Prinsip prinsip Dasar Tarekat Muktabarah

MAKALAH
PRINSIP-PRINSIP DASAR TAREKAT MUKTABAROH
Disusun guna memenuhi tugas
Makul : Tarekat dan Konsep Suluk
Dosen pengampu : Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, MA

Disusun oleh :
Riscy Zhuni Tisa Alya (1404046013)
Muhammad Hazmi Fuad (1404046014)

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI WALISONGO
SEMARANG
2016
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada abad-abad awal Islam, sufisme bukanlah merupakan gerakan yang
terorganisasi dalam kelompok atau aliran-aliran tertentu. Yang jelas, selang
beberapa waktu berlalu, ajaran serta teladan hidup sufi secara personal
mulai menarik perhatian banyak kalangan di masyarakat.1

Dalam perkembangannya, antara abad sembilan sampai sebelas masehi,
telah banyak kita jumpai berbagai aliran sufi. Pada perkembangan
berikutnya, yaitu abad dua belas masehi, jumlah aliran-aliran sufi tersebut
semakin meningkat pesat sehingga para peneliti kesulitan menghitungnya,
di samping keberadaan mereka yang belum terdefinisikan dengan nama
tertentu.
Aliran-aliran sufi tersebut selanjutnya disebut Tarekat. Dari situ kemudian
muncul nama-nama tarekat berdasar pada nama guru atau syaikh yang
mengajarkan tarekat tersebut. seperti tarekat Qadiriyah yang di dirikan
oleh Syaikh Abdul Qodir al-Jaelani (1166 M) dari Persia, tarekat
Sadziliyah yang di dirikan oleh Syaikh Abu Hasan as-Sadziliy (1258 M)
dari Maroko, tarekat Naqsyabandiyah yang di dirikan oleh Syaikh
Bahaudin an-Naqsyabandi (1390 M) dari Bukhara, dan lain-lain.
Dalam sebuah aliran tarekat muktabaroh terdapat beberapa prinsip dasar
yang harus di penuhi. Diantaranya mursyid atau guru, murid, sanad yang
tersambung, baiat, dan dzikir atau ajaran tarekat.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana penjelasan tentang pengertian tarekat ?
2. Bagaimana penjelasan dari prinsip-prinsip dasar tarekat ?


PEMBAHASAN
A. Pengertian Tarekat
1 Syaikh Fadhlalla Haeri, Jenjang-Jenjang Sufisme, Terj. Ibnu Burdah dan Shoifullah, judul asli :
The Elements of Sufism (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2000), h. 37

2 | Ta r e k a t d a n K o n s e p S u l u k

Secara etimologi tarekat berasal dari kata ‫ الطريقة‬yang artinya jalan, cara,
metode.2 Sedangkan secara terminologi menurut al-Taftazani, tarekat diartikan
sekumpulan sufi yang terkumpul dengan seseorang syaikh tertentu, tunduk dalam
aturan-aturan yang terperinci dalam tindakan spiritual, hidup secara berkelompok
di dalam ruang-ruang peribadatan atau berkumpul secara berkeliling dalam
momen-momen tertentu, serta membentuk majlis-majlis ilmu dan źikir secara
organisasi.3 Dalam kitab Kifaayatul Atqiyaa' wa Minhaajul Ashfiyaa' disebutkan :4

‫والطريقة الخذ باحواط كالورع والعزيمة والرياضة متبتل‬
Artinya : "Tarekat adalah memilih perilaku yang paling hati-hati seperti wira'i,
'azimah, dan riyadhah untuk menghindari kemewahan duniawi"
Sebagai sebuah aliran atau semacam ikatan persaudaraan , tarekat memiliki
tempat mengajar atau bekerja guru spiritual, pusat kegiatan. Pusat kegiatan sufi

disebut dengan Khaneqah atau Zawiya. Sementara orang Turki menyebutnya
dengan Tekke. Di Afrika Utara disebut dengan Ribat, sedangkan di anak benua
India, pusat kegiatan sufi disebut dengan jama'ah khana atau Khanegah.5
Tarekat merupakan sebuah jalan atau metode untuk dekat kepada Allah Swt.
Dalam perkembangan selanjutnya, tarekat terbagi menjadi tarekat Muktabaroh
yaitu tarekat yang sanadnya bersambung sampai kepada Rosulullah Saw, dan
tarekat Ghoiru Muktabaroh yaitu tarekat yang sanadnya terputus atau tidak sampai
kepada Rosulullah Saw. Beberapa tarekat Muktabaroh yang berkembang sampai
saat ini diantaranya :
-

Tarekat Qâdiriyah
Qâdiriyah adalah nama tarekat yang diambil dari nama pendirinya, yaitu
Syaikh 'Abdul Qâdir al-Jailani. Beliau lahir di desa Naif kota Gilan pada
tahun 470 H/ 1077 M, yaitu wilayah yang terletak 150 km timur laut
Baghdad.6 Pada dasarnya ajaran Syaikh 'Abdul Qâdir al-Jilani tidak ada

2 Ahmad Bisri dan Munawwir AF, Kamus Al-Bisri : Indonesia Arab Arab Indonesia, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1999), h. 452
3 Abu Wafa' al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam, Terj. Subkhan Anshori, judul asli : Madkhal

ila al-Tasawuf al-Islami, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), h. 294
4 Kifayatul Atqiyaa' wa Minhajul Ashfiyaa', h. 10
5 Syaikh Fadhlalla Haeri, Jenjang-Jenjang Sufisme, h. 38
6 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabaroh di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2005), h. 26

3 | Ta r e k a t d a n K o n s e p S u l u k

perbedaan yang mendasar dengan ajaran pokok Islam, terutama ajaran
Ahlussunnah wal Jama'ah. Adapun ajaran spiritual Syaikh 'Abdul Qâdir
al-Jilani berakar pada konsep tentang dan pengalaman akan Tuhan. Ia
selalu merasakan bahwa Tuhan senantiasa hadir. Kesadaran akan
kehadiran Tuhan di segenap ufuk kehidupannya merupakan tuntunan
dan motif bagi kebangunan hidup yang aktif sekaligus memberikan nilai
transeden pada kehidupan. Ia meyakini bahwa kesadaran ini dapat
membersihkan

dan

memurnikan


hati

seorang

manusia,

serta

mengakrabkan hati dengan alam roh.7
-

Tarekat Syâdziliyah
Tarekat ini tak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yaitu
Abu Hasan al-Syâdzili. Ia dilahirkan pada tahun 573 H di desa
Ghumara, dekat Ceuta saat ini, di utara Maroko. 8 Mengenai ajaran dari
tarekat Syâdziliyah ini, sebenarnya al- Syâdzili sendiri tidak menuliskan
ajaran-ajarannya dalam kitab karya tulis, karena kesibukannya mengajar
murid-muridnya yang sangat banyak. Ajaran al- Syâdzili baru dapat
diketahui dari para muridnya, misalnya tulisan Ibn 'Athaillah alSakandari dalam kitab Lathaiful Minan. Diantara ajarannya yaitu lebih

menekankan pada riyadhah al-qulub, seperti menekankan senang (alfarh), rela (al-ridha), dan selalu bersukur atas nikmat Allah. Ajarannya
ini berbeda dengan ajaran al-Ghazali yang lebih menekankan riyadhah
al-'abdan (berhubungan dengan fisik) yang mengharuskan adanya
musyaqqah, misalnya bangun malam, lapar, dan lain-lain.9

-

Tarekat Naqsyabandiyah
Pendiri tarekat Naqsyabandiyah adalah seorang pemuka tasawuf
terkenal, yaitu Muhammad bin Muhammad Baha' al-Din al-Uwaisi alBukhari Naqsyabandi. Dilahirkan pada tahun 717 H/ 1318 M di sebuah
desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara. Ciri menonjol
tarekat Naqsyabandiyah adalah Pertama, diikutinya syariat secara ketat,

7 Abu Wafa' al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawuf al-Islami, h. 294
8 Abubakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Solo: Ramadhani Press, 1984), h. 275
9 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabaroh di Indonesia, h. 75

4 | Ta r e k a t d a n K o n s e p S u l u k

keseriusan dalam beribadah yang menyebabkan penolakan terhadap

musik dan tari, dan lebih menyukai berźikir dalam hati. Kedua, upaya
yang serius dalam memengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan
penguasa serta mendekatkan negara pada agama.10
B. Prinsip-prinsip Tarekat Mukatabaroh
Silsilah merupakan salah satu yang menjadi tolak ukur sebuah tarekat
tersebut muktabaroh atau tidak. Organisasi tarekat muktabaroh di Indonesia
didirikan di Tegalrejo, Magelang pada 10 Oktober 1957 dengan nama Jam'iyah
Thariqah Muktabaroh oleh para ulama sufi di Jawa. Organisasi ini bertujuan
untuk mengusahakan berlakunya syari'at Islam lahir maupun batin dengan
berhaluan ahlus sunnah wal jamaah, yang berdasarkan salah satu dari madzhab
empat dan mempergiat amal saleh lahir batin menurut ajaran ulama salihin,
termasuk zikir kalimah tayyibah dengan baiat salihah.11 Berikut prinsip-prinsip
yang harus dipenuhi dalam tarekat muktabaroh :
1. Mursyid
Untuk memasuki jalan rohani tarekat, seorang murid memerlukan guru
pembimbing atau mursyid (dalam istilah tarekat) guna membantunya
menuju arah tujuannya.12
Dalam kitab ta'lim muta'alim Syaikh az-Zarnuji menyebutkan :13

‫من ل شيخ له فشيخه شيطان‬

Artinya : "Barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah
syaithan"

Ungkapan tersebut secara tidak langsung memberikan pemahaman,
bahwa guru merupakan seorang yang sangat penting. Seakan-akan guru
mempunyai otoritas mutlak dalam memberikan ilmu. Hal tersebut tentu
berkaitan dengan ilmu tasawuf sendiri.
10 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabaroh di Indonesia, h. 91
11 Ahmad Syafi'I Mufid, Tangklungan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 68
12 Mutia Muzhar, Dimensi mistik dalam Islam, h. 126
13 Syaikh az-Zarnuji, Ta'limul Muta'alim, t.t

5 | Ta r e k a t d a n K o n s e p S u l u k

Seorang mursyid haruslah seorang yang telah sempurna suluknya
(laku), dalam istilah tasawuf di sebut dengan rijal al kamal (seorang
yang telah sempurna).14
Menurut Rumi, seorang mursyid atau guru spiritual yang benar, tidak
akan membiarkan muridnya untuk memujanya. Dan senantiasa tidak

memperkenankan muridnya mengidolakannya dengan berlebihan.15
Ukuran mursyid yang haqiqi menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
adalah memiliki :16
- Ilmu para ulama
- Siyasat al-Mulk : kemampuan seperti yang dimiliki oleh para raja
dalam mengatur rakyat (umat).
- Hikmah al-Hukama' : maksudnya adalah ilmu para penguasa dan
kesantunan serta keadilan mereka.
Sedangkan Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi dalam kitabnya Tanwirul
Qulub fi Mu'alamati 'Alamul Ghuyub menyebutkan syarat-syarat
seorang mursyid adalah sebagai berikut :17
a.

Mursyid harus memiliki ilmu yang dibutuhkan oleh muridmuridnya, yaitu Fiqih dan 'Aqaid Tauhid dalam batas-batas yang
bisa menghilangkan kemusyirakn dan ketidakjelasan yang dihadapi
oleh mereka di tingkat awal, sehingga mereka tidak perlu bertanya
kepada orang lain.

b.


Mursyid harus arif dalam hal kesempuranaan hati, adab-adabnya
afat-afatnya, penyakit-penyakitnya, dan cara memelihara kesucian
dan kemurniannya.

c.

Mursyid harus memiliki sifat kasih saying yang tinggi terhadap
kaum muslimin, khususnya terhadap murid-muridnya. Ketika ia
mengetahui mereka belum mampu melawan hawa nafsu mereka

14 Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 49
15 Ahmad Najib Burhani, Tarekat tanpa Tarekat, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Sementara, 2002), h.
51
16 Jawaahir al-Asaani Syarh Manaqib al_syaikh Abdul Qadir al-Jilani, h. 28
17Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwirul Qulub fi Mu'amalati 'Alamul Ghuyub, t.t, h. 525

6 | Ta r e k a t d a n K o n s e p S u l u k

dan belum mampu meninggalkan kejelekan misalnya. Maka ia
harus bersikap toleran setelah ia menasehati mereka dan tidak

memutus mereka dari tarekat, juga tidak mudah mengklaim mereka
celaka, melainkan senantiasa menyayangi mereka sampai mereka
mendapat hidayah.
d.

Jika

mursyid

mengetahui

aib

murid-muridnya,

ia

harus

menutupinya.
e.

Mursyid harus bersih dari keinginan terhadap harta muridmuridnya dan tidak rakus terhadap apa yang dimiliki oleh muridmuridnya.

f.

Mursyid harus melaksanakan apa yang ia perintahkan kepada
murid-muridnya dan menjauhi apa yang ia cegahkan, sehingga
fatwanya berpengaruh terhadap hati mereka.

g.

Mursyid tidak boleh duduk bersama dengan murid-muridnya
kecuali sebatas keperluan, seperti mengajarkan tarekat dan syariat
kepada mereka, agar hati mereka suci dari kotoran dan mereka bisa
beribadah kepada Allah dengan benar.

Fungsi seorang guru adalah membuka pikiran murid, sehingga
memungkinkannya mengetahui nasibnnya. Agar dapat melakukan ini,
seorang harus menyadari seberapa jauh pikirannya di kuasai pradugapraduga. Pada tahap ini, memahami keadaan tersebut secara benar
adalah tidak mungkin, maka dari itu ia harus siap memasuki organisasi
manusia yang melatihnya untuk berfikir menurut garis-garis tertentu.18
2. Murid
Murid atau murod merupakan pengikut suatu tarekat. Yaitu orang yang
menghendaki pengetahuan dan petunjuk dalam segala amal ibadahnya.
Murid tidak hanya berkewajiban mempelajari segala sesuatu yang
diajarkan atau melakukan segala sesuatu yang dilatih guru kepadanya,
tetapi harus patuh kepada beberapa adab dan akhlak yang ditentukan
untuknya, baik kepada guru, diri sendiri, maupun orang lain.
18 M. Hidayatullah, dkk, Mahkota Sufi, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h. 462

7 | Ta r e k a t d a n K o n s e p S u l u k

Adab dalam tarekat adalah merupakan suatu ajaran yang sangat prinsip,
tanpa adab tidak mungkin seorang murid dapat mencapai tujuan suluknya. Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi dalam kitabnya Tanwirul Qulub
fi Mu'alamati 'Alamul Ghuyub menyebutkan beberapa adab seorang
murid kepada gurunya :19

a. Seorang murid hendaknya menghormati dan memuliakan Guru baik
dalam hadir maupun absennya.

b. Seorang murid hendaknya tidak menentang cara sang Guru
mengarahkan (memberi instruksi) dan mengendalikan sang murid.

c. Seorang murid hendaknya tunduk kepada keinginan Mursidnya
(shaikh) dan ta’at kepadanya dalam semua perintah dan nasihatnya.

d. Seorang murid hendaknya mengetahui bahwa Guru boleh jadi
melakukan

beberapa

kesalahan,

namun

hal

ini

tidak

menghalanginya dari mengangkat murid itu kepada Hadhirat Ilahi.

e. Seorang murid hendaknya jujur dan setia dengan kebersamaannya
dengan Gurunya.

f. Seorang murid hendaknya mencintai Gurunya dengan cinta luar
biasa.

g. Dia hendaknya tidak melihat kepada selain Gurunya, meskipun dia
tetap harus mempertahankan hormat kepada semua shaikh lainnya.

h. Dia hendaknya setuju dengan opini (pendapat) Gurunya secara
keseluruhan.

i. Dia hendaknya berkelakuan baik dalam jama’ah Gurunya, dengan
mencegah

menguap,

terbahak-bahak,

meninggikan

suaranya,

berbicara tanpa perkenannya, melonjorkan kakinya, dan selalu
duduk dalam sikap yang sopan.

j. Dia hendaknya melayani Gurunya dan membuat dirinya se-berguna
mungkin.

19 Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwirul Qulub fi Mu'amalati 'Alamul Ghuyub, t.t, h. 528

8 | Ta r e k a t d a n K o n s e p S u l u k

k. Dia hendaknya tidak menyebutkan dari khutbah Gurunya apa-apa
yang tidak dimengerti oleh pendengarnya.

l. Dia hendaknya hadir dalam jamaah Gurunya. Meskipun tinggal
ditempat yang jauh, dia harus berusaha untuk datang sesering
mungkin.
Di samping itu, seorang murid juga harus sudah memiliki ilmu agama
yang cukup, dan siap untuk menerima ilmu tasawuf tersebut. Karena
tasawuf adalah penyempurna amal ibadah seseorang setelah ia
mengetahui ajaran agama yang bersifat fiqhiyah, agar ibadahnya tidak
semata-mata karena memenuhi kewajiban syara'.20
3. Baiat
Baiat berasal dari bahasa arab, yaitu baa'a – yubaaya'u – bai'atun,
asalnya sama dengan baayi' yang berarti tranksaksi. Baiat juga bisa
diartikan

sebagai

perjanjian,

penobatan,

pengukuhan,

dan

penyumpahan.21
Baiat dalam bahasan tarekat merupakan janji setia yang biasanya
diucapkan oleh calon murid dihadapan mursyid untuk menjalankan
segala persyaratan yang ditetapkan oleh seorang mursyid dan tidak akan
melanggarnya sesuai dengan syari’at Islam.
Dalam tarekat terdapat istilah Tawajjuh, yaitu perjumpaan di mana
seorang murid membuka hatinya kepada gurunya dan membayangkan
hatinya disirami berkah sang guru, dan sang guru tersebut membawanya
ke hadapan Nabi Muhammad Saw. Hal ini dapat berlangsung sewaktu
pertemuan pribadi antara murid dan mursyid, dan baiat merupakan
pertemuan pertama.22
Adapun dalil yang melandasi baiat terdapat dalam al-Qur'an surat alFath ayat 10 :

20Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual, h. 50
21 Tim Pena Prima, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Gitamedia Press, 2006), h. 57
22 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabaroh di Indonesia, h. 11

9 | Ta r e k a t d a n K o n s e p S u l u k

‫هإ لقن ال لقهذيقن ي دقباهيدعون ققك هإن ل ققما ي دقباهيدعوقن الل لققه ي قدد الل لقهه قفووقق‬
‫عل قىى ن قوفهسهه ۖ قوقمون أ قووقفىى‬
‫ث قفهإن ل ققما ي قن وك د د‬
‫أ قي وهديههوم ۚ قفقمون ن قك ق ق‬
‫ث ق‬
‫عهظيمما‬
‫عل قي وده الل لققه قفقسي دوؤهتيهه أ قوجمرا ق‬
‫عاقهقد ق‬
‫هبقما ق‬
Artinya : " Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu
sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan
mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia
melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati
janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar. " (QS.

Al-Fath : 10)
Dalam tarekat baiat biasanya dijadikan syarat khusus sebelum masuk
terkat sebagai tanda loyalitas pada Islam dan tarekat itu sendiri.23
4. Sanad (silsilah)
Seperti diterangkan diatas, Silsilah atau sanad itu bagaikan kartu nama
dan legitimasi sebuah tarekat, yang menjadi tolak ukur apakah tarekat
tersebut muktabaroh atau tidak. Sanad tarekat adalah nisbah hubungan
guru terdahulu sambung menyambung antara satu sama lain sampai
kepada Nabi Saw. Hal ini harus ada sebab bimbingan keruhanian yang
diambil dari guru-guru itu harus benar-benar berasal dari Nabi Saw.
Kalau tidak demikian, berarti tarekat tersebut dianggap terputus dan
tidak sah atau ghoiru muktabaroh.24
Sanad tarekat berisi rangkaian nama-nama guru yang sangat panjang,
yang satu bertali dengan yang lain. Biasanya tertulis rapi dalam bahasa
Arab, diatas sepotong kertas yang diserahkan kepada murid tarekat
sesudah ia melakukan latihan dan amalan-amalan dan sesudah menerima
petunjuk (irsyad) dan peringatan (talqin) serta sesudah membuat janji
(baiat) untuk tidak melakukan maksiyat sekaligus menerima ijazah
sebagai tanda meneruskan pelajaran tarekat kepada orang lain.25

23 Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual, h. 53
24 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabaroh di Indonesia, h. 9
25 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabaroh di Indonesia, h. 10

10 | T a r e k a t d a n K o n s e p S u l u k

Dalam kitab Khaziina al-Asraar seperti yang dikutip oleh KH. A. Aziz
Masyhuri dalam himpunan tanya jawab seputar tarekat dalam bukunya,
disebutkan :26

‫فمن لم تتصل سلسلته الى الحضرة النبوية فإنه مقطوع‬
‫الفيض ولم يكن وارثا من رسول اللووهﷺوووول تؤخذ منه المبايعة‬
. ‫والجازة‬
Artinya : "Orang yang silsilah atau sanadnya tidak besambung ke hadirat
Nabi Muhammad Saw, itu terputus dari pancaran rohani dan ia bukanlah
pewaris Rosulullah Saw, serta tidak boleh membaiat dan memberi ijazah".

Redaksi diatas memberikan keterangan bahwa sanad merupakan salah
satu hal yang paling utama dalam tarekat muktabaroh. Jika para ulama
merupakan pewaris nabi yang mengajarkan ilmu lahir, maka mursyid
tarekat merupakan pewaris nabi yang mengajarkan penghayatan
keagamaan yang bersifat batin. Oleh karena itu, Seperti fungsi sanad
dalam hadis, keberadaan silsilah dalam tarekat berfungsi menjaga
validitas dan otentisitas ajaran tarekat agar tetap merujuk pada
sumbernya yang pertama, Nabi Muhammad Saw.
5. Ajaran (źikir)
Žikir yang berasal dari kata źakara – yaźkuru – źikran ,memiliki arti
mengingat, mengambil pelajaran, mengenal, atau mengerti. Dalam AlQur'an ada banyak makna źikir. Žikir berarti membangkitkan daya ingat
dan kesadaran. Žikir berarti pula ingat akan hukum-hukum Allah. Žikir
juga mengambil pelajaran atau peringatan. Juga mempunyai arti meneliti
proses alam.27
Sedangkan pengertian źikir dalam tarekat adalah bacaan Allah atau
bacaan La ilaha illa Allah. Žikir dengan bacaan Allah biasanya dilakukan
didalam hati, disebut dengan źikir sirri atau źikir khafi atau źikir ismu
26 A. Aziz Masyhuri, Permasalahan Thariqah, Hasil Kesepakatan Muktamar & Musyawarah
Besar Jam'iyah Ahlith Thariqah Al-Mu'tabarah Nahdlatul Ulama (1957 – 2005 M), (Surabaya:
Khalista, 2006), h. 14
27 Amin Syukur, Fathimah Usman, Terapi Hati, (Jakarta: Erlangga, 2012), h 60

11 | T a r e k a t d a n K o n s e p S u l u k

źat, yang silsilahnya sampai kepada Rosulullah Saw, melalui Abu Bakar
ash-Shiddiq r.a.28
Sedangkan źikir dengan bacaan La ilaha illa Allah, yang biasanya
dilakukan dengan lisan, disebut źikir jahri atau źikir nafi itsbat yang
silsilahnya sampai kepada Rosulullah Saw, melalui sayyidina 'Ali bij
Abi thalib karramallhu wajhah.29
Dalam kitab al-Mafakhir al-'Aliyah fil Ma-atsir al-Syadzaliyah
sebagaimana dikutip oleh Moenir Nahrowi Thohir, terdapat adab-adab
berźikir sebanyak 20 (dua puluh) yang dibagi menjadi tiga bagian :30
- Adab sebelum berźikir :
a. Taubat
b. Mandi atau wudhu
c. Diam dan tenang
d. Menyaksikan dengan hati
e. Yakin bahwa źikir tarekat yang didapat dari syaikhnya adalah
źikir yang didapat dari Rosulullah Saw.
- Adab pada saat berźikir :
a.

Duduk di tempat yang suci

b.

Meletakkan kedua telapak tangan diatas kedua paha

c.

Mengharunkan tempat untuk berźikir

d.

Memakai pakaian yang halal dan suci

e.

Memilih tempat yang suci dan gelap jika memungkinkan

f.

Memejamkan kedua mata

g.

Membayangkan pribadi mursyidnya diantara kedua matanya

h.

Jujur dalam berźikir

i.

Ikhlas

j.

Memilih shighat źikir bacaan La ilaha illa Allah

k.

Menghadirkan makna źikir dalam hatinya

28 Moenir Nahrowi Tohir, Menjelajahi Eksistensi Tasawuf, Meniti Jalan Menuju Tuhan, (Jakarta:
PT. As-Salam Sejahtera, 2012), h. 128
29 Moenir Nahrowi Tohir, Menjelajahi Eksistensi Tasawuf, Meniti Jalan Menuju Tuhan, h. 129
30 Moenir Nahrowi Tohir, Menjelajahi Eksistensi Tasawuf, Meniti Jalan Menuju Tuhan, h. 130

12 | T a r e k a t d a n K o n s e p S u l u k

l.

Mengosongkan hati dari segala apapun selain Allah Swt.

- Adab setelah berźikir :
a.

Bersikap tenang ketika telah diam dari źikirnya.

b.

Mengulang-ulang pernapasannya berkali-kali

c.

Menahan minum air.

Orang yang berźikir hendaknya memperhatikan tiga tata karma ini,
karena hasil źikirnya hanya akan muncul dengan hal tersebut.
KESIMPULAN
Tarekat adalah sebuah jalan atau metode untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Tarekat muktabaroh merupakan tarekat yang sanadnya bersambung sampai
kepada Rosulullah Saw. Prinsip-prinsip dasar tarekat muktabaroh meliputi
mursyid, murid, baiat, sanad, dan ajaran yang berupa źikir.

DAFTAR PUSTAKA
Aceh, Abubakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Solo: Ramadhani Press,
1984)
Al-Kurdi, Syaikh Muhammad Amin, Tanwirul Qulub fi Mu'amalati 'Alamul
Ghuyub, t.t

13 | T a r e k a t d a n K o n s e p S u l u k

Al-Taftazani, Abu Wafa' al-Ghanimi, Tasawuf Islam, Terj. Subkhan Anshori, judul
asli : Madkhal ila al-Tasawuf al-Islami, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2008)
Az-Zarnuji, Syaikh Ta'limul Muta'alim, t.t
Bisri, Ahmad dan Munawwir AF, Kamus Al-Bisri : Indonesia Arab Arab
Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999)
Burhani, Ahmad Najib, Tarekat tanpa Tarekat, (Jakarta: PT Serambi Ilmu
Sementara, 2002)
Haeri, Syaikh Fadhlalla, Jenjang-Jenjang Sufisme, Terj. Ibnu Burdah dan
Shoifullah, judul asli : The Elements of Sufism (Yogyakarta: PUSTAKA
PELAJAR, 2000)
Hidayatullah, dkk, M., Mahkota Sufi, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000)
Jawaahir al-Asaani Syarh Manaqib al-Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
Kifayatul Atqiyaa' wa Minhajul Ashfiyaa'
Masyhuri, A. Aziz, Permasalahan Thariqah, Hasil Kesepakatan Muktamar &
Musyawarah Besar Jam'iyah Ahlith Thariqah Al-Mu'tabarah Nahdlatul
Ulama (1957 – 2005 M), (Surabaya: Khalista, 2006)
Mufid, Ahmad Syafi'I, Tangklungan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama
di Jawa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006),
Mulyati, Sri, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabaroh di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2005).
Muzhar, Mutia, Dimensi mistik dalam Islam,
Syukur, Amin , Tasawuf Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
Syukur, Amin dan Fathimah Usman, Terapi Hati, (Jakarta: Erlangga, 2012)
Tim Pena Prima, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Gitamedia Press, 2006)
Tohir, Moenir Nahrowi, Menjelajahi Eksistensi Tasawuf, Meniti Jalan Menuju
Tuhan, (Jakarta: PT. As-Salam Sejahtera, 2012)

14 | T a r e k a t d a n K o n s e p S u l u k