Profil Penderita Kanker Serviks di RSUP Haji Adam Malik tahun 2011-2012

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Kanker Serviks

2.1.1. Definisi Kanker Serviks

Kanker serviks adalah penyakit kanker yang terjadi pada daerah leher rahim, yaitu pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk kearah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dengan liang senggama wanita (vagina) (Wijaya, 2010). Sembilan puluh persen dari kanker serviks berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke dalam rahim. Kanker serviks terjadi jika sel-sel serviks menjadi abnormal dan membelah secara tak terkendali (Rasjidi I, 2008).

2.1.2. Etiologi Kanker Serviks

Kanker Serviks terjadi karena infeksi Human Pavilloma Virus (HPV). HPV tipe 16, 18, 31, 33, 35, 45, 51, 52, 56 dan 58 sering ditemukan pada kanker dan prakanker. Infeksi virus papiloma sering terdapat pada wanita yang aktif secara seksual (Rasjidi, 2008).

Lebih dari 50% kanker serviks berhubungan dengan HPV tipe 16 dan tipe 18. Penyebarannya bisa melalui aktivitas seksual terlalu muda, jumlah pasangan seksual lebih dari satu orang, adanya riwayat infeksi berpapil, dan kanker serviks bisa didapati pada penderita HIV (Sarwono, 2006).


(2)

2.1.3. Klasifikasi Kanker Serviks

Klasifikasi kanker serviks berdasarkan histologinya yaitu:

Tabel 2.1 Klasifikasi kanker serviks berdasarkan histologi Sumber : (WHO 2003)


(3)

Klasifikasi kanker serviks menurut TNM dan FIGO:

Tabel 2.2 Klasifikasi kanker serviks menurut TNM dan FIGO Sumber : (WHO 2003)

2.1.4. Faktor risiko Kanker Serviks

Faktor risiko terjadinya kanker serviks antara lain: 1. Hubungan seksual

Kanker serviks diperkirakan sebagai penyakit yang ditularkan secara seksual, dimana beberapa bukti menunjukkan adanya hubungan antara riwayat hubungan seksual dan risiko penyakit ini. Sesuai dengan etiologi infeksinya, wanita dengan pasangan seksual yang banyak dan wanita yang memulai hubungan seksual pada usia muda akan meningkatkan risiko terkena kanker serviks, karena sel kolumnar serviks lebih peka terhadap metaplasia selama usia dewasa maka wanita yang berhubungan seksual sebelum usia 18 tahun akan berisiko terkena


(4)

kanker serviks lima kali lipat. Keduanya, baik usia saat pertama berhubungan maupun jumlah pasangan seksual adalah faktor risiko kuat untuk terjadinya kanker serviks (Rasjidi, 2008).

2. Karakteristik Pasangan

Sirkumsisi pernah dipertimbangkan menjadi faktor pelindung tetapi sekarang hanya dihubungkan dengan penurunan faktor risiko. Studi kasus kontrol menunjukkan bahwa pasien dengan kanker serviks lebih sering menjalani seks aktif dengan pasangan yang melakukan seks berulang kali. Selain itu, pasangan dari pria dengan kanker penis juga akan meningkatkan risiko kanker serviks (Rasjidi, 2008).

3. Riwayat Ginekologis

Hamil di usia muda dan jumlah kehamilan atau manajemen persalinan yang tidak tepat dapat pula meningkatkan risiko (Rasjidi, 2008). Sedangkan Paritas (jumlah kelahiran) yang tinggi juga semakin meningkatkan risiko pada wanita. Dengan seringnya ibu melahirkan, maka akan berdampak pada seringnya terjadi perlukaan di organ reproduksinya yang akhirnya dampak dari luka tersebut akan memudahkan timbulnya Human Papilloma virus (HPV) sebagai penyebab terjadinya penyakit kanker serviks (Akram, 2010).

4. Agen infeksius

Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan Human Papilloma Virus (HPV) sebagai penyebab neoplasia servikal. Ada bukti lain yaitu onkogenitas virus papiloma hewan; hubungan infeksius HPV serviks dengan kondiloma dan atipik koilositotik yang menunjukkan displasia ringan atau sedang; dan deteksi antigen HPV dan DNA dengan lesi servikal. HPV tipe 16 dan 11 berhubungan erat dengan displasia ringan yang sering regresi. HPV tipe 16 dan 18 dihubungkan dengan displasia berat yang jarang regresi tapi sering progresif menjadi karsinoma insitu (Rasjidi, 2008). Walaupun semua Virus Herpes Simpleks (HSV) tipe 2 belum didemonstrasikan pada sel tumor, teknik


(5)

hibridisasi insitu telah mununjukkan bahwa terdapat HSV RNA spesifik pada sampel jaringan wanita dengan displasia serviks. Infeksi Trikomonas, sifilis, dan gonokokkus ditemukan berhubungan dengan kanker serviks. Namun infeksi ini dipercaya muncul akibat hubungan seksual dengan banyak pasangan dan tidak dipertimbangkan sebagai faktor risiko kanker serviks secara langsung (Rasjidi, 2008).

5. Merokok

Sekarang ini ada data yang mendukung rokok sebagai penyebab kanker serviks dan hubungan antara merokok dengan kanker sel skuamosa pada serviks (bukan adenoskuamosa atau adenokarsinoma). Mekanisme kerja bisa langsung (aktivitas mutasi mukus serviks telah ditunjukkan pada perokok atau melalui efek imunosupresif dari merokok (Rasjidi, 2008). Fey (2004) menyatakan wanita yang merokok lebih dari 10 batang per hari memiliki risiko tinggi memperoleh lesi prakanker tingkat tinggi.

6. Kontrasepsi Hormonal

Faktor risiko lain yang diperkirakan untuk terjadinya kanker serviks adalah pemakaian kontrasepsi hormonal. Kontrasepsi hormonal berperan sebagai alat yang mempertinggi pertumbuhan neoplasma. Hal ini terjadi sejak diketahuinya peran estrogen yang memiliki efek trophic dalam meningkatkan pertumbuhan sel. Wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal berupa pil maupun suntikan selama kurang dari lima tahun tidak mengalami peningkatan risiko karsinoma serviks uteri. Namun, peningkatan risiko akan muncul setelah penggunaannya selama 10 tahun (McFarlane-Anderson, 2008). Selain itu, faktor risiko yang lain adalah, diet, etnis dan faktor sosial juga pekerjaan (Rasjidi, 2008).


(6)

2.1.5. Patologi Kanker Serviks

Menurut Garcia (2009), skema patologi kanker serviks:

Virus masuk ke dalam tubuh

Epitel skuamosa

Luka mikro pada saat koitus imatur di daerah zona transisional (Tzone)

Pro onkogen

Onkogen

TP53 RB

(degradasi protein P53 melalui pemeliharaan E6) (penginaktivasi proteinRB oleh E7)

Sel mengalami resistensi terhadap apoptosis

Menyebabkan pertumbuhan sel tak terkontrol

Malignansi

Gambar 2.1 Skema Patologi Kanker Serviks Sumber : (Garcia 2009)


(7)

2.1.6. Gambaran Klinis Kanker Serviks

Gejala kanker serviks biasanya muncul saat sel-sel serviks yang abnormal dan mengganas mulai menginvasi jaringan sekitarnya, saat sudah menjadi kanker invasif. Biasanya terjadi gejala perdarahan pervaginam yang abnormal, yaitu perdarahan spontan yang terjadi di antara dua siklus menstruasi. Perdarahan ini bisa juga muncul setelah melakukan hubungan seksual akibat tergesernya tumor pada waktu koitus ( American Cancer Society, 2007). Keputihan juga merupakan gejala yang sering ditemukan dengan ciri khas vagina berbau busuk dan mengeluarkan getah berwarna kekuningan akibat infeksi dan nekrosis jaringan (Mardjikoen, 2008).

Biasanya pasien juga mengeluhkan nyeri yang berat. Nyeri tersebut dapat dirasakan saat penderita melakukan hubungan seksual. Pada stadium lanjut dapat timbul rasa nyeri di daerah panggul disebabkan penyebaran tumor ke kelenjar getah bening dinding panggul (Randall, 2005).

2.1.7. Deteksi Dini Kanker Serviks

Kanker serviks dapat dicegah dan diobati bila terdeteksi sedini mungkin. Deteksi dini kanker serviks direkomendasikan bagi seluruh wanita yang telah aktif secara seksual dan dapat dimulai dalam tiga tahun setelah koitus pertama (Zeller, 2007). Rasjidi, (2008) menyebutkan beberapa cara deteksi dini kanker serviks adalah melalui:

a. Pemeriksaan IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat), merupakan metode inspeksi yang sangat sederhana, murah, nyaman, praktis, dan mudah (Depkes, 2008). Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengoleskan larutan asam asetat 3%-5% pada serviks sebelum melakukan inspeksi visual. Penilaian serviks dilakukan setelah beberapa menit pasca pengolesan larutan asam asetat dengan menggunakan penerangan.


(8)

Serviks yang normal akan terlihat merah muda pada bagian ektoserviks dan kemerahan di bagian endoserviks, sedangkan serviks yang mengalami lesi prakanker akan terlihat putih (acetowhite). Pemeriksaan dikatakan positif jika hasil terdapat area putih di sekitar porsio serviks (Carr, 2004).

b. Pemeriksaan Papsmear, merupakan pemeriksaan sitologi untuk mendeteksi kanker serviks. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil contoh sel epitel serviks melalui kerokan dengan spatula khusus, kemudian hasil kerokan diapuskan pada kaca objek. Apusan sel pada kaca objek tersebut selanjutnya diamati di bawah mikroskop oleh ahli patologi (American Cancer

Society, 2008).

Pembacaan hasil papsmear menggunakan kriteria Bethesda 2001. Hasil

papsmear yang didapat berupa :

Tabel 2.3 Kriteria Bethesda 2001 dalam Pemeriksaan Papsmear

Hasil pembacaan Deskripsi

Normal (negatif) Tidak terdapat tanda-tanda kanker atau lesi prakanker

Atypical Squamous Cells of Undertemined Significance

(ASC-US)

Terdapat perubahan padaa sel-sel serviks. Perubahan umumnya disebabkan infeksi HPV, dan menunjukkan adanya lesi prakanker. ASC-US merupakan hasil papsmear yang paling umum ditemukan

Squamous Intraepithelial Lesion

(SIL)

Perubahan abnormal sel-sel serviks, dan dapat merupakan gejala prrakanker. SIL terbagi atass 2 kategori, yaitu :

1.Low Grade Squamous Intraepithelial Lesion (LSIL) : displasia ringan atau sedang


(9)

dan tidak perlu diterapi.

2.High Grade Squamous Intraepithelial

Lesion (HSIL) : displasia tingkat lanjut

(CIN3). HSIL dapat berubah menjadi kanker dalam waktu singkat.

Atypical Squamous Cell (ASC-H) Terdapat perubahan pada sel-sel serviks,

tetapi diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk penegakkan diagnosa.

Atypical Glandular Cell (AGC) Perubahan sel menjurus pada lesi prakanker pada daerah serviks atas, atau uterus

Cancer Sel-sel serviks telah menyebar secara luas.

Sumber : (Bethesda 2)

Teknik pengambilan papsmear menurut Manuaba, 2005 yaitu:

1. Bahan yang diambil – Cairan vagina, serviks, endometrium, dan cairan yang terkumpul di forniks posterior.

2. Tidur dalam posisi ginekologi – Spekulum kering dimasukkan sehingga tampak dengan jelas vagina bagian atas forniks posterior, serviks uteri, dan kanalis servikalis.

3. Alat pengambil – Berbagai bentuk sspatula, sikat sitologi, pipet pengisap, dan kapas lidi.

4. Fiksasi apusan objek glas – Dapat kering (langsung direndam dengan alkohol 95% selama 30 menit, selanjutnya dikeringkan di udara atau dengan alat pengering).

5. Kegagalan pemeriksaan papsmear – Dapat terjadi karena penderita menstruasi, obat vaginal, pascapersalinan abortus kurang dari 6 minggu, klinisi (lokasi pengambilan tidak tepat, terlalu tipis atau terlalu tebal, objek glass kotor berminyak, terlambat melakukan pengeringan setelah fiksasi).


(10)

Langkah yang harus dilakukan untuk mendapatkan sampel dan hasil yang bagus (Morgan, 2009):

1. Sekret vagina harus berasal dari dinding lateral vagina sepertiga bagian atas.

2. Papsmear tidak dilakukan pada saat masa menstruasi dan masa

kehamilan.

3. Pengambilan sekret harus dilaksakan pada vagina normal tanpa infeksi dan tanpa pengobatan lokal paling sedikit dalam waktu 48 jam terakhir.

4. Klinisi harus menyingkirkan vaginal discharge yang berlebihan sebelum melakukan pemeriksaan.

5. Klinisi harus menggunakan cytobrush atau spatula kayu untuk memperoleh sampel dari endoserviks dan dari dinding vagina. 6. Untuk memindahkan sampel ke objek glass dari spatula kayu,

klinisi harus menghapuskan sampel dengan sekali hapusan.

Gambar 2.2 Cara pengambilan papsmear


(11)

c. Kolposkopi merupakan pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop binokuler dengan sumber cahaya yang terang untuk memperbesar gambaran visual serviks, sehingga dapat membantu diagnosa neoplasia serviks (Rasjidi, 2008).

d. Pemeriksaan DNA HPV dilakukan berupa pengambilan sampel untuk mengetahui adanya infeksi HPV dengan menggunakan lidi kapas atau sikat. Tes ini lebih berguna bila dikombinasikan dengan pemeriksaan sitologi (Rasjidi, 2008).

2.1.8. Diagnosis Kanker Serviks

Prosedur penentuan diagnosis menurut Rasjidi (2007) yaitu:

1.Anamnese, untuk mencari faktor predisposisi dan keluhan penderita. 2.Pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan ginekologis dan pemeriksaan kelenjar inguinal.

3.Pemeriksaaan penunjang seperti foto thoraks, BNO-IVP, sistoskopi, rektoskopi, CT-scan optional, MRI, serta bone survey, terutama jika menentukan jauhnya metastase.

4.Biopsi serviks untuk menentukan jenis histopatologi.

5.Untuk deteksi kanker serviks stadium dini dapat dilakukan beberapa cara mulai dari papsmear, uji HPV, dan kolposkopi.

2.1.9. Pencegahan Kanker Serviks

Pencegahan kanker serviks terdiri atas pencegahan primer, dan sekunder. Pencegahan primer berupa menunda onset aktivitas seksual sampai usia 20 tahun dan berhubungan secara monogami akan mengurangi risiko kanker serviks secara signnifikan; penggunaan kontrasepsi barier (kondom, diafragma, dan spermisida) yang berperan untuk proteksi terhadap agen virus. Penggunaan lateks lebih dianjurkan daripada kondom yang dibuat dari kulit kambing; penggunaan vaksinasi HPV yang diberikan kepada pasien dapat mengurangi infeksi HPV karena mempunyai kemampuan proteksi >90% (Rasjidi, 2008). Vaksinasi ini


(12)

hanyadiberikan pada wanita yang belum pernah terinfeksi HPV (Mayrand, 2007). Kemudian Stanley (2008) mengatakan bahwa sekarang ini telah tersedia dua vaksin terbaru HPV L1, yaitu produk kuadrivalen HPV 6/11/16/18 dan bivalen HPV 16/18. Proteksi vaksin ini bertahan sampai 5 tahun.

Pencegahan sekunder terdiri untuk pasien dengan risiko sedang dan pasien risiko tinggi. Hasil tes Pap’s yang negatif sebanyak tiga kali berturut-turut dengan selisih waktu antar pemeriksaan satu tahun dan atas petunjuk dokter sangat dianjurkan. Untuk pasien (pasangan hubungan seksual) yang level aktivitasnya tidak diketahui, dianjurkan untuk melakukan tes Pap setiap tahun pada pasien dengan risiko sedang. Sedangkan pada pasien risiko tinggi yaitu pasien yang memulai hubungan seksual pada usia<18 tahun dan wanita yang mempunyai banyak pasangan seksual seharusnya melakukan tes Pap tiap tahun, dimulai dari onset seksual intercourse aktif. Interval sekarang ini dapat diturunkan menjadi setiap 6 bulan untuk pasien dengan risiko khusus, seperti mereka yang mempunyai riwayat penyakit seksual berulang (Rasjidi, 2008).


(1)

2.1.6. Gambaran Klinis Kanker Serviks

Gejala kanker serviks biasanya muncul saat sel-sel serviks yang abnormal dan mengganas mulai menginvasi jaringan sekitarnya, saat sudah menjadi kanker invasif. Biasanya terjadi gejala perdarahan pervaginam yang abnormal, yaitu perdarahan spontan yang terjadi di antara dua siklus menstruasi. Perdarahan ini bisa juga muncul setelah melakukan hubungan seksual akibat tergesernya tumor pada waktu koitus ( American Cancer Society, 2007). Keputihan juga merupakan gejala yang sering ditemukan dengan ciri khas vagina berbau busuk dan mengeluarkan getah berwarna kekuningan akibat infeksi dan nekrosis jaringan (Mardjikoen, 2008).

Biasanya pasien juga mengeluhkan nyeri yang berat. Nyeri tersebut dapat dirasakan saat penderita melakukan hubungan seksual. Pada stadium lanjut dapat timbul rasa nyeri di daerah panggul disebabkan penyebaran tumor ke kelenjar getah bening dinding panggul (Randall, 2005).

2.1.7. Deteksi Dini Kanker Serviks

Kanker serviks dapat dicegah dan diobati bila terdeteksi sedini mungkin. Deteksi dini kanker serviks direkomendasikan bagi seluruh wanita yang telah aktif secara seksual dan dapat dimulai dalam tiga tahun setelah koitus pertama (Zeller, 2007). Rasjidi, (2008) menyebutkan beberapa cara deteksi dini kanker serviks adalah melalui:

a. Pemeriksaan IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat), merupakan metode inspeksi yang sangat sederhana, murah, nyaman, praktis, dan mudah (Depkes, 2008). Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengoleskan larutan asam asetat 3%-5% pada serviks sebelum melakukan inspeksi visual. Penilaian serviks dilakukan setelah beberapa menit pasca pengolesan larutan asam asetat dengan menggunakan penerangan.


(2)

Serviks yang normal akan terlihat merah muda pada bagian ektoserviks dan kemerahan di bagian endoserviks, sedangkan serviks yang mengalami lesi prakanker akan terlihat putih (acetowhite). Pemeriksaan dikatakan positif jika hasil terdapat area putih di sekitar porsio serviks (Carr, 2004).

b. Pemeriksaan Papsmear, merupakan pemeriksaan sitologi untuk mendeteksi kanker serviks. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil contoh sel epitel serviks melalui kerokan dengan spatula khusus, kemudian hasil kerokan diapuskan pada kaca objek. Apusan sel pada kaca objek tersebut selanjutnya diamati di bawah mikroskop oleh ahli patologi (American Cancer Society, 2008).

Pembacaan hasil papsmear menggunakan kriteria Bethesda 2001. Hasil papsmear yang didapat berupa :

Tabel 2.3 Kriteria Bethesda 2001 dalam Pemeriksaan Papsmear

Hasil pembacaan Deskripsi

Normal (negatif) Tidak terdapat tanda-tanda kanker atau lesi prakanker

Atypical Squamous Cells of Undertemined Significance

(ASC-US)

Terdapat perubahan padaa sel-sel serviks. Perubahan umumnya disebabkan infeksi HPV, dan menunjukkan adanya lesi prakanker. ASC-US merupakan hasil papsmear yang paling umum ditemukan Squamous Intraepithelial Lesion

(SIL)

Perubahan abnormal sel-sel serviks, dan dapat merupakan gejala prrakanker. SIL terbagi atass 2 kategori, yaitu :

1.Low Grade Squamous Intraepithelial Lesion (LSIL) : displasia ringan atau sedang (CIN1 & CIN2). LSIL sering ditemukan


(3)

dan tidak perlu diterapi.

2.High Grade Squamous Intraepithelial Lesion (HSIL) : displasia tingkat lanjut (CIN3). HSIL dapat berubah menjadi kanker dalam waktu singkat.

Atypical Squamous Cell (ASC-H) Terdapat perubahan pada sel-sel serviks, tetapi diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk penegakkan diagnosa.

Atypical Glandular Cell (AGC) Perubahan sel menjurus pada lesi prakanker pada daerah serviks atas, atau uterus

Cancer Sel-sel serviks telah menyebar secara luas.

Sumber : (Bethesda 2)

Teknik pengambilan papsmear menurut Manuaba, 2005 yaitu:

1. Bahan yang diambil – Cairan vagina, serviks, endometrium, dan cairan yang terkumpul di forniks posterior.

2. Tidur dalam posisi ginekologi – Spekulum kering dimasukkan sehingga tampak dengan jelas vagina bagian atas forniks posterior, serviks uteri, dan kanalis servikalis.

3. Alat pengambil – Berbagai bentuk sspatula, sikat sitologi, pipet pengisap, dan kapas lidi.

4. Fiksasi apusan objek glas – Dapat kering (langsung direndam dengan alkohol 95% selama 30 menit, selanjutnya dikeringkan di udara atau dengan alat pengering).

5. Kegagalan pemeriksaan papsmear – Dapat terjadi karena penderita menstruasi, obat vaginal, pascapersalinan abortus kurang dari 6 minggu, klinisi (lokasi pengambilan tidak tepat, terlalu tipis atau terlalu tebal, objek glass kotor berminyak, terlambat melakukan pengeringan setelah fiksasi).


(4)

Langkah yang harus dilakukan untuk mendapatkan sampel dan hasil yang bagus (Morgan, 2009):

1. Sekret vagina harus berasal dari dinding lateral vagina sepertiga bagian atas.

2. Papsmear tidak dilakukan pada saat masa menstruasi dan masa kehamilan.

3. Pengambilan sekret harus dilaksakan pada vagina normal tanpa infeksi dan tanpa pengobatan lokal paling sedikit dalam waktu 48 jam terakhir.

4. Klinisi harus menyingkirkan vaginal discharge yang berlebihan sebelum melakukan pemeriksaan.

5. Klinisi harus menggunakan cytobrush atau spatula kayu untuk memperoleh sampel dari endoserviks dan dari dinding vagina. 6. Untuk memindahkan sampel ke objek glass dari spatula kayu,

klinisi harus menghapuskan sampel dengan sekali hapusan.

Gambar 2.2 Cara pengambilan papsmear


(5)

c. Kolposkopi merupakan pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop binokuler dengan sumber cahaya yang terang untuk memperbesar gambaran visual serviks, sehingga dapat membantu diagnosa neoplasia serviks (Rasjidi, 2008).

d. Pemeriksaan DNA HPV dilakukan berupa pengambilan sampel untuk mengetahui adanya infeksi HPV dengan menggunakan lidi kapas atau sikat. Tes ini lebih berguna bila dikombinasikan dengan pemeriksaan sitologi (Rasjidi, 2008).

2.1.8. Diagnosis Kanker Serviks

Prosedur penentuan diagnosis menurut Rasjidi (2007) yaitu:

1.Anamnese, untuk mencari faktor predisposisi dan keluhan penderita. 2.Pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan ginekologis dan pemeriksaan kelenjar inguinal.

3.Pemeriksaaan penunjang seperti foto thoraks, BNO-IVP, sistoskopi, rektoskopi, CT-scan optional, MRI, serta bone survey, terutama jika menentukan jauhnya metastase.

4.Biopsi serviks untuk menentukan jenis histopatologi.

5.Untuk deteksi kanker serviks stadium dini dapat dilakukan beberapa cara mulai dari papsmear, uji HPV, dan kolposkopi.

2.1.9. Pencegahan Kanker Serviks

Pencegahan kanker serviks terdiri atas pencegahan primer, dan sekunder. Pencegahan primer berupa menunda onset aktivitas seksual sampai usia 20 tahun dan berhubungan secara monogami akan mengurangi risiko kanker serviks secara signnifikan; penggunaan kontrasepsi barier (kondom, diafragma, dan spermisida) yang berperan untuk proteksi terhadap agen virus. Penggunaan lateks lebih dianjurkan daripada kondom yang dibuat dari kulit kambing; penggunaan vaksinasi HPV yang diberikan kepada pasien dapat mengurangi infeksi HPV karena mempunyai kemampuan proteksi >90% (Rasjidi, 2008). Vaksinasi ini


(6)

hanyadiberikan pada wanita yang belum pernah terinfeksi HPV (Mayrand, 2007). Kemudian Stanley (2008) mengatakan bahwa sekarang ini telah tersedia dua vaksin terbaru HPV L1, yaitu produk kuadrivalen HPV 6/11/16/18 dan bivalen HPV 16/18. Proteksi vaksin ini bertahan sampai 5 tahun.

Pencegahan sekunder terdiri untuk pasien dengan risiko sedang dan pasien risiko tinggi. Hasil tes Pap’s yang negatif sebanyak tiga kali berturut-turut dengan selisih waktu antar pemeriksaan satu tahun dan atas petunjuk dokter sangat dianjurkan. Untuk pasien (pasangan hubungan seksual) yang level aktivitasnya tidak diketahui, dianjurkan untuk melakukan tes Pap setiap tahun pada pasien dengan risiko sedang. Sedangkan pada pasien risiko tinggi yaitu pasien yang memulai hubungan seksual pada usia<18 tahun dan wanita yang mempunyai banyak pasangan seksual seharusnya melakukan tes Pap tiap tahun, dimulai dari onset seksual intercourse aktif. Interval sekarang ini dapat diturunkan menjadi setiap 6 bulan untuk pasien dengan risiko khusus, seperti mereka yang mempunyai riwayat penyakit seksual berulang (Rasjidi, 2008).