indonesia perihal transaksi elektronik, sebab belum terakomodir tentang
syarat-syarat sahnya suatu kontrak elektronik secara khusus. 48
Namun, prinsip dasar pemberlakuan suatu kontrak di Indonesia mengacu
pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sehingga dapat pula
diterapkan pada kontrak elektronik. Adapun syarat sahnya perjanjian menurut
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah: 49
1.

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Keberadaan suatu unsur kesepakatan dalam e-commerce diukur melalui
pembeli yang mengakses dan menyetujui penawaran melalui internet.Hal
ini dapat diterjemahkan sebagai penerimaan untuk menyepakati sebuah
hubungan hukum.e-commerce ini secara tertuang dalam kontrak baku
dengan prinsip take it or leave it, sebab seluruh penawaran beserta
persyaratan pembelian suatu produk sudah tercantum dan pembeli dapat
menyetujuinya atau tidak. Persetujuan yang diberikan oleh pembeli ini

48

Yosefin Mulyaningtyas, Aspek Hukum E-Commerce/ Hukum Jual Beli Online,
http://www.sindikat.co.id/blog/aspek-hukum-E-Commerce-hukum-jual-beli-online, diakses pada
12 Februari 2017.
49
Ibid.

52
Universitas Sumatera Utara

53

menjadi dasar dari kesamaan kehendak para pihak, sehingga kesepakatan
dalam kontrak elektronik lahir.

2.

Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Cakap menurut hukum adalah orang yang telah dewasa menurut hukum,
yaitu seseorang yang telah berumur 21 tahun dan telah kawin, serta tidak
dibawah pengampuan. Unsur kecapakan dalam e-commerce sulit untuk
diukur, sebab setiap orang (tanpa dibatasi dengan umur tertentu) dapat
mejalankan transaksi elektronik sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transksi Elektronik (“UU
ITE”). Berdasarkan ketentuan ini, anak-anak yang masih di bawah umur
dapat melakukan transaksi e-commerce dan tidak memenuhi syarat
subjektif dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Oleh
karena itu, kontrak ini dapat dibatalkan melalui seseorang yang
mengajukan pembatalan di pengadilan.

3.

Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu adalah barang-barang yang dapat diperdagangkan dan
dapat ditentukan jenisnya.Produk yang ditawarkan secara online tertuang
dalam bentuk gambar atau foto yang disertai dengan spesifikasi produk
tersebut.Namun, tidak ada jaminan bahwa produk tersebut pasti
dikirimkan kepada pembeli sekalipun telah membayar melalui sistem
pengiriman uang atau transfer melalui bank.

Universitas Sumatera Utara

54

4.

Suatu sebab yang halal
Maksud dari suatu sebab yang halal adalah tidak bertentangan dengan
Undang-Undang, kesusilaan, dan kepentingan umum.Dalam e-commerce
harus dipastikan bahwa transaksi jual beli dilakukan dengan prinsip itikad
baik oleh penjual dan pembeli.Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka
kontrak elektronik batal demi hukum.
E-Commerce telah sah menurut hukum sepanjang memenuhi Pasal 1320 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata. Syarat pertama dan kedua disebut dengan syarat
subjektif, sebab melekat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam e-commerce. Sedangkan,
syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, karena melekat pada objek dalam ecommerce. Apabila syarat pertama dan/atau syarat kedua tidak dipenuhi, maka kontrak
elektronik dapat dibatalkan oleh pihak yang berkepentingan dalam jangka waktu selama 5
(lima) tahun sesuai dengan Pasal 1454 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam hal
syarat ketiga dan/atau syarat keempat tidak dipenuhi, maka kontrak elektronik batal demi
hukum atau dianggap tidak pernah ada dan tidak ada dasar untuk menuntut. 50
Menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya
kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari
apa yang menjadi objek perjanjian. Sepakat adalah kesesuaian kehendak antara dua pihak
tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, adalah juga yang dikehendaki oleh
pihak yang lain, meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal balik. Kedua kehendak itu
bertemu satu sama lain. 51

50

Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992,

51

Ibid, hlm 26.

hlm. 16.

Universitas Sumatera Utara

55

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Legal Officer Bukalapak.com,
Bapak Rehansya Agusvirta, S.H., transaksi pada situs Bukalapak dianggap telah sah
secara hukum setelah pembeli klik “Beli” pada halaman pembelanjaan suatu produk.
Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatakan bahwa: “Jual beli
dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu
mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu
belum diserahkan dan harganya belum dibayar.” Walaupun demikian, Pasal 1459 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa : “Hak milik atas barang yang
dijual tidak pindah kepada pembeli selama barang itu belum diserahkan”. Dengan
demikian, pada saat setelah klik tombol “Beli”, Pembeli harus segera mengirimkan dana
produk dalam waktu 1x24 jam guna diproses pengiriman barang oleh Penjual/Pelapak
sehingga kepemilikan barang dapat berpindah. 52
Adapun pihak PT. Bukalapak.com mengharuskan pihak Penjual/Pelapak dan
Pembeli menyetujui aturan penggunaan pada situs Bukalapak.com, yaitu “BL Payment
System” yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini : 53

52

Hasil wawancara penulis dengan Legal Officer PT. Bukalapak.com, Bapak Rehansya
Agusvirta, S.H., pada PT. Bukalapak.com tanggal 1 Maret 2017.
53
Bukalapak, Panduan Pembeli, https://panduan.bukalapak.com/, diakses pada 10 Maret
2017 pukul 11.00

Universitas Sumatera Utara

56

Gambar 4.0. Panduan Pembeli pada “BL Payment System”:

Universitas Sumatera Utara

57

Gambar 4.1. Panduan Pelapak/Penjual pada “BL Payment System”:

Universitas Sumatera Utara

58

Gambar 4.2. Jaminan Bukalapak “BL Payment System”:

Ada beberapa teori yang menjelaskan saat-saat terjadinya perjanjian antar pihak,
yaitu: 54

54

Mariam Darus Badrulzaman, Sutan Remy Sjahdeini, Heru Soepraptomo, Faturrahman
Djamil, dan Taryana Soenandar, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001,
hlm. 73.

Universitas Sumatera Utara

59

1.

Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada
saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan
surat.

2.

Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi
pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima
tawaran.

3.

Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang
menawarkan seharusnya sudah mengetahui tawarannya diterima.

4.

Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan
itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh
pihak yang menawarkan.
Dalam hukum perjanjian ada empat sebab yang membuat kesepakatan tidak

bebas, yaitu: 55

1.

Kekhilafan

terjadi

apabila

orang

dalam

suatu

persesuaian

kehendakmempunyai gambaran yang keliru mengenai orangnya dan
mengenai barangnya.
2.

Paksaan dalam arti luas meliputi segala ancaman baik kata-kata atau
tindakan.Orang yang di bawah ancaman maka kehendaknya tidak bebas
maka perjanjian dapat dibatalkan.

3.

Penipuan dilakukan dengan sengaja dari pihak lawan untuk mempengaruhi
ke tujuan yang keliru atau gambaran yang keliru.Penipuan tidak sekedar
bohong tetapi dengan segala upaya akal tipu muslihat dengan kata-kata
atau diam saja yang menimbulkan kekeliruan dalam kehendaknya.

55

Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, 1994, hlm. 58.

Universitas Sumatera Utara

60

4.

Penyalahgunaan

keadaan

terjadi

apabila

orang

mengetahui

atau

seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena suatu keadaan khusus
seperti keadaan darurat, ketergantungan, tidak dapat berpikir panjang,
keadaan jiwa yang abnormal, atau tidak berpengalaman tergerak untuk
melakukan suatu perbuatan hukum, meskipun ia tahu atau seharusnya
mengerti bahwa sebenarnya ia harus mencegahnya.

B.

Faktor – Faktor Penyebab Ketidakseimbangan Kedudukan Para
Pihak dalam Transaksi E-Commerce
Sebagaimana dimaknai dalam bahasa sehari-hari, kata “seimbang” (evenwicht)

menunjuk pada pengertian suatu “keadaan pembagian beban di kedua sisi berada dalam
keadaan seimbang. “Keseimbangan” dimengerti sebagai “keadaan hening atau
keselarasan karena dari pelbagai gaya yang bekerja tidak satu pun mendominasi yang
lainnya, atau karena tidak satu elemen menguasai lainnya”. 56
Dalam atau melalui suatu janji, seseorang secara kejiwaan (psyche) menempatkan
dirinya dalam suatu situasi dengan keyakinan bahwa “sebagai akibat dari kondisi yang
menguntungkan” secara nalar akan dapat diupayakan akibat yang memang dikehendaki.
Tentu kehendak dan keyakinan tersebut harus dialami sebagai sesuatu yang memang
layak atau nalar. Jika sebaliknya seseorang membayangkan kondisi yang “tidak layak
atau tidak masuk akal” (onredelijk), risiko yang muncul ialah kekecewaan bagi pihak
yang memiliki bayangan tidak masuk akal tersebut. Semua ini membawa kita pada ihwal
keterikatan kontraktual yang layak dibenarkan (gerechtvaardige). Sekaligus hal ini berarti
bahwa janji antara para pihak hanya akan dianggap mengikat sepanjang dilandasi pada
asas adanya keseimbangan hubungan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan
56

Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian di Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 304

Universitas Sumatera Utara

61

umum atau adanya keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak sebagaimana
masing-masing pihak mengharapkannya. 57
Asas keseimbangan dilandaskan pada upaya mencapai suatu keadaan seimbang
yang sebagai akibat darinya harus memunculkan pengalihan kekayaan secara absah.
Adapun akibat ketidaksetaraan prestasi dalam perjanjian bertimbal balik ialah
ketidakseimbangan. Jika kedudukan lebih kuat tersebut

berpengaruh terhadap

perhubungan prestasi satu dengan lainnya, dan hal mana mengacaukan keseimbangan
dalam perjanjian, hal ini bagi pihak yang dirugikan akan merupakan alasan untuk
mengajukan tuntutan ketidakabsahan perjanjian. 58
Faktor-faktor yang dapat mengganggu keseimbangan perjanjian ialah cara
terbentuk perjanjian yang melibatkan pihak-pihak yang berkedudukan tidak setara
dan/atau ketidaksetaraan prestasi-prestasi yang dijanjikan timbal balik. Pada prinsipnya,
dengan melandaskan diri pada asas-asas pokok hukum kontrak dan asas keseimbangan,
faktor yang menentukan bukanlah kesetaraan prestasi yang diperjanjikan, melainkan
kesetaraan para pihak, yakni jika keadilan pertukaran perjanjianlah yang hendak
dijunjung tinggi. 59
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Legal Officer Bukalapak.com,
Bapak Rehansya Agusvirta, S.H., Faktor penyebab penyimpangan dalam suatu transaksi
di Bukalapak.com adalah sangat subjektif ke pelaku itu sendiri. Biasanya faktor penyebab
adalah dikarenakan adanya itikad tidak baik dalam suatu transaksi, motif ekonomi hingga
persaingan usaha yang tidak sehat diantara Penjual/Pelapak yang satu dengan yang
lainnya. 60

57

Ibid., hlm. 305
Ibid., hlm. 318
59
Ibid., hlm. 319
60
Hasil wawancara penulis dengan Legal Officer PT. Bukalapak.com, Bapak Rehansya
Agusvirta S.H., pada PT. Bukalapak.com tanggal 1 Maret 2017.
58

Universitas Sumatera Utara

62

Berdasarkan

hasil

wawancara

penulis

dengan

Product

Administrator

Bukalapak.com, Ibu Ria Adryani, laporan penyimpangan transaksi dapat mencapai lebih
kurang 100 laporan per hari. Adapun bentuk penyimpangan yang biasa dilakukan
adalah: 61

1.

Phising.
Phising merupakan metode yang digunakan Pelaku untuk mencuri
password dengan cara mengelabui korban menggunakan fake form login
pada situs palsu yang menyerupai situs aslinya. Tujuan utama Pelaku
adalah untuk masuk kedalam akun pribadi Bukalapak guna mencairkan
dana di Buka Dompet Korban ke nomor rekening Pelaku.

2.

Fraudulence (penipuan).
Bentuk penipuan dalam transaksi Bukalapak biasanya dilakukan oleh
Pembeli dengan tujuan memanipulasi suatu transaksi. Biasanya Pelaku
memanipulasi bukti transfer untuk mengecoh pihak Bukalapak guna
meloloskan pelunasan pembayaran suatu produk.

3.

Miss Auto-Paid.
Miss

Auto-Paid

merupakan

suatu

kecurangan

yang

dilakukan

Penjual/Pelapak yang satu terhadap Penjual/Pelapak yang lain guna
menghabiskan sisa stok produk pada toko Penjual/Pelapak tersebut
sehingga ketika Pembeli yang asli ingin membeli produk tersebut, Pembeli
tidak dapat meneruskannya dikarenakan produknya telah habis sedangkan
pembelian tersebut tidak diteruskan pembayarannya.

61

Hasil wawancara penulis dengan Product Administrator PT. Bukalapak.com, Ibu Ria
Adriyani, pada PT. Bukalapak.com tanggal 1 Maret 2017.

Universitas Sumatera Utara

63

C.

Kedudukan Hukum Para Pihak dalam Transaksi E-Commerce
Ditinjau dari Hukum Kontrak
Berdasarkan cara terjadinya, ada beberapa kontrak elektronik (e-contract) yang

selama ini banyak dilakukan, yaitu: 62

1.

Kontrak elektronik (e-contract) yang dilakukan melalui komunika