Internalisasi Nilai Nilai Akuntabilitas

Internalisasi Nilai-Nilai Akuntabilitas-Nasionalisme-Etika PublikKomitmen Mutu-Anti Korupsi (ANEKA) Pada Aparatur Sipil Negara
(ASN) di Museum BPK “BPK Pengawal Harta Negara”
Badan Pemeriksa Keuangan sebagai lembaga negara menunjukkan komitmen
awal sebagai lembaga yang berwenang melakukan pemeriksaan keuangan, sesuai
amanah Pasal 23E UUD 1945 ayat (1) pasca amandemen yang berbunyi “Untuk
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan
suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”, frase “Badan Pemeriksa
Keuangan” merupakan nomenklatur yang ditunjuk langsung sebagai suatu lembaga
pengawas keuangan yakni disingkat dengan BPK, artinya menutup kemungkian untuk
diadakan terhadap nama atau sebutan lain dari BPK, mis Komisi Pengawas
Keuangan, Dewan Pengawas Keuangan dan lain-lain. Penunjukan nomenklatur
secara langsung tampak dari penulisan sesuai EYD yakni awalah huruf besar dari tiap
kata Badan (B), Pemeriksa (P), Keuangan (K), sekali lagi dinyatakan secara tegas
bahwasanya Lembaga yang mengawasi keuangan negara adalah dan tidak lain
ataupun tidak bukan yakni BPK.
Keberadaan BPK sendiri pada masa Penjajahan kolonialisme Belanda di tanah
Hindia Belanda populer dengan sebutan Rakenkamer, Rakenkamer sebagai lembaga
pengawas keuangan negara pada saat itu dikatakan bukanlah wajah lama dari BPK
saat ini, perbedaan Rakenkamer dengan BPK saat ini yakni perbedaan mengenai
kedudukan lembaga pengawas keuangan itu sendiri dalam sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia (RI), perbedaan keduanya yakni Rakenkamer merupakan

kepanjangan tangan dari parlemen, sedangkan BPK saat ini merupakan BPK yang
mandiri dan independen. Meskipun BPK saat ini bukanlah Rakenkamer masa Hindia
Belanda yang hanya berganti baju, setidaknya keberadaan Rakenkamer menjadi cikal
bakal semangat founding fathers perlu diadakannya suatu lembaga pengawas
keuangan negara. Keberadaan lembaga ini muncul pada perdebatan sidang BPUPKI
tanggal 11 Juli 1945, penitia kecil bagian ekonomi dan keuangan negara yang
digawangi oleh Muh Hatta serta Muh. Yamin dan kawan-kawan, selain panitia hukum
dasar dan bela negara, panitia ini berhasil merumuskan pasal 23 UUD 1945 mengenai
keuangan negara dengan menumbuhkan BPK sebagai lembaga pengawas keuangan
negara saat itu, secara positif hal ini disambut sebagai berita bahagia, karena
Indonesia

berhasil

menyusun

konstitusinya

sendiri


yang

memuat

struktur

kelembagaannya sendiri, hasil positif ini tentunya digapai tidak dengan cuma-Cuma,
persoalan pasal 23 ini mulai muncul ketika penempatan Yamin dalam tim kecil
perumus Keuangan Negara yang jelas-jelas sangat kontroversial, artinya Yamin
dipaksakan untuk berpikir dan merumuskan sesuatu pekerjaan besar demi tugas
negara yang adapun hal ini bukanlah kompetensi dari Yamin sendiri, walhasil pasal
23 ini mengandung kelemahan mendasar yang menganggap keuangan negara hanya
sebatas pada ruang liingkup sempit yakni APBN saja, tidak termasuk APBD, Pajak
dan lain-lain.
Kelemahan ini ditutupi dengan momentum pasca reformasi 1998 yakni
perubahan (amadenem) konstitusi yang berlangsung empat (4) kali yakni 1999-2002.
Reformasi diikuti denga tuntutan perubahan terhadap konstitusi, termasuk yang
menjadi objek perubahan yakni pasal 23, pasal 23 pasca amademen memperbaiki
kekurangannya mengenai ruang lingkup objek pemeriksaan keuangan negara yang
dimaksud tidak hanya sebatas pada APBN, termasuk juga APBD, Pajak dan pungutan

lainnya. Perubahan terjadi sebagai implikasi dari adanya sistem presidensilil yakni
pengorganisasian

lembaga

negara

yang

semula

subordinasi

dari

Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan bertanggung jawab kepada MPR, saat ini
lembaga-lembaga berada pada posisi yang seimbang dengan sistem pemisahan
kekuasaan dan salin mengimbangi (checks and balances system), keberadaan BPK

menjadi lembaga yang bebas dan mandiri, mengartikan BPK dalam menjalankan
kewenangannya tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan lembaga manapun, baik DPR
maupun Presiden dan lembaga lainnya.
BPK sebagai lembaga pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara, baik pemeriksaan terhadap penggunaan anggaran yang berupa APBN, APBD
dan lain-lain, khusus APBN yang dibelanjakan oleh Presiden sebagai kepala
pemerintahan, hendakanya penggunaan uang belanja negara oleh Eksekutif harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
di negeri ini (A/tanggung jawab/responsibilitas), mengapa demikian diperlukan
pertanggungjawaban keuangan negara dari penggun anggaran, maksudnya eksekutif
sebagai pengguna uang belanja negara harus bertanggung jawab terhadap segala
pengeluaran negara yang dibelanjakan kepada pemilik anggara tersebut yakni
Rakyat, rakyat dalam hal ini direpresentasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Eksekutif tidak bebas dalam melakukan pengeluaran uang negara, DPR harus
melakukan kontrol terhadap penggunaan anggaran tersebut agar anggaran tersebut

yang berasl dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat dapat kembali kepada rakyat
melalui kesejahteraan yang dinikmati oleh rakyat.
Pertanggungjwabannya dilakukan oleh BPK dengan melakukan audit, baik
berupa audit kinerja, program maupun invertigatif. Audit kinerja merupakan audit rutin

tahunan, audit program merupakan audit tanpa rekomendasi, sedangkan audit
innverstigatif merupakan audit dengan tujuan tertentu misal adanya indikasi kerugian
negara (korupsi). Hasil audit daripada BPK diserahkan kepada DPR, DPD dan DPRD,
hasil audit berupa laporan hasil pemeriksaan (LHP) harus dapat diakses dan diketahui
masyarakat tanpa ada informasi yang disembunyikan (A-transparansi). LHP akan
menjadi rekomendasi bagi wakil rakyat untuk menjadi bahan penilaian dan landasan
pengambilan keputusan dalam fungsi pengawasan terhadap pemerintah, apakah
akan diadakan tindak lanjut kepada penegak hukum untuk diproses secara hukum
atau berhenti tanpa terindikasi perbuatan pidana apapun.
Lembaga BPK yang mengedepankan prinsip auntabilitas dalam menjalankan
kewenangannya, sudah barang tentu perlu didukung oleh para Sumber Daya Manusia
(SDM) yang mumpuni dan kompeten. Para SDM BPK, baik dimulai dari pimpinan
hingga ke bawahan harus menujukkan sikap mulia dan penuh integritas dalam
menjalankan tugas dan fungsinya. Rekrutmen terhadap para pimpinan BPK harus
memenuhi kualifikasi tertentu terutama harus memiliki rasa setia dan cinta kepada
tanah air (N-sila 3; E-Setia dan Mempertahankan UUD NKRI 1945) bahwa apa yang
menjadi amanah harus dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan kepada publik demi
kesejahteraan masyarakat (N-sila 5) itu sendiri. Sebagai pejabat negara para
pimpinan BPK harus dibekali dengan kemampuan yang tinggi (E-Mengutamakan
Kepemimpinan Berkualitas Tinggi). Para pimpinan sendiri dalam menjalankan

fungsinya tidak dalam formasi subordinat artiny segala keputusan diambil dengan
kolektif kolegial (E-Menghargai komunikasi, konsultasi, dan kerjasama).
Pencapaian kinerja para pimpinan BPK tentunya harus diawali komitmen bagi para
pimpinan dengan menerapkan standar etika luhur yang dicerminkan dalam diri
masing-masing pimpinan (E-Memelihara dan menjunjung tinggi standar etika
luhur), meskipun etika bukanlah sebagai pelanggaran hukum, penting bagi para
pimpinan senantias memberikan dan menunjukkan sesuatu yang dipandang pantas
di masyarakat denga menjaga marwah kehormatan jabatan yang diemban sebagai
manifestasi dari amanah rakyat, yakni melalui Dewan Kehormatan Etika.

Dalam pelaksanaan fungsi dan kewenangannya, BPK yang diisi oleh tenagatenaga SDM yang handal dan profesional dan ahli dari berbagai bidang disiplin ilmu,
baik hukum, akuntansi dan lainnya tentunya segala pelaksanaan tugas dilandasi
dengan kajian-kajian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya, temuantemuan baik berupa kegiatan audit maupun lainnya menggunakan standar akuntansi
berbasis akrual (K-menggunakan pendekatan ilmiah dan inovatif dalam
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan). Kerjasama sinergis antar
lembaga demi mendukung fungsi penegakan hukum dalam pemberatasan korupsi
bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan dan Kepolisian perlu
dibangun dan ditingkatkan demi mewujudkan misi Indonesia yang bersih dan bebas
dari korupsi.
Kerjasama BPK dan khususnya KPK, sebagai ujung tombak terhadap pemberantasan

korupsi yang tanpa pandang bulu siapun pelaku delik korupsi perlu bermodalkan tekad
dan keberanian yang teguh dan tidak mudah terayu oleh godaan suap (AK-JujurSederhana) dari pihak manapun yang berperkara (AK-Berani), keberanian dari para
punggawa ini tak akan perna terwujud tanpa dukungan dan kerja keras masyarakat di
sekitar yang selalu memantau kinerja mereka dalam mengawal harta negara. Ujian
nyali bagi mereka didapatkan baik melalui teror, intimidasi, ancaman langsung
maupun tidak langsung, misal kinerja apik dari mereka dapat kit apresiasi melalui
terbongkarnya skandal kasus “mega” korupsi dana BOS, TKI dan Haji. Keberanian ini
perlu didukung oleh sistem penegakan hukum melalui lembaga peradilan yang
mampu menghasilkan putusan-putusan yang berkualitas demi menimbulkan efek jera
kepada pelaku korupsi tanpa mengabaikan rasa keadilan masyarakat (AK-Adil).