PARTAI POLITIK TANDINGAN SEBAGAI ANCAMAN

PARTAI POLITIK TANDINGAN SEBAGAI ANCAMAN DEMOKRASI
DI INDONESIA
Zulpandi
Mahasiswa S2 Jurusan Politik Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Email : zulpandi@mail.ugm.ac.id

Abstract
Rival political parties that emerged in the post-election national politics as a threat in 2014
assessed the development of democracy in Indonesia. The role of political parties which
ideally is the cornerstone of democracy is damaged due to the emergence of a rival political
party. Present a rival political party caused by factors oligarchy political party, the party's
internal divisions and external interferences. So then it is a negative impact on the
performance of state institutions, triggering major conflicts and eliminate public confidence
in political parties. It is necessary for a thorough transformation of Indonesian political
parties in an effort to restore the political parties as the backbone of the course of democracy
in Indonesia .
Keywords: Political Parties counterpoint, Democracy, Transformation
Abstrak
Partai politik tandingan yang muncul dalam politik nasional pasca pemilu 2014 dinilai
sebagai bentuk ancaman perkembangan demokrasi di Indonesia. Peran partai politik yang
secara ideal merupakan tonggak demokrasi rusak karena kemunculan partai politik tandingan.

Partai politik tandingan hadir disebabkan oleh faktor oligarki partai politik, perpecahan
internal partai dan intervensi pihak luar. Sehingga kemudian hal ini berdampak negatif
terhadap kinerja lembaga negara, memicu konflik yang besar dan menghilangkan
kepercayaan publik terhadap partai politik. Untuk itu perlu dilakukan transformasi
menyeluruh bagi partai politik Indonesia dalam upaya mengembalikan partai politik sebagai
tulang punggung berlangsungnya demokrasi di Indonesia.
Kata Kunci : Partai Politik Tandingan, Demokrasi, Transformasi

1

A.

Pendahuluan
Studi ini akan melihat fenomena partai politik tandingan sebagai bentuk ancaman
dari perkembangan demokrasi di Indonesia. Demokrasi Indonesia telah dimulai sejak
kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh para pendiri bangsa
dengan menetapkan UUD 1945 sebagai dasar pedoman kehidupan berbangsa dan
bernegara. Hal ini menandakan bahwa bangsa Indonesia mulai menerapkan sistem
demokrasi, karena dalam dasar negara tersebut dijelaskan bahwa kekuasaan tertinggi
berada ditangan rakyat.

Seiring berjalannya waktu, demokrasi di Indonesia semakin berkembang pesat
meskipun sering juga jatuh bangun dalam dinamika politik Indonesia. Dalam mengkaji
perkembangan demokrasi Indonesia, ada fenomena menarik yang mewarnai pesta
demokrasi Indonesia yang berlangsung pada 2014 yang lalu. Fenomena tersebut
melanda lembaga-lembaga demokrasi di Indonesia. Dimana terjadi pergulatan konflik
yang kuat hingga berujung perpecahan di internal lembaga demokrasi seperti Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Partai Politik. Lembaga DPR yang terbagi menjadi dua
basis kekuatan pasca pemilu 2014 terus menerus terlibat dalam kompetisi dan
perdebatan politik. Setidaknya ada dua koalisi partai politik yang terbentuk pasca
pemilu 2014 di Indonesia. Kedua koalisi tersebut adalah Koalisi Indonesia Hebat (KIH)
dan Koalisi Merah Putih (KMP). KIH dimotori oleh PDIP sebagai partai pemenang
pemilu legislatif 2014 dan didukung oleh partai politik seperti PKB, Partai Hanura dan
Partai Nasdem. Kemudian KMP digerakkan oleh beberapa partai politik besar seperti
Partai Golkar, Partai Gerindra, PKS, PAN dan PPP.
Dua koalisi yang terdapat di lembaga DPR ini, dalam kinerjanya pasca pemilu
penuh dengan persaingan dan perbedaan pendapat yang hebat. Dampak ekstrim dari
tidak tercapainya kesepakatan diantara dua koalisi ini adalah kemunculan lembaga DPR
tandingan yang dicetuskan oleh KIH. Kemunculan lembaga DPR tandingan ini
memiliki dampak negatif terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia. Lahirnya
DPR tandingan sebagai hasil dari konflik antar dua koalisi besar tersebut telah menjadi

inspirasi bagi sejumlah partai politik untuk membuat partai politik tandingan. Beberapa
elit partai politik yang berbeda pendapat dengan elit partai lainnya menghimpun
kekuatan baru untuk membentuk partai politik tandingan. Hal ini digunakan sebagai
bentuk perlawanan untuk mempertahankan pendapatnya. Kepentingan peta koalisi

2

dalam perjalanan partai politik kedepan menjadi pemicu lahirnya perbedaan sikap
diantara para elit di internal partai politik.
Pada dasarnya peta koalisi yang terbentuk dari hasil pemilu tersebut merupakan
konsekuensi dari sistem demokrasi. Dalam kerangka pemikiran demokrasi Roberth
Dahl ada tiga dimensi utama dalam proses demokrasi yaitu, kompetisi, partisipasi dan
kebebasan politik dan sipil (Sorensen, 1993;19). Konsepsi demokrasi seperti ini
merupakan konsepsi dari praktik demokrasi liberal. Praktik demokrasi Indonesia pada
saat ini merupakan praktik dari demokrasi liberal, sehingga berdampak pada bebasnya
partai politik memilih arah kompetisi politik menjadi hal yang wajar dalam bingkai
demokrasi.
Demokrasi liberal yang dipraktikkan oleh sejumlah partai politik dalam
menentukan arah politik ternyata berdampak negatif dengan menguatnya konflik
internal partai politik. Dalam proses penentuan arah kebijakan politik partai yang saling

berbeda mengantarkan perpecahan internal yang berujung pada kemunculan partai
politik tandingan. Politik tandingan yang awalnya dilakukan oleh lembaga DPR
menjadi tren dikalangan partai politik. Kemunculan partai politik tandingan dalam
dinamika politik di Indonesia ini akan menjadi fokus studi ini dalam melihat demokrasi
di Indonesia. Dimana kemunculan partai politik tandingan dilihat sebagai bentuk
ancaman proses perumbuhan demokratisasi yang terjadi di Indonesia.
B.

Kerangka Konsep : Partai Politik dalam Sistem Demokrasi
Partai politik merupakan salah satu lembaga politik yang dibutuhkan oleh
demokrasi. Secara ideal setidaknya ada enam lembaga politik yang dibutuhkan dalam
sebuah sistem demokrasi. Keenam lembaga politik tersebut diantaranya adalah para
pejabat yang dipilih, pemilihan umum yang bebas dan adil serta berkala, kebebasan
berpendapat,

sumber

informasi

alternatif,


otonomi

asosiasional,

dan

hak

kewarganegaraan yang inklusif (Dahl, 1999;118). Dalam definisi Dahl tersebut, partai
politik merupakan elemen yang termasuk kedalam lembaga politik otonomi
asosiasional. Dimana menurutnya untuk mencapai hak mereka yang beraneka macam
itu, termasuk hak yang diperlukan demokrasi, maka warga negara juga berhak
membentuk perkumpulan atau organisasi yang relatif bebas, termasuk partai politik dan
kelompok kepentingan yang bebas.
Paparan Dahl terkait lembaga-lembaga yang dibutuhkan demokrasi tersebut
mengkonfirmasi bahwa posisi partai politik merupakan salah satu posisi sentral dalam
3

proses menghidupi demokrasi. Partai politik secara tidak langsung menjadi tenaga

penggerak dari sistem demokrasi. Hal ini bermula dari pemikiran bahwa dalam
menjalankan lembaga-lembaga politik lainnya seperti menghadirkan pejabat yang
dipilih dan melakukan pemilihan umum dalam sebuah negara yang besar tidak bisa
dilakukan tanpa adanya partai politik.
Untuk dapat menjalankan fungsi sesuai hakikatnya yang demokratis, tentu partai
politik harus mengalami proses demokratisasi di internal partainya terlebih dahulu.
Proses itu disebut sebagai demokrasi internal (Meyer, 2008). Apabila prasyarat ini
terpenuhi oleh partai politik, maka ketika partai politik berhasil memenangkan pemilu
akan ikut mendukung proses demokrasi dan tidak akan menjadi ancaman bagi proses
demokratisasi. Demokratisasi internal menjamin adanya dialog terbuka dalam proses
pembentukan kehendak politik. Dalam suatu partai politik harus ada sistem pemilu
bebas

yang

memungkinkan

pergantian

anggota


secara

adil

dan

bisa

dipertanggungjawabkan kepada pengadilan publik. Partai politik yang demokratis
adalah partai yang menjalankan manajerial partai secara demokratis juga.
Ramlan Surbakti mengemukakan empat konsep tentang idealitas dalam
pengelolaan partai politik (Koirudin, 2004). Empat konsep yang dikemukakan olehnya
berawal dari kritik keberadaan partai politik yang selama ini ada di Indonesia. Pertama,
dapat dikontrol rakyat. Partai politik yang dapat dikontrol rakyat adalah partai yang
dibentuk dari kalangan masyarakat, mempunyai basis lokal yang jelas dan kuat,
dibentuk berdasarkan kepedulian yang sama pada satu atau lebih isu penting, dari segi
keuangan tergantung kepada iuran dan kontribusi anggota dan para pengurus dan calon
legislatif dan eksekutif partai dipilih secara langsung, terbuka, dan kompetitif oleh para
anggota.

Kedua, sistem kepartaian pluralis. Sistem kepartaian yang baik adalah yang cocok
dengan kemajukan masyarakat Indonesia dan menghasilkan pemerintahan yang efektif.
Sistem kepartaian pluralis moderat dipandang mampu untuk mewujudkan hal tersebut.
Ketiga, visi demokrasi pimpinan partai. Partai politik hendaknya dikelola oleh para
pemimpin dan aktivis yang memahami demokrasi. Visi demokrasi tersebut merupakan
upaya memanusiakan kekuasaan (Humanizing Power) dan bukan sekedar kompetisi
tetapi juga kompetensi.
Keempat, partai politik yang tidak mengedepankan monopoli dalam hal berikut :
a) definisi kepentingan bersama sebagai bangsa, dimana bersedia berdialog dengan
masyarakat untuk menyepakati apa yang menjadi kepentingan bersama, b) posisi dalam
4

kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif dan lembaga-lembaga negara lainnya) dimana
yang dapat berkiprah dalam posisi kekuasaan tidak hanya orang-orang yang
dipersiapkan dan diajukan oleh masyarakat sendiri, c) informasi yang urgen untuk
diketahui oleh publik dan bertindak transparan kepada publik seluas mungkin untuk
berinteraksi dengan partai politik tersebut.
Empat konsep ideal partai politik seperti yang diatas merupakan konsep yang
mengantarkan partai politik pada kondisi demokrasi internal. Apabila partai politik
mampu menjalankan peran dan fungsi partai secara ideal dan baik maka posisi partai

dalam menjadi tulang punggung demokrasi akan seamkin kuat. Namun jika tidak, maka
partai politik akan menjadi beban bagi perkembangan demokrasi.
C.

Peran Partai Politik dalam Sistem Demokrasi Indonesia
Partai politik merupakan salah satu lembaga yang mampu mendorong
berlangsungnya proses demokratisasi di Indonesia. Partai politik merupakan ruh dari
sistem demokrasi, karena keberadaan partai politik dan sistem kepartaian yang di
bangun merupakan barometer demokrasi atau tidaknya sebuah sistem politik dalam
sebuah negara (Koirudin, 2004). Sejatinya keberadaan partai politik sangat berperan
dalam menunjang keberlangsungan sebuah sistem demokrasi. Hal ini terlihat dalam
beberapa definisi partai politik seperti yang diungkapkan oleh para pakar seperti Carl J.
Friedrich, Sigmund Neuman dan Giovanni Sartori.
Carl J. Friedrich mendefinsisikan partai politik sebagai sekelompok manusia yang
terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan
terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini,
memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil.
Sedangkan menurut Sigmund Neumann partai politik adalah organisasi dari aktivisaktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut
dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan lain yang
mempunyai pandangan yang berbeda. Kemudian Giovanni Sartori mengatakan bahwa

partai politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan,
pemilihan umum itu, mampu menempatkan calon-calonnya untuk menduduki jabatanjabatan publik (Budiardjo, 2008;404).
Dalam definisi yang dibangun oleh para ahli tersebut bisa dilihat bagaimana
pentingnya peran partai politik dalam sistem demokrasi. Bahwa ruang gerak dari partai
politik akan menjadi penentu demokratis atau tidaknya sebuah negara. Budiardjo
5

(2008) dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik menyatakan bahwa dalam kondisi negara
yang demokratis, partai politik dapat menjalankan fungsinya sesuai harkatnya pada saat
kelahirannya, yakni menjadi wahana bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam
pengelolaan kehidupan bernegara dan memperjuangkan kepentingannya dihadapan
penguasa. Sehingga dengan demikian politik kepartaian dalam dimensi demokrasi
menempatkan partai politik sebagai aktor utama yang menghubungkan rakyat dengan
pemerintah.
Partai politik di Indonesia sejatinya juga harus berperan menjadi kawah
candradimuka dalam proses demokrasi yang sedang berlangsung. Dalam melihat peran
partai politik dalam proses demokrasi di Indonesia dapat ditinjau melalui alur periode
demokrasi yang berlangsung. Dalam sejarah politik Indonesia, setidaknya ada lima
periode demokrasi yang terjadi. Pertama, periode demokrasi awal kemerdekaan (19451950). Semangat demokrasi pada masa ini dibarengi oleh semangat bangsa Indonesia
yang baru merdeka dari rezim penjajahan. Ada beberapa hal yang menonjol dari proses

demokratisasi Indonesia dalam periode ini. Afan Gaffar (1999;11) menyebutkan ada
tiga poin yang fundamental dalam peletakkan dasar demokrasi untuk fase selanjutnya di
Indonesia.
Poin pertama menurutnya adalah political franchise yang menyeluruh. Dimana
pasca kemerdekaan bangsa Indonesia, semua warga negara yang sudah dianggap
dewasa memiliki hak-hak politik yang sama, tanpa ada diskriminasi yang bersumber
dari ras, agama, suku dan kedaerahan. Selanjutnya poin kedua yang juga penting adalah
presiden yang secara konstitusional ada kemungkinan untuk menjadi seorang diktator,
dibatasi kekuasaannya dengan pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
sebagai pengganti parlemen. Kemudian poin terakhir berkaitan dengan peran partai
politik. Periode ini merupakan awal mula bagi partai politik untuk berkontribusi dalam
proses demokrastisasi. Periode ini membuka peluang terbentuknya sejumlah partai
politik setelah adanya maklumat wakil presiden yang mengizinkan pembentukan partai
politik. Hal ini yang kemudian menjadi peletak dasar bagi sistem kepartaian di
Indonesia.
Partai politik dalam fase ini tumbuh dan berkembang dengan pesat. Tetapi gerak
dan fungsi utama dari partai politik masa itu adalah ikut serta memenangkan revolusi
kemerdekaan, dengan menambahkan kesadaran untuk bernegara serta menanamkan
semangat anti imperialisme dan kolonialisme. Pada saat itu pemilihan umum belum

6

bisa dilaksanakan. Oleh sebab itu tidak banyak yang bisa dikaji dalam gerak langkah
partai politik saat itu.
Kedua,

periode

demokrasi

parlementer

(1950-1959).

Masa

demokrasi

parlementer pada saat itu didukung oleh landasan konstitusional melalui penerapan
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1945 di Indonesia. Afan Gaffar (1999;11)
menyebutkan masa demokrasi parlementer sebagai masa kejayaan demokrasi di
Indonesia, karena hampir semua elemen demokrasi dapat kita temukan dalam
perwujudannya dalam kehidupan politik di Indonesia. Lembaga perwakilan rakyat atau
parlemen pada saat itu berada dalam posisi yang kuat. Hal ini berdampak terhadap
kehidupan sistem kepartaian Indonesia yang memperoleh peluang untuk berkembang
semakin maksimal. Pertumbuhan partai politik saat itu begitu pesat, sehingga Indonesia
ketika itu menganut sistem multi partai. Partai politik mengikuti pemilihan umum untuk
pertama kali pada tahun 1955. Dalam pemilu yang dilaksanakan dengan demokratis itu
partai politik di Indonesia berkompetisi dengan sangat intensif. Sehingga peranan partai
politik saat itu semakin jelas terlihat dalam mewarnai proses demokratisasi di
Indonesia.
Ketiga, periode demokrasi terpimpin (1959-1967). Pasca pemilu 1955
berlangsung, Presiden Soekarno mulai gelisah dengan kondisi partai politik di
Indonesia yang lebih berorientasi pada kepentingan ideologinya sendiri dan kurang
memperhatikan kepentingan politik nasional secara menyeluruh (Gaffar, 1999;11).
Kondisi ini memicu terjadinya pergolakan luar biasa dalam sistem politik di Indonesia.
Hal ini memuncak dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden oleh Presiden Soekarno
pada 5 Juli 1959.
Dekrit ini berisi amanat untuk membubarkan konstituante dan menyatakan
kembali menggunakan Undang-Undang Dasar 1945. Secara otomatis kondisi ini
melemahkan posisi parlemen dalam sistem politik Indonesia. Lebih lanjut kondisi ini
juga berpengaruh terhadap sistem kepartaian di Indonesia. Menurut Afan Gaffar
(1999;29), demokrasi terpimpin membuat sistem kepartaian Indonesia menjadi kabur.
Kehadiran partai-partai politik bukan untuk mempersiapkan diri dalam kontestasi
politik, tetapi lebih menjadi elemen penopang dari tarik menarik antara Presiden
Soekarno, Angkatan Darat, dan Partai Komunis Indonesia.
Selanjutnya Agung Djojosoekarto & Tunjung Sulaksono (2008;18) juga
menambahkan, bahwa dengan dikeluarknnya dekrit tersebut secara tidak langsung akan
melemahkan posisi tawar dari partai politik. Menurutnya kekuasaan partai dan sejauh
7

mana partai boleh mempergunakan kekuasaannya dan menampilkan jati dirinya, benarbenar ditentukan oleh setting politik yang berlaku dan sesuai dengan kemauan elit
berkuasa. Namun yang perlu menjadi catatan dan modal bagi kekuatan partai politik
adalah meskipun secara ruang gerak secara nasional ruang demokrasi partai politik
dibatasi, tetapi partai politik masih memiliki otonomi dalam proses internalnya.
Keempat, periode demokrasi pancasila (1967-1998). Periode demokrasi pancasila
merupkan periode yang paling panjang dalam sejarah demokrasi Indonesia. Dimana
periode ini merupakan periode disaat Presiden Soeharto memimpin bangsa ini selama
kurang lebih 32 tahun lamanya. Pada hakikatnya perpindahan kekuasaan dari Soekarno
ke Soeharto merupakan harapan besar bagi bangsa Indonesia untuk mengembalikan
sistem politik Indonesia kearah yang lebih demokratis. Namun pada akhirnya harapan
tersebut tidak sejalan dengan apa yang dijalankan oleh rezim Soeharto selama kurun
waktu 32 tahun tersebut. Soeharto dalam praktiknya lebih mengedepankan sistem yang
otoriter. Nilai-nilai demokrasi hanya bersifat formalitas semata, segala keputusan
politik sangat bergantung dengan kepentingan Soeharto pada saat itu.
Didalam kondisi politik dan pemerintahan yang berada dibawah kontrol penuh
oleh Soeharto ini, sistem kepartaian Indonesia juga mengalami kondisi yang semakin
buruk. Rezim saat itu membungkam kekuatan partai politik dengan menggalang
kekuatan dari ranah birokrasi dan militer. Soeharto pada awalnya membentuk
kendaraan politik Sekretariat Bersama dari Organisasi-Organisasi Fungsional,
Golongan Karya diluar partai politik yang telah ada untuk mendukung kerja politiknya.
hal ini terjadi karena partai politik yang ada pada saat itu seperti PNI dan NU menolak
permintaan Soeharto untuk menjadi benteng pertahanan politik Soeharto dalam upaya
melanggengkan kekuasaanya (Djojosoekarto & Sulaksono, 2008;21).
Dalam perjalanannya Sekretariat Bersama ini kemudian bertransformasi menjadi
sebuah kekuatan yang melebihi partai politik. Dengan adanya kebijakan keikutsertaan
golongan karya dalam proses pemilu, eksistensi Soeharto dalam memimpin Indonesia
terus terjaga. Dalam setiap pemilu yang berlangsung Golongan Karya selalu menjadi
pemenang. Sehingga kekuatan partai politik menjadi semakin melemah. Bahkan
memasuki pemilu 1977, masa depan partai politik di Indonesia semakin suram dengan
adanya kebijakan penyederhanaan partai politik (fusi) oleh pemerintah saat itu.
Fusi partai telah memaksa partai-partai yang sebelumnya bersifat layaknya
minyak dan air, untuk hidup dalam satu rumah (Djojosoekarto & Sulaksono, 2008;24).
Hal ini tentu berakibat pada konflik-konflik internal partai yang tidak ada habisnya.
8

Posisi partai menjadi sangat lemah karena energi banyak dihabiskan untuk mengurus
konflik-konflik yang ada di internalnya. Partai politik kehilangan fokus dalam proses
kontestasi pemilu yang berlangsung selama rezim itu berkuasa. Sehingga dapat
dirasakan bahwa ruang demokrasi yang ada pada masa itu berada dalam bayang-bayang
rezim berkuasa.
Kelima, periode demokrasi pasca reformasi (1998-sekarang). Pasca jatuhnya
rezim orde baru, Indonesia memasuki babak baru dalam dunia politik dan
pemerintahannya. Dimana fase ini dikenal sebagai era reformasi. Era ini ditandai
dengan kembalinya kekuatan partai politik sebagai lokus utama kekuasaan. Demokrasi
kembali bangkit setelah sekian lama terkungkung dibawah kendali rezim orde baru.
Kebebasan pers juga muncul sejalan dengan semangat reformasi tersebut. Pola sistem
kepartaian Indonesia juga turut berubah ketika itu. Diawal masa reformasi ini hal yang
paling menonjol dalam sistem kepartaian Indonesia adalah kemunculan sekitar 184
partai politik baru di Indonesia. Meskipun yang lolos untuk mengikuti pemilu 1999
hanya 47 partai politik, tetapi hal ini tetap mampu mengkonfirmasi kebangkitan
kekuasaan partai politik dalam sistem demokrasi (Djojosoekarto & Sulaksono,
2008;34).
Secara prosedural, demokrasi yang berjalan sejak reformasi bergulir di Indonesia
memang dianggap sebagai suatu praktik yang diharapkan oleh bangsa ini. Era
keterbukaan informasi, kebebasan berpendapat dan proses pemilu demokratis
merupakan buah dari demokrasi itu. Hal ini pada dasarnya dianggap baik dan sesuai
dengan keinginan mayoritas. Namun dalam perjalanannya ternyata praktik demokrasi
Indonesia pasca reformasi yang cenderung mengadopsi demokrasi liberal ini menemui
berbagai macam tantangan. Tantangan tersebut adalah banyaknya muncul praktik
politik yang buruk di negara ini. Mulai dari korupsi, kolusi dan nepotisme yang
semakin berkembang, budaya patron-klien sampai oligarki partai politik terus
mengganggu keberlangsungan proses demokratisasi. Hal yang nyata dan masih segar
sedang melanda partai politik di Indonesia adalah fenomena kemunculan partai politik
tandingan. Partai politik tandingan menjadi tantangan baru dalam proses demokrasi di
Indonesia.
D.

Faktor Penyebab Kemunculan Partai Politik Tandingan
Perjalanan demokratisasi yang terjadi dengan berbagai fenomena pasca reformasi
ini menandakan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dari pelaksanaan
9

demokrasi di negeri ini. Beberapa studi sudah mengkonfirmasi bahwa ada beberapa
praktik politik yang menjadi koreksi dalam demokrasi di Indonesia. Seperti tulisan
Hanif (2009) yang menjelaskan bahwa praktik klientelisme di tengah semangat
demokrasi masih terjadi di Indonesia saat ini. Selain itu ada juga tulisan Dwipayana
(2009) yang menggambarkan kekhawatirannya terhadap proses konsolidasi demokrasi
di Indonesia yang dihadapkan dengan harga demokrasi yang memakan biaya tinggi
dalam praktik politik di Indonesia.
Sejauh ini partai politik di Indonesia belum mampu melepaskan diri dari praktik
kotor seperti korupsi, kolusi dan nepotisme, budaya patron-klien sampai oligarki partai
politik. Proses demokratisasi sebagai upaya menuju sistem demokrasi mengalami cerita
yang berbeda dari apa yang diharapkan. Dalam praktiknya tidak sedikit partai politik di
Indonesia yang masih mengedepankan budaya patron-klien di internalnya. Sehingga
internal partai politik sendiri bersifat oligarki, sangat kontradiktif dengan upaya
demokratisasi yang diusung untuk Indonesia. Praktik oligarki dalam partai politik ini
berdampak pada gejolak konflik yang terjadi di beberapa partai politik di Indonesia.
Konflik tersebut semakin terlihat jika memasuki masa kontestasi pemilu. Pertarungan
elit partai yang akan membawa arah haluan partai akan memuncak jika keputusan
partai tidak dilalui oleh mekanisme demokrasi di internal partai politik. Dampak
ekstrim dari konflik ini adalah terjadinya perpecahan di internal partai politik tersebut.
Dimana diantara beberapa pihak yang saling berbeda pandangan akan membentuk
kekuatan tandingan sebagai upaya mempertahankan pendapatnya.
Dalam sejarah partai politik di Indonesia, kejadian seperti ini sudah pernah terjadi
pada era orde baru. Dimana konflik yang terjadi di PDI berujung pada terpecahnya
partai tersebut menjadi dua. Pasca reformasi hal ini juga masih terjadi, seperti yang
dialami oleh partai Golkar. Meskipun tidak terjadi pepecahan intstitusi, tetapi
perpecahan elit partainya berdampak pada kemunculan partai politik baru yan di motori
oleh elit partai Golkar yang berkonflik tersebut. Kemudian pasca pemilu 2014 yang
lalu, beberapa partai politik juga mengalami hal serupa. Seperti yang terjadi pada partai
PPP dan Partai Golkar.
Partai politik seperti PPP dan Partai Golkar saat ini mengalami dualisme
intstitusi. Pasca pemilu 2014 yang lalu PPP memiliki dua kepengurusan. Masingmasing kepengurusan mengklaim sebagai pihak yang paling sah. Kepengurusan
pertama dipimpin ketua umum versi muktamar di Surabaya, yakni Romahurmuziy.
Sedangkan Djan Faridz selaku ketua umum versi muktamar di Jakarta memimpin
10

kepengurusan kedua (Tempo, 2014). Kemudian akibat pergulatan konflik antara elitnya
partai Golkar juga mengalami perpecahan dengan kemunculan Partai Golkar tandingan.
Dimana Musyawarah Nasional IX Partai Golkar tandingan yang digelar Presidium
Penyelamat Golkar di Jakarta memutuskan kepenguruan Partai Golkar tandingan yang
diketuai oleh Agung Laksono (Kompas, 2014).
Kehadiran partai politik tandingan dalam kancah politik nasional Indonesia tidak
lepas dari beberapa faktor yang menjadi latar belakangnya. Sedikitnya ada tiga faktor
utama yang terlihat paling dominan dalam terbentuknya partai politik tandingan ini.
Faktor-faktor tersebut adalah :
1.

Oligarki dalam Partai Politik
Dalam Soehino (2001), dapat dilihat pandangan Aristoteles tentang oligarki
yaitu negara dimana pemerintahannya itu dipegang oleh beberapa orang tetapi
sifatnya jelek, karena pemerintahannya itu hanya ditujukan untuk kepentingan
mereka, si pemegang pemerintahan itu sendiri. Mengelaborasi pendapat
Aristoteles tentang oligarki tersebut, maka dapat dikaitkan dengan oligarki yang
terjadi dalam partai politik. Dimana oligarki partai politikl adalah sekelompok
orang yang memerintah partai politik dengan cara yang buruk dan untuk
kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.
Dalam bangunan partai politik di Indonesia, budaya oligarki partai politik
masih menjadi penyakit yang merusak bangunan partai politik sampai hari ini.
Oligarki yang terdapat dalam partai politik Indonesia telah mempengaruhi kinerja
dan pelaksanaan fungsi partai politik. Seperti contohnya dalam menjalankan
fungsi rekrutmen politik. Menurut hasil laporan penelitian Pusat Kajian Politik
FISIP UI (2014), oligarki partai politik masih terjadi dalam proses rekrutmen
caleg pada pemilu 2014. Dalam melihat rekrutmen caleg perempuan, hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa basis rekrutmen caleg perempuan masih
didominasi oleh ikatan kekerabatan yang justru melanggengkan kesenjangan
kuasa politik dan ekonomi serta resistensi terhadap kesetaraan peluang partisipasi
politik. Kondisi ini disebut sebagai politik gender oligarki.

2.

Perpecahan Internal Partai Politik
Adanya faksionalisasi dalam setiap partai politik dipandang sebagai muara
perpecahan internal parti politik. Pada dasarnya faksionlisasi dalam tubuh partai
politik merupakan hal wajar terjadi dalam sebuah partai yang hidup di negara
demokratis. Menurut Roemer (2006) setidaknya ada tiga model faksionalisasi
11

yang terdiri dari faksi reformis, oportunis dan militan. Faksi reformis adalah
mereka yang berorientasi pada upaya mencapai tujuan-tujuan pragmatis partai,
utility function secara maksimum. Faksi oportunis adalah mereka yang
menggunakan partai sebagai kendaraan untuk mencapai karir politik yang lebih
tinggi, sehingga sasaran mereka adalah memenangkan sebanyak mungkin suara
pemilih. Sedangkan faksi militan adalah mereka yang berupaya untuk
mengartikulasikan kebijakan partai sedekat mungkin dengan rumusan kebijakan
yang ideal. Kepentingan dari faksi-faksi yang saling berbeda inilah yang
menyebabkan perpecahan dalam internal partai politik.
Menurut Chudry Sitompul (2010), perpecahan di tubuh partai yang kini
marak juga dipengaruhi kondisi internal partai-partai yang pada umumnya masih
merupakan partai tradisional, yang hanya aktif dan memiliki orientasi
berkompetisi dalam pemilu, yang mengandalkan ikatan perekat antara organisasi
dan dukungan massa melalui kharisma ketokohan, serta yang merepresentasikan
diri sebagai partai aliran. Perpecahan internal partai politk yang disebabkan oleh
adanya faksionalisasi seperti dijelaskan diatas berpengaruh terhadap kemunculan
partai politik tandingan di Indonesia.
Faksi-faksi dalam partai politik yang kalah dalam internal partai tersebut
membangun gerakan-gerakan makar. Gerakan seperti ini dipandang mereka
sebagai solusi agar kepentingannya bisa tetap terakomodir. Hal inilah yang
melandasi elit-elit partai politik yang tergabung dalam faksionalisasi yang sama
untuk membentuk partai politik tandingan. Sehingga terjadi konflik dan
persaingan diantara faksi-faksi yang ada dalam internal partai politik tersebut.
3.

Intervensi Pihak Luar
Menurut Yudi Latif, munculnya fenomena politik seperti partai terpecah dan
memunculkan partai tandingan dengan munasnya masing-masing dinilai sebagai
cerminan eksekutif yang tidak cukup percaya diri (RMOLJabar, 2014).
Menurutnya karena ketidak percayaan diri dari eksekutif dalam menghadapi
gelombang tekanan politik maka eksekutif masuk untuk mengintervensi internal
partai politik. Keterlibatan eksekutif atau presiden dalam konflik internal partaipartai politik itulah yang mengakibatkan terjadi instabilitas politik.
Selain intervensi eksekutif, intervensi partai politik lain juga bisa menjadi
pemicu lahirnya politik tandingan. Dewasa ini kesamaan ideologi tidak lagi
menjadi basis dalam proses kerja sama partai politik. Partai politik yang
12

ideologinya sangat jauh berbeda sekalipun bisa membangun kerja sama politik
seperti kekuatan koalisi. Kaburnya garis ideologi partai ini merupakan celah
masuknya banyak intervensi dalam setiap partai politik. Partai politik yang basis
dukungannya cukup banyak menjadi sasaran bagi setiap partai politik untuk
masuk mengintervensi. Sehingga jika faksi yang memenangkan kontestasi
internal didalam partai politik tersebut berasal dari pihak yang didukungnya,
maka kerja sama partai politik baik ditingkat lokal maupun nasional lebih mudah
terjalin.
E.

Partai Politik Tandingan Ancaman Bagi Demokrasi
Kemunculan partai politik tandingan seperti yang terlihat dalam sistem kepartaian
Indonesia pasca pemilu 2014 merupakan salah satu bentuk kelemahan partai politik di
Indonesia. Hal ini berujung pada dampak yang serius terhadap proses demokratisasi
yang sedang berjalan. Partai politik tandingan muncul sebagai titik ekstrim dari
kehidupan partai politik yang sudah keluar dari konsep ideal sebagai lembaga politik
pendukung demokrasi. Buramnya proses demokrasi dalam perjalanan partai politik
Indonesia telah mengantarkan partai politik kedalam ruang yang gelap dan merusak
tatanan demokrasi yang ada dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Lebih jauh, kehadiran partai politik tandingan kemudian dinilai sebagai bentuk
ancaman dari proses demokratisasi di Indonesia. Bisa dibayangkan bahwa lembaga
partai politik sebagai aktor demokratisasi ditanah air ternyata berdiri diatas bangunan
yang jauh dari suasana yang demokratis. Sehingga tidak heran jika sampai hari ini
banyak para pengamat yang memberi penilaian bahwa demokrasi yang terjadi di
Indonesia masih stagnan pada tataran demokrasi prosedural. Belum masuk pada bagian
demokrasi substansial yang menjadi idaman bagi setiap negara. Ada beberapa alasan
yang membuat partai politik tandingan menjadi ancaman baru terhadap proses
demokratisasi Indonesia.
1.

Partai Politik Tandingan akan Berpengaruh Terhadap Kinerja Lembaga
Negara
Lembaga negara seperti eksekutif dan legislatif sangat bergantung pada
partai politik. Misalnya lembaga legislatif tidak akan bisa bekerja menjalankan
tugas jika terdapat dualisme kepengurusan partai politik yang mengklaim diri
sebagai yang paling benar. Tidak mungkin ada dua partai politik yang sama dalam
lembaga legislatif baik ditingkat DPRD maupun DPR. Sehingga adanya partai
13

politik tandingan tersebut akan menghambat kinerja lembaga legislatif yang
anggotanya merupakan kader-kader dari partai politik.
Kemudian bagi lembaga eksekutif keberadaan partai politik tandingan juga
akan menghambat kinerjanya. Dalam sistem demokrasi Indonesia, kinerja
eksekutif terkadang sangat bergantung pada lembaga legislatif. Seperti dalam hal
anggaran belanja negara, tanpa adanya persetujuan dari DPR pemerintah tidak
bisa menggunakan anggaran negara untuk menjalankan program-programnya.
Selama partai politik tandingan masih menjadi problem bagi DPR, maka
Pemerintah tentu akan semakin terhambat proses pembahasan anggarannya.
2.

Partai Politik Tandingan akan Memicu Konflik yang Besar
Kemunculan partai politik tandingan merupakan buah dari faksionalisasi
yang memuncak dalam internal partai politik. Lahirnya partai politik tandingan
merupakan

bentuk

dari

penyampaian

aspirasi

kelompok

faksi

yang

kepentingannya tidak terakomodir dalam sebuah partai politik. Jika cara-cara
yang ditempuh untuk menyalurkan aspirasi yang kalah ini selalu dengan gerakan
makar, maka gerakan makar yang lebih besar akan bisa terjadi di negara ini.
Seperti misalnya beberapa waktu yang lalu muncul Gubernur DKI Jakarta
tandingan yang merupakan bentuk protes terhadap kinerja Gubernur DKI Jakarta
saat itu Basuki Tahaja Purnama (Tribunnews, 2014).
Meskipun pada akhirnya gerakan ini tidak sampai memuncak, namun perlu
disadari bahwa gerakan-gerakan makar seperti ini akan mempengaruhi stabilitas
keamanan persatuan dan kesatuan negara. Kemudian konflik lain yang juga akan
muncul adalah konflik antar sesama kader partai politik. Bahwa setiap partai
politik tandingan tentu didukung oleh kader dan simpatisan setianya. Pergulatan
konflik internal partai politik akan membuat konflik yang besar ditataran kader
partai politik tersebut.
3.

Partai Politik Tandingan akan Menghilangkan Kepercayaan Publik
Terhadap Partai Politik
Perilaku elit partai politik yang selama ini banyak tersandung kasus politik
seperti korupsi, kolusi dan nepotisme cukup meresahkan masyarakat yang pada
awalnya banyak menaruh harapan untuk perbaikan bangsa ini. Kemuculan partai
politik tandingan ini tentunya akan semakin membuat tingkat kepercayaan
masyarakat kepada partai politik semakin rendah.

14

Berdasarkan hasil survei Political Communication Institute (Polcomm
Institute) mayoritas publik tidak lagi mempercayai partai politik. Publik yang
tidak percaya parpol yaitu sebesar 58,2 persen. Kemudian yang menyatakan
percaya 26,3 persen, dan menyatakan tidak tahu sebesar 15,5 persen. Menurut
Direkur Eksekutif Polcomm Institute Heri Budianto, terdapat tiga faktor utama
yang menyebabkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap parpol, yaitu
banyaknya kader parpol yang terjerat kasus korupsi, konflik internal partai yang
muncul di publik, adanya pelanggaran etika yang dilakukan kader parpol
(Kompas, 2014).
Ketiga alasan yang menjadikan partai politik tandingan sebagai ancaman
demokrasi seperti yang telah digambarkan diatas merupakan sedikit ulasan yang
mengharuskan untuk bagaimana partai politik tandingan ini dicegah dalam lingkungan
demokrasi. Keberadaan partai politik tandingan merupakan bentuk dilematis dari
pelaksanaan demokratisasi di Indonesia. Bahwa definisi kebebasan berpendapat
dimaknai dengan salah oleh sebagian elit di negeri ini. Gerakan-gerakan makar dalam
internal partai politik terjadi akibat pemaknaan dan pelaksanaan demokrasi yang salah
kaprah tersebut.
F.

Transformasi Partai Politik Solusi Menyelamatkan Demokrasi
Kehadiran partai politik tandingan merupakan salah satu prestasi buruk yang
diraih oleh partai politik sebagai lembaga demokrasi di Indonesia. Sebagai bentuk
kegagalan partai politik dalam mengemban tugas utama dalam proses demokratisasi,
maka perlu evaluasi dan proyeksi terhadap partai politik di Indonesia. Dari berbagai
macam polemik partai politik tandingan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perlu
ada langkah besar bagi perbaikan partai politik kedepan. Langkah besar yang dimaksud
dalam hal ini adalah melakukan transformasi partai politik.
Partai politik di Indonesia harus melakukan transformasi menyeluruh mulai dari
tingkat nasional hingga tingkal lokal. Partai politik memiliki peran yang sangat sentral
dalam proses demokrasi, baik secara prosedural maupun secara substansial. Fungsi dan
peran utama partai politik dalam agregasi dan artikulasi kepentingan, pendidikan
politik, sosialisasi politik maupun formulasi agenda membawa pengaruh dalam proses
demokrasi substansial. Sedangkan peran dalam seleksi kandidat, mobilisasi dalam
pemilihan umum member pengaruh dalam proses demokrasi prosedural. Mengingat
pentingnya keberadaan partai politik dalam demokrasi ini, maka mengharuskan partai
15

politik melakukan transformasi partai politik untuk melanjutkan agenda reformasi yang
mungkin telah dilakukan oleh beberapa partai politik di Indonesia, namun belum
memberikan hasil yang memuaskan.
Transformasi tidak hanya melakukan perbaikan sistem ataupun bagian-bagian dan
aspek dari partai politik yang rusak kemudian diperbaiki. Tetapi transformasi dilakukan
untuk mendekontruksi ulang partai politik yang rusak kemudian dibangun yang baru
(Djojosoekarto, Sulaksono dan Darumurti, 2008;51). Agenda transformasi lebih tepat
untuk dijadikan sebagai solusi atas problematika partai politik tandingan yang
menjangkiti tubuh beberapa partai politik di Indonesia saat ini.
Dengan agenda transformasi partai politik tersebut diharapakan proses
demokratisasi internal partai politik bisa berjalan dengan baik. Praktik oligarki partai
politik bisa dihindari dan buadaya patro-klien bisa ditinggalkan. Lebih jauh
transformasi partai politik ini adalah solusi utama dalam menjawab permasalahan
hilangnya kepercayaan publik terhadap partai politik.
Partai politik harus melakukan perbaikan pelembagaan partai agar mampu
menciptakan proses musyawarah berjenjang. Musyawarah secara berjenjang di internal
partai sangat berguna untuk menciptakan fungsi-fungsi kepartaian yang solid secara
organisasi dan sekaligus tetap memberikan dampak yang maksimal tidak saja bagi
internal partai bersangkutan tetapi bagi kehidupan demokrasi dalam arti yang lebih
luas. Sehingga kedepan diharapkan tidak ada lagi gerakan-gerakan makar partai politik
ketika terjadi perbedaan pendapat antar sesame kader partai.
Referansi
Buku :
Budiardjo, Miriam. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi, Cetakan ke-3). Jakarta.
Gramedia Pustaka Utama
Dahl, Robert A. (1999). Perihal Demokrasi. Terjemahan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Yayasan Obor Indonesia
Djojosoekarto, A & Sandjaja, U (Eds). (2008). Transformasi Demokratis Partai Politik di
Indonesia : Model, Strategi dan Praktik. Jakarta. Kemitraan bagi Pembaruan Tata
Pemerintahan di Indonesia
Gaffar, Afan. (1999). Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar
16

Koirudin. (2004). Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Meyer, Thomas. (2008). Peran Partai Politik dalam Sebuah Sistem Demokrasi : Sembilan
Tesis (Cetakan ke-3). Jakarta. Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Kantor Perwakilan
Indonesia
Roemer, Jhon E. (2006). Political Competition : Theory and Application, 5 th. Ed. Harvard
University Press
Soehino. (2001). Ilmu Negara. Yogyakarta. Liberty
Sorensen, Georg. (1993). Demokrasi dan Demokratisasi; Proses dan Prospek dalam Sebuah
Dunia yang sedang berubah. Terjemahan Tadjuddin Noer Effendi. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar
Jurnal dan Penelitian :
Dwipayana, AAGN Ari. (2009). Demokrasi Biaya Tinggi. Dimensi Ekonomi dalam Proses
Demokrasi Elektoral di Indonesia Pasca Orde Baru. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Gadjah Mada. Vol. 12 No. 3 Maret 2009
Hanif, Hasrul. (2009). Politik Klientalisme Baru dan Dilema Demokratisasi di Indonesia.
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Vol. 12 No. 3 Maret 2009
Pusat Kajian Politik FISIP UI. 2014. Analisis Perolehan Suara dalam Pemilu 2014 : Oligarki
Politik Dibalik Keterpilihan Caleg Perempuan. Laporan Penelitian Pusat Kajian Politik
Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia
Internet :
5 Tanda Partai Politik Bakal Bubar.
http://www.tempo.co/read/news/2014/12/05/078626457/5-Tanda-Partai-Politik-BakalBubar-/1/2. Diakses 25 Desember 2014
'Gubernur Tandingan DKI' Bertekad Turunkan Ahok.
http://www.tribunnews.com/metropolitan/2014/12/01/gubernur-tandingan-dki-bertekadturunkan-ahok. Diakses pada 26 Desember 2014
Ini Susunan Pengurus Golkar Versi Munas di Ancol.
http://nasional.kompas.com/read/2014/12/08/13205911/Ini.Susunan.Pengurus.Golkar.V
ersi.Munas.di.Ancol. Diakses 25 Desember 2014
Muncul Partai Tandingan, Akibat Eksekutif Tidak percaya Diri.
http://m.rmoljabar.com/news.php?id=4769. Diakses pada 25 Desember 2014

17

Sitompul, Chudry. 2010. Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas
Sistem Multi Partai di Indonesia. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/437konflik-internal-partai-sebagai-salah-satu-penyebab-kompleksitas-sistem-multi-partaidi-indonesia.html. Diakses 25 Desember 2014
Survei:

Mayoritas

Publik

Tak

Percaya

Partai

Politik.

http://nasional.kompas.com/read/2014/02/09/1551505/Survei.Mayoritas.Publik.Tak.Per
caya.Partai.Politik. Diakses pada 26 Desember 2014

18

Dokumen yang terkait

ANALISIS KARAKTERISTIK MARSHALL CAMPURAN AC-BC MENGGUNAKAN BUTON GRANULAR ASPHALT (BGA) 15/20 SEBAGAI BAHAN KOMPOSISI CAMPURAN AGREGAT HALUS

14 283 23

TEPUNG LIDAH BUAYA (Aloe vera) SEBAGAI IMMUNOSTIMULANT DALAM PAKAN TERHADAP LEVEL HEMATOKRIT DAN LEUKOKRIT IKAN MAS (Cyprinus carpio)

27 208 2

PENGARUH KONSENTRASI TETES TEBU SEBAGAI PENYUSUN BOKASHI TERHADAP KEBERHASILAN PERTUMBUHAN SEMAI JATI (Tectona grandis Linn f) BERASAL DARI APB DAN JPP

6 162 1

OPTIMASI SEDIAAN KRIM SERBUK DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam.) SEBAGAI ANTIOKSIDAN DENGAN BASIS VANISHING CREAM

57 260 22

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) SEBAGAI ADJUVAN TERAPI CAPTOPRIL TERHADAP KADAR RENIN PADA MENCIT JANTAN (Mus musculus) YANG DIINDUKSI HIPERTENSI

37 251 30

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

INTENSIFIKASI PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH ( DI KABUPATEN BANYUWANGI

16 118 18